Vous êtes sur la page 1sur 8

MODUL ASMA BRONKHIAL

Tujuan pembelajaran umum


Setelah mengikuti modul ini peserta didik akan mampu mengenali penyakit asma
bronkhial dan mempunyai keterampilan dalam mengelola pasien dengan asma bronkhial
secara holistik.
Tujuan pembelajaran khusus
Setelah mengikuti modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk:
1. Mendiagnosis asma bronkhial.
2. Mengidentifikasi faktor predisposisi yang terdapat pada pasien.
3. Mengelola faktor predisposisi untuk mencegah berulangnya penyakit.
4. Mengidentifikasi komplikasi penyakit asma bronkhial.
5. Menggolongkan pasien asma bronkhial berdasarkan riwayat penyakitnya.
6. Memberikan tatalaksana yang sesuai.
7. Mengevaluasi pengobatan pasien bronkhial.

ASMA BRONKHIAL

1. Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronik pada saluran napas yang melibatkan
berbagai sel dan elemen sel. Inflamasi kronik ini menyebabkan peningkatan
hiperresponsivitas jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berupa mengi,
sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam atau dini hari.
Episode tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
2. Epidemiologi
3. Faktor Resiko
Faktor resiko asma ditimbulkan oleh interaksi antara faktor pejamu dan pajanan
dengan lingkungan.
3.1. Faktor Pejamu
3.1.1. Genetik
Faktor keturunan memegang peranan penting dalam penderita asma. Sekitar 5060% penderita asma menunjukkan faktor keturunan.

Serangan ditimbulkan pleh

interaksi yang kompleks antara gen multipel dan faktor lingkungan. Faktor genetik
terdiri dari faktor antigen (serbuk sari, tungau debu rumah, serpihan kulit hewan, spra
jamur, alergen tempat kerja) dan faktor non antigenik (infeksi, iritan, latihan jasmani,
suhu udara, stress emosional).
3.1.2. Diet-Obesitas
Hubungan antara diet/intake antioksidan dan asam omega 3 yang kurang dengan
awitan asma belum digambarkan dengan jelas.

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor resiko untuk
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan pada penderita gemuk dengan asma, dapat memperbaiki gejala
fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
3.1.3. Jenis Kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Pada anak-anak, prevalensi asma
pada anak laki-laki 2 kali dibanding anak perempuan. Pada dewasa, prevalensi pada
wanita lebih besar dibanding pria. Penyebabnya sampai sekarang belum jelas, namun
ukuran paru pada waktu lahir lebih kecil pada pria dan lebih besar pada dewasa
dibanding wanita.
3.2. Faktor Lingkungan
3.2.1. Alergen
Faktor lingkungan utama yang sangat penting dalam perkembangan, persistensi
dan derajat asma adalah: alergen dalam udara, terutama sensitasi dan pajanan dengan
tungau debu rumah, serpihan hewan, kecoa, spora jamur dan luar rumah seperti
serbuk sari, spora jamur.
3.2.2. Infeksi
Selama bayi, sejumlah virus berhubungan dengan fentip asma.

Respiratory

Syncytial Virus (RSV) dan P. Influenza menimbulkan gejala bronkiolitis yang paralel
dengan ciri asma pada asma. 40 % anak dengan infeksi RSV yang dirawat di rumah
sakit, menunjukkan mengi yang menetap atau menderita asma di kemudian hari.
3.2.3. Asap Rokok
Asap rokok berhubungan dengan peningkatan / penurunan fungsi paru. Pajanan
dengan asap rokok, prenatal dan setelah lahir berhubungan dengan efek berbahaya

yang dapat diukur seperti resiko yang meningkat dalam terjadinya gejala serupa asma
pada usia dini.
3.2.4. Lingkungan Kerja
Di negara industri, asma merupakan penyakit akibat kerja tersering. Asma akibat
kerja merupakan hiperresponsif bronkus yang ditimbulkan oleh inflamasi bronkus,
sekunder terhadap inhalasi debu, gas, uap asal logam dan cairan yang dipanaskan
yang diproduksi di lingkungan kerja.
3.2.5. Polusi
Faktor lingkungan lain seperti asap rokok (pajanan in utero) dan polusi udara
(ozon dan berbagai partikel) berhubungan dengan resiko peningkatan mengi, tetapi
belum pasti apakah meningkatkan resiko mengi dan timbulnya asma di kemudian
hari.
4. Imunopatogenesis
Asma adalah kelainan klinik yang ditandai oleh penyempitan bronkus yang
reversibel. Keadaan ini pada orang-orang yang menderita asma mudah ditimbulkan
oleh berbagai rangsangan, hal ini menandakan suatu keadaan hiperreaktivitas bronkus
yang khas. Perubahan jaringan pada asma tanpa komplikasi terbatas pada bronkus
dan terdiri atas spasme otot polos, edema paru-paru, infiltrasi sel-sel radang dan
hipersekresi mukus yang kental.

