Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
I.1 Epidemiologi
Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang
kembali muncul and menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di negara maju.
Salah satu di antaranya adalah TB. World health organization memperkirakan bahwa
sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan
angka tertinggi di Afrika, Asia, dan Amerik Latin.
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di
negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah
satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang
maupun di negara maju. Ada tiga hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah
tahun 1990, yaitu perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV, dan pertumbuhan
populasi yang tepat.
1.1.1 Prevalens
Morbiditas dan Mortalitas
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per
tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261
kasus TB anak berusia <15 tahun, 63 % di antaranya berusia <5 tahun. Pada survei
nasional di Inggris dan Wales yang berlangsung selama setahun pada tahun 1983,
didapatkan bahwa 452 anak berusia <15 tahun menderita TB (MRCT-CDU, 1988). Dari
Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 (tahun 1983-1993) didapatkan 171
kasus TB anak usia <15 tahun. Di negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun
adalah 15 % dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju, angkanya lebih rendah,
yaitu 5-7 %.
Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta
kasus baru TB anak, dan 450.000 anak usia <15 tahun meninggal dunia karena TB.
Kasus baru diperkirakan akan meningkat setiap tahun, dari 7,5 juta kasus (143 kasus per
100.000 penduduk) pada tahun 1990, menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000
penduduk) pada tahun 1995, menjadi 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk
pada tahun 2000, dan akan mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005.
Total insidens TB selama 10 tahun, dari tahun 1990-1999, diperkirakan
sebanyak 88,2 juta penyandang TB, 8 juta di antaranya berhubungan dengan infeksi
HIV. Pada tahun 2000 terdapat 1,8 juta kematian akibat TB, 226.000 di antaranya
berhubungan dengan HIV.
Selama tahun 1985-1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-44
tahun (54,5%) diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), and 5-12 tahun (38,1%). Pada tahun
2005, diperkirakan kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya terjadi di
negara berkembang.
Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia 0-4 tahun
adalah 19%, sedangkan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Di Asia Tenggara, selama 10
tahun, diperkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta, 8% di antaranya (2,8
juta) diserti infeksi HIV. Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki perigkat ketiga
dalam kasus baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1
juta kasus). Sebanyak 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia <15 tahun.
Peningkatan kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh
begbagai hal, yaitu: (1) diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) program
penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi
penduduk, (6) mengobati sendiri (self treatment), (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8)
pelayanan kesehatan yang kurang memadai.
Tuberkulosis pada anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang
karena jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40-50% dari seluruh populasi.(Gambar
1.1.1)
terinfeksi oleh M. tuberculosis dalam kurun waktu satu tahun. ARTI dapat diperkirakan
bila dilakukan survei tuberkulin berulang di suatu populasi pada waktu yang berbeda.
Survei tersebut dilaksanakan dengan teknik yang sama, pada sekelompok subyek yang
belum mendapat vaksinasi BCG dengan usia yang sama.
Bila sistem surveilans tidak dapat dilakukan untuk mendeteksi dan pelaporan
insidens kasus, maka ARTI merupakan teknik yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
mengetahui besarnya infeksi TB. Berdasarkan survey yang dilakukan pada tahun 2004,
rata-rata prevalensi kasus BTA positif diperkirakan 104 per 100.000 penduduk. Namun
dengan membaginya berdasarkan durasi penyakit, insiden dari kasus BTA positif
menjadi 96 per 100.000 penduduk. Hasil penelitian uji tuberkulindi beberapa negara
berkembang telah dipakai untuk memperkirakan besarnya ARTI. ARTI di negara-negara
Afrika daerah Sub-Sahara berkisar antara 1,5% sampai 2,5% disusul oleh negara-negara
Asia Selatan dan Asia Timur sebesar 1% sampai 2%, sedangkan Afrika Utara, Timur
Tengah dan Amerika Tengah dan Latin, diperkirakan ARTI antara 0,5% dan 1,5 %. Pada
tahun 1990 diperkirakan 1,7 miliar orang (sekitar sepertiga populasi dunia) terinfeksi
oleh M. tuberculosis, sebagian besar dari mereka ada di negara berkembang.
(Raviglione dkk, 1995). Pada tahun 2006 dilakukan penelitian untuk mengetahui angka
ARTI pada anak yang dilakukan di Sumatera barat . Berdasarkan pengamatan pada anak
yang memiliki skar BCG dengan 16 mm sebagai cut off point dari permeriksaan
tuberkulin didapatkan angka prevalensi infeksi (95%
sehingga didapatkan nilai ARTI sebesar 1%. Diestimasikan untuk setiap 1% ARTI, ratarata menunjukan 96 kasus BTA positif TB per 100.000 populasi.
