Vous êtes sur la page 1sur 18

SENIN,29 SEPTEMBER 2014 | 14:01 WIB

HomeNusaJogja
SELASA, 03 MEI 2011 | 16:19 WIB

Solo Tak Punya Program Penanganan Anak Jalanan

TEMPO/Sulhi

Topik

#Anak jalanan
#Departemen Sosial

TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah Kota Surakarta dinilai belum memiliki program yang jelas dalam penanganan anak
jalanan. Keberadaan anak jalanan belum tersentuh dalam pengembangan kota layak anak yang sedang dilakukan. Padahal,
Juni mendatang Surakarta akan menjadi tuan rumah Konferensi Internasional Kota Layak Anak se-Asia Pasifik.
Ketua lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Seroja, Retno Heni Pujiati, mengatakan
sebenarnya Surakarta memiliki berbagai program berpihak pada hak anak. Tapi, faktanya anak jalanan belum tersentuh.
"Hanya karena program itulah Kota Surakarta dinilai baik mengembangkan kota layak anak," kata Retno, Selasa, 3 Mei
2011.
Menurutnya, satu-satunya kegiatan yang dilakukan pemerintah kota terhadap anak jalanan hanyalah razia. "Itu sama sekali
tak menyentuh akar persoalan," kata Retno. Padahal, anak jalanan juga harus bisa menikmati fasilitas dari pemerintah,
seperti pendidikan dan kesehatan.
Menurut Retno, pemerintah belum punya perspektif yang komprehensif dalam memandang dan memperlakukan anak
jalanan. "Belum bisa menganggap anak jalanan adalah korban realita sosial," kata dia. Jadi, anak jalanan lebih sering
dipandang sebagai penyakit masyarakat.
Retno mengakui sebenarnya sudah ada beberapa dinas yang memiliki perspektif sama dengan aktivis pemerhati anak
jalanan. Namun, dinas lain yang menjadi pengambil keputusan dalam penanganan anak jalanan justru belum. "Mereka perlu
untuk menyamakan visi," kata Retno.
Retno tak tahu persis berapa jumlah anak jalanan di Surakarta. "Kami baru menjangkau 103 anak jalanan," katanya. Dia
yakin jumlah anak jalanan yang berhasil dijangkau hanya sebagian kecil dari jumlah anak jalanan yang ada di Surakarta.
Kepala Bidang Sosial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta, Agus Hartanto, menyatakan instansinya
tak memiliki data jumlah anak jalanan di Surakarta. Dia mengakui pihaknya belum memiliki program untuk anak jalanan.
"Kami hanya bisa merazia mereka," kata Agus.
Razia terhadap anak jalanan itu dilakukan dua kali dalam sebulan, bersamaan dengan razia gelandangan dan orang
telantar. Dalam satu kali razia, rata-rata terjaring empat anak jalanan. Mereka kemudian dimasukkan ke lembaga pelatihan
keterampilan. "Tapi, sering lari," kata Agus. Untuk kegiatan ini, per tahun pemerintah Surakarta menganggarkan dana Rp 50
juta.
AHMAD RAFIQ

S O L O R AYA

Jumlah anak jalanan di Solo diduga meningkat


Solo (Espos)Jumlah anak jalanan sepanjang 2010 diprediksi mengalami peningkatan. Selama 2009,
Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Solo mencatat 648 anak yang terdiri dari
anak terlantar, anak nakal dan anak jalanan tersebar di Solo.
Selain anak jalanan, kasus kekerasan terhadpa perempuan juga dilaporkan terjadi sepanjang triwulan
2010. Data Spekham menyebutkan, sejak awal tahun terjadi 14 kasus kekerasan tehadap perempuan.
Kepala Dinsosnakertrans, Singgih Yudoko mengakui pihaknya memang belum melakukan pendataan
langsung. Namun, kecenderungan peningkatan jumlah itu tampak dari pengamatan kasar yang dilakukan
jajarannya di titik-titik yang menjadi pusat keberadaan anak jalanan.
Menurut Singgih, dibutuhkan solusi yang melibatkan seluruh kalangan terkait untuk mengatasi persoalan
tersebut. Khususnya, koordinasi lintas wilayah, paling tidak di dalam lingkup Soloraya.
Kalau dilihat kasat mata, kecenderungannya memang tambah. Kami sudah melakukan upaya
pembinaan, dengan dibantu LSM dan masyarakat. Namun, yang penting, harus ada koordinasi lintas
sektoral dan lintas wilayah, papar Singgih, saat ditemui wartawan, di sela-sela Rapat Koordinasi
Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Anak, di Balaikota, Kamis (18/3).
Hal sama disampaikan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan
Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas P3AKB) Solo, Widdi Srihanto. Menurut Widdi,
persoalan perempuan dan anak tidak akan selesai jika langkah-langkah yang diambil bersifat parsial.
Pemerintah daerah, LSM, dan masyarakat pada umumnya harus dihimpun dalam satu program
penanganan yang sama, agar upaya yang diambil memberi hasil nyata.

