Vous êtes sur la page 1sur 48

I.

SKENARIO KASUS
Oh Kisut ada apa denganmu.
Info 1
Tn. Kisut laki-laki berusia 50 tahun datang ke IGD RSMS diantar oleh
keluarganya dengan keluhan utama tangan dan kaki sebelah kanan lemah secara
mendadak ketika sedang menonton TV kira-kira 2 jam yang lalu. Jika dipaksakan
pasien hanya mampu mengangkat tangan namun sebentar. Pada anamnesis
selanjutnya didapatkan pasien pelo dan mulutnya menceng kekiri. Pasien tidak
mengeluh nyeri kepala, mual maupun muntah dan tetap dalam keadaan sadar
Sebelum, saat, maupun sesudah kejadian. Pasien tidak mengeluh ada riwayat
demam maupun kejang sebelumnya. Pasien juga menyangkal mengalami trauma
kepala sebelumnya. Tn Kisut baru pertama mengalami sakit seperti ini. Tn Kisut
seorang perokok sejak 35 tahun yang lalu, biasanya menghabiskan sekitar 1
bungkus / hari. Tn Kisut suka makanan bersantan seperti gulai, tongseng dan
makanan padang.

Info II
RPD
-

Keluhan serupa disangkal

Riwayat Diabetes Melitus disangkal

Riwayat Penyakit jantung dan hipertensi disangkal

Riwayat hiperkolesterolemia

RPK
-

Riwayat keluarga dengan keluhan serupa (ayah pasien)

Riwayat penyakit jantung dan Hipertensi disangkal

Riwayat Diabetes Melitus disangkal

Info III
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Kuantitatif

: GCS E4 M6 V5

Vital sign TD

: 160/90 mmHg

: 88x/menit, reguler

RR

: 20x/menit

: 36,3C

Kepala

: Mesochepal, tanda trauma (-)

Mata

: Konjumgtiva anemis -/-, sklera -/-, Reflek cshsys +/+,


pupil isokor diameter 2mm/2mm

Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Jantung

: Batas kiri 2 cm lateral midclavicular line, lainnya dalam


batas normal

Paru
Inspeksi

: Simestris, statis dan dinamis

Palpasi

: Stem fremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi

: Vesikuler, suara tambahan (-)

Abdomen
Inspeksi

: Datar

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Palpasi

: Supel, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba

Perkusi

: Tympani

Info IV
Pemeriksaan neurologis
Tidak didapatkan tanda-tanda iritasi meningeal : kaku kuduk (-), brudzinkis sign
(-)
Parese N VII kanan tipe sentral
Parese N XII kanan tipe sentral

Fungsi Motorik

Superior (D/S)

Inferior (D/S)

Gerak

T/B

T/B

Kekuatan

3/5

3/5

Reflek fisiologis

+>>/+N

+>>/+N

Reflek Patologis

+/-

+/-

Tonus

N/N

N/N

Trofi

E/E

E/E

Pemeriksaan sensibilitas : kanan=kiri, tidak didapatkan hipertensi


Siriraj stroke score
=(2,5x0)+(2x0)+(2x0)+(0,1x90)-(3x0)-12
=-3

Info V
Hasil Laboratorium
Hb

: 13 gr/dl

Leukosit

: 12000/mm3

Hematokrit

: 40%

LED

: 12mm

Trombosit

: 410.000/mm3

GDS

: 150 mg/dl

Kolesterol total

: 300 mg/dl

HDL

: 45 mg/dl

LDL

: 175 mg/dl

Trigliserida

: 155 mg/dl

Asam urat

: 5,2 mg/dl

BUN

: 25 mg/dl

Kreatinin serum

: 1,1 mg/dl

Pemeriksaan penunjang lain


EKG

: Hipertrofi ventrikel kiri

Ro Thorax

: Kardiomegali ringan

CT Scan kepala

: Gambaran hipodens pada capsula interna hemisfer kiri

Info VI
Assesment
Diagnosis Klinis I

: Hemiparese dextra
Parese N VII dextra sentral
Parese N XII dextra sentral

Diagnosis Klinis II

: Hipertensi
Hiperkolesterolemia

Diagnosis Topik

: Kapsula interna sinistra

Diagnosis Etiologi

: Stroke non hemoragik

Diagnosis banding

: Stroke hemoragik

Info VII
Penatalaksanaan
Farmakologi
-

Tirah baring

O2 kanul nasal 3 ltr/menit

IVFD Asering 20 tpm

Cilostazol 2 x 100 mg PO atau ASA 1x100 mg atau clopidogrel 1x75 mg


(antiplatelet)

Piracetam 2 x 3 gram iv

Simvastatin 1 x 10 mg

Monitoring
-

Keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital serta kekuatan motorik

Awasi 5 B (Breathing, Blood, Brain, Bowel, Bladder)

Rehabilitasi
-

Komunikasi

Mobilisasi

Aktivitas sehari-hari

Edukasi
-

Mengatur pola makan yang sehat

Menghentikan rokok

Melakukan olahraga yang teratur

Menghindari stess dan beristirahat yang cukup

Info VIII
Prognosis
Fungsional

: dubia ad bonam

Vitam

: bonam

Sanam

: bonam

Batasan Masalah
Identitas
Nama

: Tn. Kisut (pria)

Usia

: 50 tahun

Riwayat penyakit sekarang


Keluhan utama

: Tangan dan kaki sebelah kanan terasa lemah.

Lokasi

: Tangan dan kaki sebelah kanan

Onset

: 2 jam yang lalu

Progresifitas

:-

Kualitas

:-

Kuantitas

:-

Faktor memperberat : Faktor memperingan : Keluhan penyerta

: Bicaranya pelo dan mulut menceng ke kiri.

Riwayat Sosial
Kebiasaan

: Perokok sejak 35 tahun yang lalu, merokok satu


bungkus habis dalam satu hari, suka makanan
bersantan seperti gulai, tongseng dan makanan
padang.

KLARIFIKASI ISTILAH
1. Pelo adalah cara bicara dengan lidah yang lumpuh. Pelo merupakan salah satu
disaatria, yaitu gangguan pada artikulasi dan pengucapan kata (Lumbantobing,
2012).
2. Kelemahan / Hemiparesis adalah kelemahan otot lengah dan kaki pada satu
sisi tubuh, sering disertai dengan kelemahan wajah pada daerah yang terkena.
Sementara itu, paralisis diartikan sebagai hilangnya sebagian atau seluruh
gerakan volunteer (Liporace, 2006).
Macam-macam terminologi kelemahan ekstremitas :
a.

Monoparesis: kelemahan otot pada salah satu tangan atau kaki

b.

Hemiparesis: kelemahan otot tangan dan kaki pada satu sisi tubuh,yang
seringkali disertai kelemahan otot wajah pada sisi yang terkena

c.

Paraparesis: kelemahan kedua kaki

d.

Tetraparesis: kelemahan semua kaki dan tangan

3. Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat
dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang
berlebihan (Betz, 2009).
4. Mual adalah sensasi ingin muntah, secara samar dialihkan ke epigastrium dan
abdomen, serta sering memuncak dengan muntah (Dorland, 2010).
5. Muntah yaitu semburan dengan paksa isi lambung melalui mulut (Dorland,
2010).
6. Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal. Bila diukur pada rektal
>38C (100,4F), diukur pada oral >37,8C, dan bila diukur melalui aksila
>37,2C (99F).
7. Kejang adalah kontraksi yang involunter dan kuat atau serangkaian kontraksi
otot-otot volunter (Dorland, 2010).
8. Disatria
Gangguan artikulasi. Pada disartria, hanya cara mengucapkannya saja yang
terganggu tetapi tata bahasanya baik. Berat ringanya disartria berdasarkan lesi
(Mardjono, 2009) :

a. Lesi UMN unilateral gejala yang timbul hemiparesis, disini dijumpai


disartria yang ringan sekali. Dalam hal ini terjadi keterbatasan lidah untuk
bergerak kesatu sisi yang menyebabkan gangguan artikulasi
b. Lesi UMN bilateral terjadi disartria yang berat seperti pada paralisis
pseudobulbaris.disini lidah susah untuk dikeluarkan dan umumnya kaku
untuk digerakan kesemua arah. Orang awam berpendapat bahwa lidahnya
menjadi pendek.
c. Lesi UMN lain yang dapat menyebabkan disartria terletak dijaras-jaras ang
menghantarkan impuls koordianatif yang bersumber pada serebelum atau
yang menyalurkan impuls ganglia basalis.pada disartria ini terjadi kerjasama
gerak otot lidah, bibir, pita suara dan otot-otot yang membuka dan menutup
mulut bersimpang siur sehingga kelancaran dan kontinuitas kalimat yang
diucapkan sangat terganggu. Cara berbahasa penderita penyakit serebelum
disebut eksplosif, karena kata-kata yang dikeluarkan terputus-putus, suara
dan nadanya berdentam.

