Vous êtes sur la page 1sur 10

ANTI DIABETES

I. Pendahuluan
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak
pada produktivitas dan dapat menurunkan Sumber Daya Manusia. Penyakit ini tidak
hanya berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan suatu negara.
Walaupun belum ada survei nasional, sejalan dengan perubahan gaya hidup
termasuk pola makan masyarakat Indonesia diperkirakan penderita DM ini semakin
meningkat, terutama pada kelompok umur dewasa keatas pada seluruh status
sosial ekonomi (Anonim, 2008).
Saat ini upaya penanggulangan penyakit Diabetes Mellitus belum menempati skala
prioritas utama dalam pelayanan kesehatan, walaupun diketahui dampak negatif
yang ditimbulkannya cukup besar antara lain komplikasi kronik pada penyakit
jantung kronis, hipertensi, otak, sistem saraf, hati, mata dan ginjal (Anonim,
2008).
Diabetes Mellitus merupakan salah satu penyakit degeratif, dimana terjadi
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta ditandai dengan
tingginya kadar gula dalam darah (hiperglikemia) dan dalam urin (glukosuria)
(Anonim, 2008).
Diabetes Mellitus atau kencing manis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
karena peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan
hormon insulin baik absolut maupun relatif. Absolut berarti tidak ada insulin sama
sekali sedangkan relatif berarti jumlahnya cukup/memang sedikit tinggi atau daya
kerjanya kurang. Hormon Insulin dibuat dalam pancreas (Anonim, 2008).
Gejala klinis yang khas pada DM yaitu Triaspoli yaitu:
- polidipsi (banyak minum)
- poli phagia (banyak makan)
- poliuri (banyak kencing),
- disamping disertai dengan keluhan sering kesemutan terutama pada jari-jari
tangan
- badan terasa lemas, gatal-gatal dan bila ada luka sukar sembuh.
- Kadang-kadang BB menurun secara drastis (Anonim, 2008).
II. Tujuan Percobaan
- Untuk mengetahui kadar gula darah puasa pada hewan percobaan
- Untuk mengetahui kadar gula darah pada hewan percobaan setelah pemberian
larutan glukosa
- Untuk mengetahui efek Glibenklamid pada kadar gula darah hewan percobaan
III. Prinsip Percobaan
Pemberian larutan glukosa akan menyebabkan kenaikan kadar gula darah pada

hewan percobaan. Kenaikan kadar gula darah dapat diturunkan dengan pemberian
obat antidiabetes yaitu Glibenklamid. Kadar gula darah diukur dengan alat
glukotest strip pada waktu tertentu.
IV. Tinjauan Pustaka
Insulin merupakan protein kecil yang mengandung dua rantai polipeptida yang
dihubungkan oleh ikatan disulfide. Disintesis sebagai precursor (pro-insulin) yang
mengalami pemisahan proteolitik untuk membentuk insulin dan peptide-C,
keduanya disekresikan oleh sel- pancreas (Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P.
C., 2001).
Sekresi insulin diatur tidak hanya oleh kadar glukosa darah tetapi juga oleh
hormone lain dan mediator autonomic. Sekresi insulin umumnya dipacu oleh
ambilan glukosa darah yang tinggi dan difosforilasi dalam sel pancreas. Kadar
adenosine trifosfat (ATP) meningkat dan menghambat saluran K+, menyebabkan
membrane sel depolarisasi dan influks Ca2+, yang menyebabkan pulsasi eksositosis
insulin (Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C., 2001).
Insulin di rilis dari sel pankreas, pada keadaan basal dengan kecepatan rendah
dan pada keadaan stimulasi sebagai respons terhadap berbagai stimulus, khususnya
glukosa, dengan suatu kecepatan yang lebih tinggi. Stimulan lain seperti gula lain
(misalnya mannose), asam amino tertentu (misal leucine, arginine), dan juga
dikenal aktivitas vagal (Katzung, B. G., 2002).
Hiperglikemia menyebabkan peningkatan kadar ATP intraseluler, sehingga menutup
kanal kalium yang tertantung pada ATP. Penurunan arus keluar dari kalium melalui
kanal tersebut menyebabkan depolarisasi sel B dan terbukanya kanal kalsium yang
tergantung dari voltase (voltage-gated). Hasil peningkatan kalsium intraselular
memicu sekresi hormon tersebut. Mekanisme tersebut jelas lebih kompleks
daripada ringkasan pendek yang diungkapkan di depan, karena beberapa pembawa
pesan (messenger) intyraselular terbukti memodulasi proses tersebut (cAMP,
inositol triphosphate, diacygliserol) dan respon insulin terhadap peningkatan
monofasik glukosa bersifat bifasik (Katzung, B. G., 2002).
Sekali insulin memasuki sirkulasi, maka insulin diikat oleh reseptor khusus yang
terdapat pada membran sebagian besar jaringan. Walaupun demikian, respon
biologis yang dipicu oleh terjadinya kompleks reseptor insulin tersebut, hanya
dapat diidentifikasikan pada beberapa jaringan target saja, misalnya hati, otot,
dan jaringan lemak. Reseptor mengikat insulin dengan spesifitas dan afinitas yang
tinggi dalam rentang pikomolar. Reseptor insulin yang penuh terdiri dari dua
heterodimer, masing-masing mengandung suatu subunit alfa, yang seluruhnya
ekstraseluler dan merupakan situs pengenalan, serta subunit beta yang
membentang membran. Subunit beta mengandung suatu kinase tyrosine (Katzung,

