Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
A. Pengertian Antigen
Istilah antigen mengandung dua arti, pertama untuk mengambarkan molekul
yang memacu respon imun (juga disebut imunogen) dan kedua untuk
menunjukkan molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi atau sel T yang
sudah disensitasi (Baratawidjaja, 2006). Antigen yaitu setiap substansi asing
yang dapat menginduksi timbulnya respon imun (Bloom, 2002).
B. Letak Antigen
Antigen ditemukan di permukaan seluruh sel, tetapi dalam keadaan normal,
sistem kekebalan seseorang tidak bereaksi terhadap sel-nya sendiri.
Sehingga dapat dikatakan antigen merupakan sebuah zat yang menstimulasi
tanggapan imun, terutama dalam produksi antibodi. Antigen biasanya
protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul Iainnya.
Permukaan bakteri mengandung banyak protein dan polisakarida yang
bersifat antigen, sehingga antigen bisa merupakan bakteri, virus, protein,
karbohidrat, sel-sel kanker, dan racun.
C. Bagian Antigen
Secara fungsional antigen terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Imunogen, yaitu molekul besar (disebut molekul pembawa). Bagian
dari molekul antigen besar yang dikenali oleh sebuah antibodi (oleh
reseptor sel-T) atau bagian antigen yang dapat membuat kontak fisik dengan
reseptor antibodi, menginduksi pembentukan antibodi yang dapat diikat
dengan spesifik oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor antibodi, bisa
juga disebut determinan antigen atau epitop.
2. Hapten, yaitu kompleks yang terdiri atas molekul kecil. Bahan kimia
ukuran kecil seperti dinitrofenol dapat diikat antibodi, tetapi bahan tersebut
sendiri tidak dapat mengaktifkan sel B (tidak imunogenik). Untuk mengacu
respon antibodi, bahan kecil tersebut perlu diikat oleh molekul besar.
Hapten merupakan sejumlah molekul kecil yang dapat bereaksi dengan
antibodi namun tidak dapat menginduksi produksi antibodi.
D.Klasifikasi Antigen
1.Pembagian antigen menurut epitop
a.Unideterminan, univalent
Hanya satu jenis determinan/ epitop pada satu molekul.
b. Unideterminan, multivalent
Hanya satu jenis determinan tetapi dua atau lebih determinan tersebut ditemukan
pada satu molekul.
c. Multideterminan, univalent
Banyak epitop yang bermacam-macam tetapi hanya satu dari setiap macamnya
(kebanyaan
protein).
d. Multideterminan, multivalent
Banyak macam determinan dan banyak dari setiap macam pada satu molekul
2. Pembagian antigen menurut spesifisitas
a. Heteroantigen, yang dimiliki oleh banyak spesies
b. Xenoantigen, yang hanya dimiliki oleh banyak spesies tertentu
c. Aloantigen (isoantigen), yang spesifik untuk individu dalam satu spesies
d. Atigen organ spesifik, yang hanya dimiliki organ tertentu
e. Autoantigen, yang dimiliki alat tubuh sendiri
3. Pembagian antigen menurut ketergantungan terhadap sel T
a. T dependen, yang memerlukan pengenalan sel T terlebih dahulu untuk dapat
menimbulkan respon antibodi.
b. T independen, yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel T untuk
mebentuk antibodi.
4. Pembagian antigen menurut sifat kimiawi
E. Sifat-Sifat Antigen
Antigen memiliki beberapa sifat-sifat yang khas pada antigen tersebut, sifat-sifat
tersebut antaralain:
1. Keasingan
Kebutuhan utama dan pertama suatu molekul untuk memenuhi syarat sebagai
imunogen adalah bahwa zat tersebut secara genetik asing terhadap hospes.
2. Sifat-sifat Fisik
Agar suatu zat dapat menjadi imunogen, ia harus mempunyai ukuran minimum
tertentu, imunogen yang mempunyai berat molekul yang kecil, respon terhadap
hospes minimal, dan fungsi zat tersebut sebagai hapten sesudah bergabung dengan
proten-proten jaringan.
3. Kompleksitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi kompleksitas imunogen meliputi baik sifat fisik
maupun kimia molekul.
4. Bentuk-bentuk (Conformation)
Tidak adanya bentuk dari molekul tertentu yang imunogen. Polipeptid linear atau
bercabang, karbohidrat linear atau bercabang, serta protein globular, semuanya
mampu merangsang terjadinya respon imun.
5. Muatan (charge)
Imunogenitas tidak terbatas pada molekuler tertentu; tidak terbatas pada molekuler
tertentu, zat-zat yang bermuatan positif, negatif, dan netral dapat imunogen.
Namun demikian imunogen tanpa muatan akan memunculkan antibodi yang tanpa
kekuatan.
6. Kemampuan masuk
Kemampuan masuk suatu kelompok determinan pada sistem pengenalan akan
menentukan hasil respon imun.
sama. Pemaparan kedua kali terhadap antigen yang sama memicu respon imun
sekunder yang segera terjadi dan meningkatkan titer antibodi yang beredar
sebanyak 10 sampai 100 kali kadar sebelumnya. Sifat molekul antigen yang
memungkinkannya bereaksi dengan antibodi disebut antigenisitas. Kesanggupan
molekul antigen untuk menginduksi respon imun disebut imunogenitas.
Kespesifikan reaksi antara antigen dan antibodi telah ditunjukkan melalui
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Landsteiner. Ia menggabungkan radikalradikal organik kepada protein dan menghasilkan antibodi terhadap antigenantigen tersebut. Keputusan yang diperolehi menunjukkan antibodi dapat
membedakan antara kelompok berbeda pada protein ataupun kumpulan kimia yang
sama tetapi berbeda kedudukan. Ikatan yang terjadi terdiri dari ikatan non kovalen
(seperti ikatan hidrogen, van der Waals, elektrostatik, hidrofobik), sehingga reaksi
ini dapat kembali ke semula (reversible). Kekuatan ikatan ini bergantung kepada
jarak antara paratop dan bagian-bagian tertentu pada epitop.
Terdapat berbagai kategori Interaksi antigen-antibodi, kategori tersebut antara lain:
1. Primer
Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya antigen dengan
antibodi pada situs identik yang kecil, bernama epitop.
