Vous êtes sur la page 1sur 6

Pembahasan

Kasus:
Di ruang perawatan kelas III bangsal anak sebuah RS Y, anak S dirawat
karena tifus selain itu juga terdapat pasien lain (anak Z) yang dirawat dengan
penyakit DHF. Kondisi tersebut tidak baik, nafasnya terputus-putus, bibir tampak
membiru walaupun oksigen sudah terpasang. Keluarga pasien tampak panic,
tetapi tidak satupun petugas kesehatan datang untuk memeriksa keluarga pasien
tersebut. Keluarga pasien anak S tersebut turut membantu mencarikan perawat
ke ruang perawatan, disana terdapat seorang perawat sedang berbicara di
telepon sambil tertawa-tawa, kerika menyampaikan kondisi anak tersebut,
dengan enteng perawat tersebut mengatakan bahwa setiap perawat sudah
memegang masing-masing pasien dan perawat yang bertanggung jawab terhadap
pasien tersebut keluar ruangan. Ketika kembali ke ruang rawat, anak Z sudah
meninggal tanpa ada pertolongan dari tenaga kesehatan (perawat dan dokter),
bahkan dokter baru datang setelah 30 menit dan menyatakan bahwa pasien telah
meninggal.
Dari penjelasan materi di atas bila dikaitkan ke kasus, terlihat bahwa
perawat dalam kasus tersebut sudah melakukan banyak pelanggaran. Pelanggaran
tersebut berupa pelanggaran pada perawat sebagai profesi, peran perawat, etika
dan praktek keperawatan, dan juga implikasi legal dalam praktek keperawatan.
Dari kasus terlihat bahwa anak dari keluarga Z sedang kritis dan benar-benar
membutuhkan pertolongan dari tim kesehatan RS Y tersebut. Kemudian salah satu
dari keluarga S menolong keluarga Z untuk mencarikan tim medis. Ternyata
keluarga S menemukan seorang perawat yang sedang teleponan sambil ketawaketawa. Ketika keluarga S menyampaikan keadaan anak keluarga Z, ternyata
dengan mudah perawat itu mengatakan bahwa setip perawat sudah memegang
masing-masing pasien, dan perawat yang menangani anak keluarga Z sedang
pergi keluar. Ketika keluarga S kembali ke ruang rawat, anak keluarga Z sudah
meninggal tanpa ada penanganan tim medis.
Perawat dalam kasus tersebut seharusnya tetap memberikan pelayanan
kesehatan pada keluarga anak Z sebab setiap klien berhak untuk mendapatkan

asuhan keperawatan yang profesional meskipun dia bukanlah perawat yang


menangani anak tersebut. Dari situ terlihat bahwa perawat tidak bersikap
professional karena lebih mengutamakan kepentingan sendiri untuk santai sambil
teleponan. Perawat tersebut juga sudah mengabaikan peran dan tanggung jawab
organisasi keperawatan profeional yaitu perawat harus melindungi, memenuhi hak
dan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang professional.
Namun, dalam kasus tersebut terlihat bahwa perawat tersebut secara tidak sengaja
sudah merenggut hak yang dimiliki anak itu dan tidak memberikan perlindungan
sehingga anak tersebut meninggal.
Dalam praktik keperawatan, tindakan mandiri perawat professional
melalui kerja sama adalah berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya yang
berbeda profesi. Dalam kasus terlihat perawat tidak mau berkolaborasi bahkan
dengan yang seprofesi sekalipun. Perawat itu tahu bahwa perawat yang
menangani keluarga Z sedang keluar, tetapi perawat tersebut tidak mau bekerja
sama untuk sementara menggantikan perawat yang menangani keluarga Z. Dari
kasus tersebut terlihat bahwa perawat tersebut kurang menyadari profesinya. Ini
adalah bentuk pelanggaran perawat sebagai profesi.
Selain itu anak keluarga Z yang menderita DHF tersebut, sudah parah
keadaannya namun tidak mendapatkan asuhan atau pelayanan kesehatan yang
baik. Perawat yang bertugas menjaga klien tersebut tidak cekatan dalam memberi
pelayanan, dan perawat itu meninggalkan klien tanpa ada penjagaan dari perawat
lain selama ia pergi. Selain itu, perawat lainnya juga kurang tanggung jawab dan
kesadaran akan perannya sebagai pemberi perawatan kepada setiap klien. Klien
dengan kodisi separah itu seharusnya mendapatkan pelayanan kesehatan dan
perawatan yang sigap, cekatan, dan teratur (terorganisir) untuk mencegah hal-hal
buruk yang tidak diharapkan, seperti terjadi kematian. Ini merupakan bentuk
pelanggaran dalam pelaksanaan peran sebagai perawat.
Dari analasis yang telah dipaparkan dibutuhkan solusi untuk menangani
atau mencegah terjadi atau terulangnya masalah yang terjadi pada kasus.
Kesalahan yang terjadi pada kasus adalah terletak pada kurangnya kesadaran
perawat terhadap perannya, kurangnya kerja sama antar tim kesehatan, dan faktor
sosial. Berikut adalah solusi dari permasalahan diatas:

