Vous êtes sur la page 1sur 22

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Inflamasi
2.1.1

Definisi Inflamasi
Bila terjadi cedera jaringan, baik karena bakteri, trauma, bahan kimia,

panas atau fenomena lainnya, maka cedera jaringan itu akan melepaskan berbagai
zat yang menimbulkan perubahan sekunder yang dramatis di sekeliling jaringan
yang tidak cedera. Keseluruhan kompleks perubahan jaringan ini disebut
peradangan/inflamasi (Guyton & Hall, 2007).
Inflamasi

melaksanakan

tugas

pertahanan

dengan

mengecerkan,

menghancurkan, atau menetralkan agen penyebab jejas. Inflamasi kemudian


menggerakkan berbagai kejadian yang akhirnya menyembuhkan dan menyusuk
kembali tempat terjadinya jejas (Kumar et al, 2007).
Peradangan ditandai dengan:
a. Vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya
aliran darah setempata yang berlebihan.
b. Peningkatan permeabilitas kapiler, memungkinkan kebocoran banyak
sekali cairan ke dalam ruang intertsisial.
c. Seringkali terjadi pembekuan cairan di dalam ruang interstisial yang
disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler
dalam jumlah besar.
d. Migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan.
e. Pembengkakan sel jaringan (Guyton & Hall, 2007).

2.1.2

Proses Inflamasi
Pada proses awal inflamasi, terjadi dilatasi anteriol lokal yang mendahului

vasokonstriksi singkat. Peningkatan permeabilitas vaskuler tersebut disertai


keluarnya protein plasma dan sel-sel darah putih kedalam jaringan disebut
eksudasi dan merupakan gambaran utama reaksi radang akut. Kemudian sel-sel
darah putih menelan bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel

nekrotik dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu pertahanan


tubuh (Kumar et al, 2007).
Proses inflamasi merupakan suatu proses ruang komplek melibatkan
berbagai macam sel, misalnya dalam beberapa jam sel-sel leukosit yang berfungsi
sebagai sel pertahanan tubuh menempel ke sel endotel pembuluh darah di daerah
inflamasi dan bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke rongga jaringan yang
disebut

extravasasi,

dan

keluarnya

berbagai

faktor

plasma

seperti

immunoglobulin, komplemen, sistem aktivasi kontak koagulasi fibrinolitik. Sel


leukosit seperti neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit monosit yang berinteraksi
satu sama lain dalam proses radang. Sel sistem imun nonspesifik seperti neutrofil,
basofil, eosinofil dan monosit ini diproduksi dan disimpan di sumsum tulang dan
di edarkan di dalam darah. Pada keadaan normal, leukosit hanya sedikit melekat
pada sel endotel, tetapi pada radang adhesi antara leukosit dan sel endotel ini
sangat ditingkatkan sehingga meningkatkan sel mediator inflamasi kedalam
jaringan (Mansjoer, 1997 dalam Nizar, 2012)

Gambar 1. Proses Inflamasi


(Sumber : http://infoomega3.wordpress.com/tag/anti-inflamasi/)

2.1.3

Macam-macam Inflamasi

a. Inflamasi akut
Inflamasi akut merupakan respon segera dan dini terhadap jejas yang
dirancang untuk mengirimkan leukosit ke tempat jejas. Sesampainya di tempat

