Vous êtes sur la page 1sur 31

KELOMPOK-KELOMPOK SUKU BANGSA

DI PROPINSI BENGKULU

Oleh
Drs. Musiardanis, M.Sc.
(Kepala Biro Bina Perekonomian Daerah Propinsi Bengkulu)

PEMERINTAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BENGKULU


1996

A. Pendahuluan.
B. Propinsi Bengkulu Selayang Pandang.

C. Bengkulu dalam Lintasan Sejarah.


D. Asal-Usul Suku-Suku Bangsa di Propinsi Bengkulu.
E. Sistim Religi dan Kepercayaan.
F. Sistim Upacara.
G. Adat Perkawinan.
H. Sistim Kekerabatan.

A. PENDAHULUAN
Sehubungan dengan surat dari Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) tanggal 5 Maret 1996
Nomor : B/318/08/29/12/SET yang menyatakan bahwa pada tanggal 9 Nopember 1995, atas kerjasama
antara Lemhanas dengan Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Portugal, telah dilaksanakan suatu seminar
di Lemhanas yang bertemakan "Pendayagunaan Potensi Etnik dalam Pembangunan Nasional". Dari seminar
tersebut telah berhasil dihimpun berbagai pokok pikiran yang pada dasarnya bertumpu pada pandangan
akan pentingnya pengenalan secara lebih mendalam mengenai berbagai corak ragam kelompok etnik yang
ada di bumi Nusantara, agar dapat lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta dapat dijadikan
acuan dalam memanfaatkan potensi yang besar dari seluruh kelompok etnik yang ada, sebagai modal dasar
dalam pembangunan bangsa dan negara.
Sebagai tindaklanjut dari pokok-pokok pikiran yang muncul dari seminar tersebut, maka Lemhanas
bermaksud untuk menyusun sebuah buku yang berisikan kumpulan tulisan mengenai kelompok-kelompok
etnik yang ada di setiap Propinsi di Indonesia. Sehubungan dengan maksud Lemhanas tersebut maka Propinsi
Bengkulu mencoba untuk menyajikan tulisan berjudul " Kelompok-Kelompok Suku Bangsa di Propinsi
Bengkulu ", yang berupaya untuk menyajikan secara singkat dan sederhana mengenai berbagai aspek
kehidupan suku-suku bangsa terbesar di Propinsi ini, yaitu Suku Rejang dan Suku Serawai. Tulisan mengenai
kedua suku tersebut disusun sedemikian rupa dengan metoda ancangan (approach) yang bersifat deskriptif.

Dengan metoda tersebut, tulisan ini hanya menguraikan berbagai aspek kehidupan suku-suku yang hidup di
Propinsi Bengkulu, tanpa bermaksud untuk melakukan analisis dan menarik suatu kesimpulan dari analisis
tersebut.

B. PROPINSI BENGKULU SELAYANG PANDANG


Propinsi Daerah Tingkat I Bengkulu terletak di Pantai Barat pulau Sumatera dibentuk pada tanggal 18
Nopember 1968 berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1967 Juncto Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun
1968. Propinsi Bengkulu dengan luas 19.978 Km2 terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten, 1 (satu) Kotamadya Daerah
Tingkat II, 31 Kecamatan, 28 Perwakilan Kecamatan dan 1.083 Desa/Kelurahan. Pembagian wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I Bengkulu adalah sebagai berikut : Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkulu Selatan; Rejang
Lebong; Bengkulu Utara, dan Kotamadya Daerah Tingkat II Bengkulu. Sedangkan jumlah penduduk Propinsi
Bengkulu pada akhir tahun 1994 berjumlah 1.320.400. jiwa, dengan pertumbuhan selama 3 tahun terakhir
(1990 s/d 1993) rata-rata sebesar 3,9 % per tahun.
Luas Propinsi Bengkulu adalah 1.978.870 Ha. Dari luas ini, 50,58 % boleh dibudidayakan sedangkan 49,42 %
tetap dipertahankan sebagai hutan untuk fungsi konservasi alam, terutama untuk tata air, kesuburan tanah,
dan iklim. Secara administratif batas wilayah Propinsi Bengkulu adalah sebagai berikut :
a. Di sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Sumatera Barat.
b. Di sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Jambi dan Sumatera Selatan.
c. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Propinsi Lampung.
d. Di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
Secara geografis Propinsi Bengkulu terletak di antara 101001'dan 103046' Bujur Timur serta 2016' dan 5031'
Lintang Selatan. Propinsi Bengkulu terletak di sisi bagian Barat bukit barisan, dengan dataran rendah yang
sempit di bagian Barat (sepanjang pantai) dan dataran Tinggi bagian Timur dengan keadaan permukaan yang
berbukit. Iklim di Propinsi Bengkulu ditandai dengan jumlah curah hujan tahunan yang cukup tinggi,

bervariasi antara 2000 sampai 6000 mm/pertahun. Jumlah hari hujan bervariasi antara 100 sampai 250 hari
pertahun. Suhu udara rata-rata 25,60C. Suhu minimum berkisar antara 21,40C sampai 22,50C dan suhu
maksimum rata-rata antara 31,40C sampai 32,50C. Kelembaban udara rata-rata di atas 50 % dengan lama
penyinaran matahari rata-rata 6 jam perhari dan penguapan rata-rata 4 mm perhari. Keadaan angin di
Propinsi Bengkulu dominan dari arah Barat dan Selatan. Kecepatan rata-rata 8 Km/jam, dengan kecepatan
maksimum rata-rata 34 Km/jam dan kecepatan maksimum absolut pernah mencapai 81 Km/jam.
Propinsi Bengkulu dialiri lebih dari 120 sungai yang berhulu pada sisi Barat Bukit Barisan dan bermuara ke
Samudera Hindia. Sungai-sungai tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih, pembangkit
tenaga listrik, irigasi, dan angkutan sungai. Sumber daya mineral yang terdapat di Propinsi Bengkulu berupa:
emas, perak, tembaga, seng, timah hitam, mangan, batu bara, pasir besi, pasir kwarsa, gamping, kaolin,
belerang, fospat, marmar, dan lain-lain. Sebagian mineral tersebut seperti emas dan batu bara sudah
dieksploitasi untuk keperluan dalam negeri dan luar negeri, sedangkan potensi yang lainnya belum
diusahakan. Keadaan flora di Propinsi Bengkulu terdiri dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan tropis basah
yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, yaitu hasil kayu dan non-kayu. Di samping itu banyak terdapat jenis
angrek hutan serta bunga Raflesia dan berbagai fauna seperti harimau, gajah, badak, tapir, babi hutan dan
lain-lain.

C. BENGKULU DALAM LINTASAN SEJARAH


Sekitar abad ke-12 sampai abad ke-17 di daerah Bengkulu terdapat kerajaan-kerajaan kecil antara lain:
1. Kerajaan Selebar di Daerah Pelabuhan Pulau Baai dan Jenggalu, Bengkulu Selatan.
2. Kerajaan Sungai Serut di Bengkulu.
3. Kerajaan Sungai Lemau di Pondok Kelapa Bengkulu Utara.
4. Kerajaan Empat Petulai di Daerah Rejang Lebong.
5. Kerajaan Indera Pura di Muko-Muko Bengkulu Utara.

6. Kerajaan Sungai Itam di Daerah Lebak Bengkulu Utara.


7. Kerajaan Gedung Agung dan Manau Riang di Bengkulu Selatan.
Sampai pada akhir abad ke-15 kerajaan-kerajaan kecil di daerah Bengkulu berada di bawah pengaruh
Kerajaan Majapahit yang mengalahkan Sriwijaya pada abad ke 13. Dalam periode ini kerajaan-kerajaan kecil
di daerah Bengkulu, khususnya di daerah Rejang Lebong, dipimpin oleh para Bikaw atau Biksu (pimpinan
agama Budha) yang datang dari kerajaan Sriwijaya. Dan dalam periode ini pula di Bengkulu berkembang
tulisan asli daerah dengan abjad Ka Ga Nga. Setelah kekuasaan kerajaan Majapahit mundur pada
pertengahan abad ke-16 kerajaan-kerajaan kecil di daerah Bengkulu masuk ke dalam pengaruh Kesultanan
Banten, terutama di daerah pantai mulai dari kerajaan Selebar di Sungai Jenggalu sampai batas sungai Urai di
Bengkulu Utara. Sejak pengaruh dari Kesultanan Banten itulah agama Islam masuk Ke Bengkulu. Sementara
itu sejak permulaan abad ke-17 berkembang pula pengaruh dari Kerajaan Aceh dari Utara melalui hubungan
dagang terutama dalam perdagangan lada dan juga membawa pengaruh dalam perkembangan agama Islam.
Khusus terhadap kerajaan Sungai Lemau kira-kira pada permulaan abad ke-17 berkembang pula pengaruh
dari Kerajaan Melayu "Pagar Ruyung".
Pada kurun waktu antara 1685-1824, Dalam masa pemerintahan Inggris selama +140 tahun tidak banyak
terjadi perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat Bengkulu karena pemerintah Inggris pada masa
itu hanya memusatkan perhatian pada penguasaan perdagangan lada dan kopi saja, tidak mencampuri
urusan pemerintahan atau kemasyarakatan. Peninggalan-peninggalan dari pemerintah Inggris yang masih
terdapat di Bengkulu saat ini antara lain Benteng Marlborough dan beberapa monumen lainnya di kota
Bengkulu, bekas Benteng "Fort York" dibagian Utara kota Bengkulu, Fort Anna di Muko-Muko dan Fort Linau
di Bintuhan.
Dalam kurun waktu dari 1824 sampai dengan 1942 Propinsi Bengkulu berada di bawah pemerintahan Hindia
Belanda. Berbeda dengan periode pemerintahan Inggris sebelumnya, dalam periode Pemerintahan Hindia
Belanda selama + 118 tahun kehidupan masyarakat di daerah Bengkulu sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan penjajah, baik dalam penguasaan bidang pemerintahan bahkan sampai mencampuri kehidupan
kemasyarakatan dan adat istiadat. Pada masa ini, pemerintah telah mencoba melakukan pembakuan hukum
adat bagi suku-suku yang hidup di daerah Bengkulu. Upaya pembakuan hukum adat, yang disebut UndangUndang Simbur Cahaya, dilakukan pada tanggal 21 Februari 1862 oleh J. Walland, Asisten Residen yang