I.1.2 Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak. Mfaktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko
infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).
I.1.2.1 Risiko infeksi TB
Faktor terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang
dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan
yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum
(panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB
dewasa aktif.
Sumber infeksi TB pada anak terpentying adlah pajanan terhadap orang dewasa
yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti, bsayi dari seorang ibu dengan
BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut
dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik
(droplet nuclei) yang infeksius.
Resiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika
pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infitrat luas atau kavitas pada
lobus atas, produksi sputum banyak dan ecer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat
faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
Pasien TB anak jarang menularankan kuman pada anak lain atau orang dewasa
disekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret
endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut.
Pertama, jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena
imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan
sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer
biasanya terjadi di daerah paremkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi
produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya
eseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada
TB anak.
I.1.2.2 Risiko Sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit
TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak berusia <5 tahun mempunyai risiko
lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas seluralnya
belum berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang
secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada bayi yang terinfeksi TB,
43%nya akan menjadi sakit TB, pada anak usia 1-4 tahun, yang menjadi sakit hanya
24%, pada usia remaja 15 %, dan pada dewasa 5-10%. Anak berusia <5 tahun memliki
risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB),
dengan angka morboditas dan mortalitas tinggi. Risiko tertinggi terjadinya progresivitas
dari infeksi menjadi sakit TB adalah selama 1 tahun pertama setelah infeksi, terutama
selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan
timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut.
Faktor risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi
uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir. Faktor risiko lainnya
adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan,
transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi), diabetes militus, dan gagal ginjal
kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB adalah status
sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunia, pengangguran,
pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayana masyarakat. Di negara
maju, migrasi penduduk termasuk menjadi faktor risiko, sedangkan di Indonesia hal ini
belum menjadi masalah yang berarti. Faktor lain yang mempunyai risiko terjadinya
penyakit TB adalah virulensi dari M. tuberculosis dan dosis infeksinya. Akan tetapi,
secara klinis hal ini sulit untuk dibuktikan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, keadaan imunokompromais merupakan salah
satu faktor risiko penyakit TB. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun
sehingga kuman TB yang dorman mengalami aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan AIDS
menyebabkan peningkatan pelaporan TB secara bermakna di beberapa negara. Di
perkirakan risiko terjadinya sakit TB pada pasien HIV dengan tuberkulin positif adalah
7-10% per tahun , dibandingkan dengan pasien non-HIV yang risiko terjadinya sakit
Tbadalah 5-10% selama hidupnya. Pada tahun 1990, 4,6% kematian akibat TB
disebabkan oleh HIV dan dipekirakan akan meningkat menjadi lebih dari 14% pada
tahun 2000. Angka kejadian TB yang telah menurun pada awal abad ke-20 kembali
meningkat pada akhir tahun 1980. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya
epidemi HIV dan resistensi multiobat(Multi Drug Resistance = MDR), bahkan sekarang
sudah terjadi resistensi obat yang ekstrim (Extreme Drug Resistance = XDR). Secara
ringkas risiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat dilihat pada Tabel 1.1.1.
Tabel 1.1.1 Risiko Sakit Tuberkulosis pada Anak yang Terinfeksi Tuberkulosis
Risiko sakit
TB Diseminata
Primer (tahun)
Tidak Sakit
TB Paru
<1
50 %
30 40 %
(milier, meningitis)
10 20 %
12
75 80 %
10 20 %
25%
25
95 %
5%
0.5 %
5 10
98 %
2%
< 0.5 %
> 10
80 90 %
10 20 %
< 0.5 %
*Catatan:
1.
2.
Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis regional (3).
3.
TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadi penyebaran hematogen, terbentuknya
kompleks primer dan imunitas selular spesifik, hingga pasien mengalami infeksi TB dan dapat
menjadi sakit TB primer.
4.
Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa melalui proses
reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi ( infeksi sekunder dan seterusnya) oleh kuman
TB dari luar (eksogen).
10
11
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah terinfeksi TB. Tuberkulosis
sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan
ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah ter
infeksi primer. Sebagian besar menifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama,
terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada Tahun
pertama setelah diagnosis TB.
Secara ringkas risiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat dilihat pada
Tabel 1.2.2.