JUMLAH ANAK JALANAN DI SOLO DIPREDIKSI MENINGKAT

JIHAD PAGI

Selasa, 01 Mei 2012

FENOMENA ANAK JALANAN DI SOLO : ANTARA


KEMISKINAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
Kondisi krisis yang melanda dunia dewasa ini mempunyai dampak yang begitu hebat dalam berbagai
sektor termasuk dalam sektor ekonomi, begitu pula dengan Indonesia yang terkena imbas dari krisis
ekonomi ini. Fluktuasi nilai rupiah mempengaruhi harga barang yang tentunya akan berimbas pada
penambahan biaya hidup yang harus ditanggung oleh keluarga mereka. Jika kita lihat, banyak bangsa
Indonesia yang masih jauh dari kata sejahtera menghadapi situasi yang pelik, situasi yang mau tidak mau
mereka harus mencari pendapatan guna kelangsungan hidupnya. Bagaimana kelangsungan hidup
bangsa Indonesia jika krisis ini tidak bisa diatasi? Bagaimana nasib masa depan bangsa khususnya
generasi baru yakni anak-anak ke depannya jika krisis tetap tidak bisa dikendaikan? Krisis ekonomi ini
dapat menimbulkan kemiskinan diantara keluarga-keluarga yang di bawah garis sejahtera dan tidak dapat
memikul tanggungan hidupnya.
Dalam persoalan ekonomi, di sini orang tua banyak yang mempekerjakan anak-anak mereka di bawah
umur, sehingga banyak anak yang terpaksa harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, atau
bahkan dengan rela atau inisiatif sendiri bekerja karena melihat kondisi keluarga yang sangat
memprihatinkan karena faktor kemiskinan dan tekanan dari keluarga dengan menjadi anak jalanan. yang
membuat mereka turun ke jalan. Pendapatan orang tua yang sangat sedikit tak mampu lagi menutupi
kebutuhan keluarga sehingga memaksa mereka ikut bekerja. Dari data ILO menyebutkan secara rata-rata
anak-anak yang bekerja menyumbangkan sekitar 20%-25% kepada pendapatan keluarga. Bahkan ada
yang

menopang

75

lebih

pendapatan

orang

tua.

Dalam

data

yang

bersumber

dari (www.korantempo.com 2007) menyatakan bahwa anak jalanan di Surakarata berjumlah 1.168 anak.
Itu terjadi pada tahun 2007 yang sudah luar biasanya banyaknya akan tetapi pada tahun 2008, Kota
Surakarta sendiri sejak bulan Juli mentargetkan menjadi kota yang benar-benar layak bagi anak pada
tahun 2016. Akan tetapi hal itu sangat tidak berimbang karena semakin tahun jumlah anak jalanan tidak
mengalami penurunan tetapi terus meningkat. Fenomena anak jalanan di Solo berdasarkan Catatan Dinas
Sosial terdapat 38 tempat mangkal anak jalanan di seluruh Surakarta, yaitu diantaranya: Lampu merah
Panggung, Perempatan lampu merah Sekarpace, Taman Jurug, kampus UNS, Bis Kota, Perempatan
Lampu merah Ngapeman, Pasar Kembang, Depan Kantor Pos besar, Terminal Tirtonadi, dll merupakan
salah satu masalah sosial yang marak dalam kehidupan ini karena adanya anak jalanan menimbulkan
keamanan, ketertiban di jalan yang terganggu dan dapat merugikan pengguna jalan. Lebih parahnya anak
jalanan merupakan posisi yang empuk dan rentan terhadap kekerasaan, kehidupan di jalan membuat
banyak anak yang mengalami kekerasan, kriminalitas.