2. Sekunder
Interaksi tingkat sekunder terdiri atas beberapa jenis interaksi, di antaranya:
a. Netralisasi
Adalah jika antibodi secara fisik dapat menghalangi sebagian antigen
menimbulkan effect yang merugikan. Contohnya adalah dengan mengikat toksin
bakteri, antibody mencegah zat kimia ini berinteraksi dengan sel yang rentan.
b. Aglutinasi
Adalah jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau transfusi darah yang
tidak cocok berikatan bersama-sama membentuk gumpalan
c. Presipitasi
Adalah jika komplek antigen-antibodi yang terbentuk berukuran terlalu besar,
sehingga tidak dapat bertahan untuk terus berada di larutan dan akhirnya
mengendap.
d. Fagositosis
Adalah jika bagian ekor antibodi yang berikatan dengan antigen mampu mengikat
reseptor fagosit (sel penghancur) sehingga memudahkan fagositosis korban yang
mengandung antigen tersebut.
e. Sitotoksis
Adalah saat pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi serangan sel
pembawa antigen oleh killer cell (sel K). Sel K serupa dengan natural killer cell
kecuali bahwa sel K mensyaratkan sel sasaran dilapisi oleh antibodi sebelum dapat
dihancurkan melalui proses lisis membran plasmanya.
3. Tersier
Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologik dari interaksi
antigen-antibodi yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya. Pengaruh
menguntungkan antara lain: aglutinasi bakteri, lisis bakteri, immnunitas
mikroba,dan lain-lain. Sedangkan pengaruh merusak antara lain: edema, reaksi
sitolitik berat, dan defisiensi yang menyebabkan kerentanan terhadap infeksi.
INTRODUKSI IMUNOBIOLOGI
MAWAR PUTRI JULICA
07/ 250270/ KG/ 08134
Laboratorium Biologi Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
Reaksi antigen-antibodi dapat di deteksi dengan reaksi sekunder untuk
memvisualisasikan reaksi misalkan presipitasi maupun aglutinasi. Klasifikasi
antigen salah satunya bersumber dari alogeneik dengan jenis alloantigen salah
satu contohnya adalah golongan darah. Dua jenis penggolongan darah yang
paling penting adalah penggolongan ABO dan Rhesus (faktor Rh). Membran sel
darah merah pada sebagian besar individu mengandung suatu substansi golongan
darah tipe A, tipe B, tipe AB, tipe O. Penggolongan sistem ABO didasarkan pada
ada atau tidaknya aglutinasi antara antigen-antibodi yang terdapat dalam darah,
sedangkan penggolongan Rh berdasarkan ada atau tidaknya antigen D. Jika
seseorang dengan Rh negatif (tidak mempunyai antigen D) terpajan dengan darah
Rh positif (mempunyai antigen D), maka tubuh akan membentuk anti-Rh sehingga
menyebabkan
aglutinasi.
Untuk melihat adanya aglutinasi, tes yang dilakukan adalah mereaksikan darah
sebagai antigen dan larutan anti sera( Anti-A, Anti-B, Anti-C, dan Anti-D).
Aglutinasi dapat menunjukkan golongan darah. Sedangkan pada penghitungan
jenis leukosit sample darah dibuat sediaan tipis lalu dicat dengan Giemsa 3%.
Kemudian sediaan diamati dibawah mikroskop, dilakukan perhitungan macam
jenis leukosit per 100 sel leukosit sepanjang sediaan apus. Hasil penghitungan
dilaporkan
dalam
bentuk
persen.
Kedua percobaan tersebut dilakukan pada tiga orang probandus dengan hasil :
1. Probandus I : golongan darah O, Rh positif, basofil 0%, eosinofil 0%, netrofil
0%, limfosit 75%, monosit 18%
2. Probandus II: golongan darah O, Rh positif, basofil 2,4%, eosinofil 14,8%,
netrofil 54,3%, limfosit 8,6%, monosit 7,4 %
3. Probandus III: golongan darah O, Rh positif, basofil 10,1%, eosinofil 10,1%,
netrofil 43,4%, limfosit 30,4%, monosit 5,7 %
Penghitungan Diffferential Blood Count (DBC) ternyata secara klinis juga sangat
membantu dalam diagnosis suatu kondisi patologis. Kenaikan titer salah satu atau
beberapa jenis leukosit memberi makna kondisi tertentu yang dapat fisiologis
maupun patologis.
Kata kunci : aglutinasi, hitung diferensial leukosit, antigen, antibody
PENDAHULUAN
Dalam pengertian paling luas , immunologi mengacu pada semua mekanisme
pertahanan yang dapat di mobilisasi oleh tubuh untuk memerangi ancaman invasi
asing. Respon imun itu hampir seluruhnya diperantarai oleh limfosit B dan limfosit
T. Saat terjadi respon imun terhadap benda asing, limfosit B terutama terlibat
dalam menghasilkan protein-protein globular yang disebut Antibodi.(Fried, G.H
and Fried, G.J., 2006). Imunigenisitas dapat di definisikan sebagai sesuatu zat
(immunogen) yang memberikan zat tersebut kemampuan membangkitkan respon
imun spesifik baik antibody maupun imunitas seluler. Bagian dari struktur tiga
dimensi tiap imunogen mengandung kelompok permukaan misalnya asam amino
dalam suatu protein globularatau sisi rantai sakarida yang menonjol pada
polisakarida. Struktur ini diberi nama determinan antigenic atau epitop dan
menyajikan daerah aktif terpapar, dengan mana antibody menyatu .(Bellanti &
Jackson, 1993)
Jika terdapat suatu agen asing yang dapat dikenali oleh system imunitas, maka hal
ini dapat memicu produksi molekul protein khusus yang secara umum disebut
antibodi. Antibodi sendiri merupakan senjata utama respon humoral. Reseptor sel
T yang akan mengenali agensia asing tersebut secara spesifik dan mengikatnya.
Molekul yang dapat dikenali dan diikat oleh reseptor sel T yang disebut antigen
(antibody generating surface).(Yuwono,2008)
Interaksi
antigen-antibodi
dapat
dibagi
dalam
kategori:
(1)primer, (2) sekunder,(3) tersier. Interaksi primer atau interaksi awal antigen
dengan antibody adalah suatu kejadian dasar yang terdiri dari pengikatan molekul
Rentang normal
Presentase WBC
4000 11.000
Granulocytes 5.400
3.000 6.000
50 70
Eosinophils 275
150 300
14
Basophils
0 100
0,4
Lymphocytes 2.750
1.500 4.000
20 40
Monocytes
300 600
28
Platelets
200.000 500.000
Neutrophils
35
540
300.000
antigen dan antibodi yang terkandung dalam darahnya. Jenis penggolongan darah
lain adalah dengan memanfaatkan faktor Rhesus atau faktor Rh.
Tubuh kita ini mempunyai sistem pertahanan tubuh yang bekerja melalui dua cara.
