Vous êtes sur la page 1sur 23

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN FRAKTUR SERVIKAL

OLEH :
HENY MISSA

01.09.00123

VERA MAGDALENA

01.09.00153

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1.

DEFINISI
Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas
tulang, sedangkan menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC
(2000) fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Mansjoer
A. Dkk, 2000).
Ada tujuh tulang servikal vertebra atau tulang belakang yang mendukung
kepala dan menghubungkannya ke bahu dan tubuh. Sebuah fraktur (patah atau
retak) di salah satu tulang leher disebut fraktur servikal atau kadang-kadang
disebut patah tulang leher.
Fraktur tulang leher merupakan suatu keadaan darurat medis yang
membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf
tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat
penting untuk menjaga leher. Fraktur ini sering terjadi pada anak karena
kondisi tulang masih sangat rawan untuk tumbuh dan berkembang. Fraktur
tulang leher sangat berbahaya karena bisa mengganggu sistem saraf yang
terdapat pada vertebra. Hal ini bisa mengakibatkan gangguan-gangguan
neurologis. Bahkan fraktur pada tulang leher bisa menyebabkan seorang anak
mengalami lumpuh.

2.

EPIDEMIOLOGI
Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit
jantung, kanker dan stroke, tercatat 50% meningkat per 100.000 populasi tiap
tahun, 3 % penyebab kematian ini karena trauma langsung medula spinalis, 2%

karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki-laki 5 kali lebih besar dari
perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury disebabkan
kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport, kecelakaan kerja.
Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti
dengan C5 dan C6 terutama pada usia dekade 3.
3.

ETIOLOGI
Fraktur servikal paling sering disebabkan oleh benturan kuat atau trauma
pukulan di kepala. Atlet yang terlibat dalam olahraga impact, atau
berpartisipasi dalam olahraga memiliki risiko jatuh akibat benturan di leher
(ski, menyelam, sepak bola, bersepeda) ini terkait dengan fraktur servikal.
Fraktur servikal dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan
yang dapat berupa pemukulan, pemuntiran.
b. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut
lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.

4.

PATOFISIOLOGI
Terjadinya trauma pada daerah tulang leher mengakibatkan fraktur. Akibat
kondisi seperti ini, pusat-pusat persarapan akan terjadi gangguan. Gangguan ini
diakibatkan karena terjepitnya saraf-saraf yang melalui daerah vertebra.
Karena vertebra merupakan pusat persarapan bagi berbagai organ, maka
kerja organ-organ tersebut akan terganggu atau bahkan mangalami
kelumpuhan, akibat fraktur ini pula, akan mengakibatkan blok saraf
parasimpasi dan pasien akan mengalami iskemia dan hipoksemia. Dan akhirnya
akan mengalami gangguan kebutuhan oksigen. Cedera yang terjadi juga akan
mengakibatkan pelepasan mediator-mediator kima yang akan menimbulkan
nyeri hebat dan akut selanjutnya terjadi syok spinal dan pasien akan merasa
tidak nyaman.

Gangguan sistem saraf spinal akan mengakibatkan kelumpuhan pada organorgan pencernahan dan sistem perkemihan. Dan masalh yang akan terjadi
adalah gangguan eliminasi.
WOC

5.

KOMPLIKASI
a.

Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan
tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung
sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta
ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya
terjadi hipotensi.

b.

Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.

c.

Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil
dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal
bawah atau torakal atas.

d.

Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti
nasal, bradikardi dan hipertensi.

6.

MANIFESTASI KLINIK
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik adalah sebagai berikut:
a.

Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan
adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan
jaringan sekitarnya.

b.

Bengkak/edema
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir
pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.

c.

Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah
di jaringan sekitarnya.

d.

Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.

e.

Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.

f.

Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme
otot. paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.

g.

Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang
panjang.

h.

Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan.

i.

Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau
trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi
abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.

j.

Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

7.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.

CT SCAN : Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik


komponen tulang servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut.

b.

MRI : Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk daerah
servikal . MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh
daerah medula spinalis , radiks saraf dan tulang vertebra dapat
divisualisasikan.

c.

Elektromiografi ( EMG) : Pemeriksaan EMG membantu mengetahui apakah


suatu gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan
spasme otot, artritis juga mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga
untuk menentukan level dari iritasi/kompresi radiks , membedakan lesi
radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau kompresi.

8.

PENATALAKSANAAN
Penanganan fraktur servikal tergantung vertebra servikalis apa yang rusak
dan luasnya fraktur.
Fraktur minor: sering diperlakukan menggunakan cervical collar atau neck
brace yang dipakai selama enam sampai delapan minggu sampai tulang
sembuh dengan sendirinya.
Hormon Progesteron : untuk Trauma Capitis Berat
Suatu fraktur yang lebih berat atau kompleks mungkin memerlukan traksi,
atau perbaikan bedah atau fusi tulang belakang.
Bedah perbaikan patah tulang servikalis : dapat mengakibatkan waktu
pemulihan yang lama diikuti dengan terapi fisik.

B.

