Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Fistula
Neuropati
Tanda-tanda inkontinensia total :
Aliran konstan yang terjadi pada saat tidak diperkirakan
Tidak ada distensi kandung kemih
Nokturia
Pengobatan inkontinensia tidak berhasil
3. Inkontinensia Stres
Inkontinensia stres merupakan keadaan seseorang yang mengalami kehilangan urine
kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.
Kemungkinan penyebanya adalah :
Perubahan degeneratif pada otot pelvis dan struktur penunjang yang berhubungan dengan
penuaan
Tekanan intra abdomen tinggi (obesitas)
Distensi kandung kemih
Otot pelvis dan struktur penunjang lemah
Tanda-tanda inkontinensia stres :
Adanya urine menetes dengan peningkatan tekanan abdomen
Adanya dorongan berkemih
Sering miksi (lebih dari 2 jam sekali)
4. Inkontinensia Refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran
urine yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume
kandung kemih mencapai jumlah tertentu.
Kemungkinan penyebab :
Kerusakan neurologis (lesi medula spinalis)
Tanda-tanda inkontinensia refleks :
Tidak ada dorongan untuk berkemih
Merasa bahwa kandung kemih penuh
Kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur
5. Inkontinensia Fungsional
Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran
urine secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.
Kemungkinan penyebab :
Kerusakan neurologis (lesi medula spinalis)
Tanda-tanda inkontinensia fungsional :
Adanya dorongan untuk berkemih
Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urine
2.5.3 Enuresis
Poliuria merupakan produksi urine abnormal dalam jumlah besra oleh ginjal tanpa
adanya peningkatan asupan cairan. Hal ini biasanya ditemukan pada penderita diabetes
melitus, defisiensi anti diuretik hormon (ADH), dan penyakit ginjal kronik.
2.6.5 Urinaria Supresi
Urinaria supresi adalah berhentinya produksi urine secara mendadak. Secara normal,
urine diproduksi oleh ginjal secara terus-menerus pada kecepatan 60-120 ml/jam.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan
Pekerjaan
Agama
Suku
Status Perkawinan
Tgl. MRS
Tgl. Pengkajian
Alamat
No. RM
Diagnosa Medis
2.
3.
han utama
4.
Identitas Keluarga
Nama Keluarga
Pendidikan
Pekerjaan
Umur
Hubungan
Alamat
: Tn. N
: 41 tahun
: Laki-laki
: SMA
: Swasta
: Islam
: Madura
: Menikah
: 23 Januari 2009
: 26 Januari 2009
: Pamekasan
: 184395
: Batu ginjal sebelah kiri
: Ny. N
: SMA
: Swasta
: 39 tahun
: Isteri
: Pamekasan
5.
6.
berkurang tetapi kadang muncul lagi. 1tahun yang lalu, klien mengalami nyeri pinggang yang
hebat, akhirnya oleh keluarga di bawah ke RSU. Setelah dilakukan pemeriksaan, klien
dinyatakan menderita kencing batu. Setelah pulang dari RSU, klien tidak kontrol, tetapi
berobat ke mantri lagi. 2 bulan yang lalu, klien mengalami serangan nyeri hebat lagi dan
dibawa ke RSU. Sehubungan dengan keterbatasan alat, maka klien dirujuk ke RSCM, untuk
penanganan selanjutnya
Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan tidak mempunyai penyakit hipertensi, jantung tidak diketahui, hepatitis
tidak pernah, kencing batu tidak pernah.
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami sakit seperti pasien, TB,
DM, Hipertensi.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Status kesehatan umum
Keadaan penyakit sedang, kesadaran komposmentis, suara bicara jelas, tekanan darah 120/70
mmHg, suhu tubuh 36,7oC, pernapasan 20x/menit, nadi 80x/menit (regular), GCS 4 5 6.
b. Sistem integument
Tidak tampak ikterus, permukaan kulit tidak kering, tekstur tidak kasar, rambut hitam dan
bersih, tidak botak, perubahan warna kulit tidak ada, dekubitus tidak ada.
c. Kepala
Normo cephalic, simetris, nyeri kepala (+), benjolan tidak ada.
d. Muka
Simetris, odema (+), otot muka dan rahang kekuatan lemah, sianosis tidak ada.
e. Mata
Alis mata, kelopak mata normal, konjungtiva anemis, pupil isokor sclera ikterus, reflek
cahaya positif, tajam penglihatan normal, mata tidak cowong.
f. Telinga
Sekret, serumen, benda asing, dan membran timpani normal.
g. Hidung
Deformitas, mukosa, sekret, bau, obstruksi tidak ada, pernafasan cuping hidung tidak ada.
h. Mulut dan faring
Bau mulut (+), stomatitis (-), gigi banyak yang hilang, lidah merah muda, kelainan lidah tidak
ada.
i. Leher
Simetris, kaku kuduk tidak ada, pembesaran vena jugularis.
j.
Thoraks
Gerakan simetris, retraksi supra sternal (-), retraksi intercoste (-), perkusi resonan, rhonchi
+/+ pada basal paru, wheezing -/-, vocal fremitus tidak teridentifikasi.
k. Jantung
l.
m.
n.
o.
Batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri, batas kanan ics 2 sternal kanan dan
ics 5 mid axilla kanan, perkusi dullness. Bunyi s1 dan s2 tunggal, gallop (-), mumur (-),
capillary refill 2-3 detik.
