Vous êtes sur la page 1sur 33

Tugas Farmasi

ASMA

oleh :
FIQIH FARUZ ROMADHON
G99122046

KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2014

PENDAHULUAN
Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan
dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun
zat-zat yang ada dalam makanan. Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di
masyarakat adalah penyakit asma.
Asma adalah satu di antara beberapa penyakit yang tidak bisa
disembuhkan secara total. Kesembuhan dari satu serangan asma tidak menjamin
dalam waktu dekat akan terbebas dari ancaman serangan berikutnya. Apalagi bila
karena pekerjaan dan lingkungannya serta faktor ekonomi, penderita harus selalu
berhadapan dengan faktor alergen yang menjadi penyebab serangan. Biaya
pengobatan simptomatik pada waktu serangan mungkin bisa diatasi oleh penderita
atau keluarganya, tetapi pengobatan profilaksis yang memerlukan waktu lebih lama,
sering menjadi problem tersendiri (Mukhid dkk, 2007).

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik
saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa

mengi,

batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini
hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.(1)
Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala
tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan
sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian.(1)
B. PATOFISIOLOGI DAN MEKANISME TERJADINYA ASMA
Gejala asma, yaitu batuk, sesak nafas, dan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas
bronkus. Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang
sangat kompleks, melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi,
interaksi antar sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik
dan remodeling. Perubahan

akibat

inflamasi

pada

penderita

asma

merupakan dasar kelainan fungsi. Kelainan patologi yang terjadi adalah


obstruksi saluran napas, hiperresponsivitas saluran napas, kontraksi otot
polos

bronkus, hipersekresi

mukus, keterbatasan

aliran

udara

yang

reversibel dan eksaserbasi. (2)


Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara
lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut
yang terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi
asma lambat (late asthma reaction = LAR). Reaksi asma fase cepat diawali
dengan alergen terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrien,

prostaglandin

dan

platelet-activating

factor

(PAF)

yang

menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.


Reaksi fase lambat timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T cluster of differentiation
4 (CD4+), neutrofil dan makrofag.(3)
Proses inflamasi kronik melibatkan berbagai sel. Sel-sel inflamasi yang
berperan dalam saluran pernapasan pada proses inflamasi kronik antara lain
(4)

Sel

mast : melepaskan

mediator

bronkokonstriktor ( histamin,

cysteinyl leukotrienes, prostaglandin D2/PGD2). Diaktivasi oleh alergen


melalui reseptor Imunoglobulin (Ig) E. Peningkatan di otot polos saluran
pernapasan berhubungan dengan hiperresponsivitas.

Eosinofil : melepaskan protein dasar yang dapat merusak sel-sel


epitel

saluran

pernapasan. Kemungkinan

memiliki

peran

dalam

pelepasan growth factor dan proses remodeling saluran pernapasan.

Limfosit T : melepaskan sitokin spesifik interleukin (IL) -4, IL-5,


IL-9 dan IL-13 bersama dengan inflamasi eosinofilik dan produksi IgE
oleh limfosit B.

Sel

dendritik : berinteraksi

dengan

sel

regulator

dan

merangsang produksi sel T helper 2 (Th2) .

Makrofag : diaktivasi oleh alergen melalui reseptor IgE afinitas


rendah

untuk

melepas

mediator

inflamasi

dan

sitokin

yang

meningkatkan respon inflamasi.

Sel epitel : mengekspresikan protein inflamasi, melepaskan sitokin,


kemokin dan mediator lemak. Virus dan polutan udara berinteraksi dengan
epitel.

Sel fibroblas : menghasilkan komponen jaringan ikat seperti kolagen


dan proteoglikan. Terlibat pada remodeling saluran napas.

Neutrofil : peran patofisiologi sel ini masih belum pasti tetapi


jumlahnya meningkat pada saluran pernapasan dan sputum pasien
asma, pasien asma yang merokok dan pasien yang mendapat terapi
glukokortikosteroid.

Otot polos bronkus : konstriksi sebagai respons terhadap mediatormediator bronkokonstriksi dan dapat dikembalikan oleh bronkodilator.
Selain

karakteristik
perubahan

respons
sering

inflamasi, terdapat
disebut

remodeling

ini

berhubungan

dengan

mengakibatkan

penyempitan

ireversibel

perubahan
saluran

beratnya
saluran

struktur

yang

pernapasan. Beberapa
penyakit

dan

dapat

pernapasan.(2) Proses

patofisiologi asma ini dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Mekanisme patofisiologi asma


Hiperresponsivitas saluran napas
Hiperresponsivitas saluran napas adalah respons bronkus berlebihan yaitu
berupa penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik maupun
nonspesifik. Respons inflamasi dapat secara langsung meningkatkan gejala
asma seperti batuk dan rasa berat di dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf
sensorik saluran napas. (5)
Penyempitan bronkus ini mengakibatkan keterbatasan aliran udara
dengan gejala yang intermiten. Hiperresponsivitas saluran pernapasan
dihubungkan

dengan inflamasi

dan perbaikan

saluran

napas bersifat

reversibel yang sebagian melalui terapi. (2)


Reaksi imunologi berperan penting dalam patofisiologi hiperresponsivitas
saluran napas melalui pelepasan mediator seperti histamin, PG, leukotrien
(LT), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan protease sel mastsedangkan eosinofil

akanmelepaskan PAF, major basic protein (MBP) dan eosinophyl chemotactic


factor (ECF).(5)
Pencetus hiperresponsivitas jalan napas, secara normal tidak hanya
terbatas pada jalan napas. Exercise dapat menyebabkan bronkokonstriksi.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa hasil respons inflamasi dapat
secara tidak langsung meningkatkan gejala asma, seperti batuk dan sesak
napas. Efek ini serupa dengan penyakit-penyakit infeksi lain,
dirangsang dan diaktivasi oleh saraf sensorik jalan napas.

