Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Inflamasi
2.1.1
Definisi Inflamasi
Bila terjadi cedera jaringan, baik karena bakteri, trauma, bahan kimia,
panas atau fenomena lainnya, maka cedera jaringan itu akan melepaskan berbagai
zat yang menimbulkan perubahan sekunder yang dramatis di sekeliling jaringan
yang tidak cedera. Keseluruhan kompleks perubahan jaringan ini disebut
peradangan/inflamasi (Guyton & Hall, 2007).
Inflamasi
melaksanakan
tugas
pertahanan
dengan
mengecerkan,
2.1.2
Proses Inflamasi
Pada proses awal inflamasi, terjadi dilatasi anteriol lokal yang mendahului
extravasasi,
dan
keluarnya
berbagai
faktor
plasma
seperti
2.1.3
Macam-macam Inflamasi
a. Inflamasi akut
Inflamasi akut merupakan respon segera dan dini terhadap jejas yang
dirancang untuk mengirimkan leukosit ke tempat jejas. Sesampainya di tempat
jejas leukosit membersihkan setiap mikroba yang menginvasi dan memulai proses
penguraian jaringan nekrotik. Proses ini memiliki dua komponen utama, yaitu:
1) Perubahan vaskular: perubahan dalam kaliber pembuluh darah yang
mengakibatkan peningkatan aliran darah (vasodilatasi) dan perubahan
struktur yang memungkinkan protein plasma untuk meninggallkan
sirkulasi (peningkatan permeabilitas vaskular)
2) Berbagai kejadian yang terjadi dalam sel: emigrasi leukosit dari
mikrosirkulasi dan akumulasinya di fokus jejas (rekruitmendan aktivasi
selular) (Kumar et al, 2007).
Rentetan bertingkat (kaskade) kejadian pada inflamasi akut diintregrasikan
oleh pelepasan lokal mediator kimiawi (Kumar etal, 2007). Gambaran
makroskopik inflamasi di gambarkan pada 2000 tahun lalu dan masih dikenal
sebagai tanda-tanda pokok inflamasi (Price & Wilson, 2006). Perubahan vaskular
dan rekruitmen sel menentukan tiga dari lima tanda lokal klasik inflamasi akut:
panas (kalor), merah (rubor), dan pembengkakan (tumor). Dua gambaran kardinal
tambahan pada inflamasi akut, yaitu nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi (function
laesa), terjadi akibat perluasan mediator dan kerusakan yang diperantarai leukosit
(Kumar et al, 2007).
1) Rubor (Kemerahan)
Rubor atau kemerahan, biasanya merupakan hal pertama yang
terlihat di daerah yang mengalami inflamasi. Seiring dengan dimulainya
reaksi inflamasi, anteriol yang memasok daerah tersebut berdilatasi
sehingga memungkinkan lebih banyak darah mengalir ke dalam
mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong, atau
hanya sebagian meregang, secara cepat terisi penuh dengan darah.
Keadaan ini yang disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan
kemerahan lokal pada inflamasi akut. Tubuh mengontrol produksi
hiperemia pada awal reaksi inflamasi, baik secara neurologis maupun
kimiawai melalui pelepasan zat-zat seperti histamin.
2) Kalor (Panas)
Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi
inflamasi akut. Sebenarnya panas secara khas hanya merupakan reaksi
inflamasi yang terjadi pada permukaan tubuh, yang secara normal lebih
dingin dari 37 C yang merupakan suhu inti tubuh. Daerah inflamasi di
kullit menjadi lebih hangat dari sekelilingnya karena lebih banyak darah
(pada suhu 37 C) dialirkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang
terkena dibandingkan dengan ke daerah yang normal. Fenomena hangat
lokal ini tidak terlihat di daerah-daerah meradang yang terletak jauh di
dalam tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah memiliki suhu inti
37 C dan hiperemia lokal tidak menimbulkan perbedaan.
3) Dolor (Nyeri)
Pada suatu reaksi inflamasi nampaknya ditimbulkan dalam
berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion
tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pelepasan
zat-zat kimia tertentu seperti histamin atau zat-zat kimia bioaktif lain
dapat merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang
meradang menyebabkan tekanan lokal yang ridak diragukan lagi dapat
menimbullkan nyeri.