Tabel 1.2.1 Risiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis
Risiko sakit
TB Diseminata
Primer (tahun)
Tidak Sakit
TB Paru
<1
50 %
30 40 %
(milier, meningitis)
10 20 %
12
75 80 %
10 20 %
25%
25
95 %
5%
0.5 %
5 10
98 %
2%
< 0.5 %
> 10
80 90 %
10 20 %
< 0.5 %
Sumber: Marais dkk. Int J Tuberg Lung Dis 2004;8:392 dan Marais dkk. Am J Respir Crit Med 2006; 173: 107890
Infeksi
Positif
Penyakit
Positif
Pemeriksaan fisik
Normal
Normal
Normal
Biasanya normal
Profilaksi/terapi TB
Selalu
Pada imonokompromis
Selalu
Uji tuberkulin
Jumlah obat
Satu
Satu
Tiga atau empat
* pada 50% anak dengan tuberkulosis paru didapatkan pemeriksaan fisik yang normal
kalsifikasi atau granuloma kecil diartikan infeksi, bukan penyakit
pada beberapa anak dengan tuberkulosis paru tidak didapatkan kelainan pada foto polos dada
12
13
: hilus,paratrakeal,mediastinum
: focus, primer,pneumonia,atelektasis,tuberkuloma,
Kavitas
Sluran napas
Pleura
Pembuluh darah
infeksi TB
uji tuberculin positif tanpa kelainan
klinis radiologist
dan labaratorium.
Penyakit TB
Paru
Diluar paru
kelenjar limfe
Otak dan selaput otak
Tulang dan sendi
Saluran cerna termasuk hati, kantung empedu
Pankeas
Saluran kemih termasuk ginjal
14
Kulit
Mata
Telinga dan mastodid
Jantung
Membrane serous (peritoneum,pericardium)
Kelenjar endokrin (adrenal)
Saluran napas bagian atas (tonsil, laring, kelenjar
Endokrin)
I.4.1 Menifestasi klinis
Patogenesis TB sangat kompleks, sehingga menifestasi klinis TB sangat bervariasi dan
bergantung pada beberapa factor. Factor yang berperan adalah kuman TB, pejamu, serta
interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah dan virulensi kuman,
sedangkan factor pejamu bergantung pada usia, dan kompetensi imun serta kerentanan
pejamu pada awal terjadinya infeksi. Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala
walaupun sudah tampat pembesaran kelenjar hilus pada foto toraks. Menifestasi klinis
TB terbagi dua, yaitu menifestasi sistemik dan manifestasi spesifik organ / lokal.
Manifestasi Sistemik (Umum/nonspesifik)
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dantidak spesifik karena dapat
disebabkan oleg berbagai penyakit atau keadaan lain. Sebagian besar anak dengan TB
tidak memperlihatkan gejala dan tanda selama beberapa waktu. Sesuai dengan sifat
kuman TB yang lambat membelah manifestasi klinis
TB umumnya berlangsung
bertahap dn perlahan, kecuali TB diseminata yang dapat berlangsung dengan cepat dan
progresif seringkali, orang tua tidak dapat menyebutkan secara pasti kapan berbagai
gejala dan tanda klinis tersebut mulai muncul. Tuberculosis yang mengenai organ
manapun dapat memberikan gejala dan tanda klinis sistemik yang tidak khas,terkait
dengan organ yang terkena. Keluhan sistemik ini diduga berkaitan dengan peningkatan
tumor necrosis factor- (TNF-).
Salah satu gejala sistemik yang sering terjadi adalah demam. Temuan demam
pada pasien TB berkisar antara 40 80% kasus. Demam biasanya tidak tinggi dan
hilang timbul dalam jangka waktu yang cukup lama. Manifestasi sistemik lain yang
sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan (BB) tidak naik ( turun,tetap, atau
15
sering disebabkan oleh asma, sehingga jika menghadapi anak dengan batuk bronkus
sehingga merangsang reseptor batuk secara kronik, selain itu, berulang timbul karena
anak dengan TB mengalami penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami
infeksi respiratorik akut (IRA) berulang . gejala batuk kronik berulang dapat disebabkan
oleh
berbagai
penyakit
lain,
misalnya
rinosinusitis,
refluks
Anak Kecil
Anak Besar
Refluks gastroesofagus
asma
Pascainfeksi virus
Infeksi
Asma
post-nasal drip
Malformasi congenital
perokok pasif
Merokok
refluks gastroesofagus
TB pulmoner
Perokok pasif
benada asing
bronkiektasis
Polusi lingkungan
bronkiektasis
batuk psikogenik
16
Bayi
Anak
Akil balik
Demam
sering
Jarang
sering
Keringat malam
sangat jarang
sangat jarang
jarang
Batuk
sering
sering
sering
Batuk produktif
sangat jarang
sangat jarang
sering
Hemoptisis
tidak pernah
sangat jarang
sangat jarang
Dispnu
sering
sangat jarang
sangat jarang
Ronki basah
sering
jarang
sangat jarang
Mengi
sering
jarang
jarang
Fremitus
sangat jarang
sangat jarang
jarang
Perkusi pekak
sangat jarang
sangat jarang
jarang
sering
sangat jarang
jarang
Gejala
Tanda
17
Kelenjar Limfe
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis sebagai manifestasi TB sering dijumpai.
