Vous êtes sur la page 1sur 9

AGAMA DAN ILMU

( Tulisan ini diambil dari tiga tulisan yang membahas tema "agama
dan Ilmu" yang pertama ditulis New York Times Magazine 9
November 1930; yang kedua disampaikan pada princeton
Theological Seminary, 19 Mei 1939; dan yang ketiga dimuat pada
Science, Philosophi, and Religion: Sympisium yang diterbitkan
pada 1941 oleh Comference on Scince, Philosophi, and Religion in
Their Relation to The Democratic Way of Life Disini Sengaja
diambil satu tulisan lengkap dan sebagian dari dua tulisan lainnya
agar gagsan Einstain terungkap secara utuh, tetapi tidak
ditumpang tindih diterjemahkan oleh Zainal Abidin dari Sonja
Bargman (ed), Ideas and Opinions by Albert Einstein, Bonanza)
Selama abad yang lalu, dan sebagian abad sebelumnya, tersebar
luas pendangan bahwa ada pertentangan yang tidak dapat
didamaikan antara ilmu dan agama. Pandangan yang dianut oleh
tokoh zaman itu adalah bahwa sudah saatnya iman digantikan
oleh pengetahuan. Iman yang tidak bersandar pada pengetahuan
adalah takhayul, dan karenanya harus ditolak. Menurut konsepsi
ini, fungsi saru-satunya pendidikan adalah untuk membuka jalan
kepada pemikiran dan manusia, haruslah memnuhi hanya tujuan
itu saja.
Memang amat sulit kita temukan kalaupun ada sudut pandang
rasionalistik yang diungkapkan dalam bentuk sekonyol itu; karena
setiap

orang

yang

dapat

dengna

mudah

melihat

betapa

sepihaknya pernyataan itu. Tetapi kita perlu menyatakan suatu


tesis

secara

tajam

dan

telanjang

sama

sekali,

jika

ingin

mengetahui hakikat sejatinya.


Adalah benar bahwa keyakinan hanya dapar didukung dengan baik
oleh pangalaman dan pikiran jernih. Pada titik ini, kita mesti
bersepakat

sepenuhnya

dengan

kaum

rasionalis

ekstrim.

Bagaimanapun, titik lemah ini adalah bahwa keyakinan tersebut

yang amat penting dan menentukan perilakku dan penilaian kita


tak dapat ditemukan hanya pada wilayah ilmu yang ketat ini.
Ini disebabkan metode ilmiah tidak dapat mengajarkan apa pun
tentang

bagaimana

fakta-fakra

berhubungan,

dan

saling

mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Pengahargaan


kepada pengetahuan objektif harus diberikan kepada orang-orang
dengan kemampuan tertinggi yang mengembangkannya, dan saya
harap Anda tidak menuduh saya ingin mengecilkan pencapaianpencapaian dan usaha-usaha heroik dari orang-orang yang bergiat
di bidang ini. Namun, sama jelasnua adalah bahwa pengetahuan
tentang apa yang sebenarnya tidaklah langsung membukakan
pintu bagi apa yang seharusnya. Seseorang dapat memperoleh
pengetahuan yang paling lengkap dasn paling jelas tentang apa
sebenarnya, tetapi tidak mampu meyimpulkan darinya suatu
tujuan dari aspirasi kemanusiaan kita. Pengetahuan objektif
melengkapi kita dengan alat ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu, tetapi tujuan puncak itu sendiri dan rasa rintu untuk
mencapainya harus datang dari sumber lain. Dan hampir tidak
perlu

memperdebatkan

pandangan

bahwa

kemaujudan

dan

aktivitas kita memperoleh makna hanya dengan penetapan tujuan


seperti

itu

dan

nilai-nilai

yang

berhubungan

dengannya.