Mobilisasi sekret pada lumen dihambat oleh

penyempitan dari saluran pernafasan dan pengelupasan sel epitel yang bersilia, yang
dalam keadaan normal membantu membersihkan mukus.
Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks
melibatkan faktor genetik, lingkungan, antigen, berbagai sel radang, mediator
inflamasi, molekul adhesi serta interaksi berbagai sel yang membentuk proses
inflamasi kronik dan remodeling.
Inflamasi yang terjadi berupa degranulasi sel mast, infiltrasi sel eosinofil dan
peningkatan Th2. Sumber mediator inflamasi lainnya adalah sel pada saluran napas
seperti sel epitel, sel otot saluran napas, sel endotel dan fibroblas.

Berbagai macam mediator inflamasi menimbulkan berbagai efek pada saluran


napas yang akan memberikan gambaran patologis pada asma.

Mediator seperti

perlengketan mikro vaskuler, meningkatkan sekresi mukus dan menarik sel inflamasi
ke saluran napas. Berbagai sitokin berperan terjadinya inflamsi kronik pada asma.
Sitokin yang dilepaskan oleh Th2 seperti IL-4, Il-5 dan IL-13 memediasi inflamasi
alergi dan sitokin TNF- dan IL-1 memperkuat respon inflamasi dan juga berperan
memperberat penyakit asma.
Alergen yang masuk pada saluran napas akan ditangkap dan dipresentasikan oleh
Antigen Presenting Cell (APC) khususnya sel dendritik yang berasal dari sumsum
tulang dan sel-sel interdigit yang terletak di bawah epitel saluran napas. Presentasi
tersebut akan mengaktifkan sel T- naif dengan melibatkan HLA (Human Leukocyte
Antigen) kelas II, dan selanjutnya terjadi polarosasi ke arah sel Th2. Respon sel Th2
merangsang pelepasan berbagai sitokin yang selanjutnya merangsang class switching
(pergeseran kelas) sel limfosit B untuk menghasilkan IgE.
Proses class switching untuk pembentukaan Ig E tersebut terjadi melalui 2 signal.
Pertama, dibawa oleh IL-4 dan IL-13 yang menempel pada reseptornya di sel
limfosit B, signal kedua, terjadi melalui ikatan antara CD-40 pada sel B yang
mengikat diri pada reseptornya di sel T, antara CD-28 dan molekul kostimulator B7
(CD-80 dan CD-86), serta antara 12 dengan ICAM -1. Ig E yang terbentuk dan
diekskresikan ke sirkulasi akan terikat pada reseptornya, baik dengan afinitas ikatan
yang kuat yaitu FceRI pada permukaan sel mast atau basofil, maupun pada reseptor
dengan afinitas ikatan yang lemah yaitu FceRII pada limfosit, trombosit dan
makrofag.
Pengaruh berbagai sitokin dan ikatan IgE pada reseptornya tersebut terjadi
aktivasi sistem nukleotid yaitu perbandingan antara cyclic guanosine monophosphate
(cGMP) dan cyclic adenosine monophosphate (cAMP).

Perubahan tersebut

merangsang reseptor 2 saluran nafas sehingga terjadi kontraksi bronkus. Ikatan IgE
juga menyebabkan peningkatan influks ion Ca yang memudahkan sel mast dan
basofil melepaskan berbagi preformed

mediators

misalnya

histamin yang

menyebabkan kontraksi bronkus, vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas


vaskuler, serta kinin yang menyababkan vasodilatasi dan edema saluran napas.

Adanya pelepasan enzim triptase menyebabkan proteolisis dan aktivasi komplemen


C3a. Terjadinya obstruksi jalan nafas dan hiperresponsivitas bronkial serta gejala dan
tanda asma akibat berbagai zat tersebut.
Reaksi imunologis yang terjadi akibat paparan alergen berupa inflamasi akut dan
kronik. Pada inflamasi akut oleh adanya pencetus tertentu terdapat 2 fase reaksi,
yaitu fase dini dan fase lambat.
Pada reaksi fase dini (early phase reaction), terjadi aktivasi cepat dari sel mast dan
makrofag yang memiliki IgE spesifik terhadap alergen, yang diikuti oleh pelepasan
mediator proinflamasi seperti histamin. Mediator tersebut akan merangsang kontraksi
otot polos saluran nafas, sekresi mukus dan vasodilatasi pembuluk darah. Terjadi
pula kebocoran mikrovaskuler yang menyebabkan keluarnya plasma dan protein ke
saluran napas. Bocornya protein akan merangsang penebalan dinding saluran napas
dan pembentukan sumbatan dalam eksudat. Eksudat tersebut terdiri dari campuran
protein plasma dengan mukus, sel radang dan berbagai komponen inflamasi yang
akan merusak integritas epitel saluran napas lalu berakibat pengelupasan epitel
saluran napas. Reaksi tersebut berlangsung selama kurang lebih satu jam.
Reaksi fase lambat (late phase reaction) terjadi setelah 6-9 jam paparan alergen
dan terjadi pengerahan dan aktivasi sel eosinofil, sel limfosit T, basofil, netrofil dan
makrofag. Fase ini ditandai oleh retensi selektif sel limfosit T, ekspresi molekul
adhesi, serta pelepasan newly generated mediators yaitu derivat asam arakhidonay
seperti prostaglandin (PG), tromboxan (TX), leukotrien (LT) dan platelet activating
factors (PAF). Dalam konsentrasi tinggi PAF juga menyebabkan agregasi trombosit
dan pembentukan mikrotrombus. Sel T yang teraktivasi oleh antigen akan mengalami
proliferasi ke arah sel Th2. Selanjutnya 2-4 jam pertama terjadi transkripsi, transaksi
gen serta mediator proinflamasi, untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal
ini terus-menerus terjadi sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat.
Faktor transkripsi pro- inflamasi seperti NF-KB dan AP-1 akan diaktivasi pada
saluran napas dan mengatur ekspresi berbagai gen inflamasi. Faktor transkripsi yang
lebih spesifik antara NFAT dan GATA-3 mengatur eksprasi sitokin Th2. Bila sel-sel
radang tersebut menetap pada saluran nafas dan terdapat gangguan apoptosis oleh IL3, IL-5, GM-CSF dan RANTES maka akan terjadi inflamasi kronik. Adanya molekul

