Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sarkopenia adalah suatu sindrom geriatri yang progresif dan ditandai adanya
penurunan massa otot rangka dan kekuatan otot secara general sehingga berisiko
mengakibatkan disabilitas fisk, penurunan kulitas hidup dan kematian.1-3
Statistik menunjukkan prevalensi sarkopenia di Amerika dan Eropa sekitar 5%13% pada usia 60-70 tahun dan 11%-50% pada usia di atas 80 tahun, sedangkan
di Asia prevalensi sarkopenia 8%-22% pada perempuan dan 6%-23% pada lakilaki.2 Peningkatan prevalensi ini menunjukan bahwa sarkopenia adalah age
related syndrome yang berarti semakin usia bertambah, maka semakin besar pula
kemungkinan terjadinya sindrom sarkopenia. Perkiraan jumlah lanjut usia (lansia)
di Indonesia pada tahun 2020 adalah sekitar 28,8 juta jiwa atau sekitar 11,34%
total populasi dan ini adalah suatu peningkatan dibanding tahun 2010, yang
berkisar sekitar 19 juta jiwa dan itu berarti kemungkinan prevalensi sarkopenia di
Indonesia pun semakin tinggi.4
Penegakan diagnosis sarkopenia berdasarkan The European Working Group on
Sarkopenia in Older People ( EWGSOP ) dan Asian Working Group for
Sarkopenia (AWGS) adalah usia 60 ataun 65 tahun, minimal adanya penurunan
massa otot rangka yang disertai adanya penurunan kekuatan otot atau penurunan
performa fisik. Rasionalisasi penggunaan dua kriteria ini adalah kekuatan otot
tidak tergantung massa otot dan hubungan antara massa otot dengan kekuatan
otot itu sendiri masih belum jelas, sehingga apabila penegakan sarkopenia hanya
berdasarkan penurunan massa otot saja akan membatasi nilai klinisnya.1-3
Penurunan massa otot rangka pada usia lanjut adalah suatu hal yang fisiologis.
Manusia akan berkurang massa ototnya sejak lebih kurang usia 40 tahun.
Berkurangnya massa otot ini sekitar 8 % per dekade sampai usia 70 dan semakin
bertambah seiring usia menjadi sekitar 15% per dekade.5 Penurunan massa otot
terjadi karena jumlah dan diameter serabut otot yang berkurang dan peningkatan
jaringan non kontraktil otot yaitu lemak intramuskular dan jaringan pengikat
otot.6 Penurunan massa otot rangka memberikan dampak yang luas, misalnya
penurunan kemampuan fisik, penurunan kualitas hidup, penurunan fungsi
kardiopulmonal, penurunan fungsi metabolisme, peningkatan risiko jatuh,
disabilitas dan kematian.1, 2
Pengukuran massa otot dapat menggunakan beberapa cara, yaitu Computed
Tomography (CT), Magnetic Resonance Imaging (MRI) sebagai gold standard,
dan Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA), Bioimpedance Analysis (BIA),
total or partial body potassium fat free soft tisuue, dan pengukuran antropometri
tubuh sebagai alternatifnya.1, 2
BIA pada dasarnya suatu alat untuk mengukur lemak dan lean body mass.
Keuntungan BIA dibanding alat ukur lain adalah relatif murah, akurat, mudah
untuk digunakan, cepat, bebas radiasi dan dapat digunakan pada pasien tirah
7, 8
diteliti selama lebih dari 10 tahun dan terbukti memiliki korelasi yang baik dengan
hasil MRI.2
Penurunan massa otot dalam penegakan diagnosis sarkopenia membutuhkan
suatu cut-off point. EWGSOP dan AWGS merekomendasikan penurunan minimal
2 standard deviasi dari nilai referensi rata rata pada populasi muda sebagai
penurunan massa otot yang bermakna untuk diagnosis sarkopenia.2 Penentuan
cut-off point tiap daerah berbeda beda tergantung dari tehnik pengukuran yang
digunakan, etnis, rentang usia, jenis kelamin dan referensi yang digunakan.
Baumgartner et al. menggunakan DXA menentukan cut off point untuk laki laki
7,26 kg/m2 dan untuk wanita 5,45 kg/m2, sedangkan Janssen menggunakan BIA
menentukan cut off point sebesar 8,51 kg /m2 untuk laki laki dan 5,76 kg/m2
untuk wanita, Kim TN dalam penelitiannya menggunakan DXA, menentukan cut
off point sebesar 7,40 kg/m2 untuk laki laki dan 5,14 kg/m2 untuk wanita. 9-11 Saat
ini belum ada cut-off point yang dapat menjadi acuan untuk menegakan diagnosis
sarkopenia di Indonesia secara tepat sehingga penulis berkeinginan untuk
menentukan cut-off point dari massa otot sehingga penegakan diagnosis
sarkopenia dapat ditentukan.
Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas, dapat dirumuskan tema sentral
penelitian sebagai berikut :
minimal adanya penurunan massa otot yang disertai adanya penurunan kekuatan
otot dan atau penurunan performa fisik. Penentuan penurunan massa otot dapat
memakai beberapa cara. Salah satu cara yang relatif murah, mudah, dan terukur
serta sudah divalidasi adalah pengukuran menggunakan BIA. Penentuan massa
otot yang berkurang membutuhkan data massa otot rata rata populasi dewasa
muda di daerah yang bersangkutan, dengan acuan massa otot dianggap menunjang
diagnosis sarkopenia bila kurang dari minimal 2 standard deviasi massa otot rata
rata populasi dewasa muda. Saat ini di Indonesia belum ada cut-off point untuk
menentukan adanya suatu penurunan massa otot rangka dalam penegakan
diagnosis sarkopenia. Landasan ini membuat penulis tertarik untuk membuat
penelitian penegakan diagnosis sarkopenia terutama dalam hal penentuan nilai
rata rata massa otot populasi dewasa muda di Bandung untuk menentukan cut-off
point sehingga diagnosis tepat sarkopenia untuk wilayah Bandung dapat
ditentukan.
BAB II
myofilaments yaitu myosin dan actine. Setiap myofibril terdiri dari beberapa
sarcomere yang saling terhubung ujung dengan ujung pada z lines. Daerah gelap
A band adalah daerah dimana terdapat actine dan myosin secara bersamaan dan
saling overlap saat kontraksi. Zone H adalah daerah sentral dari A band, hanya
mengandung myosin dan muncul bila sarcomere dalam posisi resting state.
Setiap myosin terdiri dari sekitar 200 molekul myosin dan tersusun dalam interval
yang teratur. Setiap actine terdiri dari protein kontraktil actine dan protein
pengatur tropomyosin dan troponin. Protein actine memiliki tempat untuk
melekatnya kepala myosin untuk kontraksi. Tempat menempelnya kepala myosin
pada actine disebut crossbridge.
2.1.1 Sarkopenia
Sarkopenia adalah suatu sindrom geriatri yang progresif dan ditandai adanya
kehilangan massa otot rangka dan kekuatan otot secara general sehingga berisiko
mengakibatkan disabilitas fisik, penurunan kualitas hidup dan kematian.2, 3
Otot rangka terdiri dari dua tipe. Tipe II memiliki potensi glikolisis yang
lebibih cepat dibandingkan tipe I. Tipe I memiliki karakteristik fatique resistant
karena memiliki jumlah mitokondria, pembuluh kapiler, dan kadar myoglobin
yang tinggi. Seluruh otot rangka memiliki dua tipe otot kecuali otot postural yang
hanya terdiri dari tipe I. Pertambahan usia akan mengakibatkan penurunan jumlah
serabut otot tipe I dan terutama tipe II.3, 13
Ada beberapa teori yang muncul untuk menjelaskan sarkopenia, yaitu proses
neurodegeneratif, berkurangnya produksi atau sensitifitas hormon anabolik,
disregulari sitokin dan modifikasi kondisi inflamasi.
1. Efek penuaan terhadap sistem saraf.
Sistem saraf manusia berubah secara progresif seiring dengan pertambahan
usia.14 Perubahan itu terjadi di tingkat cortex, medula spinalis, saraf perifer
maupun di neuromuscular junction. Pada medula spinalis terjadi penurunan
jumlah saraf motorik alpha, dan serabut saraf yang mempersarafi otot rangka
tipe II, sedangkan pada saraf perifer terjadi penurunan jumlah serabut saraf dan
perubahan pada selubung mielin. Neuromuscular junction berkurang jumlahnya
namun meningkat ukurannya pada daerah terminal, dan terjadi penurunan jumlah
vesikel.3, 15, 16 Seluruh penemuan ini bersama sama dengan perubahan morfologi
otot rangka merupakan suatu proses neuropatik yang merupakan faktor penting
dalam penurunan jumlah serabut otot dan massa otot.17
2. Efek penuaan terhadap hormon.
Keseimbangan antara sintesis dan degadasi dibutuhkan untuk mempertahankan
massa otot rangka. Seiring waktu, terjadi ketidakseimbangan antara sintesis dan
degradasi hormon yang mengakibatkan penurunan massa otot, terutama hormon
growth hormone (GH)/insulinlike growth factor-I (IGF-1), cortisosteroids,
androgens, estrogens, dan insulin.18 Penurunan hormon GH/IGH-1 mengakibatkan
perubahan pada komposisi tubuh misalnya terjadi peningkatan massa lemak
viseral, penurunan lean body dan penurunan densitas mineral tulang, dan ini
terjadi pula pada peningkatan hormon kortisol akibat penuaan. Penurunan hormon
testoteron akan mengakibatkan pengurangan massa otot dan kekuatan tulang
sehingga kemungkinan patah tulang meningkat. Hal lain akibat pertambahan usia
adalah menurunnya sensitivitas terhadap insulin sehingga proses anabolisme
insulin tidak terjadi.