Di samping mereka menjadi anak jalanan lantaran kehidupan keluarganya dan masih mempunyai
keluarga, adapula anak jalanan yang memang tidak mempunyai keluarga dan tinggal di jalanan dengan
rutinitas sehari-hari di jalan. Jika anak masih mempunyai keluarga dan maka keluargalah yang menjadi
tanggung jawab untuk melindungi anak-anaknya dari penjahat jalanan. Banyak kita temui anak yang
masih punya keluarga dan yang tinggal dijalanan itu biasanya keluarga tersebut mempunyai ekonomi
yang rendah, sehingga anak pun kurang ada pengertian dari orang tuanya. Lantas bagaimana dengan
anak yang sudah tidak tinggal bersama keluarganya? mereka juga diawasi oleh orang yang mempunyai
kekuasaan wilayah. Dan mereka harus menyetorkan sebagian uangnya untuk orang yang memegang
kekuasaan itu, dan orang tersebut bisa disebut preman atau boss, jika tidak, preman akan melakukan
kekerasan kepada anak. Sehingga mereka bekerja di jalanan dengan paksaan dan ancaman dengan
menjadi pengamen, pengemis, pedagang asongan, penyemir sepatu, atau mungkin menjadi pencuri
hingga pekerjaan yang sangat membahayakan lainnya dan kesemuanya akan bermuara kepada preman
tadi. Sungguh sangat mengenaskan nasib anak jalanan yang hidupnya dikuasai dengan peluk ancaman
dan ketidaktenangan. Kondisi anak yang bekerja di jalan sangat memprihatinkan baik dari segi fisik atau
psikis. Anak yang belum berumur pun seperti balita dan batita diikutkan orang tuanya untuk pemanis
dalam mengemis atau mengamen, orang tuanya pasti juga berfikir dengan membawa balita pasti akan
mendapat perhatian dari para pengguna jalan agar diberi uang dengan dalih akan berhasil. Bahkan orang
tua mempekerjakan anaknya yang masih di bawah umur dan mereka menunggu anak-anaknya dipinggir
jalan dan mengawasinya dari jarak jauh agar anaknya saja yang bekerja. Orang tua tersebut melakukan
hal itu oleh kondisi kemiskinan dan ketidakpunyaan pekerjaan dan penghasilan secara tetap. Orang tua
pada hakekatnya tidak menginginkan anaknya menjadi anak jalanan, tetapi karena kondisinya seperti itu,
anak pun menjadi korban dalam urusan keluarganya dengan mepekerjakan dalam kehidupan jalanan
bahkan jalanan yang liar itu menjadi teman akrab bagi anak. Sebenarnya orang tua mana yang tidak
menginginkan anaknya mengenyam pendidikan tinggi menjadi sukses? Orang tua mana yang tidak
bahagia melihat anaknya sukses? Jawabnya TIDAK ADA, kecuali memang orang tua yang tidak punya
hati dan tidak mempunyai rasa peduli serta perhatian kepada anaknya.
Hal itu terjadi ada beberapa faktor, kita bisa melihat dari sisi sosio kultural yang mana kehidupan
sekitarnya merupakan lingkungan yang tidak mendukung bahkan banyak yang menjadi anak jalanan,
selain itu faktor dalam diri keluarga yang memang tidak mengenyam pendidikan tinggi serta faktor
ekonomi yang terhimpit sulitnya keuangan dan perekonomian keluarga, sehingga banyak anak menjadi
pekerja dan anak jalanan, bagi anak yang tidak mempunyai keluarga dan tinggal di jalanaan itu semua
juga bisa disebabkan dari faktor itu tadi ditambah tidak ada orang yang memperdulikan mereka. Dalam
penelitian Sosiologi dosen UNS, Drs. Argyo Demartoto, M.Si tentang anak bekerja di sektor informal di
Surakarata menyebutkan bahwa Pada umumnya mereka mempunyai pekerjaan yang tidak tetap kadang
mereka mengamen, berdagang asongan, menjual koran dan kadang ada pula yang menganggur saja.

Aktifitas anak jalanan berbeda-beda berdasarkan jenis pekerjaan mereka. Mereka yang berdagang
asongan umumnya mempunyai jam kerja yang teratur, dari pagi hingga sore. Mereka yang mengamen
umumnya mempunyai jam kerja yang tidak menentu, kadang siang, pagi atau malam hari. Sedangkan
yang berstatus ciblek mereka umumnya mempunyai jam kerja malam hari
Lantas siapa yang harus menyikapi banyaknya anak jalanan ini? Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 telah
mengaturnya "..fakir miskin dan anak terlantar harus dipelihara oleh Negara" telah jelas tergambar
dalam UUD 1945 yang dibuat oleh para pendiri bangsa ini, anak jalaan masuk dalam kategori anak
terlantar dan itu semua harus dipelihara oleh Negara. Dalam (www.solopos.com/2010/) Pemkot Solo yang
sering menggelar razia atau garukan tidak tepat. Cara seperti itu justru memicu perlawanan dari anak
jalanan Setidaknya pemerintah harus mengerti dan memahami permasalahan anak jalanan . Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Ketua PPAP Seroja Solo, sebuah lembaga yang mengurusi anak-anak
dan anak jalanan: ...Satpol PP dalam menggaruk anak jalanan kurang memperhatikan aspek psikologis
anak. Mereka asal menggaruk saja. Padahal, kadang anak trauma akan hal itu. Kami juga yang bertugas
mendampingi mereka... . Pemkot yang sering melakukan garukan atau penertiban anak jalanan,
sebenarnya anak jalanan itu baik, mau diajak bicara, bahkan berharap agar Pemkot memperhatikannya.
Nah, kurangnya perhatian dari Pemkot Solo yang tidak representatif menjadikan anak jalanan menjadi
pekerja anak jalanan bahkan putusnya pendidikan yang seharusnya mereka enyam ketika kecil ini.
Pemerintah daerah merupakan elemen utama yang seharusnya mampu menjadi penggerak penanganan
terhadap program pengentasan anak jalanan. Mengingat begitu pentingnya nasib anak jalanan yang
berstatus sebagai anak-anak, maka sudah sepatutnya pemerintah mengatur permasalahan anak secara
khusus di dalam suatu Undang-undang tertentu. Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak, yang mana anak-anak yang berusia kurang dari 18 tahun masih mendapat perlindungan dari
pemerintah, tidak boleh melakukan hal yang menyimpang dari yang selayaknya anak masih dalam
perlindungan. Anak jalanan masuk dalam kategori anak-anak apabila mereka masih berumur di bawah 18
tahun. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Begitu pun anak jalanan berhak mendapat kesemuanya itu
demi generasi yang lebih baik mengingat anak adalah aset berharga bangsa.
Dari penjabaran di atas, apakah benar fenomena anak jalanan merupakan dampak dari kemiskinan dan
sesuaikah upaya pemerintah kota Surakarta berdasarkan pasal 34 UUD 1945 serta UU tentang
perlindungan anak??

