Vous êtes sur la page 1sur 14

A.

Pengertian Hukum PIDANA

a). Moeljatno. Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang
berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan mana perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut ( Criminal Act)
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana

yang

telah

diancamkan

(Criminal

Liability/Criminal

Responsibility)
b). Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata Pidana
berarti hal yang dipidanakan, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan
kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga halhal yang tidak sehari-hari dilimpahkan (Menurut Prof. Dr, Wirjono Prodjodikoro,
S.H.).

c). Hukum pidana itu ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaranpelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan
mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau
siksaan. Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa hukum pidana itu
bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma yang baru, melainkan
hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum (Menurut Drs.
C.S.T. Kansil, S.H.).

d). Hukum pidana adalah hukum yang mengatur kepentingan seseorang dengan
negara. Dengan kata lain hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan
antar warganegara dengan negara. Hukum pidana di Indonesia dikodifikasi
dalam buku KUHPidana (kitab undang-undang hukum pidana.

B.

Asas-Asas Hukum PIDANA


Berdasarkan klasifikasinya ada beberapa asas hukum yang juga

termasuk dalam asas hukum pidana. Antara lain :


1. Asas Hukum Umum
Meliputi semua bidang hukum dan tidak terpengaruh waktu dan
tempat serta berlaku universal.
Paul
Scholten
(dalam
tulisannya

Rechtsbeginselen)

menyimpulkan ada tiga asas hukum umum, yakni:


Kepribadian dan persekutuan (persoonlijkheid

en

gemeenschap).
Persamaan dan kewibawaan (gelijkheid en gezag).
Dua pasang asas hukum umum tersebut bernaung
dibawah dan dikuasai oleh perbedaan baik dan jahat (de

onderscheiding van goed en kwaad).


Sebagai contoh adalah etikad baik, kepatutan, kepastian hukum,
penghormatan HAM, dan lain sebagainya.

2. Asas Hukum Obyektif


Merupakan prinsip dasar pembentukan peraturan hukum.
a. Rasional
Merupakan aturan hidup bersama yang masuk akal dan
merupakan

titik

tolak

pembentukan

hukum

lainnya.

contohnya :
Perlindungan HAM.
Pengutamaan kepenringan umum.
Persamaan di depan hukum.
UU tidak berlaku surut.
Tiada pidana tanpa kesalahan.
b. Moral
Merupakan unsur ideal dan belum tentu dapat diwujudkan
dalam tata hukum yang direncanakan.
3. Subyektif
Merupakan prinsip-prinsip yang menyatakan bahwa kedudukan subyek
hukum nerkaitan dengan hukum. Baik yang rasional maupun yang moral,
tampak pada pengembangan zaman yang modern seiring dengan
tuntutan penghormatan HAM.
a. Rasional Contohnya :
Asas praduga tak bersalah.

Penggugat dibebani pembuktian.


b. Moral Contohnya :
Berbuatlah baik.
Hindarkan perbuatan jahat.
Jangan merugikan orang lain.

I.