B. G., 2002).
Apabila insulin mengikat subunit alfa yang berada diluar permukaan sel, terjadi
aktivasi kinase tyrosine pada bagian beta. Walaupun bentuk dimerik ab mampu
mengikat insulin, ikatan tersebut terjadi dalam afinitas yang lebih rendah daripada
ikatan yang terbentuk pada bentuk tetramerik aabb. Terjadi fosforilisasi diri
sendiri dari reseptor bagian beta yang menyebabkan peningkatan agregasi
heterodimer ab dan stabilisasi keadaan aktivasi reseptor kinase tyrosine. Telah
diidentifikasi sembilan substrat untuk mengaktifkan reseptor insulin. Proteinprotein pertama yang difosforilasi oleh reseptor kinase tyrosine termasuk protein
pengait (docking), substrat reseptor insulin-1 (IRS-1), yang mempunyai lebih dari
22 situs untuk fosforilisasi tyrosine, dan substrat reseptor insulin-2 (IRS-2)
(Katzung, B. G., 2002).
Setelah fosforilasi tyrosine pada beberapa situs kritis, IRS-1 dan IRS-2 terikat dan
mengaktifkan kinase alin dan mengaktifkan fosforilasi selanjutnya. Jaringan kerja
fosforilasi dalam sel tersebut mewakili pesan insulin yang kedua dan menyebabkan
translokasi beberapa protein seperti transporter glukosa dari situs-situs yang
etrpisah dalam sel-sel adiposit dan otot untuk memaparkan lokasi pada pertukaran
sel. Akhirnya, kompleks reseptor insulin diinternalisasi (Katzung, B.G. ,2002).
Diabetes mellitus, penyakit kencing manis adalah suatu gangguan kronis yang
dibicarakan hiperglikemia dan khususnya menyangkut metabolisne glukosa dalam
tubuh. Harapan hidup penderita diabetes rata-rata 5-10 tahun lebih rendah dan
resikonya akan PJP adalah 2-4 kali lebih besar. Penyebabnya adalah kekurangan
hormone insulin yang berfungsi memungkinkan glukosa masuk ke dalam sel untuk
dimetabolisir dan demikian dimanfaatkan sebagai sumber energi. Akibatnya asalah
glukosa bertumpuk di dalam darah dan akhirnya diekskresi lewat kemih tanpa
digunakan. Karena itu produksi kemih sangat meningkat dan penderita sering
berkemih, merasa amat haus, berat badan menurun dan merasa leleh. Penyebab
lainnya adalah menurunya kepekaan reseptor bagian insulin yang diakibatkan
terlalu banyak makan dan kegemukan (Tan, H.T. dan Kirana Rahardja, 2007)
Rata-rata 1,5-2% dari seluruh penduduk dunia menderita diabetes yang bersifat
menurun. Di Indonesia diperkirakan tiga juta orang. Pankreas adalah suatu organ
lonjong yang terletak di belakang lambung dan sebagian di belakang hati. Organ ini
terdiri dari 98% sel-sel sekresi yang memproduksi enzim-enzim cerna yang
disalurkan ke duodenum, sisanya terdiri dari kelompok sel dengan sekresi intern.
Dalam pancreas terdapat 4 jenis sel endrokin, yakni:
a. Sel alpha memproduksi glikagon.
b. Sel beta menghasilkan insulin
c. Sel D memproduksi somatostatin (antagonis somatoprin)
d. Sel PP memproduksi PP (Pancreatic Polipeptida) yang mungkin berperan dalam