* Berpartisipasi nulis fair's UNS

Anak Jalanan di Surakarta Dilatih Musik


Keroncong
Kamis, 07 November 2013 | 11:11 WIB
Metrotvnews.com, Surakarta: Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta, Jawa Tengah, mencoba cara baru dalam mengatasi
permasalahan
anak
jalanan.
Yakni,
dengan
memberikan
pelatihan
musik
keroncong.
"Harapannya, dengan keterampilan itu mereka bisa memperoleh kesempatan yang lebih baik untuk meningkatkan taraf
hidup mereka," jelas Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Trasmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Surakarta, Rahmat
Sutomo,
Kamis
(7/11).
Rahmat mengatakan pelatihan musik keroncong untuk anak jalanan itu baru dimulai tahun ini. Sekarang sudah ada 20
orang
yang
memperoleh
pelatihan.
Mereka
terbagi
dalam
empat
kelompok.

"Mereka

tidak

hanya

dilatih,

tetapi

juga

diberi

bantuan

alat

musiknya,"

imbuh

Rahmat.

Anak-anak yang sudah mahir nantinya akan dicarikan kesempatan tampil pada acara-acara yang diselenggarakan Pemkot
Surakarta.
Dinsosnakertrans juga akan mencoba mencarikan peluang bagi mereka untuk tampil direstoran atau pusat-pusat
perbelanjaan.
Dengan demikian nantinya diharapkan tidak ada lagi anak-anak jalanan di Kota Surakarta yang mengamen di pinggir jalan.
Sebab,
mereka
sudah
memiliki
tempat
mengamen
yang
lebih
baik.
"Kami berharap semua pihak terkait bisa mendukung langkah ini, termasuk kalangan pengusaha," tegas Rahmat.
(Ferdinand)
Editor: Asnawi Khaddaf

SECERCAH HARAPAN ANAK JALANAN KOTA SURAKARTA


ANTARA PROBLEMATIKA DAN PENANGANANNYA

I.

Pendahuluan

Keberadaan anak jalanan di kota-kota besar di Indonesia sangat


memprihatinkan termasuk juga adalah Kota Surakarta. Keberadaan mereka di
jalanan sangat memprihatinkan sehingga masyarakat sendiri kurang peka yang
nampaknya tidak begitu memahami bagaimana mengatasi problematika ini.
Padahal Anak merupakan karunia Ilahi dan amanah yang harus di hargai dan
dijunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai manusia. Sebagaimana yang
tercantum dalam UUD 1945 Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi
manusia, UU No.39 tahun 1999 juga mengatur tentang Hak Asasi Manusia, dan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 tahun 1990 tentang
pengesahan Convention on the right of the child ( Konvensi tentang Hak-hak
Anak ).
Untuk memahami tentang anak jalanan secara utuh, kita harus mengetahui
definisi anak jalanan itu sendiri. Departemen Sosial RI mendefinisikan anak
jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk
mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya.
Kemudian UNICEF memberikan batasan anak jalanan, yaitu : Street child are
those who have abandoned their homes, school and immediate communities
before they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life
(anak jalanan merupakan anak-anak berumur dibawah 16 tahun yang sudah
melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya,
larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya (H.A Soedijar, 1988
: 16).
Hidup menjadi anak jalanan bukanlah merupakan pilihan hidup yang
menyenangkan, melainkan karena situasi dan kondisi serta keterpaksaan yang
harus mereka terima karena adanya sebab tertentu. Anak jalanan telah menjadi
sebuah fenomena yang menuntut perhatian kita semua. Secara psikologis
mereka adalah anak-anak yang belum mempunyai beban mental emosional
yang kuat, sementara pada saat yang bersamaan mereka harus bergelut
dengan dunia jalanan yang keras yang kemudian dapat mempengaruhi
tindakan negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek

psikologis ini berdampak pada aspek lain yaitu aspek sosial. Perkembangan
emosi mereka dan labilitas emosi serta mental mereka yang ditunjang dengan
penampilan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh masyarakat
terhadap anak jalanan yang diidentikan dengan anak-anak yang kumuh, suka
mencuri, sampah masyarakat dan selalu membuat kerusuhan yang harus
diasingkan.
Beragam faktor tersebut yang paling dominan menjadi penyebab munculnya
anak jalanan adalah faktor kondisi social ekonomi di samping karena adanya
faktor broken home. Selain juga ada berbagai factor lainnya seperti faktor
kemiskinan (structural dan peribadi ), faktor keterbatasan kesempatan kerja (factor
intern dan ekstern), kemudian faktor yang berhubungan dengan masalah urbanisasi
dan masih ditambah lagi dengan faktor pribadi seperti tidak biasa disiplin, hidup
sesuai dengan keinginannya sendiri ( cuek ) dan berbagai faktor factor
lainnya.
Upaya pembinaan terhadap anak jalanan bukannya tidak pernah dilakukan.
Pemerintah melalui DEPSOS sejak tahun 1998 telah mencanangkan program
rumah singgah kemudian dilanjutkan dengan program Rumahn Perlindungan
Sosial Anak ( RPSA ). Akan tetapi, pendekatan yang cenderung represif dan tidak
integrative, ditunjang dengan watak dasar anak jalanan yang selalu cenderung
bebas sehingga mendorong anak jalanan tidak betah tinggal di rumah singgah
atau rumah perlindungan social anak. Selain pemerintah, beberapa LSM
juga concernpada masalah ini. Kebanyakan bergerak di bidang pendidikan
alternatif bagi anak jalanan. Kendati demikian, dibanding jumlah anak jalanan
yang terus meningkat, daya serap LSM sangat terbatas sungguh tidak
memadai.
Penanganan masalah anak jalanan bukan saja menjadi tanggung jawab salah
satu pihak, tetapi merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah,
LSM, akademisi dan masyrakat, secara keseluruhan. Persoalannya, selama ini
aksi-aksi penanganan anak jalanan masih dilakukan secara sporadic,
sektoral dan temporal serta kurang terencana dan terintegrasi secara baik.
Akibatnya penanganannya menjadi tidak bisa maksimal.
II.

Pendekatan Pada Masalah Anak Jalanan

Permasalahan yang menyangkut anak jalanan adalah masalah lama yang sulit
dihadapi. Ada banyak variable yang membuat permasalahan tersebut sulit
dituntaskan. Pendekatan anak jalanan dapat dilakukan dalam beberapa bentuk
penghapusan (abolition), perlindungan (protection), dan pemberdayaan
(empowerment).

1. Pendekatan penghapusan ialah pendekatan yang lebih menekankan pada cara menghapus anak
jalanan secara radikal, dengan merubah tatanan struktur tersebut, mengandaikan tertanganinya
problem kemiskinan yang menjadi akar masalah anak jalanan.
2. Pendekatan perlindungan, ialah pendekatan yang menitik beratkan pada perlindungan dan
pemberian hak-hak anak jalanan melalui perumusan hukum-hukum yang berpihak pada anak
jalanan, meningkatkan peran lembaga sosial juga fungsionalisasi lembaga pemerintah untuk
memberikan perlindungan terhadap anak jalanan.
3. Pendekatan pemberdayaan, ialah meningkatkan kemampuan skill anak jalanan dalam bidang
tertentu sesuai dengan bakat dan minat anak jalanan sehingga anak jalanan dapat mandiri secara
ekonomi. Pendekatan pemberdayaan untuk membangun kesadaran kritis anak jalanan akan hak
dan posisinya dalam lingkungan sosial masyarakat.
III.

RUMAH PERLINDUNGAN SOSIAL ANAK ( RPSA ) SEBAGAI TEMPAT ALTERNATIF

PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN

Secara umum tujuan dibentuknya atau diadakannya Rumah Perlindunga Sosial


Anak ( RPSA ) sebagai alternative untuk membantu anak jalanan mengatasi
masalah-masalahnya dan menemukan jalan serta alternative-alternatif dalam
memenuhi akan kebutuhan hidupnya. Sedangkan secara khusus adalah :
1. Membentuk dan mengembalikan sikap dan prilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma
yang ada di masyarakat.
2. Mengupayakan anak-anak kembali kerumah dan berkumpul dengan keluarganya serta
memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya .
3. Memberikan berbagai pelayanan untuk pemenuhan hak kebutuhan anak dan menyiapkan masa
depannya sehingga menjadi masyarakat yang produktif.

Peran dan fungsi rumah perlindungan social anak untuk pemberdayaan anak
jalanan sangat penting. Secara ringkas fungsi rumah perlindungan social anak
antara lain :
1. Tempat pertemuan ( meeting point) antara pendamping atau pekerja sosial dengan anak
jalanan. Dalam hal ini sebagai tempat untuk terciptanya persahabatan dan keterbukaan antara
anak jalanan dengan pekerja sosial dalam menentukan dan melakukan pembinaan.
2. Pusat diagnosa dan rujukan berfungsi sebagai tempat melakukan diagnosa terhadap kebutuhan
dan masalah anak jalanan serta melakukan rujukan pelayanan bagi anak jalanan.
3. Fasilitator sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, keluarga pengganti, atau lembaga
lainnya.
4. Perlindungan. Rumah Perlindungan Sosial Anak dipandang sebagai tempat berlindung dari
berbagai bentuk kekerasan yang sering menimpa anak jalanan dari tindak kekerasan, prilaku
penyimpangan seksual ataupun berbagai bentuk kekerasan lainnya.

5. Pusat informasi tentang anak jalanan


6. Kuratif dan rehabilitatif, yaitu fungsi mengembalikan dan menanamkan fungsi social anak.
7. Akses terhadap pelayanan, yaitu sebagai persinggahan atau tempat sementara anak jalanan
dan sekaligus akses kepada berbagai pelayanan social.
8. Resosialisasi. Lokasi Rumah Perlindungan Sosial Anak ( RPSA ) yang berada ditengah-tengah
masyarakat merupakan salah satu upaya mengenalkan kembali norma, situasi dan kehidupan
bermasyarakat bagi anak jalanan. Pada sisi lain mengarah pada pengakuan, tanggung jawab dan
upaya warga masyarakat terhadap penanganan masalah anak jalanan.

