Vous êtes sur la page 1sur 39

BAB I

PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering ditemukan.
Penyakit ini pada umumnya dimulai sejak masa anak-anak. Dilaporkan bahwa sejak dua
dekade terakhir prevalens asma meningkat, baik pada anak-anak maupun dewasa. Asma
mempunyai dampak negatif pada kehidupan penderitanya termasuk untuk anak, seperti
menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah dan membatasi kegiatan olah raga, maupun
aktivitas seluruh keluarga. Prevalens total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada
dewasa dan 10% pada anak).1,2,3,4
Terdapat variasi prevalens, angka perawatan dan mortalitas asma, baik regional
maupun lokal.5 Tidak mudah untuk membandingkan kejadian asma di berbagai negara
karena perbedaan tersebut belum jelas apakah prevalens memang berbeda atau karena
perbedaan kriteria diagnosis. Berbagai penelitian yang ada saat ini menggunakan definisi
penyakit asma yang berbeda sehingga untuk membandingkannya perlu mengetahui kriteria
yang dipergunakan oleh peneliti tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, telah dilaksanakan
penelitian multisenter di beberapa negara menggunakan definisi asma yang sama, dengan
menggunakan kuesioner baku. Salah satu penelitian multisenter yang dilaksanakan yaitu
International Study of Asthma and Allergy in Children (ISAAC). Dengan menggunakan
kuesioner baku, prevalens dan berbagai faktor risiko yang mempengaruhinya dapat
dibandingkan. 5
Masalah epidemiologi lain yang ada saat ini adalah mortalitas asma yang relatif
tinggi. Beberapa waktu yang lalu penyakit asma tidak merupakan penyebab kematian yang
berarti. Namun belakangan ini dilaporkan dari berbagai negara terjadi peningkatan
kematian karena penyakit asma, juga pada anak.1,2
Serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai berat dan mengancam kehidupan.
Berbagai faktor dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma antara lain aktivitas
fisik, alergen, infeksi, perubahan mendadak suhu udara atau pajanan terhadap iritan
respiratorik seperti asap rokok, dan lain sebagainya. Selain itu, berbagai faktor dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens asma di suatu tempat, seperti umur, gender, ras,
sosio-ekonomi dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi prevalens
asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan, dan status asma.1,2,3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik dengan
banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang
yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode wheezing berulang, sesak napas, rasa
dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun bervariasi,
yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiper reaktivitas saluran respiratorik terhadap
berbagai rangsangan.3,5
Gambar 1. Penyempitan Saluran Respiratorik Pada Asma6

Definisi di atas memang sangat lengkap, namun dalam penerapan klinis untuk
anak kurang praktis. Karena itu para perumus konsensus Internasional tetap
menggunakan definisi lama yaitu Wheezing berulang dan / atau batuk persisten dalam
hal ini asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah
disingkirkan.5

Pedoman Nasional Asma Anak juga menggunakan definisi yang praktis dalam
bentuk definisi operasional yaitu wheezing dan / atau batuk dengan karakteristik
sebagai berikut:
timbul secara episodik dan/atau kronik
cenderung pada malam/dini hari (nokturnal)
musiman
adanya faktor pencetus di antaranya aktivitas fisis
bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan serta
adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/ keluarganya
Pengertian kronik dan berulang mengacu pada batuk yang berlangsung lebih dari
14 hari dan/atau tiga atau lebih episode dalam waktu tiga bulan berturut-turut.5
2.2 Epidemiologi
Penelitian mengenai prevalens asma telah banyak dilakukan dan hasilnya telah
dilaporkan dari berbagai negara. Namun umumnya kriteria penyakit asma yang
digunakan belum sama sehingga sulit untuk membandingkan. Untuk mengatasi hal
tersebut telah dilakukan penelitian prevalens asma di banyak negara menggunakan
kuesioner baku, yaitu ISAAC fase I pada tahun 1996, yang dilanjutkan dengan ISAAC
fase III tahun pada 2002. Hasilnya ternyata sangat bervariasi. Untuk usia 13-14 tahun
yang terendah adalah di Indonesia (1,6%) dan yang tertinggi adalah di Inggris yaitu
sebesar 36,8%. Survey mengenai prevalens asma di Eropa telah dilakukan di tujuh
Negara dan didapatkan prevalens populasi current asthma sebesar 2,7%.5,7
Penelitian mengenai prevalens asma di Indonesia telah dilakukan di beberapa
pusat pendidikan, namun belum semuanya menggunakan kuesioner baku. Pada Tabel
1 dapat dilihat beberapa hasil survei prevalens asma pada anak di Indonesia.5
Tabel 1. Hasil Survey Prevalens Asma di Indonesia5
Peneliti
Djajanto B
Rosmayudi O
Dahlan
Arifin
Rosalina
Yunus F
Kartasasmita JB

Kota
Jakarta
Bandung
Jakarta
Palembang
Bandung
Jakarta
Bandung

Sampel
1200
4865
1296
3118
2234
2678

Umur (thn)
6 - 12
6 12
6 12
13 15
13 15
13 14
67

Prevalens (%)
16,4
6,6
17,4
5,7
2,6
11,5
3,0
3

Rahajoe NN

Jakarta

2836
1296

13 14
13 14

5,2
6,7

2.3 Etiologi
Timbulnya asma disebabkan oleh adanya proses inflamasi yang dapat dirangsang
oleh adanya: 1,2,5,7
1. faktor alergi (alergen)
- serbuk sari bunga yang ada di udara
- jamur
- debu rumah yang banyak mengandung tungau
- bulu-bulu binatang
- bulu dari bantal ataupun kasur
2. faktor lainnya
- asap rokok
- aspirin
- aktivitas fisik yang berat
- sinusitis
- gastroesophageal reflux
2.4 Patogenesis Asma
Konsep terkini patogenesis asma yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi
kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya
aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Hiperreaktivitas ini merupakan
predisposisi terjadinya penyempitan saluran respiratorik sebagai respons terhadap
berbagai macam rangsang. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik
adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan
lumen saluran respiratorik. Perubahan ini dapat terjadi meskipun secara klinis
asmanya tidak bergejala. Pemunculan sel-sel tersebut secara luas berhubungan dengan
derajat beratnya penyakit secara klinis. Sejalan dengan proses inflamasi kronik,
perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang
menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran
respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling. 5,7
Gambar 2. Patogenesis Asma8
4

2.4.1 Mekanisme Imunologis Inflamasi Saluran Respiratorik


Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan
dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi
diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak
dan dewasa.
Sedikitnya ada dua jenis T helper (Th), limfosit subtipe CD4 + telah dikenal
profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL-3
dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama
memproduksi IL-2, IF- dan TNF-. Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin
yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang
dihasilkan oleh Th2 bertanggungjawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe
lambat maupun yang cell-mediated.
Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T
oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang
melibatkan molekul MHC/major histocompatibility complex (MHC kelas II pada
sel T CD4+ dan MHC kelas I pada set T CD8+).
Sel dendritik merupakan Antigen Presenting Cells yang utama dalam saluran
napas. Set dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang dan
5

membentuk jaringan luas dan set-selnya saling berhubungan pada epitel saluran
respiratorik. Kemudian sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan sel-sel limfoid di
bawah pengaruh GM-CSF yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi set epitel,
fibroblas, set T, makrofag dan set mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik
berpindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di sana, dengan
pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai antigen
presenting cell (APC) yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi set T
naive ThO menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk
pada Waster kromoson 5g31-33 (IL-4 genecluster). 5
Gambar 3. Mekanisme Imunologis Saluran Respiratorik5

Adanya eosinofil dan imfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus pasien
topik dan non atopik wheezing mengindikasikan bahwa interaksi sel lim T dengan
eosinofil sangat penting. Hipotesis ini diperkuat dengan ditemukannya sel yang
mengekspresikan IL5 pada biopsi bronkus pasien asma atopik. IL5 merupakan
sitokin yang penting dalam regulasi eosinofil. 5
2.4.2 Inflamasi Akut dan Kronik
Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respons

alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat.
Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE
spesifik terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien-pasien dengan komponen
alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara
sel dan IgE mengawali serial reaksi biokimia yang menghasilkan sekresi mediatormediator seperti histamin, proteolitik dan enzim glikolitik dan heparin serta
mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosin dan oksigen
reaktif.

