Vous êtes sur la page 1sur 15

BAB I

PENDAHULUAN

Bacterial vaginosis (BV) merupakan penyebab keputihan yang berbau amis


pada wanita usia reproduktif.(1) Adapun penyebab pasti masih sulit dipahami,
meskipun beberapa referensi menyatakan adanya interaksi yang kompleks antara
berbagai komponen dari ekosistem mikroba vagina dan host.(1, 2)
Bacterial vaginosis adalah peradangan pada vagina yang disebabkan oleh
konsentrasi bakteri anaerob yang meningkat dibandingkan flora normal vagina.
Flora normal vagina Lactobacilli digantikan oleh bakteri anaerob seperti
Gardnerella vaginalis, Atopobium vaginae, bacterial vaginosis-associated
bacteria, Megasphaera vaginalis, Mycoplasma hominis, Mobiluncus sp,
Ureaplasma urealitycum, Prevotella, dan Peptostreptococcus sp.(1, 3)
Patogenesis BV sampai saat ini masih belum diketahui secara jelas. Sekitar
50% wanita sehat ditemukan kolonisasi G. vaginalis dalam vagina dalam jumlah
sedikit sehingga hal ini menunjukkan bahwa kuman tersebut termasuk flora
normal dalam vagina. Dari beberapa hasil studi, ditemukan hubungan G. vaginalis
dan bakteri lainnya menyebabkan BV.(4)
Penemuan secara klinis pasien BV jarang didapatkan karena bersifat
asimtomatik.(1) Tetapi, kasus BV meningkat seiring tingginya faktor risiko melalui
hubungan seks yang sering berganti pasangan, Human Papilloma Virus (HPV),
dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Bacterial vaginosis juga dikaitkan
akibat infeksi post operasi, kehamilan dengan kondisi ketuban pecah dini,
persalinan prematur, infeksi intra amnion, dan riwayat persalinan Berat Bayi Lahir
Rendah (BBLR).(1, 3, 5)
Faktor risiko terjadinya BV adalah pasangan seksual baru atau sering berganti
pasangan seksual, menjalin hubungan seksual pada usia muda, pemakaian
intrauterine devices (IUD), douching dan wanita yang merokok.(3-9)
Bacterial vaginosis biasa terjadi

pada wanita usia reproduktif.(1,

3, 7, 8)

Sebanyak 16% wanita hamil di Amerika Serikat terkena penyakit BV. Bacterial
vaginosis juga sering didapatkan pada wanita berkulit hitam dibanding wanita

berkulit putih, wanita homoseksual (lesbian) dan wanita yang merokok. (3, 5, 7, 8).
Prevalensi BV meningkat karena kurangnya skrining dan biasanya bersifat
asimptomatik.(7)
Bacterial vaginosis menunjukkan adanya faktor risiko pada kelahiran bayi
prematur semasa kehamilan. BV juga dikaitkan dengan faktor risiko pada
transmisi HIV. Penelitian juga menunjukkan bahwa BV memiliki faktor risiko
yang tinggi terjadinya neoplasia serviks intra epitelial. Beberapa penelitian
menghubungkan BV dengan demam pasca partum, komplikasi pasca operasi
ginekologi, dan infeksi pasca abortus.(4)
Sebanyak 75% kasus BV adalah asimptomatik dan kebanyakan penderita
datang dengan keluhan keputihan yang keluar dari vagina berbau amis dan
berwarna putih keabu-abuan, encer dan terdapat juga keluhan rasa gatal serta
nyeri.(2-4, 9, 10)
Dengan pengobatan metronidazole dan klindamisin memberi angka
kesembuhan yang tinggi (84-96%). Prognosis BV baik, dilaporkan perbaikan
spontan pada lebih sepertiga kasus. (14)

BAB II
PENEGAKAN DIAGNOSIS

Sebanyak 75% kasus BV adalah asimptomatik dan kebanyakan penderita


datang adalah dengan keluhan keputihan yang berbau dan kelainan warna serta
tekstur keputihannya. Penyakit ini dicurigai pada wanita yang datang dengan
keluhan keputihan berbau amis (fishy odor). Bau lebih menusuk setelah
berhubungan seksual dan menyebabkan bau darah menstruasi berbau abnormal.
Iritasi daerah vagina atau sekitar vagina (gatal, rasa terbakar), nyeri abdomen,
dispareunia.(2-6)
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala klinisnya, pemeriksaan
spekulum, kriteria Amsel, pemeriksaan penunjang dan mikroskopi.(3) Setiap
pemeriksaan dijelaskan seperti di bawah :
1. Gejala klinis
Penderita datang dengan keluhan keputihan yang keluar dari vagina berbau
amis dan berwarna putih keabu-abuan, encer dan terdapat juga keluhan rasa gatal
serta nyeri.(2-4, 9, 10)

