Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
1. Struktur
Merupakan salah satu hormon pankreas yang disintesis dan disekresi sel pankreas. Salah
satu hormon yang penting dalam mengatur metabolisme bahan bakar, seperti mengubahubah jalur metabolik dari anabolisme netto menjadi katabolisme netto bolak-balik dan
penghematan glukosa, masing-masing bergantung pada apakah tubuh berada pada keadaan
kenyang atau puasa.
menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi
insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.
Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel tidak hanya
disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tapi juga dapat oleh
pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan
tersebut, misalnya obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja pada reseptor tersendiri, tidak
pada reseptor yang sama dengan glukosa, yang disebut sulphonylurea receptor (SUR) pada
membran sel beta.
3. Sekresi
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh
sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti dikemukakan,
sekresi insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti
glukosa yang berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi
mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa
maupun setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang
berlangsung secara sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas
normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang fisiologis.
Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi
segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat.
Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang
diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam,
segera setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi
glukosa yang normal karena pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar
glukosa darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk
mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis. AIR yang
berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah
makan atau lonjakan glukosa darah postprandial (postprandial spike) dengan segala akibat
yang ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia kompensatif.
Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained phase, latent
phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam
waktu relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah
selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung relatif
lebih lama, seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa
besar kadar glukosa darah di akhir fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi
semacam mekanisme penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya.
Apabila sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk
peningkatan sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut pada
hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah
(postprandial) tetap dalam batas batas normal. Dalam prospektif perjalanan penyakit, fase 2
sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1. Pada gambar dibawah ini ( Gb. 2 )
diperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan normal, Toleransi Glukosa Terganggu (
Impaired Glucose Tolerance = IGT ), dan Diabetes Mellitus Tipe 2.
Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang juga normal
di jaringan ( tanpa resistensi insulin ), sekresi fase 2 juga akan berlangsung normal. Dengan
demikian tidak dibutuhkan tambahan ( ekstra ) sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2
diatas normal untuk dapat mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah keadaan
fisiologis yang memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang dapat
LI 2
Diabetes Melitus
Definisi
DM adalah suatu sindroma klinik yang ditandai dengan poliuri , polidipsi, dan polifagia, disertai
dengan peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemik (gula puasa 126 mg/dL atau
postprandial 200 mg/dL atau glukosa sewaktu 200mg/dL)
Klasifikasi
1. Diabetes Melitus Tipe I / Juvenile
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependen insulin; namun,
kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak 30.000
kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtipe: (a) autoimun, akibat
disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya
autoimun dan tidak diketahui sumbernya.
2. Diabetes Melitus Tipe II / Onset maturitas
Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe nondependen
insulin. Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini.3
Nama lama
DM Juvenil
DM Dewasa
Epidemiologi
Anak-anak/remaja(biasanya berumur
< 30 tahun)
Berat badan
Biasanya kurus
Sering obesitas
Heredity
Patogenesis
Penyakit Autoimmune :
Insulin resistance
Klinikal
Defisiensi Insulin
Berhubungan dengan ketoacidosis
Pengobatan
Biochemical
Kemungkinan kehilangan peptide C
Persisten peptida-C
3. Diabetes Melitus tipe lain
Kelainan pada diabetes tipe lain ini adalah akibat kerusakan atau kelainan fungsi kelenjar
pankreas yang disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan atau penyakit pada kelenjar tersebut.
4. Diabetes Gestational (kehamilan)
Diabetes hanya terjadi pada saat kehamilan dan menjadi normal kembali setelah persalinan.
2.
3.
Etiologi
Patofisiologi
4. Manifestasi klinik
Gejala diabetes dapat dikelompokkan menjadi dua,yaitu :
a. Gejala Akut
Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi tiga serba banyak yaitu:
b. Gejala Kronik
Gejala kronik akan timbul setelah beberapa bulan atau beberapa tahun setelah penderita
menderita diabetes. Gejala kronik yang sering dikeluhkan oleh penderita, yaitu:
Kesemutan
Kulit terasa panas
Terasa tebal dikulit
Kram
Lelah
Mudah mengantuk
Mata kabur
Gatal disekitar kemaluan
Gigi mudah goyah dan mudah lepas
Kemampuan seksual menurun
Bagi penderita yang sedang hamil akan mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan atau berat bayi lahir lebih dari 4 kg.
Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
Pemeriksaan fisik
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala yang
harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal yang sering dirasakan
penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan
polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan
kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul
gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa
sebab yang jelas.
Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia,
polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus
(gatal-gatal pada kulit). Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada.
DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun
kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM
Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan
makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga
komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) . ,eskipun TTGO dengan beban 75g glukosa lebih sensitif
dan spesifik dibanding dengan pemneriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini
memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktik sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus
6. Penatalaksanaan (Diet, Edukasi, Olahraga, Farmakologi)
Diet
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi
30% total asupan energi
Lemak jenuh , 7% kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda , 10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal
Makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans
antaralain: daging berlemak dan susu penuh
Anjuran konsumsi kolestero , 200 mg/hari
Protein
Dibutuhkan sebesar 10-15% total asupan energi
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang,cumi, dll), daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produksi susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kgBB perhari
atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi
Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau = 6-7 g (1sdt) garam dapur
Serat
Edukasi
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori. Termasuk
pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa
Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol, dan xylitol
Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping pada
lemak darah.
Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antaralain: aspartam, sakarin,
acesulfame pottasium, sukralose, dan neotame
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan periilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga,
dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat.
Untuk mecapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang kompehensif dan
peningkatan motivasi.
Prinsip yang perlu diperhatikan:
Memberikan dukungan dan nasihat positif serta hindari terjadinya kecemasan
Memberikan informasi secara bertahap dimulai dengan hal sederhana
Lakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan stimulasi
Diskusikan program pengobatan secara tyerbuka, perhatikan keinginan pasien
Lakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima
Berikan motivasi dengan memberikan penghargaan
Libatkan keluarga/ pendamping dalam proses edukasi
Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan keluarga
Gunakan alat bantu audio visual
Olahraga
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM 2. Kegiatan sehari-hari
seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkbun, dll harus tetap dilakukan latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging,
dan berenang. Sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindari kebiasaan
hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.
Farmakologi
1.
a. Golongan Sulfonilurea
Dikenal 2 generasi sulfonilurea, generasi 1 terdiri dari: tolbutamid, asetoheksimid,
dan klorpropamid. Generasi 2 yang potensi hipoglikemik lebih besar antaralain: gliburid
(=glibenklamid), glipizid, gliklazid, dan glipepirid.
Mekanisme kerja:
Golongan obat ini sering disebut insulin secretagogues, kerjanya merangsang
sekresi insulin dari granul sel-sel Langerhans pankras. Pada penggunaan jangka panjang
atau dosis yang besar dapat menyebabkan hipoglikemia.
Farmakokinetik:
Absorbsi melalui saluran cerna cukup efektif. Untuk mencapai kadar optimal di
plasma sulfonilurea dengan masa paruh pendek akan lebih egfektif bila diminum 30 menit
sebelum makan. Dalam plasma sekitar 90-99% terikat protein plasma terutama albumin;
ikatan ini paling kecil untuk kolpropamid dan paling besar untuk gliburid.
Masa paruh dan metabolesme sulfonilurea generasi 1 sangat berfariasi. Masa paruh
asetoheksamid pendek tetapi metabolitnya aktif. 1-hidroksiheksamid masa paruhnya lebih
panjang sekitar 4-5 jam , sama dengan tolbutamid dan tolazamid. Sebaiknya sediaan ini
diberikan dengan dsois terbagi. Sekitar 10% dari metabolitnya diekskresi melaui emedu dan
keluar bersama tinja.
Kolpropamid dalam darah terikat albumin, masa paruhnya panjang 24-48jam,
efeknya masi terlihat beberapa hari setelah obat dihentikan. Metabolismenya di hepoar
tidak lengkap, 20% dieksresi utuh di urin. Masa paruh tolbutamid 4-7 jam. Dalam darah 9196% tolbutamid terikat terikat protein plasma, dan di hepar diubah menjadi
karboksitolbutamid. Ekskresinya melalui ginjal.
Tolazamid absorbsi lebih lambat. Efeknya belum nyata pada glukosa setelah beberapa jam
obat diberikan. Masaparuh 7 jam, di hepar diubah menjadi p-karboksitolazamid, 4hidroksimetiltolazamid dan senyawa lain. Sulfonilurea generasi 2, umumnya potensi hipoglikemiknya
hampir 100x lebih besar dari generasi 1. Meski masanya pendek, hanya 3-5 jam, efek
hipoglikemiknya berlangsung 12-24 jam, sering cukup diberikan 1x sehari.
Glipizid absorbsi lengkap, masa paruh 3-4jam. Dalam darah 98% terikat protein plasma.
Metabolisme di hepar, 10% diekskresi melalui ginjal dalam keadaan utuh. Gliburid memiliki masa
paruh 4 jam. Metabolisme di hepar, pada pemberian dosis tunggal hanya 25% metabolitnya
diekskresi melalui urin, sisanya melalui empedu. Karena semua sulfonilurea dimetabolisme di hepar
dan diekskresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan pada pasien gangguan gati atau ginjal
yang berat.
Efek samping:
Insiden efek samping generasi 1 lebih rendah dibandingkan dengan generasi 2 . hipoglikemia
bahkan sampai koma mungkin ditemukan pada pasien usia lanjut dengan gangguan hati atau ginjal.