Pengetahuan tentang kebenaran seperti apa adanya adalah


menakjubkan, tetapi hanya sedikit perannya sebagai pembimbing,
karena bahkan pengetahuan itu sendiri tak dapat mebuktikan
konsepsi yang murni rasional dari kemajuan kita.
Tetapi kita juga tidak dapat mengasumsikan bahwa pemikiran akal
tidak dapat berperan sama sekali dalam pembentukan tujuan dan
penilaian

etis

Ketika

seseorang

menyadari

bahwa

untuk

mencapai suatu tujuan diperlukan suatu cara, di situ cara itu


sendiri sudah menjadi tujuan. Meskipun demikian, berpikir semata
tidak dapat suatu kepekaan atau rasa akan tujuan akhir. Bagi saya,
inilah tampaknya peranan terpentung yang harus dimainkan oleh

agama dalam kehidupan sosial manusia. Yaitu, untuk memperjelas


tujuan dan penilaian fundamental ini, dan untuk menancapkannya
dalam kehidupan emosional manusia. Dan jika ada yang bertanya,
dari otoritas mena kita mesti mendapatkan tujuan fundamental ini
karena tujuan itu tidak dapat dinyatakan dan dijastifikasi hanya
oleh nalarmaka jawabannya adalah: tujuan tesebutmajud dalam
masyarakat yang seharusnya sebagai tradisi yang kuat, yang
mempengaruhi

perilaku,

harapan-harapan,

dan

penilaian

anggotanya; tujuan iru ada disana, yaitu, sesuatu yang hidup,


tanpa merasa perlu menemukan jastifikasi bagi keberadaannya.
Tujuan-tujuan

itu

meujud

demonstrasi,

tetapi

tanpa

melalui

melalui

semacam

pembuktian

pewahyuan,

atau

dengan

perantaraan pribadi-pribadi tangguh. Tak perlu menjastifikasinya,


tetapi

yang

penting

adalah

merasakan

hakikatnya,

secara

sederhana dan jernih.


Kini, meskipun wilayah agama dan ilmu masing-masing sudah
saling membatasi dengan jelas, bagaimanapun ada hubungan dan
ketergantungan timbal balik yang amat kuat di antara keduanya.
Meskipun agama adalah yang menentukan tujuan, tetapi dia telah
belajar dalam arti yang paling luas, dari ilmu, tentang cara-cara
apa yang akan menyumbang pencapaian tujuan-tujuan yang telah
ditetapkannya. Dan ilmuhanya dapat diciptakan oleh mereka yang
telah

teri-lhami

oleh

aspirasi

terhadap

kebenaran

dan

pemahaman. Sumber perasaan ini, tumbuh dari wilayah agama.


Termasuk juga disisni adalah kepercayaan akan kemungkinan
bahwa pengaturan yang absah bagi dunia kemaujudan ini bersifat
rasional, yaitu dapat dipahami nalar. Saya tak dapat percaya ada
ilmuwan yang tidak memiliki kepercayaan tersebut. Keadaan ini
dapat diungkapkan dengan suatu citra ; ilmu tanpa agama adalah
lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta.
Meskipun saya sudah menyatakan di atas bahwa sesungguhnya
tak boleh ada pertentangan antara ilmu dan agama, saya mesti

menekankan sekali lagi peryataan itu pada titik yang esensial,


dengan mengacu kepada kandunagn aktual agama-agama dalam
sejarah. Pembahasan ini berhubungan dengan konsep Tuhan.
Perasaaan Religius-Kosmik.
Semua yang dilakukan dan dipikirkan manusia adalah
berhubungan

dengan pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan

yang

amat dirasakannyadan usaha menghindari perasaan tidak enak. Ini


harus tetap diingat jika kita akan memahami gerakan-gerakan
spritual dan perkembangannya.Perasaan dan keinginan adalah
kekuatan pendorong segala upaya dan kreasi manusia, betapapun
tersamarnya ia menampakkan diri kepadakita. Kini, perasaanperasaan dan kebutuhan-kebutuhan apakah yang telah membawa
manusia kepada pemikiran dan keyakinan religius dalam artinya
yang

paling

luas?