(4)

mediator

Beberapa sel

dan mediator yang berpengaruh pada asma dan akibatnya pada jalan
napas dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
.
Sel-sel Inflamasi
-Sel mast
-Eosinofil
-Sel Th2
-Basofil
-Neutrofil
-Pletelets
Sel Struktural :
-Sel epitel
-Sel otot polos
-Sel endotel
-Fibroblast
-Sel saraf

Mediator :
-Histamin
-Leukotrin
-Prostanoid
-PAF
-Kinin
-Adenosin
-Endotelin
-Nitric oxide
-Sitokin
-kemokin

Efek :
Bronkospasme
Eksudasi
plasma
Sekresi mukus
Hiperesponsivitas jalan napas
Perubahan
struktur

Gambar 2. Sel dan mediator pada asma


Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor
genetik dan faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum
pasien menjadi asma (1):
1.

Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan


lingkungan apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka
akan timbul sensitisasi pada dirinya.

2.

Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum


tentu menjadi asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi
terpajan dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada
saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses
inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hiperreaktivitas
bronkus.

3.

Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan


oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi)

C. FAKTOR RISIKO ASMA


Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor
genetik dan faktor lingkungan. (1)
1.

Faktor genetik
a.

Hipereaktivitas

b.

Atopi/alergi bronkus

c.

Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

d.

Jenis kelamin

e.

Ras/etnik

2. Faktor lingkungan
a.

Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,


alternaria/jamur dll)

b.

Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)

c.

Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan,


kacang, makanan laut, susu sapi, telur)

d.

Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID,


bloker dll)

e.

Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray,


dan lain-lain)

f.

Ekpresi emosi berlebih

g.

Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

h.

Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

i.

Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya


ketika melakukan aktifitas tertentu

j.

Perubahan cuaca

D. DIAGNOSIS ASMA
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan semestinya, Mengi (wheezing) dan/atau batuk kronik
berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Secara umum
untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang . (1)
1.

Anamnesis
Riwayat perjalanan penyakit, faktor-faktor yang berpengaruh pada asma,
riwayat keluarga, dan riwayat adanya alergi, serta gejala klinis.

2.

Pemeriksaan fisik
Tanda asma yang paling sering ditemukan adalah mengi, namun pada
sebagian pasien asma tidak didapatkan mengi diluar serangan. Begitu juga
pada asma yang sangat berat berat mengi dapat tidak terdengar (silent
chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun.
Secara umum pasien yang sedang mengalami serangan asma dapat
ditemukan hal-hal sebagai berikut, sesuai derajat serangan :
Inspeksi

: pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas

cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal), dan


sianosis
Palpasi

: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat

terjadi pulsus paradoksus


Perkusi

: biasanya tidak ditemukan kelainan

Auskultasi : ekspirasi memanjang, mengi, dan suara lendir


3.

Pemeriksaan penunjang

darah(terutama

eosinofil,

Ig

total,

Ig

spesifik),

sputum(eosinofil, spiral Curshman, Kristal Charcot-Leyden).

Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer

Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate


meter

Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)

Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas


bronkus.

Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada
tidaknya alergi.

Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan


penyakit selain asma.

E. Klasifikasi
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat
serangan (akut).
1. Asma saat tanpa serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada
orang dewasa (6)
Derajat asma

Gejala

Intermitten

Gejala malam

Faal paru

2 kali sebulan

Bulanan
-

APE80%
G

ejala<1x/minggu.
-

EP180% nilai
T

prediksi APE80%

anpa gejala diluar

nilai terbaik.

serangan.
-

V
ariabiliti APE<20%.

erangan singkat.
Mingguan

Persisten ringan

APE>80%
G

>2 kali sebulan

ejala>1x/minggu

EP180% nilai

tetapi<1x/hari.

prediksi APE80%
S

nilai terbaik.

erangan dapat

Persisten sedang

mengganggu aktifiti

ariabiliti APE 20-

dan tidur
Harian

30%.
APE 60-80%

>2 kali sebulan

ejala setiap hari.


-

VEP1 60-80%
S

nilai prediksi

erangan

APE 60-80%

mengganggu aktifiti

nilai terbaik.

dan tidur.
-

Var
iabiliti APE>30%.

embutuhkan
bronkodilator setiap
hari.
Persisten berat

Kontinyu
-

APE 60%
G

Sering

ejala terus menerus


-

EP160% nilai

prediksi

ering kambuh
-

APE60% nilai
A

terbaik

ktifiti fisik terbatas

V
ariabiliti APE>30%

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara


umum pada orang dewasa
Klasifikasi derajat asma pada anak (1)
Parameter klinis,

Asma episodik

Asma episodik

kebutuhan obat

jarang

sering

<1x/bulan
<1minggu

>1x/bulan
>1minggu

Asma persisten

dan faal paru asma


1
2

Frekuensi serangan
Lama serangan

Sering
Hampir sepanjang
tahun, tidak ada

10

periode bebas
3
4

Intensitas serangan
Diantara serangan

Biasanya ringan
Tanpa gejala

serangan
Biasanya sedang Biasanya berat
Sering ada
Gejala siang dan

Tidur dan aktifitas

Tidak

gejala
Sering

malam
Sangat tergganggu

Pemeriksaan fisik

tergganggu
Normal ( tidak

tergganggu
Mungkin

Tidak pernah

diluar serangan

ditemukan

tergganggu

normal

kelainan)