mengepalai wilayah Bengkulu pada masa itu. Pada tahun 1862 itu juga, Sultan Muko-Muko menetapkan kitab
undang-undang bagi masyarakat di kesultanan Muko-Muko yang disebut Oendang-Oendang Moeko-Moeko.
Pembakuan hukum adat untuk masyarakat di daerah Bengkulu seperti tersebut di atas ternyata
menimbulkan keresahan di kalangan anak negeri. Banyak kalangan masyarakat berpendapat bahwa banyak
hal dalam undang-undang Simbur Cahaya yang bertentangan dengan dengan adat-istiadat yang selama ini
berlaku dalam kehidupan masing-masing suku di Bengkulu. Hal ini menyebabkan adat-istiadat yang selama
ini berlaku semakin terdesak oleh undang-undang yang baru, dan membuka peluang pula tindakan
sewenang-wenang dari para penguasa. Dengan timbulnya keresahan ini maka mulai tahun 1909 (pada masa
pemerintahan Residen O.L. Helfrich) dilakukan penyusunan ulang undang-undang adat daerah Bengkulu.
Penyusunan undang-undang baru dilakukan oleh suatu permusyawaratan besar oleh masing-masing
afdeeling dan onderafdeeling. Dalam tahun 1910, Undang-Undang Adat Lembaga untuk setiap afdeeling
(onderafdeeling) telah rampung disusun, dan pada tahun 1911 undang-undang tersebut disahkan oleh
residen.
Periode Pemerintahan Militer Jepang (1942-1945), sebagai mana halnya di daerah-daerah lainnya di
Indonesia, kehidupan rakyat di daerah Bengkulu dalam periode ini sangat menderita. Rakyat ditindas, diperas
dan dihina. Hasil bumi dan harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan Jepang. Tenaga rakyat diperas
sebagai tenaga Romusha untuk mendukung kepentingan Jepang dalam upaya memenangkan peperangan
Asia Timur Raya. Dalam periode ini kehidupan rakyat sangat melarat, penyakit merajalela, mental dan daya
imajinasi rakyat menjadi sangat merosot.
Dalam periode Kemerdekaan, perjalanan sejarah Propinsi Bengkulu dapat dibagi-bagi dalam beberapa
periode, yakni :
1. Bengkulu sebagai bagian dari Propinsi Sumatera Selatan (1945-1968). Periode ini dapat dibagi lagi atas dua
bagian yaitu :
a. Zaman revolusi (1945-1950).
Pada zaman revolusi rakyat di daerah Bengkulu terlibat penuh secara aktip dalam gerakan melawan dan
mengusir penjajah mulai dari gerakan merebut senjata dari tentara Jepang di Kepahiang, Curup dan Manna,
sampai pada perang melawan tentara Belanda yang berusaha untuk mencengkeramkan kembali kekuasaan

di Bumi pertiwi ini. Dalam perang mempertahankan kemerdekaan, rakyat Bengkulu menjalankan taktik
perang gerilya dengan sistem Bumi hangus. Banyak bangunan-bangunan peninggalan pemerintah Hindia
Belanda seperti gedung-gedung dan jembatan-jembatan dihancurkan dalam rangka untuk memutuskan
hubungan dalam gerak kembali pemerintahan penjajah dipersada Bumi pertiwi ini. Sebagai akibat dari pada
takti Bumi Hangus itu yang tidak segera dibangun kembali mengakibatkan Daerah Bengkulu semakin
terisolasi baik antar daerah Bengkulu sendiri maupun terhadap dunia luar.
b. Periode terisolasi dan terbengkalai (1950-1968).
Keadaan terisolir dan terbengkalai yang jauh dari sentuhan pembangunan selama priode yang cukup lama
yaitu lebih dari 30 tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (sebagaimana yang
diungkapkan oleh Bapak Alamsyah Ratu Prawiranegara dalam sambutannya pada acara reuni para tokoh
pejuang se wilayah Sumatera bagian Selatan di Bengkulu pada tanggal 16 Januari 1988) Daerah Bengkulu
seolah-olah hilang dari peta Indonesia. Pada waktu itu banyak orang Indonesia tidak mengetahui bahwa
Propinsi Bengkulu merupakan sebagian dari Negara kesatuan Republik Indonesia ini. Keadaan terisolir dan
terbengkalai yang cukup lama itu mengakibatkan Daerah Bengkulu jauh ketinggalan hampir dalam segala
bidang dibandingkan dengan daerah lain.
2. Periode Bengkulu sebagai Propinsi (sejak 18 November 1968).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1967 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1968
Propinsi Bengkulu lahir pada tanggal 18 November 1968. Propinsi Bengkulu lahir dalam Zaman orde baru dan
hampir bersamaan dengan saat dimulainya pembangunan lima tahun (Pelita) pertama. Namun karena
Propinsi Bengkulu baru terbentuk maka pada Pelita pertama belum banyak pembangunan yang dapat
dilaksanakan karena pada saat itu Propinsi Bengkulu masih disibukkan dengan konsolidasi aparatur
pemerintahan baik dalam pembentukan kelembagaan maupun dalam merekrut tenaga pegawai. Demikian
pula dalam Pelita kedua Propinsi Bengkulu masih disibukkan dengan kegiatan konsolidasi aparatur
pemerintahan namun kegiatan pembangunan sudah lebih banyak dibandingkan dengan Pelita pertama.
Sampai pada awal Pelita ketiga kondisi daerah Bengkulu masih dalam keadaan terisolasi di mana hubungan
baik antar daerah dalam Propinsi Bengkulu sendiri maupun keluar daerah masih sangat sulit, penduduk
masih sangat kurang yaitu + 654.000 jiwa, kehidupan ekonomi rakyat masih lemah, produksi bahan pangan
masih minus dan pendidikan masih ketinggalan jauh dibandingkan dengan daerah lain. Baru setelah Pelita

ketiga pelaksanaan pembangunaan dapat berjalan dengan pesat, isolasi terbuka, swasembada pangan
tercapai, penduduk berkembang dengan cepat melalui transmigrasi baik umum maupun spontan dan
pendidikan berkembang dengan pesat.

D. ASAL-USUL SUKU-SUKU BANGSA DI PROPINSI BENGKULU


Di Propinsi Bengkulu terdapat cukup banyak suku bangsa yang memiliki ciri-ciri budaya sendiri. Setiap suku
bangsa tersebut memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Suku-suku bangsa yang telah
hidup secara turun temurun di Propinsi Bengkulu antara lain adalah : suku bangsa Rejang; suku bangsa
Serawai, suku bangsa Melayu Bengkulu, suku bangsa Pasemah, suku bangsa Lembak, suku bangsa MukoMuko, Suku bangsa Enggano, suku bangsa Kaur dan sebagainya.
Dari berbagai suku bangsa yang hidup di Bengkulu tersebut, mayoritas penduduk asli berasal dari suku
bangsa Rejang (yang tersebar di Kabupaten Rejang Lebong dan Bengkulu Utara) dan Serawai --- yang
sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini fokus utama
yang menjadi sorotan adalah kehidupan dan adat istiadat suku bangsa Rejang dan Serawai, tanpa bermaksud
untuk mengabaikan keberadaan suku-suku bangsa lainnya.