Kelenjar yang sering terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau posterior, tetapi
juga dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula,secara klinis,
Karakteristik kelenjar yang dijumpai biasanya multiple, unilateral, tidak nyeri tekan,
tidak hangat pada perabaan, mudah digerakkan, dan dapat saling melekat (confluence)
satu sama lain. Perlekatan ini terjadi akibat adanya inflamasi pada kapsul kelenjar limfe
(perifocal inflammation). Pembesaran kelenjar superfisialis ini dapat disebabkan oleh
penyakit lain, seperti dapat dilihat pada tabel I.4.5
Tabel I.4.5 Diagnosis banding pembesaran Kelenjar Limfe Superfisialis
Infeksi
Keganasan
Infeksi Respiratorik berulang
Primer
Demam tifoid
penyakit hodgkin
Tuberculosis
Limfoma non-hodgkin
AIDS
kelainan histiostik
Mononukleosis
CMV
Penyakit autoimun
Rubella
Reumatoid artritis
Varisela
Lupus aritematosus
Rubeola
Dermatomiositis
Histoplasmosis
Toksoplasmosis
Reaksi Obat
dan lain-lain.
Lain-lain
Sarkoidosis
Serum sickness
Gangguan Penyimpanan lemak
Penyakit Grauder
Penyakit Niemann - Pick
18
19
dan lateral leher. Pembahasan lebih jauh mengenai TB kulit akan diuraikan di bab
selanjutnya;
Rangkuman dari gejala spesifik sesuai organ yang terkena adalah sebagai berikut :
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di region kolli,multiple, tidak nyerii, dan saling
melekat).
2. tuberculosis otak dan saraf
meningitis TB
tuberkuloma otak
20
banyak ditemukan adalah infiltrate primer/kompleks primer (49,9%) dan milier (16,5%)
hepatomegali ditemukan pada 9,6% kasus, anemia pada 33% kasus, peningkatan LED
pada 56,5% kasus, dan limfositosis pada 19,1% kasus. Manifestasi ekstrapulmonal yang
ditemukan adalah meningitis (15,6%), limfadenitis (30,3%). Konjungtivitas fliktenularis
(10,4%), dan TB tulang (1 kasus).( Rahajoe NN,dkk.1977)
indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam
millimeter, jika tidak timbul indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga
bula.
Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan
positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan
oleh infeksi TB alamiah, tetapi ,asih mungkin disebabkan oleg imunisasi Bacille
Calmette
Guerin
(BCG)
atau
infeksi
M.bovis
yang
dilemahkan,
sehingga
21
tuberkulin
secara
bertahap akan semakin berkurang dengan berjalan waktu, dan paling lama berlangsung
hingga 5 tahun setelah penyuntikan .
Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15 mm
dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi
masih mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi, bila ukuran indurasi 15mm,
hasil positif ini sangat mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika membaca hasil
tuberkulin pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG dapat diabaikan.
Apabila diameter indurasi 0 4 mm, dinyatakan uji tuberculin negative.
Diameter 5 9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal in dapat disebabkan oleh
kesalahan teknis (trauma dan lain-lain) keadaan anergi, atau reaksi silang dengan M,
atipik. Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji tuberculin dapat diulang .untuk
menghindari
22
1. Infeksi TB alamiah
a. Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b. Infeksi TB dan sakit TB
c. TB yang telah sembuh
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)
3. Infeksi Mikrobakterium atipik
Uji tuberculin negative dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut :
1. tidak ada infeksi TB
2. dalam masa inkubasi infeksi TB
3. Anergi
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan, sehingga
tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberculin walaupun sebenarnya sudah
terinfeksi TB. Beberapa keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk,
keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbili pertusis
arisela, influenza, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin virus
hidup yang dimaksud dengan influenza adalah infeksi oleh virus influenza, bukan
batuk pilek panas biasa, yang umumnya disebabkan oleh rhinovirus dan disebut
selesma common cold).