Abdomen
Bising usus (+), tidak ada benjolan, nyeri tekan tidak ada, perabaan massa tidak ada, hepar
tidak teraba, asites (-).
Inguinal-Genitalia-Anus
Nadi femoralis teraba, tidak ada hernia, pembengkakan pembuluh limfe tidak ada, tidak ada
hemoroid.
Ekstrimitas
Akral hangat, edema -/- , kekuatan 5/5, gerak yang tidak disadari -/-, atropi -/-, capillary refill
3 detik, abses tidak ada, ganggren (-), reflek patella N/N, achiles N/N.
Pembuluh darah perifer : radialis (+/+), femoralis (+/+), poplitea (+/+), tibialis posterior
(+/+), dorsalis pediss (+/+).
Tulang belakang
Tidak ada lordosis, kifosis atau scoliosis.
DS
Klien menyatakan
kurang minum
Klien menyatakan sakit
saat miksi
DO
Warna urine klien jernih
dan kekuning-kuningan
DS
Klien menyatakan tidak
tahu tentang penyakitnya
KEMUNGKINAN
PENYEBAB
MASALAH
KEPERAWATAN
Penekanan/distorsi jaringan
setempat
Merangsang nosireseptor
Implus ke thalamus
Cortex serebri
Nyeri
Nyeri
Kurang pengetahuan
Tujuan
Hospitalisasi
Kurang pengetahuan
3.3
1.
a.
b.
c.
d.
2.
a.
b.
c.
d.
Diagnosa Keperawatan
Pre-Operasi
Nyeri b.d peningkatan frekuensi/dorongan kontraksi ureteral.
Perubahan pola eliminasi b.d stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal atau ureteral.
Risti kekurangan volume cairan b.d mual, muntah.
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurangnya
informasi.
Post-Operasi
Resiko kekurangan volume cairan b.d haemoragic atau hipovolemik
Nyeri b.d insisi bedah
Perubahan pola eliminasi b.d inverse perkemihan sementara (selang nefrostomi, kateter
uretra, intervensi pembedahan)
Risiko tinggi terhadap infeksi b.d insisi operasi dan pemasangan kateter.
5)
Dorong/bantu dengan ambulasi sering sesuai indikasi dan tingkatkan pemasukan cairan
sekitar 3-4 liter/hari.
6) Perhatikan keluhan peningkatan/menetapnya nyeri abdomen.
7) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi analgesik.
Tujuan
b. Perubahan pola eliminasi urin b.d stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal atau
ureteral.
:
Klien
dapat
menunjukkan
pola
eliminasi
normal
setelah
dilakukan
asuhan keperawatan
Aliran urine lancar
Klien bebas dari tanda-tanda obstruksi (hematuria)
Klien berkemih dengan jumlah normal dan pola biasanya.
Rencana Tindakan :
1) Awasi pemasukan dan pengeluaran dan karakteristik urin.
2) Tentukan pola berkemih normal pasien dan perhatikan variasi.
3) Dorong meningkatkan pemasukan cairan : 3 4 liter/hari.
4) Periksa semua urin, catat adanya keluaran batu.
5) Palpasi untuk distensi suprapubik dan perhatikan penurunan keluaran urin, adanya edema
periorbital/tergantung.
6) Observasi perubahan status mental, perilaku atau tingkat kesadaran.
Kolaborasi
Pemeriksaan laboratorium : elektrolit, BUN, kreatinin.
o Ambil urine untuk kultur dan sensitivitas.
o Berikan obat sesuai indikasi, contoh : Asetazolamid (diamox), alopurinol (ziloprim).
o Hidroklorotiazid (esidrix, hidroiuril), klortalidon (higroton).
o Amonium Klorida; kalium atau natrium fosfat (sal hepatica).
o Agen antigout, contoh alupurinol (ziloprim).
o Antibiotik.
o Natrium bikarbonat.
o Asam askorbat.
o Pertahankan patensi kateter tak menetap (ureteral atau nefrostomi) bila digunakan.
o Irigasi asam atau larutan alkalin sesuai indikasi.
o Siapkan
pasien/
bantu
untuk
procedure
endoskopi,
contoh:
Prosedur basket.
o Stents uretral.
o Pielolitotomi terbuka atau perkutaneus, nefrolitotomi, ureterolitotomi.
N : 80-100 x/menit
S : 36- 37 o C
P : 12-20 x/menit
Turgor kulit elastik
Membran mukosa lembab
Intake dan output seimbang
Rencana Tindakan :
1) Awasi pemasukan dan pengeluaran.
2) Catat insiden muntah, diare, perhatikan karakteristik dan frekuensi muntah dan diare, juga
kejadian yang menyertai atau mencetuskan.
3) Tingkatkan pemasukan cairan sampai 3-4 l/hari dalam toleransi jantung.
4) Awasi tanda-tanda vital, evaluasi nadi, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa.
5) Timbang berat badan tiap hari.
Kolaborasi
Awasi pemeriksaan laboratorium : Hb, Ht, elektrolit.
o Berikan cairan IV.
o Berikan diet tepat, cairan jernih, makanan lembut sesuai toleransi.
o Berikan obat sesuai indikasi : antiemetic, contoh : proklorperazin (compazin).
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurangnya
informasi.
Tujuan : Klien dan keluarga dapat meningkatkan pengetahuan tentang penyakitnya setelah dilakukan
asuhan keperawatan.