PROSES KEPERAWATAN
1.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1) Data Demografi
Usia

: paling sering terjadi pada usia 30-an

Pekerjaan

: atlet, pekerja bangunan, perenang, pengendara

Jenis kelamin : lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan pada


perempuan
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya riwayat trauma servikal harus dikaji sepenuhya untuk mencari ada
tidaknya cedera spinal. Adanya keluhan nyeri atau kekakuan pada leher
atau punggung harus ditanggapi secara serius, sekalipun klien dapat
berjalan atau bergerak tanpa mengalami gangguan. Tanyakan mengenai
rasa baal, paraestesia, atau kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah.
Tanyakan apakah klien yang mengalami cedera sebelumnya menggunakan
obat-obatan, atau jatuh setelah menggunakan alkohol.
3) ADL
a) Nutrisi
Mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
b) Eliminasi

Inkontinensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,


peristaltik usus hilang
c) Personal Hygene
Sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
d) Aktivitas
Adanya

penurunan

toleransi

terhadap

aktivitas,

keletihan

dan

kelemahan
4) Pemeriksaan Fisik
a) Tanda tanda Vital
-

Tekanan darah dalam batas normal : sistole = 110-120 mmHg ;


diastole = 70-80 mmHg

Pernapasan : 12 20 kali per menit

Suhu : 36 37,5C

Nadi : 55 90 kali per menit

b) B1 B6
a) Breathing

: pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan, bunyi


napas,

penggunaan

otot

asesoris,

kesimetrisan

ekspansi dada, adanya fremitus pada palpasi, perkusi


lapang paru, diameter dada anteroposterior
b) Blood

: riwayat aritmia dan sinkop, distensi vena jugularis,


denyut dan irama jantung, bunyi jantung, tekanan
darah, nadi perifer, warna, temperatur serta turgor
kulit

c) Brain

tingkat

kesadaran,

status

mental,

orientasi,

kemampuan sensori, kemampuan motorik


d) Bladder

: asupan dan haluaran, warna urine, palpasi kandung


kemih, pola berkemih dan penggunaan alat bantu
perkemihan, kemampuan untuk merasaka kanduing
kemin yang penuh

e) Bowel

: berat badan saat ini, perubahan dari berat badan


normal, perubahna diet dari diet normal, distensi
abdomen, mual dan muntah, kebiasaan defekasi,

karakteristik feses (warna dan konsistensi), palpasi


adanya nyeri tekan,auskultasi bising usus, lingkar
abdomen
f)

Bone

: gaya berjalan, ukuran dan kekuatan otot, tonus otot,


ROM, mobilitas fungsional sbb:
0= mandiri penuh
1= memerlukan penggunaan peralatan atau alat bantu
2=memerlukan bantuan, pengawasan, atau pengajaran
dari orang lain
3= memerlukan bantuan dari orang lain
4= ketergantungan; tidak dapat berpartisipasi dalam
aktivitas

2.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Penurunan curah jantung b.d gangguan pompa ventrikel
DS : klien mengeluh pusing, letih, dan sulit bernapas
DO : kulit dingin, lembap, sianosis, penurunan denyut nadi perifer, kulit
dan membran mukosa pucat
2) Ketidakefektifan

perfusi

jaringan:

kardiopulmonal

b.d

penurunan

pertukaran sel
DS : klien mengeluh nyeri di dada dengan atau tanpa aktivitas, letih, sesak
napas
DO : kulit dingin, lembap, hipotensi, perubahan status mental, artimia,
kadar gas darah arteri abnormal, penurunan denyut nadi perifer, kulit dan
membran mukosa pucat, palpitasi, ronki, takikardia, edema
3) Ketidakefektifan pola napas b.d kelumpuhan otot pernapasan sekunder
akibat fraktur servikal
DS : klien mengeluh sesak napas
DO : pernapasan cuping hidung, ortopnea, penurunan tekanan inspirasiekspirasi, penurunan kapasitas vital, fase ekspirasi memanjang, pernapasan
pursed lip, napas pendek, penggunaan otot asesoris untuk benapas
4) Gangguan eliminasi urine b.d cedera medula spinalis

DS : klien mengatakan sulit untuk berkemih, atau sering berkemih namun


jumlah urin yang dikeluarkan sedikit
DO : distensi vesika urinaria, ketidakseimbangan antara jumlah urine yang
dikeluarkan dengan asupannya.
5) Ketidakefektifan perfusi jaringan: renal b.d perdarahan
DS : klien mengeluh lemah, sulit untuk berkemih dan saat berkemih urine
yang keluar berwarna lebih gelap dan pekat
DO : adanya penurunan kadar hemoglobin, penurunan osmolalitas urine,
penurunan haluaran urine, peningkatan kadar BUN, kreatinin klirens dan
kreatinin, peningkatan tekanan darah
6) Konstipasi b.d obstruksi intestium
DS : klien mengeluh mual dan muntah, sulit BAB, nyeri abdomen, nyeri
pada saat defekasi, merasakan penuh atau tekanan di rektum, konsistensi
feses kering, keras dan berbentuk, dan warna feses seperti kulit kayu atau
hitam seperti ter
DO : nyeri tekan abdomen dengan atau tanpa resistensi otot yang dapat
dipalpasi, distensi abdomen, bising usus hiperaktif, massa abdomen teraba,
massa rektal teraba, perkusi abdomen pekak
7) Nyeri akut b.d fraktur servikal
DS : klien mengeluh nyeri, merintih dan menangis
DO : topeng wajah nyeri, perilaku berhati-hati atau melindungi bagian
tubuh yang sakit, berfokus pada diri sendiri
8) Hambatan mobilitas fisik b.d cedera medula spinalis
DS : klien mengeluh sulit atau tidak kuat untuk bergerak atau berpindah
DO : penurunan kekuatan, pengendalian, massa, ketahanan otot, tidak
mampu berpindah, keterbatasan ROM, enggan untuk mencoba bergerak