Satu hal yang perlu dicermati saat pembacaan uji tuberculin adalah kemungkinan uji
tuberculin positif/negative palsu. Uji tuberculin positif palsu dapat juga ditemukan
pada keadaan penyuntikan salah dan interpretasi salah salah, demikian juga. Negatif
palsu, disamping penyimpanan tuberculin yang tidak baik sehingga potenssinya
menurun.
Sebab-sebab hasil positif palsu dan negative palsu iji tuberculin mantoux
Positif Palsu
Penyuntikan salah
Interpretasi tidak betul
Reaksi silang dengan Myocbacterium atipik
23
Negatif palsu
Masa Inkubasi
Penyimpanan tidak baik dan penyuntikan salah
Interpretasi tidak betul
Menderita tuberculosis luas dan berat
Disertai infeksi virus (campak,rubella, cacar air, influenza,HIV)
Imunoinkompetensi selular, termasuk pemakaian kortikosteroid
Demam
Leukositosis
Malnutrisi
Sarkoidosis
Psoriasis
Jejunoileal by pass
Terkena sinar ultraviolet (matahari,solaria)
Defisiensi pernisiosa
Uremia
Berdasarkan penelitian di RSCM- Jakarta, dari 49 pasien TB dengan biakan
positif yang berstatus gizi buruk, hanya 24 persen yang menunjukkan hasil uji
tuberculin negative palsu (anergi). Hal ini menunjukkan bahwa anergi tidak selalu
terjadi pada keadaan yang berpotensi menyebabkan imunokompromais. Pada uji
tuberculin ulangan yang dilakukan 2 bulan setelah terapi dan setara mengalami
perbaikan klinis, 10 di antara 24 pasein anergi tersebut menunjukkan hasil positif.
Keadaan ini menunjukkan bahwa anergi tidak menetap.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai konsep infeksi TB dan sakit TB.
Klasifikasi TB yang dibuat American thoraric society (ATS) dan Centres for Disease
control and prevention (CDC) Amerika agaknya dapat membantu (Tabel I.4.7)
24
Pajanan
Infeksi
(Kontak dengan
Pasien TB aktif
sakit
(klinis, dan penunjang
Positif)
0
1
2
3
+
+
+
+
+
26
I.4.2.3 Radiologis
Gambaran foto pada TB tidak khas; kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat juga
dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto toraks yang normal (tidak terdeteksi
secara radiologis) tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan
penunjang lain mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat
digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran milier.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut :
Konsolidasi segmental/lobar.
Milier.
Atelektasis.
Kavitas.
Efusi pleura.
27
Tuberkuloma.
Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus
disertai dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah hilus
biasanya lebih jelas pada foto lateral. Sebagai pegangan umum, jika dijumpai
ketudaksesuaian (diskongruensi) antara gambaran radiologis yang berat dn gambaran
klinis yang ringan, maka harus dicurigai TB. Pada keadaan foto toraks tidak jelas, bila
perlu dilakuakn pemeriksaan pencitraan lain seperti computed tomography scan (CTscan) toraks.
I.4.2.4 Serologis
Pada awalnya, pemeriksaan serologis diharapkan dapat membedakan antara infeksi TB
dan sakit TB. Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan imunologik antigenantibodi spesifik untuk M.tuberculosis ELISA dengan menggunakan PPD, A60, 38kDa,
lipoarabinomanan (LAM) dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum, cairan
bronkus (bronkus dan bronchoalveolar lavage; BAL), cairan pleura, dan CSS terus
dilakukan. Beberapa pemeriksaan serologis yang ada : PAP TB,
Mycodot,
immunochromatographic test (ICT), dan lain-lain, hingga saat ini belum ada satu pun
pemeriksaan tersebut yang dapat memenuhi harapan itu. Semua pemeriksaan tersebut
umumnya masih dalam taraf penelitian untuk pemakaian klinis praktis
I.4.3.5 Mikrobiologis
Diagnosis kerja TB biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis, uji tuberculin, dan
gambaran radiologist paru. Diagnosisi pasti ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada
pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua
macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung untukmenemukan BTA dan
pemeriksaan biakan kuman M.tuberculosis.
Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan pesimen
berupa sputum. Sebagai gantinya , dilakukan pemeriksaan bilas lambung 9gastricavage)
3hari berturut-turut minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak
sebagian besar negative,sedangkan hasil biakan m.tuberculosis memerlukan waktu yang
lama yaitu sekitar 6 8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya
28
diperoleh lebih cepat (1 3 minggu) yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya mahal
dan secara teknologi lebih rumit.