- Klien mampu mengungkapkan pemahaman tentang proses penyakit.
- Klien mampu menghubungkan gejala dan faktor penyebab
- Klien mampu melakukan perubahan perilaku dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Rencana Tindakan :
1) Kaji ulang proses penyakit dan harapan masa datang.
2) Tekankan pentingnya peningkatan pemasukan cairan, contoh 3-4 L/hari atau 6-8 L/hari.
Dorong klien untuk melaporkan mulut kering, dieresis berlebihan/ berkeringat dan untuk
meningkatkan pemasukan cairan baik bila haus atau tidak.
3) Kaji ulang program diet, sesuai individual.
4) Diet rendah purin contoh membatasi daging berlemak, kalkun, tumbuhan polong, gandum,
alkohol.
5) Diet rendah kalsium, membatasi susu, keju, sayur berdaun hijau, yogurt.
6) Diet rendah oksalat contoh pembatasan coklat minuman mengandung kafein, bit, bayam.
7) Diet rendah kalsium/fosfat.
8) Diskusikan program obat-obatan, hindari obat yang dijual bebas dan membaca semua label
produk/ kandungan dalam makanan.
9) Mendengar dengan aktif tentang program terapi/perubahan pola hidup.
10) Identifikasi tanda/gejala yang menentukan evaluasi medik. Contoh, nyeri berulang,
hematuria, oliguria
11) Tunjukan perawatan yang tepat terhadap insisi/ kateter bila ada
Post-Operasi
Tujuan :
1)
2)
3)
4)
5)
Tujuan :
1)
2)
3)
4)
5)
1)
2)
3)
4)
5)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Tujuan : Klien dapat menunjukan pola eliminasi normal setelah dilakukan asuhan
keperawatan.
Pasien dapat berkemih dengan baik
Warna urine kuning jernih
Klien dapat berkemih spontan bila kateter dilepas
Rencana Tindakan :
Kaji pola berkemih normal pada pasien.
Kaji keluhan disetensi kandung kemih tiap 4 jam.
Ukur intake dan output cairan.
Observasi warna urine, bau dan jumlah urine.
Anjurkan pasien minum air putih 2-3 L/hari kecuali bila ada kontra indikasi.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya kateter, insisi pembedahan.
Tujuan : Klien tidak menunjukan tanda-tanda infeksi setelah dilakukan asuhan keperawatan.
Suhu dalam batas normal
Insisi kering dan penyembuhan mulai terjadi
Drainage dari selang dan kateter kuning jernih/bersih
Rencana Tindakan :
Kaji dan laporkan tanda dan gejala adanya infeksi (demam, nyeri tekan, pus).
Ukur suhu tiap 4 jam.
Ganti balutan dengan sering, pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu
Anjurkan pasien menghindari/menyentuh insisi, balutan dan drainage.
Pertahankan teknik steril untuk mengganti balutan dan melakukan perawatan luka..
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi antibiotik.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari makalah ini kami dapat menarik kesimpulan bahwa kebutuhan eliminasi urine
merupakan bagian dari kebutuhan fisiologis dan bertujuan untuk mengeluarkan bahan sisa.
Dimana sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal,
kandung kemih, dan uretra. Mekanisme berkemih terjadi karena vesika urinaria berisi urine
yang dapat menimbulkan rangsangan, melalui medulla spinalis dihantarkan ke pusat
pengontrol berkemih yang terdapat di korteks serebral, kemudian otak memberikan
impuls/rangsangan melalui medulla spinalis ke neuromotoris di daerah sakral, serta terjadi
koneksasi otot detrusor dan relaksasi otot sfingter internal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi urine yaitu : diet dan asupan, respon
keinginan awal untuk berkemih, gaya hidup, stres psikologis, tingkat aktivitas, tingkat
perkembangan, kondisi penyakit, sosiokultural, kebiasaan seseorang, tonus otot, pembedahan,
dan pengobatan.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit diare sering disebut dengan Gastroenteritis, yang masih merupakan
masalah masyarakat indonesia. Dan diare merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pada anak di negara berkembang.
Gastroenteritis atau diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk
tinja yang encer dengan frekwensi yang lebih banyak dari biasanya (Mansjoer Arief dkk, 1999)
Diperkirakan angka kesakitan berkisar antara 150-430 per seribu penduduk setahunnya.
Dengan uapaya yang sekaranag telah dilaksanakan, angka kematian di RS dapat ditekan menjadi
kurang dari 3%. Dengan demikian di Indonesia diperkirakan ditemukan penderita diare sekitar 60
juta kejadian setiap tahunnya. Sebagian besar antara 70-80% dari penderita adalah anak dibawah
umur 5 tahun (kurang lebih 40 juta kejadian). Sebagian dari penderita (1-2%) akan jatuh kedalam
dehidrasi dan apabila tidak segera ditanggulangi dengan benar akan berakibat buruk. Untuk itu saya
tertarik membuat Asuhan Keperawatan Kepada Ny.S umur 23 tahun dengan Gastroenteritis di
Balai Pengobatan AS SYIFA Desa Waru Kulon Pucuk Lamongan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Gastroenteritis atau diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk
tinja yang encer dengan frekwensi yang lebih banyak dari biasanya (Mansjoer Arief dkk, 1999)
Gastroenteritis adalah inflamasi pada daerah lambung dan intestinal yang disebabkan oleh
bakteri yang bermacam-macam, virus dan parasit yang patogen (Whaley dan wangs, 1995)
2.2 Etiologi
Penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor yaitu :
a) Faktor infeksi
Infeksi internal adalah infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare
meliputi :
1) Infeksi Bakteri : vibrio E.coli Salmonella, Shigella, Campyio bacter, Aeromonas
2) Infeksi virus : Enteriviru ( virus echo, coxsacle, poliomyelitis ), Adenovirus, Astrovirus, dll
3) Infeksi parasit : Cacing (ascaris, trichuris, oxyguris) Protozoa (entamoeba histoticia, trimonas
hominis), Jamur (candida albacus)
Infeksi parental adalah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut (OMA),
Bronco pneumonia, dan sebagainya.