3.

RENCANA TINDAKAN
Diagnosa 1 : Penurunan curah jantung b.d gangguan pompa ventrikel
Goal

: klien akan meningkatkan curah jantung dalam batas normal

Objektif

: klien tidak akan mengalami gangguan pompa ventrikel

Outcomes

: dalam waktu 1 x 12 jam perawatan klien :


- Curah jantung tetap adekuat
- Kulit tetap hangat dan kering
- Tidak ada tanda-tanda pusing atau sinkop
- Tidak ada keluhan nyeri dada
- Tidak ada periode dispnea

Intervensi dan rasional


1) Ajarkan kepada pasien tentang gejala yang dapat dilaporkan (seperti nyeri
dada, palpitasi, kelemahan, pusing, sinkop), diet yang diprogramkan, obatobatan (nama, dosis, frekuensi, efek terapeutik dan yang tidak diharapkan,
dan tingkat aktivitas. Tindakan tersebut memungkinkan pasien dan pemberi
asuhan berpartisipasi dalam perawatan pasien dan membantu pasien
membuat keputusan tentang status kesehatan sesuai dengan yang
diinformasikan.
2) Ajarkan kepada pasien tentang bagaimana melakukan teknik pengurangan
stres untuk menurunkan ansietas dan menghindari komplikasi kardiak.
3) Anjurkan pada pasien untuk melaporkan nyeri dada segera; tanda tersebut
dapat mengindikasikan hipoksia atau cedera miokardial
4) Instruksikan klien untuk menghindari training selama defekasi, yang dapat
mengakibatkan bradikardi dan menurunkan curah jantung.
5) Laporkan

keluhan

pusing

atau

sinkop;

tanda

tersebut

dapat

mengindikasikan hipoksia atau cedera miokardial


6) Berikan oksigen sesuai instruksi, untuk meningkatkan suplai oksigen ke
miokardium.
7) Bantu klien untuk menghindari aktivitas yang terlalu banyak, yang dapat
meningkatkan kebutuhan oksigen miokardial.
8) Ubah posisi klien secara sering, untuk meningkatkan kenyamanan dan
menghindari takikardi serta respon simpatis lainnya.

9) Berikan obat antiaritmia, bila diprogramkan, untuk mengurangi atau


menghentikan aritmia. Pantau efek yang tidak diinginkan.
10) Berikan pelunak feses, bila diinstruksikan, untuk menurunkan straining
ketiak melakukan defekasi.
11) Lakukan perencanaan perawatan medis, bila diinsturksikan. Praktik
kolaboratif dapat meningkatkan perawatan.
12) Pantau nadi apikal dan radial sekurang-kurangnya setiap 4 jam untuk
mendeteksi aritmia secara lebih baik. Segera laporkan frekuensi nadi yang
tidak normal.
13) Catat irama nadi minimal setiap 4 jam dan laporkan ketidakaturannya.
Aritmia dapat mengindikasikan komplikasi yang menuntut intervensi yang
cepat.
14) Pantau temperatur kulit setiap 4 jam. Laporkan adanya dispnea atau
kegelisahan. Suara napas tambahan atau dispnea dapat mengindikasikan
terbentuknya cairan di paru dan di dasar kapiler paru (seperti pada gagal
jantung).
15) Pantau status pernapasan minimal setiap 4 jam. Laporkan adanya dispnea
atau

kegelisahan.

Suara

napas

tambahan

atau

dispnea

dapat

mengindikasikan terbentuknya cairan di paru dan dasar kapiler paru


(seperti pada gagal jantung).
Diagnosa 2

:Ketidakefektifan

perfusi

jaringan:

kardiopulmonal

b.d

penurunan pertukaran sel


Goal

: klien akan meningkatkan keefektifan perfusi jaringan


kardiopulmonal

Objektif

: klien tidak akan mengalami penurunan pertukaran sel selama


perawatan

Outcomes

: dalam waktu 1 x 12 jam perawatan klien:


- Klien mencapai stabilitas hemodinamik. Frekuensi nadi
tidak kurang dari 55 kali/menit dan tidak lebih dari 90
kali/menit. Tekanan darah tidak kurang dari
- Tidak menunjukkan aritmia
- Kulit tetap hangat dan kering

