Vous êtes sur la page 1sur 8

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

Makassar, 16 Mei 2014

TUGAS AKHLAQ
AL-GHUFRON ( SUKA MEMBERI MAAF )

DISUSUN OLEH :

SITI ULFA FURIANI

110 212 0011

INDRY PRIYANDINI BASRI

110 212 0012

MUHAMMAD SHUBHY

110 212 0020

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Memaafkan seseorang yang pernah berbuat kezhaliman kepada kita, apapun bentuk

kezhalimannya, adalah merupakan syariat Islam dan sesuatu yang diperintahkan di dalam
Alquran yan mulia serta dicontohkan di dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa
sallam yang agung.
Memang berat, tapi ganjaran pahalanya juga sangat besar, yaitu diampuni Allah Taala dosadosanya. Sebagai umat islam, Islam mengajar umatnya untuk bersikap pemaaf dan suka
memaafkan kesalahan orang lain tanpa menunggu permohonan maaf daripada orang yang
berbuat salah kepadanya.
Sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedikit pun rasa benci dan
dendam di hati. Sifat pemaaf adalah salah satu manifestasi daripada ketakwaan kepada Allah.
Islam juga mengajarkan kita agar dengan lapang dada memberi maaf kepada orang yang telah
berbuat salah. Bagaimanapun juga manusia sering lupa dan khilaf. Memberi maaf kepada orang
atas ketidaksengajaannya adalah keutamaan buat orang yang sempat tersakiti. Dan memberi
maaf atas tindakan buruk orang lain juga sebuah keutamaan jika itu bisa dilakukan.
Namun begitulah manusia, sebagian besar masih mengutamakan emosi dibandingkan hati nurani
dalam setiap mengambil keputusan, termasuk dalam hal meminta maaf dan memaafkan.
Hendaknya benar-benar kita tanamkan kepada diri kita bahwa tidak ada di seluruh dunia ini yang
terlepas dari kesalahan. Oleh karena itu sekali lagi, sudah sewajarnya kita memberikan kata maaf
dengan ikhlas untuk orang-orang yang meminta maaf dengan tulus dan ikhlas pula. Siapa pun
kita pasti ada melakukan kesalahan, kekhilafan, dan kealpaan. Tak pelak, manusia itu pulalah
yang menjadi tempat bersemayamnya kesalahan.

BAB II
PEMBAHASAN
Ghufran, Ghufron artinya Keampunan, pengampunan. mengampuni kesalahan, tidak
mendendam, memberi remisi, atau pembebasan. Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk
senantiasa suka memberi maaf. Ketika beliau melewati jalan dan sering diganggu oleh orang
yang tidak suka dengannya, beliau selalu memaafkan. Sampai akhirnya ketika orang yang suka
mengganggu itu sakit maka Rasulullah adalah orang pertama yang datang menjenguknya. Jika
kita bicara sejarah lain dikisahkan bagaimana Nabi Muhammad mendapat perlakuan yang buruk
dari masyarakat Thaif, sampai-sampai malaikat datang dan menanyakan apakah perlu
masyarakat yang berlaku buruk tersebut dihukum, Nabi meminta untuk memaafkan mereka
karena mungkin mereka belum tahu.
Memberi maaf bukanlah menunjukkan seseorang itu lemah atau tidak mampu membalas.
Suka memaafkan justru menunjukkan sifat keutamaan dan kemuliaan seseorang karena ia belajar
dari sifat Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun seberapa besar pun kesalahan yang
pernah dilakukan hamba-Nya. Sikap pemaaf menunjukkan seseorang memilih jalan yang dekat
dengan keridhoan Allah ketika sebenarnya dia bisa menuntut balas atas kesalahan orang lain.
Mari kita perhatikan ayat dan hadits mulia berikut:
Ayat ini diturunkan menceritakan kisah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu anhu, yang

telah bersumpah untuk tidak lagi membiayai dan menafkahi Misthah bin Utsatsah radhiallahu

anhu, karena Misthah radhiallahu anhu termasuk orang yang mengatakan berita dusta tentang
Aisyah radhiallahu 'anha.
Dan ketika Allah Taala telah menurunkan ayat yang menjelaskan tentang keterlepasan
Aisyah radhiallahu 'anha dari segala tuduhan yang telah dibuat-buat kaum munafik tersebut,
kemudian keadaan kaum muslim menjadi tenang kembali, Allah Taala memberikan taubat-Nya
kepada kaum beriman yang ikut berkata dalam berita ini, dan diberikan pidana atas yang berhak
mendapatkan hukuman karena perbuatannya.
Maka