Pengamatan

sepintas

saja

sudah

cukup

menunjukkan kepada kita bahwa pemikiran dan pengalaman


religius dilahirkan oleh perasaan-perasaan yang amat beragam.
Bagi

orang

primitif,

rasa

takutlah,

diatas

segalanya,

yang

menimbulkan gagasan religius-takut lapar, binatang buas, sakit,


dan mati. Karena pada tingkat kemaujudan ini pemahaman akan
berhubungan sebab-akibat biasanya tak cukup berkembang, maka
akal manusia menciptakan wujud-wujud khayali yang sedikit
banyak berfungsi sebagai bagian bagian dari hubungan sebabakibat : peristiwa-peristiwa menakutkan terjadi sebagai akibat
kehendak dan perbuatan wujud-wujud khayali tersebut. Dengan
demikian, seseorang berusaha memenuhi keinginan wujud-wujud
itu

denagan

menyajikan

perbuatan-perbuatan

yang-

kuraban-kurban
menurut

tradisi

dan

mengerjakan

yang

diteruskan

secara turun temurun ke tiap generasi-bertujuan mendamaikan


wujud-wujud itu atau membuat mereka bersikap baik kepada
manusia. Di sini saya sedang berbicara tentang agama-takut.
Agama ini adalah suatu tahap penting yang, meskipun tak
diciptakan,

diteguhkan

oleh

pembentukan

suatu

kelompok

kependetaan istimewa yang meletakkan dirinya sebagai perantara


antara manusia denag wujud-wujud yang mereka takuti itu, dan
kasta ini membangun kekuasaan diatas dasar ini. Seringkali
seorang pemimpin, penguasa, atau suatu golongan privilese, yang
mendapatkan

posisisnya

karena

faktor-faktor

lain,

mengkombinasikannya dengan fungsi kependetaan agar otoritas


sekularnya itu dapat lebih aman terjamin. Atau, para penguasa
politik

dan

kelompok

kependetaan

bekerja

sama

demi

kepengtingan masing-masing.
Desakan-desakan
terbentuknya

suatu

sosial

agama.

adalah

Bapak,

ibu,

sumber
danpara

lain

dari

pemimpin

masyarakat makhluk-makhluk yang fana dan dapat berbuat salah.


Kebutuhan mereka akan perlindungan, kasih sayang dan dukungan
mendorong manusia untuk membuat konsepsi sosial, atau moral
tentang Tuhan. Inilah Tuhan sang Pemelihara yang melindungi,
memberi kepastian, memberi ganjaran, dan menghukum ; Tuhan
yang- sesuai denag batas pandangan orang yang percayamencintai dan memuliakan kehidupan suatu suku atau kehidupan
umat manusia, atau bahkan kehidupan itu sendiri ; Tuhan yang
menjadi penghibur dalam penderitaan dan dalam keinginan yang
tak terpuasi ; dialah yang memelihara jiwa-jiwa orang yang telah
mati. Inilah konsepsi sosial atau moral tentang Tuhan. Kitab suci
agama Yahudi dengan menarik meggambarkan perkembangan dari
agama-takut ke agama-moral ini sebuah perkembangan yang
berlanjut dalam Perjanjian Baru. Agama bangsa-bangsa beradab,
khususnya bangsa-bangsa Timur, pada pokoknya adalah agama
moral. Perkembangan dari agama-takut ke agama-moral adalah
satu langkah besar dalam kehidupan umat manusia. Namun, kita
tetap

harus

mewaspadai

prasangka

bahwa

agama

primitif

didasarkan sepenuhnya pada rasa takut, dan agama bangsa


beradab sepenuhnya pada moralitas. Yang benar adalah bahwa
semua agama merupakan campuran yang beragam dari kedua

tipe tersebut, dengan satu perbedaan: pada tingkat kehidupan


sosial yang lebih tinggi, agama moralitas lebih menonjol.
Satu hal yang ada pada semua tipe ini adalah watak antropomorfis
dalam konsepsi tentang Tuhan. Pada umumnya, hanyalah orangorang yang mempunyai bakat istimewa dan yang cerdas, yang
merupakan perkecualian, yang dapat naik sampai ke suatu tingkat
jauh di atas tingkat ini. Tetapi, ada tingkat ketiga dari pengalaman
religius yang ada pada semua tipe tersebut, meskipun jarang
ditemukan dalam bentuknya yang murni: saya menyebutnya
dengan "perasaan religius-kosmik". Sangatlah sulit menjelaskan
perasaan ini kepada orang yang sama sekali tak memilikinya,
khususnya karena tidak ada konsepsi antropomorfis tentang Tuhan
yang berhubungan dengan perasaan itu.
Orang itu merasakan betapa sia-sianya keinginan dan tujuan
manusia,

dan

merasakan

kelembutan

dan

ketertiban

yang

menakjubkan yang mengungkapkan dirinya dalam alam dan dunia


pemikiran.