2. Pemeriksaan spekulum
Pemeriksaan spekulum dilakukan pada wanita yang sudah menikah atau
pernah melakukan hubungan seksual dan pada pemeriksaan didapatkan keputihan
yang homogen, putih keabu-abuan atau kuning yang menempel pada dinding
vagina.(2-4)

3. Kriteria Amsel
Kriteria Amsel dipakai dalam bagian genitourinaria untuk mendiagnosa BV.
Kriteria ini dicetuskan oleh Gardner dan Dukes pada tahun 1955 dalam penemuan
mereka tentang clue cells, yang mendiskripsikan bahwa clue cells berupa selsel epitelial yang di kelilingi oleh bakteri-bakteri kecil sehingga memberikan
gambaran batas yang tidak

tegas.(1, 2, 7)

Kriteria Amsel, 3 dari 4 kriteria dapat didiagnosis(2-5, 7, 9, 11, 12) :


a. pH cairan vagina >4,5
b. Bau amis pada penambahan alkali KOH 10 %
c. Cairan vagina berwarna putih homogen, encer ,putih, melekat pada dinding
vagina
d. Terdapat clue cells secara mikroskopik

Gambar 1. Gambaran clue cells pada pemeriksaan mikroskopi.


Dikutip dari Kepustakaan (7)

Pemeriksaan yang dilakukan untuk melihat sel-sel ini adalah wet amount
examination, satu tetes cairan saline di campurkan dengan sekret yang di smear
di objek glass dengan perbandingan 1:1 dan kemudian di periksa di bawah
mikroskop dengan pembesaran (800x) serta menggunakan minyak emersi.(2,

3)

Interpretasi kriteria Amsel bisa salah jika(3) :


a. Sekresi vagina diambil dari penderita yang baru melakukan coitus dan
douching.
b. Candida dan Trichomonas Vaginalis memberikan gambaran yang sama secara
klinisnya.
c. Reaksi KOH 10% positif dan pH vagina meningkat serta menjadi asam pada
keputihan yang bercampur dengan semen.
d. Keseimbangan pH vaginal bersifat asam ketika menstruasi.

e. Interpretasi salah dari mikroskopi boleh terjadi karena debris dan degerasi sel
yang di salah anggap sebagai clue cellsdan lactobacilli yang sedikit
jumlahnya pada vagina.

4. Pemeriksaan penunjang
a. Whiff test
Pemeriksaan bau. Cairan vagina diberi beberapa tetesan kalium hidroksida
(KOH), bau yang amis seperti bau ikan memberikan hasil positif.(3)
b. Pewarnaan Gram
Pemeriksaan ini adalah cara mudah untuk mengkonfirmasi BV. Pada vagina
yang normal jumlah lactobacilli banyak dan bentuknya adalah batang, Grampositif dan ujungnya yang tumpul. Gardnerella bersifat Gram-negatif, dan
berbentuk kokus. Pada BV didapatkan banyak bakteri Gram-negatif dan batang
kecil.(3)

Gambar 2. Gambar bakteri gram negatif Gardnerella vaginalis


pada pewarnaan gram
Dikutip dari Kepustakaan(12)

c. Pemeriksaan kultur
Pemeriksaan ini jarang dilakukan karena kurang sensitivitas dan spesifitas
sehingga jarang digunakan untuk menegakkan diagnosa.(3)
d. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan lanjutan jika diagnosanya masih
dicurigai, tes ini mendeteksi perubahan biokimia cairan vagina. Ada juga yang
menggunakan kertas pH untuk menilai keasaman cairanvagina karena tes
penunjang BV blue dan Fem Exam agak mahal biayanya.(3)
5

Peralatan untuk test Fem Exam terdiri dari 2 kartu plastik. Kartu pertama
terdiri dari test untuk pH dan amina. Cairan vagina dari swab pertama (kapas) di
usapkan dibagian tes pH yang memicu reaksi kualitas colorimetric. Jika pH cairan
vagina 4,7 atau lebih, tanda plus biru muncul. Tanda minus muncul jika pH
kurang dari 4,7. Swab pertama tadi kemudian diusapkan lagi dibagian tes amina,
dalam waktu 2 menit reaksi colorimetric terjadi.(12) Sedangkan pada BV Blue
merupakan sebuah tes diagnostik yang didasarkan pada peninggian kadar enzim
sialidase dalam sampel cairan vagina.(11)

Gambar 3. A. BV Blue Test : Warna biru mengindikasikan VB blue test positif.