Pertama adalah merusak benda asing yang menyerbu (antigen) dengan cara
fagositosis. Kedua, menon-aktifkan benda asing tadi dengan membentuk antibodi
spesifik. Proses yang kedua ini telah dicontohkan pada kasus golongan darah yang
telah dijelaskan sebelumnya. Sedang untuk proses fagositosis sendiri dilakukan
oleh leukosit Ada enam macam sel darah putih yang secara normal ditemukan
dalam darah. Netrofil polimorfonuclear, eosinofil polimorfonuclear, basofil
polimorfonuclear, merupakan sel-sel yang polimorfonuclear (berinti >1) dan
mempunyai gambaran granular, maka disebut sel granulosit. Fungsi utama limfosit
dan sel plasma adalah berhubungan dengan sistem imun seseorang. Sel-sel darah
putih manusia normalnya berkisar antara 4.000 11.000 sel per mikroliter darah .
Rentang normal elemen seluler pada darah manusia dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Di antara sel dalam tabel di atas, granulosit (leukosit PMN) yang paling banyak.
Granulosit muda mempunyai inti berbentuk seperti tapal kuda yang menjadi
multilobulus waktu sel tumbuh menjadi semakin tua. Sebagian besar granulosit
mengandung granula yang berwarna dengan zat warna asam (eosinofil) dan
sebagian mempunyai granula basofilik (basofil). Dua jenis sel lainnya yang normal
ditemukan dalam darah tepi adalah limfosit, yaitu sel dengan inti besar dan bulat
dan sedikit sitoplasma, dan monosit, yaitu sel dengan banyak sitoplasma agranuler
dan inti berbentuk ginjal.(Ganong, 2001)
Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan tes aglutinasi
terhadap pemeriksaan golongan darah dan menjelaskan hasilnya, memahami dan
mempelajari prosedur pembuatan sediaan sampel darah dengan metode oles (smear
methods), serta mengenal beberapa istilah dalam bidang imunobiologi.
lain.
9.Lancet
10.Kapas Alkohol
1.
Cara Kerja
Pembuatan Sediaan Film Darah Tipis
HASIL PENGAMATAN
Pemeriksaan Golongan Darah ABO dan Rh, serta Identifikasi dan Kuantitatif Sel
Leukosit masing-masing dilakukan terhadap tiga orang probandus. Dari ketiga
percobaan tersebut didapatkan hasil sebagai berikut:
Aglutinasi Terjadi Pada
Penilaian
Aglutinasi
Golongan
Terjadi Pada
Penilaian
Anti-A
Anti-B
Anti-AB
Darah
Anti-D
Rh
Probandus 1
Positif
Probandus 2
Positif
Probandus 3
Positif
Probandus
Probandus
v Identifikasi leukosit
Macam Sel
Probandus 1
Probandus 2
Probandus 3
Basofil
0%
24%
10,1%
Keterangan:
Eosinofil
0%
14,8%
10,1%
*Perhitungan
Netrofil
6%
54,3%
43,4%
probandus 1
Limfosit
75%
8,6%
30,4%
menggunaka
Monosit
18%
7,4%
5,7 %
n perbesaran
1000x
Golongan Darah
Aglutinogen
Aglutinin
Anti-B
Anti-A
AB
A dan B
Tabel
golongan
darah
beserta
aglutinogen
dan
aglutininnya
Pemeriksaan Golongan Darah ABO dan Rh pada percobaan kali ini menggunakan
sampel darah yang dicampur aglutinin anti-A dan aglutinin anti-B, kemudian
diamati sel darah merah yang teraglutinasi untuk mengetahui adanya reaksi
antibodi-antigen. Dari ketiga probandus, semuanya bergolongan darah O karena
saat ditetesi serum anti-A dan anti-B tidak terjadi reaksi aglutinasi. Jika individu
memiliki aglutinin Anti-A dan Anti-B ditetesi dengan serum yang sama, maka
tidak terjadi ikatan antigen-antibodi yang secara makroskopis dapat diamati dengan
reaksi aglutinasi. (Guyton & Hall, 2007)
Bila darah yang tidak cocok dicampur sehingga aglutinin plasma anti-A atau anti-B
dicampur dengan sel darah merah yang mengandung aglutinogen A atau B,
terjadilah aglutinasi sel darah merah. Terdapat dua tahapan aglutinasi, yang
pertama adalah perlekatan molekul antibodi dengan antigen yang tidak terlarut,
kedua terjadi pembentukan pola-pola geometris (Sheehan, 1997). Menurut Guyton
& Hall (2007), proses aglutinasi diawali oleh aglutinin bivalen atau polivalen yang
akan melekatkan diri pada sel darah merah. Karena aglutinin mempunyai dua
tempat pengikatan (tipe IgG) atau 10 tempat pengikatan (IgM), maka satu aglutinin
dapat melekatkan diri pada dua atau lebih sel darah merah yang berbeda pada
waktu yang sama, dengan demikian menyebabkan sel saling mendekat satu sama
lain. Keadaan ini menyebabkan sel-sel menggumpal bersama-sama (aglutinasi).
di
mana
hemolisis
sel
darah
mengakibatkan extramedullary
pencurahan
erythroblasts ke
disebut erythroblastosis
fetalis.
merah
janin
dan
neonatus
sirkulasi,
Kernicterus
suatu
selanjutnya
kondisi
terbukti
yang
karena
pengendapan bilirubin dalam otak. (Bowman, 1998). Hemolytic disease pada fetus
muncul pada bayi dengan RhD yang positif yang dibawa oleh ibu dengan RhD
negatif yang telah diimunisasi sel darah merah dengan RhD positif melalui
transplacental barrier selama periode kehamilan. Antibodi IgG maternal hingga
RhD melewati placenta, melapisi dan menghancurkan sel darah merah RhD positif
janin.(Lo YMD, et al., 1998). Kasus inkompabilitas RhD tidak hanya
membahayakan bayi tetapi juga orang dewasa, khususnya saat melakukan transfusi
darah. Orang dengan RhD negatif lebih berisiko karena ketika mereka menerima
darah dari orang dengan rhesus positif, antibodinya akan menyerang sel darah
merah yang baru masuk tadi. Hal ini dapat menyebabkan aglutinasi dan bahkan
kematian. (Anitei, 2008)
Pembahasan selanjutnya mengenai sel darah putih yang merupakan salah satu
komponen sistem pertahanan tubuh kita. Leukosit terdiri atas sel fagosit dan sel
imunosit. Yang termasuk sel fagosit adalah neutrofil (PMN), eosinofil, basofil, dan
monosit. Sedangkan limfosit dan sel plasma termasuk sel imunosit. Pada keadaan
normal, perbandingan persentase komponen leukosit adalah : netrofil 62%,
eosinofil 2,3%, basofil 0,4%, monosit 5,3%, limfosit 30%. Persentase netrofil akan
mengalami peningkatan saat terjadi infeksi bakteri, eosinofil meningkat pada
reaksi alergi dan infeksi parasit, sedangkan basofil akan meningkat jumlahnya pada
kondisi inflamasi jaringan.( Bregman, 1996).
