Vous êtes sur la page 1sur 16

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

Analisis Stratigrafi Berdasarkan Data Log


Alva Kurniawan
Depertemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2013
alvakurniawan@live.co.uk

Abstraksi
Analisis stratigrafi berdasarkan data log merupakan kunci untuk eksplorasi dan eksplotasi
sumberdaya geologi terutama airtanah dan petroleum. Karya ilmiah ini disusun untuk
menjelaskan tentang bagaimana analisis stratigrafi dengan menggunakan data log dilakukan.
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data gamma ray (GR) dan spontanous potential
(SP) dari sumur EM Price River Coal. Interpretasi dilakukan dengan melihat pola pada kurva GR
dan SP kemudian dilakukan analisis stratigrafi untuk melihat reservoar potensial.
Kata kunci: analisis, data, log, stratigrafi

1. Pendahuluan
Airtanah

dan

petroleum,

merupakan

sumberdaya

geologi

yang

keberadaannya berkaitan erat dengan stratigrafi dan proses sedimentasi (Bjrlykke,


2010; Fetter, 2001; Hiscock, 2005). Eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya geologi
tersebut memerlukan analisis stratigrafi agar diperoleh hasil optimum. Analisis
stratigrafi secara umum dilakukan dengan menggunakan data log di hampir
sebagian besar basin di seluruh dunia (Campion, 2011). Interpretasi data log
menjadi metode utama dalam mengembangkan kerangka kerja stratigrafi yang
digunakan untuk pemetaan dan prediksi reservoar (Campion, 2011). Karya ilmiah
ini disusun untuk menjelaskan tentang bagaimana analisis stratigrafi dengan
menggunakan data log dilakukan.

2. Logging dan Data Log


a. Pengertian Logging dan Data Log
Logging atau downhole merupakan penentuan sifat fisika pada material
yang ada pada sekeliling lubang bor (Sheriff, 2002). Lubang bor disebut juga
sebagai borehole atau lebih umum disebut sebagai sumur (well). Data yang
diperoleh dari hasil logging pada sumur disebut sebagai data log atau well log
(Sheriff, 2002).
1|P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

Data log merupakan kurva yang diperoleh dari pengukuran lubang bor
(logging) yang menggambarkan variasi sifat batuan (Boggs, 2006) yang bisa
digunakan untuk interpretasi geologi (Catuneanu, 2006), misalnya resistivitas,
transmisivitas gelombang sonic, serta emisi material radioaktif pada batuan.
Variasi dari sifat batuan tersebut menunjukkan perubahan litologi, mineralogi,
kandungan fluida, porositas (Boggs, 2006), dan korelasi stratigrafi (Catuneanu,
2006).
Berdasarkan Boggs (2006), data log yang sering digunakan secara umum
adalah Electric Log, Gamma Ray Log, Sonic Log, dan Formation Density Log.
Electric Log merupakan data log yang berisi sifat kelistrikan dari batuan.Gamma
Ray Log merupakan data log yang berisi radiasi gamma alami pada batuan. Sonic
Log merupakan data log yang berisi variasi kecepatan suara saat menembus
batuan.

Formation Density Log merupakan data log yang berisi porositas,

litologi, geokimia, serta magnetisme batuan. Tipe data log, sifat yang diukur,
satuan dan interpretasi geologi secara lebih detail dideskripsikan oleh
Catuneanu (2006) pada Gambar 1.