Bersama-sama

dengan

mediator-mediator

yang

sudah

terbentuk

sebelumnya, mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran


respiratorik dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus, vasodilatasi dan
kebocoran mikrovaskuler. Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model
untuk mempelajari mekanisme inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat
dan selama berlangsung paparan alergen, aktivasi sel-sel pada saluran respiratorik
menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya set
lekosit pro inflamasi terutama eosinofil dan sel prekursornya dari sumsum tulang
ke dalam sirkulasi. 1,2,5,7
2.4.3 Remodeling Saluran Respiratorik
Remodeling saluran respiratorik merupakan serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratorik melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi dan maturasi
struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut,
produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/trans-forming growth factors
(TGF-) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi myofibroblas diyakini
merupakan proses yang penting dalam re-modeling. Myofibroblas yang teraktivasi
akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, chemokin dan sitokin yang
menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratorik dan meningkatkan
permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan
jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk proteoglikan
kompleks pada dinding saluran respiratorik dapat diamati pada pasien yang
meninggal karena asma dan hal ini secara langsung berhubungan dengan lamanya
penyakit.2
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratorik timbul pada bronkus
pasien asma terutama pada yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran
7

respiratorik pada pasien asma memperlihatkan perubahan struktur saluran yang


bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratorik. Selama
ini, asma diyakini merupakan obstruksi saluran respiratorik yang bersifat reversibel.
Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada
pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi kortikosteroid.
Beberapa penderita asma mengalami obstruksi saluran respiratorik residual yang
dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala. Hal ini mencerminkan
adanya remodeling saluran napas.5
Gambar 4. Inflamasi dan Remodelling Pada Asma 9

Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperreaktivitas


saluran respiratorik yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam
waktu yang lama (lebih dari 1 sampai 2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna
setelah terapi inhalasi steroid.5
2.5 Patofisiologi Asma 1,2,5,7
2.5.1 Obstruksi Saluran Respiratorik
Inflamasi saluran respiratorik yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi pernafasan. Obstruksi saluran
respiratorik menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali secara
spontan atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan

gejala khas pada asma : batuk, sesak, wheezing dan disertai hipereaktivitas saluran
respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh
stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan
terutama pada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan satu-satunya gejala asma
yang ditemukan.
Gambar 5. Faktor yang Berperan dalam Terjadinya Asma5

Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor.


Penyebab utama adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh
pelepasan dari sel-sel agonis inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamin,
triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast; neuropeptida dari saraf
aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot
polos saluran respiratorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas akibat
edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi
kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matriks pada dinding
saluran respiratorik. Selain itu, hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat

produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar
submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus dan debris
selular.
2.5.2 Hiperreaktivitas Saluran Respiratorik
Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis
yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang
bertanggungjawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini
belum diketahui dengan pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot
polos saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang
menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran
respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran
respiratorik selama kontraksi otot polos.
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan
stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif
kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau FEV 1).
Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisik, hiperventilasi, udara kering dan aerosol
garam hipertonik tidak mempunyai efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti
histamin dan metakolin), akan tetapi dapat merangsang pelepasan mediator dari sel
mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran respiratorik. Dikatakan
hiperreaktif bila dengan cara histamin didapatkan penurunan FEV 120% pada
konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.
2.6 Diagnosis
Untuk

mengurangi

underdiagnosis,

perumus

Konsensus

Internasional

Penanggulangan Asma Anak menyusun suatu alur diagnosis asma pada anak. 4
Wheezing berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk
menegakkan diagnosis. Termasuk yang perlu dipertimbangkan kemungkinan asma
adalah anak-anak yang hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan
pada saat diperiksa tanda wheezing, sesak dan lain-lain sedang tidak timbul. 4
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, khususnya
anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid
sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain, diagnosis asma menjadi lebih
definitif. Untuk anak yang sudah besar (> 6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya
10

dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih
lengkap dengan spirometer. 4
Gambar 6. Alur Diagnosis Asma Anak5

Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara


kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis, sangat menunjang diagnosis.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui tiga cara
yaitu untuk mendapatkan :
1. Variabilitas pada PFR atau FEV1 15%.

11

Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) hasil PFR


dalam satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan dengan variabilitas mingguan
yang pemeriksaannya berlangsung > 2 minggu.
2. Reversibilitas pada PFR atau FEV1 > 15%.
Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PFR atau FEV 1 setelah
pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan > 20% pada FEV 1 (PD20 atau PC20) setelah provokasi bronkus dengan
metakolin atau histamin.
Penggunaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu diupayakan,
karena selain untuk mendukung diagnosis juga untuk mengetahui keberhasilan
tatalaksana asma. Berhubung alat tersebut tidak selalu ada, maka Lembar Catatan
Harian dapat digunakan sebagai alternatif karena mempunyai korelasi yang baik
dengan faal paru. Lembar Catatan Harian dapat digunakan dengan atau tanpa
pemeriksaan PFR.
Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons terhadap
pemberian obat bronkodilator baik, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih
lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak baik,sebelum memikirkan diagnosis lain,
maka perlu dinilai dahulu beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah
penghindaran terhadap pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat sudah adekuat,
cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua
aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar maka perlu dipikirkan
kemungkinan diagnosis bukan asma atau asma dengan penyakit penyerta.
Pada pasien dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang, gejala
respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan
fokal paru, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan
adalah foto Rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji provokasi. Selain itu mungkin juga
perlu diperiksa foto Rontgen sinus paranasalis, uji keringat, uji imunologis, uji
defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan tindakan bronkoskopi.
Di Indonesia, tuberkulosis (TB) masih merupakan penyakit yang banyak
dijumpai dan salah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh.karena itu uji
tuberkulin perlu dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma maupun yang
bukan asma. Dengan cara tersebut di atas, maka penyakit tuberkulosis yang mungkin
bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan diterapi. Pasien TB yang memerlukan
12

steroid untuk pengobatan asmanya, steroid sftemik jangka pendek atau steroid inhalasi
tidak akan memperburuk tuberkulosisnya karena sudah dilindungi dengan obat TB .
Menurut pengamatan di lapangan, sering terjadi overdiagnosis TB dan
underdiagnosis asma karena pada pasien anak dengan batuk kronik berulang seringkali
yang pertamakali dipikirkan adalah TB, bukan asma.
Berdasarkan alur diagnosis asma anak, setiap anak yang menunjukkan gejala
batuk dan/atau wheezing maka diagnosis akhirnya dapat berupa:
1. Asma
2. Asma dengan penyakit lain
3. Bukan asma
2.7 Klasifikasi
PNAA membagi asma anak menjadi 3 derajat dengan kriteria yang lebih lengkap
dibandingkan Konsensus Internasional seperti dapat dilihat dalam tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Anak5
Parameter klinis
Frekuensi serangan
Lama serangan

