Vous êtes sur la page 1sur 24

Makalah Farmasi

ANGINA PEKTORIS

oleh :
DESSY PUTERI HARIYANTI
G99141086

KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah pengendapan plak aterosklerosis di
dalam pembuluh darah koroner. Prevalensinya mencapai 213 kasus dari tiap 100.
000 orang berusia di atas 30 tahun (Vasiliki et al., 2010). Pengendapan plak
tersebut menyebabkan penyempitan hingga oklusi total dari pembuluh darah
koroner dan memperlihatkan spektrum klinis yang luas, dari angina atau nyeri
dada sampai serangan jantung (infark miokard akut).
Angina pektoris merupakan sindrom klinis yang sering terjadi berupa
nyeri dada karena iskemia pada miokardium. Angina terjadi akibat suplai oksigen
jantung tidak mencukupi kebutuhan metabolik, baik karena meningkatnya
kebutuhan atau menurunnya suplai oksigen (Antmant et al., 2008). Prevalensi
angina pektoris meningkat sesuai umur, baik pada pria maupun wanita.
Diperkirakan 2-4% dari populasi dewasa di Eropa mengalami angina pektoris.
Angka ini akan terus meningkat karena angka harapan hidup terus meningkat
(Vasiliki et al., 2010). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan bahwa penyakit jantung koroner menjadi penyebab kematian yang
cukup besar di Indonesia, yaitu 5,1% dari seluruh kematian pada semua golongan
usia. Presentase tersebut meningkat menjadi 8,7% pada rentang usia 45-54 tahun
(Depkes RI, 2007)
Terapi penyakit jantung koroner adalah mengatasi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi, menyesuaikan aktivitas pasien, dan memberikan terapi farmakologis
atau terapi bedah yang bertujuan mengembalikan aliran darah. Penyesuaian
aktivitas dilakukan berdasarkan hasil exercise test. Terapi farmakologis dapat
dilakukan dengan memberikan obat-obatan seperti nitrat, -Blocker, dan antagonis
kalsium. Sementara itu terapi bedah berupa bypass arteri koroner atau
percutaneous cardiovascular intervention (PCI). Terapi pembedahan merupakan
terapi definitif untuk penyakit jantung koroner dengan keterbatasan lokasi
anatomis yang sulit dari pembuluh darah teroklusi sehingga kadang tidak dapat
diterapkan (Arora et al., 1999)
Permasalahannya adalah terdapat 25.000-75.000 kasus angina yang
refrakter terhadap terapi medis maksimal dan prosedur revaskularisasi koroner

standar tiap tahunnya. Sebanyak 15% pasien tidak merespons terapi secara baik
atau memiliki kontraindikasi terhadap intervensi selanjutnya,sehingga mengalami
angina pektoris yang refrakter. Kegiatan sehari-hari seperti menaiki tangga,
mengajak anjing berjalan-jalan, atau berkebun menjadi sulit dilakukan pasien
tersebut (Arora et al., 1999)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Angina pectoris ialah suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri dada
yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa berat di dada yang sering
menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada tersebut biasanya timbul pada saat
melakukan aktivitas dan segera hilang bila aktivitas dihentikan.
Merupakan kompleks gejala tanpa kelainan morfologik permanen
miokardium yang disebabkan oleh insufisiensi relatif yang sementara di

