Vous êtes sur la page 1sur 18

REFERAT PERDARAHAN PASKA PERSALINAN (POSTPARTUM HEMORRHAGE)

ATONIA UTERI DAN RUPTUR UTERI

Kehamilan dan persalinan menimbulkan resiko kesehatan yang besar


termasuk bagi perempuan yang tidak mempunyai masalah kesehatan sebelumnya.
Kira-kira 40% ibu hamil mengalami masalah kesehatan yang berkaitan dengan
kehamilan dan 15% dari semua ibu hamil menderita komplikasi jangka panjang atau
yang mengancam jiwa. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa
dalam tahun 1995 hampir 515.000 ibu hamil meninggal karena komplikasi kehamilan
dan persalinan. Sebagian besar kematian tersebut terjadi di negara-negara
berkembang karena ibu hamil kurang mendapatkan akses terhadap perawatan
penyelamatan hidup (life saving care) (Tabel 1). Di negara berkembang, ibu hamil
cenderung lebih mendapatkan perawatan antenatal dibandingkan post natal (gambar
1). Nyatanya, lebih dari separuh jumlah seluruh kematian ibu terjadi dalam 24 jam
setelah melahirkan yang disebabkan ibu terlalu banyak mengeluarkan darah.
Perdarahan hebat adalah penyebab paling utama dari kematian ibu di seluruh dunia.
Di berbagai negara, paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan
oleh perdarahan. Proporsinya berkisar antara kurang dari 10% sampai hampir 60%.
Walaupun seorang ibu hamil dapat bertahan hidup setelah mengalami perdarahan
paska persalinan, namun dia akan mengalami anemia berat dan masalah kesehatan
yang berkepanjangan.

Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya.


Paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal. Sebagian
besar kematian tersebut terjadi dalam waktu empat jam setelah melahirkan dan
merupakan akibat dari masalah yang timbul selama persalinan kala tiga (Gambar 2).
Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Babinszki et.al. pada tahun 1999 terhadap
5800 wanita di RS angkatan udara Amerika Serikat menunjukkan bahwa insidensi
terjadinya perdarahan paska persalinan pada wanita dengan paritas yang rendah
sekitar 0,3% namun meningkat 1,9% pada wanita yang telah melahirkan empat kali
atau lebih.

Secara tradisional

perdarahan

paska persalinan adalah perdarahan yang

terjadi setelah persalinan dengan jumlah darah yang keluar lebih dari 500 ml. Tanda
dan gejala yang muncul pada perdarahan paska persalinan ditampilkan pada Tabel 2.

Berdasarkan waktu terjadinya, perdarahan paska persalinan dibagi menjadi dua


yaitu :
1. Perdarahan paska persalinan dini atau primer yaitu perdarahan yang terjadi
dalam 24 jam setelah persalinan.
2. Perdarahan paska persalinan lambat atau sekunder yaitu perdarahan yang
terjadi setelah 24 jam persalinan. Ada beberapa literatur yang mengatakan
bahwa tenggat waktu dari perdarahan paskapersalinan ini sampai 5 bulan
setelah persalinan.
Berdasarkan jumlah darah yang keluar berdasarkan perkiraan perdarahan yang
terjadi maka perdarahan paskapersalinan dibagi menjadi dua yaitu :
1. Perdarahan sedang yaitu bila jumlah darah yang dikeluarkan lebih dari 500
ml.
2. Perdarahan berat yaitu bila jumlah darah yang dikeluarkan lebih dari 1000 ml.
Suatu penelitian kuantitatif telah mengungkapkan bahwa jumlah darah yang hilang
pada saat persalinan pervaginam tanpa penyulit pada umumnya lebih dari 500 ml
(Pritchard, Baldwin et.al., 1962; Newton, 1966) dan mereka yang menjalani operasi
(pembedahan Caesar ) pada umumnya kehilangan 1000 ml atau lebih. Namun
sebenarnya hasil perkiraan jumlah rata-rata darah yang keluar tersebut hanya
setengah dari jumlah darah yang hilang dan perhitungannya

baik secara aktual

maupun dengan perkiraan, tetap memerlukan perhatian medis yang serius karena lima
persen pasien dengan perdarahan yang signifikan memenuhi kriteria perdarahan

