Vous êtes sur la page 1sur 13

PERANAN SIKAP SKEPTIS AUDITOR DAN PENAKSIRAN RISIKO KECURANGAN

DALAM MENDETEKSI KECURANGAN


ABSTRACT
The purpose of this research is to examine the efect of skeptical attitude and fraud risk
assessment on auditors professional skepticism behavior of fraud detection. Experimental design
is used in this research. The subject of this experiment consist of junior auditors, and senior
auditor who work in public accounting firms in Central Java. ANOVA was conducted in this study
to analysis the variance of auditors professional skepticism behavior between groups of auditors.
There are some results in this research. First, skepticism attitude, and fraud risk
assessment, influence the behavior of auditors' professional skepticism of fraud detection. Second,
a motivation from the auditors supervisor such as a high assessment of fraud risk has an
important role to maintain and improve auditors professional skepticism behavior particularly for
auditors who have weak skepticism attitude. This results are supported the theory of attitudes
behavior relation described by Fazio (1990) in the MODE model (Motivation and Opportunity as
DEterminants of the attitude-behavior relation) which states that when people are sufficiently
motivated to do so, they can construct their attitude toward an object in an effortful manner. When
motivation is low, only strong attitude being chronically accessible are likely to influence
behavior (Fazio, 1990; Fazio and Towles-Schwen, 1999).
Keywords: fraud risk assessments, auditors professional skepticism, fraud detection.

PENDAHULUAN
Laporan auditor independen dibutuhkan oleh berbagai pihak sebagai dasar pengambilan
keputusan ekonomi. Laporan ini berisi pernyataan pendapat (opini) dari auditor independen
mengenai apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai dengan PABU (Prinsip
Akuntansi Berterima Umum). Agar opini terhadap laporan keuangan tidak menyesatkan
penggunanya, auditor harus senantiasa mempertahankan profesionalismenya dengan mematuhi
standar profesi dan berperilaku sesuai dengan etika profesi.
Standar profesional auditor menghendaki agar auditor memiliki tanggungjawab untuk
merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh tingkat keyakinan yang memadai
tentang apakah laporan keuangan itu bebas dari salah saji yang material, baik disebabkan oleh
kekeliruan maupun oleh kecurangan. Kecurangan berbeda dengan kekeliruan, di mana faktor
yang membedakan kecurangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya,
yang berakibat terjadinya salah saji dalam laporan keuangan, berupa tindakan yang sengaja
atau tidak disengaja (Institut Akuntan Publik Indonesia, 2011). Menurut Loebbecke et al. (1989)
dan Knapp, dan Knapp (2001), kecurangan lebih sulit untuk dideteksi karena biasanya
melibatkan penyembunyian (concealment). Penyembunyian itu terkait dengan catatan akuntansi
dan dokumen yang berhubungan, serta pemberian informasi palsu atau tidak lengkap.
Standar profesional akuntan publik juga mempersyaratkan agar auditor memiliki sikap
skeptisme profesional dalam mengevaluasi dan mengumpulkan bukti audit terutama yang
terkait dengan penugasan mendeteksi kecurangan (American Institute Certified Public
Accountant, 2002, AU 316.13; IAPI, 2011, SA seksi 316.12). Namun dalam kenyataannya
seringkali auditor tidak memiliki skeptisme profesional memadai dalam melakukan proses audit.
Penelitian Beasley et al. (2001) yang didasarkan pada AAERs (Accounting and Auditing
Releases) dari SEC (Securities and Exchange Commission) selama 11 periode (Januari 1987
Desember 1997) menyatakan bahwa salah satu penyebab kegagalan auditor dalam mendeteksi
kecurangan adalah rendahnya tingkat skeptisme profesional audit. Berdasarkan penelitian
tersebut, dari 45 kasus kecurangan dalam laporan keuangan, 24 kasus (60%) diantaranya terjadi
karena auditor tidak menerapkan tingkat skeptisme profesional yang memadai dan ini
merupakan urutan ketiga dari audit defisiensi yang paling sering terjadi.
Beberapa penelitian terdahulu membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku auditor dalam mendeteksi kecurangan. Saksena(2008) mengidentifikasi empat cara