jejas leukosit membersihkan setiap mikroba yang menginvasi dan memulai proses
penguraian jaringan nekrotik. Proses ini memiliki dua komponen utama, yaitu:
1) Perubahan vaskular: perubahan dalam kaliber pembuluh darah yang
mengakibatkan peningkatan aliran darah (vasodilatasi) dan perubahan
struktur yang memungkinkan protein plasma untuk meninggallkan
sirkulasi (peningkatan permeabilitas vaskular)
2) Berbagai kejadian yang terjadi dalam sel: emigrasi leukosit dari
mikrosirkulasi dan akumulasinya di fokus jejas (rekruitmendan aktivasi
selular) (Kumar et al, 2007).
Rentetan bertingkat (kaskade) kejadian pada inflamasi akut diintregrasikan
oleh pelepasan lokal mediator kimiawi (Kumar etal, 2007). Gambaran
makroskopik inflamasi di gambarkan pada 2000 tahun lalu dan masih dikenal
sebagai tanda-tanda pokok inflamasi (Price & Wilson, 2006). Perubahan vaskular
dan rekruitmen sel menentukan tiga dari lima tanda lokal klasik inflamasi akut:
panas (kalor), merah (rubor), dan pembengkakan (tumor). Dua gambaran kardinal
tambahan pada inflamasi akut, yaitu nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi (function
laesa), terjadi akibat perluasan mediator dan kerusakan yang diperantarai leukosit
(Kumar et al, 2007).
1) Rubor (Kemerahan)
Rubor atau kemerahan, biasanya merupakan hal pertama yang
terlihat di daerah yang mengalami inflamasi. Seiring dengan dimulainya
reaksi inflamasi, anteriol yang memasok daerah tersebut berdilatasi
sehingga memungkinkan lebih banyak darah mengalir ke dalam
mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong, atau
hanya sebagian meregang, secara cepat terisi penuh dengan darah.
Keadaan ini yang disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan
kemerahan lokal pada inflamasi akut. Tubuh mengontrol produksi
hiperemia pada awal reaksi inflamasi, baik secara neurologis maupun
kimiawai melalui pelepasan zat-zat seperti histamin.

2) Kalor (Panas)
Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi
inflamasi akut. Sebenarnya panas secara khas hanya merupakan reaksi
inflamasi yang terjadi pada permukaan tubuh, yang secara normal lebih
dingin dari 37 C yang merupakan suhu inti tubuh. Daerah inflamasi di
kullit menjadi lebih hangat dari sekelilingnya karena lebih banyak darah
(pada suhu 37 C) dialirkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang
terkena dibandingkan dengan ke daerah yang normal. Fenomena hangat
lokal ini tidak terlihat di daerah-daerah meradang yang terletak jauh di
dalam tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah memiliki suhu inti
37 C dan hiperemia lokal tidak menimbulkan perbedaan.
3) Dolor (Nyeri)
Pada suatu reaksi inflamasi nampaknya ditimbulkan dalam
berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion
tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pelepasan
zat-zat kimia tertentu seperti histamin atau zat-zat kimia bioaktif lain
dapat merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang
meradang menyebabkan tekanan lokal yang ridak diragukan lagi dapat
menimbullkan nyeri.
4) Tumor (Pembengkakan)
Aspek yang paling mencolok pada inflamasi akut adalah tumor
atau pembengkakan lokal yang dihasilkan oleh cairan dan sel-sel yang
berpindah dari aliran darah ke jaringan interstitial. Campuran cairan dan
sel-sel ini ditimbun di daerah inflamasi disebut eksudat. Pada awal
perjalanan reaksi peradangan, sebagian besar eksudat adalah cairan,
seperti yang terlihat secara cepat di dalam lepuhan setelah luka bakar
ringan pada kulit. Kemudian sel-sel darah putih atau leukosit
meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian eksudat.
5) Fungsio Laesa (Perubahan Fungsi)
Merupakan bagian yang lazim pada reaksi inflamasi. Sepintas
mudah dimengerti, bagian yang bengkak, nyeri disertai sirkulasi

abnormal dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal, seharusnya


berfungsi secara abnormal. Akan tetapi, cara bagaimana fungsi jaringan
yang meradang itu terganggu tidak dipahami secara terperinci (Price &
Wilson, 2006).
b. Inflamasi kronik
Inflamasi akut dapat dianggap sebagai inflamasi memanjang (bermingguminggu hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun), dan terjadi inflamasi
aktif jejas jaringan, dan penyembuhan secara serentak. Inflamasi kronik dapat
berkembanga dari inflamasai akut. Perubahan ini terjadi ketika respon akut tidak
teratasi karena agen cedera yang menetap atau karena gangguan proses
penyembuhan normal. Inflamasi kronik ditandai dengan hal-hal berikut:
1) Infiltrasi sel mononuklear (inflamasi kronik) yang mmencakup
makrofag, limfosit dan sel plasma.
2) Destruksi jaringan, sebagian besar diatur oleh sel radang.
3) Repair (perbaikan) melibatkan proliferasi pembuluh darah baru
(angiogenesis) dan fibrosis (Kumar et al, 2007).
.
2.2 Gingivitis
Gingivitis merupakan proses reversibel pada gingiva yang terjadi akibat
respon dari bakteri plak. Gejala klinis yang ada berupa gusi berdarah saat
menyikat gigi (Vitaliano et al, 2005), selain itu juga secara klinis ditandai dengan
peradangan pada gingiva marginal tanpa adanya kehilangan atau perlekatan
jaringan ikat. Pada marginal gingiva tampak merah (eritema), bengkak (edema),
dan akan mudah berdarah saat dilakukan pemeriksaan probing (Belem et al,
2004). Gingivitis bervariasi tergantung tingkat keparahan dari awal gingivitis
(inflamasi ringan sampai sedang) (Vitaliano et al, 2005). Gingiivitis terdiri dari
beberapa stadium, yaitu:
a. Stadium I: Initial Lesion
Manifestasi pertama pada gingivitis adalah perubahan vaskular, perubahan
ini pada dasarnya terdiri dari pelebaran kapiler dan peningkatan aliran darah. Hal
ini terjadi karena adanya invasi bakteri ke dalam jaringan.