paska persalinan. Bagi ibu hamil dengan anemia berat, kehilangan darah 200-250 ml
saja dapat berakibat fatal. Hal ini sangat penting untuk dipertimbangkan karena di
negara berkembang terdapat banyak ibu hamil yang menderita anemia berat.
Saat setelah kelahiran bayi dan jam-jam pertama paska persalinan adalah
sangat penting untuk pencegahan, diagnosis dan penanganan perdarahan.
Dibandingkan dengan resiko lain pada ibu seperti infeksi, maka kasus perdarahan
dengan cepat dapat mengancam jiwa. Faktor etiologi pertama dari perdarahan paska
persalinan dini dapat diklasifikasikan dalam empat kategori,yaitu :
1. Atonia uteri
2. Adanya produk kehamilan yang tetinggal dalam rahim
3. Trauma terhadap traktus genitalis
4. Gangguan faktor pembekuan darah
Pada referat ini pembahasan mengenai perdarahan paska persalinan akan lebih
dikhususkan tentang atonia uteri dan ruptur uteri.

ATONIA UTERI
Adalah suatu kegagalan uterus untuk berkontraksi lima belas detik setelah
dilakukan rangsangan taktil terhadap fundus uteri. Atonia uteri dapat pula diartikan
sebagai kelelahan pada otot uterus sehingga tidak mampu lagi berkontraksi, padahal
kontraksi uterus diperlukan untuk konstriksi pembuluh darah besar yang terbuka
akibat pelepasan plasenta.

Secara fisiologis, dalam beberapa menit setelah kelahiran bayi, timbul


kontraksi uterus yang kuat dan pengurangan permukaan intrauterin yang mengarah
pada pemisahan plasenta dari tempat implantasinya pada desidua maternal.
Kehilangan darah 200-400 ml disebabkan terbukanya sinus-sinus plasenta. Pada
keadaan normal, jumlah perdarahan dibatasi oleh kontraksi dari serabut miometrium
karena pembuluh-pembuluh darah yang menyuplai sinus plasenta dikelilingi oleh
serabut otot polos tersebut dan akan terkompresi bila serabut otot berkontraksi
sehingga suplai darah ke sinus menurun.
Pada keadaan tertentu, terdapat gangguan terhadap mekanisme tersebut yang
mengarah pada terjadinya atonia uteri. Beberapa faktor predisposisi yang dapat
menyebabkan atonia uteri adalah :
A. Berasal dari kehamilan sebelumnya :
1. paritas tinggi
2. perdarahan paska persalinan sebelumnya yang disebabkan oleh atonia uteri
3. uterine fibroid
4. luka parut pada uterus
5. anomali pada uterus
6. diskrasia darah
B. Berasal dari kehamilan sekarang :
1. uterus terlalu teregang (overdistention)
2. kelainan persalinan

3. tindakan anestetik
4. kelainan plasenta
5. infeksi uterus
6. pembedahan Caesar
7. laserasi traktus genitalia
Seorang wanita dengan paritas yang tinggi mempunyai resiko yang lebih
besar terhadap terjadinya atonia uteri karena adanya kelemahan serabut miometrium
sehingga tidak bisa berkontraksi dengan baik atau secara tidak langsung dikarenakan
peningkatan insidensi terjadinya faktor predisposisi lain seperti persalinan yang tidak
normal dan plasenta previa sedangkan kelainan uterus ataupun luka parut paska
operasi uterus sebelumnya

dapat menyebabkan distorsi anatomi sehingga

mengganggu kontraktilitas miometrium.


PENATALAKSANAAN ATONIA UTERI
Penyuntikan obat uterotonika segera setelah melahirkan bayi adalah salah satu
intervensi paling penting yang digunakan untuk mencegah perdarahan paska
persalinan. Obat uterotonika yang paling umum digunakan adalah oksitosin yang
terbukti sangat efektif dalam mengurangi kasus persalinan paska persalinan dan
persalinan kala tiga yang sama.
Jenis uterotonika dan cara pemberiannya ditampilkan Tabel.3
Jenis dan Cara
Oksitosin
Ergometrin
Misoprostol
Dosis dan cara IV: infus 20 unit IM atau IV (secara Oral 700 mcg atau
pemberian awal

