Vous êtes sur la page 1sur 6

ANEMIA HEMOLITIK

A. Definisi
Anemia adalah penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Keadaan
anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit
(red cell count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian
hematokrit (Hoffbrand, 2005).
Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemi yang terjadi oleh karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikut dengan ketidakmampuan sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk mememenuhi kebutuhan tubuh
terhadap berkurangnya sel eritrosit, penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya hiperplasi sum-sum tulang sehingga produksi sel eritrosit akan
meningkat dari normal, hal ini terjadi bila umur eritrosit kurang dari 120 hari menjadi 1520 hari tanpa diikuti dengan anemia. Namun bila sum-sum tulang tidak mampu mengatasi
keadaan tersebut maka akan terjadi anemia (Price and Wilson, 2006)

B. Etiologi dan Epidemiologi


Anemia hemolitik berdasarkan etiologi nya salah satunya dapat disebabkan oleh
defisiensi G6PD. Pada defisiensi G6PD, maka mebran eritrosit akan lebih rentan terhadap
stress oksidan dan akan lebih mudah menimbulkan kerapuhan dikarenakan tidak kuatnya
membran dari eritrosit tersebut. Prevalensi dari defisiensi G6PD adalah 1 : 100.000
populasi. Dikarenakan defisiensi ini berasal dari X linked, jadi lebih banyak laki-laki yang
terkena (Bakta, 2007).

C. Patofisiologi
Pada sel darah merah orang normal, terdapat

enzim glukosa-6-fosfat

dehidrogenase (G6PD) yang berguna untuk mengkatalisa oksidasi glukosa-6-fosfat


menjadi bentuk 6-fosfoglukonat bersamaan dengan pengurangan bentuk teroksidasi
NADP+ menjadi bentuk NADPH. NADPH berguna untuk mempertahankan glutation
dalam bentuk tereduksi. Glutation tereduksi berperan sebagai pemulung untuk zat-zat
oksidatif berbahaya di dalam sel, termasuk sel darah merah. Dengan bantuan glutation
peroksidase, glutation tereduksi juga dapat mengubah H2O2 (hidrogen peroksida) ke

bentuk H2O (air). Dengan tetap dipertahankannya bentuk glutation tereduksi ini dengan
tetap adanya NADPH dari reaksi yang dikatalisa oleh enzin G6PD, maka stress oksidatif
yang ada di dalam sel pun dapat diminimalisir sehingga keutuhan membrane sel tetap
terjaga (Carter, 2012).
Pada pasien penderita defisiensi G6PD, pasien mengalami kekurangan enzim
G6PD yang berakibat pada keutuhan membran sel darah merah. Defisiensi G6PD
disebabkan oleh adanya mutasi gen yang memproduksi enzim G6PD. Pada defisiensi
G6PD membran sel darah merah menjadi rentan terhadap stress oksidatif sehingga mudah
pecah dan terjadi hemolisis. Di bawah pengaruh obat yang merupakan oksidan, maka akan
mempermudah pasien mengalami hemolisis dan memberikan gejala-gejala seperti yang
dikeluhkan oleh pasien pada kasus (lemas dan pucat setelah minum obat penurun panas)
(Carter, 2012)
Pucat seringkali dikaitkan dengan anemia.