Asas legalitas (Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege


punali)
Setiap orang yang akan menjalankan Undang-undang hukum pidana-

sebagai yang berwenang hendaknya wajib memperhatikan asas hukumnya yang


dicantumkan dalam pasal 1 KUHP. Ketentuan ini memuat pasal ini memuat tiang
penyanggah dari hukum pidana. Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan : Tiada satu
perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam
undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu. Ketentuan ayat ini memuat
asas yang tercakup dalam rumusan: Nullum delictum, nulla poena sine praevia
lege punali. Artinya, tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang
terlebih dahulu menyebutkan perbuatan yang bersangkutan, sebagai suatu delik
dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas suatu delik
tersebut. Asas nullum delictum ini memuat pengertian bahwa suatu perbuatan
yang dilakukan tanpa undang-undang yang sebelumnya telah mengatur tentang
perbuatan itu tidak dapat dipidana. Kalau sebelum terjadi perbuatan sudah ada
peraturan hukum yang mengatur tentang perbuatan itu, pelaku dapat
diselesaikan sesuai peraturan tersebut. Jadi, secara tegas dapat dikatakan
bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang melarang perbuatan tertentu harus
tertulis dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana positif.
Dilihat dari rumusannya asas nullum delictum itu ada yang mengatakan
berasal dari ajaran Montesquieu yang dikenal dengan Trias Politika-nya (buku
LEsprit de lois, 1748). Ajaran Trias Politika dari Montesquieu itu memang
bertujuan melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenangwenang dari penguasa. Asas nullum delictum juga bertujuan melindungi
kemerdekaan individu dari perlakuan sewenang-wenang dari peradilan Arbriter
pada zaman sebelum Revolusi Prancis (1789-1795). Pada waktu Montesquieu
mengemukakan ajaran Trias Politika, ia mengemukakan bahwa Hakim tidak
menghukum tanpa ada peraturan hukumnya. Kiranya pernyataan yang

termasuk dalam ajaran Trias Politika itu kemudian diterima oleh pemerintah
Prancis dan dimasukkan menjadi Pasal 8 Declaration du droit del homme et du
citoyen, 1789 yang kemudian dicantumkan juga dalam pasal 4 Code Penal.
Kedua asas itu mempunyai makna yang bertujuan melindungi individu (legalitas).
Dengan demikian, terlihat seolah-olah rumusan asas nullum delictum berasal
dari Montesquieu. Sebenarnya ajaran Montesquieu yang kemudian dilakukan
Rousseau dalam Volonte Generale-nya hanya mempersiapkan penerimaan
umum dari asas itu. Sementara itu, rumusannya sendiri dikemukakan oleh
Anselm von Feuerbach dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts,1801.
Maksud teori Feurbach ini adalah membatasi hasrat manusia untuk berbuat
kejahatan, sehingga ancaman hukuman itu bersifat preventif (mencegah) bukan
represif (pemulihan). Teori von Feurbach ini diberi nama teori paksaan psikologis
(psychologische dwang). Pada dasarnya ajaran beliau memuat tiga (3)
ketentuan, yakni :

Nulla puna sine lege, yang bermakna bahwa setiap penjatuhan

hukuman harus didasarkan pada suatu Undang-Undang.


Nulla poena sine crimine, yang bermakna bahwa penghukuman

hanya dapat.
Nullum crimen sine poena legali, yang bermakna bahwa
perbuatan tersebut telah diancam oleh suatu undang-undang yang
berakibat dijatuhkannya hukuman berdasarkan ketentuan dalam
undang-undang.

Pada akhir abad XIX, asas nullum delictum dimasukkan dalam perundangundangan hukum Belanda dan kemudian dibawakan kedalam pasal 1 ayat 1
Wetboek van strafrecht voor Nederlandsch-Indie.
Pasal 1 Ayat 1 KUHP yang memiliki asas legalitas itu mengandung
beberapa pokok pemikiran sebagai berikut.
a. Hukum pidana hanya berlaku terhadap perbuatan setelah adanya
peraturan. Mkasudnya, hukum pidana itu tidak dapat berlaku
surut. Kalau ada suatu perbuatan yang tidak diatur dalam undangundang dan kemudian setelah suatu perbuatan terjadi baru dibuat
undang-undang yang melanggarnya, tetap perbuatan itu tidak
dapat dikenakan berlakunya undang-undang baru tersebut.
Pengertian hukum pidana tidak dapat berlaku surut harus

dianggap sebagai ketentuan umum, kecuali kalau ketertiban


hukum atau kepentingan umum menghendakinya.
b. Dengan adanya sanksi pidana, hukuman pidana bermanfaat bagi
masyarakat yang bertujuan tidak akan ada tindak pidana. Hal itu
karena setiap orang harus mengetahui lebih dahulu peraturan dan
ancaman hukum pidananya.
c. Menganut adanya kesamaan kepentingan, yaitu selain memuat
ketentuan tentang perbuatan pidana juga mengatur ancaman
hukumannya.
d. Kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan
individu.
Asas

legalitas

ini

memiliki

rancangan

luas.