Efek samping lain: mual, muntah, diare, gejala hematologik, susnan saraf pusat, mata, dsb. Efek
samping gejala hipotiroideisme, iketrus obstruktif, yang bersifat sementara dan lebih sering timbul
akibat klorpropamid. Berkurangnya toleransi alkohol juga telah dilaporkan pada pemakaian
tolbutamid dan klorpropamid
Indikasi
Yang menentukan bukanlah umur pasien waktu terapi dimulai, melainkan usia pasien saat
penyakit DM mulai timbul. Pada umumnya hasil yang baik diperoleh pada pasien yang diabetesnya
mulai timbul pada usia diatas 40 tahun. Selama terapi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang harus tetap dilakukan secara teratur. Pada keadaan yang gawat seperti stres, komlikasi,
infeksi dan pembedahan, insulin tetap merupakan terapi standar
Kontraindikasi
Tidak boleh diberikan pada DM juvenil, pasien yang kebutuhan insulinnya tidak stabil, DM
berat, DM dengan kehamilan dan keadaan gawat. Harus berhati-hati pada DM dengan gangguan
fungsi hepar dan ginjal,infusiensi endokrin, keadaan gizi buruk, alkoholisme akut, pasien yang
mendapat diuretik tiazid, dan pada pasien yang mendapatkan obat golongan lain
Interaksi
Obat yang meningkatkan resiko hipoglikemia sewaktu pengguanaan sulfonilurea ialah
insulin, alkohol, fenformin, sulfonamid, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon,
probenezid, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO, guanitidin, anabolic steroid, fenfluramin
dan klofibrat.
Propanolol dan penghambat adrenoseptor lainnya menghambat reaksi takikardi,
berkeringat dan tremor pada pasien hipoglikemia. Aulfonilurea terutama klorpropamid dapat
menurunkan toleransi terhadap alkohol
b. Meglitinid
Replaginid dan neteglinid merupakan golongan meglitinid. Mekanisme kerjanya =
sulfonilurea tetapi struktur kimianya sangat berbeda. Golongan ADO ini merangsang insulin
dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel pancreas.
Pada pemberian oral absorbsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam.
Masa paruhnya 1 jam, karenanya harus diberikan beberapa kali sehari, sebelum makan.
Metabolisme utamanya di hepar dan metabolitnya tidak aktif. Sekitar 10% dimetabolisme di
ginjal. Pada pasien dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal harus berhati-hato. Efek samping
utamanya hipoglikemik dan gangguan saluran cerna, reaksi alergi juga pernah dilaporkan.
c. Biguanid
Sebenarnya dikenal 3 jenis ADDO dari golongan biguanid: fenformin, buformin, dan
metformin. Tapi yang pertama telah ditarik dari peredaran karena sering menyebabkan asidosis
laktat. Sekarang yang banyak digunakan adalahmetformin.
Mekanisme kerja
Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan sensitifitas jaringan
otot dan adiposa terhadap insulin. Efek ini terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel.
Biguanid tidak merangsang ataupun mengambat perubahan glukosa menjadi lemak. Pada
pasien diabetes yang gemuk, biguanid dapat menurunkan berat badan dengan mekanisme yang
belum jelas pula. Pada orang nondiabetik yang gemuk, tidak timbul penurunan berat badan dan
kadar glukosa darah.
Farmakokinetik
Metformin oral akan mengalami absorbsi di intestin, dalam darah tidak terikat protein
plasma, ekskresinya melalui urin dalam keadaan utuh. Masa paruhnya sekitar 2 jam. Dosis awal
2x500mg, umunya dosis pemeliharaan 3x500mg, dosis maksimal 2,5g. Obat diminum pada waktu
makan. Pasien DM yang tidak memberikan respin dengan obat golongan sulfonilurea
dapatdiatasio dengan metformin, atau dapat pula diberikan sebagai terapi kombinasi dengan
insulin atau sulfenilurea.
Efek samping
Hampir 20% pasien metformin mengalami mual , muntah, diare, serta kecap logam ; tetapi
keluhan tersebut segera hilang. Kadang-kadang juga dapat menimbulkan ketosis yang disertai
dengan hiperglikemia. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau sistem kardiovaskular ,
pemberian biguanid dapat menimbulkan peningkatan kadar asam laktat dalam darah, sehingga
hal ini dapat mengganggu keseimbangan elektrolit dalam cairan tubuh.
Indikasi
Sediaan biguanid tidak dapat menggantikan fungsi insulin endogen, dan digunakan pada
terapi diabetes dewasa
Kontraindikasi
Biguanid tidak boleh diberikan pada kehamilan, pasien penyakit hepar berat, penyakit ginjal
dengan uremia, dan penyakit jantung kongesif dan penyakit paru dengan hipoksia kronik pada
pasien yang akan diberikan zat kontras intravena atau yang akan dioperasi, pemberian obat ini
sebaiknya dihentikan dulu. Setelah lebih dari 48 jam biguanid baru boleh diberikan dengan
catatan fungsi ginjal harus tetap normal.
d. Penghambat -glikosidase
Mekanisme kerja
Obat golongan penghambat enzim -glikosidase ini dapt memperlambat absorbsi
polisakarida, dekstrin, dan disakarida di intestin. Dengan menhambat kerja enzim -glikosidase di
brush border intestin , dapat mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal atau
pasien DM. Karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan
efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai monoterapi pada DM uasia lanjut
atau DM yang glukosa postprandialnya sangat tinggi. Di klinik sering digunakan bersama
antidiabetik oral lain/ insulin
Farmakokinetik
Akarbose paling efektif bila diberikan bersama makanan yang berserat, mengandung
polisakarida, dengan sedikit mengandung glukosa dan sukrosa. Bila diberikan bersama insulin,
atau golongan sulfenilurea , dan menimbulkan hipoglikemia, pemberian glukosa akan lebih baik
daripada pemberian sukrose, polisakarida, atau maltosa.