Allah

dengan

kemuliaan

dan

kemurahan-Nya,

mengajak

Abu

Bakar

Ash

Shiddiq radhiallahu anhu untuk memaafkan Misthah radhiallahu anhu, yang juga merupakan
anak bibi beliau, seorang miskin yang tidak mempunyai harta kecuali hanya dari pemberian Abu
Bakar Ash Shiddiq radhiallahu anhu saja, dan Misthah radhiallahu anhu termasuk dari kaum
Muhajirin serta telah diterima taubatnya oleh Allah Taala, apalagi Misthah radhiallahu anhu
sudah mendapatkan hukuman pidana atas perbuatannya tersebut. Lalu apa sikap Abu Bakar Ash
Shiddiq radhiallahu anhu akhirnya, mari perhatikan hadits berikut:

Aisyah radhiallahu 'anha Istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, "Ketika Allah
telah menurunkan keterlepasanku (dari berita dusta yang disebarkan kaum munafik), Abu Bakar
Ash Shiddiq radhiallahu anhu berkata tentang Misthah bin Utsatsah radhiyallahu 'anha, yang
mana Misthah adalah orang yang beliau nafkahi, karena hubungan kekerabatannya dengan beliau
dan karena kemiskiannya: "Demi Allah, selamanya aku tidak akan menafkahi Misthah sedikit
pun, setelah apa yang ia katakan tentang Aisyah radhiallahu 'anha", maka Allah-pun
menurunkan ayat:

"Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu
bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orangorang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka
memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Maka Abu bakar berkata, "Tentu, demi Allah, aku menginginkan agar aku diampuni
Allah Taala". Maka beliau kembali memberi nafkah kepada Misthah yang dulu beliau beri
nafkah. Dan beliau berkata, "Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan nafkah untuknya." (HR.
Bukhari dan Muslim. Lihat Tafsir Alquran Al Azhim, karya Ibnu Katsir rahimahullah).
Jadi

Abu

Bakar radhiallahu

anhu yang

awalnya

ingin

menghentikan

membiayai

Misthah radhiallahu anhu, disebabkan Misthah radhiyallahu 'anhu termasuk orang yang ikut
berkata akan berita dusta tentang Aisyah radhiallahu 'anha yang telah diprakarsai oleh kaum
munafik, tetapi setelah melihat ganjaran pahala yang begitu besar dari Allah Taala jika beliau
memaafkan Misthah radhiallahu anhu, maka Abu Bakar radhiallahu anhu pun memilih untuk
mendapatkan ganjaran tersebut, yaitu berupa ampunan dari Allah Taala, daripada menyimpan
dendam yang tiada habisnya. Allahu Akbar!.
Maafkanlah kesalahan saudara-saudara seiman kita, apapun kesalahannya, jangan dendam
tersebut selalu menyesakkan dada kita, apakah kita tidak mau mendapatkan ampunan Allah
Taala. Memaafkan = Mendapat Ampunan Allah Taala.
Memaafkan Harus Dibarengi dengan Perasaan Lapang Dada
Kesempurnaan sikap memaafkan adalah jika dibarengi dengan perasaan lapang dada, yang
menganggap seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

kalau kita perhatikan ayat-ayat suci Alquran, maka seorang muslim diperintah untuk memaafkan
dengan dibarengi lapang dada, mari kita perhatikan:

[: 22]

"dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada" (QS. An Nur: 22).

Di dalam ayat yang mulia ini terdapat pelajaran yaitu: Perintah untuk memaafkan dan lapang
dada, walau apapun yang didapatkan dari orang-orang yang pernah menyakiti. (Lihat Tafsir al
Karim Ar Rahman fi Tafsir Al Kalam Al Mannan, karya As Sa'di rahimahullah).

