Vous êtes sur la page 1sur 7

ASPEK BIOLOGIS PADA GANGGUAN MOOD: DEPRESI

I.

PENDAHULUAN
Mood dapat diartikan sebagai emosi yang dipertahankan, dirasakan secara
internal, dan mempengaruhi perilaku & persepsi individu terhadap lingkungan.
Sehingga gangguan mood dapat diartikan sebagai kelompok kondisi klinis
yang ditandai berkurang atau hilangnya rasa untuk mengontrol emosi dan
merupakan pengalaman subyektif dari tekanan yang kuat

terhadap diri.

(kaplan)
Depresi merupakan gangguan umum yang timbul akibat adanya interaksi
faktor genetik dan lingkungan. Hal ini dapat mengganggu cara berfikir, emosi,
kesehatan fisik, fungsi sosial, dan produktifitas seseorang. WHO tahun 2000,
menyebutkan bahwa ganguan depresi merupakan penyebab utama kerjadinya
kecacatan di dunia dan penyakit terbanyak ke-4. Data epidemiologi pada
negara-negara dengan pendapatan perkapita menengah hingga tinggi, jumlah
penderitanya mencapai hingga dua kali jumlah penderita penyakit jantung.
(depression 1)
Walaupun terdapat banyak variasi gejala yang dimunculkan, penderita
umumnya mengeluhkan adanya mood dan ketertarikan terhadap hal tertentu
akan berkurang, muncul masalah tidur dan nafsu makan, hilang energi, merasa
bersalah bahkan menimbulkan keinginan bunuh diri. (depression 1)
II.

EPIDEMIOLOGI & FAKTOR RISIKO


Risiko terjadinya gangguan depresi dapat bervariasi antara 10-25% pada
wanita dan 5-12% pada pria. Tingkat insidensi terjadinya gangguan ini kurang
lebih sama, baik laki-laki maupun perempuan sebelum masa pubertas. Namun
setelah masa pubertas, tingkat insidensi terjadinya depresi pada wanita
meningkat menjadi 2-3x dibandingkan pria.(wiley 2006)
Data epidemiologi lain menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor
risiko yang mempengaruhi terjadinya gangguan depresi, yaitu; tingkat
pendapatan yang rendah, dimana jumlahnya meningkat 2 kali lipat
dibandingkan dengan masyarakat dengan penghasilan yang tinggi. Selanjutnya
pengalaman kurang menyenangkan pada masa kanak-kanak, seperti kekerasan
fisik, kekerasan seksual, serta kurangnya perhatian dari keluarga. Hal lain,
seperti adanya riwayat keluarga dengan gangguan depresi terutama garis

keturunan pertama, usia muda (dibawah 40 tahun), gangguan mental lain yang
menyertai, rendahnya tingkat pendidikan, serta konumsi alkohol dan obatobatan terlarang juga akan meningkatkan angka terjadinya gangguan depresi.
(wiley 2006)
III.

DIAGNOSIS
Episode depresif mayor (DSM-IV 296.xx)
A. Lima (atau lebih) gejala telah berlangsung dalam waktu dua minggu dan
merepresentasikan perubahan dari fungsi sebelumnya; minimal gejalanya (1)
mood tertekan (depressed mood) atau (2) hilangnya ketertarikan atau
kepuasan. Catatan: jangan memasukkan gejala yang jelas merupakan akibat
kondisi medis umum, atau mood-incongruent berupa delusi atau halusinasi.
1. Depressed mood ditampilkan hampir sepanjang hari, yang diindikasikan
dengan laporan subyektif (contoh, rasa sedih atau kosong) atau
observasi yang dilihat orang disekitarnya (contoh, terlihat berkacakaca). Catatan: pada anak-anak dan dewasa muda, mood mudah
terpengaruhi rangsang (irritable mood).
2. Ketertarikan dan kepuasan yang jelas menurun pada semua atau hampir
semua aktivitas hampir sepanjang hari, setiap harinya (diindikasikan
baik laporan pribadi/subyektif maupun dilaporkan oleh orang
disekitarnya).
3. Penurunan berat badan tanpa diet atau peningkatan berat badan yang
signifikan (contoh, perubahan berat badan lebih dari 5% dalam satu
bulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu makan yang terjadi
hampir setiap hari. Catatan: pada anak-anak pertimbangkan kegagalan
pencapaian target berat badan anak.
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diobservasi
oleh orang sekitar, tidak menutup kemungkinan keluhan subyektif
berupa perasaan kurang istirahat atau aktivitas yang melamban).
6. Kelelahan atau kekurangan energi hampir setiap hari.
7. Perasaan tidak berguna atau berlebihan atau rasa bersalah yang tidak
sesuai (yang mungkin delusional) hampir setiap hari (tidak menutup
kemungkinan self-reproach atau rasa bersalah karena telah sakit).