Penghitungan diferensial leukosit ternyata memberi makna klinis yang signifikan
terhadap beberapa kelainan di dalam tubuh. Leukosit memiliki peranan sebagai
pertahanan tubuh terhadap berbagai agen toksik dan infeksi. Mekanismenya antara
lain dengan menghancurkan agen invasif melalui proses fagositosis dan
membentuk antibodi dan limfosit yang disensitifkan. Kenaikan titer salah satu atau
beberapa jenis leukosit ternyata memberikan indikasi penyakit tertentu, misalnya
apendisitis, terjadi kenaikan leukosit dan netrofil yang cukup signifikan dan
berperan dalam proses inflamasi. Bahkan derajat inflamasi apendisitis dapat
diketahui dengan jumlah leukosit dan netrofil PMN pasien. (Horng-Ren Yang, et
al, 2006). Berbagai keadaan-keadaan yang menyebabkan peningkatan dan
penurunan jumlah sel leukosit.
1. Neutrofil leukositosis
Dikatakan leukositosis apabila jumlah neutrofil berada pada level > 7,5 x 10 9.
Karakteristik leukositosis: terjadinya pergeseran ke kiri dari dalam differential
white cell count pada apusan darah tepi. ada beberapa penyebab neutrofil
leukositosis, yaitu : Infeksi bakteri (bakteri pyogenic), Inflamasi dan nekrosis
jaringan, kelainan metabolisme, misal, uremia, asidosis, gout, Neoplasma,
hemolisis atau hemorargi akut, terapi kortikosteroid.
2. Neutropenia
Jumlah neutrofil terendah adalah sekitar 2,5 X 109/l. Ketika level neutrofil absolute
mencapai 0,5 X 109/l menandakan pasien mempunyai infeksi yang sifatnya
kambuhan (recurrent) dan pada saat jumlahnya hanya 0,2 X 10 9/l, menandakan
bahwa ada kelainan fungsi tubuh.
(Hoffbrand & Pettit, 1998)
Pada percobaan Identifikasi dan Kuantitatif Sel Leukosit dilakukan penghitungan
jenis leukosit per 100 sel leukosit, dan hasilnya diubah dalam persen. Penghitungan
pada sampel darah probandus 1 dengan menggunakan perbesaran 1000X
didapatkan hasil sebagai berikut : basofil 0%, eosinofil 0%, netrofil 0%, limfosit
75%, monosit 18%. Selanjutnya Probandus II menggunakan perbesaran 400x
didapat hasil: basofil 2,4%, eosinofil 14,8%, netrofil 54,3%, limfosit 8,6%,
monosit 7,4 %, sedangkan pada probandus III didapat hasil: basofil 10,1%,
eosinofil 10,1%, netrofil 43,4%, limfosit 30,4%, monosit 5,7 %. Jumlah eosinofil,
basofil dan monosit relatif sedikit pada persentase. Mengingat fungsi utama
netrofil adalah fagositosis, sehingga kenaikan netrofil menjadi dalah satu indikator
proses inflamasi (peradangan) dan infeksi. Leukosit ini juga memberi respon
fagositik dan berperan pada proses peradangan. Secara klinis, eosinofilia terjadi
terutama jika terjadi reaksi alergi dan infeksi cacing, sedangkan basofil berperan
dengan sel mast dalam melepaskan heparin ke dalam darah sehingga mencegah
koagulasi darah.
Hasil yang didapatkan berbeda dengan standar teori yang ada. Kesalahan ini selain
disebabkan karena kesalahan pada saat mengidentifikasi, juga dapat dikarenakan
terjadinya penghitungan ulang pada wilayah yang sama pada saat mengamati
dengan mikroskop. Penggunaan perbesaran mikroskop yang berbeda dalam
perhitungan juga bisa menjadi salah satu pemicu perbedaan hasil. Kesalahan lain
bisa disebabkan pada saat pembuatan preparat apus, dimana sampel darah yang
digunakan terlalu tebal ataupun terlalu tipis sehingga tidak terlihat pada saat
pengamatan dengan mikroskop. Kemungkinan terakhir yakni tubuh probandus
benar-benar sedang dalam keadaan patologis
KESIMPULAN
Aglutinasi yang terjadi pada pemeriksaan golongan darah menunjukkan adanya
interaksi antara antigen-antibodi yang sejenis. Penghitungan diferensial jumlah
relative
secara
klinis
dapat
diketahui
dengan
pemeriksaan
laboratorium.
Klasifikasi antibodi
Klasifikasi antibody
(Drh. Darmono MSc).
Interaksi antigen dengan antibodi bersifat non-covalen dan pada umumnya sangat
spesifik. Antibodi hanya diproduksi oleh limfosit B dan disebarkan keseluruh
tubuh secara eksositosis dalam bentuk plasma dan cairan sekresi. Mereka
membentuk sel B antigen reseptor yang spesifik. Antibodi ditemukan dalam
plasma juga berikatan dengan reseptor spesifik untuk daerah konstan (Fc) dari
imunoglobulin. Mereka juga ditemukan dalam cairan sekresi seperti mukus, susu
dan keringat.
Pada dasarnya satu unit struktur antibodi pada mamalia adalah glikoprotein (berat
molekul sekitar 150.000 dalton) yang terdiri dari empat rantai polipeptida. Semua
antibodi mempunyai bentuk struktur yang sama yaitu dua rantai pendek (VL) dan
dua rantai panjang (VH). Bentuk tersebut dihubungkan dengan bentuk kovalen
(disulfida) dan erat hubungannya dengan sequens asam amino yang mempunyai
struktur sekunder dan tertier.
Setiap rantai pendek (VL) berat molekulnya sekitar 25.000 dalton, dimana ada dua
jenis rantai pendek yaitu lambda () atau kappa (). Pada manusia terdiri dari 60%
adalah kappa dan 40% lambda, sedangkan pada mencit 95% kappa dan 5%
lambda. Satu molekul antibodi hanya mengandung lambda saja atau kappa saja dan
tidak pernah keduanya.