Menurut definisi, anemia adalah

berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah, kuantitas
hemoglobin, dan hematokrit. Pada defisiensi G6PD, terdapat pengurangan jumlah sel
darah merah yang disebabkan oleh banyaknya hemolisis yang terjadi sehingga
hemoglobin pun keluar. Selain itu penurunan jumlah sel darah merah akibat hemolisis
secara langsung juga mengurangi volume sel darah merah dalam 100ml darah
(hematokrit) dari ketiga hal tersebut, maka dapat dikatakan pasien menderita anemia.
Anemia yang dialami oleh pasien bertipe hemolitik karena anemia yang dialami oleh
pasien diakibatkan dari lisisnya sel darah merah (Priyana, 2007)
Berkurangnya hemoglobin mengakibatkan pasien mengalami keadaan hipoksia
(berkurangnya oksigen) karena hemoglobin dalam sel darah merah berguna untuk
mengangkut oksigen dan mengantarkannya ke jaringan. Pada hemoglobinemia, respon
tubuh adalah melakukan vasokonstriksi untuk memaksimalkan penghantaran oksigen
yang ada ke organ-organ vital (tidak termasuk kulit), sehingga akan didapatkan keadaan
kulit yang pucat. Bantalan kuku, telapak tangan, membran mukosa mulut serta
konjungtiva merupakan indicator yang lebih baik untuk menilai pucat (Price and Wilson,
2007)
Hemoglobin yang keluar dari sel darah merah akan dipecah menjadi heme dan
globin. Heme yang mengandung besi dan porfirin akan dipecah. Besi akan dibawa oleh
transferin dalam sirkulasi darah dan disimpan ke dalam sum-sum tulang dan hati untuk
dibentuk kembali menjadi pembentuk hemoglobin dalam sel darah merah, sedangkan
porfirin akan diubah menjadi pigmen empedu oleh hati. Pigmen yang pertama dibentuk

adalah biliverdian yang akan cepat diubah menjadi bilirubin bebas (bilirubin indirek) yang
akan berikatan dengan albumin dan dibawa ke hati untuk diubah menjadi bilirubin direk.
Bilirubin direk akan diubah menjadi urobilinogen oleh mikroorganisme usus untuk
dibuang melalui faeces (sterkobilinogen) dan direabsorbsi kembali kemudian dibuang
melalui urin. Urobilinogen dan sterkobilinogen akan teroksidasi menjadi bentuk urobilin
urin dan sterkobilin (Guyton, 2008).
Pada pemecahan sel darah merah yang meningkat, maka pembentukan bilirubin
indirek pun akan meningkat tetapi fungsi hati masih normal sehingga sel hati tidak dapat
mengekskresi bilirubin secepat pembentukannya. Oleh karena itu kadar bilirubin indirek
lebih meningkat daripada bilirubin direk. Bilirubin indirek adalah bilirubin yang tidak
larut air sehingga kurang mewarnai jaringan (Guyton, 2008).

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang tampak pada pasien anemia hemolitik antara lain (Bakta,,
2007).
Gejala umum: gejala anemia pada umumnya, Hb < 7g/dl.
Gejala hemolitik: diantaranya berupa ikterus akibat meningkatnya kadar bilirubin
indirek dlm darah, tapi tidak di urin (acholuric jaundice); hepatomegali, splenomegali,
kholelitiasis (batu empedu), ulkus dll.
E. Penegakan Diagnosis
Penegakan

diagnosis

dilakukan

berdasarkan

anamnesis

keluhan

pasien,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis biasa didapatkan pasien
mengeluh demam, pucat dan lemah. Pada pemeriksaan fisik keadaan pucat pada pasien,
tanda pasien mengalami anemia, pemeriksaan penunjang laboratorium berupa hasil yang
abnormal, yaitu Hb, neutrofil batang, LED, bilirubin direk, bilirubin total, urobilinogen,
urobilin, dan SADT (Bakta, 2007).
Beberapa hasil pemeriksaan lab yang menjurus pada diagnosis anemia hemolitik
adalah sebagai berikut (Bakta, 2007):