pembuluh darah koroner. (Djohan, 2004). Angina pektoris memiliki


karakteristik:
1. Lokasi
Lokasinya di dada, substernal atau sedikit ke kiri, dengan
penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri sampai dengan lengan dan jarijari bagian ulnar, punggung, serta pundak kiri.
2. Kualitas
Kualitas nyeri merupakan nyeri tumpul, seperti rasa tertindih
atau berat di dada. Rasa nyeri dapat berupa rasa desakan yang kuat dari
dalam atau dari bawah diafragma, seperti diremas-remas atau dada
mau pecah. Pada keadaan yang berat, nyeri dada disertai keringat
dingin dan sesak napas. Nyeri berhubungan dengan aktivitas dan
hilang dengan istirahat. Rasa nyeri tidak berhubungan dengan gerakan
pernapasan atau perubahan posisi dada. Stres fisik atau emosional juga
dapat menjadi pemicu nyeri.
3. Kuantitas
Nyeri yang pertama kali timbul biasanya berlangsung selama
beberapa menit sampai kurang dari 20 menit. Bila lebih dari 20 menit
dan berat maka harus dipertimbangkan sebagai angina tak stabil
(unstable angina pectoris =UAP). Nyeri pada angina stabil dapat
dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual dalam hitungan detik
sampai beberapa menit. Nyeri juga tidak dirasakan terus menerus, tapi
hilang timbul. Intensitas nyeri dapat semakin bertambah, berkurang,
atau terkontrol (Rahman, 2009)
B. Etiologi
Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut
yang tidak menetap akibat ketidak seimbangan antara kebutuhan dan
suplai O2 miokard (Trisnohadi, 2009). Beberapa keadaan yang dapat
merupakan penyebab baik tersendiri ataupun bersama-sama yaitu :
1. Faktor di luar jantung
Pada penderita stenosis arteri koroner berat dengan cadangan
aliran koroner yang terbatas maka hipertensi sistemik, takiaritmia,
tirotoksikosis dan pemakaian obat-obatan simpatomimetik dapat

meningkatkan

kebutuhan

O2

miokard

sehingga

mengganggu

keseimbangan antara kebutuhan dan suplai O2. Penyakit paru menahun


dan penyakit sistemik seperti anemi dapat menyebabkan tahikardi dan
menurunnya suplai O2 ke miokard.
2. Sklerotik arteri koroner
Sebagian besar penderita angina tidak stabil mempunyai
gangguan cadangan aliran koroner yang menetap yang disebabkan oleh
plak sklerotik yang lama dengan atau tanpa disertai trombosis baru
yang dapat memperberat penyempitan pembuluh darah koroner.
Sedangkan sebagian lagi disertai dengan gangguan cadangan aliran
darah koroner ringan atau normal yang disebabkan oleh gangguan
aliran koroner sementara akibat sumbatan maupun spasme pembuluh
darah.
3. Agregasi trombosit
Stenosis arteri koroner akan menimbulkan turbulensi dan stasis
aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan agregasi trombosit
yang

akhirnya

membentuk

trombus

dan

keadaan

ini

akan

mempermudah terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah.


4. Trombosis arteri koroner
Trombus akan mudah terbentuk pada pembuluh darah yang
sklerotik sehingga penyempitan bertambah dan kadang-kadang terlepas
menjadi mikroemboli dan menyumbat pembuluh darah yang lebih
distal. Trombosis akut ini diduga berperan dalam terjadinya ATS.
5. Pendarahan plak ateroma
Robeknya plak ateroma ke dalam lumen pembuluh darah
kemungkinan mendahului dan menyebabkan terbentuknya trombus
yang menyebabkan penyempitan arteri koroner.
6. Spasme arteri koroner
Peningkatan kebutuhan O2 miokard dan berkurangnya aliran
koroner karena spasme pembuluh darah disebutkan sebagai penyeban
ATS. Spame dapat terjadi pada arteri koroner normal atupun pada
stenosis pembuluh darah koroner. Spasme yang berulang dapat
menyebabkan kerusakan artikel, pendarahan plak ateroma, agregasi
trombosit dan trombus pembuluh darah (Trisnohadi, 2009).