Efek samping
Bersifat dose-dependent, antaralain: malabsorbsi, flatulen, diare, dan abdominal bloating
e. Tiazolidinedion
Mekanisme kerja
Tiazolidinedion merupakan agonist potent dan selektif PPAR (Peroxisome Proliferatorsactiveted receptor-), mengaktifkan V mrmbrntuk kompleks PPAR-RXR dan terbentuklah GLUT
baru. Di jaringan adipose PPAR mengurangi keluarnya asam lemak ke dalam otot, dan
karebnanya dapat mengurangi resistensi insulin. Glitazon menurunkan kadar glukosa hepar,
menurunkan asam lemak bebas di plasma dan remodeling jaringan adipose. Pioglitazon dan
resiglitazon dapat menurunkan HbA1C dan berkecenderungan meningkatkan HDL, sedangefeknya
pada trigliserida dan LDL bervariasi
Farmakodinamik
Absorbsi tidak dipengaruhi makanan, berlangsung sekitar 2 jam. Metabolisme di hepar, oleh
sitokrom P-450. Ekskresi melalui ginjal .
Efek samping
Peningkatan berat badan, edema, menambah volume plasma dan memperburuk gagal
jantung kongesif. Edema sering terjadi karena penggunaannya bersama insulin.
2.
Terapi Insulin
Insulin masih merupakan obat utama untuk DM tipe 1 dan 2. Suntikan insulin dapat
dilakukan dengan cara IV, IM, dan umumnya pada penggunaan jangka panjang lebih disukai
cara subkutan. Dosis dan konsentrasi insulin dinyatakan dengan Unit (U)
Klasifikasi insulin
Preparat dengan mula kerja cepat dan lama kerja singkat antara lain solusio regular /
crystalline zinc insulin dalam buffer dengan pH normal.
Sifat berbagai sediaan insulin
Jenis-Sediaan
Bufer
Kerja cepat
Regular
soluble (kristal)
Lispro
Fosfat
Mula kerja
Puncak *
Masa kerja *
Kombinasi
dengan *
0.1-0.7
1.5-4
5-6
Semua jenis
0.25
0.5-1.5
2-5
Lente
Keja sedang
NPH (isophan)
Fosfat
1-2
Lente
Asetat
1-2
Kerja panjang
Protamin zinc
Fosfat asetat 4-6
Ultralente
4-6
Glargin
2-5
Catatan* dalam jam, nilai ini bervariasi
6-12
6-12
18-24
18-24
Reguler
Semilente
14-20
16-18
5-24
24-36
20-36
18-24
Reguler
Insulin kerja-cepat
Sediaan paling baru dan paling cepat waktu kerjanya. Insulin mulai menurunkan gula darah
dalam waktu 5 menit setelah diberikan, waktu puncak sekitar 1 jam dan tidak aktif dalam 3
jam. Insulin kerja-cepat merupakan kemajuan yang mutakhir karena membebaskan orang
dengan diabetes untuk menyuntik insulin sesaat sebelum makan. Pada insulin kerja pendek
(insulin reguler), orang dengan diabetes harus menyuntik dan makan dalam waktu 30 menit,
atau dapat terjadi hipoglikemia, karena aktivitasnya berakhir dengan sangat cepat.
Sementara Insulin kerja-cepat tidak menimbulkan hipoglikemia sesering insulin
pendahulunya. Contohnya: NOVO RAPID, APIDRA.
Insulin reguler kerja-pendek
Insulin reguler membutuhkan 30 menit untuk mulai menurunkan glukosa darah, puncaknya
3 jam, dan hilang efeknya setelah 6-8 jam. Insulin jenis ini digunakan sebelum makan untuk
menjaga kadar glukosa darah yang rendah sampai jam makan berikutnya. Contohnya:
ACTRAPID.
Insulin kerja-menengah
Insulin ini mulai menurunkan glukosa darah dalam waktu 2 jam setelah pemberian dan
melanjutkan kerjanya selama 10-12 jam. Insulin ini dapat terus aktif sampai dengan 24 jam.
Tujuan penggunaannya adalah menyediakan insulin secara terus menerus selama setengah
hari sehingga insulin aktif dengan konsentrasi rendah tetap ada di dalam tubuh. Maksudnya
supaya menyerupai situasi yang berlangsung di dlaam tubuh. Contohnya: INSULATARD.
Insulin kerja-panjang
Insulin ini mulai bekerja 6 jam dan menyediakan kerja insulin intensitas ringan selama
24/jam. Insulin ini diciptakan untuk mengendalikan secara terus menerus, basal, yang
membutuhkan hanya satu kali suntik per hari. Contohnya: LANTUS.
Insulin premix
Insulin ini mengandung NPH Insulin 70% dan reguler 30% atau campuran 25 : 75. Insulin ini
sangat membantu bagi orang yang memiliki kesulitan mencampur insulin ke dalam satu alat
suntik dan mempunyai penglihatan yang buruk. Contohnya MIXTARD.