Artinya,

dalam

mengembangkan hukum pidana dapat disesuaikan dengan perkembangan


kehidupan masyarakat.
Selain itu biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga
pengertian, yaitu :
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
undang-undang.
Untuk menentukan

adanya

perbuatan

pidana

tidak

boleh

digunakan analogi (kiyas).


Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Pengertian yang pertama, bahwa harus ada aturan undang-undang jadi
aturan yang tertulis lebih dahulu, itu dengan jelas tampak dalam Pasal 1 KUHP,
dimana dalam teks Belanda disebut : wettelijke strefbepaling yaitu aturan
pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya ketentuan ini konsekuensinya
adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat
dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Padahal
diatas telah diajukan bahwa hukum adat pidana itu masih berlaku walaupun
hanya untuk orang-orang tertentu dan sementara saja. Agar supaya kejanggalan
yang demikian tidak ada, maka dalam UUD Sementara Pasal 14 ayat 2 dahulu
ditentukan: Tidak seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi
hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku
terhadapnya. Karena yang dipakai disini adalah istilah aturan hukum, maka
dapat meliputi aturan yang tertulis maupun aturan yang tidak tertulis. Dengan

demikian, juga untuk berlakunya hukum pidana adat diberikan dasar yang kuat.
Meskipun sekarang UUD Sementara sudah tidak berlaku lagi, namun hemat
saya, dari bunyinya Pasal 5 ayat 3b Undang-undang Darurat 1951 no. 1, di atas,
kiranya tidak seorang pun yang akan menyanggah sahnya ketentuan tersebut
bedasar tidak berlakunya pasal 14 ayat 2 UUD Sementara tadi.
Azas, bahwa dalam menentukan sesuatu ada atau tidaknya perbuatan
pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas) pada umumnya masih dipakai oleh
kebanyakan negara-negara. Di Indonesia dan juga di negeri Belanda pada
umumnya masih diakui prinsip ini, meskipun ada beberapa sarjana tidak dapat
menyetujuinya, misalnya Taverne, Pompe dan Jonkers.

II.

Asas larangan berlaku surut.


Semua hukum pidana harus berjalan kedepan dan tidak berjalan
kebelakang. Akan tetapi, adakalanya Undang-Undang berlaku surut
sebagaimana dimuat dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi : Jika
sesudah perbuatan itu dilakukan ada perubahan dalam perundangundangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa. Maksud dari
Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut adalah akan bertentangan dengan rasa
keadilan jika undang-undang pidana yang lama masih diberlakukan
sedangkan telah terjadi perubahan hukum yang lebih lunak.

III.

Asas Teritorialitas (Teritorialiteits Beginsel)


Ketentuan asas ini dicantumkan dalam pasal 2 yang menyatakan bahwa
Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang didalam wilayah Indonesia melakukan tindak pidana.
Berdasarkan ketentuan pasal ini, tegas bahwa bagi setiap orang yang
melakukan tindak pidana didalam wilayah Indonesia, baginya dikenakan
aturan pidana yang dicantumkan dalam undang-undang Indonesia. Yang
menjadi ukuran disini bukan hanya warga negara Indonesia saja
melainkan semua tindak pidana yang terjadi yang terjadi didalam wilayah
indonesia. Jadi, bagi orang asing sebagai penghuni indonesia kalau
melakukan tindak pidana di salah satu wilayah Indonesia, terhadapnya
akan dikenakan aturan pidana Indonesia. Selain dari penegasan
berlakunya aturan pidana indonesia,didalam wilayah juga ketentuan itu

diperluas dengan ketentuan pasal 3 yang menyatakan bahwa Ketentuan


pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
diluar Indonesia diatas bahtera Indonesia melakukan tindak pidana.
Perluasan aturan pidana menurut pasal 3 ini untuk menyatakan suatu
kepastian hukum bahwa setiap kapal yang Berbendera Indonesia dan
bergerak diluar wilayah teritorial, maka aturan pidana terus mengikutinya.
Namun, tidak berarti bahwa kapal yang Berbendera Indonesia itu adalah
wilayah Republik Indonesia; hanya saja ukuran yang dipakai dalam hal ini
adalah alat pelayaran dan alat udara Indonesia.