II. ANALISIS MASALAH

1. Cara membedakan paresis sentral dan perifer :


Paresis saraf yang terbagi menjadi 2 yaitu paresis tipe sentral dan perifer
merupakan jenis paresis berdasarkan letak sistem saraf:
a. Untuk paresis tipe sentral ialah paresis yang selalu terkait dengan lesi
sistem saraf pusat (otak dan medulla oblongata). Pada umumnya paresis
tipe sentral selalu terkait dengan paresis spastic, atau paresis bersifat kaku
(Mardjana, 2010 et Baehr, 2012).
b. Sedangkan paresis tipe perifer ialah paresis yang terkait dengan lesi pada
sistem saraf perifer/tepi (inti atau serabut saraf baik cranial maupun
spinal). Paresis tipe perifer berkaitan dengan paresis flassid yang bersifat
lemah (Mardjana, 2010 et Baehr, 2012).
Dengan demikian paresis tipe sentral mengarah pada Upper Motor Neuron
(UMN) yang meliputi saraf-saraf sebelum cornu anterior medulla spinalis
melalui tractus corticospinalis. Sedangkan paresis tiper perifer mengarah pada
Lower Motor Neuron (LMN) yang meliputi saraf-saraf post-cornu anterior
medulla spinalis. Berikut cirri-ciri lain yang membedakan antara paresis tipe
sentral dan perifer (Baehr et al., 2012):
Paresis tipe Sentral

Paresis tipe Perifer

Disebut pula sindrom paresis spastik Disebut pula sindrom paralisis


flassid

sentral.

Kekuatan otot menurun dan terjadi Penurunan


gangguan motorik halus

sangat lemah.

Tonus spastik meningkat

Hipotonia/

kekuatan

kasar/

atonia

otot

(penurunan tonus otot yang jelas)


Refleks regang berlebihan abnormal Hiporefleksia/ arefleksia
tanpa

disertai

berulang-ulang

klonus

(bangkit

slm perangsangan

berlangsung)
Hipoaktivitas/tidak
eksteroseptif

adanya

(abdomen,

reflex Adanya atrofi otot


plantar,

kremaster)
Adanya reflex patologis: Babinski,
Oppenheim, Gordon, dll
Massa otot tetap baik

Jika dikaitkan dengan kasus maka penderita mengalami paresis tipe sentral
pada n. VII dan XII. Paresis sistem motorik tipe sentral memiliki lokalisasi
lesi sebagai berikut (Baehr, 2012):
1. Korteks serebri
2. Kapsula interna
3. Setinggi pedunkulus serebri
4. Pons, dan
5. Pyramid medulla

Gambar 1. X.Y Lokasi-lokasi lesi potensial pada traktus piramidalis (Baehr, 2012)

Gambar 2. Y.Z Perjalanan Traktus piramidalis


(Baehr, 2012)

Gambar-gambar tersebut menunjukkan bahwa posisi atau letak keluar


utamanya n. VII ialah pada pons melalui traktus kortikonuklearis, sedangkan
n. XII pada medula oblongata melalui traktus kortikospinalis. Berdasarkan hal
tersebut, maka kemungkinan kelainan paresis tipe sentral berasal dari lesi

yang terletak pada daerah/lokasi potensial sebelum pons atau medulla


oblongata. Lokasi-lokasi tersebut meliputi (Baehr, 2012):
1. Korteks serebri
2. Kapsula interna
3. Setinggi pedunkulus serebri
4. Pons
Berikut ke khasan tanda-tanda pada lokasi potensial tesebut (Baehr, 2012):
Lokasi Potensial
Korteks Serebri

Deskripsi
1. Lebih sering terjadi kelemahan pada wajah
dan lengan (karena area representasi
kortikal luas)
2. Bila terjadi: paresis ekstrimitas atas bagian
distal (lebih dominan) dengan konsekuensi
fungsional

terberatadalah

gangguan

motorik halus, maka gangguan tersebut


lebih bersifat flassid (karena jaras motorik
tambahan/non pyramidal tidak terganggu).
Kapsula Interna

1. Hemiplagia spastic kontralateral: karena


mengenai serabut pyramidal dan non
pyramidal
2. Terjadi paresis n. VII kontralateran yang
disertai

n.

XII

karena

traktus

kortikonuklearis terkena.
3. Tidak terlihat deficit n. cranialis karena n.
cranialis motorik yang lain mendapat
persarafan bilateral.
4. Paresis sisi kontralateral pada awalnya
berbentuk flassid (fase syok), tetapi akan
menjadi spastic dalam beberapa jam atau
hari akibat terjadi kerusakan pada serabutserabut non pyramidal yang bersamaan.

Setinggi

Pedunkulus Hemiparesis

spastic

kontralateral

Serebri

kelumpuhan n. occulomotor ipsilateral

Pons

Melibatkan

traktus

piramidalis:

disertai

hemisfer

kontralateral atau mungkin bilateral. Pada tingkat


pons ini, n. VII dan XII berjalan kea rah lebih
dorsal, jadi kelumpuhan tipe sentral jarang terjadi.
Jadi, jika dikaitkan dengan kasus dengan melihat tanda dan gejala
penderita, maka kemungkinan lesi berada pada kapsula interna bagian
sinistra.

a) UMN dan LMN


Upper Motor Neuron (UMN) adalah semua neuron yang
menyalurkan

impuls

motorik

secara

langsung

ke

LMN

atau

interneuronnya. UMN dibagi dalam susunan piramidal dan susunan


ekstrapiramidal (Mardjono,2012).
Traktus pyramidal berasal dari girus presentralis/ korteks motorik.
Pada bagian korteks motorik terdapat suatu peta tubuh yang disebut
homunculus motorik yang mengatur gerak otot tubuh bagian kontralateral.
Homunculus motorik dari medial kelateral secara berurutan yaitu terdapat
gerakan kaki, tungkai bawah, tungkai atas, abdomen/toraks, bahu, lenga,
tangan, jari- jari tangan, leher, wajah, bibir,otot pita suara, lidah dan otot
penelan. Luas kawasan peta gerakan tangkas khusus seperti jari tangan
dan wajah lebih luas daripada gerakan tangkas umum seperti abdomen /
toraks. Traktus piramidalis turun dari korteks motorik sebagai jaras
kortikospinalis dan kortikobulbar/ kortikonuklear .Kedua traktus tersebut
yang turun di tingkat thalamus dan ganglia basalis dan terletak diantaranya
disebut kapsula interna. Penataan somatopik yang dijumpai di korteks
motorik di temukan kembali di kapsula interna (Mardjono,2012).
Traktus ektrapiramidal merupakan sejumlah jaras sentral selain
traktus piramidalis yang penting pada pengendalian fungsi motorik
diantaranya adalah traktus kortikopontoserebelaris, traktus tektospinalis,

traktus rubrospinalis, traktus retikulospinalis, traktus vestibulospinalis dan


traktus lainnya (Baehr, 2010).
Lower Motor Neuron (LMN) merupakan neuron- neuron yang
menyalurkan impuls motorik pada bagian terakhir ke otot skeletal. LMN
menyusun inti- inti saraf otak motorik dan inti radiks ventralis saraf spinal
(Mardjono,2012).

b) Ciri- ciri lesi pada UMN dan LMN adalah


1) UMN
a. Tonus otot meninggi/ hipertonia
Hipertonia terjadi karena hilangnya inhibisi korteks motorik
tambahan terhadap inti intrinsic medulla spinalis dan merupakn ciri
khas bagi disfungsi komponen ekstrapiramidal UMN. Tonus akan
menurun bilamana lesi paralitik merusak hanya korteks motorik
primer saja (pyramidal) . Walaupun demikian lesi paralitik
diamana mengganggu komponen piramidalis juga akan menggangu
komponen ekstrapiramidalis. Namun paresis spastic hanya terjadi
pada lesi yang terjadi di sususan saraf pusat (Mardjono,2012).
b. Hiperefleksia
Hiperefleksia terjadi karena spindle otot berespon lebih sensitive
terhadap reganagn dibandingkan dengan kedaan normal, terutama
fleksor ekstremitas atas dan ekstensor ekstremitas bawah.
Hipersensitivitas ini terjadi akibat hilangnya kontrol inhibisi sentral
desenden pada sel-sel fusimotor ( neuron motor ) yang
mempersarafi spindel otot. Dengan demikian serabut serabut
intrafusal teraktivasi secara permanen dan lebih mudah berespon
terhadap peregangan otot lebih lanjut dibandingkan normal (Baehr,
2010).
c. Klonus
Hiperefleksia disertai dengan klonus yaitu gerak otot reflektorik
yang bangkit secara berulang- ulang selama perangsangan
berlangsung (Mardjono,2012).

d. Reflek patologik
Pada kerusakan UMN dapat disaksikan adanya reflek- reflek yang
tidak dibangkitkan pada orang- orang sehat maka dari itu reflekreflek tersebut dengan reflek patologik. Pada tangan gerak reflek
patologik berupa fleksi jari-jari atas peregangan terhadap kuku jari
tengah yang disebut reflek Tromner Hoffman. Pad kaki gerak otot
reflektorik patologis berupa gerakan dorsoekstensi ibu jari serta
pengembangan sebagai efek terhadap goresan pada bagian lateral
telapak kai ( reflek Babinski) (Mardjono,2012).
e. Tidak adanya atrofi
Pada kerusakan UMN motorneuron tidak dilibatkan sehingga otototot yang lumpuh pada lesi UMN tidak mengalami atrofi. Atrofi
dapat terjadi bukan karena serabut otot musnah melainkan karena
otot tidak digunakan ( disuse atrophy) (Mardjono,2012).
2) LMN (Mardjono,2012).
a. Arefleksia
Lesi pad LMN berarti merusak motorneuron , aksonnya , motor
end plate atau otot skeletal sehingga tidak terdapat gerakan apapun
walaupun impuls motorik dapat tiba pada motorneuron.
b. Tidak adanya reflek patologik
c. Tonus otot hilang
Tonus hialng dapat disebabkan karena kerusakan di LMN maka
bagian eferen lengkung reflek berikut gamma loop tidak berfungsi
lagi.