Gambar 1. Deskripsi tipe data log, sifat yang diukur, satuan, dan interpretasi gelogi
(Catuneanu, 2006)

b. Interpretasi Data Log


Interpretasi data log dilakukan dengan korelasi data log dan data bor
(Boggs, 2006; Catuneanu, 2006; Van Wagoner et al., 1990). Jika korelasi sudah
didapatkan maka data geofisika pada area sekitar lubang bor bisa diinterpretasi
2|P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

berdasarkan data bor yang ada dengan tingkat kesalahan yang bisa ditolerir.
Contoh korelasi adalah saat pengeboran diperoleh lapisan air asin dan data log
pada lapisan tersebut menunjukkan nilai resistivitas yang rendah, pada sekitar
lubang bor tersebut berdasarkan pengukuran geofisika diperoleh lapisan yang
memiliki nilai resistivitas yang rendah pada kedalaman yang sama maka lapisan
tersebut bisa diinterpretasi sebagai lapisan air asin (Boggs, 2006). Contoh lain
dari interpretasi data log adalah pada sumur diperoleh bahwa pasir memiliki
gamma ray yang rendah, sedangkan lempung memiliki gamma ray yang tinggi,
pengukuran geofisika pada area disekeliling sumur menunjukkan nilai gamma
ray yang rendah sehingga bisa diinterpretasi bahwa daerah tersebut tersusun
oleh material pasir (Middleton, 2003).

Gambar 2. Korelasi gamma ray (GR) dan data bor (Van Wagoner et al., 1990)

3|P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

3. Parameter Analisis Stratigrafi pada Data Log


a. Stacking pattern
Stacking pattern atau disebut juga sebagai arsitektur merupakan susunan
spasial dari komponen individual pada sekumpulan massa batuan di suatu
kompleks massa batuan (Miall, 1985; dalam Middleton, 2003).
stacking

pattern

merupakan

produk

dari

perubahan

Siklus dari

sistematis

rasio

accomodation space dan suplai sedimen (Van Wagoner et al., 1990; Sonnenfeld &
Cross, 1993; Sonnenfeld, 1996; dalam Middleton, 2003).
Pada dasarnya terdapat tiga macam stacking pattern (Van Wagoner et al.,
1990; dalam Middleton, 2003) yaitu progradasi, retrogradasi, dan agradasi
(Gambar 3). Progradasi adalah stacking pattern yang terbentuk saat
accomodation space < dari suplai sedimen. Retrogradasi merupakan stacking
pattern yang terbentuk saat accomodation space > suplai sedimen. Agradasi
adalah stacking pattern yang terbentuk saat accomodation space = suplai
sedimen.

Gambar 3. Suplai Sedimen vs Accomodation Space (Middleton, 2003)


4|P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

b. Flooding Surface, Maximum Flooding Surface, dan Sequence Boundary


Flooding surface adalah lapisan yang menggambarkan terjadinya
peningkatan accomodation space secara tiba-tiba dengan terjadinya genang laut
(Boggs, 2006; Middleton, 2003). Flooding surface dicirikan dengan banyaknya
kandungan lempung, berkurangnya kandungan debu, banyak fauna laut dalam
dan nutrien organik (Middleton, 2003). Flooding surface yang berurutan
membentuk batas yang disebut parasequence (Van Wagoner, 1985; Van Wagoner
et al., 1988; dalam Van Wagoner et al., 1990; Middleton, 2003). Flooding surface
dengan lapisan yang paling tebal dari serangkaian flooding surface yang ada
disebut sebagai maximum flooding surface (Middleton, 2003). Maximum flooding
surface menunjukkan kondisi genang laut tertinggi yang dicirikan dengan
endapan tegal dari sekuen yang padat (Selley, 2000). Sequence boundary
merupakan lapisan yang menggambarkan terjadinya pengurangan accomodation
space secara tiba-tiba dengan terjadinya surut laut (Middleton, 2003). Sequence
boundary dicirikan oleh lapisan subaerial unconformity yaitu material berbutir
lebih kasar misalnya pasir dan debu pasiran yang mengendap diatas lapisan
berbutir halus atau lempung (Middleton, 2003).

