Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
melihat
konteks,
memfokuskan
cara
pandang
hukum
terhadap
pola
2.
Mazhab Formalistis
3.
4.
Utilitarianisme
5.
Sociological Jurisprudence
6.
Realisme Hukum
7.
8.
Feminisme Jurisprudence
9.
Semiotika Jurisprudence
Diantara aliran atau mazhab tersebut yang akan dibahas disini adalah Sociological
Jurisprudence.
Menurut ilmu hukum dan filsafat hukum, maka usaha pembaharuan hukum dapat
dikatakan bahwa Negara Republik Indonesia dalam kebijaksanaan pembinaan hukumnya
menganut teori gabungan dari apa yang dikenal sebagai aliran sociological jurisprudence dan
pragmatic jurisprudence. Aliran sociological jurisprudence ialah aliran yang menghendaki
bahwa dalam proses pembentukan pembaharuan hukum harus memperhatikan kesadaran
masyarakat. Memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tokoh mazhab
yang mengemukakan aliran ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.
2.
3.
1.3 Tujuan
1.
2.
3.
Sosiologi Hukum adalah cabang sosiologi mempelajari hukum sebagai gejala sosial.
Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat
kepada hukum dan dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat
mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh
hukum terhadap masyarakat.
Dari dua hal tersebut (sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat
dibedakan cara pendekatannya. Sociological jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari
hukum kepada masyarakat, sedangkan sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari
masyarakat kepada hukum.
Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool
of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan
keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam
masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak
dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk
kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.
Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law)
dengan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara
(tesis) Positivisme Hukum (antitesis) dan Mazhab Sejarah. Sebagaimana diketahui,
Positivisme Hukum memandang tiada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa (law
is a command of law givers), sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan
berkembang bersama dengan masyarakat.
Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua lebih mementingkan
pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya. Aliran
sociological jurisprudence ini memiliki pengaruh yang sangat luas dalam pembangunan
hukum Indonesia.
Singkatnya yaitu, aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar
memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun
tidak tertulis.
Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan Undang- Undang sebagai
hukum tertulis, sedangkan yang dimaksudkan hukum tidak tertulis disini adalah hukum adat
yang dimana hukum ini adalah semulanya hanya sebagai kebiasaan yang lama kelamaan
menjadi suatu hukum yang berlaku dalam adat tersebut tanpa tertulis. Dalam masyarakat
yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan,
Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Untuk itu Hakim harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengenal,
merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Ehrlich mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada
badan-badan legislatif, keputusan- keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, akan tetapi
justru terletak dalam masyaratak itu sendiri. Tata tertib dalam masyarakat didasarkan pada
peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara. Sementara itu Rescoe Pound berpendapat,
bahwa hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas dari ilmu hukum
untuk memperkembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat
terpenuhi secara maksimal.
Pound menganjurkan untuk mempelajari Ilmu Hukum sebagai suatu proses ( law in
action), yang dibedakan dengan hukum tertulis ( Law in books). Pembedaan ini dapat
diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif maupun hukum ajektif. Ajaran
tersebut menonjolkan masaalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola
perikelakuan. Ajaran-ajaran tersebut dapat diperluas lagi sehingga juga mencakup masalahmasalah keputusan-keputusan pengadilan serta pelaksanaannya, dan juga antara isi suatu
peraturan dengan efek-efeknya yang nyata.
2.2 Kritik terhadap Aliran Sociological Jurisprudence
Sekalipun aliran sociological jurispridence kelihatannya sangat ideal dengan cita
hukum masyarakat yang terus-menerus berubah ini, karena mengutamakan bagaimana suatu
hukum itu menjadi baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Tetapi,
aliran ini bukanlah tanpa kritik.
Suatu hal yang patut dipahami, bahwa dalam program sosiologi jurisprudence Pound,
lebih mengutamakan tujuan praktis dengan :
1)
menelaah akibat sosial yang aktual dari lembaga hukum dan doktirin hukum, karena itu ,
lebih memandang kerjanya hukum dari pada isi abstraknya
2)
3)
mempelajari cara membuat peraturan yang efektif dan menitik beratkan pada tujuan sosial
yang hendak dicapai oleh hukum dan bukannya pada sanksi
4)
menelaah sejarah hukum sosiologis yakni tentang akibat sosial yang ditimbulkan oleh
doktrin hukum dan bagaimana cara mengahasilkannya
5)
membela apa yang dinamakan pelaksanaan hukum secara adil dan mendesak supaya ajaran
hukum harus dianggap sebagai bentuk yang tidak dapat berubah
6)
meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan yang tersebut diatas agar usaha untuk mencapai
maksud serta tujuan hukum lebih efektif.
Program sosiologis jurisprudence Pound kelihatan berpengaruh dalam pandangannya
yakni apa yang disebut dengan hukum sebagai social engineering serta ajaran sociological
jurisprudence yang dikembangkannya. Dimana hukum yang baik itu adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini mengetengahkan pentingnya
hukum yang hidup dalam masyarakat. Dimana hukum positif akan baik apabila ada hubungan
dengan peraturan yang terletak di dasar dan di dalam masyarakat secara sosilogis dan
antropologis. Tetapi tidak mudah untuk mewujudkan cita hukum yang demikian. Tidak saja
dimungkinkan oleh adanya perbenturan antara nilai-nilai dan tertib yang ada dalam
masyarakat sebagai suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya. Terutama dalam
masyarakat yang pruralistik. Tetapi sama sekali tidak berarti tidak bisa diterapkan.
