Vous êtes sur la page 1sur 4

Pandangan Agama Terhadap Prilaku Euthanasia

1. Pandangan Menurut Agama Katolik


Definisi Eutanasia Dalam Gereja Katolik
Pada tanggal 5 Mei 1980, Paus Yohanes Paulus II (Kongregasi ajaran iman)
mendeklarasikan Deklarasi Eutanasia dalam rangka menjawabi pertanyaanpertanyaan para uskup yang berhadapan dengan masalah pastoral khususnya hidup
mati seseorang dalam hubungannya dengan kemajuan medis yang ada di dunia ini;
eutanasia. Deklarasi itu terdiri atas 4 bab pendek. Bab pertama: nilai hidup manusia,
bab kedua: pendefinisian dan pembahasan tentang eutanasia, bab ketiga: makna
penderitaan, dan bab keempat yaitu penggunaan sarana terapi yang proporsional.
Dalam Deklarasi eutanasia itu, gereja mengutarakan empat definisi eutanasia yang
digunakan gereja. Pertama arti etimologis yaitu kematian tenang, kedua intervensi
medis untuk meringankan penderitaan seseorang dengan konsekuensi bahaya
memperpendek hidup, ketiga mematikan seseorang karena belas kasihan dengan
tujuan untuk mengurangi penderitaan orang sakit tak tersembuhkan, atau orang yang
cacat, tak normal ataupun orang sakit jiwa yang oleh orang yang sakit maupun para
pendukung eutanasia dikatakan membuat hidup tak bahagia dan hanya menjadi beban
bagi keluarga dan masyarakat, keempat tindakan atau pantang tindakan yang menurut
struktur perbuatan ataupun menurut maksud perbuatan membawa kematian untuk
mengakhiri penderitaan seseorang.[5]
Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae (EV) juga membicarakan
masalah eutanasia. Uraian penjelasan tentang eutanasia dalam EV didahului dengan
uraian pandangan gereja tentang hidup manusia kemudian disusul dengan sikap gereja
atas persoalan ini. Uraian itu tertuang dalam EV artikel 29 51, 57; 64 66.
Ensiklik Evangelium Vitae mendefinisikan eutanasia sebagai berikut menjadikan diri
penguasa atas kematian dengan mendatangkan kematian sebelum saatnya dan dengan
demikian menuyediakan akhir hidup secara lembut bagi orang lain atau diri sendiri
(EV 64).
Dari definisi-definisi eutanasia dalam gereja itu merangkum merinci lebih jauh dan
menambah pengertian-pengertian eutanasia yang sudah ada. Dalam menentukan hal
ini, gereja berpegang pada prinsip hormat terhadap hidup sebagimana diajarkan
Kristus. Pada akhirnya, hormat terhadap hidup menjadi dasar pandangan gereja dalam
menanggapi masalah eutanasia. Bagaimana pandangan gereja katolik tentang hidup
manusia?
Dasar Pandangan Gereja Katolik Tentang Eutanasia
Dalam menanggapi persoalan eutanasia, gereja mendasarkan pandangan dan
sikapnya pada pandangannya sendiri tentang hidup manusia; suatu pandangan yang
berlandaskan iman kristiani. Manusia adalah citra Allah, hidup manusia adalah
anugerah Allah, kehidupan manusia adalah kudus, manusia adalah milik Allah dan
Allah menghendaki hidup manusia dihormati bagaimanapun keadaannya. Jadi

dasarnya adalah berhubungan dengan Yang Transenden bukan manusiawi belaka.


A. Manusia adalah Citra Allah
Manusia adalah citra Allah (Kej 1:27). Sebagai citra Allah manusia mampu mengenal
dan mencintai PenciptaNya. Karena Allah Maha Tahu dan Maha Cinta. Dan manusia
dipanggil supaya dengan kemampuan mengenal dan mencintai itu, mengambil bagian
dalam kehidupan Allah. Karena itulah maka manusia memiliki martabat yang tinggi
dibandingkan dengan ciptaan yang lain. Manusia memiliki martabat seorang pribadi
sebagaimana Allah juga pribadi. Karena itulah martabat dan hidup manusia harus
dihormati dan manusia sebagai subyek dari hak-hak yang tak dapat diganggu gugat
karena diterima dari Allah sendiri, saling menghormati hak-hak orang lain.
B.Hidup Manusia adalah Anugerah Allah
Hidup manusia berasal dari Allah, diberikan oleh Allah, dan sesungguhnya Allah
menjadi prinsip hidup manusia. Karena manusia tidak bisa mengadakan dirinya. Ia
diadakan oleh Allah karena itulah Allah itu bagi manusia merupakan pemberi, asal,
dan prinsip kehidupannya. Tetapi anugerah itu bukan berarti pasif artinya manusia
hanya penikmat saja tanpa melakukan apa-apa. Manusia dengan kebebasannya tetap
harus aktif untuk memanfaatkan dan menumbuhkembangkan anugerah itu sebaik
mungkin. Jadi anugerah itu bagi manusia membawa konsekuensi suatu tugas dan
tanggungjawab atas hidup.
Anugerah hidup yang amat tinggi dari Tuhan itu bukan berarti tak terbatas, anugerah
itu terbatas bagi manusia dan harus dihayati dalam keterbatasan itu juga. Keterbatasan
itu tampak pada misalnya: gangguan fisik dan psikis, kelemahan fisik dan psikis dll.
Itu semua bagi manusia kerapkali menjadi beban yang amat berat. Namun
keterbatasan itu, mengandung pengharapan janji hidup kekal.
C. Manusia Adalah Milik Kristus (Allah)[7]
Allah adalah penguasa hidup manusia karena itu, manusia tidak berkuasa atas
hidup hidup matinya dan manusia harus menghormati dan mengasihi hidupnya dan
orang lain. Allahlah yang berhak untuk mengambil atau meminta hidup manusia. Jadi
Allahlah Allah atas hidup dan mati. Dia memiliki hak untuk menghidupkan dan
mematikan manusia. Itu berarti manusia sama sekali tidak boleh mengakhiri hidup
manusia dalam keadaan bagaimanapun.
4.4. Kehidupan Manusia Adalah Kudus[8]
Kekudusan hidup manusia itu disebabkan oleh relasi ketergantungannya dengan Allah
yang kudus yang juga tujuan akhir hidup manusia. Konsekuensinya serupa dengan di
atas yaitu manusia tidak berhak untuk mengakhiri hidup manusia secara langsung
karena itu berarti menghentikan relasi manusia dengan Yang Kudus yang nota bene
tak bisa dilepaskan oleh manusia. Menentang relasi kasih Allah terhadap manusia itu
juga berarti menentang kasih Allah sendiri terhadap manusia.
D.Hidup Manusia Bernilai Tinggi
Evangelium Vitae 31 menjelaskan bahwa dalam keadaan apapun hidup manusia
tetap bernilai.[9] Keadaan jasmani dan rohani bukan ukuran bernilai tidaknya hidup