Setiap rantai panjang (VH) mempunyai berat molekul sekitar 50.000 dalton, yang
terdiri dari daerah variabel (V) dan konstan . Rantai panjang (VH) dan rantai
pendek (VL) terdiri dari sejumlah homolog yang mengandung kelompok sequence
asam amino yang mirip tetapi tidak identik. Unit-unit homolog tersebut terdiri dari
110 asam amino yang disebut domain imunoglobulin. Rantai panjang mengandung
satu domain variabel (VH) dan tiga dari empat domain konstan lainnya (CH1,
CH2, CH3, CH4, bergantung pada klas dan isotipe antibodi). Daerah antara CH1
dan CH2 disebut daerah hinge (engsel), yang memudahkan pergerakan /
fleksibilitas dari lengan Fab dari bentuk Y molekul anti bodi tersebut. Hal itu
menyebabkan lengan tersebut dapat membuka atau menutup untuk dapat mengikat
dua antigen determinan yang terpisahkan oleh jarak diantar kedua lengan tersebut.
Rantai panjang juga dapat meningkatkan fungsi aktifitas dari molekul antibodi.
Ada 5 klas antibodi yaitu: IgG, IgA, IgM, IgE dan IgD, yang dibedakan menurut
jenis rantai panjangnya masing-masing yaitu: , , , dan . Klas antibodi IgD,
IgE dan IgG terbentuk dari struktur tunggal, sedangkan IgA mengandung dua atau
tiga unit dan IgM terdiri dari 5 yang dihubungkan dengan sambungan disulfida.
Antibodi IgG dibagi menjadi 4 subklas (disebut juga isotipe) yaitu IgG1, IgG2,
IgG3, dan IgG4.
Struktur dan fungsi IgG dapat dipecah oleh enzim pepsin dan papain menjadi
beberapa fragmen yang mempunyai sifat biologi yang khas. Perlakuan dengan
pepsin dapat memisahkan Fab2 dari daerah persambungan hinge (engsel). Karena
Fab2 adalah merupakan molekul bivalen sehingga ia dapat mempresipitasi antigen.
Enzim papain dapat memutus daerah hinge diantara CH1 dan CH2 untuk
membentuk dua fragmen yang identik dan dapat bertahan dengan reaksi antigenantibodi dan juga satu non-antigen-antibodi fragmen yaitu daerah fragmen
kristalisabel (Fc). Bagian Fc ini adalah glikosilat yang mempunyai banyak fungsi
efektor (yaitu: binding komplemen, binding dengan sel reseptor pada makrofag dan
monosit dan sebagainya) dan dapat digunakan untuk membedakan satu klas
antibodi dengan lainnya.
Imunoglobulin A (IgA).
Imunoglobulin A adalah antibodi sekretori, ditemukan dalam saliva, keringat, air
mata, cairan mukosa, susu, cairan lambung dan sebgainya. Yang aktiv adalah
bentuk dimer (yy), sedangkan yang monomer (y) tidak aktif. Jaringan yang
mensekresi bentuk bentuk dimer ini ialah sel epithel yang bertindak sebagai
reseptor IgA, yang kemudian sel tersebut bersama IgA masuk kedalam lumen.
Fungsi dari IgA ini ialah:
-
Bersifat bakterisida dengan kondisinya sebagai lysozim yang ada dalam cairan
sekretori yang mengandung IgA
Imunoglobulin D (IgD)
Imunoglobulin D ini berjumlah sedikit dalam serum. IgD adalah penenda
permukaan pada sel B yang matang. IgD dibentuk bersama dengan IgM oleh sel B
normal. Sel B membentuk IgD dan IgM karena untuk membedakan unit dari RNA.
Imunoglobulin E (IgE)
Imunoglobulin E ditemukan sedikit dalam serum, terutama kalau berikatan dengan
mast sel dan basophil secara efektif, tetapi kurang efektif dengan eosinpphil. IgE
berikatan pada reseptor Fc pada sel-sel tersebut. Dengan adanya antigen yang
spesifik untuk IgE, imunoglobulin ini menjadi bereaksi silang untuk memacu
degranulasi dan membebaskan histamin dan komponen lainnya sehingga
Imunoglobulin M (IgM)
Imunoglobulin m ditemukan pada permukaan sel B yang matang. IgM mempunyai
waktu paroh biologi 5 hari, mempunyai bentuk pentamer dengan lima valensi.
Imunoglobulin ini hanya dibentuk oleh faetus. Peningkatan jumlah IgM
mencerminkan adanya infeksi baru atai adanya antigen (imunisasi/vaksinasi). IgM
adalah merupakan aglutinin yang efisien dan merupakan isohem- aglutinin
alamiah. IgM sngat efisien dalam mengaktifkan komplemen. IgM dibentuk setelah
terbentuk T-independen antigen, dan setelah imunisasi dengan T-dependent
antigen.
Imunoglobulin G (IgG)
Imunoglobulin G adalah divalen antigen. Antibodi ini adalah imunoglobulin yang
paling sering/banyak ditemukan dalam sumsum tulang belakang, darah, lymfe dan
cairan peritoneal. Ia mempunyai waktu paroh biologik selama 23 hari dan
merupakan imunitas yang baik (sebagai serum transfer). Ia dapat mengaglutinasi
antigen yang tidak larut. IgG adalah satu-satunya imunoglobulin yang dapat
melewati plasenta. Kemampuannya melewati plasenta untuk setiap jenis hewan
berturut-turut adalah: Rodentia>primata>anjing/kucing> manusia=babi=kuda. IgG
adalah opsonin yang baik sebagai pagosit pada ikatan IgG reseptor. Imunoglobulin
ini merangsang antigen-dependen cel-mediated cytotoxicity (ADCC)-IgG Fab
untuk mengikat target sel, Natural Killer(NK) Fc-reseptor, mengikat Ig Fc, dan
sel NK membebaskan citotoksik pada sel target. IgFc juga mengaktifkan
komplemen, menetralkan toksin, imobilisasi bakteri dan menghambat serangan
virus.
STRUKTUR IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang terdapat dalam
serum atau cairan tubuh pada hampir semua mamalia. Imunoglobulin termasuk
dalam famili glikoprotein yang mempunyai struktur dasar sama, terdiri dari 8296% polipeptida dan 4-18% karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat
biologik molekul antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi yaitu
mengikat antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi komplemen serta
pelepasan histamin dari sel mast. Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin.