Gamma

loop

merupakan

persarafan

di

otot

yang

mempertahankan panjang otot target.


d. Atrofi
Musnahnya motorneuron dan aksonnya berarti pula kesatuan
motorik runtuh dan terjadi atrofi. Hal ini terjadi karena adanya
hubungan timbal balik antara kehidupan motorneuron dengan
serabut yang dipersarafinya. Runtuhnya motorneuron akan disususl
dengan kemusnahan serabut otot yang tercakup dalam kesatuan

motoriknya yang menyebabkan otot yang terkena menjadi kecil/


kurus yang disebut atrofi

2. Cara pemeriksaan fungsi motorik dan sensibilitas


Pemeriksaan motorik
a. Inspeksi
Pada inspeksi di perhatikan sikap, bentuk, ukuran dan adanya gerak
abnormal yang tidak dapat dikendalikan.
1) Sikap
Yaitu sikap pasien waktu berdiri, duduk, berbaring, bergerak, dan
berjalan.
2) Bentuk
Perhatikan adanya deformitas.
3) Ukuran
Perhatikan besarnya otot, bandingkan dengan otot sisi lainya. Bila
dicurigai adanya atrofi, ukurlah kelilinya. Pengukuran dilakukan
dengan menyebutkan tempat di mana dilakukan pengukuran. Biasanya
digunakan tonjolan tulang sebagai patokan. Misalnya 3 cm di atas
olekranon, atau patela atau tonjolan lainnya. Setelah itu perhatikan pula
bentuk otot. Hal ini dilakukan dalam keadaan otot beristirahat dan
sewaktu berkontraksi. Bila didapatkan atrofi, kontur biasanya berubah
atau berkurang (Lumbantobing, 2013).
4) Pada keadaan pseudo-hipertrofi, ukuran otot tampak lebih besar, namun
tenaganya berkurang. Hal ini disebabkan karena jaringan otot diganti
oleh jaringan lemak atau jaringan ikat. Hal ini didapatkan pada distrofia
muskulorum progresiva, dan terjadi di otot betis dan gluteus
(Lumbantobing, 2013).
5) Gerakan abnormal yang tidak terkendali
6) Di antara gerakan abnormal yang tidak terkendali yang kita kenal ialah:
tremor, khorea, atetose, distoni , balismus, spasme, tik, fasikulasi dan
miokloni .

7) Pada pemeriksaan gerakan abnormal kita harus mengobservasi


penampilan klinisnya dan bila gerakan sesuai dengan gambaran klinik
tertentu yang telah mempunyai nama, nama ini digunakan untuk
gerakan tersebut , tetapi sebaiknya ditambah dengan melukiskan
gerakan tersebut, daripada hanya memberi suatu nama saja. kadang kadang untuk mengetahui gerakan abnormal ini dibutuhkan palpasi ,
terlebih bila gerakanya sangat lemah dan terbatas pada sebagian dari
kelompok otot (Lumbantobing, 2013).
b. Palpasi
Pasien disuruh mengistirahatkan ototnya. Kemudian otot ini dipalpasi untuk
menentukan konsistensi serta

adanya nyeritekan. Dengan palpasi kita

dapat menilai tonus otot, terutama bila ada hipotoni. Penentuan tonus
dilakukan pada berbagai posisi anggota gerak dan bagian badan
(Lumbantobing, 2013).
c. Pemeriksaan gerakan pasif
Penderita disuruh mengistirahatkan ekstremitasnya. Bagian dari ekstremitas
ini kita gerakan pada persendiannya. Gerakan dibuat bervariasi, mulamula
cepat kemudian lambat, cepat, lebih lambat, dan seterusnya. Sambil
menggerakan kita nilai tahananya. Dalam keadaan normal kita tidak
menemukan tahanan yang berarti, jika penderita dapat mengistirahatkan
ekstremitasnya dengan baik. Perlu diketahui bahwa ada orang yang normal
tidak mampu mengistirahatkan ekstremitasnya dengan baik, terutama anak
anak, sehingga kita mengalami kesulitan menilai tahanan (Lumbantobing,
2013).
d. Pemeriksaan gerakan aktif
Pada pemeriksaan ini kita nilai kekuatan (kontraksi) otot. Untuk memeriksa
adanya kelumpuhan, kita dapat menggunakan 2 cara berikut:
1) Pasien disuruh menggerakan bagian ekstremitas atau badannya dan kita
menahan gerakan ini .
2) Kita (pemeriksa) menggerakan bagian ekstremitas atau badan pasien dan
ia disuruh menahan.

3) Tenaga orang yang normal berbeda beda. Misalnya , tenaga seorang


atlit angkat besi jauh lebih kuat daripada tenaga seorang juru tulis Tidak
selalu mudah membedakan parase (lumpuh) ringan dari tidak ada parase.
Kita mungkin mendapat pertolongan dari beberapa hal berikut yaitu :
i.

Keluhan

pasien

(mungkin

ia

menggemukakan

tenaganya

brekurang).
ii.

Otot di bagian yang simetris tidak sama tenaganya.

iii.

Berkurangnya kelancaran gerakan. Parese ringan kadangkadang


ditandai oleh menurunya kelancaran gerakan.

iv.

Didapatkan gejala lain , misalnya : arefleksi, atrofi, hiperrefleksi,


dan reflek patologis.

4) Dalam praktek sehari hari , tenaga otot dinyatakan dengan mengunakan


angka dari 0-5. (0 berarti lumpuh sama sekali, dan 5 = normal)
(Lumbantobing, 2013):
0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot: lumpuh total
1 :Terdapat sedikit kontraksi otot , namun tidak didapatkan gerakan pada
persendian yang harus digerakan oleh otot tersebut .
2 : Didapatkan gerakan , tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya
berat (gravitasi)
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat
4 : Di samping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit
tahanan yang diberikan
5 : Tidak ada kelumpuhan (normal) .
e. Pemeriksaan koordinasi gerak
Koordinasi gerak terutama diatur oleh serebelum. Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa gangguan utama dari lesi di serebelum ialah adanya
dissinergia, yaitu kurangnya koordinasi. Artinya bila dilakukan gerakan
yang membutuhkan kerjasama antar otot, maka otot otot ini tidak bekerja
sama secara baik, walaupun tidak didapatkan kelumpuhan (Lumbantobing,
2013).
Selain itu, serebelum ikut berpartisipasi dalam mengatur sikap,
tonus, mengintegrasi dan mengkoordinasi gerakan somatik. Lesi pada

serebelum dapat menyebabkan gangguan sikap dan tonus, dissinergia atau


gangguan koordinasi gerakan (ataksia). Gerakan menjadi terpecah-pecah
dengan lain perkataan: kombinasi gerakan yang seharusnya dilakukan secaa
simultan (sinkron) dan harmonis, menjadi terpecah-pecah dan dilakukan
satu persatu kadang simpang siur. Dissinergia ialah kehilangan kemampuan
untuk melakukan gerakan majemuk dengan tangkas, harmonis dan lancar
(Lumbantobing, 2013).

Pemeriksaan sensibilitas
Sebelum kita melakukan pemeriksaan kita tanyakan dulu apakah
ada keluhan mengenai sensibilitas. Bila ada suruh ia menunjukan tempatnya
(lokalisasinya). Dari bentuk daerah yang terganggu dapat diduga apakah
gangguan bersifat sentral, periper, atau berbentuk dermatom . Daerah kulit
yang disarafi oleh akar posterior dan ganglionnya disebut dermatom
(Lumbantobing, 2013).
Perlu ditanyakan jenis gangguan, intensitasnya, apakah hanya
timbul pada waktu- waktu tertentu misalnya nyeri kalau dingin: dan juga
faktor-faktor yang dapat mencetuskan kelainan ini.Waktu melakukan
pemeriksaan perhatikan daerah-daerah kulit yang kurang merasa .sama
sekali tidak

merasa atau daerah yang bertambah perasaannya.