Perkembangan lain dibidang mikrobiologi adalah pemeriksaan PCR. Pemeriksaan PCR
merupakan teknik amplikasi urutan deoxyribonucleotic acid (DNA) yang spesifik secara
teori, dengan metode ini. Kuman yang berasal dari specimen bilas lambung akan dapat
dideteksi meskipun hanya ada satu kuman M. tuberculosis pada bahan pemeriksaan
sehingga diharapkan sensitivitasnya cukup tinggi.
Akan tetapi terdapat beberapa kelemahan untuk menerapkan pemeriksaan PCR sebagai
pemeriksaan klinis ruitn, yaitu tinginya variasi tingkat sensititivitas pada pemeriksaan
PCR di berbagai laboratorium, dan mudahnya terjadi kontaminasi kuman/bagian dari
kuman yang berasal dari pemeriksaan sebelumnya, sehingga dapat menyebabkan positif
palsu. Hasil positif pun tidak selalumenunjukkan kuman yang aktif karena kuman
dorman atau persister dapat terdeteksi dengan pemeriksaan klinis rutin. Penelitian lebih
lanjut untuk melihat sensivitas dan spesifisitasnya pada anak masih diperlukan.
Akan tetapi, adanya positif palsu ini menyebabkan masih diperlukannya suatu
sistem kontorl standar mutu yang lebih baik, sehingga belum digunakan sebagai
pemeriksaan klinis rutin. Padapasien TB dewasa, metode ini telah terbukti sensitivitas
dan spesifisitasnya yang cukup tinggi, akan tetapi peranannya dalam diagnosis TB anak
masih kontrovesial dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dalam pemeriksaan PCR ini, perlu diperhatikan aspek pemilihan specimen
seperti kita ketahui , kuman TB ada di dalam darah dalam waktu singkat selama masa
inkubasi, sehingga pemeriksaan PCR dengan specimen darah tidak bermanfaat
specimen yang dapat digunakan adalah sputuc, bilas lambung, cairan pleura, atau CSS.
I.4.2.6 patologi anatomi
Pemeriksaan penunjang yang mempunyai nilai tinggi meskipun tidak setinggi
mikrobiologi adalah pemeriksaan histopatologik, yang dapat memberikan gambaran
yang khas. Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya
kecil terbentu dari agregasi sel epitoloid yang dikelilingi oleh limfosit.Granuloma
tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa ditengah
granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinucleated giant cell (sel
datia Langhans). Diagnosis hispatologik dapat ditegakkan dengan menemukan
29
perkijuan (kaseosa) sel epiteloid, limfosit, dan sel datia langhans.Kadang-kadang dapat
ditemukan juga BTA.
Seperti halnya pemeriksaan mikrobiologi. Kendalanya adalah kesulitan mendapatkan
specimen yang resresentatif. Specimen yang paling mudah dan paling sering diperiksa
adalah limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar gambaran
hispatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksa PA kelenjar diambil secara
histopatilogis sulit dibedakan dengan TB. Pada kenyataannya serigkali KGB kolli ini
sering diambil dengan cara bipopsi jarum halus. Sebenarnya, specimen yang diambil
dengan menggunakan jarum halus kurang sepresentatif karena jaringan yang terambil
hanya berupa sel, sehingga lebih mendekati pemeriksaan sitologi yang sulit untuk dibuat
kesimpulan pasti.
I.4.3 penegakan diagnosis
Diagnosisi kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak terutama dengan pasien TB
dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji tuberculin dan gambaran
sugestif pada foto toraks. Meskipun demikian, sumber penularan/kontak tidak selalu
dapat teridentifikasi, sehingga analisis yang seksama terhadap semua data klinis sangat
diperlukan. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada
pemeriksaan apusan langsung (direct smear), dan / atau biakan yang merupakan
pemeriksaan baku emas (gold standard)atau gambaran PA TB hanya saja diagnosis pasti
pada anak sulit didapatkan karena jumlah perenkim yang jauh dari bronkus, sehingga
hanya 10 15% pasien TB anak yang hasil pemeriksaan mikrobiologiknya
positif/ditemukan kuman Tb. Diagnosis TB tidak dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan radiologist. Oleh karena itu, analis kritis perlu dilakukan
terhadap sebanyak mungkin fakta untuk menegakkan diagnosis.
Kesulitan menegakkan diagmosis TB pada anak menyebabkan banyak usaha membuat
pedoman diagnosis dengan sistem skorsing dan alur diagnostic, misalnya pedoman yang
dibuat oleh WHO, stegen dan jones, dan UKK respriologi PP IDAL.