Asma Episodik
Jarang
< 1x / bulan
< 1 minggu

Asma Episodik
Sering
> 1x / bulan
> 1 minggu

Asma Persisten
Sering
Hampir
sepanjang tahun,

tdk ada remisi


Biasanya sedang Biasanya berat
Sering ada
Gejala siang dan

Intensitas serangan
Di antara serangan

Biasanya ringan
Tanpa gejala

Tidur dan aktivitas

gejala
Tidak terganggu Sering

malam
Sangat

Pemeriksaan fisis

Normal (tidak

terganggu
Mungkin

terganggu
Tidak pernah

diluar serangan

ditemukan

terganggu (ada

normal

Obat pengendali
Uji faal paru (di luar

kelainan)
Tidak perlu
PEF/FEV1

kelainan)
Perlu
PEF/FEV1

Perlu
PEF/FEV1

serangan)
Variabilitas faal paru

> 80%
Variabilitas

60-80%
Variabilitas

< 60%
Variabilitas

> 15%

> 30%

> 50%

13

Sebagai perbandingan, GINA membagi derajat penyakit asma menjadi Asma


Intermiten, Asma Persisten Ringan, Asma Persisten Sedang, Asma Persisten Berat.
Dasar pembagiannya adalah gambaran klinis, faal dan obat yang dibutuhkan untuk
mengendalikan penyakit. Dalam klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF
atau FEV 1 untuk penilaiannya. 5
Konsensus Internasional III juga membagi derajat penyakit asma anak
berdasarkan keadaan klinis dan kebutuhan obat menjadi 3 yaitu, Asma episodik jarang
yang meliputi 75% populasi anak asma, Asma episodik sering meliputi 20% populasi,
dan Asma persisten meliputi 5% populasi. 5
2.8 Diagnosis Banding
Adapun diagnosis banding dari asma yaitu: 5,7
1. aspirasi benda asing
2. cystic fibrosis
3. infeksi virus pada saluran pernapasan (seperti croup dan bronchiolitis)
4. epiglottitis
5. bronchopulmonary aspergillosis
6. tuberculosis
7. sindroma hiperventilasi
8. recurrent pulmonary emboli
9. gagal jantung kongestif dan
10. penyakit paru obstruktif kronik
2.9 Permasalahan Anak Dengan Asma
Sering kambuh dan berulangnya keluhan asma, sehingga orang tua frustasi
akhirnya berpindah-pindah dari satu dokter ke dokter lainnya. Hal ini dilakukan karena
sering kali keluhan alergi pada anak tersebut sering kambuh meskipun diberi obat
yang terbaik. Bila penatalaksanaan tidak dilakukan secara baik dan benar maka
keluhan asma akan berulang dan ada kecenderungan membandel. Berulangnya
kekekambuhan tersebut akan menyebabkan meningkatnya pengeluaran biaya
kesehatan.1,3,10
Anak-anak yang menderita asma lebih beresiko mengalami terjadi reaksi
anafilaksis fatal akibat alergi makanan yang dapat mengancam jiwa. Makanan yang
14

terutama sering mengakibatkan reaksi yang fatal tersebut adalah kacang, ikan laut dan
telor. Manifestasi klinis reaksi makanan yang fatal adalah timbulnya gangguan
pernapasan (sesak, wheezing) dan gangguan vaskular (pingsan, gangguan kesadaran,
hipotensi hingga syok). Di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 150 anak meninggal
karena reaksi alergi makanan yang fatal ini.3,10
Penyakit asma sering dikaitkan dengan gangguan gizi ganda pada anak. Gizi
ganda dapat menimbulkan obesitas atau bahkan sebaliknya terjadi malnutrisi.
Penelitian yang dilakukan oleh Erika von Mutius dkk dari University Children's
Hospital, Munich, Germany menyebutkan bahwa BMI tampaknya merupakan factor
resiko independent pada terjadinya asma. Sebaliknya didapatkan penelitian pada
penderita asma terdapat resiko gangguan pertumbuhan tinggi badan. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Baum mengungkapkan penderita asma sering terjadi peningkatan
platelet-activating factor (PAF) yang ternyata dapat menghambat produksi PGE2
dalam osteobast. Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu faktor lokal yang
berperanan

penting

untuk

pertumbuhan

tulang.

Ellul

dalam

penelitiannya

mengungkapkan keterkaitan asma dan penyakit celiac pada anak. Secara bermakna
didapatkan kenaikkan resiko terjadinya asma pada penderita celiac. Celiac adalah
gangguan saluran yang tidak dapat mencerna kandungan gluten dan sejenisnya.
Manifestasi klinis yang timbul adalah gangguan saluran cerna, dermatitis
herpertiformis dan gagal tumbuh.1,3
Sering dijumpai bahwa penderita asma pada anak mendapatkan overdiagnosis
atau overtreatment. Tidak jarang ditemui penderita asma yang didiagnosis dan diobati
sebagai tuberkulosis dan saat mengalami infeksi saluran napas atas sering didiagnosis
pnemoni hanya berdasarkan foto rontgen dada. Hasil foto rontgen asma, bronkhitis,
pneumoni dan tuberkulosis kadang hampir mirip karena terjadi peningkatan gambaran
infiltrat paru. Bila tidak cermat maka maka sering terjadi overdiagnosis penyakit
lainnya pada kasus asma.1,3,10
Pada anak-anak yang menderita asma sering mengalami keadaan daya tahan
yang tidak optimal, relatif mudah terkena infeksi. Infeksi yang sering terjadi adalah
infeksi saluran napas berulang berupa faringitis, tonsilitis, sinusitis, dan infeksi saluran
napas akut lainnya. Tetapi yang harus lebih dikawatirkan adalah meningkatnya resiko
untuk terjadinya efek samping akibat pemberian obat. Tak jarang penderita asma
mendapatkan pengobatan yang menyimpang, seperti pemberian antibiotika, anti alergi
15

atau kortikosteroid peroral berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama.3,10
2.10 Tata Laksana Jangka Panjang
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya
potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Apabila tujuan ini belum tercapai
maka perlu reevaluasi tatalaksananya. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai
adalah: 5
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
2.10.1 Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan
obat pengendali (controller). Obat pereda ada yang menyebutnya obat pelega, atau obat
serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka
obat ini tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang sering
disebut sebagai obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk
mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratorik kronik. Dengan demikian
pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, tergantung
derajat penyakit asma dan responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat-obat
pengendali diberikan pada Asma Episodik Sering dan Asma Persisten.
Asma Episodik Jarang. Asma Episodik Jarang cukup diobati dengan obat pereda
berupa bronkodilator beta agonis hirupan kerja pendek atau golongan santin kerja
cepat bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Anjuran memakai hirupan tidak
mudah dilakukan mengingat obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia di semua
daerah. Di samping itu pemakaian obat hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry
Powder Inhaler) memerlukan teknik penggunaan yang benar (untuk anak besar),
dan membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi) yang juga tidak selalu ada dan
mahal harganya. Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka beta
16

agonis diberikan per oral.