Bertambahnya perasaan dapat disebabkan oleh iritasi pada reseptor atau


serabut saraf atau karena fenomena pelepasan (release). Kata disestesia
digunakan untuk menyatakan adanya perasaan yang berlainan dari rangsang
yang diberikan, misalnya bila pasien diraba ia merasa seolah-olah dibakar
atau semutan. Kata parestesia merupakan perasaan abnormal yang timbul
spontan, biasanya ini berbentuk rasa- dingin, panas, semutan ditusuk- tusuk,
rasa, berat, rasa ditekan atau rasa gatal (Lumbantobing, 2013).
Pada pemeriksaan sensibilitas eksteroseptif, perlu diperiksa
rasa raba, rasa nyeri, dan rasa suhu. Pemeriksaan rasa raba. Sebagai
perangsang dapat digunakan sepotong kapas, kertas atau kain dan ujungnya
diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya tekanan atau pembangkitan
rasa nyeri. Periksa seluruh tubuh dan bandingkan bagian-bagian yang

simetris. Thigmestesia berarti rasa raba halus. Bila rasa raba ini hilang
disebut thigmanestesia (Lumbantobing, 2013).
1) Pemeriksaan rasa nyeri.
Rasa nyeri dapat dibagi atas rasa-nyeri-tusuk dan rasa- nyeritumpul: atau rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lamban.Bila kulit ditusuk
dengan jarum kita rasakan nyeri yang mempunyai sifat tajam, cepat
timbulnya dan cepat hilangnya. Nyeri serupa ini disebut nyeri tusuk.
Rasa nyeri yang timbul bila testis dipijit. Ini disebut nyeri-lamban
(Lumbantobing, 2013).
Reseptor rasa- nyeri tidak mempunyai bentuk tertentu dan terdiri
dari serabut serabut saraf yang tidak berselubung, ia terdapat pada
epidermis kulit dan pada selaput lendir . Pada beberapa tempat jumlah
serabut-serabut ini lebih berdekatan daripada di tempat lain. Di lidah,
bibir, kemaluan dan ujung jari serabut-serabut ini lebih berdekatan
daripada di lengan atas, pantat dan badan. Hal ini mengakibatkan daerah
lidah, bibir dan ujung jari menjadi lebih perasa (Lumbantobing, 2013).
Rasa nyeri dapat dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya
dengan menusuk dengan jarum

memukul dengan benda tumpul,

merangsang dengan api atau hawa yang sangat dingin dan juga dengan
berbagai larutan kimia (Lumbantobing, 2013).
Dalam

praktek

sehari-hari

pemeriksaan

dilakukan

dengan

mengunakan jarum atau peniti . Tusukan hendaknya cukup keras


sehingga betul-betul dirasakan rasa- nyeri dan bukan rasa-disentuh atau
rasa-raba. Sebelumnya perlu diberitahukan kepada pasien bahwa yang
diperiksa ialah rasa-nyeri dan bukan rasa raba. Kita periksa seluruh
tubuh, dan bagian-bagian yang simetris dibandingkan, tusukan harus
sama kuat (Lumbantobing, 2013).
2) Pemeriksaan rasa suhu.
Ada dua macam rasa-suhu, yaitu rasa panas dan rasa dingin .
Rangsangan rasa-suhu yang berlebihan akan mengakibatkan rasa nyeri.
Rasa suhu diperiksa dengan mengunakan tabung reaksi yang diisi dengan
air es untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas. Penderita

disuruh mengatakan :dingin: atau :panas: bila dirangsang dengan tabung


reaksi yang berisi air dingin atau air panas.Untuk memeriksa rasa dingin
dapat digunakan air yang bersuhu sekitar 10-20 dearjatcelcius,dan untuk
panas yang bersuhu40-50 C. Suhu yang kurang dari 5 C dan yang lebih
dari 50 C dapat menimbulkan rasa-nyeri (Lumbantobing, 2013).
Kepekaan bagian-bagian tubuh terhadap rangsang suhu tidak
sama.Bagian dari badan dan bagian proksimal ekstremitas biasanya
kurang peka terhadap rasa-dingin, bila dibandingkan dengan bagian distal
ekstremitas (Lumbantobing, 2013).
Pada pemeriksaan rasa-suhu diperiksa seluruh tubuh dan
dibandingkan bagian-bagian yang simetris. Bagian yang simetris ini
harus diusahakan agar berada dalam kondisi yang sama, misalnya bagian
tersebut harus sama-sama baru dibuka dari penutupnya (pakaian) .
Jangan yang satu sudah lama terbuk a sedang yang satu lagi baru saja
dibuka penutupnya (Lumbantobing,2013).
3) Pemeriksaan rasa- gerak dan rasa-sikap
Biasanya rasa-gerak dan rasa-posisi diperiksa bersamaan. Ini
dilakukan dengan menggerakan jari-jari secara pasif dan menyelidiki
apakah pasien dapat merasakan gerakan tersebut serta mengetahui
arahnya Juga diselidiki derajat gerakan terkecil yang masih dapat
dirasakanya (Lumbantobing, 2013).
Pada orang normal ia sudah merasakan arah gerakan bila sendiinterfalang digerakan sekitar dua derajat atau 1 mm. Selain itu juga
diselidiki apakah ia tahu posisi dari jari-jarinya (Lumbantobing, 2013).
Pada gangguan yang ringan yang pertama terganggu ialah rasa
posisi jari, kemudian rasa-gerak. Selanjutnya.pada pemeriksaan rasagerak dan rasa-sikap ini kita gerakan bagian dari ekstremitas penderita. Ia
disuruh mengatakan pada posisi apa ekstremitasnya kita tempatkan.
Selama pemeriksaan , mata pasien dipejamkan atau ditutup. Badan dan
ekstremitas diistirahatkan dan dilemaskan.

Semua gerakan volunteer

dihindarkan. Waktu kita menggerakan bagian ekstremitas pasien.


misalnya jari kaki, kita harus memegang jari-jarinya pada bagian lateral.

Tujuannya

ialah

agar

pasien

tidak

dapat

menggunakan

rasa

eksteroseptifnya (rasa raba halus) untuk mengetahui arah gerakan


tersebut. Jari yang diperiksa diupayakan agar tidak bersentuhan dengan
jari lainnya, karena hal ini dapat dimanfaatkan pasien untuk menggetahui
arah gerakan dari sentuhan, apabila rasa-geraknya terganggu .Pasien juga
dilarang menggerakan jarinya secara aktif, sebab hal ini dapat pula
menolongnya untuk menggetahui posisi jarinya. Sambil memperhatikan
hal yang tersebut di atas,kemudian pasien disuruh menggatakan ya bila
ia merasakan suatu gerakan,kemudian ia disuruh pula menggatakan kea
rah mana gerakan tersebut, atas atau bawah. Rasa gerak dan rasa
posisi ini dapat pula diperiksa dengan jalan menepatkan jari penderita
pada suatu posisi, kemudian ia disuruh menggatakan posisi dari jari
tersebut atau ia di suruh menepatkan jari sisi lainya seperti posisi jari
yang kita periksa. Gerakan yang terkecil yang masih dapat dirasakan
ialah sekitar dua derajat (Lumbantobing, 2013).
4) Pemeriksaan rasa-getar.
Pemeriksaan

rasa-getar

biasanya

dilakukan

dengan

jalan

menepatkan garputala yang sedang bergetar pada ibu jari kaki, maleolus
lateral dan medial kaki , tibia, spina iliaka anterior superior, sakrum,
prosesus spinosus vertebra, sternum, klavikula, prosesus stiloideus radius
dan ulna dan jari-jari (Lumbantobing, 2013).
Sebelumnya perlu dijelaskan kepada pasien bahwa kita akan
memeriksa rasa-getar, dan bukan rasa-raba yang ditimbulkan oleh
ditempatkannya garputala atau bunyi garputala tersebut (Lumbantobing,
2013).
Biasanya garpu tala yang digunakan berfrekuensi 128 Hz. Garpu
tala kita ketok dan tempatkan pada ibu jari kaki atau tulang maleolus.
Pasien ditanya apakah ia merasa getarannya : dan ia disuruh
memberitahukan bila ia mulai tidak merasakan getarannya lagi. Bila
getaran mulai tidak dirasakan, garpu tala kita pindahkan ke pergelangan
atau stenum atau klavikula atau kita bandingkan dengan jari kaki kita
sendiri.Dengan demikian , kita dapat memeriksa adanya rasa-getar, dan

sampai

berapa

lemah

masih

dapat

dirasakan,dengan

jalan

membandingkan dengan bagian lain dari tubuh atau dengan rasa-getar


pemeriksa (Lumbantobing, 2013).

