Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Problem pemahaman hadits Nabi merupakan persoalan yang sangat urgen
untuk diangkat. Hal demikian berangkat dari realitas hadis sebagai sumber kedua
ajaran islam setelah alQuran yang dalam banyak aspeknya berbeda dengan al
Quran.1
Menurut petunjuk alquran, nabi Muhammad SAW selain dinyatakan
sebagai Rasulullah juga dinyatakan sebagai manusia biasa. Dengan perkataan lain,
nabi Muhammad disamping berstatus sebagai rasu, beliau juga berstatus sebagai
manusia. Dalam kapasitas sebagai manusia, beliau diakui oleh Umat Islam dan
non Islam sebagai kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim,
dan pribadi manusia biasa.
Berkaitan dengan status Nabi SAW diatas, maka mengkaji hadits dengan
melihat status Nabi dan konteks sebuah hadits pada saat sebuah hadist disabdakan
serta mengetahui bentuk- bentuk matan hadits merupakan upaya yang sangat
penting dalam menangkap makna hadits secara utuh. Oleh sebab itu, beberapa
pendekatan seperti pendekatan
Suryadi, Metode Kotemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta: Teras 2008). Hlm
1.
BAB II
PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI HADIS
A. Pendekatan Bahasa
Persoalan pemahaman makna hadis tidak dapat dipisahkan dari
penelitian matan. Pemahaman hadits dengan beberapa pendekatan memang
diperlukan. Salah satunya adalah pendekatan bahasa. Hal tersebut karena
bahasa Arab yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam
menyampaikan berbagai hadits selalu dalam susunan yang baik dan benar.
Pendekatan bahasa dalam penelitian Matan akan sangat membantu terhadap
kegiatan penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari matan
hadis yang bersangkutan. Apalagi bila diingat bahwa sebagian dari
kandungan mataan berhubungan dengan masalah keyakinan , hal-hal ghoib,
dan petunjuk kegiatan agama yang bersifat taabudi.2
Penelitian hadis dengan menggunakan pendekatan bahasa ini dapat
digunakan untuk meneliti makna hadis, meneliti nilai sebuah hadis apabila
terdapat perbedaan lafad dalam matan hadis.
Pendekatan bahasa dalam memahami hadis dilakukan apabila dalam
sebuah matan hadis terdapat aspek-aspek keindahan bahasa (Balaghoh) yang
memungkinkan mengandung pengertian majazi (metaforis) sehingga berbeda
dengan pengertian haqiqi.
Adapun tujuan dari memahami hadis melalui pendekatan bahasa
adalah3 :
1. Peneliti dapat mengetahui dan memahami makna dari lafad-lafad hadis
yang ghorib dan juga mengetahui illat serta syadz.
2. Memahami dan mengetahui makna dan tujuan hadis Nabi muhamad
Saw. contoh
3. Mengkorfirmasi pengertian kata-kata hadis.
Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). (Yogyakarta: CESAD
YPI Al Rahmah, 2001).hlm 57.
3
Alfatih suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis (Yogyaakarta: SUKA Pres UIN Sunan
Kalijaga 2012). Hlm 124-126.
Artinya:
Sesungguhnya orang yang beriman satu memperkokoh terhadap bagian
lainnya, dan jari jermarinya berjalinan. (H.R. al Bukhori dari Abu
Musa).
)02 / 8 (-
- 576
.
- -
Artinya
Sesungguhnya orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya
ibarat bangunan bagian yang satu memperkokoh bagian yang lainnya (H.
R. Muslim dari Abu Musa).
)167 /7(
- 1851
Artinya:
sesungguhnya orang yang beriman terhadap orang yang beriman
lainnya ibarat bangunan bagian yang satu memperkokoh terhadap bagian
laiinya. (H.R al-Turmuzi dari Abu Musa Al-Asyari).
Jika hadis-hadis tersebut dicermati, maka tiga hadis tentang
persaudaraan atas dasar iman ini telah terjadi perbedaan lafaz antara
sumber dari al-Bukhori dengan dua periwayat lain (Muslim dan Tirmizi).