Tiap kelas mempunyai perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat
tempat ikatan antigen spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Struktur dasar
imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai polipeptida yang tersusun dari rangkaian
asam amino yang dikenal sebagai rantai H (rantai berat) dengan berat molekul
55.000 dan rantai L (rantai ringan) dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar
imunoglobulin (satu unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai ini
diikat oleh suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk struktur
yang simetris. Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini adalah penyusunan
daerah simetris rangkaian asam amino yang dikenal sebagai daerah domain, yaitu
bagian dari rantai H atau rantai L, yang terdiri dari hampir 110 asam amino yang
diapit oleh ikatan disulfid interchain,sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan
oleh ikatan disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan
lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (), rantai A (),
rantai M (), rantai E () dan rantai D (). Setiap rantai mempunyai jumlah domain
berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2 domain; sedang rantai G, A dan D masingmasing 4 domain, dan rantai M dan E masing-masing 5 domain.
Rantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa fragmen.
Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu 2 fragmen yang terdiri
dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini mempunyai susunan asam amino yang
bervariasi sesuai dengan variabilitas antigen. Fab memiliki satu tempat tempat
pengikatan
antigen
(antigen
binding
site) yang
menentukan
spesifisitas
yang
fiksasi dengan
komplemen, terikat pada permukaan sel makrofag, dan yang menempel pada sel
mast dan basofil mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil, dan kemampuan
menembus plasenta.
Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada gugusan
karboksil terminal sampai bagian sebelum ikatan disulfida (interchain) dengan
akibat kehilangan sebagian besar susunan asam amino yang menentukan sifat
antigenik determinan, namun demikian masih tetap mempunyai sifat antigenik.
Fragmen Fab yang tersisa menjadi satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai
F(ab2) yang mempunyai 2 tempat pengikatan antigen (lihat Gambar 9-5).
KLASIFIKASI IMUNOGLOBULIN
Klasifikasi imunoglobulin berdasarkan kelas rantai H. Tiap kelas mempunyai berat
molekul, masa paruh, dan aktivitas biologik yang berbeda. Pada manusia dikenal 4
sub kelas IgG yang mempunyai rantai berat l, 2, 3, dan 4. Perbedaan antar
subkelas lebih sedikit dari pada perbedaan antar kelas.
Imunoglobulin G
IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2 rantai berat H dan
2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai koefisien sedimentasi 7 S dengan berat
molekul sekitar 150.000. Pada orang normal IgG merupakan 75% dari seluruh
jumlah imunoglobulin.
Imunoglobulin M
Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah imunoglobulin, dengan
koefisien sedimen 19 S dan berat molekul 850.000-l.000.000. Molekul ini
mempunyai 12% dari beratnya adalah karbohidrat. Antibodi IgM adalah antibodi
yang pertama kali timbul pada respon imun terhadap antigen dan antibodi yang
utama pada golongan darah secara alami. Gabungan antigen dengan satu molekul
IgM cukup untuk memulai reaksi kaskade komplemen.
IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai dan C H. Molekul
monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan disulfida pada domain
CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer dihubungkan satu dengan lain pada
ujung permulaan dan akhirnya oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.
Imunoglobulin A
IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA dalam serum
terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang 80% terdiri dari molekul
monomer dengan berat molekul 160.000, dan sisanya 20% berupa polimer dapat
berupa dua, tiga, empat atau lima monomer yang dihubungkan satu dengan lainnya
oleh jembatan disulfida dan rantai tunggal J (lihat Gambar 9-6). Polimer tersebut
mempunyai koefisien sedimentasi 10,13,15 S.
Sekretori IgA
Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin yang paling banyak
terdapat pada sekret mukosa saliva, trakeobronkial, kolostrum/ASI, dan urogenital.
IgA yang berada dalam sekret internal seperti cairan sinovial, amnion, pleura, atau
serebrospinal adalah tipe IgA serum.
SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul
monomer, dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J. Komponen
sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan pada bagian Fc
imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan melewati sel epitel
mukosa (lihat Gambar 4-6). SIgA merupakan pertahanan pertama pada daerah
mukosa dengan cara menghambat perkembangan antigen lokal, dan telah
dibuktikan dapat menghambat virus menembus mukosa.
Imunoglobulin D
Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat labil terhadap
pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat molekulnya adalah 180.000.
Rantai mempunyai berat molekul 60.000 70.000 dan l2% terdiri dari
karbohidrat. Fungsi utama IgD belum diketahui tetapi merupakan imunoglobulin
permukaan sel limfosit B bersama IgM dan diduga berperan dalam diferensiasi sel
ini.
Provided by
maupun
(glomerulonepritis
alergi
dari
toksin
bakteri
yang
menyerang
ginjal
chronis yang disebabkan toksin stretococus), untuk ini perlu penaganan yang
serius.
Mediator-mediator inflamasi yang dilepas akan menyebabkan kontraksimotot
polos,
meningkatkan sekresi mukos, meningkatkan aliran darah, meningkatkan permea
bilitas kapiler dan pengerahan sel-sel inflamasi, kesemua kejadian ini disebut
inflamasi alergik". Sel-sel darah yang berperan dalam kejadian inflamasi alergik
ini
adalah sel darah putih atau leukosit dengan turunanya; neutrofil, basofil, aosinofil,
limfosit, mastosit makrofag, sel plasma, sel epitel dan lain-lain, akhir-akhir ini para
ahli mengungkapkan pula keterlibatan mediator inflamasi TNF. Neuropeptida, IL2.
Histologi leukosit
Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darah
putih. Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 50009000
sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis,
bilakurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel
darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup
berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti
yang
bervariasi, Yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti
bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel
kecil, sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih
banyak. Terdapat tiga jenis leukosir granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (atau
eosinofil) yang dapat dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat warna netral
basa dan asam. Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat dalam jenis
depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, menfagosit partikel kecil
dengan aktif. Adanya asam amino D oksidase dalam granula azurofilik penting
dalam
penceran dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D. Selama proses
fagositosis dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil
berikatan dengan peroksida dan halida bekerja pada molekultirosin dinding sel
bakteri dan menghancurkannya.
Dibawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin toksin streptokokus
membran granula-granula neutrofil pecah, mengakibatkan proses pembengkakan
diikuti oleh aglutulasiorganel- organel dan destruksi neutrofil.
Neotrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan
glikolisis baik secara arrob maupun anaerob. Kemampuan nautropil untuk hidup
dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat
membunuh
bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik. Fagositosis
oleh
neutrfil merangsang aktivitas heksosa monofosfat shunt, meningkatkan
glicogenolisis.