Penggunaan

teofilin

sebagai

bronkodilator

makin

berkurang

dalam

tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di


Indonesia obat beta-agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin
dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu
penggunaan beta agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan
efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi
dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin.
Konsensus Internasional III dan juga Pedoman Nasional Asma Anak seperti
terlihat dalam klasifikasi asmanya tidak mengajurkan pemberian anti-inflamasi
sebagai obat pengendali untuk asma ringan. Jadi secara tegas PNAA tidak
menganjurkan pemberian obat controller pada Asma Episodik Jarang. Hal ini sesuai
dengan GINA yang belum perlu memberikan obat controller pada Asma Intermiten,
dan baru memberikannya pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa
anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah atau kromoglikat hirupan. Dalam
alur tatalaksana jangka panjang terlihat bahwa jika tatalaksana Asma Episodik
Jarang sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 4-6 minggu, maka
tatalaksananya berpindah ke Asma Episodik Sering. Dengan mengikuti panduan
tatalaksana yang lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi
pada Asma Episodik Jarang, ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada
kelompok tersebut paling sedikit yang mengalami perbaikan derajat asma. Di pihak
lain, Asma Episodik Sering yang mendapat kromoglikat, dan Asma Persisten yang
mendapat steroid hirupan menunjukkan perbaikan derajat asma yang lebih besar.
Perbaikan yang dimaksud adalah menurunnya derajat asma, misalnya dari Asma
Persisten menjadi Asma Episodik Sering atau Asma Episodik Jarang, bahkan
sampai asmanya asimtomatik.
Asma Episodik Sering. Jika penggunaan beta-agonis hirupan sudah lebih dari 3x
perminggu (tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisis), atau serangan
sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan antiinflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi.
Pada awalnya, anti-inflamasi tahap pertama yang digunakan adalah
kromoglikat, dengan dosis minimum 10 mg 2-4 kali perhari. Obat ini diberikan
selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah terkendali,
17

pemberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari. Pemberian


kromolin kurang bermanfaat pada tatalaksana asma jangka panjang. Dengan dasar
tersebut PNAA revisi terakhir tidak mencantumkan kromolin (kromoglikat dan
nedokromil) sebagai tahap pertama melainkan steroid hirupan dosis rendah sebagai
anti-inflamasi.
Tahap pertama obat pengendali adalah pemberian steroid hirupan dosis
rendah yang biasanya cukup efektif. Obat steroid hirupan yang sudah sering
digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis
rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 g/hari budesonid (50-100
g/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 g/hari
budesonid (100-200 g/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200
g/hari, atau setara flutikason 50-100 g belum pernah dilaporkan adanya efek
samping jangka panjang. Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi
kronik, obat pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk
menimbulkan efek tempi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakukan setelah 68 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Setelah
pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak respons
(masih terdapat gejala asma atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka
dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai
dengan 400 g/hari yang termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika
tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma-sudah adekuat namun responsnya
tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksananya berpindah ke yang
lebih berat. 1,2,5,7

Gambar 7. Alur Tata Laksana Asma Anak Jangka Panjang5

18

Sebaliknya, jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya


beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan
dihentikan penggunaannnya. Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi
pelaksanaan penghindaran pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang
mempersulit pengendalian asma seperti rinitis dan sinusitis. Telah dibuktikan
bahwa penatalaksaan. rinitis dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki asma
yang terjadi secara bersamaan.
Asma Persisten. Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi
ke rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah
ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam
keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk
19

menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari).
Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil yang masih
optimal.
Dosis steroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara budesonid 400
pg/hari. Di atas itu dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan
dengan dosis 800 p.g/hari agaknya mulai berpengaruh terhadap poros HPA
(hipotalamus-hipofisis-adrenal) sehingga dapat berdampak terhadap pertumbuhan.
Efek samping steroid hirupan dapat dikurangi dengan penggunaan alat pemberi
jarak berupa perenggang (spacer) yang akan mengurangi deposisi di daerah
orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik dan meningkatkan deposisi
obat di paru. Selain itu untuk mengurangi efek camping steroid hirupan, bila sudah
mampu pasien dianjurkan berkumur dan air kumurannya dibuang setelah
menghirup obat.
Cara Pemberian Obat. Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur
anak karena perbedaankemampuan menggunakan alat inhalasi. Demikian juga
kemauan anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat
memakai alat hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang
benar. Pemakaian alas perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut
(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi
efek sistemik. Sebaliknya deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek
terapetik yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder
Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler;
memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia
sekolah. 1,2,5,7

Tabel 3. Jenis Alat Inhalasi Disesuaikan Dengan Usia5

20

Sebagian alat bantu yaitu spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber,


Babyhakr, Autoluder) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau
botol minuman, atau menggunakan botol dengan dot yang telah dipotong untuk
anak kecil dan bayi. 1,2,5,7
2.11 Tata Laksana Serangan Asma
Gambar 8. Patofisiologi Serangan Asma5

Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari


gejala-gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan atau berbagai
kombinasi dari gejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya
tatalaksana asma jangka panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus. Derajat
serangan asma bisa mulai dari serangan ringan hingga serangan berat yang dapat
mengancam nyawa.
Serangan asma akut merupakan kegawatan medis yang lazim dijumpai di
ruang gawat darurat. Perlu ditekankan bahwa serangan asma berat dapat dicegah,
21

setidaknya dapat dikurangi dengan pengenalan dini dan terapi intensif.


Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk: 1,2,5,7
1. meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
2. mengurangi hipoksemia
3. mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya rencana re-evaluasi
tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi saluran respiratorik
secara luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, udem
mukosa karena inflamasi saluran respiratorik, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang
terjadi tidak seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau
subsegmental dapat terjadi. Sumbatan saluran respiratorik menyebabkan peningkatan
tahanan saluran respiratorik, terperangkapnya udara, dan distensi paru berlebihan
(hiperinflasi). Perubahan tahanan saluran respiratorik yang tidak merata di seluruh
jaringan bronkus, menyebabkan tidak paduu padannya ventilasi dengan perfusi
(ventilation-perfusion mismatch).
Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi
peningkatan kerja napas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk
ekspirasi melalui saluran respiratorik yang menyempit, dapat makin mempersempit
atau menyebabkan penutupan dini saluran respiratorik, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal mungkin mempengaruhi
arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang bermanifestasi sebagai pulsus
paradoksus.
Ventilasi perfusi yang tidak padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan
kerja napas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk
mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO 2 akan turun
dan dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada saluran respiratorik yang berat,
akan terjadi kelelahan otot respiratorik dan hipoventilasi alveolar yang berakibat
terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar
PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang normal, harus
diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal respiratorik (respiratory
failure). Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan
produksi laktat oleh otot napas.
Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal, namun
22

jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokonstriksi dapat merusak
sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak ada dan meningkatkan
risiko terjadinya atelektasis. 1,2,5,7
2.11.1 Penilaian Derajat Serangan Asma
Selain klasifikasi derajat penyakit asma berdasarkan frekuensi serangan dan
obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat
serangan, yang terbagi atas serangan ringan, sedang, dan berat. Jadi perlu
dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat serangan
asma (aspek akut). Seorang pasien Asma Persisten dapat mengalami serangan
ringan saja. Sebaliknya bisa saja pasien yang tergolong Asma Episodik Jarang
mengalami serangan asma berat bahkan serangan ancaman henti napas (kematian).
Beratnya derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. GINA
melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis,
uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Butir-butir penilaian dalam tabel
tidak harus lengkap ada pada setiap pasien. Pembagian harus diartikan sebagai
prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan
berbagai keterbatasan yang ada. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi harus
diberikan jika pasien memberi respons yang kurang terhadap terapi awal, serangan
memburuk dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi. Pasien tertentu mempunyai
risiko tinggi untuk mengalami serangan berat yang dapat mengancam nyawa. Di
antaranya adalah pasien dengan riwayat:
serangan asma yang mengancam nyawa
intubasi karena serangan asma
pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum
serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama
penggunaan steroid sistemik (belum lama atau baru lepas)
kunjungan ke UGD atau perawatan RS karena asma dalam setahun terakhir
tidak teratur berobat sesuai rencana
berkurangnya persepsi tentang sesak napas
penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
Untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi seperti di atas, steroid sistemik
(oral atau parenteral) perlu diberikan pada awal penanganan meskipun pada

23

penilaian awal, serangannya masih ringan.


Tabel 4. Penilaian Derajat Serangan Asma5

GINA membagi tatalaksana serangan asma menjadi dua, tatalaksana di rumah


dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya)
sendiri di.rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah
menjalani terapi dengan teratur, clan mempunyai pendidikan yang cukup. Pada

24

panduan pengobatan di rumah, terapi awal berupa inhalasi -agonis kerja pendek
hingga tiga kali dalam satu jam. Kemudian pasien atau keluarganya diminta
melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat serangan yang kemudian
ditindak lanjuti sesuai derajatnya. Namun untuk kondisi di negara kita, pemberian
terapi awal di rumah seperti di atas cukup riskan, dan kemampuan melakukan
penilaian juga masih dipertanyakan. Dengan alasan demikian maka apabila setelah
dilakukan inhalasi satu kali tidak mempunyai respons yang baik, maka dianjurkan
mencari pertolongan dokter.
Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan di Unit Gawat Darurat,
langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi di atas sesuai dengan
fasilitas yang tersedia. Dalam panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji
fungsi paru (spirometer atau peak flow meter) merupakan bagian integral penilaian
tatalaksana serangan asma, bukan hanya evaluasi klinis. Namun di Indonesia
penggunaan alat tersebut belum memasyarakat.
Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian -agonis dengan
penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang
dua kali dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga nebulisasi ditambahkan
obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis
yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak
selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.
Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam serangan berat,
langsung berikan nebulisasi -agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Pasien
dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin
akan mengalami takifilaksis atau refrakter yaitu respons yang kurang baik terhadap
nebulisasi -agonis. Pasien seperti ini cukup sekali dinebulisasi kemudian
secepatnya dirawat untuk mendapat obat intravena selain diatasi masalah dehidrasi
dan asidosisnya.

2.11.2 Serangan Asma Ringan


Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik
(complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama
1 jam, jika tetap baik, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat (beta-agonis
25

hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah
infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral, namun hanya diberikan untuk jangka
pendek (3-5 hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan
dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum
serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga
reevaluasi di Klinik Rawat Jalan.
Sebagian besar pasien tetap dalam keadaan baik setelah ditatalaksana sebagai
Serangan Asma Ringan, namun pada sebagian, gejala timbul kembali. Jika dalam
observasi 1 jam gejala timbul kembali, pasien ditatalaksana sebagai Serangan Asma
Sedang.
2.11.3 Serangan Asma Sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua kali, pasien hanya menunjukkan
respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang.
Untuk itu perlu dinilai ulang derajatnya sesuai pedoman di depan. Jika serangannya
memang termasuk serangan sedang, pasien perlu diobservasi dan ditangani di
Ruang Rawat Sehari (RRS). Pada Serangan Asma Sedang diberikan steaid sistemik
(oral) metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 3.5 hari. Steroid
lain yang dapat diberikan selain metlprednisolon adalah prednison. Ada yang
berpendapat steroid nebulisasi dapat digunakan untuk serangan asma, namun perlu
dosis yang sangat tinggi (16C)0 ug), meskipun belum banyak pustaka yang
mendukung. Steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk serangan asma.
Walaupun mungkin tidak diperlukan, namun untuk persiapan keadaan darurat,
maka sejak di UGD pasien yang akan diobservasi di RRS sebaiknya langsung
dipasangi jalur parenteral.
2.11.4 Serangan Asma Berat
Bila dengan nebulisasi tiga kali berturut-turut pasien tidak menunjukkan
respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang
sesuai pedoman) maka pasien harus dirawat di Ruang Rawat Inap. Bila sejak awal
dinilai sebagai serangan berat, maka nebulisasi pertama kali langsung P-agonis
dengan penambahan antikolinergik. Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal
termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks.
Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas,
pasien harus langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk pasien
26

dengan.serangan berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat foto Ront-gen
toraks guna mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumo-mediastinum.
2.12 Terapi inhalasi
Pengobatan asma bertujuan untuk menghentikan serangan asma secepat
mungkin serta mencegah serangan berikutnya ataupun bila timbul serangan
kembali, serangannya tidak berat. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diberi obat
bronkodilator pada saat serangan dan obat antiinflamasi sebagai obat pengendali
untuk menurunkan inflamasi yang timbul. 5
Pemberian obat pada asma dapat berbagai macam cara yaitu parenteral, per
oral atau perinhalasi. Pemberian per inhalasi adalah pemberian obat secara
langsung ke dalam saluran respiratorik melalui hirupan. Prinsip terapi inhalasi telah
digunakan sejak dahulu misalnya penggunaan asap untuk pengobatan batuk.
Penggunaan aerosol sebagai pengobatan inhalasi pertamakali dikenalkan oleh
Schneider dan Waltz pada tahun 1829.
Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, terapi inhalasi berkembang
dengan pesat. Kalau dahulu bahan yang digunakan tidak turut dipertimbangkan
pengaruhnya terhadap lingkungan, akhir-akhir ini berkembang penggunaan
propelan yang bersahabat dengan lingkungan yaitu yang tidak mempengaruhi
lapisan ozon.
Pada asma penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek samping
berupa gangguan gastrointestinal dan gangguan lainnya yang sering terjadi pada
pemberian parenteral atau peroral. Hal di atas dimungkinkan karena dosis yang
digunakan pada terapi inhalasi sangat kecil dibandingkan dengan pengobatan
parenteral atau per oral. Terapi inhalasi pada dewasa telah banyak digunakan dan
keberhasilannya cukup baik, tetapi.pada anak belum banyak. Keberhasilan
penggunaan terapi inhalasi pada dewasa tidak berarti dapat digunakan langsung
pada anak misalnya penggunaan MDI secara langsung. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan perbedaan antara dewasa dan anak seperti anatomi, fisiologi, dan
sistem koordinasi. Dengan mengetahui perbedaan tersebut, kita dapat lebih
memahami penggunaan terapi inhalasi pada anak. 5
2.12.1 Prinsip Terapi Inhalasi
Pemberian obat secara inhalasi mempunyai beberapa keuntungan yaitu obat
27