Gambar 4. Sequence Boundary (subaerial unconformity) dan maximum flooding surfaces


(Catuneanu, 2006)
5|P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

c. System tracts
System tracts merupakan unit stratigrafi genetis yang menggabungkan
strata yang terdeposisi dalam suatu sistem sedimen dispersal yang serempak.
Sistem sedimen dispersal merupakan sistem yang menggambarkan bagaimana
sedimen terdistribusi dalam basin berada dalam kondisi stabil selama proses
sedimentasi beralngsung. Sistem tracts dibatasi oleh stacking pattern yang
spesifik, berkaitan erat dengan perubahan garis pantai, dan respon sedimen
akibat interaksi antara suplai sedimen, fisiografi, energi pengendapan, dan
perubahan accomodation space (Catuneanu, 2006).
System tracts terbagi menjadi empat yaitu low stand (sedimen terdeposisi
pada kondisi surut laut hingga awal genang laut mulai terjadi), transgressive
(sedimen terdeposisi saat proses genang laut terjadi), high stand (sedimen
terdeposisi pada kondisi genang laut), dan shelf-margin systems tracts (sedimen
terdeposisi saat terjadi proses surut laut) (Vail, 1987; Vail, 1988; Posamentier et
al., 1988; dalam Catuneanu, 2006; Boggs, 2006). System tracts tersebut
didefinisikan

berdasarkan

fluktuasi

eustasi.

Saat

faktor

tektonika

dipertimbangkan bersama dengan faktor fluktuasi eustasi (dua faktor tersebut


mencerminkan perubahan relatif muka air laut), system tracts didefinisikan
menjadi dua tipe yaitu tipe 1 dan tipe 2 (Catuneanu, 2006). Tipe 1 menunjukkan
sekuen yang tersusun oleh lowstand-transgressive-highstand sedangkan tipe 2
menunjukkan sekuen yang tersusun oleh kombinasi shelf-margin-transgressivehighstand (Catuneanu, 2006). Tipe 1 terbentuk saat kecepatan surut laut >
kecepatan subsidensi pada tepi paparan (shelf edge). Tipe 2 terbentuk saat
kecepatan surut laut < kecepatan subsidensi pada tepi paparan (shelf edge).
Gambar 5. Tipe
system tract dengan
mempertimbangkan
fluktuasi esutasi
dan tektonika
(Catuneanu, 2006)

6|P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

d. Reservoar Potensial
Potensi batuan terdapatnya lapisan yang menjadi reservoar pada suatu
stratigrafi ditinjau dari dua aspek yaitu aspek hidrogeologi dan aspek petroleum.
Kedua aspek tersebut melihat prospek sumberdaya geologi dalam sudut
pandang yang berbeda walaupun kedua aspek tersebut memiliki kriteria yang
sama tentang reservoar yang baik (Selley, 2000). Kriteria lapisan batuan yang
merupakan reservoar yang potensial dari sudut pandang hidrogeologi dan
petroleum adalah lapisan porus dan permabel atau memiliki porositas dan
permeabilitas yang tinggi (Bjrlykke, 2010; Fetter, 2001; Hiscock, 2005). Kedua
sudut pandang tersebut berbeda saat berkaitan dengan proses pengisian fluida
dalam lapisan batuan tersebut.
Berdasarkan sudut pandang hidrogeologi, sumber airtanah dapat
terbentuk saat dibawah lapisan yang porus dan permeabel terdapat suatu
lapisan impermeabel (impervious rock) yang menahan air agar tidak mengalami
perkolasi (Fetter, 2001; Hiscock, 2005; Selley, 2000). Menurut pandangan
petroleum, sumber petroleum dapat terbentuk saat diatas lapisan yang porus
dan permeabel terdapat suatu lapisan impermeabel (cap rock/seal rock) yang
menahan petroleum agar terjebak dan terakumulasi serta tidak lepas ke
permukaan (Bjrlykke, 2010; Selley, 2000). Stacking pattern yang menunjukkan
progradasi merupakan reservoar yang potensial bagi petroleum karena
mengakomodir terbentuknya cap rock, sedangkan stacking pattern yang
retrogradasi

merupakan

reservoar

potensial

bagi

airtanah

karena

mengakomodir terbentuknya impervious rock (Selley, 2000).