b. Stadium II: Early Lesion


Stadium kedua terdapat tanda-tanda gingivitis yang muncul adalah eritema
atau kemerahan yang muncul karena adanya proliferasi kapiler dan adanya
pembentukan loop kapiler antara rate peg atau ridge. pada stasium dua ini juga
akan ditemukan adanya perdarahan saat dilakukan pemeriksaan probbing.
c. Stadium III: Established Lesion
Stadium ketiga atau biasa disebut gingivitis kronis, pembuluh darah
menjadi membesar dan padat, aliran darah pada vena terganggu yang
mengakibatkan aliran darah lambat.
d. Staduim IV: Advanced Lesion
Pada stadium empat akan terjadi keparahan gingivitis yang mengarah pada
kerusakan jaringan periodontal dan mengarah ke gingivitis.

Gambar 2. Gingivitis
(Sumber : http://oketips.com/12145/4-tips-mengenali-gejalagingivitis/gingivitis-kronis/)

Gambar 3. Perbedaan Gingivitis dan Gigi Sehat


(Sumber:http://syifainciciusoo.blogspot.com/2010_10_01_archive.html)

2.3 Limfosit
2.3.1

Definisi Limfosit
Limfosit merupakan leukosit kedua terbanyak di daerah perifer. Sel-sel ini

merupakan komponen esensial pada sistem pertahanan imun (Sacher &


McPherson, 2004). Limfosit paling banyak ditemukan dalam nodus limfe, namun
juga dijumpai dalam jaringan limfoid khususnya tulang. Jaringan limfoid tersebar
di lokasi-lokasi yang sangat menguntungkan di dalam tubuh untuk menahan
invasi organisme atau toksin sebelum menyebar luas (Guyton & Hall, 2007).
Fungsi utamanya adalah berinteraksi dengan antigen dan menimbulkan respon
imun (Sacher & McPherson, 2004)
Limfosit memasuki sistem sirkulasi secara kontinyu, bersama dengan
aliran limfe dari nodus limfe dan jaringan limfoid lainnya. Setelah beberapa jam,
limfoid keluar dari dalam darah dan kembali ke jaringan dengan cara diapedesis.
Dan selanjutnya memasuki limfe dan kembali ke darah lagi, demikian seterusnya.
(Guyton & Hall, 2007)
Limfosit memiliki rentang usia sekitar 100 sampai 300 hari .selama
periode ini, sebagian besar dari sel ini secara kontinyu beredar di antara jaringan
limfoid, limfe dan darah dengan menghabiskan waktu beberapa jam saja di dalam

darah. Dengan demikian, hanya sebagian kecil limfoid total yang transit di daerah
dalam setiap waktu tertentu (Sherwood, 2001).

2.3.2

Gambaran Histologis Limfosit


Limfosit merupakan leukosit berinti satu dalam darah perifer. Jumlah

leukosit sekitar 20-30% dari sel darah putih yang beredar. Pada sediaan darah,
limfosit berupa sel bulat kecil berdiameter 7-12 m dengan nukleus berlekuk yang
terpulas gelap dan sedikit sitoplasma biru terang. Tidak ada granul spesifik tetapi
mungkin sedikit granul azurofil. Di bawah mikroskop elektron terlihat memiliki
kompleks golgi, sepasang sentriol dan mitokondria. Retikulum endoplasma tidak
ada, namun terdapat banyak ribosom bebas dalam sitoplasma (Jawetzet al, 2002).