[: 13]

"maka maafkanlah mereka dan lapangkanlah dada, sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang berbuat baik." (QS. Al Maidah: 13).
Ayat yang mulia ini memberi beberapa pelajaran:

1. Sikap memaafkan yang dibarengi dengan perasaan lapang dada adalah sifatnya seorang
muhsin.
2. Seorang muhsin keutamaannya adalah dicintai Allah Taala. Dan keutamaan orang yang
dicintai Allah Taala adalah:
- Masuk surga.

Anas

bin

Malik radhiallahu

anhu berkata,

"Seorang

lelaki

pernah

datang

kepada

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan bertanya, "Wahai Rasulullah, kapan hari kiamat?"
Beliau menjawab, "Apa yang telah kamu siapkan untuk hari kiamat?" Lelaki itu menjawab,
"Kecintaan

kepada

Allah

dan

Rasul-Nya."

Rasulullah shallallahu

alaihi

wa

sallam bersabda, "Maka sungguh kamu akan bersama yang kamu cintai." (HR. Bukhari dan
Muslim).
- Diharamkan oleh Allah Taala untuk masuk neraka.

Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa

sallam bersabda, "Demi Allah, tidak akan Allah melemparkan orang yang dicintai-Nya ke dalam
neraka." (HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no.
2047).
- Dicintai oleh seluruh malaikat 'alaihimussalam dan diterima oleh penduduk bumi:

Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"Jika Allah Tabaraka wa Taala mencintai seorang hamba, maka Allah Taala memanggil
Jibril: "Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan maka cintailah fulan", maka Jibril pun
mencintainya, kemudian Jibril menyeru di langit: "Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan
maka cintailah kalian fulan", maka penduduk langit pun mencintainya dan baginya pun
penerimaan/rasa simpatik penduduk bumi". (HR. Bukhari).

2. Hikmah Pemaaf
Di antara hikmah yang dapat dirasakan dari sikap pemaaf di antaranya adalah
sebagai berikut:
a.

Orang yang pemaaf akan mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari orang yang
dimaafkan. Orang yang dimaafkan merasa mendapatkan perhatian dan penghormatan
dengan dimaafkannya apa yang telah dilakukan, sehingga dia akan memberikan balasan
yang lebih baik dari sekedar sikap pemaaf yang diterima.

b.

Orang yang pemaaf akan memperkuat tali silaturrahim dengan orang lain, termasuk
orang yang dimaafkan. Dengan demikian, dia akan tetap memiliki hubungan yang baik
dengan siapa pun.

c.

Sikap pemaaf menunjukkan konsistensi seseorang dalam bertakwa. Artinya, orang yang
tidak memiliki sikap pemaaf berarti dia tidak disebut bertakwa dalam arti yang
sebenarnya.

d. Fungsi dalam dunia medis : Menurut Harun Yahya Para peneliti percaya bahwa pelepasan
hormon stres, kebutuhan oksigen yang meningkat oleh sel-sel otot jantung, dan kekentalan
yang bertambah dari keping-keping darah, yang memicu pembekuan darah menjelaskan
bagaimana kemarahan meningkatkan peluang terjadinya serangan jantung. Ketika marah,
detak jantung meningkat melebihi batas wajar, dan menyebabkan naiknya tekanan darah
pada pembuluh nadi, dan oleh karenanya memperbesar kemungkinan terkena serangan
jantung.

BAB III
PENUTUP
Jika kita ingin disebut sebagai orang bertaqwa, kita wajib memberi maaf atas kesalahan
orang lain tanpa harus ada permintaan maaf. Jika kita berbuat dosa kepada orang lain, kita wajib
meminta ampun kepada Allah. Permintaan maaf kepada orang lain penting untuk menghindari
pembalasan atas suatu kejahatan dengan kejahatan serupa atau untuk meningkatkan kualitas
pergaulan. Jika ada perubahan persepsi pada diri penulis, revisi akan dilakukan.

Vous aimerez peut-être aussi