(ditemukan

Tidak perlu

kelainan)
Perlu

Perlu

Obat
pengendali(anti

inflamasi)
Uji faal paru(diluar

PEFatauFEV1>8

PEFatauFEV1<6

PEVatauFEV<60%

serangan)
Variabilitas faal

0%
Variabilitas>15

0-80%
Variabilitas>30

Variabilitas 20-

paru(bila ada

30%.

serangan)

Variabilitas >50%

Tabel 2. Klasifikasi derajat asma pada anak


PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak),
FEV1=Forced expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1
detik)
2. Asma saat serangan
Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi
tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma
serangan berat. Klasifikasi asma menurut derajat serangan dapat dilihat pada
tabel berikut: (2)
Parameter klinis,

Ringan

Sedang

Berat

fungsi faal paru,

Ancaman
henti napas

laboratorium
Sesak (breathless)

Berjalan

Berbicara

Istirahat

11

Bayi :

Bayi :

Bayi :

Menangis

-Tangis

Tidakmau

keras

pendek dan

makan/minu

lemah

-Kesulitan
menetek/mak
Bisa

an
Lebih suka

Duduk

berbaring

duduk

bertopang

Kalimat

Penggal

lengan
Kata-kata

Kesadaran

Mungkin

kalimat
Biasanya

Biasanya

Kebingunga

Sianosis
Wheezing

iritabel
Tidak ada
Sedang,

iritabel
Tidak ada
Nyaring,

iritabel
Ada
Sangat

n
Nyata
Sulit/tidak

sering

sepanjang

nyaring,

terdengar

hanya pada

ekspirasi

terdengar

akhir

inspirasi

tanpa

Penggunaan otot

ekspirasi
Biasanya

Biasanya ya

stetoskop
Ya

bantu respiratorik

tidak

Posisi

Bicara

Gerakan
paradok
torako-

Retraksi

Frekuensi napas

Dangkal,

Sedang,

Dalam,

abdominal
Dangkal /

retraksi

ditambah

ditambah

hilang

interkostal

retraksi

napas

suprasternal

cuping

hidung
Takipnu
Takipnu
Takipnu
Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak
sadar :
Usia

Frekuensi

napas normal per menit

12

Frekuensi nadi

< 2 bulan

<60

2-12 bulan

< 50

1-5 tahun

< 40

6-8 tahun
< 30
Normal
Takikardi
Takikardi
Dradikardi
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak
Usia

Frekuensi

nadi normal per menit


2-12 bulan

< 160

1-2 tahun

< 120

Pulsus paradoksus

6-8 tahun
Tidak ada
Ada

Ada

< 110
Tidak ada,

(pemeriksaannya

(< 10

(10-20

(>20mmHg)

tanda

tidak praktis)

mmHg)

mmHg)

kelelahan
otot
respiratorik

PEFR atau FEV1


(%nilai dugaan/
%nilai terbaik)

>60%

40-60%

<40%

Pra bonkodilator

>80%

60-80%

<60%,

Pasca

respon<2

bronkodilator
SaO2 %
PaO2

>95%
Normal

91-95%
>60 mmHg

jam
90%
<60 mmHg

<45 mmHg

>45 mmHg

(biasanya
tidak perlu
diperiksa)
<45 mmHg

PaCO2

Tabel 3. Klasifikasi asma menurut derajat serangan


F. PENATALAKSANAAN
1.

Penatalaksanaan asma jangka panjang


Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma
dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan
dengan klasifikasi beratnya asma.

13

Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi:


a.

Edukasi (1)
Edukasi yang diberikan mencakup :
Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan
Mengenali gejala serangan asma secara dini
Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu
penggunaannya
Mengenali dan menghindari faktor pencetus
Kontrol teratur

b.

Obat asma
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega
diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol
ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam
jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan
anti inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan
mutlak dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis
diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol.
Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :
1) Kortikosteroid
Rute pemberian bisa secara inhalasi ataupun sistemik (oral
atau parenteral). Mekanisme aksi antiinflamasi dari kortikosteroid
belum diketahui secara pasti.Studi tentang kortikosteroid inhalasi
menunjukkan kegunaannya dalam memperbaiki fungsi paru,
mengurangi hiperrespon saluran nafas, mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki
kualitas hidup.Dosis tinggi dan jangka panjang kortikosteroid
inhalasi bermanfaat untuk pengobatan asma persisten berat karena
dapat menurunkan pemakaian koetikosteroid oral jangka panjang
dan mengurangi efek samping sistemik.
Untuk kortikosteroid sistemik, pemberian oral lebih aman
dibanding parenteral. Jika kortikosteroid oral akan diberikan
secara jangka panjang, harus diperhatikan mengenai efek samping