Kemaujudan

Individual

hanya

terkesan

sebagai

semacam penjara dan ia mengalami alam semesta sebagai suatu


keseluruhan tunggal yang bermakna. Awal perasaan religiuskosmik sudah muncul pada tingkat awal perkembangan, sebagai
contoh, dalam banyak Kitab Zabur Nabi Dawud dan pada beberapa
Nabi. Agama Budha seperti yang kita pelajari, terutama dari
tulisan-tulisan Schopenhauer, berisi unsur yang lebih kuat dari
perasaan tersebut.
Para jenius religius dari segala zaman dibedakan oleh perasaan
religius semacam ini, yang tidak mengenal dogma dan konsepsi
Tuhan dalam bentukan citra manusia; maka tak akan ada gereja
yang ajaran-ajaran utamanya didasarkan pada hal tersebut.
Karenanya, kita menemukan orang-orang yang penuh dengan
perasaan religius tertinggi ini hanya diantara para heretik (yang
dianggap melakukan bidah-bidah) di setiap zaman; dan dalam
banyak hal mereka dipandang oleh orang-orang sezamannya

sebagai orang ateis, kadang-kadang juga sebagai santo (wali). Dari


sudut pandang ini, orang-orang seperti Demokritos, Francis Assisi,
dan Spinoza, sangat mirip satu dengan lainnya.
Bagaimana
dikomunikasikan

mungkin
kepada

orang

perasaan

religius-kosmik

lain,

perasaan

kalau

itu

memunculkan tak satupun gagasan yang mutlak tentang Tuhan,


dan memunculkan tak satu pun teologi? Dalam pandangan saya,
inilah fungsi terpenting seni dan ilmu, yaitu, untuk membangkitkan
perasaan ini dan memeliharanya agar tetap hidup pada orangorang yang dapat menerimanya.
Dengan demikian, kini kita sampai kepada suatu konsepsi yang
sangat berbeda dari biasanya tentang hubungan antara ilmu dan
agama. Jika seseorang melihat masalah ini secara historis, ia akan
cenderung untuk melihat ilmu dan agama sebagai dua hal yang
saling berlawanan yang tak dapat didamaikan dan ada alasan
yang jelas untuk ini.
Manusia Religius
Selama periode

awal

evolusi

spritual

umat

manusia,

khayalan manusia telah menciptakan Tuhan-Tuhan dalam citra


manusia sendiri, yang dengan berlangsungnya kehendak mereka
ingin menentukan, atau paling tidak mempengaruhi sampai
tingkat tertentu, dunia fenomenal. Manusia berusaha mengubah
ketentuan Tuhan-Tuhan ini untuk kebaikan mereka sendiri dengan
cara magis dan penyembahan. Gagasan Tuhan pada saat ini
adalah penghalusan dari konsep lama tentang Tuhan-Tuhan. Sifat
antropomorfisnya
manusia

tampak,

memuja

misalnya,

Wujud

Ilahiah

pada

kenyataan

dalam

bahwa

sembahyang-

sembahyangnya, dan memohon dipenuhinya keinginan-keinginan


mereka.
Sudah pasti, tak seorang pun akan menolak gagasan adanya suatu
Tuhan personal yang mahakuasa, adil, dan maha pemurah dapat
menjadi pelipur lara, pemberi bantuan dan pembimbing manusia;