1. Suku Bangsa Rejang.


Asal usul suku Rejang hingga saat ini masih belum diketahui secara jelas. Kisah-kisah mengenai suku Rejang
sampai saat ini hanya didasarkan pada keterangan-keterangan ahli Tembo dan Adat Rejang. Menurut Tembo
dan Adat Rejang, suku Rejang berasal dari Bedaracina yang datang ke Daerah Bengkulu melalui Pagarruyung
dan menetap di suatu lembah subur, yang kemudian mereka sebut Renah Sekalawi. Orang pertama yang
memimpin suku bangsa Rejang adalah Sutan Sriduni.
Setelah berkembang, keturunan rombongan pertama yang dipimpin oleh Sutan Sriduni menganggap bahwa
Renah Sekalawi merupakan tanah asal-usul mereka. Dalam perkembangan selanjutnya suku Rejang terbagi

dalam empat kelompok besar yang disebut Petulai. Keempat Petulai tersebut masing-masing dipimpin oleh
seorang pimpinan yang disebut Ajai. Keempat Ajai tersebut adalah :
a. Ajai Bintang, memimpin di Sadei (desa) Pelabai Lebong yang terletak di Marga Suku IX Kecamatan Lebong
Utara;
b. Ajai Siang, memimpin di Sadei Siang Lakat yang terletak di Marga Jurukalang Kecamatan Lebong Selatan;
c. Ajai Malang, memimpin di di Sadei Bandar Agung yang terletak di Marga Suku IX Kecamatan Lebong Utara;
dan
d. Ajai Begelang Mato, memimpin di Sadei Kutai Belek Tebo, yang terletak di Marga Suku VIII Kecamatan
Lebong Selatan.
Selanjutnya suku Rejang didatangi oleh empat orang bangsawan dari Kerajaan Sriwijaya yang mampu
menanamkan pengaruhnya kepada suku Rejang. Keempat bangsawan ini kemudian kawin dengan puteriputeri para Ajai dan selanjutnya diangkat menjadi pimpinan ke empat Petulai. Keempat bangsawan Sriwijaya
tersebut diberi gelar Bikaw (berasal dari kata Biku atau Biksu) dan masing-masing memimpin satu kesatuan
kekeluargaan yang diberi nama sesuai dengan identitas kelompok masing-masing. Para Bikaw dan kelompok
masyarakatnya tersebut adalah :
a. Bikaw Sepanjang Jiwo, memimpin Marga Tubai yang terletak di Pelabai;
b. Bikaw Bermano, memimpin Marga Bermani yang terletak di Kutei Rukam dekat dusun Tes sekarang;
c. Bikaw Bejenggo, memimpin marga Selupuak yang terletak di Batu Lebar dekat Anggung Rejang di
Kesambe;
d. Bikaw Bembo, memimpin marga Jurukalang yang terletak di Suka Negeri dekat Tapus (hulu Sungai
Ketahun).
Keempat kelompok masyarakat di bawah pimpinan para Bikaw kemudian disebut Rejang Empat Petulai (Jang
Pat Petulai), yang terdiri dari Petulai Tubai (Tubai), Petulai Jurukalang, Petulai Selupuak dan Petulai Bermani.

Pada masa itu di setiap Petulai terdapat Kuteui (desa yang berdiri sendiri) sebagai suatu kelompok
masyarakat hukum adat di bawah Petulai. Kepala Kuteui di sebut Tuai Kuteui dan dalam menjalankan
pemerintahannya dibantu oleh Kepala Sukau/Sadei.
Dari generasi ke generasi Petulai-Petulai tersebut tersebar ke wilayah-wilayah sepanjang aliran sungai Musi,
Sungai Ketahun, Sungai Kelingi, pesisir pantai, dan tempat-tempat lainnya. Dalam tembo tempat-tempat
perpindahan ini disebut Sindang Empat Lawang, Sindang Beliti, Ulu Musi, Renah Pesisir dan Renah Ketahun.
Di sekitar awal abad XVII Masehi, diadakan permufakatan besar suku bangsa Rejang yang dipimpin oleh
Petulai dan pecahan-pecahan Peulai dari keempat wilayah Lebong. Permufakatan besar ini bertujuan untuk
membina persatuan dan kesatuan suku bangsa Rejang. Keputusan-keputusan penting dari permufakatan
besar tersebut antara lain :
a. Seluruh daerah yang didiami oleh suku bangsa Rejang dibagi dalam empat Luak, yaitu Luak Lebong, Luak
Ulu Musi, Luak Lembak Beliti dan Luak Pesisir.
b. Pecahan-pecahan Petulai Tubai di luar wilayah Lebong diakui keberadaannya dan disebut Migai (Merigi),
sedang pecahan di dalam wilayah Lebong disebut Sukau Delapeun (Suku VIII) dan Sukau Semilan (Suku IX).
c. Pemberian gelar Depati bagi para pemimpin Petulai, yaitu :
1) Depati Pasak Bumi bagi Sapau Lanang, pemimpin Petulai Bermani di Kuteui Rukam;
2) Depati Rajo Besar bagi Rio Tado, pemimpin Petulai Jurukalang di Tapus;
3) Depati Tiang Alam bagi Ajai Malang, pemimpin Petulai Selupuak di Atas Tebing;
4) Depati Kemala Ratu bagi Ki Pati, pemimpin pecahan-pecahan petulai Sukau Delapeun di Karang Anyar.
d. Dalam bidang pertahanan dan keamanan diadakan pembagian tugas sebagai berikut :
1) empat orang pemimpin Sindang Empat Lawang dan lima orang pemimpin Sindang Beliti menjaga ancaman
musuh dari Timur;

2) sebelas orang pemimpin dari Renah Pesisir dan tujuh orang pemimpin Renah Ketahun menjaga ancaman
musuh yang datang dari laut.
Pemerintahan kolektif di seluruh suku bangsa Rejang di mulai saat ini dengan pimpinan keempat Depati
tersebut bersama-sama. Oleh sebab itu, pemerintahan kolektif empat Depati ini disebut dengan istilah
pemerintahan Depati Tiang Empat. Koordinator pemerintahan ini adalah Ki Pandan, pimpinan pecahan
petulai Sukau Semilan yang berkedudukan di Bandar Agung dengan gelar Rajo Depati.
Selanjutnya suku bangsa Rejang memiliki satu kesatuan pimpinan adat yang dipegang oleh Depati Tiang
Empat. Segala perselisihan adat atau bila ada kekacauan dilaporkan kepada Depati Tiang Empat yang
memutuskan kata akhir. Demikian pula apabila ada keturunan pecahan petulai Tubai di luar Lebong
mengalami kesulitan dan kekurangan akan hal adat.
Pemerintahan kolektif Depati Tiang Empat ini terus berjalan secara turun-temurun hingga sampai pada awal
penjajahan Belanda (1860/1860 Masehi). Namun setelah itu secara bertahap, pemerintah penjajah mulai
menghilangkan eksistensi pemerintahan Depati Tiang Empat ini.
Suku bangsa Rejang telah mengenal tulis baca karena mereka telah memiliki huruf tersendiri yang disebut
oleh sebahagian ahli sebagai tulisan Rencong. Masyarakat Rejang sendiri menyebut tulisan mereka sebagai
huruf Ka Ga Nga. Huruf ini dahulu dapat digunakan oleh para pemimpin suku bangsa Rejang, Palembang,
Serawai, Komering dan Lampung. Perbedaan huruf Rencong dari masing-masing suku bangsa tersebut
memang ada, tapi tidaklah banyak.

2. Suku Bangsa Serawai.


Suku bangsa Serawai merupakan suku bangsa kedua terbesar yang hidup di daerah Bengkulu. Sebagian besar
masyarakat suku Serawai berdiam di Kabupaten Bengkulu Selatan yakni di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo
Pino, Kelutum, Manna dan Seginim. Suku bangsa Serawai mempunyai mobilitas yang cukup tinggi, saat ini
banyak dari mereka yang pindah ke daerah-daerah lain untuk mencari penghidupan baru, seperti ke Rejang
Lebong, Bengkulu Utara dan sebagainya.

Secara tradisional, suku bangsa Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian, khususnya perkebunan.
Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan atau jenis tanaman keras, misalnya cengkeh,
kopi, kelapa dan karet. Meskipun demikian, mereka juga mengusahakan tanaman pangan, palawija,
hortikultura dan peternakan untuk kebutuhan hidup.
Asal-usul suku bangsa Serawai masih belum bisa dirumuskan secara ilmiah, baik dalam bentuk tulisan
maupun dalam bentuk-bentuk publikasi lainnya. Asal-usul suku bangsa Serawai hanya diperoleh dari uraian
atau ceritera dari orang-orang tua. Sudah tentu sejarah tutur seperti ini sangat sukar menghindar dari
masuknya unsur-unsur legenda atau dongeng sehingga sulit untuk membedakan mana yang bernilai sejarah
dan mana yang bukan. Ada satu tulisan yang diketemukan di makam Leluhur Semidang Empat Dusun yang
terletak di Maras, Kecamatan Talo. Tulisan tersebut ditulis di atas kulit kayu dengan menggunakan huruf yang
menyerupai huruf Arab kuno. Namun sayang sekali sampai saat ini belum ada di antara para ahli yang dapat
membacanya.
Berdasarkan ceritera para orang tua, suku bangsa Serawai berasal dari leluhur yang bernama Serunting Sakti
bergelar Si Pahit Lidah. Asal-usul Serunting Sakti sendiri masih gelap. Sebagian orang mengatakan bahwa
Serunting Sakti berasal dari suatu daerah di Jazirah Arab, yang datang ke Bengkulu melalui kerajaan
Majapahit. Di Majapahit, serunting Sakti minta suatu daerah untuk didiaminya dan oleh Raja Majapahit dia
diperintahkan untuk memimpin di daerah Bengkulu Selatan. Ada pula yang berpendapat bahwa Serunting
Sakti berasal dari langit, ia turun ke bumi tanpa melalui rahim seorang ibu. Selain itu, ada pula yang
berpendapat bahwa Serunting Sakti adalah anak hasil hubungan gelap antara Puyang Kepala Jurai dengan
puteri Tenggang.
Di dalam Tembo Lebong terdapat ceritera singkat mengenai seorang puteri yang bernama puteri Senggang.
Puteri Senggang adalah anak dari Rajo Megat, yang memiliki dua orang anak yakni Rajo Mawang dan Puteri
Senggang. Dalam tembo tersebut kisah mengenai Rajo Mawang terus berlanjut sedangkan kisah puteri
Senggang terputus begitu saja. Hanya saja ada disebutkan bahwa puteri Senggang terbuang dari keluarga
Rajo Mawang.
Apabila kita simak ceritera tentang kelahiran Serunting Sakti, diduga ada hubungannya dengan kisah puteri
Senggang ini dan ada kemungkinan bahwa puteri Senggang inilah yang disebut oleh orang Serawai dengan
nama puteri Tenggang. Diceriterakan bahwa Puyang Kepala Jurai yang sangat sakti jatuh cinta pada Puteri