4) Tumor (Pembengkakan)
Aspek yang paling mencolok pada inflamasi akut adalah tumor
atau pembengkakan lokal yang dihasilkan oleh cairan dan sel-sel yang
berpindah dari aliran darah ke jaringan interstitial. Campuran cairan dan
sel-sel ini ditimbun di daerah inflamasi disebut eksudat. Pada awal
perjalanan reaksi peradangan, sebagian besar eksudat adalah cairan,
seperti yang terlihat secara cepat di dalam lepuhan setelah luka bakar
ringan pada kulit. Kemudian sel-sel darah putih atau leukosit
meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian eksudat.
5) Fungsio Laesa (Perubahan Fungsi)
Merupakan bagian yang lazim pada reaksi inflamasi. Sepintas
mudah dimengerti, bagian yang bengkak, nyeri disertai sirkulasi
Gambar 2. Gingivitis
(Sumber : http://oketips.com/12145/4-tips-mengenali-gejalagingivitis/gingivitis-kronis/)
2.3 Limfosit
2.3.1
Definisi Limfosit
Limfosit merupakan leukosit kedua terbanyak di daerah perifer. Sel-sel ini
darah. Dengan demikian, hanya sebagian kecil limfoid total yang transit di daerah
dalam setiap waktu tertentu (Sherwood, 2001).
2.3.2
leukosit sekitar 20-30% dari sel darah putih yang beredar. Pada sediaan darah,
limfosit berupa sel bulat kecil berdiameter 7-12 m dengan nukleus berlekuk yang
terpulas gelap dan sedikit sitoplasma biru terang. Tidak ada granul spesifik tetapi
mungkin sedikit granul azurofil. Di bawah mikroskop elektron terlihat memiliki
kompleks golgi, sepasang sentriol dan mitokondria. Retikulum endoplasma tidak
ada, namun terdapat banyak ribosom bebas dalam sitoplasma (Jawetzet al, 2002).
Gambar 4. Limfosit
(Sumber:http://panji1102.blogspot.com/2009_12_07_archive.html)
2.3.3
Jenis Limfosit
Walaupun sebagian besar limfosit dalam jaringan limfoid normal tampak
serupa di bawah mikroskop, tetapi sel-sel tersebut secara jelas dapat dibedakan
dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama, yaitu limfosit T, bertanggung
jawab dalam pembentukan imunitasdiperantarai sel, dan kelompok lain, yaitu
limfosit B, bertanggung jawab dalam pembentukan antibodi yang memberikan
imunitas humoral (Guyton & Hall, 2007).
beberapa
subkelas
dengan
fungsi
spesifik.
Kemudian
b. Limfosit B
Sel B pertama kali ditemukan pada burung, tempat proses pematangan
berlangsung di jaringan limfoid terkait khusus yang khas untuk burung yaitu
bursa fabrisius; dari sinilah berasa nama limfosit B. tempat pematangan dan
deferensiasi sel B pada manusia masih belum jelas, walaupun secara umum
diperkirakan berlangsung di sumsum tulang (Sherwood, 2001). Sel B
merupakan 5-10% dari limfosit darah yang beredar pada manusia masingmasing ditutupi 150.000 molekul IgM yang merupakan reseptor untuk antigen
khusus, beberapa sel aktif tidak menjadi sel plasma; sebagai gantinya, sel
tersebut menjadi sel B memori yang bereaksi cepat pada paparan kedua
terhadap antigen yang sama (Junqueira & Carneiro, 2007)
Limfosit B terbentuk dan menjadi matang dalam sumsum dan dibawa
darah ke struksur limfoid sekunder, sel ini berproliferasi , bila teraktifkan dan
berdeferensiasi menjadi sel plasma (Junqueira & Carneiro, 2007). Limfosit B
bertugas bila tubuh terpapar oleh benda asing dan mempunyai kemampuan
untuk mengeluarkan antibodi spesifik (hummoral immunity). Sebelum terpajan
antigen yang spesifik, limfosit B dalam keadaan dormant (tidur), kemudian
bila ada antigen asing yang masuk, makrofag dalam jaringan imfoid akan
memfagositosis antigen kemudian membawanya ke limfosit B terdekatnya.