penghambatan sekresi endokrin dalam empedu (Tan, H.T. dan Kirana Rahardja,
2007)
Apa penyebab Diabetes Mellitus ?
DM atau kencing manis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh karena
peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan hormon
insulin baik absolut maupun relatif. Absolut berarti tidak ada insulin sama sekali
sedangkan relatif berarti jumlahnya cukup/memang sedikit tinggi atau daya
kerjanya kurang. Hormon Insulin dibuat dalam pancreas. Ada 2 macam type DM :
1. DM type I. atau disebut DM yang tergantung pada insulin. DM ini disebabkan
akibat kekurangan insulin dalam darah yang terjadi karena kerusakan dari sel beta
pancreas. Gejala yang menonjol adalah terjadinya sering kencing (terutama malam
hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM type ini berat
badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan
insulin seumur hidup.
2. DM type II atau disebut DM yang tak tergantung pada insulin. DM ini disebabkan
insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal,
rendah atau bahkan bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme
glukosa tidak ada/kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga
terjadi hiperglikemia, 75% dari penderita DM type II dengan obersitas atau ada
sangat kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.Kegemukan
atau obesitas salah satu faktor penyebab penyakit DM, dalam pengobatan
penderita DM, selain obat-obatan anti diabetes, perlu ditunjang dengan terapi diit
untuk menurunkan kadar gula darah serta mencegah komplikasi-komplikasi yang
lain (Anonim, 2008).
Diabetes melitus disebabkan oleh penurunan kecepatan insulin oleh sel-sel beta
Pulau langerhans. Biasanya dibagi dalam dua jenis berbeda : diabetes juvenilis,
yang biasanya tetappi tak selalu, dimulai mendadak pada awal kehidupan dan
diabetes dengan awitan maturitas, yang dimulai di usia lanjut dan terutama pada
orang kegemukan (Guyton, A.C., 1990).
Herediter berperanan penting dalam perkembangan kedua jenis diabetes ini. Pada
beberapa kasus, jenis juvenilis disebabkan oleh predisposisi herediter terhadap
perkembangan antibodi terhadapa sel-sel beta atau dedgenerasi sederhana pada
sel-sel ini. Diabetes jenis awitan maturitas jelas disebabkan oleh degenerasi sel-sel
beta sebagai akibat penuaan yang lebih cepat pada orang yang lebih rentan
daripada yang lain. Obesitas mempredisposisi seseorang tetrhadapa jenis diabetes
ini karena diperlukan insulin dalam jumlah lebih besar untuk pengaturan
metabolisme pada orang kegemukan dibandingkan dengan orang normal (Guyton,
A.C., 1990).
Patofsiologi Diabetes

Sebagian besar patologi diabetes melitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga
efek utama kekurangan insuliun sebagai berikut:
(1) pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh , dengan akibat
peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg. Per 100ml.
(2) peningkatan nyata mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak,
menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada
dinding vaskular yang mengakibatka aterosklerosis
(3) pengurangan protein dalam dalam jaringan tubuh (Guyton, A.C., 1990).
Uji antidiabetes dengan metode toleransi glukosa
Hewan percobaan yang telah dikelompokkan secara acak diambil cuplikan
darahnya (T = 0) untuk penentuan kadar glukosa awal, kelompok uji diberi sediaan
uji secara oral, kelompok kontrol diberi air suling dan kelompok pembanding diberi
glibenklamid. Setelah 30 menit kemudian, semua hewan percobaan diberi larutan
glukosa secara oral. Setiap 30 menit cuplikan darah diambil dari masing-masing
hewan percobaan. Setelah darah dalam tabung sampel mikro disentrifuga, kadar
glukosa dalam serumnya ditentukan secara uji kolorimetri dengan metode
enzimatik GOD-PAP (Adnyana, K., E. Yulinah, 2004).
Uji antidiabetes pada mencit diabetes imbasan aloksan
Hewan setelah disuntik dengan aloksan secara intravena dipelihara selama satu
minggu untuk melihat kembali ke keadaan glukosa serum normal. Hewan
percobaan yang telah dikelompokkan secara acak cuplikan darahnya diambil (T =
0). Hewan kelompok uji diberi sediaan uji, kelompok pembanding diberi
glibenklamid, sedangkan kelompok kontrol diberi air suling selama tujuh hari
berturut-turut. Semua hewan diberi makan dan minum ad-libitum. Pada hari ke-1,
dilakukan pengambilan serum untuk penentuan kadar glukosa serum pada
pemberian tunggal. Cuplikan darah yang diambil pada hari ke-4 sebelum diberi
sediaan uji digunakan untuk penentuan kadar glukosa serum pada pemberian
berulang (3 hari). Pada hari ke-8, serum diambil untuk penentuan kadar glukosa
serum setelah pemberian sediaan uji 7 hari berturut-turut. Kadar glukosa serum
ditentukan secara uji kolorimetri dengan metode enzimatik GOD-PAP (pada
panjang gelombang 546 nm) (Adnyana, K., E. Yulinah, 2004).
Pada saat ini terdapat 5 macam kelas obat hipoglikemik oral untuk pengobatan DM
tipe II, yaitu sulfonilurea, biguanid, meglitinid, -glukosidase inhibitor, dan agonis
receptor (thiazolidin atau glitazon). Obat hipoglikemik oral diindikasikan untuk
pengobatan pasien DM tipe II yang tidak mampu diobati dengan melakukan diet dan
aktivitas fisik. Biguanid dan thiazolidinedion dikategorikan sebagai sensitizer
insulin, dengan cara menurunkan resistensi insulin. Sulfonilurea dan meglitinid
dikategorikan sebagai insulin secretagogues karena kemampuannya merangsang