Tenggang, tapi cintanya ditolak. Namun berkat kesaktiannya, Puyang Kepala Jurai dapat melakukan
hubungan dengan puteri Tenggang, tanpa disadari oleh puteri itu sendiri. Akibat dari perbuatan ini puteri
Tenggang menjadi hamil. Setelah puteri Tenggang melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama
Puteri Tolak Merindu barulah terjadi perkawinan antara putri Tenggang dengan Puyang Kepala Jurai, itupun
dilakukan setelah puteri Tolak Merindu dapat berjalan dan bertutur kata.
Setelah perkawinan tersebut, keluarga Puyang Kepala Jurai belum lagi memperoleh anak untuk jangka waktu
yang lama. Kemudian Puyang Kepala Jurai mengangkat tujuh orang anak, yaitu : Semidang Tungau; Semidang
Merigo; Semidang Resam; Semidang Pangi; Semidang Babat; Semidang Gumay dan Semidang Semitul.
Setelah itu barulah Puyang Kepala Jurai memperoleh seorang putera yang diberi nama Serunting. Serunting
inilah yang kemudian hari menjadi Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Serunting Sakti berputera tujuh
orang, yaitu :
a. Serampu Sakti, yang menetap di Rantau Panjang (sekarang termasuk marga Semidang Alas), Bengkulu
Selatan;
b. Gumatan, yang menetap di Pasemah Padang Langgar, Lahat;
c. Serampu Rayo, yang menetap di Tanjung Karang Enim, Lematang Ilir Ogan Tengah (LIOT);
d. Sati Betimpang, yang menetap di Ulak Mengkudu, Ogan;
e. Si Betulah, yang menetap di Saleman Lintang, Lahat;
f. Si Betulai, yang menetap di Niur Lintang, Lahat; dan
g. Bujang Gunung, yang menetap di Ulak Mengkudu Lintang, Lahat.
Putera Serunting Sakti yang bernama Serampu Sakti mempunyai 13 orang putera yang tersebar di seluruh
tanah Serawai. Serampu Sakti dengan anak-anaknya ini dianggap sebagai cikal bakal suku bangsa Serawai.
Putera ke 13 Serampu Sakti yang bernama Rio Icin bergelar Puyang Kelura mempunyai keturunan sampai ke
Lematang Ulu dan Lintang.

Dalam istilah daerah Rejang, suku bangsa Serawai sering disebut Jang Sawei (Rejang Serawai). Dari sini kita
dapat mengetahui bahwa suku bangsa Rejang menganggap bahwa suku bangsa Serawai merupakan salah
satu pecahan dari Suku bangsa Rejang atau sejak dulu sudah berasimilasi dengan suku bangsa Rejang. Hal ini
mungkin ada benarnya, banyak tarian adat suku bangsa Rejang yang memiliki banyak kesamaan dengan
tarian adat suku Serawai, terlebih lagi bila kita menyimak kisah tentang puteri Senggang di atas.
Kata Serawai sendiri masih belum jelas artinya. Sebagian orang mengatakan bahwa Serawai berarti "satu
keluarga", hal ini tidak mengherankan apabila dilihat rasa persaudaraan atau kekerabatan di antara orangorang Serawai sangat kuat. Selain itu ada pula tiga pendapat lain mengenai asal kata Serawai, yaitu :
a. Serawai berasal dari kata Sawai yang berarti Cabang. Cabang di sini maksudnya adalah cabang dua buah
sungai yakni Sungai Musi dan Sungai Seluma yang dibatasi oleh Bukit Campang;
b. Serawai berasal dari kata Seran. Kata Seran sendiri bernakna Celaka, hal ini dihubungkan dengan legenda
anak raja dari hulu yang dibuang karena terkena penyakit menular. Anak raja ini dibuang ke sungai dan
terdampar di muara dan disitulah anak raja tersebut membangun negeri.
c. Serawai berasal dari kata Selawai yang berarti Gadis atau Perawan. Pendapat ini mendasarkan diri pada
ceritera yang mengatakan bahwa suku bangsa Serawai adalah keturunan sepasang suami-isteri. Sang Suami
berasal dari Rejang Sabah (penduduk asli pesisir pantai Bengkulu) dan isterinya adalah seorang puteri atau
gadis yang berasal dari Lebong. Dalam bahasa Lebong, puteri atau gadis disebut Selawai. Kedua suami-isteri
ini kemudian beranak-pinak dan mendirikan kerajaan kecil yang oleh orang Lebong dinamakan Selawai.
Suku bangsa Serawai juga telah memiliki tulisan sendiri. Tulisan itu, seperti halnya huruf Ka Ga Nga suku
Rejang, disebut oleh para ahli dengan nama huruf Rencong. Suku bangsa Serawai sendiri menamakan tulisan
itu sebagai Surat Ulu. Susunan bunyi huruf pada Surat Ulu sangat mirip dengan tulisan Ka Ga Nga pada huruf
Rejang. Oleh sebab itu tidak aneh apabila pada masa lalu para pemimpin suku-suku bangsa Rejang dan
Serawai dapat saling berkomunikasi dengan menggunakan bentuk-bentuk tulisan ini.

E. SISTIM RELIGI DAN KEPERCAYAAN

Pada zaman pra Islam, di dalam kehidupan suku-suku bangsa di Propinsi Bengkulu sudah berkembang suatu
sistim Religi. Sistim religi berkembang dan digali dari segala sesuatu yang dialami dan ditemui dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Kekaguman, ketakjuban dan ketakutan terhadap segala kejadian alam --seperti petir, halilintar, badai dan sebagainya --- yang berada jauh di luar jangkauan alam fikiran, mendorong
masyarakat untuk mempercayai adanya suatu kekuatan gaib yang menciptakan, mengatur, merusak dan
menghancurkan alam dengan segala isinya.
Dengan adanya kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib tersebut, manusia mencoba untuk melakukan
hubungan dengan kekuatan supernatural tersebut. Upaya melakukan hubungan dengan kekuatan Sang
Pencipta ini dimaksudkan agar mereka mendapatkan perlindungan dan berbagai kemudahan dalam
mengarungi kehidupan. Dari sini mulai berkembang suatu sistim religi di tengah-tengah kehidupan suku-suku
bangsa di Propinsi Bengkulu.
Sistim religi yang ada dalam kehidupan suku-suku bangsa di Propinsi Bengkulu pada masa lalu terdiri dari
beberapa macam kepercayaan. Kepercayaan-keperacayaan tersebut adalah : kepercayaan kepada dewadewa; kepercayaan kepada mahluk-mahluk halus dan kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan sakti.
Kepercayaan kepada dewa-dewa di daerah Bengkulu hampir-hampir tidak ada. Kepercayaan ini hanya ada di
daerah-daerah pertanian dan di daerah Rejang Bermani. Suku-suku bangsa di daerah-daerah seperti ini
percaya akan adanya sorang dewi yang berkuasa terhadap kesuburan tanaman padi. Kendatipun demikian,
gambaran akan dewa atau dewi cukup terpateri dalam fikiran masyarakat. Hal ini terbukti dari adanya suatu
kepercayaan suku Rejang yang menyatakan bahwa dewa-dewi itu tinggal di langit dan sewaktu-waktu akan
turun mandi ke sungai dengan menggunakan jembatan pelangi, yang disebut Guniak. Selain itu, dalam
mantera-mantera di kalangan suku-suku Serawai sering disebut kata-kata diwau atau diwo (dewa). Bahkan
dalam upacara perkawinan adat Bimbang Balai terdapat semacam upacara yang disebut Mujau (memuja).
Dalam upacara Mujau, disembelih seekor ayam jantan untuk persembahan sembari melantunkan mantera
memanggil dewa-dewa dari seluruh penjuru angin.