juga, disebabkan sederhananya gagasan itu, ia dapat dipahami


oleh orang yang pikirannya paling lemah sekalipun. Tapi, di pihak
lain,

ada

kelemahan

yang

amat

penting

dalam

gagasan

antropomorfis ini sendiri, yang terasa amat menyakitkan sejak


permulaan sejarah. Yaitu bahwa jika Wujud ini mahakuasa, maka
setiap peristiwa, termasuk setiap perbuatan manusia, setiap
pikiran manusia, dan setiap perasaan dan aspirasi manusia adalah
juga karya-Nya; bagaimana mungkin kita berpendapat bahwa
manusia bertanggung jawab atas semua perbuatannya dan
pemikirannya di depan Wujud mahakuasa seperti itu? Dalam
memberikan hukuman dan ganjaran, Ia akan melewati penilaian
terhadap Diri-Nya sendiri. Bagamana ini dapat dikombinasikan
dengan kebaikan dan kemurahan yang menjadi sifat-Nya? Sumber
utama dari pertentangan masa ini antara ilmu dan agama terletak
pada konsep Tuhan yang personal ini.
Orang yang yakin sepenuhnya pada berlakunya hukum
sebab akibat secara unuversal, tak akan bisa menganut suatu
gagasan tentang satu wujud yang ikut campur dalam terjadinya
peristiwa-peristiwa tentunya, dengan syarat ia memperlakukan
hipotesis sebab-akibat itu secara serius. Ia tidak butuh lagi agamatakut, begitu juga agama-moral. Suatu Tuhan yang memberi
ganjaran dan menghukum, tidak dapat lagi dipahaminya, karena
alasan

sederhana

bahwa

segala

perbuatan

manusia

sudah

ditentukan harus dilakukan, sehingga di mata Tuhan ia tak dapat


bertanggung jawab persis sama sebagaimana halnya suatu
benda mati tak bertanggung jawab atas gerakan-gerakan yang
dijalaninya. Demikianlah, maka ilmu telah dituduh menghancurkan
moralitas, tapi tuduhan itu tidaklah adil. Perilaku etis manusia
harus

didasarkan

secara

efektif

pada

simpati,

pendidikan,

hubungan sosial, dan kebutuhan-kebutuhan; tak diperlukan dasar


agama. Manusia pasti akan menjadi miskin kalau ia harus dikekang

oleh perasaan takut akan hukuman dan harapan akan ganjaran


setelah mati.
Maka, mudah Kita pahami mengapa gereja selalu memerangi ilmu
dan mendukung para pendukungnya, di pihak lain perasaan
religius kosmik merupakan motif paling kuat dan mulia bagi
penelitian keilmuan. Hanya mereka yang mengerti usaha yang luar
biasa dan pengabdian yang telah mewujudkan semua karya pionir
dalam ilmu teoritis, yang dapat menangkap kekuatan emosi yang
karenanya karya-karya tersebut - yang begitu jauh dari kenyataan
hidup sehari-hari dapat tercipta. Betapa dalamnya keyakinan
tentang rasionalitas alam semesta, dan betapa kuatnya dorongan
untuk memahami yang pasti dimiliki Kopler dan Newton sehingga
mereka dapat bertahan dalam kerja sunyinya yan bertahun tahun
untuk menguraukan prinsip-prinsip mekanik alam semesta. Mereka
yang pengalamannya dalam penelitian keilmuan didapat dari
terutama hasil-hasil praktisnya dengan mudah mengembangkan
gagasan yang sama sekali salah tentang mentalitas manusia yang
dalam lingkungan alam skeptis telah menunjukkan dalam
sesamanya suatu semangat yang terserak keseluruh dunia dan
sepanjang masa. Hanya sesoran yang mengabdikan hidupnya
yang gambkang dengan apa yang telah mengilhami orang-orang
itu dan yang memberi mereka kekuatan untuk tetap setia kepada
tujuan-tujuan mereka, meski mengalami kegagalan-kagagalan
yang tak terhitung adalah perasaan religius-kosmik yang memberi
seseorang kekuatan semacam itu. Seorang dari zaman kita telah
mengatakan bahwa yang materialistik ini hanyalah pekerja ilmu
yang serius yang benar behnar merupakan orang religius.

Vous aimerez peut-être aussi