- Frekuensi jantung tetap dalam batas yang ditentukan pada


saat klien melakukan ADL
- Klien mempertahankan curah jantung tetap adekuat
- Klien memodifikasikan gaya hidup untuk meminimalkan
risiko penurunan perfusi jaringan
Intervensi dan rasional
1) Beri tahu pasien tentang:
a. Faktor risiko penyakit jantung dan paru
b. Penggunaan obat yang benar dan kemungkinan reaksi yang merugikan
c. Manfaat diet rendah lemak dan rendah kolesterol
d. Perlunya menghidari mengejan saat defekasi
e. Manfaat berhenti merokok
Pendidikan kesehatan yang efektif mendorong pasien untuk berperan aktif
dalam pemeliharaan kesehatan.
2) Pertahankan terapi oksigen untuk pasien, sesuai program, untuk
memaksimalkan pertukaran oksigen dalam alveoli dan pada tingkat sel.
3) Motivasi pasien untuk merubah posisi dan berpartisipasi dalam aktivitas,
sesuai kondisi, untuk meningkatkan kapasitas vital dan menghindari
kongesti paru serta awitan kerusakan kulit.
4) Motivasi pasien untuk sering beristirahat, untuk menghemat energi dan
memaksimalkan perfusi jaringan.
5) Pantau dan dokumentasikan tanda-tanda vital pasien, (frekuensi jantung
dan tekanan vena sentral/CVP) setiap hingga stabil, jam kemudian setiap 2
jam. Laporkan setiap temuan di luar batas yang ditentukan. Penurunan
frekuensi jantung, CVP, dan tekanan darah dapat mengindikasikan
perubahan arteriovenosa yang mengarah kepada penurunan perfusi
jaringan.
6) Pantau warna, dan suhu kulit pasien setiap 2 jam dan kaji tanda-tanda
kerusakan kulit. Kulit yang dingin, pucat, berbercak dan sianosis dapat
mengindikasikan penurunan perfusi jaringan.
7) Pantau laju pernapasan dan suara napas pasien. Dokumentasikan setiap
temuan. Peningkatan laju pernapasan dapat mengindikasikan bahwa pasien
sedang berkompensasi terhadap hipoksia jaringan.

8) Pantau perubahan frekuensi dan irama jantung pada EKG, untuk


mengetahui perubahan perfusi jaringan yang mungkin mengancam jiwa.
9) Pantau kadar kreatinin kinase, laktat dehidrogenase, dan kadar gas darah
arteri. Temuan abnormal mungkin mengindikasikan kerusakan jaringan
atau penurunan pertukaran oksigen dalam paru pasien.
Diagnosa 3

: Ketidakefektifan pola napas b.d kelumpuhan otot pernapasan


sekunder akibat fraktur servikal

Goal

: klien akan meningkatkan keefektifan pola napas

Objektif

: klien tidak akan mengalami kelumpuhan otot pernapasan


sekunder akibat fraktur servikal

Outcomes

: dalam 1 x 12 jam perawatan klien:


- Kadar GDA tetap normal (pH= 7,35-7,45; pO2= 90-110
mmHg; pCO2= 35-46 mmHg; HCO3= 22=26 mEq/l; saturasi
O2= 90-100%)
- Pasien merasa nyaman tanpa adanya depresi pernapasan
- Hasil auskultasi menunjukkan tidak ada suara napas
tambahan
- Pasien memahami tentang pentingnya menarik napas dalam
secara periodik
- Pasien melaporkan kemampuannya untuk bernapas secara
nyaman
- Pasien menyatakan memahami tentang tindakan-tindakan
yang dapat dilakukan di rumah untuk mencegah atau
mengurangi kesulitan bernapas

Intervensi dan rasional


1) Ajarkan

teknik relaksasi

untuk membantu menurunkan

ansietas.

Pengajaran tersebut meliputi pemberian informasi tentang imajinasi


terbimbing, relaksasi otot progresif, latihan bernapas dan meditasi, untuk
menurunkan nyeri dan ansietas dan meningkatkan rasa kontrol diri pasien.
2) Bantu pasien berada pada posisi yang nyaman yang memungkinkan
ekspansi dada maksimal, untuk memudahkan bernapas. Contohnya, bantu
pasien untuk beralih ke posisi Fowler dengan menggunakan bantal

3) Bantu pasien dalam menggunakan spirometer intensif atau alat lainnya,


sesuai instruksi, untuk meyakinkan penggunaan alat yang tepat dan
membantu mencegah atelektasis.
4) Beri

pasien

kesempatan

beristirahat

di

antara

tindakan

untuk

memperlancar pernapasan, untuk menghindari keletihan.


5) Beri oksigen, sesuai program, untuk membantu menurunkan distres
pernapasan yang disebabkan oleh hipoksemia.
6) Ubah posisi secara sering, untuk memaksimalkan kenyamanan.
7) Motivasi pasien untuk mendiskusikan ketakutannya, untuk membantu
menurunkan ansietas.
8) Motivasi pasien untuk menggunakan spirometer intensif secara mandiri.
Hargai usaha pasien untuk mendukung kepatuhan.
9) Pantau kembali aktivitas yang diperlukan pasien untuk melanjutkan
pelaksanaan tindakan berikut di rumah:
a.