pelepasan insulin endogen (Yosef, 2007).


Contoh :
1. Sulfonilurea : sulfonilurea generasi pertama (acetohexamid, clorproramid,
tolbutamid, talazamid) dan generasi kedua (glimepirid, gilipizie, dan glibenklamid)
2. Meglitinid : nateglinid, repaglinid
3. Biguanid : metformin
4. Thiazolidinedion : pioglitazon dan resiglitazon
5. Alfa glukosidase inhibitor : acarbose dan miglitol (Yosef, 2007).
Farmakologi Antidiabetika oral jenis sulfonil ureum
Antidiabetika oral jenis sulfonil ureum memobilisasi insulin dalam tubuh. Senyawa
ini meningkatkan sekresi insulin sel pulau-pulau langerhans. Sekaligus insulin
yang terikat pada protein plasma yang biologic tidak aktif, dapat dibebaskan dan
dengan demikian diaktifkan kembali. Karena itu semua kerja sulfonilureum pada
prinsipnya adalah efek insulin, maka golongan zat ini hanya diindikasikan pada
diabetes dewasa, dimana produksi insulin tubuh, setidak-tidaknya masih
sebagiannya dipertahankan (Schunak. W., 1990).
Kerja samping terpenting adalah hipoglikemia, yang khusus dapat muncul setelah
pemberian sulfonilureum yang bekerja kuat sehingga dapat terjadi interaksi obat
melalui pendesakan sulfonilureum dari pengikatan protein plasma maupun
kompetisi untuk mekanisme sekresi tubulus (Schunak. W., 1990).
Antidiabetika Oral Kombinasi Metformin dan Glibenklamid
Kombinasi ini sangat cocok digunakan untuk penderita diabetes melitus tipe 2 pada
pasien yang hiperglikemianya tidak bisa dikontrol dengan single terapi (metformin
atau glibenklamid saja), diet, dan olahraga. Di samping itu, kombinasi ini saling
memperkuat kerja masing-masing obat, sehingga regulasi gula darah dapat
terkontrol dengan lebih baik (Yosef, 2007).
Kombinasi ini memiliki efek samping yang lebih sedikit, apabila dibandingkan
dengan efek samping apabila menggunakan monoterapi (metformin atau
glibenklamid saja). Metformin dapat menekan potensi glibenklamid dalam
menaikkan berat badan pada pasien diabetes melitus tipe 2, sehingga cocok untuk
pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengalami kelebihan berat badan (80% dari
semua pasien diabetes melitus tipe 2 adalah terlalu gemuk dengan kadar gula
tinggi sampai 17-22 mmol/l) (Yosef, 2007).
DM dapat dicegah dengan menerapkan hidup sehat sedini mungkin yaitu dengan
mempertahankan pola makan sehari-hari yang sehat dan seimbang dengan
meningkatkan konsumsi sayuran, buah dan serat, membatasi makanan yang tinggi
karbohidrat, protein dan lemak, mempertahankan BB yang normal sesuai dengan
umur dan tinggi badan (TB) serta olah raga (OR) teratur sesuai umur & kemampuan
(Anonim, 2008).