Limfosit B yang bersifat spesifik terhadap antigen akan membesar membentuk
gambaran limfoblast, yang kemudian berdiferensiasi membentuk plasmablas,
yang merupakan prekusor sel plasma. Sel plasma yang matang kemudian
menghasilkan antibodi gamma globulin. Antibodi ini masuk ke dalam cairan
limfe dan diangkut darah sirkulasi (Sherwood, 2001).
2.3.4
Limfosit T (T sel)
Limfosit T atau yang biasa disebut sel T merupakan suatu deferensiasi sel
dengan pertida sel tubuh sendiri (sel antigen) yang diikat mayor
hiatocompatibility complex (MHC) dan dipresentasikan antigen precenting
cell (APC) (Batarawidjaja & Rengganis, 2009).
b. Reseptor Sel T
Kemampuan limfosit T matang untuk mengenal benda asing
dimungkinkan oleh ekspresi molekul unik pada membrannya yang disebut
T-cell reseptor
2.3.5
diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Antigen yang
ditangkap, diproses dan dipresentasikan makrofag ke dalam konteks MHC-II ke
sel CD4 (Batarawidjaja & Rengganis, 2009).
Klasifikasi
Secara taksonomi, klasifikasi P. gingivalis adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Bacteria
Superphylum : Bacteriodes
Phylum
: Bacteriodetes
Class
: Bacteriodes
Ordo
: Bacteriodales
Family
: Porphyromonadaceae
Genus
: Porphyromonas
Spesies
: Porphyromonas gingivalis
2.4.2
(Mikrobewiki, 2008)
Karakteristik
Phorphyromonas gingivalis merupakan bakteri anaerob gram negatif yang
tidak berspora (Non-spore forming) dan tidak mempunyai alat gerak (non mortile)
dengan panjang 0,5-2,0 m (Anonim, 2008). Merupakan patogen utama pada
penyakit periodontal yang merupakan bakteri black-pigmented dan tanpa kapsul
(Brunner et al, 2010). Bakteri ini mempunyai kemampuan beradaptasi tinggi
dengan lingkungan, melalui kolonisasi dan sinergi dengan bakteri-bakteri lain
dalam mulut. Polisakarida membran luar P. gingivalis, vesikel membran tersebut
yang toksik serta enzim protease yang dilepas mempengaruhi sistem imun dengan
dampak terjadi inflamasi (Praptiwi, 2008)
2.4.3
antara lain: gigi, permukaan mukosa, gingiva dan lidah. Karena permukaanpermukaan tersebut biasanya dilapisi oleh lapisan tipis yang bagian utamanya
adalah molekul saliva
kaya prolin (PRPs), glikoprotein kaya prolin, statherin, sel ephitel dan
bakteri (Lamont & Jenkinson, 1998).
2. Hemaglutinin : hemaglutinin merupakan protein dari faktor virulensi
dari P. gingivalis yang akan memicu kolonisasi dengan mengikat
bakteri pada reseptor pada sel manusia saat di aplikasikan pada
permukaan sel bakteri (Lamont&Jenkinson, 1998).