EOSINOFIL
Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9um
(sedikit lebih kecil dari neutrofil). Inti biasanya berlobus dua, Retikulum
endoplasma
mitokonria dan apparatus Golgi kurang berkembang. Mempunyai granula ovoid
yang
dengan eosin asidofkik, granula adalah lisosom yang mengandung fosfatae asam,
katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung lisosim. Eosinofil mempunyai
pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis, lebih lambat tapi lebih
bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan
interaksi sel-sel immunocmpetent dengan antigen.
PERKEMBANGAN LIMFOSlT DALAM PROSES IMMUN
Seperti kita ketahui bahwa limfosit yang bersikulasi terutama berasal dari
timus dan organ limfoid perifer, limpa, limfonodus, tonsil dan sebagainya. Akan
tetapi mungkin semua sel pregenitor limfosit berasal dari sum-sum tulang,
beberapa
diantara limfositnya yang secara relatif tidak mengalami diferensiasi ini bermigrasi
ke
timus, lalu memperbanyak diri, disini sel limfosit ini memperoleh sifat limfosit T,
kemudian dapat masuk kembali kedalam aliran darah, kembali kedalam sum-sum
tulang atau ke organ limfoid perifer dan dapat hidup beberapa bulan atau tahun.
Sel-sel T bertanggung jawab terhadap reaksi immune seluler dan mempunyai
reseptor permukaan yang spesifik untuk mengenal antigen asing. Limfosit lain
tetap
diam disum-sum tulang berdiferensiasi menjadi limfosit B berdiam dan
berkembang
2003 Digitized by USU digital libraray 4
didalam kompertemenya sendiri. Sel B bertugas untuk memproduksi antibody
humoral antibody response yang beredar dalam peredaran darah dan mengikat
secara khusus dengan antigen asing yang menyebabkan antigen asing tersalut
antibody, kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel pembunuh (killer
sel atau sel K) dari organisme yang menyerang. Sel T dan sel B secara marfologis
hanya dapat dibedakan ketika diaktifkan oleh antigen. Tahap akhir dari diferensiasi
sel-sel B yang diaktifkan berwujud sebagai sel plasma. Sel plasma mempunyai
retikulum endoplasma kasar yang luas yang penuh dengan molekul-molekul
antibody, sel T yang diaktifkan mempunyai sedikit endoplasma yang kasar tapi
secara
relatif
dikendalikan
oleh
pengaruh
molekuler
kecil
dari
antigendetenniminan
antigenic untuk protein dan polisakarida, determinan antigenic terdiri
atas empat sampai enam asam amino atau satuan monosa karida. Jika komplek
antigen Yang memiliki banyak determinan misalnya sel bakteri akan
membangkitkan
satu spectrum respon humoral dan selular.
Antibodi, disebut juga imunoglobulin adalah glikkoprotein plasma yang
bersirkulasi dan dapat berinteraksi secara spesifik dengan determinan antigenic
yang
merangsang pembentukan antibody, antibody disekresikan oleh sel plasma yang
terbentuk melalui proliferasi dan diferensiasi limfosit B.
Pada manusia ditemukan lima kelas imunoglobulin, Ig.G, terdiri dari dua
rantai ringan yang identik dan dua rantai berat yang identik diikat oleh ikatan
disulfida dan tekanan non kovalen. Ig G merupakan kelas yang paling banyak
jumlahnya, 75 % dari imunoglobulin serum IgG bertindak sebagai suatu model
bagi
kelas-kelas yang lain.
Terjadinya respon imun dari tubuh.
Kepekaan tubuh terhadap benda asing (antigen 0 akan menimbulkan reaksi
tubuh yang dikenal sebagai Respon imun Respon imun ini mempunyai dampak
positif
terhadap, tubuh yaitu dengan timbulnya suatu proses imunisasi kekebalan tubuh
terhadap antigen tersebut, dan dampak negatifnya berupa reaksi hypersensitifitas.
Hypersensitifitas merupakan reaksi yang berlebihan dari tubuh terhadap antigen
dimana akan mengganggu fungsi sistem imun yang menimbulkan efek protektif
yaitu
merusak jaringan.
Proses kerusakan yang paling cepat terjadi berupa degranulasi sel dan
derifatnya (antara lain sel basofil, set Mast dan sel plasma) yang melepaskan
mediator-mediatonya yaitu histamin, serotonin, bradikinin, SRS=A, lekotrin
Eusinohil
chemotactic Factor (ECF) dan sebagainya. Reaksi tubuh terhadap pelepasan
mediator ini menimbulkan penyakit berupa asthma bronchial, rhinitis aIergika,
urtikaria, diaree dan bisa menimbulkan shock. Secara lambat akan terjadi reaksi
kerusakan jaringan berupa sitolisis dari sel-sel darah merah sitotokis terhadap
organ
tubuh seperti ginjal (glomeruloneftitis), serum siknesdermatitis kontak, reaksi
tuberculin dan sebagainya, rheumatoid arthritis. coom dan gell membagi 4 jenis
sesitifitas, dimana dapat dilihat apa yang terjadi pada sel-sel leukosit.
Pada type I (padareaksi anafilaktik) terjadi antigen bergabung dengan IgE
(imunoglobin tipe E-antibodies tipe E) yang terikat pada mast sel -sel basofil dan
sel
plasma. Reaksi terhadap tubuh terjadi dalam beberapa menit.
2003 Digitized by USU digital libraray 5
Pada type II (pada reaksi sititoksik) dimana antigen mengikat diri pada
membran sel, yang pada penggabungan anti gen mengikat IgG atau IgM yang
bebas
dalam cairan tubuh akan menghancurkan sel yang mengikat anti gen tersebut.
Reaksi ini terdapat pada tranfusi darah, anemia hemolitika.
Pada Type III ( reaksi artrhus ) merupakan reaksi anti gen dan antibody
komplek dimana gen bergabung dengan IgG atau IgM menjadi suatu komplek,
yang
mengikat diri antara lain sel-sel ginjal, paru-paru dan sendi.
Terjadilah aktifitas dari komplemen (komplemen protein dalam darah) dan
pelepasan
zat-toksis. Ditemui pada glomerulo nephritis, serum scness, rheumatk arthritis.
Type IV ( delayed ), antigen merupakan sel protein atau sel asing yang
bereaksi dengan limfosit, limfosit melepaskan mediator aktif yaitu limfokin, terjadi
reaksi pada kulit, reaksi pada tranplantasi, reaksi tuberculin dan dermatitis kontak.
Imonopatogenesis.