Sedangkan bentuk upaya pemberdayaan anak jalanan selain melalui RPSA


dapat juga dilakukan melalui program-program :
1. Center based program, yaitu membuat tempat tinggal yang bersifat tidak permanen.
2. Street based interventions, yaitu mengadakan pendekatan langsung di tempat aktifitas anak
jalanan berada atau langsung ke jalanan.
3. Community based strategi, yaitu dengan memperhatikan sumber gejala munculnya
anak jalanan baik keluarga maupun lingkungannya.

Model pembinaan anak jalanan di Rumah Perlindungan Sosial Anak (


RPSA ) harus diawali dengan Penjangkauan atau kunjungan
pendahuluan dengan menjalain persahabatan dengan mereka ?. Apakah
dilakukan dengan cara identifikasi masalah (problem assess

31 Oktober 2013 | 11:57 wib

Solo Minim Rumah Singgah


Tweet

SOLO, suaramerdeka.com - Kota Solo masih minim terhadap keberadaan rumah singgah bagi pengamen,
gelandangan, orang gila dan anak terlantar (PGOT). Jumlah yang ada saat ini kapasitasnya terbatas tidak
bisa mencukupi untuk menampung mereka.
Kepala Seksi Rehabilitasi Bidang Sosial Disnosnakertrans, Bambang Yunianto menyebutkan selama ini di
Kota Solo terdapat tiga rumah singgah. Yakni Pamardi Yoga yang diperuntukkan bagi anak - anak
jalanan, lalu Panti Werda untuk orang tua dan lansia, serta Panti Wanita Utama yang lebih dipakai untuk
menampung para waktu pekerja seks komersil (PSK).
"Yang Pamardi Yoga dan Panti Werda milik Pemkot Solo. Sementara Panti Wanita milik Pemprov Jateng,"
ungkapnya, Kamis (31/10).
Bambang tidak bisa merinci secara pasti daya tampung masing-masing ketiga panti itu. Namun, ketika
musim operasi atau razia PGOT gencar dilakukan hampir dipastikan ketiganya tidak bisa menampung
hasil-hasil penjaringan.
Belum lagi dengan kapasitas Panti Wanita Utama akan bertambah banyak ketika menerima limpahan
dari luar Kota Solo, mengingat statusnya yang milik Pemprov. "Dari Semarang bahkan pernah
dilimpahkan ke Solo. Jelas bertambah banyak," ungkap dia.
Karena minimnya kapasitas tampung ketiga panti itu, maka yang terjadi selama ini petugas tidak bisa
melakukan tindakan secara mendalam.
"Biasanya ketika ditangkap kami data dan dikembalikan ke daerahnya masing-masing. Ini tidak bisa
menumbuhkan efek jera karena mereka pasti bisa kembali lagi," tutur Bambang.
Selain minimnya kapasitas, Bambang juga pusing ketika menangkap PGOT yang masuk dalam usia
produktif. Akhirnya karena belum ada rumah singgah bagi kelompok ini, lagi-lagi petugas hanya mendata
dan memulangkan. Tidak bisa untuk memberikan pelatihan buat bekal mereka.
"Ada rencana membangun rumah singgah bagi kelompok usia produktif. Kemungkinan baru terealisasi
tahun depan. Ini sudah kami sampaikan ke pimpinan," tambah dia.
Sementara itu, dari razia dua tim petugas gabungan untuk menertibkan PGOT yang dilakukan sepanjang
hari kemarin, sebanyak 20 gelandangan, pengamen dan pengemis berhasil ditangkap yang ditangkap.
Mereka ditangkap di tujuh titik Kota Solo.
"Ada yang di simpang empat Panggung, sepanjang Jembatan Komplang, Jalan Slamet Riyadi, Jalan Urip
Sumoharjo, Monumen 45 Banjarsari, perempatan Jalan Veteran, hingga perempatan Jalan Kapten
Mulyadi," tambah Bambang.
( Gading Persada / CN33 / SMNetwork )

Merdeka.com - Pemerintah Kota (Pemkot) Solo, Jawa Tengah, memberikan pelatihan musik
keroncong kepada anak jalanan (Anjal). Pelatihan tersebut dimaksudkan sebagai salah satu
upaya menertibkan keberadaan anjal di Solo.
Menurut Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Solo,
Rakhmat Sutomo mengatakan, saat ini baru 20 anak jalanan dibuat per kelompok dan setiap
kelompok lima anak, mereka dilatih musik keroncong.
"Mereka juga diberi alat musik untuk memainkan musik dan lagu-lagu keroncong. Kami pilih
musik keroncong karena Kota Solo dikenal sebagai kota keroncong," ujar Rakhmat kepada
wartawan di Balai Kota Solo, Rabu (6/11).
Lebih lanjut Rahmad menjelaskan, pelatihan tersebut dimaksudkan agar mereka tahu bagaimana
memainkan musik. Pihaknya juga meminta Pemkot Solo untuk memberikan kesempatan bagi
mereka untuk tampil pada acara-acara yang sering digelar Pemkot Solo.
"Kami juga mengimbau kepada pengusaha seperti restoran atau mal di Kota Solo, untuk
memberikan ruang bagi Anjal, supaya mereka tidak lagi mengamen di pinggir-pinggir jalan,"
pungkasnya.
Terpisah, Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo, mengatakan penanganan Anjal di Kota Solo akan
dilakukan secara persuasif. Anjal yang berasal dari luar Kota Solo, akan dikembalikan lagi ke
daerah mereka masing-masing. Sedangkan Anjal yang berasal dari dalam kota, akan dibina.