14

sistemiknya. Prednison, prednisolon dan metilprednisolon adalah


kortikosteroid

oral

pilihan

karena

mempunyai

efek

mineralokortikoid minimal, waktu paruh yang relatif pendek dan


efek yang ringan terhadap otot bergaris. Pendapat lain
menyatakan kortikosteroid sistemik dipakai pada penderita
dengan penyakit akut, pasien yang tidak tertangani dengan baik
memakai bronkodilator dan pada pasien yang gejalanya menjadi
lebih jelek walaupun telah diberi pengobatan maintenance yang
baik.
Efek

samping

lokal

kortikosteroid

inhalasi

adalah

kandidiasis orofaring, disfonia dan kadang batuk.Efek samping


sistemik tergantung dari potensi, bioavailabilitas, absorpsi di usus,
metabolisme di hepar dan waktu paruhnya. Beberapa studi
menyatakan bahwa dosis diatas 1 mg perhari beclometason
dipropionat atau budesonid atau dosis ekuivalen kortikosteroid
lain, berhubungan dengan efek sistemik termasuk penebalan kulit
dan mudah luka, supresi adrenal dan penurunan metabolisme
tulang. Efek sistemik pemakaian jangka panjang kortikosteroid
oral adalah osteoporosis, hipertensi arterial, diabetes melitus,
supresi HPA aksis, katarak, obesitas, penipisan kulit dan
kelemahan otot. (6, 7)
2) Sodium kromoglikat dan Sodium nedokromil
Sodium kromoglikat adalah antiinflamasi non steroid, dan
mekanisme kerja yang pasti belum diketahui. Obat ini terutama
menghambat pelepasan mediator yang dimediasi oleh IgE dari sel
mast dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel inflamasi
yang lain (makrofag, eosinofil, monosit). Obat ini diberikan untuk
pencegahan karena dapat menghambat reaksi asma segera dan
reaksi asma lambat akibat rangsangan alergen, latihan, udara
dingin

dan

sulfur

dioksida.

Pemberian

jangka

panjang

menyebabkan penurunan nyata dari jumlah eosinofil pada cairan


BAL dan penurunan hiperrespon bronkus nonspesifik. Bisa

15

digunakan jangka panjang setelah asma timbul, dan akan


menurunkan gejala dan frekuensi eksaserbasi.
Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 410 kali lebih besar dibanding sodium kromoglikat. Walau belum
jelas betul, nedokromil menghambat aktivasi dan pelepasan
mediator dari beberapa sel inflamasi. Juga sebagai pencegahan
begitu asma timbul. (6)
3) Teofilin lepas lambat
Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang
dipakai pada penatalaksanaan asma. Mekanisme kerja teofilin
sebagai bronkodilator masih belum diketahui, tetapi mungkin
karena teofilin menyebabkan hambatan terhadap phospodiesterase
(PDE) isoenzim PDE IV, yang berakibat peningkatan cyclic AMP
yang akan menyebabkan bronkodilatasi.
Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek
ekstrapulmonar, termasuk efek antiinflamasi. Teofilin secara
bermakna menghambat reaksi asma segera dan lambat segera
setelah paparan dengan alergen. Beberapa studi mendapatkan
teofilin berpengaruh baik terhadap inflamasi kronis pada asma.
Banyak studi klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka
panjang dengan teofilin lepas lambat efektif dalam mengontrol
gejala asma dan memperbaiki fungsi paru. Karena mempunyai
masa kerja yang panjang, obat ini berguna untuk mengontrol
gejala nokturnal yang menetap walaupun telah diberikan obat
antiinflamasi.
Efek sampingnya adalah intoksikasi teofilin, yang dapat
melibatkan banyak sistem organ yang berlainan. Gejala
gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal yang paling
sering. Pada anak dan orang dewasa bisa terjadi kejang bahkan
kematian. Efek kardiopulmoner adalah takikardi, aritmia dan
terkadang stimulasi pusat pernafasan.
Dosis golongan methyl xantine adalah 5 mg/Kg BB dalam
10-15 menit untuk loading dose dan 20 mg/Kg BB/24 jam untuk

16

dosis pemeliharaan dengan dosis maksimum 1500 mg/24 jam.


Adapun therapeutic dose adalah 10-20 mg/dl. (6)
4) Beta2-agonis long acting
Termasuk didalamnya adalah formoterol dan salmeterol
yang mempunyai durasi kerja panjang lebih dari 12 jam. Cara
kerja obat beta2-agonis adalah melalui aktivasi reseptor beta2adrenergik yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase yang
meningkatkan konsentrasi siklik AMP . Beta2-agonis long acting
inhalasi menyebabkan relaksasi otot polos saluran nafas,
meningkatkan klirens mukosiliar, menurunkan permeabilitas
vaskuler dan dapat mengatur pelepasan mediator dari sel mast dan
basofil. Juga menghambat reaksi asma segera dan lambat setelah
terjadi induksi oleh alergen, dan menghambat peningkatan respon
saluran nafas akibat induksi histamin. Walaupun posisi beta 2agonis inhalasi long acting masih belum ditetapkan pasti dalam
penatalaksanaan

asma,

studi

klinis

mendapatkan

bahwa

pengobatan kronis dengan obat ini dapat memperbaiki skor


gejala, menurunkan kejadian asma nokturnal, memperbaiki fungsi
paru dan mengurangi pemakaian beta2-agonis inhalasi short
acting. Efek sampingnya adalah stimulasi kardiovaskuler, tremor
otot skeletal dan hipokalemi.
Mekanisme aksi dari long acting beta2-agonis oral, sama
dengan obat inhalasi. Obat ini dapat menolong untuk mengontrol
gejala nokturnal asma. Dapat dipakai sebagai tambahan terhadap
obat kortikosteroid inhalasi, sodium kromolin atau nedokromil
kalau dengan dosis standar obat-obat ini tidak mampu
mengontrolgejala nokturnal. Efek samping bisa berupa stimulasi
kardiovaskuler, kelemahan dan tremor otot skeletal. (6)
Penatalaksaan asma pada berbagai derajat dapat dilihat pada table
berikut: (6)
Derajat Asma
Asma
Intermitten