8. Menurunnya kemampuan untuk berfikir atau berkonsentrasi atau tidak


mampu mengambil keputusan hampir setiap hari (baik laporan orang
sekitar maupun subyektif pasien).
9. Pemikiran yang berulang mengenai kematian (bukan hanya takut
sekarat), ide bunuh diri berulang tanpa rencana spesifik, atau percobaan
bunuh diri atau rencana spesifik untuk mencoba bunuh diri.
B. Gejala yang dimunculkan tidak termasuk kriteria episode campuran.
C. Gejala yang dimunculkan menyebabkan distress yang signifikan secara klinis
atau perubahan fungsi sosial, okupasi atau wilayah fungsi penting lainnya.
D. Gejala yang dimunculkan bukan karena efek psikologis langsung dari
penggunaan substansi tertentu (contohnya, pengunaan obat-obatan, atau
pengobatan

medis)

atau

bukan

kondisi

medis

umum

(contohnya,

hipotiroidisme).
E. Gejala-gejala tersebut tidak termasuk kehilangan, contohnya, setelah
kehilangan seseorang paling dicintai, gejalanya bertahan lebih dari 2 bulan
atau ditandai adanya kelainan fungsi yang terlihat, morbid preokupasi dengan
rasa tidak berguna, ide bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.
IV. ETIOLOGI
A. Faktor Biologis
Hingga sekarang, neurotransmiter monoamine (norepinefrin, dopamin,
dan serotonin) menjadi fokus utama teori dan penelitian mengenai etiologi
gangguan depresi.(kaplan)
Menggunakan pencitraan struktur otak pada orang dengan depresi,
peneliti menemukan adanya perubahan volume struktur otak dan kelainan
pada aktivitas metabolik dari beberapa daerah otak yang kritis. (depression 1)
B. Interaksi Genetik dan Lingkungan
Walaupun tidak terdapat gen tunggal yang menyebabkan terjadinya
gangguan depresi, penelitian menunjukkan faktor genetik merupakan
predisposisi terjadinya depresi dengan cara meningkatkan kerentanan
terhadap pengaruh faktor lingkungan yang berperan menimbulkan depresi.
(depression 1)
V.

ASPEK BIOLOGIS SEBAGAI ETIOLOGI DEPRESI


Gangguan depresi, yang secara tradisional dikonseptualisasikan sebagai
gangguan neurokimia murni, saat ini juga diperkirakan berasal dari perubahan
plastisitas saraf dan ketahanan seluler (misalnya perubahan morfologi dan

jumlah dendrit, arah perkembangan akson / dendrit, konektivitas sinaptik, dan


kapasitas neuron untuk bertahan hidup). Oleh karena itu, berbagai modifikasi
neurokimia (misalnya penurunan konsentrasi sinaptik norepinefrin dan / atau
serotonin) dan perubahan konsekuen dalam transduksi sinyal intraseluler dan
ekspresi gen saat ini dikonseptualisasikan sebagai hanya mewakili urutan
kejadian yang berkaitan dengan munculnya perubahan tersebut dalam adaptasi
neuronal yang mungkin akhirnya menyebabkan gangguan depresi.
Dengan demikian, regulasi mood normal saat ini dipahami sebagai
modulasi yang tepat dari sistem adrenergik dan / atau serotonergik melalui:
1. Berfungsinya berbagai reseptor / transporter pre dan postsinaptik
dengan benar;
2. Sekresi norepinefrin dan / atau serotonin dari presinaptik neuron yang
tepat;
3. Transduksi sinyal utuh yang melibatkan produksi / stimulasi yang
sesuai