IV.

1).

Asas

Nasionalitas

Aktif/Asas

Kebangsaan

(Actief

Nationaliteitsbeginsel)
Aturan pidana Indonesia tujuannya untuk melindungi kepentingan umum
(Nasional). Kalau Pasal 2 dan 3 hanya untuk kepentingan wilayah saja,
ketentuan ini kurang cukup, berhubung nationnya akan diabaikan. Oleh
karena itu, Kitab Undang-undang Hukum Pidana menetapkan juga
tentang kepentingan nasional. Asas kepentingan Nasional dalam aturan
pidana indonesia disebut Nasionalitas Aktif atau asas Personalitas
(personaliteitsbeginsel) dan dicantumkan dalam Pasal 5 yang dinyatakan
sebagai berikut :
Ayat 1
: ketentuan pidana dalam Undang-Undang indonesia
berlaku bagi warga negara Indonesia yang diluar Indonesia
melakukan :
1) Salah satu kejahatan yang dituangkan pada BAB I dan
II Hukum kedua dan pasal 160,161,240,279,450 dan
415.
2) Suatu peristiwa yang dipandang sebagai kejahatan
menurut ketentuan-ketentuan pidana dalam UndangUndang

Indonesia

undang-undang

dan

negara

dapat
tempat

dipidana

menurut

perbuatan

itu

dilakukan.
Ayat 2

: Penuntutan terhadap suatu peristiwa yang dimaksudkan


kepada ke-2 itu boleh juga dijalankan jika tersangka baru
menjadi warga negara Indonesia sesudah melakukan
peristiwa itu.

Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka bagi warga negara yang


melakukan tindak pidana diluar wilayah Indonesia yang menyangkut
tentang keamanan negara, kedudukan kepala negara, penghasutan untuk
melakukan tindak pidana, tidak memenuhi kewajiban militer, perkawinan
melebihi jumlah yang ditentukan dan pembajakan, maka pelakunya dapat
dituntut menurut aturan hukum pidana Indonesia oleh pengadilan
Indonesia.Kepentingan Nasionalnya disini terlihat agar pelaku tindak
pidana yang warga negara Indonesia ini, walaupun peristiwanya terjadi
diluar Indonesia, tidak diadili dan dikenakan hukuman dari negara tempat
terjadinya peristiwa.

2).

Asas

Nasionalitas

Pasif/Asas

Perlindungan

(Pasief

Nationaliteits Beginsel)
Asas

ini

juga

disebut

asas

perlindungan

bertujuan

melindungi

kepentingan terhadap tindakan. Tindakan itu dapat dari warga negara


sendiri maupun dari warga negara asing yang dilakukannya untuk
menjatuhkan wibawa dan martabat Indonesia. Asas ini tidak melihat
kewarganegaraan

pelakunya.

Akan

tetapi,

tindakan

pidana

itu

mengancam kepentingan Nasional (Indonesia). Kitab Undang-Undang


Pidana menetapkan aturan hukuman dalam Pasal 4 dan Pasal 8.

V.

Asas Universalitas / Asas Persamaan (Universaliteits beginsel)


Asas ini merupakan kebalikan dari asas nasionalitas pasif. Yakni, asas
Universalitas melindungi kepentingan hubungan antar negara tanpa
melihat

kewarganegaraan

pelakunya.

yang

diperhatikan

adalah

kepentingan negara lain debagai tempat dilakukannya suatu tindak


pidana tertentu. Yang dimaksud tindakan pidana tertentu itu seperti
tercantum dalam pasal 4 sub 4 yang menyatakan bahwa melakukan
suatu kejahatan yang ditentukan dalam pasal 438, 444-446 tentang
pembajakan dan yang ditentukan dalam pasal 447 tentang menyerahkan
suatu bahtera kepada kekuatan pembajak laut.

VI.