yang dapat membantu auditor eksternal untuk mencegah dan mendeteksi kecurangan yaitu:
pelatihan yang memadai untuk meningkatkan kompetensi, kesadaran akan lingkungan,
penerapan profesional skepticism, dan belajar dari pengalaman. Penelitian Hurtt (2008)
menyimpulkan bahwa sikap skeptisme profesional auditor berpengaruh terhadap perilaku
skeptis auditor dalam penilaian bukti audit.
Penelitian Koroy (2008) menunjukkan pendeteksian kecurangan dalam audit laporan
keuangan oleh auditor perlu dilandasi dengan pemahaman atas sifat, frekuensi dan kemampuan
pendeteksian oleh auditor. Menurut Fairchild (2007), kemampuan auditor mendeteksi
kecurangan dipengaruhi oleh auditor tenure. Penelitian lain menyebutkan faktor-faktor
penyebab kegagalan auditor dalam mendeteksi kecurangan adalah kurangnya kompetensi,
kurangnya sikap kecermatan dan kehati-hatian professional termasuk skeptisme profesional,
karakteristik kecurangan yang menyulitkan pendeteksian, ukuran Kantor Akuntan Publik
(KAP), human error, kelemahan pada model dan prosedur audit, relasi auditor dan auditee,
standar pengauditan yang kurang memadai, dan besarnya audit fee (Sugianto, 2009).
Penelitian ini bertujuan menginvestigasi pengaruh dari variabel independen: sikap skeptis
auditor dan penaksiran risiko kecurangan terhadap perilaku skeptisme professional auditor
dalam mendekteksi kecurangan. Sikap skeptis auditor dalam melakukan penugasan audit
mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap
bukti audit. Pengertian sikap berbeda dengan perilaku. Sikap masih berupa pemikiran
seseorang, sedangkan perilaku adalah tindakan yang dilakukan seseorang berdasarkan sikap
yang dimilikinya. Sikap menghadirkan suatu kesiapsiagaan untuk bertindak yang mengarah
pada perilaku (Siegel dan Marconi, 1989). Oleh karena itu, diduga bahwa auditor yang memiliki
sikap skeptis yang kuat akan mempunyai perilaku skeptisme profesional yang lebih tinggi
dibandingkan dengan auditor yang memiliki sikap skeptis yang lemah.
Penaksiran risiko kecurangan (fraud risk assessment) biasanya diberikan oleh auditor incharge. Penaksiran risiko kecurangan akan ditetapkan tinggi apabila dalam entitas yang di audit
terdapat indikasi kecurangan, demikian sebaliknya. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
apabila atasan auditor memberikan penaksiran risiko kecurangan yang tinggi kepada auditor
maka dapat meningkatkan perilaku skeptisme profesional auditor (Payne, dan Ramsay, 2005;
Noviyanti, 2008). Penelitian lain menemukan bahwa penaksiran risiko kecurangan dapat
meningkatkan sensitivitas auditor terhadap gejala kecurangan (Zimbelman, 1997; dan Glover et
al., 2003). Hasil tersebut bertentangan dengan penelitian Rose dan Rose (2003) yang menemukan
bahwa penaksiran risiko kecurangan yang rendah tidak akan mempengaruhi skeptisme
profesional auditor.
Penelitian ini juga didasarkan pada teori relasi antara sikap dan perilaku yang dijelaskan
oleh Fazio (1990) yang memperkenalkan the MODE Model yang menyatakan bahwa sikap dapat
diaktifkan menjadi perilaku dengan dua macam cara: (1) in a controlled or deliberative fashion or
(2) in an automatic or spontaneous fashion. The MODE Model ini menjelaskankan bahwa sikap
tidak selalu membentuk perilaku yang sama tetapi tergantung dari aspek situasional. Sikap
akan teraktivasi secara terkontrol dan membentuk perilaku apabila terdapat motivasi dan
kesempatan yang memadai. Namun, apabila motivasi dan kesempatan sedemikian rendahnya
maka sikap akan teraktivasi secara spontan, dimana dalam hal ini hanya sikap yang kuat yang
akan teraktivasi menjadi perilaku.
Apabila dikaitkan dengan the MODE Model, maka penaksiran risiko kecurangan yang
tinggi yang diberikan oleh partner in charge, dapat berperan sebagai motivator bagi auditor
untuk berperilaku skeptis. Oleh karena itu semua auditor yang menerima penaksiran risiko
kecurangan yang tinggi akan memiliki perilaku skeptisme profesional yang lebih tinggi, tidak
peduli apakah auditor tersebut memiliki sikap skeptis yang tinggi atau rendah. Sebaliknya
apabila auditor menerima penaksiran risiko kecurangan yang rendah, maka sikap skeptis akan
teraktivasi secara spontan, sehingga hanya auditor yang mempunyai sikap skeptis yang kuat
saja yang akan mempunyai perilaku yang lebih skeptis.
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para akademisi, peneliti, dan para pelatih
program profesional untuk akuntan publik mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
skeptisme profesional auditor dalam mendeteksi kecurangan. Hasil penelitian ini juga
bermanfaat bagi auditor dengan memberikan informasi mengenai bagaimana meningkatkan
perilaku skeptisme profesional auditor dalam melaksanakan penugasan audit sehingga bisa
meningkatkan kualitas audit. Bagi regulator, penelitian ini memberikan masukan dalam