dalam

liter perlahan) 0,2 mg

rektal 400 mcg

larutan

garam

fisiologis

60

gtt/menit
Dosis lanjutan

IM : 10 unit
IV: Infus 20 unit Ulangi 0,2 mg IM 400 mcg 2-4 jam
dalam
larutan

1liter setelah 15 menit. setelah dosis awal


garam Jika masih diper-

fisiologis

40 lukan beri IM atau

gtt/menit
IV setiap 2-4 jam
Maksimal Tidak lebih dari 3 Total 1 mg atau 5 Total

Dosis

1200

per hari

liter larutan dengan dosis

atau 3 dosis

Kontraindikasi

oksitosin
Tidak

Nyeri

boleh Preeklampsia,

memberi

IV vitium

mcg

kontraksi,

kordis, asma

secara cepat atau hiper-tensi


bolus
Jika perdarahan tetap berlangsung maka :
1. Pastikan plasenta lahir lengkap
2. Jika terdapat tanda-tanda sisa plasenta (tidak adanya bagian permukaan
maternal atau robeknya membran dengan pembuluh darahnya), keluarkan sisa
plasenta tersebut

3. Lakukan

uji

pembekuan

darah

sederhana.

Kegagalan

terbentuknya

pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat dipecah
dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati
Jika perdarahan terus berlangsung dan semua tindakan di atas telah dilakukan,
maka perlu dilakukan kompresi bimanual internal
Jika perdarahan terus berlangsung setelah dilakukan kompresi, maka
1. lakukan ligasi arteri uterina dan ovarika
2. lakukan histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa setelah
ligasi.

Bagan penatalaksanaan atonia uteri.


rangsangan taktil fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta

uterus berkontraksi

?
ya

1.
2.
3.

evaluasi rutin. Jika uterus


berkontraksi tapi perdarahan terus
berlangsung, periksa apakah
perineum, vagina dan seviks
mengalami laserasi dan jahit atau
rujuk segera

bersihkan bekuan darah dan atau selaput ketuban


dari vagina dan lubang serviks
pastikan bahwa kandung kemih telah kosong. Jika
penuh atau dapat dipalpasi, lakukan kateterisasi
kandung kemih menggunakan teknik aseptik
lakukan kompresi bimanual interna selama 5
menit.

Uterus berkontraksi ?
teruskan KBI selama 5 menit
Ya
keluarkan tangan perlahan-lahan
Tidak
pantau kala empat dengan ketat
4.
5.
6.
7.

8.

anjurkan keluarga untuk mulai melakukan


kompresi bimanual eksternal
keluarkan tangan perlahan-lahan
berikan ergometrin 0,2 mg IM (jangan diberikan
pada hipertensi)
Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau
18 dan berikan 500 ml ringer laktat + 20 unit
oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat
mungkin
Ulangi KBI

Uterus berkontraksi ?
Pantau ibu dengan ketat selama kala IV
Ya
Tidak
9. Rujuk segera
10. Dampingi ibu ke tempat rujukan
11. Lanjutkan infus Ringer Laktat + 20 unit oksitosin
dalam 500 ml/jam hingga tiba di tempat rujukan

atau hingga menghabiskan 1,5 infus. Kemudian


berikan 125 ml/jam. Jika tidak tersedia cairan yang
cukup, berikan 500 ml kedua dengan perlahan dan
berikan minuman untuk rehidrasi

RUPTURE UTERI
Ruptura uteri merupakan penyebab pendarahan pasca salin yang cukup jarang.
Insidensinya berkisar 1 dalam 20.000 persalinan. Factor-faktor yang mengakibatkan
ruptura uteri diantaranya adalah :
1. Penipisan patologis dari myometrium.
2. Pengosongan uterus secara tiba-tiba.
3. Relaksasi dini/patologis dari dinding uterus karena pemakaian anastesi umum
atau induksi yang berlebihan dari oksitosin.
4. Adanya sisa perlekatan dari plasenta.
5. Penarikan secara paksa dari tali pusat.
Ruptura uteri dibagi menjadi tiga baerdasarkan tingkatannya :
1. Ruptura uteri tingkat satu/incomplete
Fundus uteri rupture sampai menyentuh ostium uteri externa. Diagnosis
ditegakkan dengan pemeriksaan pervaginal dan adanya kesulitan untuk
mempalpasi fundus uteri di dinding abdomen.
2. Ruptura uteri tingkat dua/complete
Seluruh uterus mengalami rupture sampai ke vagina.
3. Ruptura uteri tingkat tiga

Seluruh uterus, cervix dan vagina sampai ke luar vulva.