Obat Pengontrol(Harian)
Tidak perlu

Obat Pelega
Bronkodilator aksi singkat,
yaitu agonis beta 2 bila perlu

17

Intensitas

pengobatan

tergantung berat exsaserbasi


Inhalasi agonis beta 2 atau
kromolin
Asma

dipakai

sebelum

aktivitas atau pajanan alergen


Inhalasi kortikosteroid200 Inhalasi agonis beta 2 aksi

Persisten

Ringan

nedokromil

500

g/

kromolin/

atau

teofilin

singkat bila perlu dan tidak


melebihi 3 4 kali sehari

lepas lambat
Bila

perlu

ditingkatkan

sampai

800g/

ditambahkan bronkodilator
aksi lama terutama untuk
mengontrol asma malam.
Dapat

diberikan

agonis

beta 2 aksi lama inhalasi


atau oral atau teofilinlepas
Asma
Persisten
Sedang

lambat.
Inhalasi kortikosteroid800 Inhalasi agonis beta 2 aksi
2000g

singkat bila perlu dan tidak

Bronkodilator

aksi

lamaterutama

untuk

melebihi 3 4 kali sehari

mengontrol asma malam


berupa agonis beta 2 aksi
lama inhalasi atau oral atau
Asma
Persisten Berat

teofilinlepas lambat.
Inhalasi kortikosteroid800
2000g atau lebih
Bronkodilator

aksi

lamaterutama

untuk

mengontrol asma malam


berupa agonis beta 2 aksi

18

lama inhalasi atau oral atau


teofilinlepas lambat.
Kortikosteroid oral jangka
panjang
Tabel 4. Penatalaksanaan pada berbagai derajat asma
2.

Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)


Tujuan Penatalaksanaan pada eksaserbasi akut adalah untuk
menghilangkan obstruksi secepat mungkin, menghilangkan hipoksemi,
mengembalikan faal paru ke normal secepat mungkin, dan mencegah
kekambuhan. Berat ringannya serangan asma dapat diklasifikasikan seperti
yang tercantum dalam table berikut: (6)
Gejala dan
Tanda
Sesak nafas
Posisi
Cara
berbicara
Kesadaran
Frekuensi
Nafas
Nadi
Otot bantu
nafas dan
retraksi

Berat Serangan Akut


Ringan
Sedang
Berat
Berjalan
Berbicara
Beristirahat
Dapat tidur
Duduk
Duduk
terlentang
membungkuk
Beberapa
Kata demi
Satu kalimat
kalimat
kata
Mungin
gelisah
< 20x/mnit

Keadaan
Mengancam Jiwa

Mengantuk,
Gelisah

Gelisah

gelisah, kesadaran
menurun

20-

>30x/mnit

<100

30x/menit
100-120

Akhir

Ispirasi dan

ekspirasi

ekspirasi

>120

Bradikardia
Kelelahan otot
thorako abdominal

suprasternal
Akhir
Mengi

ekspirasi

APE
PaO2
paCO2

paksa
>80%
>80 mmHg
<45 mmHg

Silent chest

60-80%
<60%
80-60 mmHg <60 mmHg
<45 mmHg
>45 mmHg

19

SaO2

>95%

91-95%

<90%

Tabel 5. Klasifikasi berat serangan asma akut


Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah obat releiver
yang bekerja cepat untuk menghilangkan bronkokonstriksi dan gejala akut
lain yang menyertai. Yang termasuk dalam golongan ini adalah inhalasi
beta2-agonis short acting, kortikosteroid sistemik, antikolinergik inhalasi,
teofilin short acting dan beta2-agonis oral short acting. (6)
1) Beta2-Agonis inhalasi short acting
Seperti beta2-agonis yang lain, obat ini menyebabkan relaksasi
otot

polos

saluran

nafas,

meningkatkan

klirens

mukosilier,

mengurangi permeabilitas vaskuler dan mengatur pelepasan mediator


dari sel mast dan basofil. Merupakan obat pilihan untuk asma
eksaserbasi akut dan pencegahan exercise induced asthma. Juga
dipakai untuk mengontrol bronkokonstriksi episodik. Pemakaian obat
ini untuk pengobatan asma jangka panjang tidak dapat mengontrol
gejala asma secara memadai, juga terhadap variabilitas peak flow atau
hiperrespon saluran nafas. Hal ini juga dapat menyebabkan
perburukan asma dan meningkatkan kebutuhan obat antiinflamasi.
2) Kortikosteroid sistemik
Walaupun onset dari obat ini adalah 4-6 jam, obat ini penting
untuk mengobati eksaserbasi akut yang berat karena dapat mencegah
memburuknya eksaserbasi asma, menurunkan angka masuk UGD atau
rumah sakit, mencegah relaps setelah kunjungan ke UGD dan
menurunkan morbiditas.Terapi oral lebih dipilih, dan biasanya
dilanjutkan 3-10 hari mengikuti pengobatan lain dari eksaserbasi.
Diberikan 30 mg prednisolon tiap hari untuk 5-10 hari tergantung
derajad eksaserbasi. Bila asma membaik, obat bisa dihentikan atau
ditappering.
3) Antikolinergik