Dikutip dari Kepustakaan(13)

Gambar 4. FemExam Test Card : Test 1 warna biru mengindikasikan BV positif, Test 2 warna
pink mengindikasikan BV positif.
Dikutip dari Kepustakaan(13)

Penyakit BV didiagnosa banding dengan candidiasis vulvovaginal dan


trichomoniasis vaginitis. Pada serviksitis, selalu adanya perdarahan akibat kontak
dan keputihan yang purulen. Candidiasis memberikan gambaran keputihan yang
lebih putih dan seperti keju serta ada gejala gatal. Pada trichomoniasis, untuk
kasus akut, terlihat sekret vagina seropurulen berwarna kekuningan-kuningan,
kuning hijau, berbau tidak enak (malodorous), dan berbusa. Dinding vagina
tampak kemerahan dan sembab. Kadang-kadang terbentuk abses kecil pada
dinding vagina dan serviks, yang tampak sebagai granulasi berwarna merah dan
dikenal sebagai strawberry appearance dan disertai gejala dispareunia,
perdarahan pasca coitus, dan perdarahan intermenstrual. Bila sekret banyak yang
keluar dapat timbul iritasi pada lipat paha atau di sekitar genitalia eksterna.
Sedangkan pada kasus yang kronik, gejala lebih ringan dan sekret vagina biasanya
tidak berbusa.(12)

BAB III
PENATALAKSANAAN

3.1 Terapi topikal


a.

Metronidazole gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.(2, 14)

b.

Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari digunakan sebelum


tidur malam, Klindamisin ovula 100mg 1xsehari selama 3 hari.(1, 2, 7, 14)
Sebuah studi acak membandingkan efektifitas klindamisin vagina ovula (100
mg sehari selama 3 hari) dengan klindamisin krim vagina (5 gram pada
waktu tidur selama 7 hari) untuk pengobatan BV. Tingkat kesembuhan
adalah serupa: 53,7% untuk kelompok ovula dan 47,8% untuk kelompok
krim.(1)

c.

Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari. Sangat efektif mengobati


vaginosis bakterial, tetapi menginduksi kandidiasis vagina dan lesi ulseratif
vagina.

d.

Krim sulfonamid tripel (Sulfacetamid 2,86%, sulfabenzamide 3,7%, dan


sulfathiazole 3,42%) digunakan secara luas setelah penemuan pertaama BV
oleh GARDNER dan DUKES tahun 1955.(5,

14)

Cara pemakaiannya 1

aplikator penuh krim ke dalam vagina 2 x sehari selama 10 hari.(14)


Sulfonamid adalah turunan dari para-amino-benzene sulphonamide. Ia
bertindak dengan menghambat enzim sintetase asam dihidrofolik bakteri,
yang mengubah Para Aminobenzoat Acid (PABA) menjadi asam
dihidrofolik. Sel mamalia dan bakteri resisten tidak mensintesis asam folat
dan tidak terpengaruh. Sulfonamid adalah bakteriostatik dan sebagian diserap
dengan baik melalui oral. Sulfonamid didistribusikan melalui seluruh
jaringan tubuh, dimetabolisme dalam hati dan diekskresikan terutama oleh
ginjal.(15) Efek pengobatan ini mendapat tantangan setelah dilaporkan
kegagalan 86% oleh PFEIFER dkk pada tahun 1978. Penyembuhan dengan
krim ini berkisar antar 15-45%.(14)

3.2 Terapi sistemik


a.