4. Spesifikasi Data Log yang Digunakan dan Metode Interpretasi


Data log yang digunakan adalah data gamma ray (GR) dan spontanous
potential (SP) dari SOLAR (System of Log Analysis Reseources). Nama sumur adalah
EM Price River Coal, lokasi sumur di Utah, USA; kedalaman logging pada sumur
hingga 400 feet (Gambar 6). Interpretasi dilakukan dengan melihat pola kurva GR
dan SP. Pola kurva GR digunakan untuk mengetahui tingkat kandungan shale,
sedangkan pola kurva SP digunakan untuk mengetahui zona impermeabel dan zona
permeabel (Asquith & Gibson, 1982). Semakin besar nilai GR, pola kurva akan
semakin melengkung ke arah kanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa material
7|P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

memiliki sifat yang semakin mendekati material shale. Semakin kecil nilai GR, pola
kurva akan semakin melengkung ke arah kiri yang berarti material memiliki sifat
yang mendekati material pasir atau karbonatan (Asquith & Gibson, 1982). Pola
kurva SP yang lurus menunjukkan bahwa material adalah shale sedangkan pola SP
yang mengalami defleksi (defleksi negatif maupun positif) menunjukkan bahwa
terdapat zona permeabel (Asquith & Gibson, 1982). Interpretasi data log ini
menggunakan asumsi bahwa resistivitas dari mud filtrate jauh lebih besar dari
resistivitas air formasi (Rmf >>> Rw) karena tidak tersedianya data perbandingan
antara resistivitas mud filtrate (Rmf) dan air formasi (Rw).

Gambar 5. Data Log dari SOLAR pada sumur EM Price River Coal, Utah, USA.

8|P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

5. Interpretasi Data Log


Berdasarkan data log, pada kedalaman 400 hingga 380 ft, pola kurva GR
tampak memiliki kecenderungan melengkung ke arah kanan. Pada kedalaman 380
hingga 225 ft kurva GR secara perlahan menunjukkan kecenderungan melengkung
ke arah kiri. Kecenderungan pola tersebut berubah menjadi pola yang dominan
melengkung ke arah kiri pada kedalaman 200 hingga 90 ft. Pada kedalaman 90
hingga 50 ft pola kurva GR berubah menjadi cenderung melengkung ke arah kiri
namun pada kedalaman 50 hingga 0 ft pola kurva GR berubah kembali menjadi
cenderung melengkung ke arah kanan. Mengacu pada Asquith & Gibson (1982),
maka pola kurva GR diatas dapat diinterpretasi bahwa saat pola kurva GR
melengkung ke kiri material yang dominan memiliki sifat yang mendekati pasir atau
karbonatan (coarse material), sedangkan saat pola kurva GR melengkung ke kanan
maka material yang dominan memiliki sifat mendekati shale atau fine material.
Interpretasi SP pada data log didasarkan juga pada Asquith & Gibson (1982).
Pada kedalaman 400 hingga 380 ft pola kurva SP menunjukkan defleksi positif. Pada
kedalaman 380 hingga 200 ft kurva SP tampak tidak menunjukkan defleksi yang
signifikan. Mulai kedalaman 200 hingga 75 ft defleksi baik positif maupun negatif
terjadi pada kurva SP. Defleksi tersebut mulai tampak tidak signifikan pada
kedalaman 75 hingga 20 ft namun pada kedalaman kurang dari 20 ft terjadi defleksi
positif yang signifikan. Saat defleksi terjadi pada kurva SP menunjukkan bahwa
material memiliki kecenderungan bersifat permeabel sedangkan saat defleksi tidak
terjadi secara signifikan maka material cenderung bersifat impermeabel.
Kurva GR dan SP memiliki hubungan yang erat dimana interpretasi dari
masing-masing kurva memberikan gambaran sifat lapisan yang saling melengkapi
satu dengan yang lain. Pada kedalaman 400 hingga 380 terdapat lapisan berbutir
halus yang permeabel yang ditunjukkan oleh kurva GR yang melengkung ke kanan
dan adanya defleksi pada kurva SP. Pada kedalaman 380 hingga 200 ft, terdapat
defleksi yang tidak signifikan yang menunjukkan bahwa lapisan merupakan zona
impermeabel. Pada kedalaman tersebut kurva GR memperlihatkan kecenderungan
melengkung ke arah kanan sehingga material dominan adalah shale. Pada
kedalaman 380 hingga 200 ft kurva SP yang terbentuk dapat dikatakan sebagai shale
baseline. Mulai kedalaman 200 hingga 75 ft defleksi terjadi baik secara positif
maupun negatif, kurva GR menunjukkan dominasi lengkungan ke arah kiri. Hal
9|P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