Meskipun sumber perawi berasal dari satu sumber. Perbedaan tersebut
terjadi dalam riwayat al Bukhori di tambahkan lafal inna dan wa syabbaka
asabiah sedang kedua riwayat lainya tidak mencantumkan kedua lafaz
tersebut.
Perbedaan matan tersebut masih dapat di toleransi, karena isinya
tidak bertentangan dengan maksud kandungan hadis. Bahkan, matan hadist
yang berbentuk tasybih ini memiliki keindahan bahasa dan uslub yang
tinggi dalam bahasa Arab. Aspek susunan bahasa inilah yang oleh jumhur
ulama dijadikan salah satu tanda-tanda atau kriteria hadis sohih.
Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafaz pada matan hadis yang
semakna adalah karena adanya ziyadah dari periwayat jalur al Bukhori.
Dalam menanggapi persoalan ziyadah ini, maka menurut ibnu sholah,
ziyadah ada tiga macam yaitu:
1. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqoh yang isinya
bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang
bersifat siqoh juga, ziyadah tersebut ditolak, dan ziyadah seperti ini
termasuk hadis sadz.
2. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqoh yang isinya tidak
bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang
bersifat siqoh juga, Ziyadah seperti ini dapat diterima. Pendapat ini
merupakan kesepakatan ulama.
3. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqoh berupa sebuah lafaz
yang mengandung arti tertentu, sedang para periwayat lainnya yang
bersifat
siqoh
tidak
mengemukakannya.
Ibnu
solah
tidak
orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat
bangunan bagian yang satu memperkokoh bagian yang lainnya.
Matan hadis tersebut mengandung ungkapan gaya bahasa tasybih
tamsil jika dilihat dari segi wajah syibh-nya. Sebuah ungkapan tasybih
disebut tasybih tamsil bila mana wajah syibh-nya berupa gambaran yang
dirangkai dsri keadaan beberapa hal. Nabi Muhammad menyerupakan
gambaran dua orang mukmin dengan sebuah bangunan yang bagianbagiannya saling memperkuat. Jika dicermati, maka wajah syibihnya
diambil dari beberapa hal, yakni adannya bagian-bagian yang saling
4
Adapun hadis yang menyebutkan rajam bagi pelaku zina muhson non
muslim adalah:
)465 /11(
- 3363
8
9
10
Persoalan pemberlakuan hadis tersebut muncul ketika terjadi
penolakan hukum rajam tersebut dengan mengajukan argumentasi bahwa
hadis yang menunjukan adanya hukum rajam tersebut terjadi sebelum
turunnya aal-Quran surat al-Nur ayat 2, sehingga hadis mengnai rajam
dinaskh oleh al-Quran. Polemik anatara menolak dan menerima hukum
rajam inipun berlanjut sampai sekarang ini. Problem inilah yang menuntut
adanya fiqh al-hadis dengan menggunakan pendekatan historis dengan
melihat peristiwa pelaksanaan hukum rajam dari sisi sejarah atau
pembongkaran data-data kesejarahan yang berkaitan dengan hadis tersebut.
Menurut para mufaassir pada periode awal islam, sanksi przinaan
adalah kurungan bagi wanita yang telah kawin dan bagi gadis di cerca, sedang
bagi laki-laki dipermalukan dan dicerca di hadapan khalayak ramai.11
Dengan melihat kenyataan sejarah bahwa pada masa Nabi
Muhammad SAW, orang-orang islam hidup berdampingan dengan orangorang Yaahudi, yang memiliki kitab suci dan diakui oleh umat islam. Oleh
sebab itu, ketika orang-orang Yahudi melakukan pelanggaran hukum (zina),
maka sangat wajar bila Nabi Muhammad mmberlakukan huku rajam bagi
mereka sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam kitab sucinya, kitab taurat.