manusia. Kerusakan jasmani seseorang bukanlah dasar bagi seseorang untuk menilai
bahwa hidupnya tak bermakna. Demikian juga kecantikan dan ketampanan fisik
seseorang bukan dasar untuk menilai bahwa hidupnya bermakna. Demikian pula suka
duka hidup bukan ukuran dasar dari makna hidup manusia. Nilai tinggi hidup manusia
terletak pertama-tama pada relasinya dengan Allah sendiri; Citra Allah, Anugerah
Allah, Milik Allah, Kudus seperti Allah. Selain itu, hidup fana manusia juga memiliki
nilai yang tinggi karena hidup fana manusia mengandung benih keseluruhan dan
kepenuhan yang akan terpenuhi dalam hidup ilahi abadi (EV 31).[10]
Penderitaan kerapkali dinilai sebagai bencana atau bahkan mungkin buah dari dosa.
Sehingga penderitaan itu sama sekali tak bermakna penderitaan hanya
mensengsarakan manusia dan membuat manusia putus asa. Apakah benar demikian?
Menurut ajaran kristiani, penderitaan secara khusus pada waktu menjelang kematian,
memiliki tempat yang khusus dalam rencana keselamatan Allah. Penderitaan itu
adalah tanda seseorang ikut ambil bagian dalam sengsara Kristus dan bersatu dengan
kurban penebusan Kristus yang mempersembahkan ketaatannya pada kehendak Bapa.
[11]
Pandangan dan Sikap Gereja Katolik tentang Eutanasia
Sikap Gereja sangat tegas menghadapi persoalan ini dan gereja sangat hati-hati
dalam mengambil sikap. Moral gereja memberikan distingsi-distingsi yang tajam
mana eutanasia yang boleh dilakukan dan mana yang tak boleh dilakukan dan moral
gereja memberikan prinsip-prinsip yang tegas namun tetap mengandaikan kejujuran
manusia yang melaksanakan prinsip-prinsip moral itu. Moral gereja Katolik
membedakan eutanasia dalam dua hal eutanasia direk dan indirek. Dan moral gereja
tetap memegang prinsip-prinsip ajaran Yesus sendiri soal hidup manusia.

2. Pandangan Agama Kristen tentang Eutanasia


Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan
yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang
membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan
bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien
terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang
hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat
mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup
tersebut".
Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu
perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus
dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara
tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian
terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk
melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian
tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila
tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk
perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan
kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi
masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri
hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan
pemberian tersebut.

2 .Pandangan tentang euthanasia terhadap Agama Hindu


Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia didasarkan pada ajaran tentang
karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah suatu konsekuensi murni dari semua jenis
kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau batin
dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Akumulasi terus menerus dari karma
yang buruk adalah penghalang moksa yaitu suatu kebebasan dari siklus
reinkarnasi. Ahimsa adalah prinsip anti kekerasan atau pantang menyakiti siapa
pun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu sebab
perbuatan tersebut dapat menjadi faktor yang mengganggu karena menghasilkan
karma buruk. Kehidupan manusia adalah kesempatan yang sangat berharga
untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kelahiran kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka
rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada di dunia fana
sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu di mana
seharusnya ia menjalani kehidupan. Misalnya, seseorang bunuh diri pada usia 17
tahun padahal dia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun. Maka selama 43 tahun rohnya
berkelana tanpa arah tujuan. Setelah itu, rohnya masuk ke neraka untuk menerima
hukuman lebih berat; kemudian kembali ke dunia (reinkarnasi) untuk menyelesaikan
karma-nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya.

Vous aimerez peut-être aussi