Asas Eksteritorialitas

Yaitu asas yang mengatur tentang pegawai negeri yang berada diluar
negara Indonesia dalam rangka menjalankan tugas negara demi
kepentingan hubungan antara negara asing dan negara Indonesia.
Ketentuannya dicantumkan dalam Pasal 7 yang menyatakan bahwa
ketentuan pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi
pegawai negeri yang diluar Indonesia melakukan salah satu kejahatan
yang diterangkan pada Bab XXVIII buku kedua. Pengaruhnya dapat
dilihat dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa berlakunya pasal 2-5,7
dan 8dibatasi oleh hal-hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum
tata negara. Ketentuan yang dicantumkan dalam pasal ini dimaksudkan
untuk memberlakukan suatu IMUNITAS bagi kepentingan hubungan
antara

negara

asing

dan

negara

Indonesia.

Asas

ini

dalam

pelaksanaannya tidak memberlakukan aturan pidana Indonesia bagi


orang, tempat, rumah dan pekarangan duta besar, dan kapal perang
asing yang berlabuh disalah satu pelabuhan Indonesia selama kedua
negara mempunyai hubungan hukum Internasional.
Dalam hukum internasional, terdapat orang atau hal tertentu yang
dinyatakan memiliki hak eksteritorial, yakni:
Kepala negara (Presiden) yang berkunjung ke negara-negara lain
dengan persetujuan negara yang bersangkutan. Hak tersebut
hanya berlaku kepada sang kepala negara. Dengan demikian,
tidak berlaku bagi pengikut dan keluarganya.
Duta yang ditempatkan di negara tertentu beserta staf dan
keluarganya. Konsul pada hakikatnya bukan wakil diplomatik
melainkan bertugas sebagai wakil perdagangan sehingga tidak
memiliki

hak

eksteritorial

kecuali

ada

perjanjian

khusus

antarnegara.
Kapal perang suatu negara beserta seluruh awaknya yang berada
diwilayah

negara

lain

dengan

persetujuan

negara

yang

bersangkutan. Tanpa persetujuan, dapat ditolak atu diminta


meninggalkan wilayah suatu negara.
Ketiga hal diatas telah diakui secara internasional memiliki hak
eksteritorial.

Berdasarkan tempat deliknya terdapa beberapa ajaran yang dapat dijadikan


sebagai asas-asas hukum pidana. Antara lain, sebagai berrikut :

VII.

Ajaran di mana perbuatan dilakukan (leer van de lichamelijke


daad)
Menurut ajaran ini, tempat dilakukan kejahatan adalah tempat dimana
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman dilakukan.
Contohnya : A bermaksud membunuh B dengan menggunakan pisau. B
ditikan beberapa kali oleh A pada saat keluar dari restoran di Jakarta.
Kemudian, B dibawa ke rumah sakit untuk pertolongan pertama, B
selanjutnya dirawat di rumah sakit Bekasi, tetapi beberapa hari kemudian
B meninggal.
Berdasarkan ajaran ini tempat kejahatannya adalah di Jakarta.

VIII.

Ajaran berdasarkan alat (leer van het instrument)


Berdasarkan ajaran ini, yang dianggap sebagai tempat kejahatan
dilakukan adalah tempat dimana alat yang dipakai gunamelakukan
kejahatan itu menimbulkan akibat.
Contohnya : R bermaksud membunuh S yang tinggal di Bogor. R dari
Jakarta mengirim kue pada S di Bogor. Kue tersebut telah dibubuhi racun.
Setelah S menerima kue kiriman tersebut, ia pun memakannya dan tidak
lama kemudian ia pun meninggal.
Berdasarkan ajaran ini, Bogor dianggap sebagai tempat kejadian.

IX.

Ajaran berdasarkan akibat (leer van het gevolg)


Berdasarkan ajaran ini, tempat kejahatan adalah tempat dimana akibat
yang dimaksud dengan dilakukannya kejahatan itu timbul. Jika diamati
pada butir diatas tempat kejahatannya adalah Bogor.

X.