Pada masa pra Islam, kepercayaan terhadap mahluk-mahluk halus juga tumbuh subur dalam kehidupan
masyarakat Bengkulu. Bahkan sampai kini pada sebagian masyarakat masih didapati upacara-upacara untuk
berhubungan dengan roh nenek moyang atau mahluk-mahluk halus. Upacara-upacara seperti ini biasanya

dipimpin oleh seorang dukun yang melafalkan mantera dengan asap kemenyan dan berbagai barang
persembahan, seperti telur ayam hitam. Mahluk-mahluk halus yang menjadi peliharaan seorang di daerah
Serawai disebut Akuan. Akuan ini biasanya berwujud seekor binatang misalnya harimau. Binatang akuan yang
dipelihara ini tidak ditujukan untuk mencelakakan orang lain, tapi sebagai teman yang dapat diminta tolong
dan tempat minta perlindungan dari mara bahaya.
Menurut kepercayaan orang suku Rejang, mahluk halus dapat dibedakan dalam empat jenis yaitu Semat,
Sebei Sebeken, Orang Bunian dan Semangat padi. Semat dapat pula dibagi dalam tiga macam yaitu :
1. Semat Bulau Lekat, yang tinggal di hutan-hutan lebat dan di pohon-pohon kayu berdaun rimbun
(benuang). Untuk menangkal Semat jenis ini, di pondok-pondok ladang di pasang baling-baling angin.
2. Semat Pitok, berdiam di matahari, jurang, batu besar dan sebagainya. Bila orang diganggu Semat Pitok
maka mulutnya akan menjadi miring (mencong) dan pinggangnya menjadi bengkok.
3. Semat Laut, bentuknya seperti perempuan berwajah buruk, berbadan tinggi dan kurus.
Jenis mahluk halus lain yang dipercaya keberadaannya oleh masyarakat suku Rejang adalah :
1. Sebei Sebeken, bentuknya seperti seorang wanita yang berambut kusut masai. Menurut kepercayaan,
barang siapa yang memperoleh ilmu dari Sebei Sebeken maka ia mampu menyelam di dalam air selama
sehari semalam.
2. Orang Bunian, mahluk halus ini hidup seperti manusia, mereka tinggal di hutan-hutan besar. Mereka
mampu untuk menjelma seperti manusia biasa.
3. Semangat Padi, mahluk halus ini menurut kepercayaan orang Rejang berwujud seperti kanak-kanak.
Selain dari kepercayaan terhadap para dewa dan mahluk-mahluk gaib, suku-suku bangsa di Propinsi Bengkulu
juga percaya kepada kekuatan-kekuatan sakti. Kepercayaan seperti ini dapat berupa kepercayaan akan
adanya kekuatan gaib yang hidup dalam suatu benda atau pusaka, seperti keris, bagian tubuh orang sakti,
rumah bertuah, batu akik, makam dan sebagainya. Kekuatan-kekuatan sakti ini dapat dikuasai oleh orang-

orang yang mempercayainya, tapi dapat pula mencederai orang yang meremehkan dan kurang
mempercayainya.
Di kalangan suku-suku bangsa di Bengkulu masih terdapat berbagai larangan dan keharusan yang berkaitan
dengan kekuatan-kekuatan sakti. Larangan-larangan dan keharusan tersebut antara lain adalah :
1. dilarang mengencingi Ulu Tulong dan Keramat, barang siapa yang melanggar larangan ini ia akan jatuh
sakit (disebut Tesapo);
2. di daerah Air Petai (Bengkulu Utara) ada suatu ketentuan bahwa apabila akan menyeberangi jembatan
hendaklah membasuh muka terlebih dahulu dan apabila mengendarai kendaraan bermotor hendaklah
berhenti sebentar;
3. memasuki daerah keramat kita harus minta ijin terlebih dahulu pada depati (kepala desa) atau dukun
setempat dengan membawa segala persyaratan yang dibutuhkan;
4. di dalam tempat-tempat keramat kita dilarang untuk berteriak-teriak tidak karuan dan bernyanyi terlalu
gembira.
Tempat-tempat yang dianggap keramat di daerah Bengkulu antara lain adalah : Tebosan di Selupuh; Bumi
Jijai; Botan Bulei; Monok Micor; Gerucing; Kuburan Tinggi; Gunung Bungkuk; Batu Menjolo dan Keramat
Anggut.

F. SISTIM UPACARA
Di Propinsi Bengkulu banyak terdapat sistim upacara, baik yang bersifat keagamaan maupun upacara yang
diselenggarakan berdasarkan adat istiadat. Upacara keagamaan yang dilakukan antara lain adalah upacara
menyambut bulan misalnya upacara menyambut bulan Rabiul Awal, apacara Maulud Nabi, upacara Qunut
dan sebagainya.

Upacara-upacara yang dilaksanakan berdasarkan adat dan kebudayaan antara lain adalah upacara
Mendundang Padi, upacara Basuh Benih, upacara Mencuci/Bersih Kampung, upacara Tabot dan sebagainya.
Upacara Mendundang Padi (benih) merupakan suatu rangkaian upacara ritual yang bertujuan untuk
mendapatkan jenis padi yang baik. Menurut kepercayaan suku-suku bangsa di Bengkulu, bibit padi yang baik
akan dapat diperoleh apabila telah memperoleh restu dari Diwo Padi. Dalam upacara Mendundang Padi
hewan yang dikorbankan adalah kerbau. Upacara Basuh Padi pada prinsipnya sama dengan Mendundang
Padi, hanya dalam upacara ini hewan yang dikorbankan adalah kambing. Benih Padi yang sudah dibasuh
dalam upacara ini akan dijadikan bibit yang ditanam pertama kali di sawah atau di ladang.
Salah satu bentuk upacara yang dilaksanakan secara besar-besaran oleh masyarakat Bengkulu adalah
Upacara Tabot. Upacara ini dilakukan oleh masyarakat di Kotamadya Bengkulu selama 10 hari, yakni pada
tanggal 1 sampai dengan 10 Muharram setiap tahun. Upacara Tabot ini berasal dari upacara berkabung kaum
Syi'ah, yang dibawa ke Bengkulu oleh para pekerja dan serdadu The East India Company (EIC/Inggeris) yang
berasal dari Sepoy (Madras, India), yang pernah berada di Bengkulu dari tahun 1685 sampai dengan 1825.
Upacara Tabot dilakukan untuk memperingati gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi
Thalib, di Padang Karbala (Irak).
Inti Upacara Tabot adalah untuk mengenang para pemimpin Syi'ah dan kaumnya mengumpulkan bagianbagian jenazah Husein, mengaraknya setelah terkumpul dan memakamkannya di Padang Karbala. Seluruh
upacara Tabot berjalan selama sepuluh hari, dengan urut-urutan acara :
1. Mengambik tanah (mengambil tanah), upacara ini berlangsung pada malam tanggal 1 Muharram (sekitar
pukul 22.00). Tanah yang diambil adalah tanah yang berasal dari tempat keramat, yaitu keramat Tapak Padri
dan keramat Anggut.
2. Duduk Penja (mencuci jari-jari). Penja adalah benda yang berbentuk telapak tangan manusia lengkap
dengan jari-jari, terbuat dari kuningan, tembaga atau perak. Penja dianggap sebagai benda keramat yang
mempunyai kekuatan magis, oleh karena itu harus dicuci dengan air bunga dan air limau (jeruk nipis).
Upacara mencuci Penja inilah yang disebut dengan Duduk Penja.
3. Menjara, menjara artinya adalah berkunjung atau mendatangi kelompok lain untuk Beruji Dol (bertanding
menabuh Dol). Dol adalah sebuah tambur besar yang suaranya mirip suara bedug. Beruji Dol ini dilakukan di
lapangan terbuka pada malam hari, dari jam 22.00 sampai jam 23.00.