b) Faktor Malabsorbsi
1) Malabsorbsi karbohidrat
2) Malabsorbsi Lema
c) Faktor Makanan
Makanan yang tidak bersih, basi, beracun dan alergi terhadap makanan.
2.3 Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare.
1) Gangguan asmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan mengakibatkan tekanan
asmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga
usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkan sehingga timbul
diare.
2) Gangguan sekresi
Akibat adanya rangsangan toksin pada dinding uterus sehingga akan terjadi peningkatan
sekresi, air dan elektrolit kedalam rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat
peningkatan isi rongga usus.
3) Gangguan motilitas usus
Hiperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan
sehingga timbul diare. Bila peristaltik menurun akan menyebabkan bakteri tumbuh berlebihan,
sehingga timbul diare juga.
Penyebab
1) Faktor penyebab yang mempengaruhi adalah penetrasi yang merusak sel mukosa
2) Faktor penjamu adalah kemampuan pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme
c) Manifestasi klinis
Pasien sering mengalami muntah, nyeri perut akibat diare akibat infeksi dan menyebabkan pasien
merasa haus, lidah kering, turgor kulit menurun karena kekurangan cairan.
2.4.2 Diare Kronik
Adalah diare yang berlangsung lebih dari 3 minggu bagi orang dewasa dan 2 minggu bagi bayi dan
anak.
2.5 Patofisiologi
Dipengaruhi dua hal pokok yaitu konsistensi feses dan motilitas usus gangguan proses
mekanik dan enzimatik disertai gangguan mukosa akan mempengaruhi pertukaran air dan elektrolit
sehingga mempengaruhi konsistensi feses yang terbentuk.
2.6 Komplikasi
Akibat diare karena kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak dapat terjadi berbagai
komplikasi sebagai berikut :
a) Dehidrasi
b) Renjatan hipofolomi
c) Hipokalemi
d) Hipoglikemi
e) Kejang, terjadi pada dehidrasi hipertonik
f) Malnutrisi energi protein (akibat muntah dan diare jika lama atau kronik)
2.7 Pengobatan
Prinsip pengobatan diare adalah menggantikan cairan yang hilang melalui tinja dengan atau
tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain (gula,air
tajin, tepung beras dan sebagainya).
1) Obat anti sekres
a) Asetosal, dosis 25 mg/th,dengan dosis minimum 30 mg
b) Klorpromazin, dosis 0,5-1 mg/kg BB/hr
2) Obat spasmolitik
Seperti papaverin, ekstrak beladona, opinum loperamid, tidak untuk mengatasi diare akut lagi.
3) Antibiotik
Tidak diberikan bila tidak ada penyebab yang jelas, bula penyebab kolera, diberikan tetrasiklin
25-50 mg/kg BB/hr. Juga diberikan bila terdapat penyakipenyerta seperti : OMA, faringitis, bronkitis,
atau bronkopneumonia ( Ngastiyah, 1997 : 149)
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Medik
Dasar pengobatan diare adalah pemberian cairan, dietetik (cara pemberian makanan) dan obatobatan.
Pemberian cairan
Pemberian cairan pada pasien diare dengan mempertahankan derajat dehidrasi dan keadaan umum.
1) Cairan per oral
Pada pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang cairan diberikan per oral beberapa cairan yang
berisikan NaCL,NaHCO3,KCL dan Glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak diatas umur 6 bulan
dengan dehidrasi ringan/sedang, kadar Natrium 50-60 mEg/1 formula lengkap sering disebut oralit.
Sebagai pengobatan sementara yang dibuat sendiri (formula tidak lengkap) hanya air gula dan garam
(NaCL dan sukrosa) atau air tajin yang diberi garam dan gula.
2) Cairan parental
Pada umumnya digunakan cairan Ringel laktat (RL) yang pemberiannya bergantung pada berat
ringannya dehidrasi, yang diperhitungkan dengan kehilangan cairan sesuai umur dan berat badannya
(Ngastiyah, 1997 : 146)
BAB 3
TINJAUAN KASUS
3.1 PENGKAJIAN
MRS
: 02 Mei 2013
No Ruangan
:5
A.Identitas Pasien
Nama pasien
Jenis kelamin
: Ny. S
: Perempuan
Umur
: 23 Tahun
Alamat
Agama
: islam
Pekerjaa
: Swasta
Suku bangsa
: Jawa
: Tn. F
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
Agama
: Islam
Pendidikan
: SMP
B. Riwayat Kesehatan
I. Keluhan Utama
Saat MRS
Saat pengkajian
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Kesadaran
: composmentis
TTV
Kepala : Bentuk kepala bulat, warna rambut hitam, tidak ada benjolan,kulit kepala bersih.
b.