Pada Imunopatologi menjelaskan bahwa reaksi alergi diawali dengan tahap
sensit, kemudian diikuti reaksi ale yang terlepas dari sel-sel mast (mastosit) dan
atau sel basofil yang berkontak ulang dengan allergen spesifiknya (IS hizaka,
Tomiko
dan Ishizaka 1971). Saat ini lebih jelas terutama pada rhinitis alergika diketahui
terdiri dari dua fase (Kaliner 1987, Lichtensin 1988, pertama reaksi alergi fase
cepat
(RAFC,immediet phas-allergic reaction), berlangsung sampai satu jam setelah
berkontak alergan kedua, reaksi alergis fase lambat (RAFL, Late phase allergic
reaction) yang berlangsung sampai 24 jam bahkan sampai 48 jam kemudian,
dengan puncak reaksi pada 4 8 jam pertama.
1. Tahap Sensitasi
mononuclear akan melepas histamin releasing factors (HRFs) Yang akan memacu
mastosit dan basofil dan melepas histamin lebih banyak lagi.
Sepanjang reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat
(RAFL) sel-sel inflamasi dilepaskan sebagai prodak protein yang merupakan hasil
kenerja DNA sel-sel inflamasi tersebut yang dapat dibagi dalam tiga jenis, Gran
dkk
1991;Bocher dkk; Coffman 1994 schleimer dkk 199.
Durham and Till 1998 Greticos 1998; Nel dkk 1998.
Mediator-mediator mastosit / basofil dan eosinofil, histamin, prostaglandin,
Leukotrien, ECFA,(eosinofi chemotactic factorof anaphylactic) NCFA (Neutrophil
chematactic factor of anaphylactic), dan kinin. Mediator yang berasal dari sel
eosinofil. PAF,LTB4,C5a kemoaktraktan. LTC4 PAF, ECP;. Molekul-molekul
sitokin
inductor/stimulator/aktivalator RIA yang terdiri atas, IL-44 dan IL-33 yang
mempengaruhi limfosit B dalam memproduksi IgE. IL-3 dan IL-4 mempengaruhi
basofil memproduksi histamin. LTs dan sitokin-sitokin. IL-3 dan IL-5
mempengaruhi
sel eosinofil dalam memproduksi protein-protein basa LTs dan sitokin. HRFs yang
mempengaruhi mastosit dan basofil melepas histamin lebih banyak lagi. IL-4
mempengaruhi epitel, IL-13 mempengaruhii endotel dalam memproduksi VCAM
(Vascular cell adhesion molecule). Molekul-molekul activator/survival sel
eosinofil,
GM=CSF dan IL-3
IL-3 dan IL-5 (inerleukin-3 dan interleukin-5)
Fibronektin
Molekul sitokin kemoaktraktan bagi sel eosinofil.
IL-5
IL-3.GM=CSF,IL-8
Lain-lain
Interaksi EOS aktif dan epitel mukosa hidung membentuk IL-8, RNTES dan
GGM=CSF. Molekul-molekul protein utama produk sel-sel inflamasi, sel endotel
dan
mukosa yang berperan langsung menimbulkan alergi adalah antara lain; histamin,
leukotrien, prostak landing, kinin, platelet e activating factor (PAF), sitokin dan
kimokin.
Histamin,
dapat
menggunakan
H2
reseptor-mediated-
antiinflmnatoriyactivity
meliputi inhibisi penglepasan enzin lisosomal neutrfil, inhibisi
pelepasan histamin dari leukosit perifer, dan aktivasi suppressor T-lymllocytes (
Metcalfe et al, 1981, cit White 1999). Histamin menggunakan efeknya pada
berbagai
sel seperti sel oto polos, neuron, sel-sel kelenjar (endokrin dan Eksokrin, sel-sel
darah, dan sel-sel sistem imun (pearce 1991, cit White 1999), Histamin merupakan
vasodilator, konstruktor otot polos, stimulsn pennabilitas vaskuler yang kuat,
2003 Digitized by USU digital libraray 7
stimulan sekresi kelenjar mukosa saluran nafas dansekresi kelenjar lambung.
(White
1999). Leukotrien diproduksi oleh berbagai sel inflanlasi seperti mastosit basofil,
eosinofil, neutrofil dan monosit.
Prostaglandin, berasal dari pecahan arachodonic acid membran sel yang
paling banyak diproduksi oleh mastosit paru-paru PGD2 (White 1999). Seperti kita
ketahui bahwa efek biologis dari prostaglandin adalah, memodulasi kontraksi otot
polos, penurunan permeabbilitas vaskuler, rasa gatal dan nyeri, dan agregasi serta
degranulasi platelet.(trombosit).
Kinin merupakan hormon peptida yang kuat terbentuk de novo dalam cairan
tubuh dan jaringan sepanjang inflamasi. Tiga jenis-jenis kinin yang penting dalam
tubuh adalah bredykinin, kallilidin (Iysbradykinin) dan met-lys bradykinin. Pada
reaksi inflamasi alergi dalam hidung kinin sangat banyak ditemukan. Platelet
activating factor (PAF) merupakan sebuah ether-linked phospholipid. PAF
diproduksi
oleh mastosit, macrofag dan eosinofil. Aktifitas biologisnya meliputi pletelet
aktivasi
neutrofil,dan kontraksi otot palos, PAF juga merangsang akumulasi eosinofil ke
permukaan endothelium yang merupakan langkah awal pengerahan eosinofil
kedalam jaringan. PAF memacu eosinofil untuk melepas berbagai protein basa
yang
menyebabkan peningkatan kerusakan mukosa (terutama oleh MBP) dan
menyebabkan peningkatan ekspresi low-affiniti IgE reseptors pada eosinofil dan
monosit. PAF banyak dibentuk oleh sel eosinofil yang dapat menarik sel eosinofil
lainya memasuki jaringan. Sitikin (cytokine) memainkan peran yang penting
sepanjang reaksi alergi fase lambat, mastosit adalah sumber dari sitokin
multifungsi
( Bradding et al 1996) cit White 1999 antara lain:
1. Aktifitas sel-sel inflasi (makrofag, selT, sel B dan eosinofil) diatur oleh IL=1,
IL-4,
IL-5, IL-6, TNF- dan GM=CSF.
2. Pertumbuhan dan proliferasi sel B, dan pertumbuhan sel-T-helfer ditingkatkan
oleh IL-1.
3. IL-2 memacu proliferasi limfosit T dan aktivasi Limfosit B
4. IL- menyebabkan diferensiasi limfosit B menjadi IgE sekresing plasmasel dan
bersama TNF-@ meninkatkan pengaturan ekpresi high-dan low affinity IgE
reseptor pada sel-sel APC.