Selanjutnya akan
rajam tersebut bagi orang-orang islam? Jawabanya adalah bahwa hukumhukum yang ada dalam kitab suci terdahulu itu memang masih diberlakukan
kepada umat islam sepanjang tidak di ubah dan tidak diganti dengan
ketentuan hukum baru, sehingga dalam kasus pelaksanaan hukum rajam,
apakah kasus pelaksanaan hukum rajam bagi orang-orang islam dilaksanakan
sebelum atau sesudah turunnya hukum bagi pezina yang tertuang dalam surat
al-Nur ayat 2.12
10
Hadis ini dengan jelas menunjukan bahwa waktu pelaksanaan hukum
rajam yang diberikan pada zaman Nabi terhadap orang islam tidak diketahui.
Dari kenyataan sejarah ini jelas dapat dipahami mengapa Nabi
Muhammad melaksanakan hukum yang ada dalam kitab Taurat terhadap
orang Yahudi dan juga orang Islam. Namun setelah aayat tentang hukum bagi
pezina telah diturunkan , maka nabi tidak lagi menghukum rajam terhadap
orang islam. Hal ini dikarenakan bagi mereka yang berzina (baik laki-laki
atau perempuan, muhsan aatu ghairu muhsan ) hukumannya adalah deraan
seratus kali.14
Dengan pemahaman historis yang didukung pemahaman korelasional
dengan ayat al- Quraan dan hadis-hadis lain dapat diperoleh kesimpulan
bahwa meskipun hadis rajam sahih dan pelaksaan hukumnya pernah
diterapkan Nabi, tetapi melalui telaah historis, hadis tersebut telah di mansukh
oleh al-Quran surah An-nur ayat2, sehingga hadis ini tidahk bisa
diberlakukan karena termasuk hadis ghair mamul bih
C. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama masyarakat
dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu.
Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk
13
14
15
Agil Husain Al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud : Studi Kritis Atas
Hadis Nabi, Pendekatan Sosio, Historis, Kontekstual (Cet.1 ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001),
h.24-25.
16
Abdul Mustaqim, Ilmu Maanil Hadist (Paradigma Interkoneksi). (Yogyakarta: Idea
Press, 2009), hal. 62
17
Ibid. Hlm 63
10
Contoh penerapan
18
Hadis di atas mempunyai sebab-sebab yang pada saat itu tidak bisa
dipisahkan dalam memaknainya, apabila memaknai sebuah hadis dan
meninggalkan sejarah turunnya hadis dapat dipastikan akan berujung pada
makna yang kurang tepat bahkan keliru. Dalam hal ini metode pendekatan
sosiologis sangatlah diperlukan, agar dapat di ketahui apa yang di maksud dari
hadis tersebut, paling tidak mendekati kebenaran. Jika kita lihat kondisi
historis dan sosiologis masyarakat saat ini, sangatlah mungkin larangan itu di
latar belakangi terhadap kaum perempuan.
Kalau kita perhatikan pada hadis di atas kita kan temukan makna yang
tersirat pada larangan tersebut bahwa Rasullah saw sebenarnya menghendaki
keamanan pada kaum perempuan pada saat bersafar. Mengingat pada masa itu
dimana orang yang hendak bepergian ia menggunakan kendaraan seperti onta,
keledai dll, tentu sangatlah berbeda dengan keadaan sekarang yang mana
sarana transportasi sungguh lebih modern.
Namun ada beberapa pendapat yang berkenaan dengan hadis di atas
sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Abu Hanifah dan didukung oleh
mayoritas ulama hadis adalah wajib hukumnya yang hendak haji, harus
disertai marom atau suami, namun menurut Imam SyafiI tidak wajib ia hanya
keamanan saja, keamanan bisa diperolah oleh adanya mahrom atau suami
perempuan-perempuan lain yang dapat dipercaya.19
D. Pendekatan Sosio-Historis
Pemahaman hadis dengan pendekatan sosio-historis adalah memahami
hadis-hadis dengan melihat sejarah sosial dan setting sosial pada saat dan
18
http://173.193.234.99/~daawa/islam/moslim_2/moslim/alhaj.php?alhaj=74
Abdul Muttaqin, Pradigma Interkoneksi Dalam Memahami Hadis Nabi: Pendekatan
Historis, Sosiologis Dan Antropologis, Yogyakarta: Jurnal Study Ilmu-Ilmu Al-Qur;An Dan AlHadis, 2008.H 94
19
11
12
saja yang telah merobek-robek surat saya, akan dirobek-robek (diri dan
kerajaan) orang itu. Tidak lama kemudian, kerajaan persia dilanda
kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat
raja. Hingga pada akhirnya, diangkatlah seorang perempuan yang bernama
Buwaran Binti Syairawih bin Kisra (cucu Kisra yangpernah dikirimi surat
nabi) sebagai ratu (Kisra) di Persia, setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan
dalam rangka suksesi kepemimpinan. Hal tersebut karena ayah Buwaran
meninggal dunia dan anak laki-lakinya telah mati terbunuh tatkala melakukan
perebutan kekuasaan, karenanya Buwaran dinobatkan menjadi Ratu.