Ajaran lebih dari satu tempat (leer van fe meervoudig plaats)

Menurut

ajaran

ini,

tempat

kejahatan

adalah

beberapa

tempat

apabilakejahatan tidaka dilakukan di satu tempat.


Contohnya : X melakukan penculikan terhadap Y di Jakarta. Setelah
dibawa ke Bogor, Y dibawa ke Cirebon.akhirnya X ditangkap di Cirebon.
Berdasarkan ajaran ini, tempat kejahatan adalah Jakarta, Bogor dan
Cirebon.

XI.

Asas Retroactivite des lois plus douces


Merupakan asas sebagai pedoman dalam hukum transitor pada waktu
mulai berlakunya KUHP Pasal 2 dari KUHP Swiss ini menentukan : jika
seseorang melakukan kejahatan (Verbrechen oder vergehen) pada saat
sebelum berlakunya undang-undang ini, tetapi baru diadili sesudah
berlakunya, maka undang-undang ini hanya digunakan apabila lebih
ringan bagi terdakwa.
Meskipun demikian, azas retroactivite des lois plus douces kiranya juga
diambil sebagai pedoman dalam transitoir pada masa kemudian, oleh
karena dasar itu dikatakan dengan hukum kebiasaan (hukum yang tidak
tertulis).
Dalam Undang-Undang Dasar Sementara dahulu aturan tentang
perubahan dalam perundang-undangan ini diletakkan dalam Pasal 14
ayat 3: apabila ada perubahan dalam aturan hukum seperti tersebut
dalam ayat diatas, maka dipakailah ketentuan yang lebih baik bagi si
tersangka. Meskipun hal ini tidak disebut dalam UUD 45, namun selama
ini tidak ada ketentuan undang-undang yang berlainan, asas tersebut
kiranya tetap berlaku.

Asas-asas hukum pidana berdasarkan tujuan pembenaraan penjatuhan pidana ada tiga
teori. Yaitu berdasarkan teori absolut, teori relatif dan teori gabungan.

XII.

Teori Absolut
Menurut teori ini tujuan dari pemidanaan terletak pada hukum pidana itu
sendiri. Barang siapa yang melakukan tindakan pidana, harus dijatuhi
hukuman/pidana.

XIII.

Teori Relatif
Menurut teori ini Tujuan pemidanaan adalah untuk :
Mencegah terjadinya kejahatan.

Menakut-nakuti shingga orang tidak melakukan kejahatan.


Untuk memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana.
Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap
kejahatan.

XIV.

Teori Gabungan
Teori ini merupakan kombinasi antara teori absolut dan relatif. Tujuan
pemidanaannya adalah karena orang tersebut melakukan kejahatan dan
agar ia jangan melakukan kejahatan lagi.

XV.

Asas Geen Straf Zonder Schuld


Berdasarkan asas hukum diatas, untuk dapat menjatuhkan pidana
kepada seseorang, maka hakim wajib memiliki keyakinan bahwa
terdakwa telah terbukti berbuat kesalahan, sebab seseorang tidak
dijatuhi pidana tanpa kesalahan. Dari pendapat beberapa hukum pidana,
dapat dinyatakan bahwa batasan kesalahan adalah perbuatan yang
mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan
tindak pidana.
Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti
bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Pencelaan dalam hal ini
bukanlah pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan
berdasarkan hukum yang berlaku untuk adanya kesalahan.

DAFTAR PUSTAKA

Djamali R. Abdoel,S.H., 2010. Pengantar Hukum Indonesia. Rajagrafindo


Persada.
Kansil, C.S.T. Drs. S.H., 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Indonesia. Balai Pustaka.
Moeljatno, Prof. S.H., 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta.
Soetami, A. Siti,S.H.,2007. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Refika Aditama.
Wirjono Prodjodikoro, S.H.,Dr.,Prof., 2003. Asas-asas Hukum Pidana Di
Indonesia. Refika Aditama.

Hadisoeprapto

Hartono,

Liberty,Yogyakarta.

S.H.,2000.

Pengantar

Tata

Hukum

Indonesia.

Vous aimerez peut-être aussi