Dalam masyarakat yang monoistik, tidak begitu sukar menerapkan ajaran sociological
jurisprudence. Berbeda halnya dengan masyarakat yang memiliki pruralistik seperti
masyarakat Indonesia dimana nilai-nilai dan tata tertibnya masing-masing serta pola perilaku
yang spesifik pula adalah tidak mudah menerapkan ajaran sociological jurisprudence.
Berdasarkan fakta bahwa setiap kelompok mempunyai tata tertib sendiri, dan fakta
bahwa hubungan antara tertib ini adalah terus menerus berubah menurut tipe masyarakat
yang serba meliputi, yang terhadapnya negara hanyalah merupakan suatu kelompok yang
khusus dan suatu tata tertib yang khusus pula. Dalam menerapkannya diperlukan berbagai
pendekatan untuk memahami dan menginventarisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,
terutama dalam masyarakat majemuk yang memiliki tata tertib sendiri dan pruralitik.
Menurut Pound, hukum di pandang sebagai lembaga masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial. Disisi lain, Friedman mengemukakan, secara teoritis karya
Ehrlich, menunjukkan adanya tiga kelemahan pokok terhadap ajaran sociological
jurisprudence yang dikembangkan Ehrlich, yang semuanya disebabkan oleh keinginanannya
meremehkan fungsi negara dalam pembuatan undang-undang.
Kelemahan itu adalah :
Karya tersebut tidak memberikan kriteria yang jelas membedakan norma hukum dari norma
sosial yang lain. Bahwa keduanya tidak dapat dipertukarkan, sesuatu yang merupakan fakta
historis dan sosial, tidak mengurangi perlunya pengujian pernedaan yang jelas. Sesuai dengan
itu sosiologi hukum Ehrlich selalu hampir menjadi suatu dalam garis besar, sosilogi umum.
Ehrlich meragukan posisi adat kebiasaan sebagai sumber hukum dan adat kebiasaan sebagai
satu bentuk hukum. Dalam masyarakat primitif seperti halnya dalam hukum internasional
pada zaman ketika adat istiadat dipandang baik sebagai sumber hukum maupun sebagai
bentuk hukum yang paling penting. Di negara modern peran masyarakat mula-mula masih
penting, tetapi kemudian berangsur berkurang. Masyarakat modern menuntut sangat banyak
undang-undang yang jelas dibuat oleh pembuat undang-undang yang sah. Undang-undang
semacam itu selalu derajat bermacam-macam, tergantung dari fakta hukum ini, tetapi
berlakunya sebagai hukum bersumber pada ketaatan faktual ini. Kebingunan ini merembes ke
seluruh karya Ehrlich.
Ehrlich menolak mengikuti logika perbedaan yang ia sendiri adakan norma-norma hukum
negara yang khas dan norma-norma hukum dinama negara hanya memberi sanksi pada faktafakta sosial. Konsekwensinya adalah adat kebiasaan berkurang sebelum perbuatan udangundang secara terperinci, terutama undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat
mempengaruhi kebiasaan dalam masya-rakat sama banyaknya dengan pengaruh dirinya
sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum menitik
beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini hukum yang
baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di antara masyarakat. Aliran ini
secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang
hidup (the living law). Roscoe Pound (1870-1964) merupakan salah satu eksponen dari
aliran ini. Dalam bukunya An introduction to the philosophy of law, Pound menegaskan
bahwa hukum itu bertugas untuk memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan
keamanan yang menurut pengertian yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban
hukum.
Dalam aliran Sociological Jurisprudence hukum menjadi sangat akomodatif dan
menyerap ekspektasi masyarakat. Bagi Sociological Jurisprudence hukum dikonstruksi dari
kebutuhan, keinginan, tuntutan dan harapan dari masyarakat. Jadi yang didahulukan adalah
kemanfaatan dari hukum itu sendiri bagi masyarakat, dengan demikian hukum akan menjadi
hidup. Aliran sangat mengedepankan kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat. Akan
tetapi hal ini berakibat hukum menjadi demikian cair. Kritik yang terbesar yang ditujukan
bagi Sociological Jurisprudence adalah dengan pendekatan ini hukum dapat kehilangan
taringnya dan tidak ajeg. Paradigma ini juga dianggap terlalu mengadaikan suatu
masyarakat telah demikian berkembang sampai pada tahap dimana tidak lagi ada ketegangan
pada pranata sosial dalam merumuskan tuntutannya, masyarakat dianggap telah mampu
menentukan hukumnya sendiri, dan mengecilkan kedaulatan dari penguasa.
Jadi, aliran Sosiological Yuresprudence berkembang dan membahas tentang hukum
yang ada di masyarakat. Hanya saja dalam aliran Sosiological Yurisprudence membahas
tentang hukum yang berkembang atau yang ada di masyrakat itu sendiri.
Dalam masyarakat yang monoistik, tidak begitu sukar menerapkan ajaran sociological
jurisprudence. Berbeda halnya dengan masyarakat yang memiliki pruralistik seperti
masyarakat Indonesia dimana nilai-nilai dan tata tertibnya masing-masing serta pola perilaku
yang spesifik pula adalah tidak mudah menerapkan ajaran sociological jurisprudence.