Peristiwa tersebut terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H.
Selain itu dari sisi sejarah sosial bangsa tersebut dapat dikuak bahwa
menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia sebelum itu, jabatan
kepala negara dipegang oleh kaum laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9
hijriyah tersebut menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja
bukan laki-laki lagi, melainkan perempuan. Pada waktu itu derajat kaum
perempuan dimata masyarakat berada dibawah derajat kaum laki-laki.
Pendekatan sosio-historis diatas didukung juga oleh pencarian
petunjuk hadis dengan mengaitkan pada kapasitas Nabi saat menyabdakan
hadis, apakah sebagai seorang rosul, kepada negara, panglima perang, hakim,
tokoh masyarakat atau seorang pribadi manusia biasa, merupakan suatu yang
sangat penting sebagaimana yang dikatakan oleh Mahmud Syaltut:
mengetahui hal-hal yang dilakukan oleh Nabi dengan mengaitkan pada
fungsi Nabi ketika hal itu dilakukan, sangat besar manfaatnya.20
Dengan demikian dapat dipahami bahwa melalui pendekatan sosiohistoris dalam memahami hadis tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa
hadis larangan perempuan menjadi pemimpin merupakan pernyataan Nabi
dalam merespon berita pengangkatan putri Kisra sebagai pemimpin Persia
tersolut yang tidak terkait dengan wacana persyaratan syari bagi seorang
pemimpin, namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi
Nabi yang memberi peluang adanya dua kemungkinan. Pertama, boleh jadi
sabda Nabi tersebut merupakan doa agar pemimpin negeri Persia itu tidak
20
Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekata ), )Yogyakarta : CESad YPI
Al-Rahmah, 2001), Hlm. 92-96
13
sukses dan jaya. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat pribadi
Nabi yang didasarkan pada fakta realitas histori yang pada saat itu tidak
memungkinkan bagi seorang perempuan untuk memimpin negara, karena
tidak memperoleh legitimasi dari masyarakat dan tidak berwibawa jika
dipercaya menjadi pemimpin mereka. Oleh karena itu tidak ada larangan bagi
seorang perempuan untuk menjadi pemimpin bila kondisi sosial berbeda
dengan kondisi pada saat hadis tersebut muncul. Jika keadaan perempuan
sudah dihormati dan mempunyai kewibawaan serta memiliki kualifikasi,
maka memaksakan pemahaman hadis secara tekstual merupakan tindakan
yang kurang bijaksana.21
E. Pendekatan Antropologis
Pemahaman hadis dengan pendekatan antropologis adalah memahami
hadis dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, tradisi dan budaya yang berkembang dalam
masyarakat pada saat hadis tersebut disabdakan. Pengertian Antropologi
menurut bebrbagai ahli dan fakar didalamnya sendiri sebagai berikut:
-
David Huter: anropologi adalah imu yang lahir dari keingintahuan yang
tidak terbatas tentang umat manusia.
Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi
yaitu sebuah ilmu mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta
kebudayaan yang dihasilkan setiap manusia yang satu dengan yang lainnya
berbeda-beda.