20

Obat antikolinergik inhalasi (ipratropium bromida, oxitropium


bromida) adalah bronkodilator yang memblokade jalur eferen vagal
postganglion. Obat ini menyebabkan bronkodilatasi dengan cara
mengurangi tonus vagal intrinsik saluran nafas. Juga memblokade
refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan inhalasi. Obat ini
mengurangi reaksi alergi fase dini dan lambat juga reaksi setelah
exercise. Dibanding beta2-agonis, kemampuan bronkodilatornya lebih
lemah, juga mempunyai onset kerja yang lambat (30-60 menit untuk
mencapai efek maksimum). Efek sampingnya adalah menyebabkan
mulut kering dan rasa tidak enak.
4) Teofilin short acting
Aminofilin atau teofilin short acting tidak efektif untuk
mengontrol gejala asma persisten karena fluktuasi yang besar didalam
konsentrasi teofilin serum. Obat ini dapat diberikan pada pencegahan
exercise induced asthma dan menghilangkan gejalanya. Perannya
dalam eksaserbasi masih kontroversi. Pada pemberian beta2-agonis
yang efektif, obat ini tidak memberi keuntungan dalam bronkodilatasi,
tapi berguna untuk meningkatkan respiratory drive atau memperbaiki
fungsi otot respirasi dan memperpanjang respon otot polos terhadap
beta2-agonis short acting.
5) Beta2-Agonis oral short acting
Merupakan bronkodilator yang merelaksasi otot polos saluran
nafas. Dapat dipakai pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat
inhalasi.
Algoritme penatalaksanaan asma
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya 2 agonis kerja
cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak
memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat
diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada keadaan tertentu

21

(seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral


(metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5 hari.
Pada serangan sedang diberikan 2 agonis kerja cepat dan
kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida
inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip). Pada anak belum diberikan
ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat
diberikan oksigen dan pemberian cairan IV
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan
IV, 2 agonis kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV,
Penilaian Awal

dan pemeriksaan
fisik
dan aminofilin IV (bolus Riwayat
atau drip).
Apabila 2
agonis kerja cepat tidak

(auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau
tersedia dapatVEP1,
digantikan
dengan
adrenalin
subkutan.
Padaindikasi
serangan asma
saturasi O2),
AGDA
dan pemeriksaan
lain atas

yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU. Pemberian obat-obat


bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser.

Serangan Asma Ringan

Serangan Asma Sedang/Berat

Serangan Asma Mengancam Jiwa

Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer).
(1, 6)

Pengobatan Awal
Oksigenasi dengan kanul nasal
Inhalasi
agonislebih
beta-2 kerja
singkat (nebulisasi),
setiap
20 menit dalam satu jam) atau agonis beta-2
Untuk
jelasnya
lihat pada
algoritma
injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)
Kortikosteroid sistemik :
- serangan asma berat
- tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator
- dalam kortikosterois oral

Penilaian Ulang setelah 1 jam


Pem.fisis, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasi

Algoritma Penatalaksanaan Asma Di Rumah Sakit

Respons baik
Respons baik dan stabil dalam 60
menit
Pem.fisi normal
APE >70% prediksi/nilai terbaik

Respons Tidak Sempurna


Resiko tinggi distress
Pem.fisis : gejala ringan sedang
APE > 50% terapi < 70%
Saturasi O2 tidak perbaikan

Respons buruk dalam 1 jam


Resiko tinggi distress
Pem.fisis : berat, gelisah dan kesadaran
menurun
APE < 30%
PaCO2 < 45 mmHg

PaCO2 < 60 mmHg


Pulang
Pengobatan dilanjutkan dengan
inhalasi agonis beta-2
Membutuhkan kortikosteroid oral
Edukasi pasien
Memakai obat yang
benar
Ikuti rencana
pengobatan selanjutnya

Dirawat di RS
Inhalasi agonis beta-2 + antikolinergik
Kortikosteroid sistemik
Aminofilin drip
Terapi Oksigen pertimbangkan kanul
nasal atau masker venturi
Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadar teofilin

Perbaikan
Pulang
Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap
berikan pengobatan oral atau inhalasi

Tidak Perbaikan

Dirawat di ICU
Inhalasi agonis beta-2 + anti kolinergik
Kortikosteroid IV
Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi
SC/IM/IV
Aminofilin drip
Mungkin perlu intubasi dan ventilasi
mekanik

22
Dirawat di ICU
Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam

Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan serangan asma di rumah sakit


Jenis obat asma, nama generic, dan bentuk sediaan, baik untuk pengontrol
maupun reliever dapat dilihat pada table berikut: (1)
Jenis obat

Golongan

Nama generic

Bentuk/kemasan obat

Pengontrol Steroid inhalasi

Flutikason propionat

IDT

(Antiinfla

Budesonide

IDT, turbuhaler

Zafirlukast

Oral(tablet)

masi)
Antileukokotrin

23

Kortikosteroid

Metilprednisolon

Oral(injeksi)

sistemik

Prednison

Oral

Agonis beta-2

Prokaterol

Oral

kerjalama

Formoterol

Turbuhaler

Salmeterol

IDT

kombinasi steroid

Flutikason + Salmeterol.