Mata
: Simetris, tidak ada sekret, konjungtiva merah muda, sklera putih, mata cowong.
c.
Mulut
d.
Hidung
: Simetris, tidak ada sekret, tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada polip.
e.
Telinga
f.
Leher
: Tidak ada pembesaran kenjar tyroid, limphe, tidak ada bendungan vena jugularis,
tidak ada kaku kuduk.
g. Dada
Inspeksi
: dada simetris, bentuk bulat datar, pergerakan dinding dada simetris, tidak ada
retraksi otot bantu pernapasan.
Palpasi
Perkusi
Auskultasi : Irama nafas teratur, suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.
h. Perut
Inspeksi : simetris
Auskultasi : Peristaltik meningkat 40x/mnt
Palpasi : Turgor kulit tidak langsung kembali dalam 1 detik
Perkusi
: Hipertimpan,perut kembung
Punggung : Tidak ada kelainan tulang belakang (kyfosis, lordosis, skoliosis) tidak ada nyeri gerak.
Genetalia : jenis kelamin perempuan, tidak odem, tidak ada kelainan, kulit perineal kemerahan
Anus
Ekstremitas
:5x/hari
BAB
Hasil Pemeriksaan
Nilai Normal
- (Negatif)
Negatif
Tes widal
-O
-H
1/80
Negatif
-PA
- (Negatif)
Negatif
-PB
-(Negatif)
Negatif
Therapy :
1. Infus RL 15 tpm (750 cc) : Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang.
2. Injeksi Novalgin 3x1 amp (metampiron 500 mg/ml) : Golongan Analgesik
3. Injeksi Ulsikur 3x1 amp (simetidina 200mg/ 2ml) : Antasida dan Ulkus
4. Injeksi Cefotaxime 3x1 amp (sefotaksim 500mg/ml) : Antibiotik.
: Ny. S
No. Ruangan
:5
: 23 tahun
Data
Masalah keperawatan
Etiologi
rasa
nyaman Hiperperistaltik
3.4 INTERVENSI
No.
Tujuan dan KH
Intervensi
Rasional
Dx
1
Setelah
Dilakukan
1. pantau
tanda
kekurangan
1.
Tindakan Keperawatan cairan
2.
2x24 Jam denganTujuan :
2. observasi/catat hasil intake
volume
cairan
dan
3.
elektrolit dalam tubuh output cairan
seimbang
(kurangnya
4.
3. anjurkan klien untuk banyak
cairan dan elektrolit
terpenuhi)
minum
Dengan KH :
-
Turgor
kembali.
kulit
4.
cepat
5.
Setelah
dilakukan
1.
tindakan
keperawatan
2x24 jam dengan Tujuan :
rasa nyaman terpenuhi,
2.
klien terbebas
dari
distensi
abdomen
dengan KH :
3.
perawatan
tanda
5. mengganti cairan yang keluar dan
mengatasi diare
Klien
mengungkapkan
- Berikan obat sesuai indikasi 3. Dengan kompres hangat, distensi
verbal (-)
abdomen
akan
mengalami
relaksasi, pada kasus peradangan
- Steroid oral, IV, & inhalasi
Wajah rileks
akut/peritonitis
akan
- Analgesik : injeksi novalgin 3x1 menyebabkan penyebaran infeksi.
Skala nyeri 0-3
amp (500mg/ml)
4. Kortikosteroid untuk mencegah
- Antasida dan ulkus : injeksi reaksi alergi.
ulsikur 3x1 amp (200mg/ 2ml)
5. Analgesik untuk mengurangi nyeri.
Setelah
Dilakukan
1.
Tindakan Keperawatan
2.
2x24 Jam denganTujuan
: Konsistensi BAB lembek,
frekwensi 1 kali perhari
3.
dengan KH :
4.
Tanda vital dalam batas
normal (N: 120-60 x/mnt,
S; 36-37,50 c, RR : < 40
5.
x/mnt )
Leukosit : 4000 11.000
Mengobservasi TTV
(500mg/ml)
: Ny. S
Umur
No.ruangan
:5
: 23 tahun
TGL/
NO.
JAM
Dx
Jumat,
03/5/13
1,2,3 -
IMPLEMENTASI
RESPON PS
16.00
16.15
1
-
Menentukan
kekurangan cairan
tanda-tanda
Memberikan obat:
16.25
1,2
Menganjurkan
banyak minum
untuk
klien
TTD
DS : -
21.00
Menganjurkan
klien
untuk DO : TD = 100/70, S = 380, N =
istirahat dan melakukan kompres 100x/mnt, RR = 20x/mnt
hangat pada daerah perut
Mengobservasi TTV
1,2
Sabtu,04/5/13 1,3
DO : Keluarga kooperatif
06.30
07.30
DS : -
Memberikan obat:
2,3
Observasi/catat
output cairan
hasil
Menganjurkan makan
porsi sedikit tapi sering.
dalam
DS : pasien mengatakan
minum sesering mungkin
akan
1,3
Memberikan obat:
11.30
DS : -
DO : TD = 100/70, S = 370, N =
100x/mnt, RR = 22x/mnt
1,2
14.00
3,2 -
Mengopservasi TTV
Minggu,
05/5/13
dalam
1,2,3
06.00
Mengopservasi
dehidrasi
06.30
tanda
tanda
DS : Memberikan obat
08.00
1,3
Observasi leukosit
08.30
10.00
2,3
DO : Leukosit : 8600/mm3
Hitung jenis leukosit : 1-3/2-6/5070/20-80/2-8
No.
