Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya
angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa.Terminologi glomerulonefritis yang dipakai disini adalah
untuk menunjukkan bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi pada glomerulus, bukan pada struktur
ginjal yang lain.
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai dalam
gromleurus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau hematuria. Meskipun lesi utama pada gromelurus,
tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal. Penyakit yang
mula-mula digambarkan oleh Richard Bright pada tahun 1827 sekarang diketahui merupakan kumpulan banyak
penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun respon imun agaknya menimbulkan beberapa bentuk
glomerulonefritis
Indonesia pada tahun 1995, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan
dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta
(24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan
terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%).
Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis)
seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa mual-mual, kurang darah
(anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan berwarna merah,
biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan
10% berakibat fatal.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
2.
a.
b.
c.
d.
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini yaitu agar mahasiswa dapat mengetahui
tentang asuhan keperawatan glomerulonefritis akut.
Tujuan Khusus:
Mahasiswa mampu mengetahui Anatomi Fisiologi Ginjal.
Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis dari
glomerulonefritis akut pada anak
Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksaan, komplikasi, masalah keperawatan yang
mungkin muncul pada glomerulonefritis akut pada anak
Mahasiswa mampu melaksanaan perencanaan asuhan keperawatan dan implementasi serta
evaluasi dari masalah keperawatan glomerulonefritis akut pada anak.
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Semoga
dengan makalah
ini
diharapkan
kami
sebagai
mahasiswa
dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai penyebab serta upaya pencegahan
penyakitglomerulonefritis agar terciptanya kesehatan masyarakat yang lebih baik.
2. Bagi Pembaca
3.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Anatomi Fisiologi
Glomerulus terdiri atas suatu anyaman kapiler yang sangat khusus dan diliputi oleh simpai
Bowman. Glomerulus yang terdapat dekat pada perbatasan korteks dan medula (juxtame-dullary)
lebih besar dari yang terletak perifer. Percabangan kapiler berasal dari arteriola afferens, membentuk
lobul-lobul, yang dalam keadaan normal tidak nyata , dan kemudian berpadu lagi menjadi arteriola
efferens. Tempat masuk dan keluarnya kedua arteriola itu disebut kutub vaskuler.
imunologis. Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi klinik selain
menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis.
C. Etiologi
D.
1.
2.
3.
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius
bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe 12,4,16,25,dan 29.
Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan pertama kali oleh
Lohlein pada tahun 1907 dengan alas an timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi
skarlatina,diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer antistreptolisin pada serum penderita.
Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama
kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen daripada
yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum
dan factor alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis akut pasca streptococcus adalah suatu sindrom nefrotik akut yang ditandai
dengan timbulnya hematuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Gejala-gejala ini timbul
setelah infeksi kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau
pada kulit. Glomerulonefritis akut pasca streptococcus terutama menyerang pada anak laki-laki dengan
usia kurang dari 3 tahun.Sebagian besar pasien (95%) akan sembuh, tetapi 5 % diantaranya dapat
mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.
Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan
A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit, sehingga pencegahan dan pengobatan infeksi saluran
pernafasan atas dan kulit dapat menurunkan kejadian penyakit ini. Dengan perbaikan kesehatan
masyarakat, maka kejadian penyakit ini dapat dikurangi.
Glomerulonefritis akut dapat juga disebabkan oleh sifilis, keracunan seperti keracunan timah
hitam tridion, penyakitb amiloid, trombosis vena renalis, purpura anafilaktoid dan lupus eritematosus.
Patogenesis
Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya
kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis akut. Beberapa ahli mengajukan
hipotesis sebagai berikut :
Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis glomerulus dan
kemudian merusaknya.
Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan auto-imun
yang merusak glomerulus.
Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang
sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrane basalis ginjal.
E.
a.
1.