Gambar 4. Limfosit
(Sumber:http://panji1102.blogspot.com/2009_12_07_archive.html)

2.3.3

Jenis Limfosit
Walaupun sebagian besar limfosit dalam jaringan limfoid normal tampak

serupa di bawah mikroskop, tetapi sel-sel tersebut secara jelas dapat dibedakan
dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama, yaitu limfosit T, bertanggung
jawab dalam pembentukan imunitasdiperantarai sel, dan kelompok lain, yaitu
limfosit B, bertanggung jawab dalam pembentukan antibodi yang memberikan
imunitas humoral (Guyton & Hall, 2007).

Berdasarkan sifat fungsionalnya limfosit kecil digolongkan dalam dua


keompok besar, yaitu:
a. Limfosit T
Sel T timbul dari imfosit yang memerlukan maturasi dalam timus dan
membentuk

beberapa

subkelas

dengan

fungsi

spesifik.

Kemudian

berdeferensiasi menjadi sel T dewasa dan meninggalkan timus. Sel T yang


telah matur menyabar ke seluruh tubuh melalaui darah untuk mengisi jaringan
limfoid ke setiap tempat. Sel T merupakan 65-75% dari limfosit darah. Sel ini
berasal dari sumsum tulang dan bermigrasi ke timus, tempat sel T
berpoliferasi dan dibawa darah ke jaringan limfoid lain (Junqueira & Carneiro,
2007; Guyton & Hall, 2008). Terdapat tiga sub populasi sel T, bergantung
pada peran mereka setelah diaktifkan oleh antigen:
1) Sel T sitotoksik, yang menghancurkan sel penjamu yang memiliki antigen
asing, misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker dan sel
cangkokan. Sasaran sel T sitotoksik yang paling sering adalah pejamu
yang sudah terinfeksi virus.
2) Sel T penolong, yang meningkatkan perkembangan sel B aktif menjadi
sel plasma, memperkuat aktivasi sel T sitotoksik dan sel T penekan
(supresor) yang sesuai dan mengaktifkan makrofag. Sel T penolong
meningkatkan banyak aspek respon imun, terutama melalui sekresi
limfokin.
3) Sel T penekan, yang menekan produksi antibodi sel B dan aktivasi sel T
sitotoksik dan penolong (Sherwood, 2001)

Gambar 5. Limfosit dan Antigen


(sumber:http://medicastore.com/penyakit/3177/Sistem_Kekebalan_Tubuh_2.html)

b. Limfosit B
Sel B pertama kali ditemukan pada burung, tempat proses pematangan
berlangsung di jaringan limfoid terkait khusus yang khas untuk burung yaitu
bursa fabrisius; dari sinilah berasa nama limfosit B. tempat pematangan dan
deferensiasi sel B pada manusia masih belum jelas, walaupun secara umum
diperkirakan berlangsung di sumsum tulang (Sherwood, 2001). Sel B
merupakan 5-10% dari limfosit darah yang beredar pada manusia masingmasing ditutupi 150.000 molekul IgM yang merupakan reseptor untuk antigen
khusus, beberapa sel aktif tidak menjadi sel plasma; sebagai gantinya, sel
tersebut menjadi sel B memori yang bereaksi cepat pada paparan kedua
terhadap antigen yang sama (Junqueira & Carneiro, 2007)
Limfosit B terbentuk dan menjadi matang dalam sumsum dan dibawa
darah ke struksur limfoid sekunder, sel ini berproliferasi , bila teraktifkan dan
berdeferensiasi menjadi sel plasma (Junqueira & Carneiro, 2007). Limfosit B
bertugas bila tubuh terpapar oleh benda asing dan mempunyai kemampuan
untuk mengeluarkan antibodi spesifik (hummoral immunity). Sebelum terpajan
antigen yang spesifik, limfosit B dalam keadaan dormant (tidur), kemudian
bila ada antigen asing yang masuk, makrofag dalam jaringan imfoid akan
memfagositosis antigen kemudian membawanya ke limfosit B terdekatnya.
Limfosit B yang bersifat spesifik terhadap antigen akan membesar membentuk
gambaran limfoblast, yang kemudian berdiferensiasi membentuk plasmablas,
yang merupakan prekusor sel plasma. Sel plasma yang matang kemudian
menghasilkan antibodi gamma globulin. Antibodi ini masuk ke dalam cairan
limfe dan diangkut darah sirkulasi (Sherwood, 2001).