WHO (organisasi kesehatan Dunia) membuat criteria untuk membuat diagnosis TB
pada anak (tabel I.4.8)
Tabel 1.4.8 Petunjuk WHO untuk diagnosis TB anak
30
a. Dicurigai tuberculosis
1. anak sakit dengan riwayat kontak pasien tuberculosis dengan diagnosis
pasti
2. anak dengan :
keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk
rejan
berat badan menurun, batuk dan mengi tidak membaik dengan
pengobatan antibiotika untuk penyakit pernapasan
pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit.
b. Mungkin tuberculosis
Anak yang dicurigai tuberkulosisi ditambah :
Uji tuberculin positif (10 mm atau lebih )
Foto tontgen paru sugestif tuberculosis
Pemeriksaan histologis biopsy sugestif tuberculosis
Respons yang baik pada pengobatan dengan OAT
c. Pasti tuberculosis pada pemeriksaan langsung atau biakan identifikasi
Myobacterium tuberculosis pada karekateristik biakan
Untuk mengatasi hal tersebut, IDAI
didukung WHO, membentuk kelompok kerja TB anak (Pokja TB Anak). Salah satu
tugas Pokja ini adalah mengembangkan sistem scoring yang baru untuk meningkatkan
sensitibitas dan spesifisitas diagnosis TB pada anak. Sistem scoring yang telah disusun
tersebut diuji coba melalui tiga tahapan penelitian. Penelitian pertama berupa penerapan
sistem skoring terhadap sekitar 200 pasien TB anak dengan baiakan positif (confirmed
TB) penelitian kedua adalah penerapan sistem scoring terhadap pasien TB anak di RS
yang menjalani prosedur diagnostic lengkap termasuk pemeriksaan mikrobiologik. Dari
kedua tahapan penelitian tersebut didapatkan sistem scoring dengan cut off-point seperti
yang dimuat didalam buku ini. Penelitian tahap ketiga adalah penerapan sistem scoring
31
32
0
Tidak jelas
1
-
2
Laporan
3
BTA (+)
keluarga
(BTA negative
Atau tidak
Uji tuberkulin
negatif
jelas)
-
Positif (mm,
Atau 3
Mm pada
keadaan
Berat
badan/keadaan gizi
buruk
BB/U <80%
atau BB/TB
imunosupresi
-
<70% atau
Demam yang tidak
2 minggu
3 minggu
1, tidak
BB/U <60%
-
Diketahui
penyebabnya
Batuk kronik
Pembesaran
kelenjar limfe
Kolli,aksila,ingunal
Pembekakan tulang
nyeri
-
sendi
Ada
pembekakan
panggul,lutut,falang
Foto toraks
Normal/kelainan Gambaran
Tidak jelas
sugestif
TB
Catatan :
Diagnosis dengan sistem scoring ditegakkan oleh dokter .
33
1.5 Tatalaksana TB
34
1.5.1 Medikamentosa
1.5.1.1 Obat TB yang digunakan
Obat TB yang utama (first line) yang digunakan saat ini adalah rifampisin,
Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan Streptomicin (S). Rifampisin
dan Isoniazid merupakan obat pilihan utama ditambah dengan pirazinamid,
etambutol dan streptomisin.
35
pertama namun akan turun sendiri tanpa penghentian obat sehingga hepatotoksik
yang baermakna secara klini sangat jarang ditemukan. Hepatoksisitas akan
meningkat
apabila
pemberian
isoniazid
bersamaan
dengan
rifampisin,
dengan isoniazid
dosis
rifampisin
tidak melebihi
36
sputum dan air mata menjadi warna oranye sampai kemerahan. Efek samping
rifampisin lainnya adalah gangguan gastrointestinal (muntah dan mual), dan
hepatotoksisitas (ikterus dan hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan
kadar transaminase serum yang asimptomatik. Jika rifampisin diberikan
bersamaan dengan isoniazid terjadi peningkatan hepatotoksisitas yang dapat
diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal
10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga menyebabkan trombositopenia dan dapat
menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat bereaksi dengan
beberapa obat termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin, kloramfenikol,
kortikosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam bentuk
kapsul 150mg, 300mg, dan 450 mg sehingga kurang sesuai apabila diberikan pada
anak-anak dengan berbagai kisaran berat badan. Suspensi dapat dibuat dengan
menggunakan berbagai zat pembawa tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan
dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.