tersebut dapat memberikan gambaran bahwa pada kedalaman 200 hingga 75 ft,
material yang dominan adalah material berbutir kasar dan permeabel. Pada
kedalaman 75 ft hingga 20 ft defleksi pada kurva SP secara tidak signikan kembali
terjadi yang menunjukkan material yang cenderung bersifat impermeabel. Data dari
kurva GR

memperlihatkan kecenderungan material yang berbutir halus pada

kedalaman 75 hingga 20 ft yang tampak dari pola kurva GR yang melengkung ke


kanan. Pola kurva GR pada kedalaman kurang dari 20 ft melengkung ke arah kiri
bersamaan dengan defleksi yang terjadi pada kurva SP. Pola tersebut memberikan
gambaran bahwa terdapat material berbutir kasar yang permeabel. Secara lebih
detail hasil interpretasi dari kurva GR dan SP tampak pada gambar 6.

6. Analisis Stratigrafi pada Data Log


a. Pembagian dan Representasi Unit Litologi
Unit litologi pada data hasil interpretasi data log secara umum
dikelompokkan dalam dua unit utama yaitu unit material berbutir kasar dan unit
material berbutir halus. Batas dari material berbutir kasar dan halus adalah shale
baseline. Agar analisis yang dicapai lebih detail maka unit tersebut dibagi lagi
menjadi 4 yaitu unit material berbutir kasar (UMBK), unit material berbutir
sedang (UMBS), unit material berbutir halus (UMBH), dan unit material berbutir
sangat halus (UMSH) (Gambar 6). Zona bagian kanan dan bagian kiri dari shale
baseline juga dibagi masing-masing menjadi 2 bagian untuk membatasi unit
litologi yang lebih detail. Sifat permeabilitas ditunjukkan dengan menggunakan
kode i dan p. Kode i menunjukkan bahwa material impermeabel, sedangkan kode
p menunjukkan bahwa material permeabel.

b. Stacking Pattern
Stacking pattern dari hasil interpretasi data log (Gambar 6) terbagi
menjadi 5 fase dari lapisan bawah ke lapisan atas yaitu fase retrogradasi
(bawah), progradasi (bawah), aggradasi, retrogradasi (atas), progradasi (atas).
Fase retrogradasi yang pertama atau retrogradasi bawah terjadi paling tua dan
dicirikan oleh terbentuknya endapan berbutir sangat halus dan berbutir halus
yang tebal pada kedalaman 400 hingga 360 ft. Fase selanjutnya adalah fase
progradasi yang dicirikan oleh terendapkannnya material yang memiliki trend
10 | P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5


Gambar 6. Hasil Interpretasi Data Log dari SOLAR pada sumur EM Price River Coal, Utah, USA.