2.3.4

Limfosit T (T sel)
Limfosit T atau yang biasa disebut sel T merupakan suatu deferensiasi sel

yang diproduksi di sumsum tulang yang bermigrasi ke timus.


a. Pematangan Sel T
Sel T imatur dipersiapkan dalam timus untuk memperoleh reseptor.
Timosit imatur dapat menjadi matang bila reseptornya tidak bermigrasi

dengan pertida sel tubuh sendiri (sel antigen) yang diikat mayor
hiatocompatibility complex (MHC) dan dipresentasikan antigen precenting
cell (APC) (Batarawidjaja & Rengganis, 2009).
b. Reseptor Sel T
Kemampuan limfosit T matang untuk mengenal benda asing
dimungkinkan oleh ekspresi molekul unik pada membrannya yang disebut
T-cell reseptor

(TCR). Reseptor tersebut memiliki sifat diversitas,

spesifitas, memori dan berperan dalam immunitas spesifik (Batarawidjaja


& Rengganis, 2009).
Suatu sel limfosit hanya mengekspresikan reseptor untuk satu jenis
antigen sehingga sel tersebut hanya dapat mengenal satu jenis antigen saja.
Reseptor sel T ditemukan pada semua reseptor sel T matang, dapat
mengenal peptida antigen yang diikat MHC dan dipresentasikan APC
(Batarawidjaja & Rengganis, 2009).
c. Fungsi Sel T
Fungsi utama sel T adalah pengikatan antigen melalui TCR (Batarawidjaja
& Rengganis, 2009). Sel T umumnya berperan pada inflamasi, aktivasi
fagositosis makrofag, aktivasi dan proliferasi sel B dalam produksi
antibodi (Batarawidjaja & Rengganis, 2009).

2.3.5

Limfosit T-penolong (sel T-helper)


Limfosit T penolong atau T-helper/Th merupaka subset sel T yang

diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Antigen yang
ditangkap, diproses dan dipresentasikan makrofag ke dalam konteks MHC-II ke
sel CD4 (Batarawidjaja & Rengganis, 2009).

Gambar 6 : T-helper pada pewarnaa imunohistokimia


(Sumber: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0016508500702654)

2.4 Porphyromonas gingivalis


2.4.1

Klasifikasi
Secara taksonomi, klasifikasi P. gingivalis adalah sebagai berikut:

Kingdom

: Bacteria

Superphylum : Bacteriodes
Phylum

: Bacteriodetes

Class

: Bacteriodes

Ordo

: Bacteriodales

Family

: Porphyromonadaceae

Genus

: Porphyromonas

Spesies

: Porphyromonas gingivalis

2.4.2

(Mikrobewiki, 2008)

Karakteristik
Phorphyromonas gingivalis merupakan bakteri anaerob gram negatif yang

tidak berspora (Non-spore forming) dan tidak mempunyai alat gerak (non mortile)
dengan panjang 0,5-2,0 m (Anonim, 2008). Merupakan patogen utama pada
penyakit periodontal yang merupakan bakteri black-pigmented dan tanpa kapsul
(Brunner et al, 2010). Bakteri ini mempunyai kemampuan beradaptasi tinggi
dengan lingkungan, melalui kolonisasi dan sinergi dengan bakteri-bakteri lain
dalam mulut. Polisakarida membran luar P. gingivalis, vesikel membran tersebut

yang toksik serta enzim protease yang dilepas mempengaruhi sistem imun dengan
dampak terjadi inflamasi (Praptiwi, 2008)

Gambar 7 : Porphyromonas gingivalis


(Sumber: http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Porphyromonas)

2.4.3

Mekanisme Perlekatan pada Host


Permukaan rongga mulut yang dapat dilekati Porphyromonas gingivalis

antara lain: gigi, permukaan mukosa, gingiva dan lidah. Karena permukaanpermukaan tersebut biasanya dilapisi oleh lapisan tipis yang bagian utamanya
adalah molekul saliva