Klasifikasi
Congenital (herediter)
Sindrom Alport
Suatu penyakit herediter yang ditandai oleh adanya glomerulonefritis progresif familial yang seing
disertai tuli syaraf dankelainan mata seperti lentikonus anterior. Diperkirakan sindrom alport
merupakan penyebab dari 3% anak dengan gagal ginjal kronik dan 2,3% dari semua pasien yang
mendapatkan cangkok ginjal. Dalam suatu penelitian terhadap anak dengan hematuria yang dilakukan
pemeriksaan biopsi ginjal, 11% diantaranya ternyata penderita sindrom alport. Gejala klinis yang utama
adalah hematuria, umumnya berupa hematuria mikroskopik dengan eksasarbasi hematuria nyata timbul
pada saat menderita infeksi saluran nafas atas. Hilangnya pendengaran secara bilateral dari
2.
b.
1.
2.
3.
c.
sensorineural, dan biasanya tidak terdeteksi pada saat lahir, umumnya baru tampak pada awal umur
sepuluh tahunan.
Sindrom Nefrotik Kongenital
Sinroma nefrotik yang telah terlihat sejak atau bahkan sebelum lahir. Gejala proteinuria massif, sembab
dan hipoalbuminemia kadang kala baru terdeteksi beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian.
Proteinuria terdapat pada hamper semua bayi pada saat lahir, juga sering dijumpai hematuria
mikroskopis. Beberapa kelainan laboratories sindrom nefrotik (hipoproteinemia, hiperlipidemia) tampak
sesuai dengan sembab dan tidak berbeda dengan sindrom nefrotik jenis lainnya.
Glomerulonefritis Primer
Glomerulonefritis membranoproliferasif
Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya dengan gejala yang tidak spesifik,
bervariasi dari hematuria asimtomatik sampai glomerulonefitis progresif. 20-30% pasien menunjukkan
hematuria mikroskopik dan proteinuria, 30 % berikutnya menunjukkan gejala glomerulonefritis akut
dengan hematuria nyata dan sembab, sedangkan sisanya 40-45% menunjukkan gejala-gejala sindrom
nefrotik. Tidak jarang ditemukan 25-45% mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan bagian atas,
sehingga penyakit tersebut dikira glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau nefropati IgA.
Glomerulonefritis membranosa
Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu atau setelah pengobatan dengan
obat tertentu. Glomerulopati membranosa paling sering dijumpai pada hepatitis B dan lupus
eritematosus sistemik. Glomerulopati membranosa jarang dijumpai pada anak, didapatkan insiden 2-6%
pada anak dengan sindrom nefrotik. Umur rata-rata pasien pada berbagai penelitian berkisar antara 1012 tahun, meskipun pernah dilaporkan awitan pada anak dengan umur kurang dari 1 tahun. Tidak ada
perbedaan jenis kelamin. Proteinuria didapatkan pada semua pasien dan sindrom nefrotik merupakan
80% sampai lebih 95% anak pada saat awitan, sedangkan hematuria terdapat pada 50-60%, dan
hipertensi 30%.
Nefropati IgA (penyakit berger)
Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan glomerulonefritis akut, sindroma nefrotik,
hipertensi dan gagal ginjal kronik. Nefropati IgA juga sering dijumpai pada kasus dengan gangguan
hepar, saluran cerna atau kelainan sendi. Gejala nefropati IgA asimtomatis dan terdiagnosis karena
kebetulan ditemukan hematuria mikroskopik. Adanya episode hematuria makroskopik biasanya
didahului infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain atau non infeksi misalnya olahraga dan imunisasi.
Glomerulonefritis sekunder
Golerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik yaitu glomerulonefritis pasca
streptococcus, dimana kuman penyebab tersering adalah streptococcus beta hemolitikus grup A yang
nefritogenik terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah. Glomerulonefritis pasca
streptococcus datang dengan keluhan hematuria nyata, kadang-kadang disertai sembab mata atau
sembab anasarka dan hipertensi.
F. Manifestasi Klinis
1.
2.
3.
4.
Hematuria
Edema pada wajah terutama periorbita atau seluruh tubuh
Oliguria
Tanda-tanda payah jantung
5. Hypertensi
6. Muntah-muntah,nafsu makan kurang kadang diare
Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi
tidak jarang anak datang dengan gejala berat. Kerusakan pada rumbai kapiler gromelurus
mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria, seperti yang
telah dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi.