3. Efek penuaan terhadap faktor inflamasi.
Penuaan mengakibatkan peningkatan kadar tumor necrosis factor-alpha (TNF), interleukin (IL)-6, IL-1, dan C-reactive protein (CRP). Jaringan adiposa adalah
suatu organ endokrin yang aktif mensekresi hormon dan sitokin yang berperan
dalam meningkatkan sistem inflamasi tubuh. Inflamasi tubuh ini akan mengurangi
kekuatan otot. Semakin tinggi lemak tubuh misalnya pada obesitas,maka semakin
tinggi kadar faktor inflamasi yang berakibat menurunnya kekuatan otot.
BAB III
BAHAN, SUBYEK DAN METODE PENELITIAN
3.1.1. Populasi
Populasi target pada penelitian ini adalah data massa otot rangka dewasa
muda berbasis populasi di Bandung periode Februari 2015 Maret 2015 yang
diukur oleh alat BIA tipe.
3.1.1.1 Kriteria Sampel
Adapun kriteria penerimaan, kriteria penolakan dan kriteria pengeluaran
kasus adalah sebagai berikut :
3.1.1.1 Kriteria Penerimaan
1. Dewasa muda usia 20-40 tahun.
2. Sehat berdasarkan laporan pribadi.
Variabel bebas
Variabel terikat
data
dilakukan
3.2.6
3.2.9
Alur Penelitian
P
B
p
c
o p u la s i k o t a
a n d u n g s e t e la h
r o s e s m u lt is t a g e
lu s t e r
Daftar Pustaka
1.
J. Alfonso C-J. Sarcopenia: European consensus on definition and
diagnosis. Madrid: European Working Group on Sarcopenia in Older
People2010 13 April.
2.
Liang-khung C. Sarcopenia in Asia: Consensus Report of the
Asian Working Group for Sarcopenia JAMDA. [Review]. 2014;15:95-101.
3.
Tae Nyun Kim KMC. Sarcopenia: Definition, Epidemiology, and
Pathophysiology. JBM. [Review]. 2013;2013(20):1-10.
4.
Isnutomo MD. IDENTIFIKASI PERMINTAAN KELOMPOK USIA
LANJUT TERHADAP KEGIATAN REKREASI DI KOTA BANDUNG. Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota. 2012;23:119-38.
5.
Stenholm S HT, Rantanen T, et al. Sarcopenic obesity: definition,
cause and consequences. . Curr Opin Clin Nutr Metab Care
2008;11:693-700.
6.
Le Page C, Riou, B. and Besse, S. Vieillissement du muscle
squelettique : Effet de lexercice physique. Age & Nutrition,.
2002;13:162-77.
7.
Yamada Y. Comparison of single- or multifrequency bioelectrical impedance
analysis and spectroscopy for assessment of appendicular skeletal muscle in the elderly. J
Appl Physiol. 2013;115:812-8.
8.
MY C. Prevalence of sarcopenia estimated using a bioelectrical impedance
analysis prediction equation in community-dwelling elderly people in Taiwan. J Am
Geriatr Soc. 2008;56:1710-5.
9.
Baumgartner RN KK, Gallagher D, et al. Epidemiology of
sarcopenia among the elderly in New Mexico. Am J Epidemiol.
1998;147:755-63.
10.
Janssen I BR, Ross R, et al. Skeletal muscle cutpoints associated
with elevated physical disability risk in older men and women. Am J
Epidemiol 2004;159:413-21.
11.
Kim TN YS, Yoo HJ, et al. Prevalence of sarcopenia and sarcopenic
obesity in Korean adults: the Korean sarcopenic obesity study. Int J
Obes (Lond. 2009;33:885-92.
12.
David P. Swain P, FACSM, ACSM-CES, , ACSM-PD. ACSMS
Resource Manual for Guidelines for Exercise Testing and Prescription.
Philadelphia, PA 19103: Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p. 17-31.
13.
Evans WJ CW. Sarcopenia and age-related changes in body
composition and functional capacity. J Nutr. 1993;123:465-8.
14.
Malafarina V U-OF, Iniesta R, et al. Sarcopenia in the elderly:
diagnosis, physiopathology and treatment. Maturitas. 2012;71:109-14.
15.
Lang T ST, Cawthon P, et al. Sarcopenia: etiology, clinical
consequences, intervention, and assessment. Osteoporos Int.
2010;21:543-9.
16.
Ramrez V UB. Anatomy of dendrites in motoneurons supplying
the intrinsic muscles of the foot sole in the aged cat: evidence for
dendritic growth and neo-synaptogenesis. J Comp Neurol. 1992;316:116.
17.
Doherty TJ VA, Taylor AW, et al. . Effects of motor unit losses on
strength in older men and women. J Appl Physiol. 1993;74:868-74.
18.
Y. B. Physiopathological mechanism of sarcopenia. . J Nutr Health
Aging. 2009;13:717-23.