2.4.4
2.4.5
produk-produk seperti lipopolisakarida (LPS), fragmen peptidoglikan, enzimenzim hidrolitik dapat memasuki sirkulasi darah (Scannapieco, 1998 dalam
Susilowati 2008). Penyebaran bakteri periodontal ke dalam sirkulasi darah
(bakterimia) tidak hanya terjadi bila ada kerusakan jaringan karena penyakit
periodontal. pada keadaan periodontal normal, adanya trauma sedikit saja pada
gingiva, misalnya saat menyikat gigi dapat menyebabkan invasi bakteri
periodontal dalam darah (Vojdani, 2003; Nassar, 2002 dalam Susilowati, 2008).
Lipopolisakarida dari P. gingivalis dapat menginduksi produksi sitokin pro
inflamatori dalam jumlah besar, seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis
factor (TNF)- pada darah perifer manusia (Ogawa et al, 1994 dalam Susilowati,
2008). Sehingga dapat memicu terjadinya inflamasi.
2.6 Kurkumin
2.6.1
Farmakologi
Kurkumin adalah fitokemikal yang memberikan warna kuning pada
Curcuma longa (Kunyit) yang bisa digunakan untuk terapi, kurkumin pertama
kali ditemukan pada tahun 1815. Diperkirakan kandungan kurkumin pada kunyit
sekitar 2-5% (Aggarwal, 2007).
2.6.2
antibodi, maka hasil bisa diselesaikan dengan cepat, namun terbatas dan tidak
spesifik. Namun metode direct tidak cukup sensitif lagi untuk kebutuhan saat ini.
2. Metode Indirect dua langkah (Tidak Langsung)
Dalam metode ini, antibodi primer unconjugated pertama mengikat
antigen, antibodi berlabel enzim sekunder ditujukan untuk natibodi primer
(sekarang antigen) kemudian diterapkan dan diikuti oleh substrat-chromogen.
Metode ini lebih spesifik dari pada metode direct karena berbagai antibodi primer
dari spesies yang sama dapat digunakan dengan antibodi sekunder yang
terkonjungasi. Prosedur ini juga lebih sensitif dari metode direct sebagai antibodi
sekunder karena beberapa kemungkinan bereaksi dengan epitop yang berbeda dari
antibodi primer sehingga memperkuat sinyal seperti molekul enzim lebih
terpasang per setiap situs target.
3. Metode Indirect tiga langkah (tidak langsung)
Dalam metode ini kedua antibodi enzymaconjugated dalam metode
indirect dua langkah ditambahkan kemudahan ditambahkan antibodi pada lapisan
ketiga yang berfungsi untuk memperkuat sinyal, karana antibodi lebih mampu
mengikat reagen sekunder.Prosedur ini sangat membantu ketika melakukan
pewarnaan dengan jumlah epitop terbatas.
4. Metode kekebalan atau Enzim komplek
Pada teknik ini memanfaatkan larutan prefomed enzim, anti enzim
kompleks imun. Untuk mendapatkan larutan ini enzim ditambahkan pada antibodi
dan setiap endapan akan dihapus.
Urutan
pewarnaan
ini
terdiri
dari
penggunaan
antibodi
primer
svidin-biotin
komplek
maksimal
30
menit
sebelum
penggunaan
g. tetesi hapusan dengan substrat sampai intensitas pewarnaan yang
diinginkan
h. bilas dengan air
P.
gingivalis
MHC-II
IL-1/TNF
Berinteraksi
Aktivasi
Limfosit
T-helper
Th1
Th2
IFN-/IL-1,IL-4,IL-5
Aktivasi
T-citokin/makrofag.Sel B
Fosfolipid membrane Sel
Fosfolipase A2
Metabolisme Asam
Arakidonat
kurkum
Siklooksigenase
Lipooksigenase
Leukotrien
Prostaglandin
LTA4
PGD2
Meningkatkan
Permeabilitas
Vaskular
PGE2
PGF2
LTC4
LTD4
LTE4
Vasodilatasi Meningkatkan
terjadinya Odema
2.10
Hipotesis
Jumlah limfosit T-helper pada gingivitis akan mengalami penurunan