dan serum potensial yang berasal dari cairan sulkus

gingiva. Beberapa komponen tersebut berfungsi sebagai reseptor untuk perlekatan


utama P. Gingivalis terutama molekul saliva yang terdapat pada permukaan gigi
(Lamont&Jenkinson, 1998). Pada proses ini P. Gingivalis membutuhkan bakteri
pendahulu yang ada pada plak seperti Streptoccocus. Hal ini bertujuan untuk
memfasilitasi P. Gingivalis dengan menyediakan perlekatan antar spesies dan
substrat untuk pertumbuhan, serta penurunan oksigen hingga level yang rendah.
Keadaan itu dibutuhkan P. Gingivalis untuk pertumbuhan dan pertahanannya
sebagai bakteri anaerob (Lamont&Jenkinson, 1998).
Ada dua adhesin yang membantu P. Gingivalis dalam perlekatannya,
yaitu:
1. Fimbriae : fimbriae mempunyai panjang 0,3 3,0 m dan lebar 5 nm
dan berfungsi debagai adhesin yang menentukan perlekatan P.
gingivalis dengan berbagai substrat dan molekul saliva seperti protein

kaya prolin (PRPs), glikoprotein kaya prolin, statherin, sel ephitel dan
bakteri (Lamont & Jenkinson, 1998).
2. Hemaglutinin : hemaglutinin merupakan protein dari faktor virulensi
dari P. gingivalis yang akan memicu kolonisasi dengan mengikat
bakteri pada reseptor pada sel manusia saat di aplikasikan pada
permukaan sel bakteri (Lamont&Jenkinson, 1998).

2.4.4

Porphyromonas gingivalis dan Gingivitis


Porphyromonas gingivalis merupakan bakteri penyebab utama penyakit

periodontal. penyakit periodontal melibatkan infeksi lokal dan respon inangyang


menyebabkan terjadinya perubahan pada jaringan ikat periodontal (Susilowati,
2008).
Penyakit periodontal ringan di tandai dengan inflamasi gingiva
(Gingivitis) dan poket gingiva (Kantung gusi) yang terbentuk karena rusaknya
perlekatan gingiva (Loss gum attachment) dengan akar gigi (Susilowati, 2008)

2.4.5

Invasi Porphyromonas gingivalis


Kerusakan jaringan periodontal, menyebabkan sel-sel bakteri (intact), atau

produk-produk seperti lipopolisakarida (LPS), fragmen peptidoglikan, enzimenzim hidrolitik dapat memasuki sirkulasi darah (Scannapieco, 1998 dalam
Susilowati 2008). Penyebaran bakteri periodontal ke dalam sirkulasi darah
(bakterimia) tidak hanya terjadi bila ada kerusakan jaringan karena penyakit
periodontal. pada keadaan periodontal normal, adanya trauma sedikit saja pada
gingiva, misalnya saat menyikat gigi dapat menyebabkan invasi bakteri
periodontal dalam darah (Vojdani, 2003; Nassar, 2002 dalam Susilowati, 2008).
Lipopolisakarida dari P. gingivalis dapat menginduksi produksi sitokin pro
inflamatori dalam jumlah besar, seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis
factor (TNF)- pada darah perifer manusia (Ogawa et al, 1994 dalam Susilowati,
2008). Sehingga dapat memicu terjadinya inflamasi.

2.5 Obat Anti-Inflamasi


Obat anti inflamasi non steroid (AINS) merupakan salah satu kelompok
obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dokter.Obat-obat ini
merupakan suatu kelompok obat yang heterogen secara kimia.Dari kemajuan
penelitian dalam kadawarsa terakhir ini diketahui bahwa obat anti inflamasi non
steroid (AINS) ini sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan
penghambatan pada prostaglandin (PG) (Dapertemen Farmakologi dan Terapeutik
FKUI, 2007).
Golongan obat ini menghambat enzim sikloogsigenase sehingga konversi
asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu, enzim siklooksigenase terdapat dalam
2 isoform disebut COX-1 dan COX-2 (Dapertemen Farmakologi dan Terapeutik
FKUI, 2007).
Efek farmakodinamik dari anti inflamasi ini hanya meringankan gejala
nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakit secara simtomatik, tidak
menghentikan, memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan
muskuloskeletal (Dapertemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
Selain menimbulkan efek terapi dan efek samping tadi, obat anti inflamasi
banyak terkumpul dalam sel yang bersifat asam misalnya lambung, ginjal dan
jaringan inflamasi.Ini dikarenakan obat bersifat asam. Efek obat maupun efek
sampingnya akan lebih terlihat nyata tepat denganhy kadar yang lebih tinggi
(Dapertemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung
atau tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat
peradangan saluran cerna (Dapertemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

2.6 Kurkumin
2.6.1

Farmakologi
Kurkumin adalah fitokemikal yang memberikan warna kuning pada

Curcuma longa (Kunyit) yang bisa digunakan untuk terapi, kurkumin pertama
kali ditemukan pada tahun 1815. Diperkirakan kandungan kurkumin pada kunyit
sekitar 2-5% (Aggarwal, 2007).