11 | P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

ukuran butir semakin besar. Fase ini terjadi pada kedalaman 360 hingga 215 ft.
Fase selanjutnya adalah fase agradasi dimana terbentuk perselingan endapan
material berbutir kasar dan berbutir sedang dengan trend ketebalan yang sama
pada kedalaman 215 hingga 75 ft. Fase retrogradasi kedua (atas) terjadi dengan
terbentuknya perselingan endapan dengan butir sedang hingga sangat halus
pada kedalaman 75 ft hingga 40 ft. Fase progradasi atas yang merupakan fase
akhir terjadi dengan terbentuknya endapan material berbutir sedang hingga
kasar pada kedalaman kurang dari 40 ft.

c. Flooding Surface, Maximum Flooding Surface, dan Sequence Boundary


Flooding surface (FS) yang merupakan penciri terjadinya penambahan
accomadation space secara tiba-tiba diperoleh pada 7 kedalaman yang berbeda
pada data log (Gambar 6). Flooding surface yang pertama terdapat pada
kedalaman 320 ft yang dicirikan oleh perubahan besar butir material dari
ukuran halus menjadi sangat halus. Flooding surface yang kedua terdapat pada
kedalaman 265 ft yang dicirikan oleh kontak antara material berbutir sedang
dan material berbutir halus. Flooding surface yang ketiga, keempat, dan kelima
terdapat pada kedalaman 220 ft, 155 ft, 90 ft, ketiganya juga dicirikan oleh
kontak antara material berbutir sedang dan material berbutir halus. Flooding
surface keenam dan ketujuh berada pada kedalaman 70 ft dan 46 ft, keduanya
dicirikan oleh perubahan ukuran butir material dari ukuran halus menjadi
sangat halus.
Maximum flooding surface (MFS) pada data log terdapat pada kedalaman
380 ft (Gambar 6). Maximum flooding surface dicirikan dengan lapisan paling
tebal material berukuran sangat halus pada data log ini. Tebalnya lapisan
material berukuran sangat halus menunjukkan terjadinya kondisi arus yang
sangat tenang dan stabil yang terjadi pada kondisi saat kondisi genang laut
maksimum.
Sequence boundary pada data log terdapat pada kedalaman 310 ft dan 40
ft (Gambar 6). Sequence boundary dicirikan oleh hilangnya tipe endapan berbutir
sangat halus yang terdapat pada kedalaman 375 ft dan endapan berbutir sangat
halus yang kembali muncul pada kedalaman 40 ft. Pada kedalaman 375 hingga
40 ft stacking pattern tampak dimulai dengan retrogradasi dan ditutup oleh
12 | P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

retrogradasi. Pola tersebut menunjukkan suatu sekuen sehingga sequence


boundary ditentukan berada pada kedalaman 375 ft dan 40 ft.

d. System tracts
System tracts pada data log dari bawah ke atas terdiri atas high stand,
shelf-margin (bawah), low stand, transgressive, dan shelf-Margin (atas) (Gambar
6). High stand terdapat pada kedalaman 400 hingga 365 ft, endapan yang
terbentuk adalah material berbutir sangat halus dan material berbutir halus,
dengan dominasi material berbutir sangat halus yang tebal. Terbentuknya
endapan berbutir sangat halus yang tebal menunjukkan kondisi arus yang
tenang yang tercapai saat pengendapan terjadi pada kondisi genang laut. Shelfmargin bagian bawah terdapat pada kedalaman 365 hingga 310 ft. Terbentuk
endapan berbutir halus yang tebal dengan sisipan endapan berbutir sedang dan
endapan berbutir sangat halus. Terbentuknya endapan tersebut menunjukkan
bahwa proses surut laut mulai terjadi dengan mulai terbentuknya endapan
berbutir sedang dan mulai menipisnya endapan berbutir sangat halus. Low stand
terdapat pada kedalaman 310 hingga 70 ft. Terdapat perselingan endapan
berbutir kasar hingga halus dengan ketebalan yang bervariasi dengan trend
dominasi dari material berbutir sedang hingga kasar. Terdapatnya endapan
tersebut menunjukkan kondisi bahwa endapan terbentuk pada saat surut laut.
Transgressive terbentuk pada kedalaman 70 hingga 40 ft. Hal tersebut
dicirikan dengan terbentuknya perselingan tipis dari material berbutir sedang
hingga sangat halus, dengan trend ke arah material yang semakin berukuran
halus. Perselingan yang tipis ke arah material yang lebih halus menunjukkan
bahwa material terendapkan pada saat proses genang laut mulai terjadi. Shelfmargin bagian atas terdapat pada kedalaman kurang dari 40 ft yang dicirikan
oleh perselingan tipis material dengan besar butir sangat halus hingga kasar,
dengan trend ke arah material yang berbutir lebih kasar. Trend ke arah material
yang berbutir kasar dengan lapisan perselingan yang tipis menunjukkan kondisi
pengendapan material saat proses surut laut mulai terjadi.