Teknik relaksasi

b.

Fisioterapi dada, bila diperlukan

c.

Istirahat yang sering

d.

Perubahan posisi

Tindakan-tindakan tersebut dapat membantu meredakan nyeri dan


meyakinkan keadekuatan bernapas.
10) Pantau dan catat status pernapasan setidaknya setiap 4 jam untuk
mendeteksi tanda-tanda awal gangguan. Auskultasi suara napas untuk
mendeteksi suara napas tambahan.
11) Observasi nyeri setiap 3 jam. Nyeri dapat menurunkan usaha bernapas dan
ventilasi.
Diagnosa 4 : Gangguan eliminasi urine b.d cedera medula spinalis
Goal
Objektif

: gangguan eliminasi urine klien akan teratasi


:klien tidak akan mengalami cedera medula spinalis selama
perawatan

Outcomes

: dalam 1 x 12 jam perawatan kien:


- Klien

mempertahankan

sebanding dengan haluaran

keseimbangan

cairan;

asupan

- Klien mengungkapkan peningkatan kenyamanan


- Klien berkemih dalam keadaan rileks
Intervensi dan rasional
1) Ajarkan pada pasien dan anggota keluarga atau pasangan akan tanda dan
gejala penuhnya kandung kemih: gelisah, ketidaknyamanan pada abdomen,
berkeringat,

menggigil.

meningkatkan

Pendidikan

kemampuan

pasien

kesehatan
dan

yang

anggota

adekuat
keluarga

akan
untuk

mempertahankan tingkat kesehatan dan mencegah pasien dari tindakan


membahayakan diri sendiri.
2) Ajarkan pada pasien dan anggota keluarga atau pasangan tentang tanda
dan gejala disrefleksia otonomik (sakit kepala, keringat dingin, mual,
tekanan darah meningkat) dan penatalaksanaan disrefleksia otonomik
(mengecek

tertekuknya

kateter

urine

menetap,

kateterisasi,

dan

peningkatan bagian kepala tempat tidur). Minta pasien atau anggota


keluarga atau pasangan untuk segera menghubungi dokter atau rumah
sakit jika gejala tidak diatasi dengan penanganan awal. Disrefleksia
otonomik adalah refleks patologis yang ditandai dengan memburuknya
respons autonomik terhadap stimulus. Keadaan ini merupakan kegawatan
medis.
3) Beri perawatan untuk kondisi perkemihan pasien dengan tepat dan sesuai
program; pantau kemajuannya. Laporkan respons terhadap penanganan.
Bantu pasien untuk memahami penyakit dan juga penanganannya untuk
memanfaatkan semua tindakan yang mendukung pemulihan.
4) Bantu dalam melakukan prosedur eliminasi kandung kemih yang
diprogramkan, yaitu sebagai berikut:
a) Pelatihan berkemih/bladder training. Tempatkan pasien di atas pispot
atau di toilet setiap 2 jam saat terjaga dan sekali pada malam hari.
Pertahankan asupan cairan yang teratur selama pasien terjaga. Berikan
privasi. Ajarkan pasien tentang cara melakukan latihan Kegel untuk
menguatkan kontrol sfingter. Tindakan ini membantu adaptasi pasien
terhadap fungsi fisiologis. Wanita dengan tonus otot yang baik dapat
meningkatkan kerja muskulus levator secara signifikan apabila latihan
Kegel dilakukan secara rutin.

b) Kateterisasi intermiten. Lakukan kateterisasi menggunakan teknik


bersih atau steril. Catat jumlah urine yang keluar secara spontan dan
yang didapat dari kateterisasi (misalnya: pada jam 07.00, berkemih
spontan 200ml; berkemih lewat kateter 150ml). Catat keseimbangan
kandung kemih setipa hari atau setiap minggu. (keseimbangan
kandung kemih adalah jumlah urine yang didapat dari kateterisasi dan
dibagi jumlah urine yang didapat dari berkemih secara spontan).
Pengukuran tersebut meningkatkan berkemih normal, mencegah infeksi,
dan membantu mempertahankan integritas fungsi ureterovesikal pasien.
c) Kateter eksternal (pasien laki-laki). Pantau kepatenannya. Pasang
kateter kondom sesuai kebijakan yang ditetapkan. Penggunaan strip
busa dengan cara spiral memperluas area perlekatan dan menurunkan
risiko gangguan sirkulasi. Hindari konstriksi. Observasi kondisi kulit
penis, dan bersihkan dengan sabun dan air minimal dua kali sehari.
Tindakan ini mencegah infeksi dan menjamin keefektifan terapi.
d) Kateter urine menetap. Pantau kepatenannya. Jaga agar slang tidak
tertekuk; pertahankan kantong drainase berada lebih rendah dari
kandung kemih untuk mencegah refluks urine. Bersihkan meatus
urinaria sesuai kebijakan yang ditetapkan, dan pertahankan sistem
drainase tertutup, sesuai yang diprogramkan untuk mencegah iritasi
kulit dan bakteriuria. Fiksasi kateter pada tungkai (perempuan) atau
pada abdomen (laki-laki); hindari ketegangan pada sfingter. Fiksasi
kateter menghindari ketegangan muskulus trigonum vesika urinaria dan
mencegha gesekan yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi.
e) Kateter suprapubik. Pantau kepatenannya. Ganti balutan dan bersihkan
daerah pemasangan kateter sesuai kebijakan. Jaga slang tidak tertekuk;
pertahankan kantong drainase lebih rendah dari kandung kemih.
Pertahankan sistem drainase tertutup. Drainase suprapubik, sesuai
ketentuan,

memungkinkan

peningkatan

mobilitas

pasien

dalam

menurunkan risiko infeksi kandung kemih.