bekerja langsung pada saluran respiratorik, awitan kerjanya cepat, dosis obat yang
digunakan kecil, serta efek samping yang minimal karena k nsentrasi obat di dalam
darah sedikit atau rendah.
Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan per
inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran respitatorik. Obat
yang digunakan biasanya dalam bentuk aerosol yaitu suspend partikel di dalam gas.
Partikel dalam aerosol tersebut dengan di-ameter yang kecil (1-10 mikron) akan
mengalami benturan secara inersial dan.sedimentasi atau mengendap karena efek
gravitasi. Atau mekanisme lainnya adalah proses difusi atau pengendapan yang
terjadi akibat gerak Brown.
Partikel yang besar terutama mengendap karena benturan inersial bila
terdapat aliran udara yang cepat disertai perubahan arah atau arus turbulen. Oleh
karena itu proses tersebut terjadi di hidung, mulut, farings,laring dan saluran
respiratorik bawah sampai diameter 2 mm. Pada partikel yang kecil, proses
sedimentasi terjadi akibat gravitasi dalam aliran udara yang lambat. Pengendapan
karena gravitasi ini terjadi pada saluran respiratorik kecil dengan diameter kurang
dari 2 mm dan dalam alveoli. Partikel dengan diameter lebih dari 8 mikron akan
mengalami benturan pada saluran respiratorik proksimal dan laring sehingga tidak
mencapai paru.. Partikel dengan ukuran 1-8 mikron mengalami benturan dan
pengendapan di saluran respiratorik besar, kecil, dan alveoli. 5
2.12.2 Jenis Terapi Inhalasi
Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah
dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran respiratorik bawah, hanya
sedikit yang tertinggal di saluran respiratorik atas serta dapat digunakan oleh anak,
orang cacat atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya
tercapai dengan adanya beberapa keuntungan dan kerugian masing-masing jenis
alat terapi inhalasi. Terapi inhalasi dapat diberikan dengan inhaler dosis terukur
(metered dose inhaler=MDI), MDI dengan bantuan spacer, nebulizer, intermitten
positive pressure breathing, rotahaler, atau diskhaler. 5
2.12.3 Terapan Terapi Inhalasi pada Asma
Pada tatalaksana asma harus dibedakan dua hal penting yaitu tatalaksana
serangan dan tatalaksana jangka panjang. Seorang anak yang telah didiagnosis
asma harus ditentukan klasifikasinya apakah temasuk Asma Episodik Jarang
28

Episodik Asma Sering atau Asma Persisten Pada Asma Episodik Jarang tidak
memerlukan obat pengendali sebagai tatalaksana jangka panjang. Sedangkan pada
Asma Episodik Sering dan Asma Persisten harus diberikan obat pengendali. Obat
pengendali dari golongan antiinflamasi yang sering digunakan adalah budesonide,
beklometason dipropionat, flutikason, dan golongan natrium kromoglikat. 5
Bila terjadi serangan, maka digunakan obat pereda (reliever). Obat yang
sering digunakan yaitu golongan bronkodilator seperti teofilin, 2 agonis, dan
ipratropium bromida. Obat-obat di atas dapat digunakan secara oral, parenteral, dan
inhalasi, kecuali ipratropium bromide yang hanya tersedia dalam bentuk inhalasi.
Sebagai mana disebutkan di atas, penggunaan dengan cara inhalasi bertujuan untuk
mencapai sasaran dengan cepat, langsung tertuju pada organ, dosis yang digunakan
kecil sehingga efek samping obat minimal. Selain itu, penggunaan 2 agonis yang
terlalu sering dan lama akan berdampak menurunkan reseptor 2 agonis pada
saluran nafas (efek down regulation). 5
Telah diketahui secara luas bahwa obat antiinflamasi yang sering digunakan
adalah golongan steroid. Sebagai dasar pada asma adalah inflamasi, sehingga
pengendalian dengan obat antiinflamasi sangat dianjurkan pada asma yang episodik
sering dan persisten. Namun harus disadari penggunaan kortikosteroid jangka
panjang bila diberikan peroral atau parenteral dapat mengganggu tumbuh kembang
anak secara keseluruhan selain efek samping lain yang mungkin timbul seperti
hipertensi dan moon-face. Untuk itu pemberian perinhalasi sangat dianjurkan. Jenis
terapi inhalasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan usia pasien, meskipun
patokan ini tidak berlaku secara kaku5.
Saat Serangan Asma. Pada saat serangan obat yang digunakan adalah obat
golongan bronkodilator. Yang sering digunakan 2 agonis yang dapat diberikan
sendiri atau bersama-sama dengan ipratropium bromida. Pada serangan asma yang
ringan obat inhalasi yang diberikan hanya 2 agonis saja meskipun ada juga yang
menambahkan dengan ipratropium bromida. Schuch dalam penelitiannya
mendapatkan bahwa dengan menggunakan 2 agonis saja dapat meningkatkan
FEV1 dan menghilangkan gejala serangannya, sedangkan penambahan ipratropium
bromida akan meningkatkan FEV 1 yang lebih tinggi lagi. Pada serangan asma
yang berat, PNAA menganjurkan pemberian 2 agonis bersama-sama dengan
ipratropium bromida.
29

Penggunaan obat pereda (reliever) secara inhalasi pada serangan asma sangat
banyak manfaatnya dan sangat dianjurkan, namun demikian penggunaannya masih
belum banyak. Hal ini dimungkinkan karena penggunaannya yang belum luas dan
masih mahalnya obat ini. Hal ini berlaku bukan hanya di Indonesia, tetapi juga
berlaku di negara maju. Pada dewasa, pengunaannya lebih banyak dibandingkan
dengan anak.
Saat di luar serangan Asma. Penggunaan obat inhalasi di luar serangan asma
hanya diberikan apabila memerlukan obat pengendali (controller). Yang biasa
digunakan adalah Natrium kromoglikat dan golongan steroid. Penggunaan Natrium
kromoglikat menurut PNAA diberikan apabila termasuk Asma Episodik Sering.
Sedangkan penggunaan steroid dapat diberikan pada Asma Episodik Sering dan
Asma Persisten. Penggunaan steroid pada asma anak masih jarang digunakan
mengingat akan efek samping yang mungkin ditimbulkan seperti disebutkan di atas.
Namun beberapa peneliti telah membuktikan bahwa penggunaan yang tepat dengan
dosis, cara, dan jenis yang sesuai efek samping dapat dikurangi. Sebagaimana
diketahui bahwa penggunaan obat inhalasi yang salah akan meningkatkan efek
samping seperti jamur pada daerah mulut, suara serak, dan efek lainnya. Dengan
inhalasi sebagian obat juga akan beredar ke seluruh tubuh melalui sistem
gastrointestinal. Setelah itu oleh tubuh akan dieliminir melalui had sehingga
peredaran sistemik kadamya berkurang. Obat yang baik adalah yang dapat eliminir
tubuh dengan baik artinya kadar di dalam sirkulasi menjadi kecil.
Penggunaan steroid inhalasi pada Asma Episodik Sering dan Asma Persisten
memerlukan waktu yang lama dan dosis yang mungkin bervariasi. Pada awal
pengobatan dapat diberikan dosis tinggi dan diturunkan secara perlahan sampai
dosis optimum dan dipertahankan pada dosis optimum beberapa lama dan
kemudian diturunkan secara perlahan sampai pada akhimya kalau memungkinkan
tidak digunakan sama sekali. Dengan dosis 400 g penggunaan yang lama (sekitar
2-3 tahun), tidak mengganggu proses tumbuh kembang anak. Jadi penggunaan
steroid inhalasi dapat lebih aman apabila tahu cara penggunaannya. Dengan tidak
atau kurang mengetahui cars pemberian, dosis, dan pemantauannya maka efek
samping yang tidak diharapkan dapat timbul. 5
2.13 Prevensi dan Intervensi Dini
30

Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan utama dokter, khususnya
dalam menangani anak asma. Pengendalian lingkungan, ASI eksklusif minimal 4
bulan, penghindaran makanan berpotensi, pengurangan pajanan terhadap tungau
debu rumah dan rontokan telah terbukti mengurangi manifestasi alergi makanan dan
khususnya dermatitis atopik pada bayi.
Manfaatnya untuk jangka panjang diduga ada tetapi masih dalam penelitian.
Penggunaan antihistamin non-sedatif seperti ketotifen dan setirizin dilaporkan dapat
mencegah terjadinya asma pada anak dengan dermatitis atopik. Obat-obat di atas
tidak bermanfaat sebagai obat pengendali asma (controller). Keterlambatan
pemberian obat pengendali akan berakibat penyempitan jalan napas yang ireversibel
(airway remodelling). Namun dari bukti yang ada risiko tersebut tidak terjadi pada
asma episodik jarang. Karena itu pemberian steroid hirupan sejak awal untuk asma
episodik jarang tidak dianjurkan. 5
2.14 Faktor Alergi Dan Lingkungan
Alergi merupakan salah satu faktor penting berkembangnya asma. Paling
tidak 75-90% anak asma balita terbukti mengidap alergi, baik di negara
berkembang maupun negara maju. Atopi merupakan faktor risiko yang nyata untuk
menetapnya hiperreaktivitas bronkus dan gejala asma. Derajat asma yang lebih
berat dapat diperkirakan dengan adanya dermatitis atopik. Terdapat hubungan
antara pajanan alergen dengan sensitisasi. Pajanan yang tinggi berhubungan dengan
peningkatan gejala asma pada anak.
Pengendalian

lingkungan

harus

dilakukan

untuk

setiap

anak

asma.

Penghindaran terhadap asap rokok merupakan rekomendasi penting. Keluarga


dengan anak asma dianjurkan tidak memelihara binatang berbulu, seperti kucing,
anjing, burung. Perbaikan ventilasi ruangan, dan penghindaran kelembaban kamar
perlu untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungaunya.
Perlu ditekankan bahwa anak asma seringkali menderita rinitis alergika
dan/atau sinusitis yang membuat asmanya sukar dikendalikan. Deteksi dan diagnosis
kedua kelainan itu yang diikuti dengan terapi yang adekuat akan memperbaiki gejala
asmanya. 5
2.15 Komplikasi
31

Adapun komplikasi yang mungkin timbul dari penyakit asma antara lain: 1,2,7
- gagal nafas
- atelectasis
- kematian
- air leak syndrome seperti pneumonia
- Gangguan tumbuh kembang
2.16 Prognosis
Banyak bayi dengan wheezing tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak
dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut berkisar antara 45 hingga 85%. Adanya
asma pada orang tua dan dermatitis atopik pada anak dengan wheezing merupakan
salah satu indikator penting untuk terjadinya asma dikemudian hari. Apabila terdapat
kedua hal tersebut maka kemungkinan menjadi asma lebih besar atau terdapat salah
satu di atas disertai dengan 2 dari 3 keadaan berikut yaitu eosinofilia, rinitis alergika
dan wheezing yang menetap pada keadaan bukan flu. 1,2,7

BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 KONDISI SAAT MASUK RUMAH SAKIT
I.

Identitas Penderita
32

Nama

: Yulia Widyantari

Umur

: 8 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Br. Ujung Sari Gading

MRS

: 3 Februari 2007, Pkl. 06.00 Wita

II. Heteroanamnesis (didapat dari Ibu penderita)


Keluhan utama : sesak napas
- Penderita dikeluhkan sesak napas mendadak yang diketahui pukul 05.00 pagi
(3 Februari 2007), sesak nafas dikatakan terus-menerus disertai bunyi ngik-ngik,
keluhan ini membuat penderita tidak bisa tidur dan merasa lebih baik dengan posisi
duduk, ia juga mengalami kesulitan berkata-kata, kebiruan ada sejak kurang lebih
15 menit sebelum MRS.
- BAB dan BAK normal
- Makan dan minum menurun sejak 1 hari sebelum MRS.
Riwayat pengobatan
- Penderita tidak meminum obat apapun untuk keluhannya ini. Sebelumnya penderita
apabila mengalami serangan seperti ini segera ke Rumah Sakit terdekat.
Riwayat penyakit sebelumnya
- Penderita mempunyai penyakit asma sejak 1 tahun yang lalu, penyakit ini kambuh
kurang lebih 0 sampai 1 kali dalam 1 bulan, namun tidak pernah terjadi serangan
seberat ini. Serangan sesak nafas biasanya terjadi pada pagi hari atau pada saat
udara dingin. Pada saat balita penderita pernah menderita gatal-gatal sesudah
makan telur.
Riwayat penyakit dalam keluarga
-

Atopi ada, yaitu terjadi urtikaria pada Ibu penderita apabila makan telur. Kakek

panderita dikatakan juga menderita asma.


Riwayat persalinan
Penderita lahir spontan di klinik bersalin, ditolong oleh bidan. Lahir cukup bulan,
langsung menangis, dengan berat badan lahir 3100 gram dan panjang badan 49 cm,
anus (+), tanpa kelainan bawaan.
Riwayat imunisasi
Riwayat imunisasi dasar diakui lengkap oleh ibu penderita. (BCG pada umur 7 hari,
Polio I,II dan III pada umur 2,3, dan 4 bulan, Hepatitis B I,II, III pada umur 7 hari, 1
33

bulan dan 6 bulan, DPT I,II,III pada umur 2,3, dan 4 bulan, dan Campak pada umur 9
bulan).
Riwayat nutrisi
ASI diberikan dari lahir sampai umur 8 bulan, susu formula diberikan dari 3 bulan
sampai 2 tahun, makanan dewasa dari umur 1 tahun sampai sekarang.
Riwayat yumbuh kembang
Menegakkan kepala

: 2 bulan

Membalikkan badan

: 3 bulan

Duduk

: 7 bulan

Berdiri

: 10 bulan

Berjalan

: 13 bulan

III. Pemeriksaan fisik


Status present
- KU :

tampak sesak

- Kesadaran

: composmentis

- Nadi

: 100 x/menit

- RR

: 40x/menit, reguler, ekspirasi memanjang

- Tax

: 37 oC

- BB

: 23,6 kg

- BBI

: 25,5 kg

- PB

: 134 cm

- LK

: 52 cm

- LLA

: 20 cm

Status gizi menurut


1. Nelson : 92,5 % (gizi baik)
2. Z score BB/TB : 23,6-29,4 / 2,89 x SD = - 1,94 SD
Nilai 1,94 SD terletak antara -2 SD sampai +2 SD ~ kriteria normal.
3. CDC Growth Chart
- Berat badan ~ Umur

: terletak antara persentil 25 sampai 50

- Tinggi badan ~ Umur

: terletak antara persentil 75 sampai 90

- Berat badan ~ Tinggi badan

: terletak antara persentil 50 sampai 75

4. Lingkar kepala menurut Kurva Nellhaus : terletak antara -2 SD sampai +2 SD,


34

sedangkan menurut CDC didapatkan pada persentil 75-90 ~ kriteria normal.