Metronidazole dengan dosis 2 x 500 mg setiap hari selama 7 hari.(2, 5)


Memberi

angka

penyembuhan

lebih

dari

90%.(5)

Pemberian

metronidazole pada pasangan laki-laki tidak dapat mencegah terjadinya BV


berulang.(2) Metronidazole adalah antiprotozoa nitroimidazole yang juga
memiliki aktivitas bakteri kuat terhadap bakteri anaerob, termasuk spesies
bakterioides dan klostridium. Metronidazole diindikasikan untuk terapi
infeksi anaerobik, vaginitis (infeksi tikomonas, bacterial vaginosis), kolitis,
dan abses otak.(15)
Pemberian Metronidazole pada wanita hamil tidak mengurangi
munculnya BV berulang, bahkan pada studi kasus metanalisis didapatkan
bahwa BV meningkatkan risiko bayi lahir prematur dan abortus. Pengobatan
antimikroba oral pada BV selama >7 hari pada awal masa kehamilan dapat
mengurangi risiko lahir prematur pada wanita dengan riwayat risiko BV.(2)
Metronidazole oral cepat diserap dan menembus semua jaringan melalui
difusi sederhana. Kadar intraselnya cepat mendekati kadar ekstrasel. Kadar
plasma puncak tercapai dalam 1-3 jam. Ikatan protein kedua obat ini rendah
(10-20%); waktu paruh obat yang tidak mengalami perubahan adalah 7,5 jam
untuk metronidazole dan 12-14 jam untuk tinidazole. Metronidazole dan
metabolitnya diekskresi terutama melalui urine. Bersihan metronidazole
dalam plasma menurun pada penderita gangguan fungsi hati.(15)
Gugus nitro dalam metronidazole direduksi secara kimiawi pada bakteri
anaerob dan protozoa yang sensitif. Produk reduksi yang reaktif tampaknya
berperan menimbulkan aktifitas antimikroba.(15)
Mual, muntah, nyeri kepala, mulut kering atau rasa logam di mulut umum
terjadi.(1,

17)

Efek samping yang jarang terjadi meliputi muntah, diare,

insomnia, kelemahan, pusing, thrush, ruam, disuria, urine berwarna gelap,


vertigo, parastesia, dan neutropenia. Pemberian obat bersama makanan
menurunkan iritasi gastrointestinal. Metronidazole mempunyai efek yang
menyerupai disulfiram, sehingga dapat timbul mual dan muntah jika

mengkonsumsi alkohol selama terapi. Obat ini harus digunakan dengan hatihati pada penderita penyakit sistem saraf pusat.(15)
Metronidazole dan metabolitnya bersifat mutagenik pada bakteri.
Pemberian

metronidazole

dosis

besar

jangka

lama

menyebabkan

tumorigenisitas pada mencit. Data mengenai teratogenisitas masih tidak


konsisten. Oleh sebab itu, metronidazole sebaiknya dihindari pada kehamilan
atau ibu menyusui, meskipun kelainan kongenital belum jelas terjadi akibat
penggunaannya pada manusia.(15)
b. Tinidazole merupakan antibiotik nitroimidazole dan agen antiprotozoa yang
dilaporkan pertama kali di Eropa, Asia, dan Amerika Latin sebagai
pengobatan BV. Tingkat keberhasilan pemberian Tinidazole 2 x 500 mg
selama 5 hari atau 2 x 1 g selama 7 hari memiliki efek yang setara dengan
pemberian Metronidazole 2 x 500 mg selama 7 hari.(1, 2, 5)
c. Klindamisin adalah agen antimikroba kedua untuk pengobatan BV. Ini adalah
antibiotik lincosamide, subkelas dari keluarga besar antibiotik macrolide,
memiliki berbagai jenis preparat, termasuk vagina (ovula dan krim) dan oral.(1)
Dosis yang digunakan yaitu : Klindamisin 300 mg oral 2x sehari selama 7
hari.(7,

14)

Meskipun pengobatan intravagina tidak mengurangi kematian

perinatal, pengobatan dengan Klindamisin oral dapat mengurangi risiko


keguguran dan bayi lahir prematur bila diberikan pada awal masa kehamilan.
Penggunaan Klindamisin 500 mg oral 2x sehari selama 7 hari memberikan
efek yang sama dengan pemberian Metronidazole oral (500 mg, 2x sehari
selama 7 hari) atau Metronidazole topikal (0,75% gel 5 g, 1x sehari selama 7
hari.(1)
d.

Augmentin (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari


selama 7 hari. Cukup efektif sebagai cadangan terapi untuk wanita hamil dan
intoleransi terhadap metronidazole.(14)

e.

Ampisilin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari. Angka kesembuhan hanya


30-50%.(14)

f.

Amoksisilin 500 mg 3 x sehari selama 7 hari.(14)

g.

Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari(14)

10

h.

Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 7 hari.(14)

i.

Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari. Meskipun in vitro sangat aktif
terhadap G. vaginalis dan kuman-kuman anaerob, ternyata tidak efektif untuk
BV.(4, 14)

j.