menyusun standar dan aturan yang terkait dengan tindakan auditor dalam melakukan
penugasan audit terutama yang berhubungan dengan pendeteksian kecurangan.
TELAAH TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Sikap Skeptis Auditor
Standar Profesional Akuntan Publik, PSA 04, AU 200 (IAPI, 2011) menyebutkan bahwa
skeptisme profesional adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan
melakukan evaluasi secara kritis bukti audit. Auditor menggunakan pengetahuan, keterampilan,
dan kemampuan yang dituntut oleh profesi akuntan publik untuk melaksanakan dengan cermat
dan seksama, dengan maksud baik dan integritas, pengumpulan dan penilaian bukti audit
secara objektif. Pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif menuntut auditor
mempertimbangkan kompetensi dan kecukupan bukti tersebut. Bukti audit dikumpulkan dan
dinilai selama proses audit, oleh karena itu skeptisme profesional harus digunakan selama
proses tersebut. Sikap skeptis berarti bahwa auditor tidak mengasumsikan bahwa manajemen
tidak jujur tetapi juga tidak mengasumsikan bahwa manajemen jujur tanpa adanya bukti yang
mendukung.
Auditor tetap harus tanggap dengan kemungkinan terjadinya kecurangan walaupun
kecurangan belum tentu terjadi setiap kali penugasan audit dilakukan. Skeptisme tidak berarti
bersikap sinis, terlalu banyak mengkritik, atau melakukan penghinaan. Skeptisme profesional
auditor akan mengarahkannya untuk menanyakan setiap isyarat yang menunjukkan
kemungkinan terjadinya fraud (Louwers et al., 2005).
Theory of planned behavior yang dikembangkan oleh Ajzen (2005) menjelaskan bahwa
sikap (attitude) akan membentuk perilaku seseorang dalam bertindak. Jika teori ini diterapkan
dalam setting auditing maka sikap skeptisme profesional auditor akan mempengaruhi perilaku
skeptisnya. Lykken et al. (1993) dalam Petty et al. (1997) mengakui bahwa sikap mempunyai
dasar genetik. Tesser (1993) dalam Petty et al. (1997) menyatakan bahwa sikap yang mempunyai
dasar genetik cenderung lebih kuat dibandingkan dengan sikap yang tidak mempunyai dasar
genetik.
Penelitian sebelumnya dari Hurtt (2008) menyimpulkan bahwa sikap skeptisme profesional
auditor berpengaruh terhadap perilaku skeptis auditor dalam penilaian bukti audit. Auditor
yang mempunyai sikap skeptisme profesional yang tinggi akan lebih banyak mengumpulkan
bukti audit yang kompeten dan menyusun hipotesis yang lebih baik dalam penugasan audit.
Carpenter dan Reimers (2007) menemukan bahwa sikap skeptis seseorang mempengaruhi
perilakunya dalam memilih prosedur audit yang memadai. Fullerton et al. (2005) menemukan
bahwa internal auditor yang mempunyai skeptisme profesional yang lebih tinggi akan
meningkatkan pencarian informasi ketika ada indikasi terjadinya kecurangan. Berdasarkan hal
tersebut disusun hipotesis sebagai berikut.
H1 : Auditor yang mempunyai sikap skeptis yang kuat akan berperilaku lebih skeptis dalam
mendeteksi kecurangan.
Penaksiran Risiko Kecurangan (Fraud Risk Assesment)
Penaksiran risiko kecurangan (fraud risk assessment) merupakan persyaratan profesional
dalam penugasan audit yang dimaksudkan untuk meningkatkan kecurigaan auditor terhadap
bukti audit yang diperiksanya pada perusahaan yang mempunyai risiko kecurangan yang tinggi.
Standar Profesional Akuntan Publik, PSA 70, AU 316 menyebutkan bahwa dalam
penaksiran risiko kecurangan ini, auditor harus mempertimbangkan faktor risiko kecurangan
yang terkait dengan: (1) salah saji yang timbul dari kecurangan dalam laporan keuangan, dan (2)
salah saji yang timbul dari perlakuan yang tidak semestinya terhadap aktiva (IAPI, 2011).
SAS No. 99 menyatakan bahwa penaksiran auditor terhadap risiko salah saji yang material
terkait dengan kecurangan harus dilakukan selama audit berlangsung. Penaksiran risiko
kecurangan biasanya diputuskan oleh auditor in-charge (auditor yang berkuasa, seperti manajer
audit, atau partner). Jika atasan auditor menetapkan risiko kecurangan yang tinggi, maka
auditor harus mendesain prosedur audit tambahan atau prosedur audit yang lain untuk
mendapatkan bukti audit yang lebih reliabel (SAS No. 99, AU 316; AICPA 2002).

Penelitian Payne, dan Ramsay (2005), dan Noviyanti (2008) menunjukkan bahwa auditor
yang diberi penaksiran risiko kecurangan yang tinggi menunjukkan skeptisme profesional yang
lebih tinggi dalam mendeteksi kecurangan bila dibandingkan dengan auditor yang tidak diberi
penaksiran risiko kecurangan maupun bila dibandingkan dengan auditor yang diberi penaksiran
risiko kecurangan yang rendah. Zimbelman (1997) dan Glover et al. (2003), menemukan bahwa
penaksiran risiko kecurangan dapat meningkatkan sensitivitas auditor terhadap gejala
kecurangan. Berdasarkan hal tersebut disusun hipotesis sebagai berikut.
H2:

Auditor yang diberi penaksiran risiko kecurangan yang lebih tinggi akan berperilaku lebih
skeptis dalam mendeteksi kecurangan.

The MODE Model, Sikap Skeptis, dan Penaksiran Risiko Kecurangan


Azwar (1998) mengatakan bahwa beberapa penelitian psikologi menunjukkan adanya indikasi
relasi yang kuat antara sikap dan perilaku, tetapi beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa
relasi antara sikap dan perilaku adalah lemah.Kerangka teoritis dari penelitian ini didasarkan
pada teori hubungan sikap perilaku yang digambarkan oleh Fazio (1990) dalam the MODE
Model (Motivation and Opportunity as DEterminants of the attitude-behavior relation) yang
membedakan dua cara dalam proses aktivasi sikap menjadi perilaku yaitu (1) secara terkontrol
(in a controlled or deliberative fashion), atau (2) secara spontan (in an automatic or spontaneous
fashion).
Berdasarkan the MODE model (Ajzen, 2005), apabila seseorang mendapatkan motivasi
yang memadai dan memiliki kesempatan untuk melakukannya, maka sikap akan membentuk
perilaku secara terkontrol, sehingga perilaku tidak akan berbeda dengan sikapnya.
Namun,apabila motivasi untuk melaksanakan perilaku tersebut rendah, maka sikap akan
membentuk perilaku secara spontan, dimana dalam hal ini hanya sikap yang kuat saja yang
akan terbentuk menjadi perilaku. Gambar 1 menunjukkan proses sikap perilaku dalam the
MODE model.
(GAMBAR 1)
Apabila dikaitkan dengan the MODE Model, maka penaksiran risiko kecurangan yang
tinggi yang diberikan oleh partner in charge, dapat berperan sebagai motivator yang memadai
bagi auditor untuk berperilaku skeptis. Adanya motivasi yang memadai akan mendorong auditor
untuk membentuk perilaku yang skeptis secara terkontrol. Oleh karena itu baik auditor
memiliki sikap skeptis yang kuat maupun yang lemah, apabila partner in charge memberikan
penaksiran risiko kecurangan yang tinggi, maka auditor akan berperilaku skeptis.
Sebaliknya apabila auditor menerima penaksiran risiko kecurangan yang rendah, maka
hanya sikap skeptis yang kuat yang akan teraktivasi menjadi perilaku skeptis. Berdasarkan
uraian di atas hipotesis yang dapat di susun adalah.
H3a :
H3b :

Apabila auditor diberi penaksiran risiko kecurangan yang tinggi, maka tidak terdapat
perbedaan perilaku skeptisme profesional antara auditor yang memiliki sikap skeptis
yang kuat dengan auditor yang memiliki sikap skeptis yang lemah.
Apabila auditor diberi penaksiran risiko kecurangan yang rendah, maka perilaku
skeptisme profesional dari auditor yang memiliki sikap skeptis yang kuat akan lebih
tinggi dibandingkan dengan auditor yang memiliki sikap skeptis yang lemah.