7. Komplikasi
1. Komplikasi Metabolik Akut
HIPOGLIKEMI
Hipoglikemi yaitu apabila kadar gula darah lebih rendah dari 60 mg % dan gejala yang muncul
yaitu palpitasi, takhicardi, mual muntah, lemah, lapar dan dapat terjadi penurunan kesadaran
sampai koma.
Penatalaksanaan
8. Pencegahan
Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3 jenit yaitu:
1. Pencegahan primer.
Semua aktivitas yang ditunjukkan untuk pencegahan timbulnya hiperglikemia pada individu
yang beresiko untuk menjadi diabetes
2. Pencegahan sekunder
Menemukan pengidap DM sedini mungkin,. Dengan demikian pasien diabetes yang sebelumnya
tidak terdiagnosis dapat terjaring, sehingga dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi
atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversible.
3. Pencegahan tersier
Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi tersebut. Usaha ini
meliputi:
9. Prognosis
Sekitar 60% pasien DM tipe 1 yang dapat terapi insulin dapat bertahan hidup seperti orang
normal. Sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik dan kemungkinan meninggal lebih
cepat. Pada pasien dengan DM 2 bersifat kronik, tidak dapat sembuh namun dapat dicegah dan
dapat dikontrol kadar gulanya. Apabila kadar gula tidak terkontrol dapat mengakibatkan komplikasi.
LI 3
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa tubuh dapat
dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT :
BB Kurang < 18,5
- BB Normal 18,5-22,9
- BB Lebih 23,0
Penentuan status gizi berdasarkan rumus brocca
Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus : berat badan
idaman (BBI kg) = (TB CM 100)- 10% .
Untuk laki-laki <160 cm, wanita <150 cm, perhitungan BB idaman tidak dikurangi 10%
Penentuan status gizi dihitung dari : (BB actual : BB idaman) x 100%
: -5
: +10%
: +20%
: +30%
: -20%
: -10%
: +20%
: +10-30%
: +300 kalori
: +500 kalori
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%) ,makan siang
(30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara makan besar.
Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali dalam pengaturan jadwal
makan dan jumlah kalori . usahakan untuk merubah pola makan ini secara bertahap sesuai
kondisi dan kebiasaan penderita.
PROTEIN
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori
perhari. Pada penderita kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan asupan protein
sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan suplementasi asam amino esensial.
Protein mengandung energi sebesar 2 kilokalori/gram.
Rekomendasi pemberian protein:
Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
Pada keadaan kadar glukosa yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.
Pada keadaan glukosa tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg
BB/hari.
Pada gangguan fungsi ginjal, asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/KgBB/hari
dan tidak kurang dari 40gram.
Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih
dianjurkan dibanding protein hewani.
LEMAK
Lemak memiliki kandungan energi sebesar 9 kilokalori/gram. Bahan makanan ini sangat
penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitami A, D, E, K.
Berdasarkan rantai karbonnya , lemak dibedakan menjadi lemak jenuh dan tidak jenuh.
Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolestrol sangat disarankan pada diabetisi karena
terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal bagi pasien diabetes. Asam lemak
tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid : MUFA), merupakan salah satu
asam lemak yang dapat memperbaiki glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA
pada diet diabetisi, dapat menurunkan kadar trigliserida, kolestrol total, kolestrol VLDL,
dan meningkatkan kadar kolestrol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai
panjang (polyunsaturated fatty acid= PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan
kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak
omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan eningkatkan aktivitas
enzyme lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jarngan perifer.
Sehingga dapat menurunkan kadar kolestrol LDL.
Rekomendasi Pemberian Lemak:
Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10%
dari total kebutuhan kalori per hari.
Jika kadar kolestrol LDL 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai
maksimal 7% dari total kalori perhari.
Konsumsi kolestrol maksimal 300mg/hari, jika ada kolestrol LDL 100 mg/dl, maka
maksimal kolestrol yang dapat dikonsumsi 200 mg per hari.
Batasi asam lemak bentuk trans.
Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak
jenuh rantai panjang.
Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori
perhari.
LI 3
Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menjelaskan bahwa makanan halal adalah apabila alQuran maupun hadis menjelaskannya dan tidak melarangnya. Namun makanan halal yang
dijelaskan teks agama tidak mencakup seluruh makanan yang ada. Karena itu para ulama
berijtihad sesuai kaedah: al-Ashlu fi al-asyya al-ibahah illa ma dalla ad-dalilu ala
tahrimihi (Hukum asal segala sesuatu itu adalah mubah/boleh kecuali bila ada dalil yang
mengharamkannya). Secara umum al-Quran maupun hadis memberikan kriteria bahwa
makanan halal itu adalah thayyib (halalan thayyiban). Maksud halalan thayyiban, menurut
Sayyid Sabiq, terangkum dalam tiga hal:pertama, sesuai selera alamiah manusia. Kedua,
bermanfaat dan tidak membahayakan tubuh manusia. Ketiga, diperoleh dengan cara yang benar
dan dipergunakan untuk hal yang benar.
Para ulama menjelaskan kriteria makanan yang halal sebagai berikut:
Pertama, makanan nabati berupa tumbuh-tumbuhan, biji-bijian dan buah-buahan, selama tidak
membahayakan tubuh.
Kedua, minuman seperti air, susu (dari hewan yang boleh dimakan dagingnya), kopi, cokelat.