5) Berikan tindakan pendukung:
a.

Berikan obat nyeri sesuai program dan pantau keefektifannya untuk


meredakan nyeri dan menurunkan ketegangan akibat ansietas.

b.

Motivasi agar asupan cairan sebanyak 3000 ml/24 jam (bila tidak
dikontraindikasikan) untuk melembapkan membran mukosa dan
melarutkan zat kimia dalam tubuh.

c.

Berikan privasi kepada pasien selama prosedur eliminasi. Tindakan ini


mencegah terhambatnya eliminasi.

d.

Segera berespons terhadap panggilan pasien, tempatkan pasien di


tempat tidur di samping kamar mandi, dan pakaikan pakian yang
mudah dilepas-misalnya gaun dari piyama. Tindakan ini mengurangi
keterlambatan dan kesukarannya dalam berkemih.

6) Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaan dan keluhannya tentang


masalah perkemihan. Mendengar aktif menunjukkan respek kepada pasien;
pengungkapan secara bebas dapat membantu mengatahui ketakutan pasien.
7) Pantau status neuromuskular dan pola berkemih pasien; dokumentasikan
dan lapor asupan dan haluaran. Pengukuran asupan dan haluaran yang
akurat akan sangat penting untuk pemberian terapi penggantian cairan
yang benar. Format data evaluasi yang lengkap bermanfaat untuk
mendiagnosis faktor kausatif.
Diagnosa 5 : Ketidakefektifan perfusi jaringan: renal b.d perdarahan
Goal

: klien akan meningkatkan keefektifan perfusi jaringan renal

Objektif

: klien tidak akan mengalami perdarahan selama perawatan

Outcomes

: dalam 1 x 12 jam perawatan klien:


- Mempertahankan keseimbangan cairan
- Mempertahankan berat jenis urine dalam batas normal (1,0051,030)
- Melaporkan peningkatan rasa nyaman
- Mengidentifikasi faktor risiko yang memperburuk penurunan
perfusi jaringan dan memodifikasi gaya hidup dengan benar

Intervensi dan rasional


1) Jelaskan pada pasien dan anggota keluarga atau pasangan tentang alasan
terapi dan efek yang diharapkan untuk mendorong pasien berperan aktif
dalam pemeliharaan kesehatan.

2) Instruksikan

pasien

untuk

berkonsultasi

dengan

dokter

sebelum

mengonsumsi obat yang dijual bebas. Obat yang dijual bebas mungkin
bersifat nefrotoksik.
3) Berikan kesempatan kepada pasien untuk sering beristirahat untuk
memungkinkan pasien menghemat energi.
4) Rujuk pasien kepada ahli gizi untuk membantu pasien menghindari
makanan yang memperberat kerja ginjal.
5) Berikan dopamin dosis rendah, sesuai program untuk mendilatasikan arteri
renal pasien dan meningkatkan perfusi jaringan.
6) Beri dukungan psikologis kepada pasien dan anggota keluarga atau
pasangan bila terjadi gagal ginjal akut atau kronis untuk mendukung
adaptasi yang sehat.
7) Pantau dan dokumentasikan asupan dan haluaran pasien setiap jam hingga
haluaran lebih dari 30ml/jam, kemudian setiap 2 hingga 4 jam. Bila pasien
tidak memiliki riwayat penyakit ginjal, haluaran urine merupakan indikator
yang baik untuk mengetahui perfusi jaringan. Penurunan atau tidak adanya
haluaran urine biasanya mengindikasikan perfusi renal yang buruk.
8) Dokumentasikan warna dan karakteristik urnie pasien. Laporkan semua
perubahan yang terjadi. Urine yang pekat dapat mengindikasikan fungsi
ginjal yang buruk atau dehidrasi.
9) Pantau dan dokumentasikan berat badan pasien (sebelum sarapan).
Peningkatan berat badan pasien akan membantu memprediksikan status
cairan secara keseluruhan. Peningkatan berat badan dapat mengindikasikan
kelebihan cairan. Menimbang berat badan secara teratur pada waktu yang
sama setiap hari akan memberikan petunjuk yang lebih baik tentang
perubahan berat badan.
10) Observasi pola berkemih pasien untuk mencatat penyimpangan dari
normal.
11) Pantau berat jenis urine, kadar elektrolit serum, BUN, dan kreatinin pasien.
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan penurunan fungsi ginjal.
12) Pantau status hemodinamik dan tanda-tanda vital pasien. Beri tahu dokter
tentang semua perubahannya. Peningkatan dari nilai dasar dapat
mengindikasikan kelebihan cairan akibat kurangnya fungsi ginjal.