Komplikasi yang mungkin timbul akibat rupture uteri yaitu :
1. Pendarahan berat bahkan syok yang dapat diikuti dengan kematian jika tidak
mendapat terapi yang tepat.
2. Sepsis sering terjadi dan diikuti oleh syok akibat adanya anuria dan gagal
ginjal.
3. rupture dapat menjadi kronis atau sering terjadi berulang kali.
4. Uterus dapat mengalami nekrosis akibat terjepit dalam jangka waktu yang
lama tanpa penaganan yang memadai.

Gambar : Uterus yang mengalami peforasi

Untuk menangani ruptura uteri perlu penangan sedini mungkin, dimana dokter
harus langsung melakukan reposisi manual terlebih dahulu. Reposisi dilakukan tanpa
menggunakan tenaga yang kuat dan jika tidak langsung berhasil, perlu untuk
dilakukan reposisi uterus ke dalam vagina dulu dan langsung melakukan pencegahan
syok.sebaiknya jika terdapat sisa plasenta maka sebaiknya dibiarkan saja dulu.
Karena jika dilakukan pelepasan sisa plasenta justru akan memicu pendarahan yang
lebih parah.
Dalam proses reposisi uterus terdapat beberapa mekanisme yang digunakan, yaitu
:
1. Reposisi dengan pendorongan.
Reposisi ini dilakukan dengan anastesi umum dan secara bertahap. Penekanan
pertama kali dilakukan pada daerah corpus yang terakhir kali mengalami
ruptur, sampai pada akhirnya menangani daerah fundus. Bagian paling sulit
adalah ketika melewati lingkaran retraksi diantara segmen atas dan bawah
uterus. Ketika uterus sudah kembali ke posisi normal, tangan tetap berada
didalam rongga uterus sampai ergometri atau oksitosin mulai bekerja dan
menghasilkan kontraksi yang adekuat.
2. Reposisi dengan tekanan hidrostatik.
Jika dorongan dengan tangan gagal, maka perlu dilakukan reposisi dengan
menggunakan metode OSullivans hydrostatik. Ujung dari pipa air
dimasukkan kedalam fornix posterior dan asisten menutup daerah vulva
disekitar lengan operator. Ciran saline hangat dilairkan kedalamnya ( bias
sampai 10 liter) sampai tekanan cairan tersebut akan mengembalikan uterus
ke posisi semula.

3. Reposisi dengan melalui rute abdominal


Jika metode lain gagal maka abdomen harus dibuka. Lingkaran konstriksi
harus di insisi kemudian bagian belakang dari lingkaran itu dibagi kemudian
fundus ditarik ke atas dan bekas insisi dijahit kembali.

REFERENSI
1. Cunningham, F.G, et al. 2004. Williams Obsetrics 22nd edition. New York.
McGraw-Hill : 824-838.
2. Departemen Kesehatan RI. 2004.

Asuhan Persalinan Normal. Jakarta.

Tridasa Printer : 5-16.


3. Fadel, H.E. 1982. Diagnosis and Management of Obstetric Emergencies.
California. Addison-Wesley publishing company : 193-213.
4. Hanretty, K. Obstetrics illustrated 6th edition. 2003. Philadelphia. Churchill
Livingstone : 285-290.
5. Krisnadi,

S.R.

2004.

Kesehatan

Ibu

http://www.pikiran_rakyat.com/cetak/1004/03/kesehatan.htm

dan
(diakses

Anak.
24

November 2006).
6. Okudaira, S, et al. 2003. UterinePerforation Following Manual Removal of
he Placenta. http://www.nms.ac.jp/jnms/ (diakses 24 November 2006).
7. Sherris, J. 2002. Managing Complication in Pregnancy and Childbirth.
http://www.path.org/resources/pub_outlook.htm (diakses 24 November 2006).

REFARAT
PERDARAHAN POST PARTUM
DISUSUN OLEH :
SITI ACHDA Z (C1103150)
AHMADO OKATRIA (C11050166)
LUSI SANDRA H (C11050171)

BAGIAN OBSTETRI GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN
BANDUNG
2005

Vous aimerez peut-être aussi