3. Anatomi Vaskularisasi Otak

Gambar 3. Vaskularisasi Otak. (Martini, 2012)

Dari jantung darah akan mengalir ke luar melalui aorta. Dari aorta,
darah akan masuk ke cabang a. brachiocephalica lalu masuk ke dalam
a.carotis communis. Arteri carotis communis memiliki dua cabang yaitu a.
carotis communis interna dan carotis communis eksterna. A. carotis
communis interna yang memvaskularisasi otak. A. carotis communis
interna, yang masuk melalui struktur canalis caroticum os. temporalis,
akan membentang secara horizontal ke bagian depan melalui sinus
cavernosus, lalu muncul pada medial processus clinoideus anterior dengan
menembus dura mater dan arachnoidea mater, dan masuk ke dalam

spatium subarachnoidea. Setelah itu ke arah posterior ke ujung medial


sulcus cerebri lateralis dan memiliki cabang yaitu a. cerebri media dan a.
cerebri anterior (Snell, 2010).
Cabang kortikal a. cerebri anterior memperdarahi seluruh
permukaan medial cortex cerebri di bagian posterior hingga mencapai
sulcus parietooccipitalis. Cabang-cabang tersebut juga memperdarahi
cortex cerebri pada permukaan lateral hemispherium cerebri yang
berdekatan. Dengan demikian, arteria cerebri anterior memperdarahi area
tungkai gyrus precentralis. Cabang sentralis a. cerebri anterior menembus
sekelompok substansia perforata anterior dan membantu memperdarahi
bagian-bagian nukleus lentiformis, nukleus kaudatus, dan kapsula interna
(Snell, 2010).
Cabang kortikal a. cerebri media memperdarahi seluruh permukaan
lateral hemispherium cerebri, kecuali daerah pita sempit yang disuplai oleh
arteria cerebri anterior, polus occipitalis, dan permukaan inferolateral
hemispherium cerebri, yang diperdarahi oleh arteria cerebri posterior.
Dengan demikian, arteria ini memperdarahi seluruh daerah motorik,
kecuali area tungkai. Cabang sentral masuk ke substansia perforata
anterior dan memperdarahi nukleus lentiformis, nukleus kaudatus, dan
capsula interna (Snell, 2010).
Arteria basilaris yang terbentuk dari arteria vertebralis, juga
memperdarahi otak melalui a. cerebri posterior. Arteria cerebri posterior
melengkung ke arah lateral dan belakang di sekeliling mesencephalon,
kemudian bergabung dengan ramus communicans posterior arteriae
carotidis internae. Cabang kortikal memperdarahi permukaan inferolateral
dan medial lobus temporalis dan permukaan lateral dan medial lobus
occipitalis. Dengan demikian arteria cerebri posterior memperdarahi
korteks

visual.

Cabang

sentral

menembus

substansi

otak

dan

memperdarahi bagian- bagian thalamus dan nucleus lentiformis, serta


mesencephalon, glandula pinealis, dan corpus geniculatum medial (Snell,
2010).

Arteri-arteri tersebut bergabung membentuk Circulus Willisi, yang


terletak di dalam fossa interpeduncularis pada basis cranii. Sirkulus ini
dibentuk oleh anastomosis antara kedua arteria carotis interna dan kedua
arteria vertebralis. Arteria communicans posterior, a. cerebri anterior, a.
carotis interna, a. communicans posterior, a. cerebri posterior, dan a.
basilaris membentuk circulus ini. Circulus Willisi memungkinkan darah
yang masuk melalui a. carotis interna atau a. vertebralis dapat
memperdarahi semua bagian di hemispherium cerebri. Cabang-cabang
kortikal dan sentral berasal dari sirkulus dan memperdarahi jaringan otak
(Snell, 2010).

4. Glasgow Coma Scale (GCS) (Lumbantobing, 2012)


a. Refleks membuka mata (E)
(a) 4 : Membuka secara spontan
(b)3 : Membuka dengan rangsangan suar
(c) 2 : Membuka dengan rangsangan nyer
(d)1 : Tidak ada respon
b. Refleks verbal (V)
(a) 5 : Orientasi baik
(b)4 : Kata baik, kalimat baik, tapi isi percakapan membingungkan
(c) 3 : Kata-kata baik tapi kalimat tidak bai
(d)2 : Kata-kata tidak dapat dimengerti, hanya mengeran
(e) 1 : Tidak keluar suara
c. Refleks motorik (M)
(a) 6 : Melakukan perintah dengan benar
(b)5 : Mengenali nyeri lokal tapi tidak melakukaan perintah dengan benar
(c) 4 : Dapat menghindari rangsangan dengan tangan fleksi
(d)3 : Hanya dapat melakukan fleksi
(e) 2 : Hanya dapat melakukan ekstensi
(f) 1 : Tidak ada gerakan

Interpretasi :
Penderita yang sadar = Compos mentis 15, sedangkan penderita koma dalam,
GCS nya 3

5. Siriraj score (Tugasworo, 2000) :


(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x vomitus) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x
tekanan diastolic) (3 x petanda ateroma) 12
Interpretasi:
Skor > 1 : perdarahan supratentorial
Skor -1 sampai 1 : perlu CT scan
Skor < -1 : infark serebri
Keterangan:
Derajat kesadaran : 0 = komposmentis; 1 = somnolen; 2= spoor/ koma
Vomitus : 0 = tidak ada; 1 = ada
Nyeri kepala : 0 = tidak ada; 1 = ada
Ateroma : 0 = tidak ada; 1 = salah satu atau lebih (DM, angina, atau
penyakit pembuluh darah)
Skor didapatkan 2,5 ( stroke non hemoragik)

6. Perbedaan stroke hemoragik,non hemoragik


Tabel. 1 Perbedaan stroke hemoragik dan non hemoragik
Perbedaan

Strok hemoragik

Stroke non
hemoragik

Waktu serangan

Sedang aktif (beraktivitas)

Sedang istirahat
(misalnya tidur)

Tidak

Ada

Nyeri kepala

Sangat berat

Ada, tapi hanya ringan

Kejang

Ada

Tidak

Muntah

Ada

Tidak

Penurunan kesadaran

Ada, sangat berat sampai

Kadang ada, tapi

(karena peningkatan

koma

kadang tidak ada

Tanda dan gejala sebelum


serangan (misalnya
kesemutan)

tekanan intracranial)
Bradikardi

Sangat nyata

Tidak nyata

Udem papil

Ada

Tidak

Kaku kuduk

Ada

Tidak

Tanda kernig, dan

Ada

Tidak

brudzinski I dan II

7. Definisi Stroke
Menurut World Health Association (WHO), stroke merupakan suatu
gangguan fungsi otak akibat gangguan peredaran darah otak, yang terjadi
secara mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam, dengan tanda dan gejala
klinik fokal maupun global dan dapat menyebabkan kematian (Aggarwal et al.,
2010). Adapula definisi lain yang menyebutkan bahwa stroke merupakan suatu
defisit neurologis mendadak yang disebabkan oleh iskemia atau hemoragik
sirkulasi saraf (Martono dan Kuswandari, 2009). Secara garis besar, dari
banyak definisi yang ada lebih menekankan bahwa stroke merupakan
gangguan fungsi otak yang disebabkan terganggu/terhambatnya sirkulasi darah
yang memperdarahi otak dan terjadi secara mendadak.
Gangguan sirkulasi darah otak banyak disebabkan oleh iskemia atau
terhambatnya sirkulasi darah ke otak. Selain itu bisa juga disebabkan oleh
perdarahan atau hemoragik. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan sel-sel otak
menjadi nekrosis karena tidak mendapat nutrisi dan oksgien. Nekrosis pada selsel otak dapat menyebabkan otak kehilangan fungsinya, sesuai bagian mana
yang terkena (Aggarwal et al., 2010). Disamping itu jika sudah terjadi
kematian otak, maka sel-sel yang telah mati tidak dapat diobati lagi (Martono
dan Kuswandari, 2009).

8. Epidemiologi
Stroke merupakan salah satu penyakit major yang dapat menyebabkan
kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Pada awal tahun
1970 hingga awal tahun 1990, telah tercatat jumlah penderita stroke mencapai
1,5 sampai 2,4 juta orang. Di negara barat seperti Amerika, stroke merupakan
penyebab kematian terbesar ke-3 setelah penyakit jantung dan kanker. Di

Inggris stroke merupakan penyebab kematian terbesar ke-2 setelah infark


miokard akut. Penderita stroke di Amerika tercatat sebanyak 200.000 hingga
500.000 pertahunnya yang sebagian besar disebabkan oleh iskemik (Aggarwal
et al., 2010).
Insidensi stroke pada usia 75-84 tahun lebih besar 10 kali lipat dari
insidensi pada usia 55-64 tahun. Selain dari segi usia, risiko terkena stroke
pada pria 1,25 kali lebih berisiko dibanding wanita. Namun seiring dengan
proses menua, wanita semakin memiliki peluang yang sama dengan pria untuk
terkena stroke, dikarenakan adanya penurunan fungsi tubuh. Selain dari segi
gender dan usia, ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena
stroke dibading ras kulit putih (Aggarwal et al., 2010).

9. Klasifikasi Stroke
Berdasarkan penyebabnya stroke dibagi menjadi stroke hemoragik
(perdarahan) dan stroke non hemoragik (iskemik).
a.