13 | P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

e. Reservoar Potensial

Airtanah
Berdasarkan analisis data log (Gambar 6) reservoar potensial untuk
air tanah terbagi menjadi 2 yaitu reservoar untuk airtanah dangkal (shallow
groundwater/SGW)

dan

reservoar

untuk

airtanah

dalam

(deep

groundwater/DGW). Reservoar airtanah dangkal (SGW) terdapat pada


kedalaman 0 hingga 10 feet. Reservoar tersebut dicirikan oleh terdapatnya
defleksi kurva SP yang mencerminkan lapisan yang permeabel dan ukuran
butir material yang kasar. Lapisan material dibawah dengan kedalaman 1071 ft menjadi lapisan impervious rock (IR) yang menahan agar airtanah tidak
mengalami perkolasi lebih dalam. Konfigurasi reservoar airtanah dimana
lapisan permeabel berada diatas lapisan impermeabel menunjukkan ciri tipe
unconfined aquifer (Delleur, 1999).
Reservoar untuk airtanah dalam (DGW) terdapat pada kedalaman 71
hingga 205 ft. Reservoar tersebut dicirikan oleh perselingan material
berbutir kasar hingga halus. Reservoar tersebut berada diantara dua lapisan
impervious rock, yaitu lapisan impervious rock di kedalaman 10-71 ft dan
impervious rock pada kedalaman 205-310 ft. Konfigurasi aquifer yang
demikian menunjukkan ciri tipe confined aquifer. Dari segi kualitas dan
kuantitas confined aquifer jauh lebih unggul dari unconfined aquifer sehingga
reservoar pada kedalaman 71 hingga 205 memiliki nilai ekonomis yang lebih
tinggi dibandingkan reservoar pada kedalaman 0 hingga 10 ft.

Petroleum
Reservoar yang baik menurut kriteria petroleum terdapat pada lebih
dari 390 ft (Gambar 6). Reservoar tersebut dicirikan oleh defleksi kurva SP
yang menunjukkan terdapatnya lapisan yang permeabel. Lapisan permeabel
tersebut terletak dibawah lapisan impermeabel yang tebal yang sangat cocok
menjadi cap rock (CR). Selain itu berdasarkan stacking pattern lapisan
dibawah 400 ft kemungkinan memiliki pola retrogradasi dengan lapisan
berbutir sangat halus yang tebal dan permeabel. Melihat kenampakan secara
menyeluruh stacking pattern pada data log maka dapat diperkirakan bahwa
dibawah lapisan dengan pola retrogradasi terdapat lapisan progradasi yang
14 | P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

mungkin berukuran butir sedang ke halus dan dibawah lapisan progradasi


kemungkinan terdapat lapisan retrogradasi dengan berbutir sangat halus.
Lapisan terakhir dapat menjadi source rock petroleum bagi lapisan
progradasi dan retrogradasi diatasnya sehingga berdasarkan stacking pattern
yang ada kedalaman prospektif petroleum berada pada lebih dari 390 ft.