Beberapa faktor risiko yang ada hubungannya dengan proses


aterosklerosis antara lain adalah :
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah : umur, jenis kelamin dan
riwayat penyakit dalam keluarga.
2. Faktor risiko yang dapat diubah : merokok, hiperlipidemi, hipertensi,
obesitas dan DM (Trisnohadi, 2009).
C. Patofisiologi
Mekanisme

timbulnya

angina

pektoris

didasarkan

pada

ketidakadekuatan suplai oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan


karena

kekauan

arteri

dan penyempitan

lumen

arteri

koroner

(ateriosklerosis koroner). Tidak diketahui secara pasti apa penyebab


ateriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktor tunggal yang
bertanggungjawab atas perkembangan ateriosklerosis.
Ateriosklerosis merupakan penyakit arteri koroner yang paling
sering ditemukan. Sewaktu beban kerja suatu jaringan meningkat, maka kebutuhan
oksigen juga meningkat. Apabila kebutuhan meningkat pada jantung yang sehat maka
arteri koroner berdilatasi dan megalirkan lebih banyak darah dan oksigen
keotot jantung. Namun apabila arteri koroner mengalami kekauan atau
menyempit akibat ateriosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai
respon terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi
iskemik (kekurangan suplaidarah) miokardium.
Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi
NO (nitratOksid) yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang
reaktif. Dengan tidak adanya fungsi ini dapat menyebabkan otot polos
berkontraksi dan timbul spasmus koroner yang memperberat penyempitan lumen
karena suplai oksigen ke miokard berkurang. Penyempitan atau blok ini belum
menimbulkan gejala yang begitu nampak bila belum mencapai 75 %. Bila
penyempitan lebih dari 75 % serta dipicudengan aktifitas berlebihan maka
suplai darah ke koroner akan berkurang.
Sel-sel miokardium menggunakan glikogen anaerob untuk memenuhi
kebutuhan energi mereka. Metabolisme ini menghasilkan asam laktat yang

menurunkan pH miokardium dan menimbulkan nyeri. Apabila kebutuhan


energi sel-sel jantung berkurang, maka suplai oksigen menjadi adekuat dan
sel-sel otot kembali fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses
ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan hilangnya penimbunan asam
laktat, maka nyeri angina pektoris mereda. Dengan demikian, angina
pektoris merupakan suatu keadaan yang berlangsung singkat (Corwin E. J.,
2001).
D. Jenis Angina Pektoris
Secara klinis, dikenal 3 jenis angina pektoris:
1. Angina pektoris stabil
Nyeri dada pada pasien dengan angina pektoris stabil
berlangsung kurang dari 15 menit. Angina pektoris stabil hilang
dengan istirahat atau penghentian stimulus. Gejala angina dicetuskan
oleh suatu kegiatan atau faktor-faktor pencetus tertentu. Faktor
pencetus angina adalah iskemia miokard akibat gangguan suplai darah
miokard. Gangguan suplai darah miokard ini terjadi karena stenosis
yang bermakna (50%) dari arteri koroner epikard. Dalam 30 hari
terakhir tidak ada perubahan dalam hal frekuensi, lama, dan faktorfaktor pencetusnya. Nyeri dada pada angina pektoris stabil bersifat
reversibel dan tidak progresif. Pada angina pektoris stabil, nyeri dada
yang kuantitas atau intensitasnya agak berat akan menurun baik
dengan atau tanpa pengobatan lalu menetap. Gejala nyeri dada dapat
pula berkurang hingga asimtomatik, baik dengan EKG istirahat
menunjukkan iskemia (silent ikhemia) maupun normal (Hanafiah,
2003; Rahman, 2009)
2. Angina pektoris tak stabil
Nyeri dada pada angina pektoris tak stabil mengalami
peningkatan baik dari frekuensi, intensitas keparahan maupun lamanya
serangan. Gejala angina hanya hilang sebagian dengan nitrat
sublingual. Riwayat penyakit biasanya akut dan prognosis buruk.
Angina jenis ini dapat berkembang menjadi infark miokard akut atau