4. Meradai (mengumpulkan dana), dilakukan pada siang hari tanggal 6 Muharram. Dalam kegiatan ini yang
melakukan pengumpulan dana adalah anak-anak yang berusia antara 10 sampai dengan 12 tahun.
5. Arak Penja (Mengarak Jari-Jari), dilakukan pada malam ke delapan bulan Muharram, dimulai sekitar pukul
19.00 dan berakhir sekitar pukul 21.00. Arak Penja ini dilaksanakan dengan melalui route sepanjang jalanjalan utama di kota Bengkulu.
6. Arak Serban (Mengarak Sorban). Berlangsung pada malam ke 9 bulan Muharram, sekitar pukul 19.00
sampai dengan pukul 21.00 dengan route yang sama seperti Arak Penja. Benda yang diarak dalam acara ini
selain Penja adalah Sorban putih yang diletakkan pada Tabot Coki (tabot kecil), dilengkapi dengan
bendera/panji-panji berwarna putih dan hijau/biru bertuliskan kaligrafi Arab nama Hasan dan Husein.
7. G a m. Kata Gam ini berasal dari kata Ghum yang bermakna tertutup atau terlarang. Dalam acara ini tidak
boleh ada kegiatan apapun, yang berlangsung dari pukul 07.00 hingga pukul 16.00.
8. Arak Gedang (Arak-arakan besar), dilakukan mulai dari pukul 19.00 pada tanggal 9 Muharram. Pada acara
ini dilakukan upacar ritual penglepasan Tabot di masing-masing markas kelompok Tabot. Kemudian Tabot
diarak melalui jalan-jalan utama. Arak-arak ini sangat meriah karena seluruh Tabot akan pawai bersama
dimeriahkan pula oleh arak-arakan berbagai kelompok kesenian lainnya. Puncak acara Arak Gedang adalah
acara Tabot Besanding (Tabot bersanding). Dalam acara ini seluruh Tabot dibariskan berjajar dan seluruh
arena ditaburi lampu-lampu hias. Selama Tabot Besanding, para pengunjung dihibur dengan berbagai atraksi
kesenian.
9. Tabot Tebuang (Tabot Terbuang). Acara ini merupakan acara terakhir dari keseluruhan rangkaian upacara
Tabot. Acara Tabot Tebuang dilakukan pada tanggal 10 Muharram, dimulai sekitar pukul 09.00 pagi hari.
Setelah Tabot berkumpul, seperti pada Tabot Besanding, maka kemudian pada pukul 11.00 Tabot Tabot
diarak menuju kelurahan Padang Jati dan berakhir di kompleks pemakaman Karabela, tempat
dimakamkannya Imam Senggolo atau Syekh Burhanuddin (pelopor upacara Tabot). Di pemakaman ini
dilakukan upacara ritual Tabot yang diakhiri dengan pembuangan Tabot di rawa-rawa yang berdampingan
dengan makam tersebut.

Upacara Tabot yang dilaksanakan setiap bulan Muharram ini sekarang semakin dikembangkan oleh
Pemerintah Daerah dalam upaya melestarikan kebudayaan daerah. Selain itu upacara ini juga dijadikan suatu
event pariwisata dalam bentuk Festival Tabot.

G. ADAT PERKAWINAN
Upacara perkawinan yang dilaksanakan oleh suku-suku bangsa di daerah Bengkulu pada umumnya sejalan
dengan ajaran Islam, terutama dalam tata cara pernikahannya. Secara adat istiadat, perkawinan yang
dilaksanakan mengikuti berbagai upacara, bahkan di dalam adat juga diatur mengenai berbagai larangan
yang berkaitan dengan acara perkawinan ini.

1. Adat dan Upacara Perkawinan Suku Rejang.


Bagi suku Rejang perkawinan mempunyai beberapa tujuan. Tujuan suatu perkawinan adalah :
a. untuk mendapatkan teman hidup dan memperoleh keturunan, yang disebut Mesoa Kuat Temuun Juei;
b. untuk memenuhi kebutuhan biologis, hal dimaksudkan agar kaum muda dapat terhindar dari perbuatan
tercela;
c. memperoleh status sosial ekonomi. Bagi suku Rejang bujang dan gadis belum merupakan orang kaya ( coa
ade kayo ne) oleh karena itu mereka harus kawin, setelah kawin mereka akan bekerjasama untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memupuk kekayaan bagi keluarga mereka sendiri.
Suku Rejang juga memiliki suatu pandangan mengenai perkawinan yang diinginkan (ideal). Perkawinan
seperti ini kebanyakan diukur dari kondisi calon pengantin, baik laki maupun perempuan. Perempuan yang
baik untuk menjadi isteri apabila dia memenuhi berbagai persyaratan, yang pada dasarnya menunjukkan
perilaku yang baik dan pandai mengatur rumah tangga. Persyaratan-persyaratan tersebut antara lain adalah :
baik tutur katanya; pandai mengatur halaman rumah dan bunga-bunga di pekarangan; pandai

menyusun/mengatur kayu api (semulung putung); bagus bumbung airnya (lesat beluak bioa); dan
mempunyai sifat pembersih.
Sedangkan bagi kaum laki-laki, syarat-syarat yang harus dipenuhi menunjukkan bahwa ia adalah orang yang
berilmu-pengetahuan dan berketerampilan. Syarat-syarat bagi laki-laki tersebut antara lain adalah : banyak
ilmu batin dan pandai bersilat; pandai menebas dan menebang kayu; pandai membuat alat senjata dan alatalat untuk bekerja.
Selain itu dalam adat suku Rejang juga diatur larangan untuk kawin bagi anggota suku tersebut. Secara adat,
orang Rejang dilarang kawin dengan saudara dekat, sebaiknya perkawinan itu dilakukan dengan orang lain
(mok tun luyen). Perkawinan dengan saudara dekat dianggap merupakan suatu perkawinan sumbang, yang
mereka sebut Kimok (memalukan/menggelikan). Perkawinan dengan sesama famili disebut kawin Sepasuak
dan perkawinan dengan saudara yang berasal dari moyang bersaudara (semining) disebut Mecuak Kulak.
Perkawinan Sepasuak dan Mecuak Kulak ini merupakan perkawinan yang dilarang, namun demikian apabila
tidak dapat dihindarkan maka mereka yang kawin didenda secara adat berupa hewan peliharaan atau uang,
denda seperti ini disebut Mecuak Kobon. Jenis perkawinan lainnya yang dilarang secara adat adalah
perkawinan antara seorang pria atau wanita dengan bekas isteri atau suami dari saudaranya sendiri, apabila
saudaranya tersebut masih hidup.
Bentuk-bentuk perkawinan dalam adat suku Rejang berhubungan erat dengan peristiwa atau kejadian
sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan. Bentuk-bentuk perkawinan tersebut adalah :
a. Perkawinan biasa, yakni perkawinan antara pria dan wanita yang didahului dengan acara
beasen (bermufakat) antara kedua belah pihak.
b. Perkawinan sumbang, yakni perkawinan yang dianggap memalukan. Misalnya karena sang gadis telah
berbuat hal-hal yang memalukan (komok) sehingga menimbulkan celaan dari masyarakat atau perkawinan
yang dilakukan oleh sesama saudara dekat.
c. Perkawinan ganti tikar (Mengebalau), yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki yang isterinya
telah meninggal dengan saudara perempuan isterinya, atau dengan perempuan yang berasal dari lingkungan
keluarga isterinya yang telah meninggal tersebut.

Upacara perkawinan dalam adat suku rejang mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu upacara sebelum
perkawinan, upacara pelaksanaan perkawinan dan upacara setelah perkawinan. Oleh sebab itu, perkawinan
dalam suku Rejang terdiri dari :
a. Upacara sebelum perkawinan, yang terdiri dari :
1) Meletak Uang, yaitu upacara pemberian uang atau barang emas yang dilakukan oleh kedua calon
mempelai di rumah si gadis, dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak. Maksud upacara ini adalah
memberi tanda ikatan bahwa bujang dan gadis tersebut sudah sepakat untuk menikah.
2) Mengasen, yaitu meminang yang dilakukan di rumah keluarga si gadis.
3) Jemejai atau Semakup Asen, yaitu upacara terakhir dalam peminangan yang merupakan pembulatan
kemufakatan antara kedua belah pihak. Tujuan upacara ini adalah untuk : meresmikan atau mengumumkan
kepada masyarakat bahwa bujang dan gadis tersebut telah bertunangan dan akan segera menikah;
mengantar uang antaran (mas kawin), dan menyampaikan kepada Ketua Adat mengenai kedudukan kedua
mempelai itu nantinya setelah menikah.
b. Upacara Pelaksanaan Perkawinan, terdiri dari :
Upacara pelaksanaan perkawinan pada suku Rejang pada umumnya terdiri dari dua macam upacara, yaitu
Mengikeak dan kemudian diikuti dengan Uleak. Mengikeak adalah upacara akad nikah dan upacara Uleak
adalah pesta keramaian perkawinan. Pelaksanaan Mengikeak biasanya dilaksanakan di tempat pihak yang
mengadakan Uleak, namun demikian berdasarkan permufakatan bisa saja mengikeak dilaksanakan di rumah
mempelai pria dan Uleak dilaksanakan di rumah mempelai wanita. Dalam permufakatan adat hal seperti ini
disebut : Mengikeak keme, uleak udi artinya menikah kami merayakannya kamu.
c. Upacara Sesudah Perkawinan, terdiri dari :
Pada zaman sekarang berbagai upacara sesudah pelaksanaan perkawinan tidak begitu diperhatikan lagi. Pada
zaman dahulu setelah upacara perkawinan, dilakukan pula berbagai upacara yaitu :
1) Mengembalikan alat-alat yang dipinjam dari anggota dan masyarakat dusun.