Atropologi adalah salah satu disiplin ilmu dri cabang ilmu
pengetahuan sosial yang memfokuskan kajiannya kepada manusia. Secara
umum, objek kajian antropologi dapat dibagi menjadi dua bidang, antropologi
fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme biologis, dan
antropologi budaya. Objek dari antropologi adalah manusia didalam
21
Ibid.,Hlm. 102-103
14
memiliki
tujuan
untuk
mempelajari
manusia
dalam
22
15
kulitnya berwarna hitam, tidak kuning sepertimu. Maka orang itu lalu
berkata: betul juga ya rasullullah, kalau begitu dia anak saya. Pendekatan
yang digunakan oleh Nabi dalam kasus ini adalah pendekatan antropologis.
Hadis tersebut berbunyi:
..
(
)
Jika rasulullah memberi contoh pemahaman dengan menggunakan
pendekatan antropologi, maka sudah tentu dalam memahami hadis beliau
juga diperlukan pendekatan serupa.24 Hadis yang lain yang dipahami dengan
pendekatan antropologis adalah hadis yang berbunyi:
..
) (
Dari jabir berkata: rasulullah SAW bersabda: matikanlah lampulampu pada waktu malam ketika kamu sekalian hendak tidur, kuncilah pintupintu, ikatilah tempat-tempat air minum (yang terbuat dari kulit), dan
tutupilah makanan dan minuman.
Pada masa Nabi secara anstropologis, alat penerang waktu malam
adalah lampu minyak. Apabila lampu tidak dimatikan tatkala hendak tidur,
maka mungkin akan terjadi kebakaran. Penyebabnya mungkin karena lampu
minyak itu disentuh oleh binatang misalnya tikus atau karena hembusan
angin. Untuk keamanan bersama dan untuk penghematan, maka penghuni
rumah perlu mematikan lampu-lampu terdahulu sebelum tidur.
Pada zaman sekarang, banyak rumah yang menggunakan lampu
listrik. Dengan demikian, keamanan lebih terjamin walaupun lampu
dinyalakan tatkala penghuninya sedang tidur. Dengan fasilitas lampu seperti
ini, maka tidak ada salahya sekiranya lampu tetap menyala walaupun
penghuni rumah sudah tidur.25
F. Pendekatan Psikologis
24
Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekata ), )Yogyakarta : CESad YPI
Al-Rahmah, 2001), Hlm. 103-104
25
Ibid.,Hlm. 106-107
16
bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh seseorang: amal apakah yang paling
utama?beliau menjawab beriman kepada Allah dan Rasulnya(Beliau)
ditanya lagi: kemudian apalagi? beliau menjawab: Jihad dijalan Allah
(Beliau) ditanya lagi: kemudian apalagi? beliau menjawab: Haji mabrur.
Hanya satu pertanyaan yang ditanyakan oleh sahabat yang berbeda,
ternyata jawaban Nabi berbeda - beda atau bermacam-macam: pada suatu saat
Nabi menyatakan Man salima Al-Muslimun min lisanihi wayadihi dan
pada saat yang lain Nabi menjawab, As-sholatu ala waqtiha dan pada saat
yang lain menjawab: Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Perbedaan materi jawaban tersebut sesungguhnya bertolak dari
kondisi psikologis orang yang bertanya kondisi psikologis Nabi. Jawaban
yang diberikan Nabi sangat memperhatikan kondisi kejiwaan yang bertanya.
Oleh karnanya, jawaban itu sebenarnya sesuai dengan kondisi keadaan
17
psikologis sang penanya. Pada saat penanya adalah orang yang sering berbuat
bohon dan lainnya, maka Nabi dalam kapasitas sebagai Rasul ingin
membimbing dan menasehatinya agar ia menjada mulut dan tangannya. Pada
waktu sang penanya adalah orang yang sibuk terus mengurus dunia, ketika
waktu shalat telah tiba, ia tidak berhenti dari pekerjaan, maka amal yang
paling utama bagi penanya ini menurut Nabi adalah shalat pada waktunya.