1. Perawat diberikan suatu pemahaman, penyuluhan, atau pendidikan tambahan


sebagai contoh diadakannya seminar agar dapat menyadarkan perawat akan
pentingnya peran perawat sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan
keperawatan yang penuh tanggung jawab, sigap, dan cekatan
2. Perawat dan tim kesehatan melakukan evaluasi dan instropeksi diri terhadap
kewajiban dan kekompakan yang seharusnya muncul dalam suatu tim
kesehatan
3. Menyadarkan tim kesehatan terutama perawat akan berharganya nyawa dari
seorang klien dibandingkan upah yang didapat. Hal ini berguna agar para
perawat atau tim kesehatan tidak pengukur pelayanan kesehatan yang mereka
berikan dengan upah yang mereka terima agar perawat dapat memberikan
pelayanan tanpa ada batasan.
Melalui solusi ini diharapkan perawat dapat meningkatkan kesadarannya
akan perannya. Peran perawat sangat berarti bagi setiap klien. Oleh karena itu,
perawat harus dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab melaksanakan peran
mereka.
Kode etik keperawatan menunjukkan kepada masyarakat bahwa perawat
memahami dan menerima kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan
kepada perawat. Kode etik keperawatan juga menjadi panduan bagi perawat untuk
berperilaku dan landasan dalam melakukan praktik dan sebagai sarana
pengendalian diri. Apabila ditinjau dari tanggung jawab perawat yang terdapat
dalam kode etik keperawatan, secara jelas, perawat tersebut dalam kasus telah
melanggar kode etik yang seharusnya ia junjung tinggi. Pelanggaran yang telah ia
lakukan terkait dengan pelaksanaan pengabdiannya. Perawat tersebut terlihat acuh
tak acuh pada penderitaan klien, padahal dalam kode etik keperawatan di
Indonesia dikatakan bahwa tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka
yang membutuhkan asuhan keperawatan.
Menurut Dewan Pimpinan Pusat PPNI dalam kode etik keperawatan
Indonesia, perawat bertanggung jawab memelihara mutu pelayanan keperawatan.
Dengan bersifat kasar seperti yang terjadi pada kasus, perawat tersebut telah
merusak citra seluruh perawat Indonesia karena seperti yang telah kita ketahui,
pelayanan keperawatan merupakan sebuah sistem yang komponennya saling

berkaitan. Dalam kasus yang sama, perawat tersebut tidak lagi mengutamakan
perlindungan dan keselamatan kliennya, padahal seorang perawat berkewajiban
memberikan asuhan keperawatan yang dilandasi rasa tulus ikhlas.
Secara tidak langsung, perawat tersebut juga merusak pelaksanaan tanggung
jawabnya pada teman sejawat yang terdapat dalam kode etik keperawatan
menurut ICN yang berbunyi, Perawat dapat menopang hubungan kerja sama
dengan teman kerja, baik tenaga keperawatan maupun tenaga profesi lain di
keperawatan. Perawat dapat melindungi dan menjamin seseorang, bila dalam
masa perawatannya merasa terancam. Dari kalimat ini, dapat dipahami bahwa
seorang perawat harus memelihara hubungan baik antar sesama perawat. Terlihat
pada kasus, perawat tersebut yang memiliki klien dalam kondisi darurat, sedang
berada di luar RS Y. Memang, apabila dilihat secara objektif, perawat tersebut
tidak bersalah karena memang klien bukan tanggung jawab yang harus ia asuh,
namun pada kenyataannya, ia telah membuat hubungannya dengan perawat lain
menjadi kurang baik. Tentu saja perawat yang seharusnya merawat anak itu akan
sedih ketika mengetahui bahwa klien yang menjadi tanggung jawabnya, telah
meninggal. Hal ini mungkin saja berujung pada penurunan sikap profesional
perawat, baik individu, maupun tim.
Kasus ini juga bertentangan dengan kode etik menurut ANA nomor 1 yang
berbunyi, Perawat memberikan pelayanan dengan penuh hormat bagi martabat
kemanusiaan dan keunikan pasien yang tidak dibatasi oleh pertimbanganpertimbangan status sosial atau ekonomi, atribut personal, atau corak masalah
kesehatannya. Selain itu, melindungi kesehatan klien, memelihara kompetensi
keperawatan, dan membantu upaya profesi untuk membentuk dan membina
kondisi kerja yang mendukung pelayanan keperawatan. Semua hal ini lah yang
telah dilanggar oleh perawat yang berteleponan tersebut.
Setelah mengetahui kode etik keperawatan dan ruang lingkup tanggung
jawab perawat, diharapkan kita semua, sebagai mahasiswa/i keperawatan, mampu
bertanggung jawab dengan sungguh-sungguh untuk mematuhi kode etik tersebut.
Dengan berkomitmen penuh untuk menjaga nama baik profesi perawat, setiap
individu telah membantu memelihara mutu pelayanan kesehatan.