Model Penelitian
Penelitian ini ingin menginvestigasi pengaruh dari variabel independen: sikap skeptis
auditor dan penaksiran risiko kecurangan terhadap perilaku skeptisme profesional auditor
dalam mendeteksi kecurangan. Gambar 2 menunjukkan model penelitian.
(GAMBAR 2)
METODE PENELITIAN
Situasi (setting) Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain eksperimen laboratorium. Desain


eksperimen laboratorium dipilih karena dengan desain ini dimungkinkan untuk melakukan
kontrol dan manipulasi terhadap variabel independen dengan baik sehingga pengaruh kausal
dapat diuji. Manipulasi dilakukan dengan membuat tingkatan (level) yang berbeda pada tiap
variabel independen untuk menilai bagaimana dampak dari tiap-tiap tingkatan tersebut
terhadap variabel dependen
Menurut Sekaran (2006), kontrol terhadap semua variabel lain yang mungkin mengganggu
suatu hubungan sebab akibat antara variabel independen (bebas) dan variabel dependen
(terikat) dilakukan agar pengaruh kausal sebenarnya dari variabel bebas yang diteliti terhadap
variabel terikat dapat ditentukan. Menurut Kerlinger (1986), dalam eksperimen laboratorium,
semua atau hampir semua variabel independen yang mungkin ada tetapi tidak relevan dengan
masalah yang sedang diteliti, dapat diminimumkan dengan cara menempatkan penelitian dalam
situasi yang terpisah dari kehidupan fisik sehari-hari, dan memanipulasi satu atau beberapa
variabel independen.
Subyek Ekperimen
Perilaku skeptisme profesional yang diukur dalam penelitian ini adalah perilaku skeptis
auditor pada saat melakukan penugasan audit di lapangan dan menemukan indikasi adanya
kecurangan. Oleh karena itu, subyek ekperimen dalam penelitian ini adalah auditor yang
bertugas di lapangan yang berhadapan langsung dengan bukti audit, yaitu auditor yunior,
auditor senior dan supervisor auditor yang bekerja di Kantor Akuntan Publik di Jawa Tengah.
Variabel Penelitian
Variabel independen dalam penelitian ini adalah: (1) sikap skeptis dan (2) penaksiran
risiko kecurangan. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah perilaku skeptisme profesional
auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Sikap Skeptis Auditor


Sikap skeptis auditor adalah sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu
mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit (IAPI, 2011, SA
seksi 230.06). Variabel Sikap Skeptis auditor diukur berdasarkan model HEP (Hurtt, Eining,
Plumlee, 2003) yang menggunakan enam karakteristik sebagai indikatornya. Tiga karakteristik
yang pertama terkait dengan pengujian bukti audit meliputi: (1) a questioning mind, (2) the
suspension of judgment, (3) a search for knowledge. Karakteristik yang keempat terkait dengan
pemahaman bukti audit yaitu (4) interpersonal understanding. Dua karakteristik berikutnya
terkait dengan inisiatif seseorang untuk bersikap skeptis berdasarkan bukti yang diperolehnya
yaitu (5) self-confidence, dan (6) self-determination.
Dalam model HEP, sikap skeptis auditor diukur dengan skala Likert 6 point yang
menggambarkan jawaban subyek terhadap pertanyaan yang terkait dengan keenam
karakterisitik sikap skeptisme profesional, mulai dari sangat setuju (1) sampai dengan sangat
tidak setuju (6). Peneliti tidak menggunakan skala interval 5 point untuk menghindari jawaban
no-opinion. Krosnick et al. (2002) mengatakan bahwa dalam pengukuran sikap, jawaban noopinion tidak akan meningkatkan kualitas data dan bahkan akan menghalangi peneliti untuk
mendapatkan opini yang lebih berarti.Kemudian dihitung score dari tiap subyek eksperimen.
Manipulasi terhadap variable independen ini dilakukan dengan menetapkan 2 tingkatan yaitu
sikap skeptis yang kuat dan sikap skeptis yang lemah. Sikap skeptis seorang subyek dinilai kuat
jika scorenya di atas rata-rata score semua subyek dan sikap skeptis subyek dinilai lemah jika
scorenya di bawah rata-rata.
Penaksiran Risiko Kecurangan (Fraud Risk Assessment)
Penaksiran risiko kecurangan (fraud risk assessment) merupakan persyaratan profesional
dalam penugasan audit yang dimaksudkan untuk meningkatkan kecurigaan auditor terhadap
bukti audit yang diperiksanya pada perusahaan yang mempunyai risiko kecurangan yang tinggi.
Dalam penelitian ini, penaksiran risiko kecurangan dibedakan menjadi 2 level : tinggi dan
rendah. Manipulasi dilakukan dengan mencantumkan asumsi yang terkait penaksiran risiko