7. Kesimpulan dan Penutup


a. Kesimpulan
Proses sedimentasi yang membentuk stratigrafi dapat dianalisis melalui
data log. Pada data sumur EM Price River Coal, Utah, USA, hasil interpretasi GR
dan SP menunjukkan bahwa material penyusun berbutir kasar lebih dominan
dibandingkan material berbutir halus. Stacking pattern menunjukkan dinamika
deposisi yang didominasi oleh progradasi hal tersebut ditunjukkan dengan
dominasi material yang berbutir kasar serta maximum flooding surface yang
berada pada lapisan bagian bawah. Endapan berbutir sangat halus yang menjadi
sequence boundary juga menunjukkan bahwa secara umum dinamika yang
terjadi adalah progradasi yang ditunjukkan oleh endapan berbutir sangat halus
yang menipis pada sequence boundary bagian atas jika dibandingkan sequence
boundary pada bagian bawah. Perselingan lapisan yang tipis menunjukan bahwa
pengendapan berlangsung dalam kondisi yang tidak stabil sedangkan
perselingan lapisan yang tebal menunjukkan bahwa pengendapan berlangsung
pada kondisi yang stabil. Potensi material menjadi reservoar minyak terdapat
pada zona dengan kedalaman > 390 ft sedangkan potensi material menjadi
aquifer yang ekonomis terdapat pada zona dengan kedalaman 71 hingga 205 ft.

b. Data Lain yang Dibutuhkan


Hasil penelitian dalam karya ilmiah ini memerlukan tambahan data dan
penelitian lebih lanjut untuk melengkapi, menyempurnakan, atau bahkan
menyanggah hasil penelitian ini. Tambahan data yang diperlukan antara lain:

Data perbandingan nilai resistivitas mud filtrate (Rmf) dan air formasi (Rw),
data ini sangat berguna untuk membantu interpretasi data SP agar lebih

akurat.
Data borcore untuk korelasi dengan data GR dan SP.
15 | P a g e

Masyarakat Ilmu Bumi Indonesia, 2014, Vol 1/E-5

Data biostratigrafi untuk menentukan umur batuan dalam kaitannya dengan


petroleum sources.

c. Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih kepada Ir. Budianto Toha, M.Sc. yang telah berkenan
untuk sharing data log yang digunakan sebagai sumber data utama untuk
penelitian ini.

8. Daftar Pustaka
Asquith, G. B., & C. R. Gibson. (1982). Basic Well Log Analysis for Geologist. Oklahoma:
AAPG.
Bjrlykke, K. (2010). Petroleum Geoscience: From Sedimentary Environment to Rock
Physics. Oslo: Springer.
Boggs, S. Jr. (2006). Principles of Sedimentology and Stratigraphy, 4th Edition. New
Jersey: Pearson Prentice Hall.
Campion, K. (2011). Strategies for Well Log Correlation within a Sequence
Stratigraphic Framework: Is the Gain Worth the Pain?. Recovery, CSPG CSEG
CWLS Convention, p. 1-5.
Catuneanu, O. (2006). Principles of Sequence Stratigraphy. Amsterdam: Elsevier.
Delleur, J. W. (1999). The Handbook of Groundwater Engineering. Boca Raton: CRC
Press LCC.
Fetter, C. W. (2001). Applied Hydrogeology, 4th Edition. New Jersey: Pearson Prentice
Hall.
Hiscock, K. M. (2005). Hydrogeology, Principles and Practice. Oxford: Blackwell
Publishing.
Middleton, G. V. (2003). Encyclopedia of Sediments and Sedimentary Rocks. Boston:
Kluwer Academic Publishers.
Selley, R. C. (2000). Applied Sedimentology. San Diego: Academic Press.
Sheriff, R. E. (2002). Encyclopedic Dictionary of Applied Geophysics. Houston: SEG.
Van Wagoner, J. C., & R. M. Mitchum, K. M. Campion, V. D. Rahmanian. (1990).
Siliciclastic Sequence Stratigraphy in Well Logs, Cores, and Outcrops: Cncept for
High Resoluiton of Time and Facies. Oklahoma: AAPG.

16 | P a g e

Vous aimerez peut-être aussi