Cefaleksin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.(14)

k.

Probiotik
Menurut World Health Association (WHO) dan Food and Drug
Administration (FDA), definisi dari Probiotik adalah mikroorganisme hidup
yang bila diberikan dalam jumlah tertentu dapat memberikan manfaat bagi
kesehatan tubuh. Mekanisme kerja probiotik bagi kesehatan tubuh masih
belum dapat dipahami dengan baik. Beberapa hipotesis mengenai mekanisme
kerjanya, yakni(1) :
(i)

Sebagai contoh, Lactobacillus fermentum RC-14 dilaporkan dapat


menghasilkan biosurfaktan yang mengandung sejumlah kolagen yang
merupakan protein pengikat yang dapat menghambat ikatan benda asing
dan mengeluarkan benda asing dari sel epitel;

(ii) Probiotik dapat menghasilkan senyawa antimikroba yang menghambat


pertumbuhan mikroorganisme patogen;
(iii) Terapi probiotik dapat merangsang mukosa untuk meningkatkan sistem
kekebalan tubuh;
Mikroorganisme dengan sifat probiotik seperti L. rhamnosus GR-1, L.
rhamnosus Lcr 35, L. reuteri RC-14, dan L. crispatus CTV-05, yang digunakan
secara oral atau vagina terbukti dapat meningkatkan flora vagina dengan efek
samping minimal.(1)
Bukti bahwa menurunnya jumlah spesies Lactobacillus pada BV melahirkan
konsep tentang pemberian Lactobacillus untuk mengembalikan flora normal
vagina. Hasil studi acak membandingkan tingkat kesembuhan pemberian
probiotik vagina 1 x 2 kapsul intravagina yang berisi 109 L. rhamnosus GR-1 dan
109 L. reuteri RC-14 digunakan sebelum tidur selama 5 hari lebih efektif daripada
pengobatan Metronidazole gel intravagina 0,75% 2 x 1 selama 5 hari.(1)

11

Studi lain melaporkan bahwa pemberian kombinasi Metronidazole oral 2 x


500 mg selama 7 hari dan Probiotik oral 2 x 1 selama 30 hari (1 kapsul yang berisi
109 L. rhamnosus GR-1 dan 109 L. reuteri RC-14) memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan hanya metronidazole. Selain itu, pemberian kombinasi
Tinidazole dosis tunggal 2 g dan Probiotik 1 x 2 kapsul yang berisi 109 L.
rhamnosus GR-1 dan 109 L. reuteri RC-14 setiap pagi selama 4 minggu
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan hanya Tinidazole. Beberapa ahli
menyarankan pemberian probiotik sebagai profilaksis pada wanita sehat dengan
riwayat BV berulang.(1)
Adapun pengobatan Bacterial vaginosis menurut The United States Centers
for Disease Control, yakni(1) :
1.

Penatalaksanaan yang direkomendasikan :


a. Metronidazole oral 500 mg 2x1 selama 7 hari
b. Metronidazole gel 0,75% (5 g) intravagina, 1x1 selama 5 hari
c. Klindamisin krim 2% (5 g) intravagina, 1x1 sebelum tidur selama 7 hari

2.

Penatalaksanaan alternatif :
a. Tinidazole oral 2 g, 1x1 selama 2 hari
b. Tinidazole oral 1 g, 1x1 selama 5 hari
c. Klindamisin oral 300 mg, 2x1 selama 7 hari
d. Klindamisin ovula 100 mg intravagina, 1x1 sebelum tidur selama 3 hari

3.

Penatalaksanaan pada wanita yang sedang hamil:


a. Metronidazole 500 mg, 2x1 selama 7 hari
b. Metronidazole 250 mg, 3x1 selama 7 hari
c. Klindamisin 300 mg, 2x1 selama 7 hari

4.

Penatalaksanaan BV pada beberapa keadaan(7) :


a. Pasien alergi Metronidazole:
Klindamisin krim intravaginal

12

b. Penatalaksanaan infeksi rekuren:


1)

Rejimen terapi
Metronidazole 500 mg 2 x sehari selama 7 hari. Merupakan obat
yang paling efektif saat ini dengan kesembuhan 95%. Penderita
dinasehatkan untuk menghindari alkohol selama terapi dan 24 jam
sesudahnya.

2)

Rejimen alternatif

Metronidazole oral 2 gram dosis tunggal. Kurang efektif bila


dibandingkan dengan rejimen 7 hari; angka kesembuhan 84%.