kecurangan dalam kasus eksperimen. Penaksiran risiko kecurangan yang tinggi diberikan
dengan mencantumkan asumsi dalam kasus eksperimen bahwa atasan auditor menetapkan
penaksiran risiko kecurangan yang tinggi. sedangkan penaksiran risiko kecurangan yang rendah
diberikan dengan mencantumkan asumsi dalam kasus eksperimen bahwa atasan auditor
menetapkan penaksiran risiko kecurangan yang rendah.
Perilaku Skeptisme Profesional Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan
Menurut Hurt (1999) apabila seseorang memiliki karakteristik skeptis maka akan
mengarahkan pada empat perilaku audit yang spesifik: 1) increased information search
(meningkatkan pencarian informasi); 2) increased contradiction detection (meningkatkan
pendeteksian apabila ditemukan bukti yang bersifat kontradiksi); 3) increased alternative
generation (meningkatkan alternatif hasil); 4) expanded scrutiny of source reliability (memperluas
penyelidikan dengan mencari informasi dari sumber yang reliabel).
Perilaku skeptisme profesional auditor dalam mendeteksi kecurangan pada penelitian ini
diukur dengan empat perilaku audit di atas. Subyek diberi kasus audit yang terkait dengan
kecurangan. Masing-masing kasus disertai dengan enam pertanyaan yang terkait empat
perilaku tersebut. Setiap pertanyaan memiliki dua pilihan jawaban. Salah satu jawaban
menunjukkan adanya perilaku skeptisme profesional dan jawaban lainnya menunjukkan
perilaku tidak skeptis. Jawaban yang menunjukkan perilaku skeptisme profesional diberi bobot 2
dan jawab yang menunjukkan perilaku tidak skeptis diberi bobot 0.
Desain Eksperimen
Penelitian ini menggunakan menggunakan desain faktorial between subject (antar
subyek) 2 x 2, dengan variabel independen: (1) sikap skeptis auditor (kuat dan lemah) dan (2)
penaksiran risiko kecurangan (tinggi dan rendah). Variabel dependen adalah perilaku skeptisme
profesional auditor dalam mendeteksi kecurangan.
Dalam penelitian ini, mula-mula subyek eksperimen dibagi menjadi 2 kelompok.
Pengelompokkan dilakukan dengan cara pemberian kuesioner yang berbeda yaitu kuesioner
dengan penaksiran risiko kecurangan yang tinggi dan yang kedua adalah adalah kuesioner
dengan penaksiran risiko kecurangan yang rendah. Masing-masing kelompok akan terdiri dari
subyek yang memiliki sikap skeptis kuat dan subyek yang memiliki sikap skeptis lemah. Dengan
demikian akan didapat empat kelompok subyek sebagai berikut :
Grup 11 : Sikap skeptis kuat, penaksiran risiko kecurangan tinggi
Grup 21 : Sikap skeptis lemah, penaksiran risiko kecurangan tinggi
Grup 12 : Sikap skeptis kuat, penaksiran risiko kecurangan rendah
Grup 22 : Sikap skeptis lemah, penaksiran risiko kecurangan rendah
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sampel Penelitian
Sampel yang terpakai dalam penelitian ini adalah 12 auditor supervisor (30%), 14 auditor
senior (35%), dan 14 auditor yunior (35%) yang bekerja di Kantor Akuntan Publik di Jawa
Tengah.
Pilot Test
Pilot test (penelitian pendahuluan) akan dilakukan terhadap beberapa auditor dari
sebuah Kantor Akuntan Publik di Semarang. Pilot test dilakukan untuk mengetahui apakah ada
kesalahan dalam desain eksperimen dan apakah treatment telah dilakukan dengan benar
(Cooper dan Schindler, 2003). Saran partisipan menjadi masukan bagi peneliti untuk melakukan
perbaikan terhadap materi eksperimen.
Hasil Pengujian Hipotesis 1 dan 2
Hipotesis 1 menyebutkan bahwa auditor yang mempunyai sikap skeptis yang kuat akan
berperilaku lebih skeptis dalam mendeteksi kecurangan dibandingkan dengan auditor yang
memiliki sikap skeptis yang lemah. Hasil uji ANOVA menunjukkan main effect dari variabel

independen sikap skeptis auditor terhadap perilaku auditor dalam mendeteksi kecurangan
(p=0,004), secara statistik signifikan pada =0,05. Hasil uji ini mendukung hipotesis 1.
Hasil uji ANOVA juga menunjukkan bahwa main effect dari variabel independen
penaksiran risiko kecurangan terhadap perilaku auditor dalam
mendeteksi kecurangan
(p=0,000), secara statistik signifikan pada =0,05. Hal tersebut menunjukkan adanya dukungan
terhadap hipotesis 2 yang menyatakan bahwa auditor yang diberi penaksiran risiko kecurangan
yang lebih tinggi akan berperilaku lebih skeptis dalam mendeteksi kecurangan. Hasil pengujian
dapat dilihat di tabel 1 dan 2.
Interaction effect dari sikap skeptis auditor dan penaksiran risiko kecurangan juga
menunjukkan hasil yang signifikan (p=0,015). Jadi ada perbedaan perilaku skeptisme profesional
auditor dalam mendeteksi kecurangan pada berbagai kombinasi dari berbagai level sikap skeptis
auditor dan penaksiran risiko kecurangan.

(TABEL 1)
(TABEL 2)
Dari Tabel 2 nampak bahwa auditor yang mempunyai sikap skeptis yang kuat akan
berperilaku lebih skeptis dalam mendeteksi kecurangan. Hasil statistik tersebut sesuai dengan
Theory of planned behavior yang dikembangkan oleh Ajzen (2005) yang menjelaskan bahwa sikap
(attitude) akan membentuk perilaku seseorang dalam bertindak. Selain itu, hasil tersebut juga
sesuai dengan penelitian Hurtt (2008) yang menyimpulkan bahwa sikap skeptis auditor
berpengaruh terhadap perilaku skeptisme profesional auditor dalam penilaian bukti audit.
Tabel 2 juga menunjukkan bahwa auditor yang diberi penaksiran risiko kecurangan yang
tinggi akan berperilaku lebih skeptis dibandingkan dengan auditor yang diberi penaksiran risiko
kecurangan yang rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Payne dan Ramsay,
2005; Noviyanti, 2008; Zimbelman, 1997; dan Glover et al., 2003).
Hasil Pengujian Hipotesis 3a dan 3b
Hipotesis 3a dan b didasarkan pada teori MODE model dari Fazio (1990). Untuk menguji
hipotesis ini auditor dikelompokkan menjadi 4 grup seperti yang sudah diuraikan pada desain
eksperimen. Kemudian digunakan one way ANOVA untuk membandingkan perilaku skeptisme
profesional mereka. Hipotesis 3a menyatakan bahwa apabila auditor diberi penaksiran risiko
kecurangan yang tinggi, maka tidak terdapat perbedaan perilaku skeptisme profesional antara
auditor yang memiliki sikap skeptis yang kuat dengan auditor yang memiliki sikap skeptis yang
lemah. Hipotesis 3b menyebutkan bahwa apabila auditor diberi penaksiran risiko kecurangan
yang rendah, maka perilaku skeptisme profesional dari auditor yang memiliki sikap skeptis yang
kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan auditor yang memiliki sikap skeptis yang lemah.
Hasil uji statistik nampak pada tabel 3 berikut ini.