Ini Dia, Kerajinan Karya Anak Jalanan


19 Februari 2013 | 9:00
Achmad Khalik - Timlo.net

Dok.Timlo.net/ Achmad Khalik

Hasil Kerajinan Anak Jalanan yang dipamerkan di Plasa Sri Wedari, Minggu (17/2) pagi.

Solo Produk kerajinan batik kayu hasil karya puluhan anak jalananan di Solo dipamerkan di Plasa
Sriwedari, Minggu (17/2). Dengan memiliki keterampilan tersebut, diharapkan anak-anak dapat
meninggalkan dunia jalanan untuk beralih ke bidang usaha kerajinan.
Pengurus Yayasan Bina Bakat, Muladiyanto mengatakan, pelatihan membuat kerajinan membatik dengan
bahan dasar kayu tersebut untuk mengasah keterampilan para anak jalanan. Selain memberikan pelatihan
membatik kayu, para anak jalanan juga mendapatkan bantuan peralatan kerajinan dan modal usaha.
Tujuan kegiatan ini untuk memberdayakan anak jalanan supaya ke depannya tidak tinggal di jalanan lagi,
ungkapnya.
Muladiyanto juga mengatakan, setelah anak-anak jalanan tersebut mampu menghasilkan berbagai jenis
kerajinan batik kayu, pihaknya menggelar pameran di Plasa Sriwedari. Hasil karya kerajinannya seperti,
topeng kayu, fas foto, permainan dakon dan gelang kayu. Semua hasil kerajinan itu dibatik. Sedangkan
untuk gantungan kunci boneka merupakan hasil jahitan yang dikerjakan anak jalanan, ujarnya.

Muladiyanto menambahkan, dengan diadakannya pelatihan ketrampilan seperti itu, respon anak jalanan
sangat positif. Untuk itu pihaknya sedang mengupayakan untuk mendirikan bangunan sanggar untuk
pertemuan dan tempat pelatihan bagi anak-anak jalanan.
Nanti di bangunan itu juga akan dijadikan showroom kerajinan anak-anak jalanan. Untuk lokasi sudah
ada, yakni di Sumber, ujarnya.
Sementara itu, salah satu anak jalanan, Ricky Sapto Nugroho mengaku telah mampu membuat dan
membatik topeng kayu. Selain membuat topeng kayu, dia juga sudah berhasil menbuat berbagai gelang
kayu yang dibatik.
Jika ketrampilan membatik ini bisa menghasilkan uang untuk hidup, maka insyaallah saya akan
meninggalkan dunia jalanan ini, ujar pengamen Terminal Tirtonadi Solo ini.
Jumlah anak jalanan di Solo mencapai ratusan anak. Setiap harinya kegiatan yang dilakukan mereka
mengamen di pintu keluar Terminal Solo. Atau bahkan ada diantara mereka yang melakukan pekerjaan
sebagai pemulung.

2015, Solo Kota Layak Anak


Nasional 28 Oktober 2013Dibaca : 478 kali

A+A- EMAILPRINT

Laporan: Redaksi

ilustrasi

SURAKARTA, (tubasmedia.com) Pemkot Surakarta mencanangkan menjadi kota Surakara


menjadi kota layak anak pada 2015, kaa Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan
Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Surakarta, Anung Indro Susanto. Salah satu
indikator layak anak berarti tidak ada lagi anak jalanan pada 2015 jelasnya saat deklarasi kelurahah
layak anak di aman Cerdas, belum lama ini.
Anung menargetkan Surakarta bebas anak jalanan pada 2015 seiring kota layak anak. Diakuinya masih
cukup banyak anak-anak berkeliaran di jalan protokol. Namun perlu pendataan lebih lanjut untuk
memastikan apakah anak jalanan tersebut benar-benar warga Surakarta atau dari luar daerah.
Kalau memang warga Surakarta, akan kami bina, ujarnya. Misalnya, mereka yang putus sekolah
akan dikembalikan ke sekolah dan dibiayai dari program Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota
Surakarta. Dia menilai cara paling ampuh mengatasi anak jalanan adalah mengembalikannya ke
sekolah. Sedangkan jika anak jalanan tersebut berada di jalanan karena faktor ekonomi, dia
mengatakan akan menggandeng instansi terkait untuk menyelesaikan masalah. Misalnya, mengajak
dinas sosial untuk fasilitasi pelatihan atau keterampilan. Bisa juga bekerja sama dengan dinas koperasi
dan usaha kecil menengah.