messenger

intraseluler

(misalnya,

cyclic

adenosine

monophosphat / cAMP) dan produksi berbagai faktor neurotropik


otak, terutama cAMP-Response-Element-Binding (CREB) globulin,
Brain-derived Neurotrophic Factor (BDNF), dan B-cell lymphoma
protein-2 (Bcl-2), serta neurotrophin-3,4,5 (NT-3,4,5), Nerve Growth
Factor (NGF), dan Ciliary Neurotrophic Factor (CNTF).
Transduksi sinyal yang benar, memuncak pada keadaan neuroplastisitas
yang baik dan ketahanan di daerah otak tertentu dan menghasilkan
pemeliharaan mood eutimik. Reseptor serotonergik postsinaptik b1-adrenergik
dan 5-HT mengaktifkan kaskade Adenylate Cyclase-cAMP, yang akhirnya
menyebabkan, antara lain, produksi CREB dan BDNF. CREB juga dimodulasi
oleh Ca-dependent protein kinase yang dirangsang oleh reseptor postsinaptik
lain seperti a1-adrenergik dan 5-HT serotonergic.

Mekanisme lain, kurang dipahami, dan seharusnya terlibat dalam


pemeliharaan suasana hati euthymic. Diantaranya adalah pengaturan yang tepat
reseptor serotonergik postsinaptik 5-HT dan konsentrasi Bcl-2 intraseluler. Hal
ini terlihat darimekanisme obat antidepresan dengan mengantagonis reseptor
serotonergik postsinaptik 5-HT (misalnya mianserin, mirtazapine, nefazodone,
dan trazodone; sebagai lawan dari antidepresan klasik yang merangsang
transmisi noradrenergik/serotonergik melalui blokade reuptake neurotransmiter
ini ke terminal saraf presinaptik) mengerahkan setidaknya beberapa tindakan
terapi mereka dengan meningkatkan reseptor 5-HT (reseptor 5-HT menekan
fungsi reseptor 5-HT).
Semua reaksi tersebut di atas seharusnya berperan dalam menjaga
neuroplastisitas yang tepat.

Penelitian yang dilakukan tahun 1950-an menunjukkan bahwa pasien


depresi memiliki aktivitas yang berlebihan dari hipotalamus-pituitari-adrenal
(HPA Axis). Hypercortisolemia dirangsang oleh peningkatan ekspresi
corticotropin-releasing hormone (CRH) dan mengurangi inhibisi umpan balik
dari HPA axis. Salah satu teori menyebutkan bahwa depresi kronis, stres tak
henti-hentinya mengarah pada ketidakmampuan otak untuk mengurangi
aktivitas HPA axis.(the neuroscience)
Studi postmortem pasien depresi telah menunjukkan peningkatan neuron
dalam nukleus paraventrikular hipotalamus. Neuron Peningkatan diyakini
mendorong peningkatan aktivitas di sumbu HPA. Tidak jelas mengapa pasien
ini memiliki neuron yang lebih di hipotalamus. Ini bisa menjadi genetik atau
reaksi terhadap stres kronis. (the neuroscience)
VI.

TATALAKSANA
A. Psikofarmaka
Antidepresan dapat diklasifikasikan sesuai dengan mekanisme kerjanya,
khususnya:
1. Menghambat transporter yang bertanggung jawab mengambil monoamine
(misalnya menghambat reuptake noradrenalin dan/atau serotonin).
2. Blokade reseptor monoamine (pre- dan postsinaptik, atau keduanya).
Beberapa

di

antaranya

adalah

penghambatan

auto/heteroreseptor

presinaptik (misalnya 2-adrenergik), yang ketika diblokir, menyebabkan


neuron presynaptic untuk melepaskan lebih banyak neurotransmitter ke
celah sinaptik. Blokade postsinaptik berbagai reseptor memodulasi
aktivitas selular dan diduga bertanggung jawab atas efek antidepresif.

3. Penghambatan metabolisme mitochondrial monoamine oxidase (MAO)


yang bertanggung jawab atas degradasi sekitar 30% dari serotonin
sitoplasma, norepinefrin, dan dopamin. Dengan menghalangi MAO,
kelebihan neurotransmitter akan disimpan dan dilepaskan lagi pada saat
dibutuhkan.
B. Psikoterapi
C. ...
VII. KESIMPULAN

Vous aimerez peut-être aussi