Hari/tgl
Catatan Perkembangan
Dx
1.
2.
Skala nyeri 3
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi 1,3,4,5 dan 6 dilanjutkan
3.
TTD
- Klien merasa
porsi makannya
mual
sehingga
tidak
menghabiskan
1.
Sabtu,04/5/2013
2.
3.
S : Klien mengatakan bahwa BAB sudah lembek 1-2/hari mual
sudah berkurang, tidak muntah lagi.
O : - Klien BAB 1-2x/hari, konsistensi sedikit lunak
-
1.
Minggu,
05/5/2013
2.
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah melakukan Asuhan keperawatan pada Ny. S dengan Gastroenteritis didapatkan
kesimpulan bahwa dalam pengkajian telah dilakukan anamnesa yang meliputi data subjektif dan
obyektif. Dari pengkajian tersebut diambil suatu diagnosa dan masalah berdasarkan data yang
menunjang untuk diambil suatu diagnosa. Setelah melakukan pengkajian pada Ny. S didapatkan
diagnosa bahwa Ny. S degan Gastroenteritis dengan masalah gangguan keseimbangan cairan dan
resiko kerusakan integritas kulit.
Intervensi yang diberikan disesuaikan dengan ketentuan yang ada, sedangkan dalam
penerapannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Evaluasi dilakukan setelah
implementasi dilakukan. Dalam evaluasi Ny. S menunjukkan suatu kemajuan yaitu frekwensi BAB
mulai berkurang, dehidrasi dapat ditangani, resiko kerusakan integritas kulit yang lebih parah tidak
terjadi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat
diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi juga
dapat diartikan sebagai keadaan dimana membengkaknya jaringan dinding dubur (anus) yang mengandung
pembuluh darah balik (vena), sehingga saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan feses dan
kesulitan untuk melakukan buang air besar. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut
usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus, red) lebih lambat dan
kemungkinan sebab lain yakni penggunaan obat-obatan seperti aspirin, antihistamin, diuretik, obat penenang
dan lain-lain. Kebanyakan terjadi jika makan makananan yang kurang berserat, kurang minum, dan kurang
olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Kasus konstipasi umumnya
diderita masyarakat umum sekitar 4% sampai 30% pada kelompok usia 60 tahun ke atas. Ternyata wanita lebih
sering mengeluh konstipasi dibanding pria dengan perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden konstipasi meningkat
seiring bertambahnya umur, terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang berusia usia 65
tahun ke atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34% wanita dan pria 26%. Di Inggris ditemukan 30%
penduduk di atas usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar . Di Australia
sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding
pria. Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh
menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas.
Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya,
bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya. Penyebab
konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer.
Bisa juga karena faktor kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak
normal atau kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik.
Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya adalah mengonsumsi serat yang
cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika penderita konstipasi ini
mengalami kesulitan mengunyah, misalnya karena ompong, caranya haluskan sayur atau buah tersebut
dengan diblender.
A. Pengertian
Berikut pengertian konstipasi dari beberapa sumber sebagai berikut:
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang, disertai dengan kesulitan
keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006).
Konstipasi adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup jumlahnya, berbentuk keras
dan kering (Oenzil, 1995).
Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut konsistensi tinja dan
frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai 4 minggu, sedangkan dikatakan kronik jika
lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).
Konstipasi adalah kesulitan atau jarang defekasi yang mungkin karena feses keras atau kering sehingga
terjadi kebiasaaan defekasi yang tidak teratur, faktor psikogenik, kurang aktifitas, asupan cairan yang tidak
adekuat dan abnormalitas usus. (Paath, E.F. 2004) .
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan frekunsi defekasi, yang
diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah
suatu tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat, masa feses lebih lama
terpapar pada dinding usus dan sebagian besar kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air
ditinggalkan untuk melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat
menimbulkan nyeri pada rektum. (Potter & Perry, 2005).
Normalnya pola defekasi yang biasanya setiap 2 sampai 3 hari sekali tanpa ada kesulitan, nyeri, atau
perdarahan dapat dianggap normal.
B. Tipe Konstipasi
Berdasarkan International Workshop on Constipation, adalah sebagai berikut:
1. Konstipasi Fungsional
Kriteria:
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan:
a.
C. Etiologi
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk defekasi dapat menyebabkan
konstipasi.
2. Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya daging, produk-produk susu, telur)
dan karbohidrat murni (makanan penutup yang berat) sering mengalami masalah konstipasi, karena bergerak
lebih lambat didalam saluran cerna. Asupan cairan yang rendah juga memperlambat peristaltik.
3. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur menyebabkan konstipasi.
4. Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi normal. Selain itu, kolon bagian bawah
yang dikosongkan dengan sempurna, memerlukan waktu untuk diisi kembali oleh masa feses.
5. Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek menciutkan dan kerja yang lebih
secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan
dapat menyebabkan diare pada sebagian orang), diuretik, antasid dalam kalsium atau aluminium, dan obatobatan antiparkinson dapat menyebabkan konstipasi.
6. Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen, dan penurunan sekresi
mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat.
7. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI (gastrointestinal), seperti obstruksi usus, ileus
paralitik, dan divertikulitus.
8. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya cedera pada medula spinalis, tumor)
dapat menyebabkan konstipasi.
9. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau hypokalemia dapat menyebabkan
konstipasi.
Ada juga penyebab yang lain dari sumber lain, yaitu:
10. Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi dengan menghambat gerak
peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf simpatis. Stres juga dapat menyebabkan usus
spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi colon ). Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah
kram pada abdominal, meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya antara diare dan
konstipasi.
11. Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada orang tua turut berperan
menyebabkan konstipasi.
D. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja otot-otot
polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan
kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah
karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal (Dorongan untuk defekasi secara normal
dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain: rangsangan refleks penyekat rektoanal,
relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan
tekanan intra-abdomen). Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai
dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan
meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran
feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang
depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna
diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding
perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik
persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang tumpang
tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak
terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari
perjalanan saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena
bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak mendapatkan
adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu
pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah
dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan
perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur,
dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon
sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid. Pemeriksaan elektrofisiologis untuk
mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik
dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga
berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu gerakan
usus.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang meningkat,
disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif
dari sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat
refleks gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan
dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk
mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat
berakibat penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada mereka yang
mengalami konstipasi dapat mengalami tiga perubahan patologis pada rektum, sebagai berikut:
1. Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan peningkatan
ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter
eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang
tidak disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena
tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia,
imobilitas, atau sakit daerah anus dan rektum
2. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan
secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.
3. Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon yang spastik seperti
pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.
E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain, karena pola makan,
hormon, gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang berbeda-beda, tetapi biasanya tanda dan gejala yang
umum ditemukan pada sebagian besar atau kadang-kadang beberapa penderitanya adalah sebagai berikut:
1. Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena tumpukan tinja (jika tinja sudah tertumpuk sekitar
1 minggu atau lebih, perut penderita dapat terlihat seperti sedang hamil).
2. Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada biasanya, dan jumlahnya lebih sedikit
daripada biasanya (bahkan dapat berbentuk bulat-bulat kecil bila sudah parah).
3. Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang harus mengejan
ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan tinja.
4. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
5. Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit akibat bergesekan dengan tinja yang
panas dan keras.
6. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk daripada biasanya (jika kram perutnya parah,
bahkan penderita akan kesulitan atau sama sekali tidak bisa buang
7. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit buang air besar (biasanya buang air
besar menjadi 3 hari sekali atau lebih).
8. Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika sudah parah.
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan
terjadi dalam waktu 3 bulan :
1. Konsistensi feses yang keras,
2. Mengejan dengan keras saat BAB,
3. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB, dan
4. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.
F. Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan kelainan yang jelas. Namun
demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi
mempengaruhi fungsi usus besar.
Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir mulut dan
tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan. Perabaan permukaan
perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar,
adanya tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan,
pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja.
Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus besar serta
mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia,
fissure (retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang
bisa mengganggu proses buang air besar.
Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya
darah.
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko konstipasi seperti gula
darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan
tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja
atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya
darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian
orang konstipasi hanya sekadar mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan komplikasi serius.
Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%), usus besar (20%), dan pangkal usus besar (10%). Hal ini
menyebabkan kesakitan dan meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi menimbulkan
o
akibat yang fatal. Pada konstipasi kronis kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5 C , delirium (kebingungan
dan penurunan kesadaran), perut tegang, bunyi usus melemah, penyimpangan irama jantung, pernapasan
cepat karena peregangan sekat rongga badan. Pemadatan dan pengerasan tinja berat di muara usus besar bisa
menekan kandung kemih menyebabkan retensi urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya kendali otot lingkar
dubur, sehingga keluar tinja tak terkontrol. Sering mengejan berlebihan menyebabkan turunnya poros usus.
G. Penatalaksanaan
Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi, merangsang upaya untuk
memberikan pengobatan secara simptomatik. Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus ditujukan pada
penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka panjang terutama yang bersifat merangsang
peristaltik usus, harus dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi:
1. Pengobatan non-farmakologis
a.
gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan
reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap
tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
b. Diet:
Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut. Data epidemiologis
menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macammacam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa
dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan
cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
c.
Olahraga:
Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang
dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk
memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut.
2. Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan biasnya dipakai obat-obatan
golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
a.
Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose, Psilium.
b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga
mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak kastor, golongan dochusate.
c.
Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal
ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
d. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu
diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak
pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara tersebut di atas, mungkin
dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini
dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta
tidak ada respons dengan pengobatan yang diberikan. Pasa umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena
massa atau adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.
H. Pencegahan
Berikut beberapa pencegahan untuk mencegah terjadinya konstipasi:
1. Jangan jajan di sembarang tempat.
2. Hindari makanan yang kandungan lemak dan gulanya tinggi.
3. Minum air putih minimal 1,5 sampai 2 liter air (kira-kira 8 gelas) sehari dan cairan lainnya setiap hari.
4. Olahraga, seperti jalan kaki (jogging) bisa dilakukan. Minimal 10-15 menit untuk olahraga ringan, dan minimal 2
jam untuk olahraga yang lebih berat.