Status general
Kepala

Normocephali

Mata

anemia -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+ isokor, cowong-/-

Telinga

bentuk normal, sekret (-)

Hidung

napas cuping hidung (+), sianosis (-).

THT

Tenggorokan :

Faring hiperemis (-),Tonsil hiperemis (-).

Inspeksi

benjolan (-), bendungan vena jugularis (-)

Palpasi

Pembesaran kelenjar (-),

Kaku Kuduk

(-)

simetris

Palpasi

kuat angkat (-)

Auskultasi

S1 S2 normal regular murmur (-)

Inspeksi

gerakan dada simetris

Palpasi

gerakan dada simetris

Perkusi

perkusi paru sonor

Auskultasi

Vesikuler +/+, ronchi +/+, wheezing +/++, stridor -/-

Leher

Thorak
Jantung

Paru

inspirasi-ekspirasi
Abdomen
Inspeksi

Distensi (-)

Auskultasi

Bising Usus (+) Normal

Palpasi

Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba

Akral hangat (+), tonus normal, tenaga normal, refleks

Extremitas

fisiologis positif, edema tidak ada


Assesment

Asma episodik jarang serangan berat.

IV. Penatalaksanaan
- O2 4 liter/menit sungkup
- Kebutuhan cairan1572 cc / hari ~ IVFD KAEN III B untuk kebutuhan maintenance
21 tetes/ menit
35

- Aminofilin injeksi iv bolus 6 mg/kg BB


- Deksametason 1 mg/kg BB/hari
- Neb. Combivent 1 ampul + NaCl 0,9 % s.d 4 cc @ 2 jam evaluasi dan lihat
perbaikan klinis, jika membaik dilanjutkan @ 4-6 jam.
3.2 KONDISI SAAT PULANG DARI RUMAH SAKIT
Subjektif
sesak (-), makan dan minum baik, BAB/BAK normal
Objektif
KU

baik

Kesadaran

composmentis

Nadi

88 x/menit

RR

30 x/menit

Tax

36,8 oC

Status General
Kepala

Normocephali

Mata

anemia -/-, ikterus -/-, Refleks Pupil +/+ isokor,

Telinga

bentuk normal, sekret (-)

Hidung

napas cuping hidung (-), sianosis (-).

THT

Tenggorokan :

Faring hiperemis (-),Tonsil hiperemis (-).

Leher
Inspeksi

benjolan (-), bendungan vena jugularis (-)

Palpasi

Pembesaran kelenjar (-),

Kaku Kuduk

(-)

simetris

Palpasi

kuat angkat (-)

Auskultasi

S1 S2 normal regular murmur (-)

Inspeksi

gerakan dada simetris, retraksi (-)

Palpasi

gerakan dada simetris

Perkusi

perkusi paru sonor

Thorak
Jantung

Paru

36

Auskultasi

Vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-

Inspeksi

Distensi (-)

Auskultasi

Bising Usus (+) Normal

Palpasi

Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba

Akral hangat (+), tonus normal, tenaga normal, refleks

Abdomen

Extremitas

fisiologis positif, edema tidak ada


Assessment

Asma episodik jarang pasca serangan berat.

BAB IV
KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan dan wawancara dapat disimpulkan bahwa keluarga
penderita cukup memberi perhatian kepada penderita. Orang tua penderita selalu
37

memantau perkembangan fisik maupun mental penderita. Pertumbuhan dan perkembangan


penderita saat ini tidak mengalami gangguan dan penderita telah memiliki status gizi yang
baik. Secara umum, yang penting untuk selalu diperhatikan, antara lain:
Tetap memberikan asupan makanan dengan gizi yang seimbang dan menu makanan
yang bervariasi kepada penderita. Menghindari makanan yang dapat menimbulkan
reaksi alergi pada penderita seperti telur.
Orang tua penderita agar tetap senantiasa memperhatikan kondisi anaknya. Apabila
penderita mengalami gangguan kesehatan agar langsung dibawa ke praktek dokter di
dekat rumah atau praktek dokter spesialis anak untuk segera mendapat pengobatan.
Penderita agar tetap dijaga perkembangan emosi atau mentalnya dalam asah, asih dan
asuh.
Aktivitas dan olahraga penderita sebaiknya diperhatikan dan dipilih yang sesuai dengan
kemampuan agar tidak menimbulkan serangan asma.
Orang tua agar tetap memberikan rasa nyaman kepada penderita, dengan memberi
pendidikan dan hiburan yang baik dan juga memberikan waktu luang yang cukup untuk
anak-anaknya.
Lingkungan rumah harus tetap dijaga kebersihannya untuk menjaga kesehatan penderita
dan menghindari penderita dari faktor-faktor pencetus timbulnya serangan asma seperti
udara dingin, debu dan asap rokok, pemakaian kipas angin.
Hubungan keluarga dengan penderita harus tetap terjaga dengan baik
Ayah dan ibu senantiasa tetap mengajari anaknya cara hidup mandiri, misalnya makan
sendiri dan menjaga kesehatan dan kebersihan pribadi.
Memberikan kebebasan untuk penderita dalam bergaul dan bermain bersama temannya
untuk kemajuan perkembangannya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman, R., M., Berham, R., E., (2002), Nelson Essentials of Pediatrics, 4th ed, W.
B. Saunders Company, Philadelphia

38

2. Kliegman, R., M., Jenson, H., B., Marcdante, K., J., Behrman, R., E. (2006), Nelson
Essentials of Pediatrics, 5th ed, Elsevier Saunders, Philadelphia.
3. Judarwanto W : Asma Dan Manifestasi Ekstrapulmonal,
http://alergianak.bravehost.com (Akses : 19 Desember 2006).
4.

didapat

dari

Soetjingsih. Ranuh IGN : Tumbuh Kembang Anak, EGC, Jakarta, 1995.

5. Noenoeng, Supriyanto, Darmawan BS : Pedoman Nasional Asma Anak, UKK


Pulmonologi, PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 2004.
6. Asthmatic respiratory tract, Available: http://www.asthme-quebec.ca/eng/asthma/
img/horizon1.jpg (Accesed: 2006, December 20).
7. Rudolph, A. M., Kamei, R. K., Overby, K. J. (2002), Rudolphs Fundamentals of
Pediatrics, 3rd ed, McGraw-Hill, New York.
8.

The Patogenesis of Asthma, Available: http://www.som.soton.ac.uk/research/iir/air/


groups/GrowthFactors/Images/rhino image150.jpg, (Akses : 20 Desember 2006).

9.

Remodelling Process in Asthmatic Patient, Available: http://www.aerovance.com/


asthma_clip_image002.gif, (Akses : 21 Desember 2006).

10. Hardiono DP, Rezeki S.H, Firmanda D : Standar Pelayan Medis Kesehatan Anak,
ed.1, Penerbit IDAI, Jakarta 2004.

39

Vous aimerez peut-être aussi