(TABEL 3)
Auditor yang diberi penaksiran risiko kecurangan yang tinggi adalah auditor yang
berada pada grup 11 dan 21. Auditor pada grup 11 adalah auditor yang memiliki sikap skeptis
yang kuat sedangkan auditor dalam grup 21 adalah auditor dengan sikap skeptis yang lemah.
Hasil pengujian dalam tabel 3 di atas menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan
(p = 0.988) antara auditor pada grup 11 dengan auditor pada grup 21. Hasil ini mendukung
hipotesis 3a. Hasil ini sesuai dengan the MODE model, apabila auditor diberi motivasi yang
memadai maka sikapnya akan teraktivasi secara terkontrol sehingga terbentuk perilaku yang
skeptis. Motivasi yang memadai yang diberikan pada auditor adalah penaksiran risiko
kecurangan yang tinggi. Oleh karena itu maka auditor akan berperilaku skeptis dalam
mendeteksi kecurangan, baik auditor tersebut memiliki sikap skeptis yang kuat ataupun lemah.
Tabel 3 di atas juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan (p = 2.200)
antara auditor dalam grup 12 dengan auditor pada grup 22. Auditor pada kedua grup ini diberi
penaksiran risiko kecurangan yang rendah. Auditor dalam grup 12 memiliki sikap skeptis yang
kuat sedangkan dalam grup 22 memiliki sikap skeptis yang lemah. Hasil ini mendukung
hipotesis 3b. Hasil ini sesuai dengan the MODE model, di mana apabila auditor tidak
mendapatkan motivasi yang memadai maka sikap auditor akan teraktivasi secara spontan,
dimana dalam hal ini hanya sikap yang kuat saja yang akan terbentuk menjadi perilaku skeptis.
Oleh karena itu jika auditor diberi penaksiran risiko kecurangan yang rendah, maka hanya

auditor yang memiliki sikap skeptis yang kuat yang akan memiliki perilaku skeptisme
profesional yang tinggi.
Hasil pengujian ini menunjukkan pentingnya peranan partner dalam mengarahkan
penugasan audit pada auditor yunior, auditor senior, dan supervisor. Pemberian penaksiran
risiko kecurangan yang terlalu rendah akan menyebabkan auditor berperilaku kurang skeptis.
Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa sikap skeptis memiliki peranan yang penting dalam
membentuk perilaku skeptisme profesional auditor. Apabila auditor mempunyai sikap skeptis
yang kuat meskipun auditor menerima penaksiran risiko kecurangan yang rendah tetapi auditor
tetap dapat berperilaku skeptis.
KESIMPULAN
Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh sikap skeptis auditor dan penaksiran
risiko kecurangan terhadap perilaku skeptisme profesional auditor dalam mendeteksi
kecurangan. Penelitian ini juga menjelaskan mengenai penerapan teori the MODE model
(Motivation and Opportunity as DEterminants of the attitude-behavior relation) dari Fazio (1990)
mengenai hubungan antara sikap dan perilaku.
Ada beberapa temuan dalam penelitian ini. Pertama, sikap skeptis auditor memengaruhi
perilaku skeptisme profesional auditor dalam mendeteksi kecurangan. Auditor yang memiliki
sikap skeptis yang kuat memiliki rata-rata perilaku skeptisme profesional yang lebih tinggi
dibandingkan dengan auditor yang memiliki sikap skeptis yang lemahHasil tersebut juga sesuai
dengan penelitian Hurtt (2008) yang menyimpulkan bahwa sikap skeptis auditor berpengaruh
terhadap perilaku skeptisme profesional auditor dalam penilaian bukti audit.
Kedua, penaksiran risiko kecurangan yang diberikan oleh auditor in-charge sebagai
pedoman dalam melakukan penugasan di lapangan, akan mempengaruhi perilaku auditor dalam
mendeteksi kecurangan. Auditor yang diberi penaksiran risiko kecurangan yang lebih tinggi
akan berperilaku lebih skeptis dalam mendeteksi kecurangan dibandingkan dengan auditor yang
diberi penaksiran risiko kecurangan yang rendah maka auditor menjadi kurang skeptis. Hal ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya (Payne dan Ramsay, 2005) dan penelitian senada lain
(Noviyanti, 2008).
Ketiga, penaksiran risiko kecurangan yang tinggi yang diberikan oleh auditor in charge
dapat menjadi motivator bagi auditor untuk berperilaku skeptis dalam mendeteksi kecurangan.
Meskipun auditor memiliki sikap skeptis yang lemah tetapi apabila diberi penaksiran risiko
kecurangan yang tinggi maka auditor akan berperilaku skeptis. Apabila auditor diberi
penaksiran risiko kecurangan yang rendah maka hanya auditor yang memiliki sikap skeptis
yang kuat yang akan berperilaku skeptis. Hasil ini sesuai dengan the MODE model dari Fazio
(1990), apabila auditor diberi motivasi yang memadai maka sikapnya akan teraktivasi secara
terkontrol sehingga terbentuk perilaku yang skeptis. Sedangkan apabila auditor tidak
mendapatkan motivasi yang memadai maka sikap auditor akan teraktivasi secara spontan,
dimana dalam hal ini hanya sikap yang kuat saja yang akan terbentuk menjadi perilaku skeptis.
Temuan dalam penelitian ini dapat memperkaya literatur auditing dan akuntansi yang
terkait dengan sikap dan perilaku skeptis auditor. Hasil penelitian ini memberikan kontribusi
bagi praktisi dan regulator. Bagi praktisi, temuan di atas dapat menjadi masukan bagi para
partner dari Kantor Akuntan Publik untuk senantiasa memberikan motivasi agar auditor
berperilaku skeptis dalam setiap supervisinya. Misalnya dengan memberikan penaksiran risiko
kecurangan yang tinggi terutama apabila terdapat indikasi kecurangan.
Temuan ini bisa menjadi masukan regulator yang akan menyusun standar dan peraturan
untuk akuntan publik dengan selalu mewajibkan auditor untuk selalu memiliki perilaku skeptis
dalam setiap penugasan audit. Hasil pengujian empiris di atas juga menunjukkan pentingnya
dilakukan pelatihan bagi auditor mengenai skeptisme profesional sesuai yang dipersyaratkan
oleh standar auditing. Pelatihan ini bisa dilakukan secara rutin dengan memberikan kasuskasus yang terkait dengan kecurangan untuk memelihara sikap skeptis auditor.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Manipulasi terhadap penaksiran risiko
kecurangan hanya menggunakan 2 level yaitu tinggi dan rendah, padahal dalam praktiknya
digunakan juga level medium. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sikap
skeptis dan penaksiran risiko kecurangan sebagai variabel yang mempengaruhi perilaku
skeptisme profesional auditor. Padahal ada variabel lain yang juga berpengaruh terhadap
perilaku skeptisme profesional auditor, misalnya pelatihan mengenai kecurangan, dan