Diagnosa 6 : Konstipasi b.d obstruksi intestium


Goal
Objektif

: konstipasi klien teratasi


:klien tidak akan mengalami obstruksi intestium selama
perawatan

Outcomes

: dalam 1 x 12 jam perawatan klien:


- Mempertahankan pola eliminasi dalam batas normal
- Melaporkan pengeluaran feses yang mudah dan tuntas
- Memahami tindakan yang dapat mengeliminasi konstipasi
- Tidak ada distensi abdomen, bising usus dalam batas normal
- Tidak mual dan muntah dan nyeri abdomen

Intervensi dan rasional


1) Ajarkan pada pasien untuk memijat abdomennya satu kali setiap hari.
Tunjukkan padanya tempat pemijatan dan cara melakukannya secara
perlahan sepanjang kolon transversa dan desenden. Pada pasien lansia,
pusat saraf yang ada di usus bagian bawah mungkin mengalami kerusakan,
sehingga menyebabkan tubuh sulit megeluarkan feses. Pemijatan dapat
menstimulasi peristaltik dan keinginan untuk defekasi.
2) Ajarkan pada pasien tentang penggunaan laksatif dan enema secara bijak
untuk mencegah ketergantungan laksatif dan enema yang berlebihan dapat
mengakibatkan kehilangna cairan dan elektrolit dan merusak mukosa
intestinal.
3) Beri privasi untuk eliminasi untuk meningkatkan fungsi fisiologis.
4) Susun rencana dan implementasi program defekasi individual bersama
pasien untuk mementukan jadwal eliminasi dengna teratur.
5) Tekankan pada pasien tentang pentingnya berespon terhadap keinginan
defekasi. Penting untuk berespons terhadap keinginan defekasi secara tepat
waktu untuk mempertahankan fungsi fisiologis yang normal dan untuk
menghindari tekanan dan ketidaknyamanan pada saluran pencernaan
bawah.
6) Bila tekanan abdomen tidak adekuat untuk menuntaskan defekasi, dorong
pasien untuk menggerakkan tubuh bagian atas untuk membantu eliminasi.

7) Rencana dan implementasikan latihan fisik yang rutin seperti berjalan,


meninggikan tungkai, mengencangkan otot abdomen, dan latihan Kegel.
Latihan fisik dapat mengikat tonus otot abdominal dan pelvis yang
diperlukan untuk eliminasi normal.
8) Motivasi pasien untuk mengonsumsi makanan tinggi serat. Makanan tinggi
serat menyuplai bulk untuk menciptakan eliminasi yang normal dan
meningkatkan tonus otot intestinal.
9) Bila tidak dikontraindikasikan, motivasi asupan cairan sebbanyak 1500
sampai 2000 ml setiap hari untuk mempertahankan proses metabolik yang
normal dan mencegah reabsorpsi cairan yang berlebihan dari isi saluran
pencernaan.
10) Pantau frekuensi dan karakteristik feses pasien sebagai acuan rencana
penanganan yang efektif.
11) Pantau dan catat asupan dan haluaran cairan pasien. Asupan cairan tidak
adekuat

menyebabkab

feses

keras

dan

konstipasi.

Pemantauan

keseimbangan cairan dapat menjamin asupan cairan yang adekuat dan


meningkatkan eliminasi.
Dianosa 7

: Nyeri akut b.d spasme otot sekunder akibat fraktur servikal

Goal

: klien akan menurunkan tingkat nyeri

Objektif

: klien tidak akan mengalami spasme otot sekunder akibat fraktur


servikal selama perawatan

Outcomes

: dalam 1 x 24 jam perawatan klien:


- Mampu menilai nyeri menggunakan skala 1 sampai 10
- Mengungkapkan perasaan nyaman dan nyeri berkurang
- Mencoba metode nonfarmakologis untuk mengurangu nyeri

Intervensi dan rasional


1) Anjurkan

pasien

rekreasional,

dan

untuk

menggunakan

tindakan

pengurang

aktivitas
nyeri

pengalihan
noninvasif,

atau
untuk

meningkatkan kualitas hidupnya.


2) Yakinkan bahwa komunikasi verbal dan nonverbal Anda dengan pasien
positif dan mendukung. Pasien yang mengalami nyeri sensitif untuk menjadi

terhakimi. Pesan negatif (baik verbal atau nonverbal) akan mengganggu


komunikasi terbuka.
3) Minta pasien untuk menggunakan sebuah skala 1 sampai 10 untuk
menjelaskan tingkat
4) Berikan obat yang dianjurkan pada nyerinya ( dengan nilai 10 menandakan
tingkat nyeri paling berat), untuk memfasilitasi pengkajian yang akurat
tentang tingkat nyeri pasien.
5) Atur periode istirahat tanpa terganggu. Tindakan ini meningkatkan
kesehatan, kesejahteraaan, dan peningkatan tingkat energi, yang penting
untuk pengurangan nyeri.
6) Bantu pasien untuk mendapatkan posisi yang nyaman, dan gunakan bantal
untuk membebat atau menyokong daerah yang sakit, bila diperlukan, untuk
menurunkan ketegangan atau spasme otot dan untuk mendistribusikan
kembali tekanan pada bagian tubuh.
7) Pada saat tingkat nyeri pasien tidak terlalu kentara, implementasikan
teknik

mengendalikan

nyeri

alternatif.