2) Pengantin mandi-mandian, melambangkan mandi terakhir bagi kedua mempelai dalam statusnya sebagai
bujang (jejaka) dan gadis.
3) Doa selamat.
4) Cemucu Bioa, yaitu berziarah ke makam-makam para leluhur.
d. Adat Menetap Sesudah Perkawinan.
Apabila akad nikah dan upacara perkawinan telah dilakukan, maka kedua mempelai itu telah terikat oleh
norma adat yang berlaku. Kebebasan bergaul seperti pada masa bujang dan gadis hilang, dan berganti ke
dalam ikatan keluarga di mana mereka bertempat tinggal. Status tempat tinggal (Duduk Letok) mereka
ditentukan oleh hasil permufakatan yang telah diputuskan dalam upacara Asen.
Bagi suku bangsa Rejang ada dua macam Asen, yakni Asen Beleket dan Asen Semendo. Asen Beleket artinya
mempelai perempuan masuk ke dalam keluarga pihak laki-laki, baik tempat tinggalnya maupun sistem
kekerabatannya. Asen Beleket dibedakan lagi dalam dua macam Asen, yaitu Leket Putus dan Leket Coa Putus
(tidak putus).
Pada Leket Putus, hubungan mempelai perempuan dengan pihak keluarganya diputuskan sama sekali.
mempelai perempuan tersebut sepenuhnya menjadi hak keluarga pihak laki-laki. Apabila suaminya
meninggal terlebih dahulu, maka perempuan tersebut tetap tinggal di lingkungan keluarga suaminya.
Biasanya ia dinikahkan dengan saudara suaminya atau sanak saudara suaminya yang lain, tanpa membayar
uang apa-apa dan ia tidak boleh menolak. Pada Leket Coa Putus hubungan mempelai perempuan dengan
keluarganya tidak terputus sama sekali.
Pada Asen Semendo terdapat banyak variasi. Pada mulanya Asen Semendo merupakan lawan atau kebalikan
dari Asen Beleket, yakni :
1) Semendo Nyep Coa Binggur (hilang tidak terbatas), mempelai laki-laki masuk dan menjadi hak pihak
keluarga perempuan sepenuhnya.

2) Semendo Nyep/Tunakep (menangkap burung sedang terbang), mempelai laki-laki dianggap oleh keluarga
pihak perempuan sebagai seorang yang datang tidak membawa apa-apa. Jika terjadi perceraian atau laki-laki
tersebut meninggal terlebih dahulu maka semua hak warisnya jatuh kepada isterinya.
3) Semendo Sementoro/Benggen (berbatas waktu), mempelai laki-laki pada awal kehidupan berkeluarga
harus tinggal dalam lingkungan keluarga pihak mempelai perempuan, setelah itu dia bersama isterinya dapat
tinggal dalam lingkungan keluarga asalnya atau membentuk lingkungan keluarganya sendiri.
4) Semendo Rajo-Rajo, yaitu apabila kedua mempelai berasal dari dua keluarga yang sama kuat atau
sederajat. Kedudukan dan tempat tinggal kedua mempelai setelah perkawinan diserahkan sepenuhnya
kepada kedua mempelai untuk memutuskannya.

2. Adat dan Upacara Perkawinan Suku Serawai.


Bagi suku Serawai perkawinan mempunyai beberapa tujuan. Tujuan suatu perkawinan adalah :
a. untuk mendapatkan teman hidup dan memperoleh keturunan.
b. untuk memenuhi kebutuhan biologis, hal dimaksudkan agar kaum muda dapat terhindar dari perbuatan
tercela;
c. agar dapat bergaul di tengah-tengah masyarakat secara layak dan telah masuk dalam kategori orang tuatua (orang yang bisa mewarisi adat istiadat setempat).
Dalam adat suku Serawai juga terdapat pembatasan atau larangan perkawinan. Seseorang dilarang untuk
kawin dengan saudara dekat dan sangat dianjurkan untuk menikah dengan dengan seseorang yang tidak
mempunyai hubungan darah. Apabila perkawinan dengan saudara dekat tidak dapat dihindarkan maka
kedua mempelai harus membayar denda adat pada upcara perkawinan mereka, yaitu mengorbankan seekor
kambing.
Bentuk-bentuk perkawinan dalam adat suku Serawai terdiri dari :

a. Kawin Biasa yaitu perkawinan yang dilakukan melalui proses secara adat dan sebelumnya kedua mempelai
sudah saling mencintai serta direstui oleh kedua orang tua;
b. Kawin Lari atau Selarian yaitu perkawinan yang dianggap melanggar adat dan harus menerima sanksi serta
denda secara adat. Selarian dapat dibedakan dalam tiga kategori yaitu:
1) Lari Maling Diri, yaitu apabila pemuda melarikan kekasihnya dengan didampingi oleh seorang teman dari si
laki-laki dan seorang teman gadis dari si perempuan. Sebelum lari kedua calon mempelai meninggalkan
sepucuk surat untuk orang tua si perempuan yang menyatakan bahwa mereka telah kawin lari dengan di
dampingi dua orang temannya;
2) Lari Sebambangan, yaitu apabila pemuda melarikan kekasihnya dengan dua orang teman mereka tanpa
meninggalkan sepucuk surat untuk orang tua si gadis;
3) Lari Nido Betanggo, yaitu apabila pemuda melarikan kekasihnya tanpa di dampingi oleh seorang temanpun dan juga tidak meninggalkan sepucuk surat untuk orang tua si gadis.
Secara adat, dalam Selarian si pemuda akan melarikan isterinya ke tempat tinggal keluarga. Di rumah
keluarga laki-laki telah menunggu segenap keluarganya dan unsur pemerintah setempat untuk menunggu
kedatangan pihak keluarga perempuan yang menyusul (orang yang beturut). Setelah orang beturut datang
maka dilakukan pembicaraan antara kedua belah pihak dengan mediator dari unsur pemerintah setempat.
c. Kawin Ganggang yaitu perkawinan yang dilakukan apabila kedua mempelai tidak dapat segera berkumpul
setelah upacara perkawinan. Hal ini sering terjadi apabila salah satu atau kedua calon pengantin masih
menuntut ilmu di tempat yang saling berjauhan. Peresmian atau pesta keramaian perkawinan dilakukan
paling lama setahun setelah upacara pernikahan.
d. Kawin Genti Tikar yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dengan saudara isterinya, apabila
isterinya tersebut telah meninggal dunia.
e. Kawin Surung Kulo yaitu perkawinan yang dilakukan antara seorang wanita dengan saudara suaminya,
apabila suaminya itu telah meninggal dunia.

Sebelum melakukan upacara perkawinan secara adat yang disebut dengan istilahBimbang Adat, keluarga
belah pihak calon pengantin terlebih dahulu melaksanakan serangkaian upacara sebelum perkawinan.
Upacara-upacara adat tersebut adalah :
a. Nyiluri Ciri atau Nerangka Uang :
Dalam upacara ini pihak keluarga laki-laki datang ke rumah keluarga wanita untuk membicarakan hal-hal
yang berkenaan dengan rencana perkawinan kedua calon mempelai. Dalam upacara ini kedua calon
mempelai saling memberikan tanda cinta berupa barang. Pada waktu ini pergaulan kedua calon mempelai
mencapai suatu tahap yang disebut Tepiak Uang Keleman atau menaruh uang dalam gelap yang bermakna
bahwa janji atara kedua mereka masih dirahasiakan dan belum diumumkan kepada orang banyak.
b. Ngulang Lautan :
Tiga malam setelah upacara Nyiluri Ciri, calon suami mengantar sirih dan pinang ke rumah calon mertuanya.
Dalam kunjungan ini calon mempelai laki-laki ditemani oleh seorang kawan dan menginap di rumah calon
mertuanya selama satu malam. Dengan upacara ini calon pengantin laki-laki memberikan penghormatan
kepada keluarga calon mempelai perempuan dan memperoleh kesempatan untuk saling berkenalan dengan
kerabat calon mempelelai perempuan.
Setelah satu atau dua minggu kemudian, calon mempelai laki-laki kembali berkunjung ke rumah keluarga
calon mempelai perempuan tanpa didampingi oleh seorang teman. Dalam kunjungan kedua ini calon
mempelai laki membawa pakaian dan alat-alat untuk bekerja. Selanjutnya calon mempelai laki-laki menginap
di rumah keluarga perempuan selama satu minggu, dan selama itu pula dia akan dinilai oleh keluarga calon
mempelai perempuan apakah sudah siap untuk menikah. Kesiapan untuk menikah ini dinilai dari
keterampilannya dalam bekerja dan bertingkah-laku sehari-hari. Acara Ngulang Lautan ini dapat juga
dilakukan oleh calon mempelai perempuan apabila pihak keluarga laki-laki menghendakinya.
Dalam adat suku Serawai peresmian perkawinan dilakukan di rumah keluarga perempuan terlebih dahulu,
karena di rumah calon mempelai perempuan biasanya upacara akad nikah dilangsungkan. Rangkaian upacara
pelaksanaan perkawinan dalam adat suku Serawai, yang disebut Bimbang Adat, terdiri dari berbagai upacara,
yaitu :