Ketiga, makanan hewani terdiri dari binatang darat dan air. Hukum binatang darat baik liar
mapun jinak adalah halal selain yang diharamkan syariat. Begitu juga binatang air, dalam
pendapat yang paling sahih, adalah halal kecuali yag membahayakan.
LI 4
1.
Definisi
Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik retinopati (kerusakan retina) yang disebabkan oleh komplikasi diabetes
mellitus, yang akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.
Diabetic retinopathy adalah hasil dari perubahan retina mikrovaskuler. Hyperglycemia-akibat
kematian pericyte intramural dan penebalan membran basement menyebabkan inkompetensi
dinding pembuluh darah. Kerusakan ini mengubah pembentukan penghalang darah-retina dan juga
membuat pembuluh darah retina menjadi lebih permeabel.
Retinopati diabetik merupakan komplikasi kronis diabetes melitus berupa mikroangiopati
progresif yang ditandai oleh kerusakan mikro vaskular pada retina dengan gejala penurunan atau
perubahan penglihatan secara perlahan.
2.
Klasifikasi
cotton wool spot. Perdarahan terjadi akibat kebocoran eritrosit. Eksudat terjadi akibat kebocoran
cairan plasma . RDNP berat sering disebut juga sebagai retinopati diabetik iskemik, obstruktif,
atauproliferatif. Gambaran yang dapat ditemukan yaitu bentuk kapiler yang berkelok tidak teratur
akibat dilatasi yang tidak beraturan dan catton wool spot, yaitu daerah retina dengan gambaran
bercak berwarna putih pucat dimana kapiler mengalami sumbatan.
Retinopati diabetik proliferatif
Retinodiabetik proliferatif (RDP) ditandai dengan pembentukan pembuluh darah baru.
Pembuluh darah baru tersebut hanya terdiri dari satu lapisan endotel tanpa sel perisit dan membran
basalis sehingga bersifat sangat rapuh dan mudah mengalami perdarahan.pembuluh darah baru
tersebut berbahaya karena tumbuh secara abnormal keluar dari retina dan meluas sampai ke
viterus, menyebabkan perdarahan disana dan menimbulkan kebutaan. Perdarahan viterus akan
menghalangi transmisi cahaya ke dalam mata dan memberi penampakan berupa bercak berwarna
merah, abu-abu, atau hitam pada lapangan pandangan. Papabila perdarahan terus berulang dapat
terjadi jaringan fibrosa dan sikatriks pada retina. Oleh karena retina hanya berupa lapisan tipis yang
terdiri dari beberapa lapis sel saja, maka sikatriks dan jaringan fibrosis yang terjadi dapat menarik
retina sampai terlepas sehingga terjadi ablasio retina. Pembuluh darah baru dapat juga terbentuk di
dalam stroma dari iris dan bersama dengan jaringan fibrosis yang terjadi dapat meluas sampe ke
sudut dari chamber anterior. Keadan tersebut dapat menghambat aliran keluar dari aqueous humor
dan menimbulkan glaukoma neuvaskular yang ditandai dengan meningkatnya tekanan intraokuler.
Kebutaan dapat terjadi apabila ditemukan pembuluh darah baru yang meliputi daerah diskus,
adanya perdarahan pre-retina , pembuluh darah baru yang terjadi dimana saja yang disertai
perdarahan , atau perdarahan di lebih dari separuh daerah diskus atau viterus
3.
Etiologi
Mekanisme terjadinya RD masih belum jelas, namun beberapa studi menyatakan bahwa
hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama kerusakan multipel organ. Komplikasi hiperglikemia
kronis pada retina akan menyebabkan perfusi yang kurang adekuat akibat kerusakan jaringan
pembuluh darah organ, termasuk kerusakan pada retina itu sendiri. Terdapat 4 proses biokimiawi
yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga berhubungan dengan timbulnya retinopati
diabetik, antara lain:
1) Akumulasi Sorbitol
Produksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari aktivasi jalur poliol
terjadi karena peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase yang terdapat pada jaringan saraf,
retina, lensa, glomerulus, dan dinding pembuluh darah akibat hiperglikemi kronis. Sorbitol
merupakan suatu senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat melewati membrana basalis
sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel. Kerusakan sel terjadi akibat
akumulasi sorbitol yang bersifat hidrofilik sehingga sel menjadi bengkak akibat proses osmotik.
Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD+ sehingga menurunkan uptake
mioinositol. Mioinositol berfungsi sebagai prekursor sintesis fosfatidilinositol untuk modulasi
enzim Na-K-ATPase yang mengatur konduksi syaraf. Secara singkat, akumulasi sorbitol dapat
menyebabkan gangguan konduksi saraf.
Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim aldose reduktase (sorbinil) yang
bekerja menghambat pembentukan sorbitol, dapat mengurangi atau memperlambat terjadinya
retinopatik diabetik. Namun uji klinik pada manusia belum menunjukkan perlambatan dari
progresifisitas retinopati.