Kadang-kadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh.
Umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung.Edema yang terjadi
berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan
ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan
azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Di pagi
hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata
dibagian anggota GFR biasanya menurun (meskipun aliran plasma ginja biasanya normal)
akibatnya, ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema
dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan
natrium.Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun
edema paling nyata dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema
biasanya tergantung pada berat peradangan glomerulus, apakah disertai dengan payah jantung
kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan garam.
Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama,
kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan
jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi
permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi
dapat tinggi sekali pada hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak
ada gejala infeksi lain yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak
nafsu makan, konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA.
Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya
sedang.Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat
vasospasme masih belum diketahui dengna jelas.
G. Komplikasi
Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang
lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum
kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat
gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini
disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran
jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja disebabkan spasme
pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma.
Jantung dapat memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan
kelainan di miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik
yang menurun.
1.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan urine : adanya proteinuria (+1 sampai +4), kelainan sedimen urine dengan
eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++), albumin (+),
silinder lekosit (+) dan lain-lain. Analisa urine adanya strptococus
2. Pemeriksaan darah :
- kadar ureum dan kreatinin serum meningkat.
jumlah elektrolit : hiperkalemia, hiperfosfatem dan hipokalsemia.
- analisa gas darah ; adanya asidosis.
- Komplomen hemolitik total serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah.
- kadar albumin, darah lengkap (Hb,leukosit,trombosit dan erytrosit)adanya anemia
3. Pemeriksaan Kultur tenggorok : menentukan jenis mikroba adanya streptokokus
4. Pemeriksaan serologis : antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase \
5. Pemeriksaan imunologi : IgG, IgM dan C3.kompleks imun
6. Pemeriksaan radiologi : foto thorak adanya gambaran edema paru atau payah jantung
7. ECG : adanya gambaran gangguan jantung
Urinalisis menunjukkan hematuria makroskopik ditemukan hampir pada 50%
penderita, Kadang-kadang dengan tanda gagal ginjal seperti Kadang-kadang tampak adanya
proteinuria masif dengan gejala sindroma nefrotik. pada hampir semua pasien dalam minggu
pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun
pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen.
Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut pascastreptokokus
dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl). Penurunan C3 tidak
berhubungan dengann parahnya penyakit dan kesembuhan. Kadar komplomen akan mencapai
kadar normal kembali dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosa,
karena pada glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar C3,
ternyata berlangsung lebih lama.
Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan
kulit.Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba. Beberapa uji serologis
terhadap antigen sterptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi, antara lain
antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antisterptozim cukup
bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen sterptokokus.
Titer anti sterptolisin O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan
faringitis, meskipun beberapa starin sterptokokus tidak memproduksi sterptolisin O.sebaiknya
serum diuji terhadap lebih dari satu antigen sterptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan,
lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi sterptokokus.Titer ASTO meningkat pada
hanya 50% kasus, tetapi antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen
sterptokokus biasanya positif. Pada awal penyakit titer antibodi sterptokokus belum
meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara seri.Kenaikan titer 2-3 kali berarti
adanya infeksi.
Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan C3.kompleks
imun bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai diagnostik dan
tidak perlu dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.
I.
Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di glomerulus.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8
minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi
penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu
dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi
beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi
Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya
untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya
sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang
menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen
lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat
dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika
alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari
dibagi 3 dosis.
Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan
rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi
dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah,
maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi
pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi
seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang
diberikan harus dibatasi.
Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa
untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi
dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan
reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam
kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03
mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek
toksis.
Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam
darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan
lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas
tidak dapat dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun
dapat dikerjakan dan adakalanya menolong juga.
Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini
pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit
tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus (Repetto dkk,
1972).
Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.
1. Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan/malaise
Tanda: kelemahan otot, kehilangan tonus otot
2. Sirkulasi
Tanda: hipertensi, pucat,edema
3. Eliminasi
Gejala: perubahan pola berkemih (oliguri)
Tanda: Perubahan warna urine (kuning pekat, merah)
4. Makanan/cairan
Gejala: (edema), anoreksia, mual, muntah
Tanda: penurunan keluaran urine
5. Pernafasan
Gejala: nafas pendek
Tanda: Takipnea, dispnea, peningkatan frekwensi, kedalaman (pernafasan kusmaul)
6. Nyeri/kenyamanan
Gejala: nyeri pinggang, sakit kepala
Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah
c. Pengkajian Perpola
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
d.
-
e. Analisa Data
No
DX
1
Etiologi
Problem
Intoleransi
aktifitas
b.d.
kekurangan protein dan disfungsi
ginjal
Migrasi sel
radang ke glomerulus
AntigenAntibody dalam dinding kapiler
Eposit, komplemen, ant trase,
netrofit, netrofil dan monosit
Intoleransi aktivitas
2
Infeksi streptococcus
hemoliticus groupA
Edema
Infeksi
streptococcus hemoliticus
groupA
Terjadi proses kompleks immune
Resiko
peradangan/infeksi berhubungan
dengan
depresi system imun
Resiko
peradangan/infeksi berhubungan
dengan depresi system imun
Infeksi/ Penyakit
(Streptococurs hemoliticus grup
A)
Potensial
gangguan
jaringa b.d hipertensi
perfusi
Perubahan
integritas
kulit
berhubungan dengan odema.
glomerular
Odema
Perubahan integritas kulit
berhubungan dengan odema.
Kurang
pengetahuan
berhubungan dengan kurang
informasi
tentang
proses
penyakit.
hemoliticus group A
Kurang pengetahuan berhubungan
dengan kurang informasi tentang
proses penyakit.
Odema
f.
Diagnosa Keperawatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
g. Intervensi
1. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan protein dan disfungsi ginjal
Tujuan : Klien dapat toleransi dengan aktifitas yang dianjurkan.
Intervensi
1. Pantau kekurangan protein yang
1.
Rasional
Kekurangan protein
berlebihan(proteinuri, albuminuria )
2. Gunakan diet protein untuk mengganti
protein yang hilang.
2.
3. Beri diet tinggi protein tinggi
karbohidrat.
3.
4. Anjurkan Pasien untuk tirah baring
4.
5. Berikan latihan selama pembatasan
aktifitas.
5.
6. Rencana aktifitas denga waktu istirahat.
7. Rencanakan cara progresif untuk
6.
kembali beraktifitas normal ; evaluasi
tekanan darah dan haluaran protein urin.
7.
2. Potensial kelebihan volume cairan b.d. retensi air dan natrium serta disfungsi ginjal.
Tujuan : Klien tidak menunjukan kelebihan volume cairan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Rencana
Pantau dan laporkan tanda dan gejala 1.
kelebihan cairan:
Ukur dan catat intak dan output setiap
4-8 jam
2.
Catat jumlah dan karakteristik urine
Ukur berat jenis urine tiap jam dan
timbang BB tiap hari
3.
Kolaborasi dengan gizi dalam
pembatasan diet natrium dan protein
Berikan es batu untuk mengontrol rasa
4.
haus dan maasukan dalam perhitungan
intak
5.
Pantau elektrolit tubuh dan observasi
adanya tanda kekurangan elektrolit
tubuh
Hipokalemia : kram abd,letargi,aritmia6.
Hiperkalemia : kram otot, kelemahan
Hipokalsemia : peka rangsang pada
neuromuskuler
Hiperfosfatemia: hiperefleksi,parestesia,
kram otot, gatal, kejang
Uremia : kacau mental, letargi,gelisah
Kaji efektifitas pemberian elektrolit
parenteral dan oral
Rasional
Memonitor kelebihan cairan
sehingga dapat dilakukan tindakan
penanganan
Jumlah , karakteristik urin dan
BB dapat menunjukan adanya
ketidak seimbangan cairan
Natrium dan protein meningkatkan
osmolaritas sehingga tidak terjadi
retriksi cairan.