IDT

dan

Budesonide + formoterol

Turbuhaler

Salbutamol

Oral, IDT, rotacap

Agonis beta-2
kerjalama
Pelega

Agonis beta-2

solution

(Bronkodil kerja cepat


ator)

Terbutalin

Oral, IDT, turbuhaler,


solution, ampul (injeksi)

Prokaterol

IDT

Fenoterol

IDT, solution

Ipratropium bromide

IDT, solution

Teofilin

Oral

Aminofilin

Oral, injeksi

Teofilin lepas lambat

Oral

Metilprednisolon

Oral, inhaler

Prednison

Oral

Antikolinergik
Metilsantin

Kortikosteroid
sistemik

Tabel 6. Nama dan bentuk sediaan obat asma


c.

Menjaga kebugaran antara lain dengan melakukan senam asma.

24

Dengan melaksanakan ketiga hal diatas diharapkan tercapai


tujuan penanganan asma, yaitu asma terkontrol. Berikut adalah ciriciri asma terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol (tabel 7).
(2)

Tingkatan Asma Terkontrol


Karakteristik

Terkontrol

Gejala harian

Sebagian
Terkonrol
Tidak ada (dua Lebih dari dua Tiga atau lebih gejala

Pembatasan

Terkonrol

Tidak

kali atau kurang kali seminggu

dalam kategori Asma

perminggu)
Tidak ada

Terkontrol

aktivitas

Sewaktu-waktu
dalam

Gejala

Tidak ada

nokturnal/gangguan

muncul

Sebagian,

sewaktu

waktu

seminggu
Sewaktu
waktu

dalam

seminggu

dalam

tidur (terbangun)
seminggu
Kebutuhan
akan Tidak ada (dua Lebih dari dua
reliever atau terapi kali atau kurang kali seminggu
rescue

dalam

seminggu)
Fingsi Paru (PEF Normal

<

atau

(perkiraan atau

FEV1*)

dari

Eksaserbasi

Tidak ada

80%
kondisi

terbaik

bila

diukur)
Sekali

atau Sekali dalam

lebih

dalm seminggu***)

setahun**)
Tabel 7. Ciri-ciri Tingkatan Asma

25

ILUSTRASI KASUS
A. ANAMNESIS
1. IDENTITAS
Nama

: Ny. K

Umur

: 45 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Surakarta

2. KELUHAN UTAMA
Sesak nafas
3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke RSDM dengan keluhan utama sesak nafas disertai mengi.
Sejak sekitar 5 tahun yang lalu pasien sudah sering merasakan sesak napas
yang berulang dan hilang timbul. Saat terjadi serangan, pasien merasa

26

dadanya seperti terikat, dan kadang disertai batuk berdahak berwarna putih
jernih. Sesak nafas seringkali dirasakan pada malam hari, sehingga pasien
sering terbangun dari tidurnya. Selain pada malam hari pasien mengaku
sesak juga dirasakan setelah pasien membersihkan rumah. Akhir-akhir ini,
sesak nafas semakin sering dirasakan, dalam satu hari serangan bisa terjadi
sampai tiga kali. Sesak napas terjadi berulang-ulang dan dirasakan semakin
memberat.
4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat alergi makanan

: disangkal

Riwayat alergi dingin

: disangkal

Riwayat alergi obat

: disangkal

5. RIWAYAT KELUARGA
Riwayat sakit serupa

: disangkal

Riwayat alergi makanan

: disangkal

B. PEMERIKSAAN FISIK
Status Interna
Keadaan Umum
Tanda Vital :

: Lemas, CM, Gizi cukup

Tensi

: 110/80 mmHg

Nadi

: 100 x / menit

Respiratory Rate : 30x/menit


Suhu

: 37 0C

Kepala

: Mesocephal

Mata

: Conjuctiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)

THT

: Tonsil tidak membesar, Pharinx hiperemis (-)

Leher

: Pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thorax

: Normochest, retraksi (+)

Cor

Inspeksi

: Ictus Cordis tidak tampak

27

Palpasi

: Ictus Cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)


Pulmo :
Inspeksi

: Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi

: Fremitus raba dada kanan = kiri

Perkusi

: Sonor/Sonor

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (+/+), Ronki basah


kasar (-/-)
Abdomen:
Inspeksi

: Dinding perut = dinding dada

Palpasi

: Supel, NT (-), hepar lien tidak membesar

Perkusi

: Tympani pada bawah processus xiphoideus

Auskultasi : Peristaltik (+) normal

Ekstremitas

Oedema
-

Akral dingin
-

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah
Hemoglobin

: 10,9 gr/dl

Hematokrit

: 31,4 %

Eritrosit

: 3,69 x 103/uL

Leukosit

: 12,0 x 103/uL

Trombosit

: 306 x 103/uL

Golongan Darah

:A

GDS

: 75 mg/dL

28

Ureum

: 18 mg/dL

Creatinin

: 0,8 mg/dL

Na+

: 140 mmol/L

K+

: 4,4 mmol/L

Ion klorida

: 107 mmol/L

SGOT

: 18 u/l

SGPT

: 14 u/l

Albumin

: 3,4 g/dl

LDH

: 200 U/L

PT

: 15,8

APTT

: 30,0

HbS Ag

: negatif

D. DIAGNOSA
Serangan asma sedang
E. PROGNOSA
Baik
F. TERAPI
Medikamentosa
1. Berotec MDI bila sesak nafas
2. Metilprednisolon 1x4 mg selama 7 hari
G. RESEP
Resep rawat jalan
R/ Berotec MDI No.I
S prn 2 dd puff II
R/ Metil prednisolon tab mg 4 No.VII