Metronidazole gel 0.75% intravaginal, aplikator penuh (5gr), 2 x


sehari untuk 5 hari.

Klindamisin krim 2% intravaginal, aplikator penuh

(5 gr),

dipakai saat akan tidur untuk 7 hari atau 2 x sehari selama 5


hari.

3)

Klindamisin 300 mg 2 x sehari untuk 7 hari.

Augmentin oral 3 x sehari selama 7 hari.

Sefaleksin 500 mg 4 x sehari selama 7 hari.

Terapi pasangan seksualnya untuk menurunkan angka rekurensi.


Jika cara ini tidak berhasil untuk BV rekuren, maka dilakukan
pengobatan selama seminggu sebelum permulaan menstruasi dan
begitupun pada menstruasi berikutnya, dengan pengobatan selama 35 hari dengan metronidazol oral dan anti jamur yaitu clotrimazole
intravaginal atau flukonazole. Tujuannya adalah berusaha untuk
melindungi serangan BV atau kandida selama 3-6 bulan dengan
harapan bahwa hal ini akan memberikan suatu pemecahan terhadap
apapun yang dapat menjadi pencetus BV. Cara ini telah dapat
membantu beberapa perempuan tetapi tidak semuanya.(14)

13

DAFTAR PUSTAKA
1.

Menard J-P. Antibacterial treatment of bacterial vaginosis: current and


emerging therapies. Int J Womens Health. 2011;3:295-300.

2.

Holmes K. Sexually Transmitted Diseases: Overview and Clinical


Approach. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL,
Jameson JL, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16 ed. USA:
McGraw Hill; 2005. p. 766-8.

3.

Hay P. Bacterial Vaginosis. Journal of Pediatrics, Obstetrics and


Gynecology. 2002:36-9.

4.

Judanarso J. Vaginosis Bakterial. In: Juanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit


dan Kelamin. 5 ed. Jakarta: FKUI; 2010. p. 386-91.

5.

Mitchell H. Vaginal discharge-causes, diagnoses, and treatment. In: Adler


M, Cowan F, French P, Mitchell H, Richens J, editors. ABC of Sexually
Transmitted Infections. 5 ed. London: BMJ Publishing; 2004. p. 25-9.

6.

Filho DSC, Diniz CG, Silva VLd. Bacterial vaginosis : clinical,


epidemiologic and microbiological features. HU Revista. 2010;36:223-30.

7.

Garcia A, Madkan V, Tyring S. Gonorrhea and Other Veneral diseases. In:


Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editors. Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. USA: McGraw
Hill; 2008. p. 1999-2000.

8.

Turovskiy Y, Noll KS, Chikindas ML. The Etiology of Bacterial Vaginosis.


J Appl Microbiol. 2011:1-2.

9.

McDonald H, Brocklehurst P, Gordon A. Antibiotics for Treating Bacterial


Vaginosis in Pregnancy (Review). Cochraine Database Syst Rev. 2007(1):12.

10.

Breathnach S, Smith C, Chalmers R, Hay R. Systemic Therapy. In: Burns T,


Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of
Dermatology. 8 ed. Cambridge: Wiley-Blackwell; 2010. p. 74.38-74.39.

11.

Myziuk L, Romanowski B, Johnson SC. BVBlue Test for Diagnosis of


Bacterial Vaginosis. J Clin Microbiol. 2003;41:1925-7.

14

12.

West B, Morison L, Loeff MSVD, Gooding E, Awasana AA, Demba E, et


al. Evaluation of a New Rapid Diagnostic Kit (FemExam) for Bacterial
Vaginosis in Patients With Vaginal Discharge Syndrome in The Gambia.
Sex Transm Dis. 2003:483-7.

13.

Khatoon R, Ahmad S, Jahan N. OSOM BV blue test: A new point-of-care


test for diagnosing bacterial vaginosis and its comparison with Gram
staining. AJMR. 2013;7:4103-6.

14.

Rahmah S, Adriani A, Tabri F. Vaginosis bakterial. In: Amiruddin, editor.


Penyakit Menular Seksual. Jogjakarta: LKIS Pelangi Aksara; 2004. p. 14761.

15.

Chambers H. Obat Antimikroba Lain: Disinfektan, Antiseptik, dan sterilan.


In: Katzung B, editor. Farmakologi Dasar dan Klinik. 10 ed. Jakarta: EGC;
2010. p. 846-86.

15

Vous aimerez peut-être aussi