Tujuan pengobatan penderita DM ialah: Untuk mengurangi gejala, menurunkan BB


bagi yang kegemukan & mencegah terjadinya komplikasi.
1. Diit
Penderita DM sangat dianjurkan untuk menjalankan diit sesuai yang dianjurkan,
yang mendapat pengobatan anti diuretik atau insulin, harus mentaati diit terus
menerus baik dalam jumlah kalori, komposisi dan waktu makan harus diatur.
Ketaatan ini sangat diperlukan juga pada saat : undangan/pesta, melakukan
perjalanan, olah raga (OR) dan aktivitas lain (Anonim, 2008).
2. Obat-obatan
Tablet/suntikan anti diabetes diberikan, namun therapy diit tidak boleh dilupakan
dan pengobatan penyulit lain yang menyertai /suntikan insulin (Anonim, 2008).
3. Olah Raga
Dengan olahraga teratur sensitivitas sel terhadap insulin menjadi lebih baik,
sehingga insulin yang ada walaupun relatif kurang, dapat dipakai dengan lebih
efektif. Lakukan olahraga 1-2 jam sesudah makan terutama pagi hari selama - 1
jam perhari minimal 3 kali/minggu. Penderita DM sebaiknya konsultasi gizi kepada
dokter atau nutritionis (ahli gizi) setiap 6 bulan sekali untuk mengatur pola diit dan
makan guna mengakomodasikan pertumbuhan dan perubahan BB sesuai pola hidup
(Anonim, 2008).
PENGOBATAN DIABETES
Teori pengobatan pada diabetes melitus didasarkan atas pemberian insulin dalam
jumlah cukup sehingga memungkinkan metabolisme karbohidrat penderita normal.
Terapi optimmum dapat mencegah bagian terbesar efek akut diabetes dan sangat
memperlambat timbulnya efek-efek kroniknya (Guyton, A. C., 1990).
Biasanya, penderita diabetes diberi dosis tunggal salah satu preparat insulin
bermasa kerja lama setiap hari, ia meningkatkan seluruh metabolisme
karbohidratnya sepanjang hari, kemudian insulin regular (suatu preparat bermasa
kerja singkat yang berlangsung hanya beberapa jam) tambahan diberikan pada
setiap saat kadar glukosa darah cenderung meningkat terlalu tinggi, seperti waktu
makan. Jadi, setiap penderita diberi pengobatan rutin secara individual (Guyton,
A. C., 1990).
Diet penderita diabetes. Kebutuhan insulin penderita diabetes ditentukan oleh diet
standar penderita yang mengandung karbohidrat dalam jumlah normal dan
terkontrol baik serta perubahan jumlah masukkan karbohidrat mengubah
kebutuhan akan insulin (Guyton, A. C., 1990).
Pada orang normal, Pankreas mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan jumlah
insulin yang dihasilkan terhadap masukan karbohidrat; tetapi pada orang diabetes
total, fungsi pengaturan ini hilang sama sekali. Pada diabetes jenis awitan
maturitas yang dengan obesitas, sering penyakit ini dapat dikontrol dengan

mengurangi berat badan saja (Guyton, A. C., 1990).