1. Sedian hapus darah tepi pada umumnya terlihat eritrosit normositik normokrom,
kecuali diantaranya thalasemia yang merupakan anemia mikrositik hipokrom.
2. penurunan Hb >1g/dl dalam 1 minggu
3. penurunan masa hidup eritrosit <120hari
4. peningkatan katabolisme heme, biasanya dilihat dari peningkatan bilirubin serum
5. Hemoglobinemia, terlihat pada plasma yang berwarna merah terang
6. Hemoglobinuria, jika urin berwarna merah, kecoklatan atau kehitaman
7. Hemosiderinuria, dengan pemeriksaan pengecatan biru prusia
8. Haptoglobin serum turun
9. Retikulositosis
F. Diagnosis Banding
Anemia Hemolitik perlu dibedakan dengan anemia berikut ini (Bakta, 2007):
1. Anemia pasca perdarahan akut dan anemia defisiensi besi, disini tidak ditemukan
gejala ikterus dan Hb akan naik pada pemeriksaan berikutnya. Sedangkan hemolitik
tidak.
2. Anemia hipoplasi/ eritropoiesis inefektif, disini kadang juga ditemukan acholurik
jaundice, tapi retikulositnya tidak meningkat.
3. Anemia yang disertai perdarahan ke rongga retroperitoneal biasanya menunjukkan
gejala mirip dg hemolitik, ada ikterus, acholuric jaundice, retikulosit meningkat.
Kasus ini hanya dapat dibedakan jika dilakukan pemeriksaan untuk membuktikan
adanya perdarahan ini.
4. Sindrom Gilbert, disertai jaundice, namun tidak anemi, tidak ada kelainan morfologi
eritrosit, dan retikulositnya normal.
5. Mioglobinuria, pada kerusakan otot, perlu dibedakan dengan hemoglobinuria dengan
pemeriksaan elektroforesis.
G. Tatalaksana
Tatalaksana tergantung keadaan klinis dan penyebab hemolisisnya, secara umum
dibagi 3 (Bakta, 2007):
1. Terapi gawat darurat; atasi syok, pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
perbaiki fungsi ginjal. Jika berat perlu diberi transfusi namun dengan pengawasan

ketat. Transfusi diberi berupa washed red cell untuk mengurangi beban antibodi.
Selain itu juga diberi steroid parenteral dosis tinggi atau juga bisa hiperimun globulin
untuk menekan aktivitas makrofag.
2. Terapi suportif-simptomatik; bertujuan untuk menekan proses hemolisis terutama di
limpa dengan jalan splenektomi. Selain itu perlu juga diberi asam folat 0,15 0,3
mg/hari untuk mencegah krisis megaloblastik.
3. Terapi kausal; mengobati penyebab dari hemolisis, namun biasanya penyakit ini
idiopatik dan herediter sehingga sulit untuk ditangani. Transplantasi sumsum tulang
bisa dilakukan contohnya pada kasus thalassemia.
Juga

dapat

dilakukan

pemberian

suplemen

penambah

darah

untuk

menghilangkan anemia dan pemberian anti-oksidan untuk mencegah terjadinya


anemia hemolitik ini (Rinaldi, 2009).

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita anemia hemolitik antara lain (Corwin,
2007) :

Insiden Vaso-okulatif mengakibatkan infark jaringan yang dapat menyebabkan rasa


nyeri yang hebat dan intens.

Terperangkapnya darah dalam limpa yang disebut sekuestrasi limpa

Stroke

Krisis aplastic

Nekrosis avaskular

I. Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan anemia hemolitik tergantung pada penyebab yang
mendasarinya. Secara keseluruhan, tingkat kematian rendah pada anemia hemolitik.
Namun, risikonya lebih besar pada pasien yang lebih tua dan pasien dengan gangguan
kardiovaskular. Morbiditas tergantung pada etiologi dari hemolisis dan gangguan yang
mendasari seperti anemia sel sabit atau malaria (Schick, 2012).

DAFTAR PUSTAKA
Bakta, MI. 2007. Hematologi klinis ringkas. Jakarta, EGC.
Carter, S.M. 2012. Glucose-6-phosphate deficiency. [Online]. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/200390-overview#a0104 . Diakses pada
14 April 2013.
Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta, EGC.
Guyton & Hall, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi XI. Jakarta, EGC.

Hoffbrand,A.V.2005.Kapita Selekta Hematologi,Ed.2. Jakarta: EGC.


Price, Sylvia A and Wilson, Lorraine M. 2007. Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta, EGC
Priyana, A. 2007. Patologi klinik untuk kurikulum pendidikan dokter berbasis
kompetensi. Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti.
Rinaldi, Ikhwan; Sudoyo, Aru W; Setiyohadi, Bambang; Alwi, Idrus. 2009. Anemia
Hemolitik non autoimun. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, interna Publishing.
Schick,

Paul.

2012.

Hemolytic

Anemia.

Available

http://emedicine.medscape.com/article/201066-overview#aw2aab6b2b5aa.
Diakses pada 14 April 2013.

at:

Vous aimerez peut-être aussi