pengalaman auditor. Untuk penelitian selanjutnya dapat menambahkan variabel lainnya atau
meneliti variabel lain.
DAFTAR PUSTAKA
Albarracin, D., Johnson, B. T., dan Zanna, M. P. 2005. Handbook of Attitudes. Lawrence Erlbaum
Associates, Publisher. Mahwah, New Jersey.
Ajzen, I. 2005. Attitudes, Personality, and Behavior. Second Edition. Open University Press.
_____. 1991. The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human Decision
Processes. Volume 50. Pp 179-211.
American Institute of Certified Public Accountants. 2002. SAS 99: Consideration of Fraud in a
Financial Statement Audit. New York, NY: AICPA.
Azwar, S. 1998. Sikap Manusia. Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2. Pustaka Pelajar.
Beasley, M.S., Carcello, J.V., and Hermanson, D.R. 2001. Top 10 Audit
Journal of Accountancy. April. Pp. 63-66.

Deficiencies.

Boynton, William C., Raymond N. Johnson, Walter G. Kell. 2003. Modern Auditing. Erlangga.
Jakarta.
Carpenter, T. D., dan Reimers, J. L. 2007. Professional Skepticism: The Effect of Tone at the Top
and Individual Skepticism on Fraud Risk Assessments and on Identified Audit
Procedures. Working Paper. University of Georgia.
Elder, R. J., Beasley, M. S., and Arens, A. A. 2008. Auditing and Assurance Service. An Integrated
Approach. Pearson Educated International. Upper Saddle River, New Jersey.
Ghozali, I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi ke-4. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
______. 2006. Analisis Multivariate Lanjutan dengan Program SPSS. Edisi ke-1. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
______. 2008. Desain Penelitian Eksperimental. Semarang. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Glover, S. M., Prawitt, D. F., Schultz Jr., J. J, and Zimbelman, M. F. 2003. A Test of Changes in
Auditors Fraud Related Planning Judgments Since the Isuance of SAS No. 82. Auditing:
A Journal of Practice & Theory. September. Volume 22. No. 2. Pp 237-251.
Graham, L., and Bedard, J. C. 2003. Fraud Risk and Audit Planning. International Journal of
Auditing. Pg 55-70.
Grazioli Stefano,Jaman Karim, and Johnson Paul E.. A cognitive Approach to Fraud Detection.
Working Paper, Utah State University.
Hellriegel, D., Slocum Jr., J. W., Woodman, R. W. 2001. Organizational Behavior. South-Western
College Publishing. Cincinnati, Ohio
Hurtt, R. K., Eining, M., and Plumlee, R. D. 2003. Professional Scepticism: A Model with
Implication for Research, Practice, and Education. Working Paper, University of
Wisconsin-Madison.
______. 2008. An Experimental Examination of Professional Skepticism. Working Paper,
University of Wisconsin-Madison.
Institut Akuntan Publik Indonesia. 2011. Standar Profesional Akuntan Publik. Penerbit Salemba
Empat. Jakarta.
Kerlinger, F. 1986. Asas-asas Penelitian Behavioral. Edisi ke-3. Gajah Mada University Press.
Koroy, Tri Ramaraya, 2008. Pendeteksian Kecurangan (Fraud) Laporan Keuangan oleh Auditor
Eksternal. JURNAL AKUNTANSI DAN KEUANGAN, VOL. 10, NO. 1, MEI 2008: 22-33.

Krosnick, Jon A, Holbrook, Allyson L, Berent, Matthew K, Carson, Richard T, Hanemann, W.