Rangsangan dingin ddapat
merangsang pusat haus
Memonitor adanya ketidak
seimbangan elektrolit dan
menentukan tindakan penanganan
yang tepat.
Pemberian elektrolit yang tepat
mencegah ketidak seimbangan
elektrolit.
3. Potensial terjadi infeksi (ISK, lokal, sistemik) b.d. depresi sistem imun
Tujuan : Klien tidak mengalami infeksi setelah diberikan asuhan keperawatan.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Rencana
Kaji efektifitas pemberian
1.
imunosupresan.
Pantau jumlah leukosit.
Pantau suhu tiap 4 jam.
Perhatikan karakteristik urine.
2.
Hindari pemakaian alat/kateter pada 3.
saluran urine.
Pantau tanda dan gejala ISK dan
4.
lakukan tindakan pencegahan ISK.
Gunakan dan anjurkan tehnik cuci
5.
tangan yang baik.
Anjurkan pada klien untuk menghindari6.
orang terinfeksi
Lakukan pencegahan kerusakan
integritas kulit
7.
Rasional
Imunosupresan berfunsi menekan
sisteem imun bila pemberiannya
tidak ekeftif maka tubbuh akan
sangat rentan terhadap infeksi
Indikator adanya infeksi
Memonitor suhu & mengantipasi
infeksi
Urine keruh mmenunjukan adanya
infeksi saluran kemiih
Kateter dapat menjadi media
masuknya kuman ke saluran kemih
Memonitor adanya infeksi
sehingga dapat dilakukan tindakan
dengan cepat
Tehnik cuci tangan yang baik dapat
memutus rantai penularan.
8. Sistim imun yang terganggu
memudahkan untuk terinfeksi
9. Kerusakan integritas kulit
merupakan hilangnya barrier
pertama tubuh
2.
3.
4.
Rencana
Pantau tanda dan gejala krisis
1.
hipertensi (Hipertensi, takikardi,
bradikardi, kacau mental, penurunan 2.
tingkat kesadaran, sakit kepala, tinitus,
mual, muntuh, kejang dan disritmia). 3.
Pantau tekanan darah tiap jam dan
kolaborasi bila ada peningkatan TD
sistole >160 dan diastole > 90 mm Hg 4.
Kaji keefektifan obat anti hipertensi
Pertahankan TT dalam posisi rendah
Rasional
Krisis hipertensi menyebabkan suplay
darah ke organ tubuh berkurang.
Tekanan darah yang tinggi
menyebabkan suplay darah berkurang.
Efektifitas obat anti hipertensi penting
untuk menjaga adekuatnya perfusi
jarringan.
Posisi tidur yang rendah menjaga
suplay darah yang cukup ke daerah
cerebral
5. Perubahan integritas kulit b.d. imobilisasi, uremia, kerapuhan kapiler dan edema.
Tujuan : Klien tidak menunjukan adanya perubahan integritas kulit selama menjalani
perawatan.
Rencana
Rasional
1. Kaji kulit dari kemerahan, kerusakan,1. Mengantisipasi adanya kerusakan
memar, turgor dan suhu.
kulit sehingga dapat diberikan
penangan dini.
2. Kulit yang kering dan bersih tidak
mudah terjadi iritasi dan mengurangi
media pertumbuhan kuman.
3. Lotion dapat melenturkan kulit
sehingga tidak mudah pecah/rusak.
4. Sabun yang keras dapat menimbulkan
kekeringan kulit dan sabun yang kasar
dapat menggores kulit.
5. Menggaruk menimbulkan kerusakan
kulit.
6. Ambulasi dan perubahan posisi
meningkatkan sirkulasi dan mencegah
penekanan pada satu sisi.
7. Lipatan menimbulkan tekanan pada
kulit.
8. Sirkulasi yang terhambat
memudahkan terjadinya kerusakan
kulit.