Teknik

nonfarmakologis

pengurangan nyeri akan efektif bila nyeri pasien berada pada tingkat yang
dapat ditoleransi.
a.

Gunakan teknik panas dan dingin sesuai anjuran, untuk meminimalkan


atau mengurangi nyeri.

b.

Lakukan tindakan kenyamanan untuk meningkatkan relaksasi, seperti


pemijatan, mandi, mengatur posisi, dan teknik relaksasi. Tindakan
tersebut mengurangi ketegangan atau spasme otot, mendistribusikan
kembali tekanan pada bagian bagian tubuh, dan membantu pasien
memfokuskan pada subjek pengurang nyeri.

c.

Berikan informasi kepada pasien, untuk membantu meningkatkan


toleransi terhadap nyeri-contoh, alasan nyeri dan lamanya nyeri
berakhir. Tindakan ini dapat mendidik pasien dan memotivasinya untuk
mencoba tindakan pengurang nyeri alternatif.

8) Kaji jenis dan tingkat nyeri pasien. Tentukan apakah nyerinya kronis atau
akut. Selain itu, kaji faktor yang dapat mengurangi atau memperberat;
lokasi; durasi; intensitas; dan karakteristik nyeri; dan tanda tanda dan
gejala psikologis.

Diagnosa 8

:Hambatan mobilitas fisik b.d kelemahan sensori motorik pada


saraf perifer sekunder akibat cedera medula spinalis

Goal

: klien akan meningkatkan mobilitas fisik

Obketif

:klien tidak akan mengalami kelemahan sensori mototrik pada


saraf perifer sekunder akibat cedera medula spinalis

Outcomes

: dalam 1 x 24 jam perawatan klien:


-

Mempertahankan kekuatan otot dan ROM sendi

Meningkatkan

mobilitas

tertinggi

(berpindah

secara

mandiri, mandiri di kursi roda, berjalan dengan alat bantu


tertentu, seperti walker, tongkat, brache)
-

Melakukan program mobilitas

Intervensi dan rasional


1) Anjurkan untuk hadir pada sesi terapi fisik dan dukung aktivitas di bangsal
dengan menggunakan peralatan dan teknik yang sama. Minta perencanaan
mobilitas tertulis dan gunakan sebagai referensi. Semua anggota tim
perawatan kesehatan harus memberi penguatan dalam keteampilan belajar
dengan cara yang sama.
2) Ajarkan pasien dan anggota keluarga atau teman tentang latihan ROM,
pemindahan, isnpeksi kulit, dan program mobilitas, untuk membantu
mempersiapkan pemulangan.
3) Lakukan latihan ROM untuk sendi jika tidak merupakan kontraindikasi,
minimal satu kali setiap pergantian tugas jaga. Tiingkatkan dari pasif ke
aktif sesuai toleransi. Tindakan ini mencegah kontraktur sendi dan atrofi
otot.
4) Miringkan dan atur posisi pasien setiap 2 jam pada saat pasien di tempt
tidur.

Tentukan

jadwal

memiringkan

badan

untuk

pasien

yng

kebergantungan; posisikan pada sisi tempat tidur dan pantau frekuensi


memiringkan badan. Tindakan ini mencegah kerusakan kulit dengan
mengurangi tekanan.
5) Tempatkan sendi pada posisi fungsional, gunakan gulungan tronkanter
sepanjang paha, gunakan sepatu karet yang ujung atasnya tinggi, letakkan
bantal kecil di bawah kepala, dan sebagainya. Tindakan tersebut

mempertahankan sendi pada posisi fungsional dan mencegah deformitas


muskuloskeletal.
6) Identifikasi tingkat fungsional dengan menggunakan skala mobilitas
fungsional. Komunikasikan tingkat keterampilan pasien kepada semua staf,
untuk menunjang kontinuitas dan menjaga tingkat kemandirian yang
teridentifikasi.
7) Pantau dan catat setiap hari semua bukti komplikasi imobilitas (kontraktur,
stasis vena, trombus, pneumonia, infeksi saluran kemih), pasien dengan
riwayat penyakit atau disfungsi neuromuskular mungkin lebih cenderung
mengalami komplikasi.
4.

TINDAKAN KEPERAWATAN
Tindakan

keperawatan

dilakukan

dengan

mengacu

pada

intervensi

keperawatan yang telah ditetapkan.


5.

EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi keperawatan dilakukan untuk menilai apakah masalah keperawatan
telah teratasi, tidak teratasi, atau teratasi sebagian dengan mengacu pada
kriteria hasil.

Vous aimerez peut-être aussi