Michael, Kopp, Raymond J., Mitchell, Robert C, Presser, Stanley, Ruud, Paul A., Smith, V
Kerry, Moody, Wendy R, Green, Melanie R, Conaway, Michael, 2002. The Impact of No
Opinion Response Options on Data Quality. Public Opinion Quarterly, vol 66, 2002: 371663. American Association of Public Opinion Research.
Louwers, T. J., Ramsay, R. J., Sinason, D. H., and Strawser, J. R. 2005. Auditing and Assurance
Service. Mc Graw Hill, New York.
Loebbecke, J.K., M.M. Eining dan J.J. Willingham. 1989. Auditors Experience with
Irregularities: Frequency, Nature and Detectability. Auditing : A Journal of Practice &
Theory, 9 (Fall): 1-28.
McMillan, J. J., and White, R. A. 1993. Auditors Belief Revisions and Evidence Search: The
Effect of Hypothesis Frame, Confirmation Bias, and Professional Skepticism. The
Accounting Review. Vol. 68. No. 3. pp. 443 465.
Millon, T., Lerner, M. J., and Weiner, I. B. 2003. Handbook of Psychology. Volume 5. Personality
and Social Psychology. John Wiley & Sons, Inc. Hoboken, New Jersey.
Montgomery, D.D., Beasley, M.S., Menelaides, S.L., dan Palmrose, Z. 2002. Auditors New
Procedures for Detecting Fraud. Journal of Accountancy. May. pp. 63-66.
Moyes, G. D., and Hasan, I. 1996. An Empirical Analysis of Fraud Detection Likelihood.
Managerial Auditing Journal. Volume 11. No. 3. Pp 41-46.
Noviyanti, Suzy, 2008, Skeptisme Profesional Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan untuk
Mencapai Prosedur Audit yang Efektif. Disertasi Program Doktor Ilmu Ekonomi
Universitas Diponegoro Semarang (tidak dipublikasikan).
Payne, E. A., and Ramsay, R. J. 2005. Fraud Risk Assessment and Auditors Professional
Skepticism. Managerial Auditing Journal. Volume 20. No. 3. Pp 321-330.
Petty, R. E., Wegener, D. T., and Fabrigar, L. R. 1997. Attitudes and Attitude Change. Annual
Review of Psychology. Vol. 48. Pp 609-647.
Rose, A. M., and Rose, J. M. 2003. The Effect of Fraud Risk Assessment and a Risk Analysis
Decision Aid on Auditors Evaluation of Evidence and Judgment. Accounting Forum.
September. Vol. 27. No. 3. pp. 312-338.
Saksena, P.N. 2008. Four Tools (Under the Umbrella of Continuous Improvement) to Help
Auditor Prevent / Detect Fraud. Working Papers. Allied Academy International
Conference.
Sekaran, Uma, 2006, Metodologi Penelitian untuk Bisnis, Salemba Empat, Jakarta.
Sugianto, Clarissa.C, 2009, Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kegagalam Auditor Eksternal
dalam Mengungkapkan Kecurangan (Studi Literatur), Skripsi Program S1 Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana.

GAMBAR 1
The MODE Model
Fazio (1990)

10

Motivation and Cognitive


Capacity to Process
Information
YES

NO

Deliberative
Processing Mode

Spontaneous
Processing Mode

Attitude is Activated
and Influences
Definition of The
Situation

Strong,
Chronically
Accessible
Attitude

Attitude Consistent
Behavior

YES

NO

Attitude is Activated
Automatically and
Influences Definition
of the Situation

Attitude is not
Activated

Attitude Consistent
Behavior

Behavior Unrelated to
Attitude

Sumber: Azjen (2005)


GAMBAR 2
Model Penelitian
Pengaruh Sikap Skeptis Auditor dan Penaksiran Risiko Kecurangan terhadap
Perilaku Skeptisme Profesional Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan

Sikap Skeptis

Perilaku Skeptisme
Profesional Auditor dalam
Mendeteksi Kecurangan

Penaksiran Risiko Kecurangan

TABEL 1
HASIL PENGUJIAN TWO WAYS ANOVA
TEST OF BETWEEN-SUBJECTS EFFECTS
Source

Type III Sum


of Squares

df

Mean Square

Sig.

11

Corrected Model

114.400a

38.133

24.870

.000

Intercept

3686.400

3686.400

2404.174

.000

SIKAP SKEPTIS

14.400

14.400

9.391

.004

PENAKSIRAN

90.000

90.000

58.696

.000

SIKAP SKEPTIS
* PENAKSIRAN

10.000

10.000

6.522

.015

Error

55.200

36

1.533

Total

3856.000

40

169.600

39

Corrected Total

a. R Squared = ,675 (Adjusted R Squared = ,647)

Sumber : Output SPSS, 2012

TABEL 2
RATA-RATA PERILAKU SKEPTISME PROFESIONAL AUDITOR
Rata-rata
Perilaku Skeptisme Profesional Auditor

Mean
Differences
(I J)

Std.
Error

Sig.a

Sikap Skeptis Kuat


(I)
Mean = 10.20
N = 20

Sikap Skeptis Lemah


(J)
Mean = 9.00
N = 20

1.200*

.392

.004

Penaksiran Tinggi
(I)
Mean = 11.10
N = 20

Penaksiran Rendah
(J)
Mean = 8.10
N = 20

3.000*

.392

.000

Sumber : Output SPSS, 2012

TABEL 3
MULTIPLE COMPARISONS
PERILAKU SKEPTISME PROFESIONAL AUDITOR
DALAM MENDETEKSI KECURANGAN

Sikap dan
Penaksiran (I)

Grup 11
Mean = 11.20
N = 10

Sikap dan
Penaksiran (J)

Mean
Difference
(I-J)

Std. Error

Sig.

Grup 12
Mean = 9.20

2.000*

.554

.010

Grup 21
Mean = 11.00

.200

.554

.988

12

Grup 12
Mean = 9.20

Grup 21
Mean = 11.00

Grup 22
Mean = 7.00

4.200*

.554

.000

Grup 21
Mean = 11.00

-1.800*

.554

.025

Grup 22
Mean = 7.00

2.200*

.554

.004

Grup 22
Mean = 7.00

4.000*

.554

.000

Sumber : Output SPSS, 2012

13

Vous aimerez peut-être aussi