Hubungan pengobatan dengan arteriosklerosis. Penderita diabetes mempunyai
kecenderungan besar mengalami aterosklerosis, arteriosklerosis, serta penyakit
jantung koroner berat dan beberapa lesi mikrosirkulasi. Memang, orang yang
menderita diabetes yang pengendaliannya relatif buruk waktu anak-anak mungkin
mati karena penyakit jantung pada usia 20-an tahun (Guyton, A. C., 1990).
Pada hari-hari permulaan pengobatan diabetes, ada kecenderungan banyak
mengurangi karbohidrat dalam diet sehingga kebutuhan insulin minimum. Tindakan
ini mempertahannkan kadar gula darah turun ke nilai normal dan mencegah
kehilangan glukosa kedalam urina, tetapi hal ini tidak mencegah kelainan-kelainan
metabolisme lemak (Guyton, A. C., 1990).
Akibatnya, saat ini cenderung membiarkan penderita dengan diet karbohidrat
normal dan kemudian secara serentak memebrikan insulin dosis tingggi untuk
memetabolisme karbohidrat. Hal ini menurunkan kecepatan metabolisme lemak
dan juga membantu menurunkan kadar kolesterol yang tinggi yang terjadi pada
diabetes sebagai akibat kelainan metabolisme lemak (Guyton, A. C., 1990).
Karena komplikasi diabetes-seperti arteroskelerosis, peningkatan kepekaan
berlebihan terhadap infeksi, retinopati diabetika, katarak, hipertensi, dan
penyakit ginjal kronik-lebih berkaitan dengan kadar lipid darah dibandingkan
dengan kadar glukosa darah, maka ia merupakan objek pengobatan klinik diabetes
untuk memberikan glukosa dan insulin dalam jumlah cukup sehingga jumlah lipid
darah menjadi normal. (Guyton, A. C., 1990).
6.4 Pembahasan
Berdasarkan hasil percobaan, dapat dilihat bahwa pada pemberian glukosa maka
kadar gula darah (KGD) mencit mengalami peningkatan dari KGD puasa. Hal ini
dikarenakan bertambahnya glukosa (gula) dalam darah karena pemberian larutan
glukosa. Lalu pada menit ke 60 yaitu setelah pemberian glibenklamid
(antidiabetes) maka kadar gula darah (KGD) setiap mencit mengalami penurunan
karena kerja glibenklamid yang menurunkan kadar gula darah.
Penurunan KGD yang ditunjukkan oleh Mencit III (Pemberian glibenklamid [ ] 0,02%
dosis 4mg/kgBB oral) cukup drastis dan membuktikan bahwa dosis yang lebih besar
memberikan efek yang lebih cepat.
Namun pada menit ke-90, mencit 2 dan mencit 3 menunjukkan penurunan yang
tidak rasional yaitu KGD dibawah KGD puasa disebabkan oleh jumlah darah yang
diukur pada alat glukotest tidak mencukupi (kurang) sehingga terjadi kesalahan
dalam pengukuran. Jumlah darah mencit pun sudah mengalami pembekuan
sehingga menyulitkan dalam proses pengukuran KGD.
Glibenklamid bekerja menurunkan KGD dengan cara: Antidiabetika oral jenis

sulfonil ureum memobilisasi insulin dalam tubuh. Senyawa ini meningkatkan sekresi
insulin sel pulau-pulau langerhans. Sekaligus insulin yang terikat pada protein
plasma yang biologic tidak aktif, dapat dibebaskan dan dengan demikian diaktifkan
kembali. Karena itu semua kerja sulfonilureum pada prinsipnya adalah efek insulin,
maka golongan zat ini hanya diindikasikan pada diabetes dewasa, dimana produksi
insulin tubuh, setidak-tidaknya masih sebagiannya dipertahankan (Schunak. W.,
1990).
VII. Kesimpulan dan Saran
7.1. Kesimpulan
- Kadar Gula Darah (KGD) puasa hewan percobaan (mencit) adalah antara 122129mg/dl.
- Setelah pemberian larutan glukosa maka KGD hewan percobaan jauh meningkat
yaitu sekitar 253-319mg/dl.
- Pemberian Glibenklamid pada hewan percobaan dapat menurunkan kadar gula
darah (KGD)
7.2. Saran
- Sebaiknya dilakukan juga pengujian diabetes dengan metode lain seperti aloksan.
- Sebaiknya dibandingkan efek penurunan kadar gula darah oleh obat dari golongan
lain seperti antara golongan biguanida dengan sulfonilurea.
- Sebaiknya dilakukan pemberian kombinasi antidiabetes sepertia antara
metformin dengan glibenclamid untuk mengetahui efek penurunannya terhadap
kadar gula darah.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, K., E. Yulinah. (2004). Uji Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Buah
Mengkudu (Morinda citrifolia L.). www.acta.fa.itb.ac.id.
Anonim. (2008). Peran DIIT Dalam Penanggulangan Diabetes. www.gizi.net.
Guyton, A. C. (1990). Fisiologi Manusia Dan Mekanisme Penyakit. Edisi Ketiga.
Jakarta: EGC. Hal. 707-708.
Katzung, B.G. (2002). Farmakologi Dan Klinik. Edisi Kedua. Surabaya: Universitas
Airlangga Press. Hal. 125-126.
Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar.
Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Widya Medika. Hal. 261-262.
Schunak. W. (1990). Senyawa Obat. Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Hal. 558.
Tan, H.T. dan K. Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan

Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex


Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal. 742.
Yosef. (2007). Terapi Kombinas Antidiabetika Oral Metformin Dan Glibenklamid
Untuk Diabetes Melitus Tipe-2. www.yosefw.wordpress.com.

Vous aimerez peut-être aussi