adhesi seperti ICAM dan VCAM yang melekatkan sel-sel radang pada saluran napas
menyebabkan sel inflamasi pada saluran napas akan bertahan lebih lama.
Efek inflamasi pada penyakit asma akan menimbulkan perubahan pada struktur
saluran napas (remodeling saluran napas) dan selanjutnya akan menimbulkan
penyempitan saluran napas yang ireversibel. Perubahan karakteristik yang terjadi
adalah meningkatnya otot polos saluran napas, fibrosis, angiogenesis dan hiperplasia.
Sel epitel saluran napas yang berperan dalam remodeling saluran napas yaitu melalui
pelepasan protein extracellular matrix (ECM) seperti fibronektin yang berperan
dalam regenerasi jaringan saluran napas. Sel epitel juga melepaskan mediator proinflamasi yang bersifat fibroproliferasi dan profibrogenic growth factors terutama
TGB-.
5. Diagnosis dan Klasifikasi
Gejala asma umumnya batuk, mengi, sesak napas yang berulang, biasanya
bertambah buruk pada malam hari atau menjelang fajar. Pencetus serangan karena
terhirup alergen, latihan fisik, zat-zat iritan dan infeksi virus.
Pada pemeriksaan fisik sering terdapat wheezing dan tampak jelas otot-otot bantu
pernafasan. Pemeriksaan fungsi paru dilakukan dengan spirometer untuk diagnosis
asma dan peak flow meter untuk mengontrol derajat beratnya asma sebagai dasar
pengobatan. Reversibilitas dan variabilitas hambatan aliran udara diukur dengan
peek flow meter di mana arus puncak ekspirasi (APE) meningkat lebih dari 15 %
setelah 15-20 menit setelah inhalasi 2 agonis kerja cepat atau variasi APE > 20%
atau APE menurun > 15 %setelah latihan.
Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis

6. Pengobatan
6.1. Non Farmakologi

6.2. Farmakologi
Pengobatan terhadap asma hingga saat ini perpedoman pada GINA (Global
Initiative for Asthma). GINA menganjurkan penggunaan 2 agonis kerja singkat atau
SABA (short acting beta-2 agonist) pada semua derajat asma sebagai obat pelega
(reliever) dan sebagai pengontrol (controller) manganjurkan penggunaan steroid
inhalasi dan bila perlu ditambahkan 2 agonis kerja panjang LABA (Long Acting
beta-2 Agonist) pada asma persisten ringan sampai berat. Obat-obat yang termasuk
dalam golongan obat pelega yaitu 2 agonis kerja singkat inhalasi, antikolinergik
inhalasi, teofilin kerja singkat dan 2 agonis kerja singkat oral.
Obat-obat

yang

termasuk

dalam

golongan

obat

pengontrol

yaitu

glukokortikosteroid inhalasi, leukotriene modifiers, 2 agonis kerja panjang inhalasi,


teofilin, cromones, 2 agonis kerja panjang oral, anti IgE, glukokortikosteroid
sistemik, allergen-specific immunotherapy, methotrexate, cyclosporine. Berdasarkan
gambaran klinis dan variabilitas fungsi paru, penderita dengan asma persisten pada
awal penatalaksanaan terapi dapat menjalankan pengobatan dimulai pada langkah
kedua. Jika penilaian selanjutnya gejala menjadi berat setelah pengobatan, terapi
selanjutnya berubah ke langkah ketiga, begitu pula sebaliknya.
Penilaian terhadap respon pengobatan perlu dilakukan penilaian secara periodik.
Untuk mengevaluasi pengobatan, dapat dipakai kontrol asma. Penilaian terhadap
kontrok asma menutut GINA 2007 dibagi atas asma terkontrol, terkontrol sebagian
dan tidak terkontrol.
7. lllll
8. ddf
9. ddd

Vous aimerez peut-être aussi