Stroke non hemoragik


Stroke jenis ini merupakan stroke yang lebih banyak terjadi
dibanding akibat perdarahan. Sekitar 80% penyebab stroke adalah
disebabkan oleh iskemia. Pada dasarnya stroke jenis ini disebabkan oleh
adanya oklusi pembuluh darah yang akibatnya aliran darah dapat
terganggu dan organ di distalnya tidak mendapatkan perfusi. Oklusi atau
sumbatan itu dapat dikarenakan thrombosis akibat plak atherosklerosis
arteri otak, atau suatu emboli yang berasal dari luar pembuluh darah otak
yang tersangkut di pembuluh darah otak. Penyebab lain dapat dikarenakan
adanya syok atau hipovolemia atau akibat penyakit lain (Martono dan
Kuswandari, 2009).
Beberapa contoh stroke non hemoragik yaitu:
1) Infark cerebri karena trombosis (Brain infarction due to cerebral
thrombosis)
Pada stroke jenis ini tidak ditemui sakit kepala hebat, terjadi secara
akut, kadang terjadi sewaktu tidur, kadang disertai defisit neurologis
fokal yang bertahap dan progresif, kadang-kadang sekali atau bahkan

sangat sedikit ditemui gangguan kesadaran. Dapat ditemui riwayat TIA


(transient ischemic attack). Kadang ditemukan pula hipertensi, IHD dan
diabetes (Aggarwal et al., 2010).
Dapat ditemukan infark otak pada pemeriksaan necropsy dan CTScan, atau pada CT-Scan menunjukan lesi otak melalui kriteria klinis
stroke terpenuhi (Aggarwal et al., 2010).
2) Embolic brain infarction
Stroke ini terjadi secara mendadak, dapat terjadi defisit neurolois
dalam beberapa menit. Tidak ada penurunan kesadaran. Sebagaimana
ifark otak akibat thrombosis, maka sumber embolus harus terdeteksi.
Asal embolus yang paling banyak berasal dari aritmia (atrial flutter dan
fibrilasi), valvular heart disease (mitral) dan adanya infark miokard akut
yang baru (kurang lebih 3 bulan) (Aggarwal et al., 2010).

b.

Stroke hemoragik
Stroke ini lebih jarang terjadi dibanding akibat iskemia. Stroke
akibat perdarahan merupakan 20% peyebab dari stroke. Perdarahan yang
terjadi dapat dikarenakan oleh pecahnya pembuluh darah, yang biasanya
terdapat mikro aneurisma dari Charcot atau etat crible di otak. Perdarahan
tersebut dapat terjadi

di ruang subdural,

subarachnoid maupun

intraserebral (Martono dan Kuswandari, 2009).


Beberapa contoh stroke hemoragik yaitu :
1) Perdarahan sub arachnoid (Subarachnoid Haemorrhage)
Gejala : Ditandai dengan sakit kepala hebat hingga dapat tak sadarkan
diri yang berlangsung mendadak. Dapat ditemukan tanda-tanda iritasi
meningeal (leher kaku, Kernig dan Brudzinskisigns). Defisit neurologis
fokal biasanya tidak ditemukan (Aggarwal et al., 2010).
Pemeriksaan penunjang:
Necropsy

: Ditemukannya perdarahan subarachnoid yang baru terjadi,

dan aneurysm atau malformasi arteriovenosus.


CT-Scan

: Ditemukannya darah di fissura sylvii atau antara lobus

frontalis atau pada basal cisterna atau pada ventrikel cerebral.

: Terdapat sel darah merah >2000 rbc/cm3.

CSF

2) Perdarahan intracerebral (Intracerebral haemorrhage)


Biasanya terjadi secara mendadak dan disaat sedang melakukan
aktivitas. Dapat menjadi koma, jarang disertai perdarahan (hemorrhage)
dan tidak disertai gangguan kesadaran (Aggarwal et al., 2010).
Pada pemeriksaan CSF terkadang tetapi tidak selalu berdarah atau
xanthochromic. Kadang disertai dengan hipertensi berat, untuk melihat
apakah ada perdarahan harus dilakukan CT-Scan atau necropsy
(Aggarwal et al., 2010).
Selain

dibagi

berdasarkan

penyebabnya,

stroke

juga

dapat

diklasifikasikan berdasarkan stadium atau pertimbangan waktu, yaitu :


1) Transient Ischaemic Attack (TIA)
TIA merupakan serangan stroke yang berlangsung sementara, yang
biasanya terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam namun
tidak lebih dari 24 jam (Wang et al., 2013).
2) Reversible Ischemic Neurologic Defisit (RNID)
Merupakan gejala neuroligis yang akan menghilang antara >24 jam
hingga 21 hari (Wang et al., 2013).
3) Stroke-in-evolution
Yaitu suatu keadaan kelainan atau defisit neurologis yang terjadi dari
yang ringan hingga menjadi yang berat secara bertahap (Wang et al.,
2013).
4) Completed stroke
Yaitu suatu kelainan neurologis yang sudah menetap dan bersifat
ireversibel (Wang et al., 2013).

10.

Etiologi
Beberapa penyebab stroke diantaranya :
1. Trombosis.
a. Aterosklerosis
b. Vaskulitis : arteritis temporalis, poliarteritis nodosa.
c. Robeknya arteri : karotis, vertebralis (spontan atau traumatik).

d. Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati (penyakit sel sabit).


2. Embolisme.
a. Sumber di jantung : fibrilasi atrium (tersering), infark miokardium,
penyakit jantung reumatik, penyakit katup jantung, katup prostetik,
kardiomiopati iskemik.
b. Sumber tromboemboli aterosklerosis di arteri : bifurkasio karotis
komunis, arteri vertrebralis distal.
c. Keadaan hiperkoagulasi : kontrasepsi oral, karsinoma.
3. Vasokonstriksi.
a. Vasospasma serebrum setelah peradarahan subaraknoid.

11.

Patogenesis
Aterosklerosis adalah radang pada pembuluh darah yang
disebabkan penumpukan plak ateromatous. Proses peradangan yang terjadi
pada dinding pembuluh darah yang terjadi dengan beberapa fase. Pada
fase awal terjadi disfungsi endotel dengan degradasi ikatan dan struktur
mosaik, sehingga memungkinkan senyawa yang terdapat di dalam plasma
darah seperti LDL untuk menerobos dan mengendap pada ruang sub
endotel akibat peningkatan permeabilitas. Endapan tersebut dengan
perlahan akan mengecilkan penampang pembuluh darah dalam rentang
waktu decade (Jan, 2005).
Keberadaan makrofag pada arteri intima memiliki peran yang
sangat vital bagi perkembangan aterosklerosis, dengan sekresi beragam
sitokin yang mempercepat pathogenesis ini. Hasil studi menunjukkan
bahwa guratan aterosklerosis adalah senyawa fatty streak yang terdiri dari
foam cell, sejenis makrofag yang kaya akan lipid, yang disebut ateroma.
Guratan ateroma akan berkembang menjadi plak fibrous yang terdiri dari
lipid yang tertutup oleh sel otot halus dan kolagen (Janice et al, 2007).
Proses penutupan mula-mula berjalan lambat, namun dengan penumpukan
keping darah dan fibrin, proses ini akan berkembang lebih cepat seiring
dengan mekanisme fibrotik yang bergantung thrombosis (Jan, 2005).

Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi


klinik

dengan

cara

menyempitkan

lumen

pembuluh

darah

dan

mengakibatkan insufisiensi aliran darah, oklusi mendadak pembuluh darah


karena terjadinya trombus atau peredaran darah aterom, atau menyebabkan
dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang kemudian
dapat robek (Janice et al, 2007).
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah
besar (termasuk system arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk
sirkulus Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang
paling sering adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada
daerah distribusi dari arteri karotis interna (Trent et al, 2011).
Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi
aliran darah. Energi yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan neuronal
berasal dari metabolisme glukosa dan disimpan di otak dalam bentuk
glukosa atau glikogen untuk persediaan pemakaian selama 1 menit. Bila
tidak ada aliran darah lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar,
bila lebih dari 2 menit aktifitas jaringan otak berhenti, bila lebih dari 5
menit maka kerusakan jaringan otak dimulai, dan bila lebih dari 9 menit
manusia dapat meninggal (Hinkle et al, 2007).
Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa
yang diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi
penurunan Na+ K+ ATP-ase, sehingga membran potensial akan menurun
(Jan, 2005). K+ berpindah ke ruang ekstraselular, sementara ion Na dan
Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi
lebih negative sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal
depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila menetap terjadi
perubahan struktural ruang menyebabkan kematian jaringan otak. Keadaan
ini terjadi segera apabila perfusi menurun dibawah ambang batas kematian
jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 10 ml / 100
gram / menit (Hinkle et al, 2007).
Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan
gangguan fungsi enzim-enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya

asidosis menimbulkan edema serebral yang ditandai pembengkakan sel,


terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena
itu terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari
tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah iskemik (Maas, 2009).

12.

Penegakan diagnosis
Penegakkan Diagnosis (Martono, 2009) :
a. Anamnesis

: pada gejala terjadi tiba-tiba, jarang terjadi

nyeri kepala, tidak ada kejang, tidak ada muntah, kesadaran masih
baik, tidak ada bradikardi, dan nilai Sirirajs score adalah < -1.
b. Pemeriksaan fisik

: ditemukan reflek patologis

c. Pemeriksaan laboratorium: dilakukan untuk mencari etiologi dan


sering dilakukan pemeriksaan GDS dan profil lipid
d. Pemeriksaan penunjang :

menggunakan

CT-Scan

untuk

Gold

Standard. Pada stadium awal (6 jam pertama), tidak ditemukan


kelainan pada CT-Scan hingga 4 hari tampak gambaran lesi hipodens
dan batas tidak tegas. Pada fase lanjut, densitas akan semakin
menurun, batas semakin tegas dan bentuk semakin sesuai dengan area
pembuluh darah yang tersumbat. Untuk fase akhir, akan terlihat sangat
jelas daerah yang hipodens.