3)
Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non enzimatik. Proses tersebut
pada akhirnya akan menghasilkan suatu senyawa AGE. Efek dari AGE ini saling sinergis dengan efek
PKC dalam menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, sintesis growth factor, aktivasi
endotelin 1 sekaligus menghambat aktivasi nitrit oxide oleh sel endotel. Proses tersebut tentunya
akan meningkatkan risiko terjadinya oklusi vaskular retina.
AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar glukosa. Akumulasi AGE mendahului
terjadinya kerusakan sel. Kadarnya 10-45x lebih tinggi pada DM daripada non DM dalam 5-20
minggu. Pada pasien DM, sedikit saja kenaikan glukosa maka meningkatkan akumulasi AGE yang
cukup banyak, dan akumulasi ini lebih cepat pada intrasel daripada ekstrasel.
4)
ROS dibentuk dari oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim yang menghasilkan hidrogen
peroksida (H2O2), superokside (O2-). Pembentukan ROS meningkat melalui autooksidasi glukosa
pada jalur poliol dan degradasi AGE. Akumulasi ROS di jaringan akan menyebabkan terjadinya stres
oksidatif yang menambah kerusakan sel.
Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses biokimiawi akibat hiperglikemia kronis terjadi
pada jaringan saraf (saraf optik dan retina), vaskular retina dan lensa. Gangguan konduksi saraf di
retina dan saraf optik akan menyebabkan hambatan fungsi retina dalam menangkap rangsang
cahaya dan menghambat penyampaian impuls listrik ke otak. Proses ini akan dikeluhkan penderita
retinopati diabetik dengan gangguan penglihatan berupa pandangan kabur. Pandangan kabur juga
dapat disebabkan oleh edema makula sebagai akibat ekstravasasi plasma di retina, yang ditandai
dengan hilangnya refleks fovea pada pemeriksaan funduskopi.
Neovaskularisasi yang tampak pada pemeriksaan funduskopi terjadi karena angiogenesis
sebagai akibat peningkatan sintesis growth factor, lebih
tepatnya disebut Vascular Endothelial Growt Factor (VEGF).
Sedangkan kelemahan dinding vaksular terjadi karena
kerusakan perisit intramural yang berfungsi sebagai jaringan
penyokong dinding vaskular. Sebagai akibatnya, terbentuklah
penonjolan pada dinding vaskular karena bagian lemah dinding
tersebut terus terdesak sehingga tampak sebagai
mikroaneurisma pada pemeriksaan funduskopi. Beberapa
mikroaneurisma dan defek dinding vaskular lemah yang
lainnya dapat pecah hingga terjadi bercak perdarahan pada
retina yang juga dapat dilihat pada funduskopi. Bercak
perdarahan pada retina biasanya dikeluhkan penderita dengan
floaters atau benda yang melayang-layang pada penglihatan.
2)
Glaukoma
Mekanisme terjadinya glaukoma pada retinopati diabetik masih belum jelas. Beberapa literatur
menyebutkan bahwa glaukoma dapat terjadi pada retinopati diabetik sehubungan dengan
neovaskularisasi yang terbentuk sehingga menambah tekanan intraokular.
6.5 Gejala Retinopati Diabetik
Pandangan kabur
Diabetes diabetik sering memiliki peringatan awal ada tanda-tanda. Bahkan degenerasi
edema, yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan lebih cepat, mungkin tidak memiliki tandatanda peringatan untuk beberapa waktu.
Secara umum, namun, orang dengan degenerasi edema cenderung memiliki kabur visi,
sehingga sulit untuk melakukan hal-hal seperti membaca atau drive. Dalam beberapa kasus, visi akan
menjadi lebih baik atau lebih buruk selama hari.
Sebagai bentuk pembuluh darah baru di belakang mata sebagai bagian dari '' proliferatif
diabetic retinopathy'' (PDR), mereka dapat berdarah (pendarahan) dan blur visi. Pertama kali hal ini
terjadi, itu mungkin tidak akan sangat parah.
Dalam kebanyakan kasus, akan meninggalkan beberapa bintik darah, atau bintik-bintik,
mengambang di bidang visual seseorang. Tempat ini sering diikuti dalam beberapa hari atau minggu
oleh kebocoran darah, yang mengaburkan visi jauh lebih besar. Dalam kasus ekstrim, orang hanya
akan dapat memberi tahu cahaya dari gelap di mata.
Mungkin butuh darah di mana saja dari beberapa hari untuk bulan atau bahkan bertahuntahun untuk menghapus dari dalam mata, dan dalam beberapa kasus darah akan tidak jelas. Jenis
besar hemorrhages cenderung terjadi lebih dari sekali, sering selama tidur.
Pada uji funduscopic, dokter akan melihat bintik-bintik kapas, hemorrhages api (leisons
serupa juga disebabkan oleh alpha-racun '' Clostridium novyi''), dan dot-blot hemorrhages.
6 Diagnosis
Diabetic retinopathy terdeteksi selama pemeriksaan mata yang meliputi:
Tes ketajaman Visual : Tes ini menggunakan grafik mata untuk mengukur seberapa baik seseorang
melihat pada berbagai jarak.