Kami berharap anak jalanan mau lapor ke kelurahan sesuai domisili. Tentunya mereka tidak ingin
selamanya ada di jalanan, katanya. Jika anak jalanan berasal dari daerah lain, dia akan berkoordinasi
dengan daerah asal untuk memulangkannya. Salah satu cara mempercepat mengatasi masalah anak
jalanan yaitu membuat setiap kelurahan di Surakarta layak anak. Dengan demikian, anak-anak akan
mendapat pemenuhan kebutuhan dasar di bidang kesehatan, pendidikan, dan partisipasi. Sehingga
anak-anak tidak perlu memikirkan kebutuhan dasarnya, ucapnya.
Saat ini sudah ada dua kelurahan layak anak, yaitu di Gandekan, Jebres, dan Banjarsari. Dia
menargetkan tahun ini setidaknya di tiap kecamatan ada satu kelurahan layak anak. Ketua Kelompok
Kerja Kelurahan Layak Anak Gandekan, Budi Baskoro, mengaku berani mendeklarasikan kelurahan
layak anak karena secara intens melakukan sosialisasi dan kegiatan untuk anak-anak. Misalnya
jambore anak, penyuluhan narkoba, sosialisasi kesehatan, dan forum untuk partisipasi anak-anak,
katanya.
Di Gandekan, ada sekitar 1.000 anak sejak tingkat pendidikan anak usia dini hingga di bawah usia 18
tahun. Pasca-deklarasi, dia akan mendata siswa putus sekolah dan diupayakan mendapat bantuan
pendidikan. Begitu juga yang belum mendapat pelayanan kesehatan dasar akan dimasukkan program
kesehatan masyarakat Surakarta. (red/sis)

02 September 2013 | 11:53 wib

Anak Jalanan Usia Sekolah Bakal Ditertibkan


Tweet

SOLO, suaramerdeka.com - Guna mendukung upaya mewujudkan Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA),
Pemkot Surakarta bakal menertibkan anak jalanan (anjal) usia sekolah yang dipekerjakan di
persimpangan jalan.
"Ini bukan razia, tapi pembinaan. Dalam waktu dekat, tim dari Satpol PP, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Dinsosnakertrans), serta Bapermas PP PA dan KB akan berkeliling di ruas-ruas jalan, untuk
mencari mereka," ungkap Wali Kota, FX Hadi Rudyatmo.
Wali kota menambahkan, pihaknya ingin meminimalkan anak-anak usia sekolah, yang dipekerjakan oleh
orang tua mereka atau pihak tertentu.
"Jika ada anjal yang nantinya ditemukan di persimpangan atau ruas-ruas jalan, maka tim akan
mengembalikan mereka ke rumah masing-masing. Selanjutnya, kami akan membina pihak orang tua,
agar tidak membiarkan anak-anak mereka kembali ke jalanan."
Pengecekan kondisi ekonomi keluarga masing-masing anjal pun bakal dilakukan, guna memberikan solusi
yang tepat bagi persoalan si anak. "Tentunya, kami berharap, masing-masing keluarga juga peduli
terhadap keberadaan anak mereka," kata dia.
Lebih jauh pria yang biasa disapa Rudy ini menerangkan, pemkot tengah menyiapkan perwali yang akan
mengatur hak dasar anak. Produk hukum tersebut diharapkan mampu menjadi solusi terhadap
permasalahan anak yang dipekerjakan di jalan.
Dari segi mental, anak yang dipekerjakan di jalan itu adalah korban. Makanya harus disiapkan solusi
agar mereka tidak lagi kembali ke jalanan," tegas dia.

Senin, 16 Desember 2013 17:39 WIB | Chrisna Chanis Cara/JIBI/Solopos |


|

Solopos.com, SOLO Tingginya angka putus sekolah di Solo membuat jumlah anak jalanan (anjal)
berpotensi terus bertambah. Di sejumlah kelurahan seperti Kadipiro, Gandekan dan Penumping, angka
anak yang mengikuti wajib belajar 12 tahun hanya menyentuh 50%.
Hal ini tentunya perlu diberi penekanan. Solo sudah punya BPMKS yang bisa diakses warga secara
luas, ujar Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat PP PA & KB, Anung Indro Susanto.
Anung menambahkan upaya percepatan menuju Kota Layak Anak (KLA) pada 2015 terus dilakukan
melalui sejumlah kegiatan. Terakhir, pihaknya meluncurkan buku Profil Anak Kota Solo yang berisi
strategi, konsep dan sasaran menuju KLA pada 2015.
Buku ini dibagikan di 51 kelurahan sebagai pedoman dalam berkebijakan. Harapannya kegiatan
menyongsong KLA dapat lebih terarah.
Persoalan anjal memang masih menjadi rintangan Kota Solo menuju KLA pada 2015. Tak hanya anjal
dalam kota, Pemkot pun dipusingkan dengan anjal luar daerah yang di-drop hampir setiap hari di Kota
Bengawan.

Vous aimerez peut-être aussi