Dengan demikian, dalam memahami hadis tersebut, jawaban tidaklah
bersifat substantif. Yang subtantif ada dua kemungkinan yakni:
a. Relevansinya antara keadaan yang bertanya dan materi jawaban yang
diberikan.
b. Relevansi antara keadaan kelompok masyarakat tertentu dengan materi
jawaban yang diberikan. Kemungkinan yang kedua mempertimbangkan
bahwa jawaban Nabi itu merupakan petunjuk umum bagi kelompok
masyarakat yang dalam kesehariannya mereka menunjukkan gejala yang
perlu diberikan bimbingan dengan menekan perlunya dilaksanakan
amalan-amalan tertentu. Orang yang bertanya sekedar berfungsi sebagai
wakil dari keinginan untuk memberikan bimbingan kepada kelompok
masyarakat tertentu. Orang yang bertanya sekedar berfungsi sebagai
wakil dari keinginan untuk memberikan bimbingan kepada kelompok
masyarkat tertentu.
Oleh sebab itu hadis-hadis tersebut bersifat kondisional dalam
pengertian sesuai dengan kondisi psikologis seseorang. Jika seseorang
memiliki kebiasaan yang tidak baik dalam memelihara mulut, maka amal
baginya adalah menjaga mulut dan tangannya. Namun, bila seseorang
memiliki kebiasaan menunda-nunda shalat maka yang terbaik baginya adalah
shalat pada waktunya atau bahkan mementingkan pekerjaan ketimbang shalat,
maka yang terbaik baginya adalah shalat pada waktunya. Demikian
seterusnya.
Perlu disebutkan bahwa beberapa pendekatan dalam memahami hadis
tersebut tidak bisa diterapkan dalam seluruh hadis Nabi, tetapi dalam melihat
aspek-aspek diluar teks hadis seperti As-bab al-Wurud. Kondisi social
keagamaan yang berkembang pada saat hadis disabdakan tentu akan dapat
18
diketahui pendekatan mana yang lebih tepat untuk dipakai dalam memahami
hadis tersebut.26
BAB III
KESIMPULAN
A. Pendekatan bahasa
26
Ibid.,Hlm. 108-112
19
20
C. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama masyarakat
dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu.
Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk
dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula
kepercayaannya, keyakinan yang member sifat tersendiri kepada cara hidup
bersama itu dalam setiap persekutuan hidup manusia.
Dari beberapa peryataan diatas terlihat bahwa sosiologi adalah Ilmu
yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur,
lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang paling berkaitan. Dengan
ilmu ini fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang
mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan
yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Pendekatan sosiologis dimaksudkan agar orang yang akan memaknai
dan memahami hadis itu memperhatikan keadaan masyarakat setempat secara
umum. Kondisi masyarakat pada saat munculnya hadis boleh jadi sangat
mempengaruhi munculnya suatu hadis. Jadi keterkaitan antara hadis dengan
situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu tidak dapat dipisahkan. Karena
itu dalam memahami hadis kondisi masyarakat harus dipertimbangkan agar
pemaknaan tersebut tidak salah.
D. Pendekatan Sosio-Historis
Pemahaman hadis dengan pendekatan sosio-historis adalah memahami
hadis-hadis dengan melihat sejarah sosial dan setting sosial pada saat dan
menjelang hadis tersebut diriwayatkan.
Dalam memahami hadis tersebut, perlu dicermati terlebih dahulu
keadaan yang sedang berkembang pada saat hadis itu disabdakanatau harus
dilihat latar belakang munculnya hadis (aspek historitas), disamping setting
sosial pada saat itu. Oleh karena itu dalam memahami dan mengkaji hadis ini
mutlak diperlukan informasi yang memadahi mengenai latar belakang
kejadiannya (sisi historis).
E. Pendekatan Antropologis
21
DAFTAR PUSTAKA
Suryadi, 2008, Metode Kotemporer Memahami Hadis Nabi: Persepektif
Muhamad Al Ghozali dan Yusuf al Qaradhwi,Yogyakarta: Teras
22
Ali Nizar, 2001, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan) Yogyakarta:
CESAD YPI Al Rahmah.
Suryadilaga Alfatih, 2012, Metodologi Syarah Hadis, Yogyaakarta: SUKA Pres
UIN Sunan Kalijaga.
Abdul
Mustaqim
dkk.,2008,
Paradigma
Integrasi-Interkoneksi
dalam
23