Oftalmoskopi: Ini adalah pemeriksaan retina di mana perawatan mata profesional: (1) terlihat
melalui perangkat dengan lensa pembesar khusus yang memberikan pandangan sempit retina, atau
(2) mengenakan headset dengan cahaya terang, terlihat melalui kaca pembesar khusus dan
keuntungan pandangan luas retina. Perhatikan bahwa oftalmoskopi genggam tidak cukup untuk
menyingkirkan retinopati diabetes yang signifikan dan diobati.
Tomografi koherensi optik': Ini adalah suatu modalitas pencitraan optik berdasarkan gangguan, dan
analog dengan USG. Ini menghasilkan gambar penampang dari retina (B-scan) yang dapat digunakan
untuk mengukur ketebalan retina dan untuk menyelesaikan lapisan utama, memungkinkan
pengamatan kebocoran pembengkakan dan atau.
Program Skrining retina digital: program sistematis untuk deteksi dini penyakit mata termasuk
retinopati diabetik menjadi lebih umum, seperti di Inggris, di mana semua orang dengan diabetes
mellitus yang ditawarkan skrining retina setidaknya setiap tahun. Ini melibatkan mengambil gambar
digital dan transmisi gambar ke pusat rujukan membaca digital untuk evaluasi dan pengobatan. Lihat
Vanderbilt Kedokteran Imaging Center dan Program Skrining Inggris Retinopati Diabetik Nasional
Celah ''Lampu Biomicroscopy Program Skrining retina: program sistematis untuk deteksi dini
retinopati diabetes menggunakan celah-lampu biomicroscopy. Ini ada baik sebagai skema mandiri
atau sebagai bagian dari program Digital (di atas) di mana foto digital dianggap kurang jelas cukup
untuk deteksi dan / atau diagnosis kelainan retina.
Profesional perawatan mata akan melihat retina tanda-tanda awal penyakit, seperti: (1) bocor
pembuluh darah, (2) pembengkakan retina, seperti edema makula, (3) pucat, deposit lemak pada
retina (eksudat) - tanda-tanda bocor pembuluh darah, (4) saraf jaringan yang rusak (neuropati), dan
(5) perubahan dalam pembuluh darah.
Mikroaneurisma
Edema makula
Perdarahan retina
Neovaskularisasi
Pasien mungkin kehilangan sebagian penglihatan periferal mereka setelah operasi ini, tetapi
prosedurnya menyimpan sisa dari pandangan pasien. Operasi laser juga dapat sedikit mengurangi
warna dan penglihatan pada malam hari.
Seseorang dengan retinopati proliferatif akan selalu berisiko untuk perdarahan baru, serta
glaukoma, komplikasi dari pembuluh darah baru. Ini berarti bahwa beberapa perawatan mungkin
diperlukan untuk melindungi penglihatan.
3. Intravitreal triamcinolone acetonide
Triamcinolone adalah persiapan yang panjang steroid akting. Ketika disuntikkan dalam
rongga vitreous, itu mengurangi edema makula (penebalan retina pada makula) disebabkan
karena maculopathy diabetes, dan hasil dalam peningkatan ketajaman visual. Efek dari
triamcinolone bersifat sementara, yang berlangsung sampai tiga bulan, yang memerlukan
suntikan berulang untuk menjaga efek yang menguntungkan. Komplikasi injeksi triamcinolone
4. Vitrectomy
Alih-alih operasi laser, beberapa orang membutuhkan operasi mata disebut vitrectomy
untuk memulihkan penglihatan. Sebuah vitrectomy dilakukan ketika ada banyak darah di
vitreous. Ini melibatkan menghapus vitreous keruh dan menggantinya dengan larutan garam.
Studi menunjukkan bahwa orang yang memiliki vitrectomy segera setelah perdarahan besar lebih
mungkin untuk melindungi visi mereka dari seseorang yang menunggu untuk memiliki operasi.
Awal vitrectomy sangat efektif pada orang dengan insulin-dependent diabetes, yang
mungkin berada pada risiko lebih besar kebutaan dari pendarahan ke dalam mata. Vitrectomy
sering dilakukan dengan anestesi lokal. Dokter membuat sayatan kecil di sclera, atau putih mata.
Selanjutnya, alat kecil ditempatkan ke dalam mata untuk menghapus vitreous dan masukkan
larutan garam ke dalam mata. Pasien mungkin dapat pulang segera setelah vitrectomy, atau
mungkin diminta untuk tinggal di rumah sakit semalam. Setelah operasi, mata akan merah dan
sensitif, dan pasien biasanya harus memakai penutup mata yang selama beberapa hari atau
minggu untuk melindungi mata. Obat tetes mata juga diresepkan untuk melindungi terhadap
infeksi.
8 Prognosis
Pasien RDNP minimal dengan hanya ditandai mikroaneurisma yang memiliki prognosis baik
sehingga cukup dilakukan pemeriksaan ulang setiap 1 tahun. Pasien RDNP sedang tanpa disertai
edema macula, perlu dilakuakn pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan karena sering progresif.
Pasien RDNP derajat ringan hingga sedang dengan disertai edema macula perlu diperiksa kembali
dalam waktu 4-6 bulan. Pasien RDNP berat memiliki risiko tinggi menjadi RDP, sedangkan pasien
dengan RDP risiko tinggi harus segera diterapi dengan fotokoagulasi ( scatter photocoagulation).