a. Negak Pengujung, yakni bergotong-royong mendirikan tarub atau tenda untuk tempat dilangsungkannya
seluruh upacara perkawinan.
b. Tunggu Tunang, yakni upacara sebelum melakukan upacara akad nikah. Pada upacara ini mempelai lakilaki diiringi oleh dua orang inang pengantin dan seorang tua, yang disebut Tuo Menda pergi ke rumah calon
mempelai perempuan yang sudah siap menerima pengantin menikah. Setelah mempelai laki dan
rombongannya disambut oleh keluarga mempelai perempuan, mereka kemudian dijamu makan di dalam
Pengujung (tenda/tarub). Setelah itu dilanjutkan dengan acara Mantau Makan, di sini kedua calon mempelai
diundang makan oleh para tetangga atau masyarakat dusun tempat berlangsungnya acara pernikahan. Acara
mantau makan ini akan berlangsung lama apabila yang mengundang banyak jumlahnya. Apabila acara
Mantau Makan telah selesai, maka akan dilanjutkan dengan upacara Madu Kulo atau memadu janji untuk
menentukan status kedua suami isteri setelah upacara perkawinan. Apabila upacara Madu Kulo telah selesai
maka akan dilanjutkan dengan upacara Akad Nikah.
Setelah seluruh upacara perkawinan selesai dilaksanakan maka dilakukan pula beberapa acara adat lagi.
Acara-acara adat tersebut adalah :
a. Mendoa minta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mohon ampun kepada arwah nenek
moyang atas segala kesalahan yang diperbuat selama upacara perkawinan.
b. Ngulang Runut, yaitu acara yang dilakukan setelah beberapa minggu perkawinan selesai. Kedua suami
isteri berkunjung ke rumah orang tua isteri dengan membawa wajik sebagai oleh-oleh. Tujuan Ngulang Runut
ini adalah untuk lebih mengakrabkan hubungan antara suami dengan kerabat pihak isteri.
Sama halnya dengan adat suku Rejang, untuk menentukan tempat menetap kedua mempelai setelah
perkawinan dilakukan acara memadu janji antara kedua belah pihak keluarga. Upacara memadu janji yang
disebut Madu Kulo ini dilaksanakan sebelum upacara pernikahan. Hasil perjanjian tersebut dapat dibedakan
dalam tiga jenis, yakni :
a. Kulo Reto atau Tambik Anak :
Dengan hasil perjanjian Kulo Reto, mempelai perempuan seolah-olah sudah dibeli oleh mempelai laki-laki.
Oleh sebab itu, sang isteri tidak berhak menentukan tempat tinggal mereka setelah menikah, kalau sang

suami belum memiliki tempat tinggal sendiri maka mereka akan menetap sementara di rumah orang tua
suami. Biasanya apabila terjadi perjanjian Kulo Reto, orang tua suami sudah menyediakan rumah dan
sebidang sawah untuk tempat tinggal dan modal kehidupan bagi keluarga baru tersebut.
b. Kulo Semendo Masuak Kampung :
Perjanjian seperti ini merupakan kebalikan dari perjanjian Kulo Reto, di mana pengantin laki-laki seolah-olah
dibeli oleh pihak perempuan. Dalam hal ini pihak keluarga perempuan yang akan menyediakan rumah dan
sawah untuk pasangan keluarga baru ini.
c. Kulo Semendo Merdiko atau Semendo Rajo-Rajo :
Perjanjian seperti ini menentukan bahwa kedua mempelai bebas menetapkan di mana mereka hendak
menetap. Andaikata mereka belum memiliki tempat tinggal sendiri maka mereka bebas memilih tempat
menumpang sementara.

H. SISTEM KEKERABATAN
Sistem kekerabatan suku-suku bangsa yang tinggal di Propinsi Bengkulu pada umumnya hampir sama.
Perbedaan yang ada hanya pada istilah atau sebutannya saja. Sistem kekeluargaan yang ada terdiri dari :
1. Keluarga Batih (perseorangan).
Seperti sudah diuraikan sebelumnya, tempat tinggal keluarga yang baru menikah akan ditentukan oleh
perjanjian antara kedua belah pihak keluarga sebelum upacara akad nikah. Perjanjian tersebut pada dasarnya
sama bagi suku Serawai dan suku Rejang. Perjanjian kedua belah pihak keluarga akan memberikan tiga
kemungkinan status keluarga bagi pasangan yang baru menikah yaitu : Asen Beleket atau Kulo Reto; Asen
Semendo atau Kulo Semendo Masuak Kampung, dan Semendo Rajo-Rajo. Sejalan dengan ketiga bentuk
perjanjian itu maka garis keturunan pasangan keluarga baru akan terdiri dari tiga macam pula, yaitu
Patrilinial (ikut garis keturunan ayah), Matrilinial (ikut garis keturunan ibu) dan Bilinial (bebas memilih, ikut
garis ayah atau ikut garis ibu).

Secara umum pada keluarga batih, fungsi sosial, ekonomi, pendidikan dan keagamaan menjadi
tanggungjawab keluarga. Seluruh pekerjaan di rumah tangga dikerjakan bersama-sama secara gotongroyong, meskipun sebenarnya ada pembagian tugas di antara anggota keluarga. Pembagian fungsi dan
pekerjaan dalam keluarga batih dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Ayah berfungsi sebagai pelindung keluarga dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
b. Ibu berfungsi sebagai pengaman dan penenang keluarga, dan ia melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga.
c. Anak-anak berfungsi sebagai pengikat kasih sayang dan mereka bekerja membantu kedua orang tuanya
dalam pekerjaan yang ringan-ringan. Bagi anak yang sudah dewasa, mereka akan membantu pekerjaanpekerjaan yang sesuai dengan jenis kelamin mereka.
Tanggungjawab orang tua terhadap anak hanya selama sang anak belum berumah tangga. Apabila anak
tersebut sudah berumah tangga maka ia harus turun dari rumah dan mencari tempat kediaman sendiri. Kalau
dia belum memiliki rumah sendiri maka dia dapat menumpang sementara di rumah orangtuanya atau di
rumah mertua.
2. Keluarga Luas.
Keluarga Luas bagi suku-suku bangsa di Propinsi Bengkulu merupakan sebuah keluarga besar yang terdiri dari
himpunan keluarga Batih. Keluarga Luas adalah perkembangan keluarga Batih yang berasal atau berpusat
dari satu Poyang (orang tua dari kakek atau nenek). Termasuk sebagai anggota keluarga Luas adalah :
Poyang; nenek/kakek; ayah/Ibu; anak; cucu dan cicit, termasuk pula menantu dan ipar sampai pada tingkat
paling bawah yang berkedudukan sama.
Keluarga Luas pada suku Rejang disebut Tabo Kaben atau Tumbang dan garis keturunan mereka disebut Juei.
Sedangkan pada suku Serawai, keluarga Luas disebut Tuguak dan garis keturunannya disebut Jurai.
3. Klan Kecil.

Klan kecil adalah himpunan dari keluarga-keluarga Luas yang masih memiliki hubungan darah satu sama lain.
Pada suku Rejang, Klan Kecil disebut Sukau, yang dipimpin oleh seorang Tuai Sukau. Sedangkan pada suku
Serawai keluarga Luas disebut Ruguak. Rasa solidaritas dan kegotong-royongan antar sesama anggota klan
sangat besar.
4. Klan Besar.
Klan besar adalah himpunan dari klan-klan kecil. Di Propinsi Bengkulu Klan Besar disebut Marga. Kata marga
berasal dari bahasa Sangsekerta "Varga" yang berarti kumpulan keluarga atau famili. Di kalangan suku
Rejang, Marga disebut juga dengan istilah Petulai Juei atau Bang Mego. Marga dipimpin oleh seorang Kepala
Marga yang disebut Pasirah, yang berasal dari kata Sangsekerta "Syrah" yang berarti kepala kaum. Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, kedudukan Pasirah ini hapus
dan diganti dengan Kepala Desa dan Kepala Kelurahan. Sedangkan pimpinan adat diemban oleh seorang
Ketua Adat.
Bengkulu, 27 Mei 1996
DAFTAR PUSTAKA :
1. Anonim; Adat Istiadat Daerah Bengkulu, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat
Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978.
2. Anonim; Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Bengkulu, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebiudayaan
Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995/1996.
3. Hamidy, Badrul Munir, Drs. et al; Isi dan Kelengkapan Rumah Tangga Tradisional Daerah Bengkulu, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1985.
4. Hamidy, Badrul Munir, Drs. et al; Upacara Tabot di Kotamadya Bengkulu, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991/1992.
5. Harfield, Alan; Bencoolen : A History of the Honourable East India Company's Garrison on the West Coast
of Sumatra (1685-1825), A and J Partnership, 1995.

6. Hoesin, Kiagoes; Koempoelan Oendang-Oendang Adat Lembaga dari Sembilan Onderafdeelingen dalam
Gewest Benkoelen, Sriwijaya Media Utama, 1993.
7. Soeprapto; 10 Tahun Menjebol Isolasi Bengkulu : Memori Serah Terima Jabatan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Bengkulu Periode 16 Juli 1984 s/d 16 Juli 1989, Pemerintah Propinsi Daerah Tk.I Bengkulu, 1989.
8. Waluyo, Harry Drs.; Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah
Bengkulu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990.
9. Waib, Mardan Drs. et al; Wujud Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli bagi Masyarakat
Pendukungnya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisonal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995/1996.

Vous aimerez peut-être aussi