13.

Patofisiologi Stroke Non-Hemoragik

Skema 1. Patofisiologi Stroke Non Hemoragik (Sidharta, 2004)

Skema 2. Patofisiologi Hipertrofi Ventrikel Karena Kejadian Stroke (Panggabean,


2007)
a. Kenaikan Tekanan Darah
Merupakan upaya kompensasi untuk mengejar kekurangan pasoka
darah di tempat lesi. Namun tidak perlu diturunkan karena akan turun
sendiri pada 48 jam (pada 220/130). Pada pasien hipertensi kronik
sekalipun tidak perlu diturunkan segera (Martono, 2009).
b. LVH
LVH berkaitan dengan hipertensi melibatkan banyak faktor
hemodinamik seperti: beban tekanan, volume, denyut jantung yang
berlebihan dan peningkatan kontraktilitas dan tahanan perifer. Selain itu,
usia, jenis kelamin, ras, obesitas, aktifitas fisik, kadar elektrolit dan
hormonal mempengaruhi. Sehingga jantung yang mendapat tambahan
beban hemodinamik akan mengalami kompensasi melalui proses :
mekanisme kompensasi Frank Starling, meningkatkan massa otot jantung
dan aktifasi mekanisme neurohormonal baik sistem simpatis atau melalui
hormon renin angiostensin (Panggabean, 2007).

Skema 3. Patofisiologi Terjadinya Pelo (Sidharta, 2004)

Lesi yang terjadi pada kapsula interna misalnya karena perdarahan


atau iskemik dapat mengenai serabut pyramidal dan nonpiramidal karena
letaknya berdekatan. Traktus kortikolbulbar juga dapat terkena sehingga
terjadi paresis nervus fasialis dan mungkin disertai paresis nervus
hipoglosus tipe sentral. Paresis tidak terjadi pada nervus lainnya karena

nervus motorik lainnya mendapatkan persarafan bilateral dari kedua


hemisfer (Baehr, 2010).
Paresis sentral yang terkena pada nervus fasialis tipe sentral akan
menyebabkan paralisis otot- otot wajah bagian bawah kontralateral
sedangkan lesi pada LMN sisi wajah pada sisi lesi akan lumpuh. Hal ini
disebabkan karena otot bagian atas wajah menerima serabut saraf dari
kedua hemisfer sedangkan pada bagian wajah hanya dipersarafi saraf dari
sisi kontralateral (Snell, 2007). Pada kasus diatas terjadi iskemik pada
kapsula interna kiri berarti merusak serabut kortikonuklearis (UMN) yang
menuju

nucleus

motorik

nervus

fasialis

sehingga

menyebabkan

kelumpuhan pada otot wajah bawah pada sisi kanan sehingga wajah
tertarik ke sisi kiri yang sehat
Paresis yang mengenai nervus hipoglosus pada UMN akan
menyebabkan lidah berdeviasi ke sisi yang berlawanan dengan lesi
sedangkan lesi yang mengenai LMN lidah akan berdeviasi kearah lesi.
Nervus hipoglosus mempersarafi otot intrinsik lidah, m styloglossus,m
hyoglossus, m genioglossus, hampir semua otot lidah dipersarafi bilateral
dari dua hemisfer kecuali m genioglosus yang menarik lidah ke depan
hanya dipersarafi oleh saraf kontralateral (Snell, 2007). Pada kasus
kapsula interna kiri yang terkena iskemik sehingga menyebabkan paresis
tipe sentral pada lidah yang menyebabkan terjadinya kelumpuhan pada m
genioglosus kanan sehingga pada saat lidah dijiulurkan maka akan
berdeviasi ke kanan yang akhirnya mengganggu artikulasi sehingga
meyebabkan pelo / disatria.

Gambar 4. Paresis pada nervus fasialis

Gambar 5. Paresis pada nervus hipoglosus

14.

Tata laksana
Penatalaksanaan stroke non-hemoragik (Tugasworo, 2000):
Prinsip penatalaksanaan stroke memiliki 3 tujuan, yaitu:
a. Mencegah cedera otak akut dengan memulihkan perfusi ke daerah iskemik
non infark.
b. Memperbaiki cedera otak.
c. Mencegah cedera neurologik lebih lanjut dengan melindungi sel didaerah
penumbra iskemik dari kerusakan lebih lanjut oleh jenjang glutamat.
Penatalaksanaan umum pasien stroke:
a. Aktifitas
Bed rest dibutuhkan untuk penghematan energi dan menurunkan
metabolisme, sehingga tidak meningkatkan metabolisme otak yang
akan memperburuk kerusakan otak. Kepala dan tubuh atas dalam
posisi 300 dengan bahu sisi yang lemah diganjal bantal.
b. Perawatan
Prinsip 5 B, yaitu:
1. Breathing (pernapasan)
a. Mengusahakan agar jalan napas bebas dari segala hambatan,
baik akibat hambatan yang terjadi akibat benda asing ataupun
sebagai akibat strokenya sendiri.
b. Melakukan oksigenasi.
2. Blood (tekanan darah)
a. Mengusahakan otak tetap mendapat aliran darah yang cukup.
b. Jangan melakukan penurunan tekanan darah dengan cepat pada
masa akut karena akan menurunkan perfusi ke otak.
3. Brain (fungsi otak)
a. Mengatasi kejang yang timbul.
b. Mengurangi edema otak dan tekanan intrakranial yang tinggi.
4. Bladder (kandung kemih)
Memasang kateter bila terjadi retensi urin.
5. Bowel (pencernaan)
a. Mengupayakan kelancaran defekasi.

b. Apabila tidak dapat makan per oral, maka dipasang NGT.


c. Medikasi
Pada pasien stroke non hemoragik:
1. Neuroprotektif
Neuroprotektif untuk mempertahankan fungsi jaringan yang dapat
dilakukan dengan cara hipotermia dan atau obat neuroprotektif.
a. Hipotermia
Cara kerja metode ini adalah menurunkan metabolisme dan
kebutuhan oksigen sel- sel neuron. Dengan demikian, neuron
terlindung dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia
berkepanjangan atau eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat
jenjang glutamat yang biasanya timbul setelah cedera sel
neuron.
b. Obat neuroprotektif
Obat ini berfungsi untuk menurunkan metabolisme neuron,
mencegah pelepasan zat- zat toksik dari neuron yang rusak,
atau memperkecil respon hipereksitatorik yang merusak dari
neuron- neuron di penumbra iskemik yang mengelilingi daerah
infark pada stroke. Jenis obat neuroprotektif, antara lain
antagonis kalsium, anatagonis glutamat, dan antioksidan.
2. Trombolisis
Trombolisis dapat membatasi atau memulihkan iskemia akut yang
sedang berlangsung (3-6 jam pertama), misalnya dengan rt-PA
(recombinant tissue- plasminogen). Pengobatan ini hanya boleh
diberikan pada stroke iskemik dengan onset kurang dari 3 jam dan
hasil CT scan normal.
3. Antikoagulasi
Antikoagulasi untuk mencegah terjadinya gumpalan darah dan
embolisasi trombus dan untuk penderita yang mengalami kelainan
jantung, namun memiliki efek samping trombositopenia.
4. Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau
iskemia miokard. Bila fibrilasi atrium respons cepat, maka dapat

diberikan digoksin 0,125- 0,5 mg intravena atau verapamil 5-10


mg intravena atau amidaron 200 mg drips dalam 12 jam.
5. Tekanan darah yang tinggi pada stroke iskemik tidak boleh
diturunkan dengan cepat karena akan memperluas infark dan
perburukan neurologist. Aliran darah yang meningkat akibat
tekanan perfusi otak yang meningkat bermanfaan bagi daerah otak
yang mendapat perfusi marginal (penumbra iskemik). Tetapi
tekanan darah terlalu tinggi, dapat menimbulkan infark hemoragik
dan memperhebat edema serebri.
Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada 3 kali
pengukuran selang 15 menit:
a) Sistolik > 220 mmHg
b) Diastolik > 120 mmHg
c) Tekanan arteri rata- rata >140 mmHg
d. Nutrisi
1. Mengontrol edem serebri dengan pembatasan cairan atau
penggunaan manitol.
2. Pada 24 jam pertama diberikan cairan emergensi intravena dan
selanjutnya diberikan cairan kristaloid atau koloid sesuai
kebutuhan.
3. Pasien gangguan menelan atau gangguan kesadaran diberikan
makanan cair melalui pipa nasogastrik (NGT).
4. Jumlah total kalori pada fase kut 25 kkal/kgBB/hari dengan
komposisi lemak 30-35%, protein 1,2-1,5 gr/kgBB/hari dan atau
sesuai keadaan.
e. Observasi Umum dan Tanda Vital
Observasi neurologis dan tanda vital secara rutin pada 24-48 jam
pertama dengan tujuan mengetahui sejak awal komplikasi medis atau
neurologis yang dapat menambah morbiditas dan mortalitas stroke.

f. Terapi
1. Fisioterapi
a. Mobilisasi untuk mencegah deep vein thrombosis (DVT)
maupun kompikasi pulmonal.
b. Pasien imobil latihan ruang lingkup sendi untuk mencegah
kontraktur.
c. Fisioterapi dada, fungsi menelan, dan berkemih.
2. Terapi wicara
Terapi wicara harus dilakukan sedini mungkin pada pasien afasia
dengan stimulasi sedini mungkin, terapi komunikasi, terapi aksi
visual, terapi intonasi melodik, dan sebagainya.
3. Depresi
Depresi diobati sedini mungkin dengan obat antidepresi yang tidak
mengganggu fungsi kognitif.
g. Edukasi
Pemberian edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai stroke,
sehingga dapat mengendalikan factor- factor resiko yang dapat
mencetuskan timbulnya stroke berulang.