29

S 1 dd tab 1
Pro: Ny. K ( 45 th)
H. PEMBAHASAN OBAT
1. Agonis -adrenergik
Zat-zat ini bekerja secara selektif terhadap reseptor 2 aderenergik
(bronkospasmolisis) dan praktis tidak terhadap 1 (stimulasi jantung). Obat
dengan efek terhadap kedua reseptor sebaiknya jangan digunakan lagi
berhubung efeknya terhadap jantung, seperti efedrin, isoprenalin, dan
orsiprenalin. Pengecualian adalah adrenalin (reseptor dan ) yang sanagat
efektif pada keadaan kemelut.
Mekanisme kerjanya adalah melalui stimulasi reseptor 2 yang banyak
terdapat di trachea (batang tenggorok) dan bronchi, yang menyebabkan
aktivasi

dari

adenilsiklase.

Enzim

ini

memperkuat

pengubahan

adenosintrifosfat (ATP) yang kaya energi menjadi siklik adenosin monofosfat


(cAMP) dengan pembebasan enersi yang digunakan untuk proses-proses
dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel menghasilkan beberapa
efek melalui enzim fosfokinase, antara lain bronkodilatasi dan penghambatan
pelepasan mediator oleh sel mast.
Penggunaannya semula sebagai monoterapi kontinyu, yang ternyata
secara berangsur meningkatkan HRB dan akhirnya memperburuk fungsi paru,
karena tidak menanggulangi peradangan dan peningkatan kepekaan bagi
allergen pada pasien alergis.Oleh karena itu sejak beberapa tahun hanya
digunakan untuk melawan serangan dan sebagai pemeliharaan dalam
kombinasi dengan zat antiradang, yaitu kortikosteroid inhalasi. (8)
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid berkhasiat meniadakan efek mediator,

seperti

peradangan dan gatal-gatal. Daya antiradang ini berdasarkan blokade enzim


fosfolipase A2, sehingga pembentukan mediator peradangan prostaglandin
dan leukotriene dari asam arakidonat tidak terjadi. Kortikosteroid
menghambat mekanisme kegiatan alergen yang melalui IgE dapat

30

menyebabkan degranulasi sel mast, juga meningkatkan kepekaan reseptor 2


hingga efek mimetika diperkuat.
Penggunaannya terutama bermanfaat pada serangan asma akibat
infeksi virus, selain itu juga pada infeksi bakteri untuk melawan reaksi
peradangan.Pada reaksi alergi lambat (tipe IV) juga efektif.Untuk mengurangi
hipereaktivitas bronki, zat-zat ini dapat diberikan perinhalasi atau
peroral.Dalam kasus gawat dan status asmatikus, obat ini diberikan secara
intravena (perinfus), kemudian disusul dengan pemberian oral.
Penggunaan oral dalam jangka waktu lama hendaknya dihindari,
karena menekan fungsi anak ginjal dan dapat mengakibatkan osteoporosis,
maka hanya diberikan untuk satu kur singkat.Pada serangan hebat dan status
asmatikus obat ini tidak dapat digunakan. (8)

KESIMPULAN
1. Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
berbagai sel inflamasi.
2. Asma terjadi akibat kepekaan (hiperreaktivitas) saluran napas terhadap
berbagai rangsangan sehingga timbul gejala-gejala pernapasan akibat
penyempitan saluran napas difus.
3. Dalam penatalaksanaan asma dikenal dua macam obat yaitu obat pengontrol
(controller) dan pelega (reliever).
4. Jenis obat yang dipakai dalam penanganan asma adalah obat bronkodilator
dan antiinflamasi.

31

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. Pedoman pengendalian
penyakit asma. Jakarta.
2. Global Initiative for Asthma (GINA).2006. Definition and overview.
3. Mangunnegoro H, Widjaja A, Sutoyo DK, Yunus F, Pradjnaparamita, Suryanto
E, dkk. 2004.Asma: Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Barnes PJ, Drazen JM. 2002. Pathophysiology of asthma. In: Barnes PJ, Drazen
JM, Renned S, Thomson NC, editors. Asthma and COPD.Basic mechanisms and
clinical management. 2nd ed. London: Elsevier Science Ltd.
5. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. 2003. Patogenesis dan patofisiologi asma.
Dalam:Cermin Dunia Kedokteran; 141:5-11.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2004. Pedoman diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia.Jakarta: PDPI.
7. Syarfudin K. 2001. Kortikosteroid pada Asma Kronis. Karya Ilmiah PDPI
cabang Malang.
8. Tjay T.H., Rahardja K. 2002. Obat-obat penting: khasia dan penggunaan.
Jakarta: Elex Media Computindo.
9. Mukhid, dkk . 2007. Pharmaceutical care untuk penyakit asma.

32

33

Vous aimerez peut-être aussi