Kurkumin adalah salah satu golongan senyawa fenolik, gabungan dari


desmetoksikurkumin dan kurkumin. (zahroet al, 2009) Kurkuminoid memiliki
berbagai gugus fungsional. Antara lain methoxy (-OCH3), karbonil (C=O),
hidroksil (-OH), ikatan rangkap dan benzene. (Kandias et al, 2011).
Kurkumin dapat ditemukan pada semua jenis kurkuma, namun untuk
presentase terbesar jumlah kurkumin ada pada Curcuma longa. (Kunyit) 3-8%,
Curkuma phaeocaulis val. (Gazutsu) 3% dan Curcuma xanthorrahiza roxb.
(Temulawak) 1-2% (Aggarwal, 2007).

2.6.2

Aktivitas Kurkumin sebagai anti-Inflamasi


Kurkumin dapat menghambat induksi siklooksigenase-2 (COX-2), pada

konsentrasi 20 m, kurkumin menunjukkan penghambatan yang kuat.Dengan


konsentrasi yang bebeda kurkumin juga dapat menghambat sintesis prostaglandin
(PGE2) menurunkan regulasi COX-2 dan meningkatkan apoptosis sel-sel
konstitutif (Basnet, 2011).
Terlepas dari peran COX-2, COX-1 juga isozym berperan dalam
keradangan dan karsinogenesis. Memang keseimbangan natara COX-1 dan COX2 katalis penting dalam fungsi fisiologis dan respon terhadap inflamasi. Kurkumin
dan beberapa analog muncul untuk menghambat COX-1.Seperti inhibisi, karena
telah di kaitkan dengan pengaruh yang potensial pada penyebaran lokal keganasan
(Basnet, 2011).

2.7 Reaksi Immunologi


Ketika ada antigen yang masuk kedalam tubuh seperti LPS yang
merupakan rangsangan poten terhadap makrofag untuk sekresi TNF.Salah satu
fungsi TNF adalah merangsang makrofag, mengsekresi dan menginduksi
kemotaksis dan pengarahan leukosit, dan juga mmerangsang fagosit mononuklear
untuk mengsekresi IL-1 dengan efek seperti TNF (Batarawidjaja & Rengganis,
2009).
Antigen yang ditangkap, diproses dan dipresentasikan makrofag dalam
konteks MHC-II ke CD4+.Selanjutnya sel CD4+diaktifkan dan mengekspresikan

IL-2 disamping memproduksi IL-2 dan merangsang CD4+ untuk berproliferasi.Sel


CD4+ yang berproliferasi dan berdiferensiasi berkembang menjadi subset sel Th1
dan Th2, mensintesis sitokin yang mengaktifkan fungsi sel imun lain seperti
CD8+, sel B, makrofag dan NK (Batarawidjaja & Rengganis, 2009).
Makrofag mencerna mikroba yang dimakannya dalam vesikel (fagosom),
namun beberapa mikroba dapat melepas dan masuk ke dalam sitoplasma. Sel
CD4+akan mengena antigen yang berasal dari mikroba vesikuler dan
mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikroba dalam vesikel (Batarawidjaja
& Rengganis, 2009)

Gambar 8. Reaksi imunologi


(Sumber: Rengganis & Baratawidjaja, 2009)

Gambar 9. Reaksi imunologi


(Sumber: Rengganis & Baratawidjaja, 2009)

Gambar 10. Reaksi imunologi


(Sumber: Rengganis & Baratawidjaja, 2009)