Pada kasus tersebut dijelaskan bahwa kondisi anak Z yang menderita


penyakit DHF dikabarkan telah meninggal karena tidak ada pertolongan dari
tenaga kesehatan, baik dokter maupun perawat. Perawat bahkan menelepon
dengan tertawa-tawa tanpa mementingkan kondisi klien. Padahal klien sangat
membutuhkan pertolongan tenaga kesehatan, khususnya perawat. Dalam hal ini,
perawat tidak memperhatikan prinsip-prinsip moral yang seharusnya dilakukan
perawat. Menurut teori deontologi, perawat seharusnya memperhatikan dan
menerapkan prinsip-prinsip moral, diantaranya otonomi, beneficence (kebaikan),
non-maleficience (tidak mencederai), justice (keadilan),

fidelity (kesetiaan),

accountability dan avoid killing.


Berdasarkan kasus tersebut, perawat tidak menerapkan prinsip-prinsip
tersebut. Menurut kasus perawat tidak bertanggung jawab terhadap tugastugasnya.

Ini

menunjukkan

bahwa

perawat

melanggar

prinsip

moral

accountaibilty. Perawat bukan menolong, justru menelepon sambil tertawa-tawa,


hal ini menunjukkan ia tidak memiliki prinsip moral beneficence. Prinsip moral
Beneficence (kebaikan) yaitu tindakan positif untuk membantu orang lain dan
pada kondisi tersebut perawat tidak membantu anak keluarga Z tersebut. Dari
kasus juga terlihat bahwa perawat tidak memiliki prinsip moral fidelity (setia) dan
justice (keadilan) karena ia hanya peduli pada klien yang menjadi pasien
utamanya. Ia tidak mau memberikan pelayanan yang baik juga pada pasien yang
bukan menjadi klien utamanya meskipun klien itu sangat membutuhkannya.
Bahkan ia juga tidak menerapkan prinsip non-maleficience dan avoid killing,
sehingga secara tidak langsung ia sudah mencederai klien tersebut yang akhirnya
membahayakan kondisinya hingga klien meninggal dunia. Prinsip-rinsip moral
seharusnya diimplementasikan karena

berperan penting untuk menentukan

perilaku yang etis dalam keperawatan.


Dalam hal ini perawat seharusnya memperhatikan bahwa tugasnya tidak
hanya menangani klien yang menjadi prioritasnya saja, namun juga membantu
klien lain yang membutuhkan. Dapat disimpulkan bahwa perawat di dalam kasus
tersebut

tidak

memperhatikan

dan

mengimplementasikan

prinsip

moral

keperawatan, sehingga menimbulkan masalah moral keperawatan. Oleh karena


itu, harus ada penyelesaian moral yang baik sesuai dengan proses keperawatan

agar moral baik yang seharusnya dimiliki perawat diimplementasikan dalam


kondisi apapun yang menyangkut kondisi klien.
Pelayanan keperawatan bila ditinjau dari konsep sistem bahwa pelayanan
keperawatan merupakan bagian yang tidak boleh dipisahkan dari suatu sistem. Di
dalam sebuah sistem terutama dalam pelayanan kesehatan, perawat merupakan
kelompok yang paling besar dalam sistem itu. Pelayanan keperawatan diperlukan
oleh setiap klien yang membutuhkan jenis perawatan yang sesungguhnya,
mencakup perawatan primer, sekunder, tersier dan restoratif. Keperawatan
merupakan bagian penting dalam sistem pelayanan kesehatan, maka perawat perlu
memahami sistem yang ada agar mampu memberikan pelayanan kesehatan yang
berkualitas secara efektif. Setiap perawat yang ada pada saat sedang bekerja perlu
menghargai bahwa pelayanan kesehatan adalah sebuah bisnis. Berhasilnya sebuah
bisnis pelayanan kesehatan, bergantung pada partisipasi perawat dalam
menciptakan sistem yang diperlukan untuk memberi perawatan dengan biaya yang
efektif, dan menciptakan strategi untuk memastikan bahwa klien akan menerima
perawatan yang berkualitas.

Vous aimerez peut-être aussi