5. Biasakan buang air besar secara teratur dan jangan suka menahan buang air besar.
6. Konsumsi makanan yang mengandung serat secukupnya, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran.
7. Tidur minimal 4 jam sehari.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KONSTIPASI
Biodata Pasien
b. Keluhan Utama
c.
Riwayat Kesehatan
d. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi tentang awitan dan durasi konstipasi, pola emliminasi
saat ini dan masa lalu, serta harapan pasien tentang elininasi defekasi. Informasi gaya hidup harus dikaji,
termasuk latihan dan tingkat aktifitas, pekerjaan, asupan nutrisi dan cairan, serta stress. Riwayat medis dan
bedah masa lalu, terapi obat-obatan saat ini, dan penggunaan laksatif serta enema adalah penting. Pasien
harus ditanya tentang adanya tekanan rektal atau rasa penuh, nyeri abdomen, mengejan berlebihan saat
defekasi, flatulens, atau diare encer.
e.
f.
Pemeriksaan Fisik
g.
h. Analisa Data
Pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap warna, bau, konsistensi, ukuran, bentuk, dan
komponen. Abdomen diauskultasi terhadap adanya bising usus dan karakternya. Distensi abdomen
diperhatikan. Area peritonial diinspeksi terhadap adanya hemoroid, fisura, dan iritasi kulit.
2. Diagnosa
a.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan.
c.
3. Intervensi
4. Implementasi
5. Evaluasi
: Evart
Tanggal lahir
: 5 November 1945
Jenis kelamin
: Laki-laki
Tanggal MRS
: 30 November 2010
Alamat
: Surabaya
Diagnosa Medis
: Konstipasi
Sumber Informasi
Keluhan utama
Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian bawah. Kakek mengatakan bahwa sudah
seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak pernah menghabiskan
porsi makan sehari-harinya. Selain itu, kakek mengaku mudah lelah untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Riwayat kesehatan keluarga
Review of system
a.
B1 (Breath)
:-
: RR meningkat
b. B2 (Blood)
c.
B3 (Brain)
d. B4 (Bladder) : e.
B5 (Bowel)
f.
B6 (Bone)
:-
keadaan umum
b. TTV
: lemah
: tekanan darah 130/95 mmHg, nadi : 90x/mnt, RR 23x/mnt
Inspeksi
: pembesaran abdomen
b. Palpasi
c.
: redup
Perkusi
d. Auskultasi
Analisa Data:
No
Data
Etiologi
Masalah
1.
Data subjektif :
Konstipasi
konstipasi
Data subjektif:
Sulit BAB
Nafsu
makan menurun
Menurunnya intake
makanan
3.
Data subjektif:
Keluhan nyeri dari pasien
Data objektif:
konsistensi
yang keras
sulit keluar
Nyeri abdomen
2. Diagnosa
a.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan.
c.
Diagnosa
Tujuan
Kriteria hasil
Intervensi
Rasional
1. Mandiri:
a. Tentukan pola defekasi bagi klien dan latiha. Untuk mengembalikan keteraturan pola
defekasi klien
b. Diagnosa
Tujuan
: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan
: menunjukkan status gizi baik
Kriteria Hasil :
1) Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
2) Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
3) Nilai laboratorium dalam batas normal
4) Melaporkan keadekuatan tingkat energi
Intervensi
Rasional
1. Mandiri:
a. Buat perencanaan makan dengan pasien
a.
untuk dimasukkan ke dalam jadwal
makan.
b.
b. Dukung anggota keluarga untuk
membawa makanan kesukaan pasien
dari rumah.
c.
2. Kolaborasi:
a. Observasi:
1) Pantau nilai laboratorium, seperti Hb,
albumin, dan kadar glukosa darah
c.
Diagnosa
Tujuan
Kriteria Hasil
1) Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan
2) Mempertahankan tingkat nyeri pada skala kecil
3) Melaporkan kesehatan fisik dan psikologisi
4) Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri
5) Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgesik dan non-analgesik secara tepat
Intervensi
Rasional
1. Mandiri:
a. Bantu pasien untuk lebih berfokus padaa. Klien dapat mengalihkan perhatian dari
aktivitas dari nyeri dengan melakukan
nyeri
penggalihan melalui televisi atau radio.
b. Perhatikan bahwa lansia mengalami
peningkatan sensitifitas terhadap efek
analgesik opiat
b. Hati-hati dalam pemberian anlgesik
c. Perhatikan kemungkinan interaksi obat opiate
obat dan obat penyakit pada lansia
2. Kolaborasi
a. Observasi
1) Minta pasien untuk menilai nyeri atau
ketidak nyaman pada skala 0 10
2) Gunakan lembar alur nyeri
3) Lakukan pengkajian nyeri yang
komperhensif
a. Observasi
b. Health education
1) Instruksikan pasien untuk
meminformasikan pada perawat jika
pengurang nyeri kurang tercapai
b. Health Education
1) Perawat dapat melakukan tindakan yang
tepat dalam mengatasi nyeri klien
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat
diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi bisa
terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya, bingung caranya
buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena
faktor sistemik, efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor
kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada
rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik. Mencegah konstipasi secara
umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah
diperoleh adalah pada buah dan sayur.
B. Saran
Saran dari kami tim penulis adalah sebaiknya bagi penderita kuncinya adalah dengan mengonsumsi
makanan yang berserat.