9.
h. Implementasi
Melakukan implementasi sesuai dengan intervensi dengan memegang prinsip sebagai berikut
:
1). Mempertahankan toleransi anak terhadap aktivitas sehari-hari.
2). Mempertahankan cairan tubuh dalam batas normal.
3). Mencegah terjadinya infeksi.
4). Meningkatkan pengetahuan orang tua terhadap penyakit anaknya.
5). Memenuhi kebutuhan nutrisi klien adekuat.
i. Evaluasi
Dari setiap tindakan yang dilakukan secara paripurna untuk mengatasi masalah keperawatan
akan didapatkan hasil sebagai berikut :
1). Tujuan tercapai / masalah teratasi.
2). Tujuan tercapai sebagian, Intervensi dilanjutkan.
3). Tujuan belum tercapai / masalah belum teratasi dilakukan reasesmen.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
GNA adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus
tertentu (infeksi kuman streptococcus). GNA sering ditemukan pada anak usia 3-7 thn dan
pada anak pria lebih banyak. Penyakit sifilis,keracunan,penyakit amiloid,trombosis vena
renalis,purpura anafilaktoid, dan lupus eritematosus. Laju endap darah meninggi, HB
menurun pada pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan urin didapatkan jumlah urin
mengurang, berat jenis meninggi,hematuria makroskopik, albumin (+), eritrosit (++), leukosit
(+),silinder leukosit,ureum dan kreatinin darah meningkat. Pada penyakit ini, klien harus
istirahat selama 1-2 minggu, diberikan penicilli, pemberian makanan rendah protein dan bila
anuria, maka ureum harus dikeluarkan. Komplikasi yang ditimbulkan adalah
oliguria,ensefalopati hipertensi,gangguan sirkulasi serta anemia.Gejala-gejala umum yang
berkaitan dengan permulaan penyakit adalh rasa lelah, anoreksia dan kadang demam,sakit
kepala, mual, muntah. Gambaran yang paling sering ditemukan adalah :hematuria,
oliguria,edema,hipertensi
Tujuan utama dalam penatalaksanaan glomerulonefritis adalah untuk
meminimalkan kerusakan pada glomerulus, meminimalkan metabolisme pada ginjal,
meningkatkan fungsi ginjal
Tidak ada pengobatan khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan
glomerulus. Pemberian pinisilin untuk membrantas semua sisa infeksi,tirah baring selama
stadium akut, diet bebas bila terjadi edema atau gejala gagal jantung danantihipertensi kalau
perlu,sementara kortikosteroid tidak mempunyai efek pada glomerulofritis akut pasca infeksi
strepkokus.
Pronosis penyakit pada anak-anak baik sedangkan prognosisnya pada orang
dewasa tidak begitu baik.
2. Saran
1. Bagi Penulis
Sebagai mahasiswa haruslah dapat meningkatkanpengetahuan dan wawasan mengenai
penyebab serta upaya pencegahan penyakit glomerulonefritis agar terciptanya kesehatan
masyarakat yang lebih baik.
2. Bagi Pembaca
Diharapkan agar pembaca dapat mengetahui tentangglomerulonefritis lebih dalam
sehingga dapat mencegah serta mengantisipasi diri dari penyakit glomerulonefritis.
3. Bagi Petugas Kesehatan dan Institusi Pendidikan
Dapat menambah bahan pembelajaran dan informasi tentang glomerulonefritis.
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto, petrus. Gumawan Johannes,1990. Kapita Selekta Patologi klinik. Edisi 4. Jakarat: EGC
Arfin, Behrama Kliegman, 2000. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta : EEC
Brunner and Suddarth, 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed.8 Vol.2. Jakarta : EEC
Chandrasoma Parakrama ,Clive R Taylor, 1994. Patologi Anatomi.Edisi 2.Jakarta: EGC
Doengoes, Marilynn E, 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Ed.3. Jakarta : EEC
Engram Barbara, 1999. Rencana Asuhan Kepertawatan Medikal Bedah.Vo.l 1. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC
Mansjoer, Arif.dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.3. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
FKUI