15. Evaluasi, Monitoring, dan Prognosis Stroke Non Hemoragik


a. Monitoring dan evaluasi
Pasien stroke perlu dilakukan monitoring dan evaluasi, agar tidak
bertambah parahnya penyakit dan tidak terjadi penyulit-penyulit atau
komplikasi lain yang dapat membahayakan nyawa pasien. Hal ini
dikarenakan komplikasi sistemik yang terjadi seringkali lebih berbahaya
dibanding stroke. Beberapa contoh hal yang perlu dimonitor dan evaluasi
adalah tekanan darah, gula darah, keadaan kardiorespi, dan lain
sebagainya.
1) Tekanan darah.
Pada saat terjadi stroke akut sering terjadi peningkatan tekanan darah,
yang merupakan mekanisme kompensasi tubuh saat ada bagian otak
yang mengalami hipoperfusi. Tekanan darah yang meningkat tersebut

dapat menjadi normal dalam 2-3 hari. Oleh karena itu peningkatan
tekanan darah pada hari-hari pertama tidak perlu dikoreksi, kecuali
pada tekanan darah yang sangat tinggi/emergency ( contohnya pada
tekanan darah >220 mmHg/ >130 mmHg). Pada tekanan darah yang
tinggi ini, penurunan tekanan darah juga tidak boleh terlalu cepat
karena dapat menyebabkan beberapa organ menjadi iskemik. Hal ini
dikarenakan pada saat terjadi tekanan darah yang sangat tinggi ini,
beberapa organ terutama otak dapat melakukan autoregulasi, yang
artinya organ seperti telah membiasakan diri dengan tekanan darah
tersebut. Sehingga jika dilakukan penurunan tekanan darah secara
cepat, dapat menyebabkan gangguan metabolik, yang justru dapat
memperparah keadaan. Penurunan tekanan darah tidak boleh lebih dari
25%, berarti tekanan darah dapat diturunkan menjadi kira-kira 160/90
mmHg. Jika ingin memberikan obat dengan cara titrasi, maka
pemberian obat dianjurkan menggunakan labetalol/urapidil/nitropusid
atau nitrogliserin intravena atau dapat juga captopril oral (Martono dan
Kuswandari, 2009).
2) Gula darah
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa pada hari-hari awal
stroke dapat terjadi peningkatan kadar gula darah. Kadar gula darah
yang terlalu tinggi dapat membahayakan otak, oleh karena itu perlu
dilakukan penurunan kadar gula darah senormal mungkin. Bila perlu
dapat dilakukan pemberian insulin dengan pompa syringe (Thibaut et
al., 2013).
3) Keadaan kardiorespirasi
Keadaan kardiorespirasi perlu dipantau dengan baik, dikarenakan
komplikasi pada sistem-sistem ini dapat menyebabkan kematian. Oleh
karena itu bila ditemukan komplikasi pada sistim ini, perlu dilakukan
tindakan pengobatan (Thibaut et al., 2013).

4) Keadaan ginjal dan hepar


Keadaan kedua organ ini juga perlu dimonitoring, terutama jika pasien
memang sudah memiliki penyakit pada salah satu atau kedua organ ini
(Martono dan Kuswandari, 2009).

5) Emboli paru dan/atau trombus vena dalam


Kedua keadaan ini sering sebagai komplikasi dari struk, namun dapat
dihindari dengan pemberian hidrasi yang cukup dan mobiliasi dini
secara aktif maupun pasif (Thibaut et al., 2013).

16. Pemeriksaan dan gambaran CT SCAN


Pemeriksaan CT SCAN (Lucas, 2008) :

Gambar 6. CT Scan Penderita Stroke Iskemik (area hypodens)

Gambar 7. CT Scan Penderita Stroke Hemoragik

Gambar 8. Stroke Hemoragik (hiperdens yang batas tegas)

Gambar 9. CT Scan Pada Tumor Otak

Pada umumnya akan tampak sebagai lesi abnormal yang mendesak


struktur otak. Pada umumnya ditemukan jaringan udem yang terlihat jelas karena
densitasnya lebih rendah. Adanya kalsifikasi, perdarahan atay invasi mudah
dibedakan dengan jaringan sekitarnya karena sifatnya yang hiperdens.

Hiperintensita
s ;Signal
patchy

Gambar 10. CT Scan Pada Encepalitis

Gambar 11. Gambaran hasil foto ct-Scan normal yang memperlihatkan perbedaan
densitas (udara, lemak, soft tissue dan tulang)

DAFTAR PUSTAKA

Aggarwal, A., Parveen Aggarwal, Mamta Khatak dan Sunil Khatak. 2010.
Cerebral Ischemic Stroke: Sequels of Cascade. International Journal of
Pharma and Bio Sciences. Vol. 1, Issue 3.
American Heart Association (AHA) dan American Stroke Association (ASA).
2012. Stroke, TIA and Warning Sign. Dapat diunduh di :
http://www.heart.org/idc/groups/stroke
public/@wcm/@hcm/@sta/documents/downloadable/ucm_309532.pdf
, (terakhir diakses pada tanggal 7 Maret 2014).
Baehr, Mathias., Frotscher, Michael., alih bahasaL Alifa Dimanti. 2012.
Diagnosis Topik Neurologi Duus: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala
Edisi 4. Jakarta: EGC
Betz, Cecily L., dan Linda A.S. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta:
EGC.
Hinkle, JL. Guanci, MM. 2007. Acute Ischemic Stroke Review. J Neurosci Nurs ;
39
Jan, S. 2005. Trombosis of Cerebral Vein and Sinuses. N Engl J Med ; 352:1791-8
Janice L, Hinkle, Mary MK. 2007. Acute Ischemic Stroke Review. J Neurosci
Nurs ;
Jauch, Edward C. 2014. Ischemic Stroke. Update: Mar 3, 14. Available at:
www.medscape.com#ischemic+stroke
Liporace, Joyce., Bahra, Anish., Cikurel, Katia. 2006. Crash Course: Neurology.
Philadelphia: Elsevier Inc
Lucas, Enrique Marco de., Sanchez, Elena., Gutierrez, Agustin., Mandly, Andres
Gonzalez. 2008. CT Protocol fro Acute Stroke: Tips and Tricks for
General Radiologists. Radiological Society of North America. October
2008; Volume 28, Issue 6.
Lumbantobing, Prof.DR.dr.S.M. 2013. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan
Mental. Jakarta: FKUI
Maas, MB. Safdieh, JE. 2009. Ischemic Stroke: Pathophysiology and Principles
of Localization. Neurology Board Review Manual. Journal of
Neurology; 13(1): 2-16
Mardjono, Mahar., Priguna S. 2012. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat

Martini, F. H., Judi, L. N., Edwin, F. B. 2012. Fundamentals of Anatomy and


Physiology 9th Edition. San Francisco: Pearson Education, Inc.
Martono, Hadi. 2009. Strok dan Penatalaksanaannya Oleh Internis dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Panggabean, Marulam M. 2007. Gagal Jantung dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Interna Publishing
Sidharta, Priguna. 2004. Stroke dalam Buku Neurologi Klinis Dalam Praktek
Umum. Jakarta: Dian Rakyat
Snell, R. S. 2010. Clinical Neuroanatomy 7th Edition. USA: Lippincott Williams
and Wilkins
Thibaut, Aurore, Camille Chatelle, Erik Ziegler, Marie-Aure Lie Bruno, Steven
Laureys, et al., 2013. Spasticity After Stroke: Physiology, Assessment
and Treatment. Brain Injury Vol. 1, No. 13.
Tugasworo, D. 2000. Kecepatan Aliran Darah Arteri Serebri Media
pada Penderita Stroke Non-Hemoragik. Semarang: FK Undip.
Virzara,Auryn. 2012. Mengenal dan Memahami Stroke. Yogyakarta: Katahati.
Wang, Y., Yilong Wang, Xingquan Zhao, Liping Liu, David Wang, et al., 2013.
Clopidogrel with Aspirin in Acute Minor Stroke or Transient Ischemic
Attack. The New England Journal of Medicine.

Vous aimerez peut-être aussi