PIRAZINAMID
Pirazinamid adalah derivate dari nikotinamid berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan termasuk CSS, bakterisid hanya pada intraseldalam suasana asam dan
direabsorpsi baik dalam saluran cerna. Pemakaian pirazinamid secara dosis 1530mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak
tercapai dalam 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid
sangat baik diberikan dalam suasana asam yang timbul akibat masih banyaknya
kuman. Penggunaan pirazinamid aman pada anak-anak. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah atralgia, arthritis, gout, hepatotoksisitas, anoreksia dan
iritasi saluran cerna. Isoniazid tersedia dalam bentuk tablet 500mg tetapi sama
seperti isoniazid dapat digerus dan diberikan bersamaan dengan makanan.
ETAMBUTOL
Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik tetapi dapat juga bersifat bakterisid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Berdasarkan
pengalaman, obat ini juga dapat mencegah timbulnya resistensi obat lain. Dosis
etambutol adalah 15-20mg/kgBB maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal.
Kadar puncak dalam serum diperoleh dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia
37
dalam sediaan 250mg dan 500mg. Etamburol ditoleransi dengan baik oleh dewasa
dan anak-anak dengan dosis 1-2 kalo sehari tetapi tidak berpenetrasi pada SSP.
Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan
etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optic dan
buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak
yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO terakhir
mengenai penatalaksanaan TB pada anak dianjurkan penggunaannya 1525mg/kgBB/hari. Etambutol dapat digunakan pada anak dengan TB berat dan
kecurigaan TB resisten obat jika obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat
digunakan.
STREPTOMISIN
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan TB tetapi penggunaannya penting dalam pengobatan fase intensif
meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuscular 1540mg/kgBB/hari maksimal 1 gram/hari dengan kadar puncak diperoleh setelah 2
jam.
Streptomisin sangat melewati selaput otak yang meradang namun tidak dapat
melewati sawah otak yang tidak meradang serta berdifusi baik pada cairan pleura
dan dieksresi melalui ginjal. Toksisitas utama pada nervus cranial VIII yang
mengganggu keseimbangan dan pendengaran dengan gejala seperti telinga
berdengung (tinnitus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus sawar plasenta
sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena
dapat merusak saraf pendengaran janin.
38
40
41
Tabel 4.5.4 Daftar Obat Antituberkulosis Lini Kedua Untuk MDR -TB
Nama Obat
Dosis harian
(mg/kgBB/hari)
Dosis
Maksimal
Efek Samping
(mg perhari)
Muntah,
Ethionamide atau
Prothionamide
15-20
1000
gangguan
gastrointestinal,
sakit sendi
Flouroquinolone
Levofloxacin
Moxifloxacin
7.5-10
Gatifloxacin
7.5-10
Ciprofloxacin
7.5-10
1500
Ofloxacin
20-30
800
15-20
42
Aminoglikosida
Kanamicin
15-30
1000
Ototoksisitas,
Amikasin
15-22,5
1000
toksistas hati
15-30
1000
Capreomycin
Gangguan psikis,
CycloserinTerizidone
10-20
1000
gangguan
neurologi
Para-aminosalicylic
150
acid
12000
Muntah,
gangguan
gastrointestinal
Nonmedikamentosa
Pendekatan DOTS
Hal yang paling penting dalam tatalaksana TB adalah keteraturan menelan
obat.Keteraturan pasien dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan
dosis yang telah ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan menelan obat
ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps atau timbulnya
resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan
melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed
treatment). directly observed treatment shortcourse adalah strategi yang telah
direkomendasikakn WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB dan
telah dilaksanankan di Indonesia sejak 1995.
Sesuai dengan rekomendasi WHO stategi DOTS terdiri dari 5 komponen
yaitu:
1. Komitmen polis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana
2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis
43
44
Bila BCG diberikan pada usia >3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberculin
terlebih dahulu.
Manfaat BCG telah dilaporkan beberapa peneliti yaitu 0-80% imunisasi
BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis
TB pada anak. Imunisasi BCG relative aman, jarang menimbulkan efek samping
yang serius. Efek samping yang mungkin ditemukan adalah ulserasi local dan
limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0.1-1%. Kontraindikasi imunisasi
BCG adalah kondisi imunocompromised misalnya defisiensi imun, infeksi berat,
gizi buruk dan gagal tumbuh. Pada bayi premature BCG ditunda sampai berat
badan optimal.
KEMOPROFILAKSIS
Terdapat
macam
kemoprofilaksis
yaitu
primer
dan
sekunder.
45
DAFTAR PUSTAKA
46