2.8 Pewarnaan imunohistokimia


Immunohistokimia adalah teknik pewarnaan integral dalam laboratorium
yang banyak digunakan untuk tujuan diagnostik dan penelitian (Vara,
2005).Teknik ini banyak digunakan pada penelitian-penelitian karena teknik ini
telah ditetapkan sebagai metode yang solid. Immunohistokimia didasarkan pada
pengikatan antibodi ke antigen tertentu di bagian jaringan (Vara, 2005)
Menurut Thomas Boenisch, 2001 dalam immunochemical staining
methods menjelaskan bahwa ada beberapa metode pewarnaan immunohistokimia,
antara lain :
1. Metode direct (langsung)
metode directmerupakan metode tertua, dalam metode ini antibodi
bereaksi dengan antigen dalam jaringan yang selanjutnya penggunaan substratchromogen menyimpulkan reaksi urutan.Pada metode ini hanya digunakan satu

antibodi, maka hasil bisa diselesaikan dengan cepat, namun terbatas dan tidak
spesifik. Namun metode direct tidak cukup sensitif lagi untuk kebutuhan saat ini.
2. Metode Indirect dua langkah (Tidak Langsung)
Dalam metode ini, antibodi primer unconjugated pertama mengikat
antigen, antibodi berlabel enzim sekunder ditujukan untuk natibodi primer
(sekarang antigen) kemudian diterapkan dan diikuti oleh substrat-chromogen.
Metode ini lebih spesifik dari pada metode direct karena berbagai antibodi primer
dari spesies yang sama dapat digunakan dengan antibodi sekunder yang
terkonjungasi. Prosedur ini juga lebih sensitif dari metode direct sebagai antibodi
sekunder karena beberapa kemungkinan bereaksi dengan epitop yang berbeda dari
antibodi primer sehingga memperkuat sinyal seperti molekul enzim lebih
terpasang per setiap situs target.
3. Metode Indirect tiga langkah (tidak langsung)
Dalam metode ini kedua antibodi enzymaconjugated dalam metode
indirect dua langkah ditambahkan kemudahan ditambahkan antibodi pada lapisan
ketiga yang berfungsi untuk memperkuat sinyal, karana antibodi lebih mampu
mengikat reagen sekunder.Prosedur ini sangat membantu ketika melakukan
pewarnaan dengan jumlah epitop terbatas.
4. Metode kekebalan atau Enzim komplek
Pada teknik ini memanfaatkan larutan prefomed enzim, anti enzim
kompleks imun. Untuk mendapatkan larutan ini enzim ditambahkan pada antibodi
dan setiap endapan akan dihapus.
Urutan

pewarnaan

ini

terdiri

dari

penggunaan

antibodi

primer

unconjugated, antibodi sekunder larutan enzim komplek dan substrat solusi.


Antibodi primer dan antibodi kompleks harus dibuat dalam spesiaes yang sama.
Antibodi sekunder harus diarahkan terhadap immunoglobulin dari spesies yang
memproduksi antibodi primer maupun antibodi kompleks.
Metode ini lebih sensitif dari metode yang sebelumnya.Karena teknik ini
memanfaatkan afinitas antibodi, antigen untuk membentuk komples imun stabil.

5. Metode STREPT (Avidin-Biotin Technologies)


Pada metode ini adalah avidin dan enzim yang terbiotinilasi di campurkan
dalam perbandingan yang optimal maksimal 30menit sebelum digunakan, semua
prosedur dilakukan dalam suhu kamar. Tahapannya antara lain:
a. ambil jaringan dan biarkan minimal selama 30menit
b. tetesi serum dan buat hapusan, jangan di bilas
c. tambahkan reagen, bilas 3-5menit
d. tetesi antibodi primer
e. tetesi antibodi sekunder
f. siapkan

svidin-biotin

komplek

maksimal

30

menit

sebelum

penggunaan
g. tetesi hapusan dengan substrat sampai intensitas pewarnaan yang
diinginkan
h. bilas dengan air

P.
gingivalis

2.9 Kerangka Konseptual Penelitian


Makrofag
(APC)

MHC-II

IL-1/TNF
Berinteraksi

Aktivasi
Limfosit
T-helper

Th1

Th2

IFN-/IL-1,IL-4,IL-5
Aktivasi
T-citokin/makrofag.Sel B
Fosfolipid membrane Sel
Fosfolipase A2
Metabolisme Asam
Arakidonat

kurkum
Siklooksigenase

Lipooksigenase
Leukotrien

Prostaglandin
LTA4
PGD2
Meningkatkan
Permeabilitas
Vaskular

PGE2

PGF2

LTC4
LTD4

LTE4

Vasodilatasi Meningkatkan
terjadinya Odema

2.10

Hipotesis
Jumlah limfosit T-helper pada gingivitis akan mengalami penurunan

setelah pemberian kurkumin.

Vous aimerez peut-être aussi