kematian mendadak. Kriteria pasien yang mengalami angina pektoris


tak stabil:
a. Pasien dengan angina yang baru terjadi dalam 2 bulan. Angina
memiliki intensitas yang cukup berat dan frekuensi cukup sering,
yaitu lebih dari 3 kali per hari.
b. Pasien dengan angina yang bertambah berat, baik intensitas maupun
frekuensinya. Sementara itu faktor presipitasi semakin ringan.
c. Pasien dengan serangan angina waktu istirahat (Trisnohadi, 2009).
3. Angina varian Prinzmetal
Angina varian adalah gejala angina yang terjadi saat istirahat
dengan hasil EKG menunjukkan elevasi segmen S-T. Hal ini
menandakan adanya iskemia intramural (Gray et al., 2005; Hanafiah,
2003).
Angina varian Prinzmetal kemungkinan disebakan karena tonus
arteri koroner yang bertambah. Namun, keadaan ini dapat hilang
dengan cepat melalui pemberian nitrogliserin dan diprovokasi oleh
asetilkolin. Angina varian dapat terjadi pada arteri koroner yang
strukturnya normal, penyakit arteri koroner campuran yang menetap,
atau stenosis oklusif koroner berat (Gray et al., 2005; Hanafiah, 2003).
E. Diagnosis
Diagnosis seringkali berdasarkan keluhan nyeri dada yang
mempunyai ciri khas sebagai berikut :
1. Letak
Sering pasien merasakan nyeri dada di daerah sternum atau di
bawahsternum (substernal), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang
menjalar kelengan kiri, dapat menjalar ke punggung, rahang, leher,
atau ke lengan kanan. Nyeri dada juga dapat timbul di tempat lain
seperti di daerah epigastrium, leher,rahang, gigi, bahu.
2. Kualitas
Pada angina, nyeri dada biasanya seperti tertekan benda berat, atau
sepertidi peras atau terasa panas, kadang-kadang hanya mengeluh

perasaan tidak enak didada karena pasien tidak dapat menjelaskan dengan baik,
lebih-lebih jika pendidikan pasien kurang.
3. Hubungan dengan aktivitas
Nyeri dada pada angina pektoris biasanya timbul pada saat
melakukanaktivitas, misalnya sedang berjalan cepat, tergesa-gesa,
atau sedang berjalanmendaki atau naik tangga. Pada kasus yang berat
aktivitas ringan seperti mandiatau menggosok gigi, makan terlalu
kenyang, emosi, sudah dapat menimbulkannyeri dada. Nyeri dada
tersebut segera hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya.
Serangan angina dapat timbul pada waktu istirahat atau pada
waktutidur malam.
4. Lamanya serangan
Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit, kadangkadang perasaan tidak enak di dada masih terasa setelah nyeri hilang.
Bila nyeri dada berlangsung lebih dari 20 menit, mungkin pasien
mendapat serangan infark miokard akut dan bukan angina pektoris
biasa. Pada angina pektoris dapat timbulkeluhan lain seperti sesak
napas, perasaan lelah, kadang-kadang nyeri dada disertai keringat
dingin (Hanafiah, 2003).
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiogram (EKG)
Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan angina
seringmasih normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa
pasien pernahmendapat infark miokard di masa lampau. Kadangkadang menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi
dan angina; dapat pulamenunjukkan perubahan segmen ST dan
gelombang T yang tidak khas. Pada saatserangan angina, EKG akan
menunjukkan depresi segmen ST dan gelombang T dapat menjadi
negatif.
2. Foto rontgen dada

Foto rontgen dada seringmenunjukkan bentuk jantung yang normal;


pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadangkadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta.
3. Pemeriksaan laboratorium
Untuk menyingkirkan diagnosis infark jantung akut sering dilakukan
pemeriksaan enzim CPK, SGOT atau LDH. Enzim tersebut
akanmeningkat kadarnya pada infark jantung akut sedangkan pada
angina kadarnya masih normal. Pemeriksaan lipid darah seperti
kolesterol, HDL, LDL, trigliserida dan pemeriksaan gula darah perlu
dilakukan untuk mencari faktor risiko seperti hiperlipidemia dan/atau
diabetes melitus (Hanafiah,2003).
G. Diagnosis banding
Diagnosis banding angina pektoris:
1. pleuritis
2. emboli paru
3. penyakit tulang belakang servikal
4. penyakit gastrointestinal (Gray et al., 2005).
H. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan angina pektoris adalah : 1. mencegah terjadinya
serangan jantung (infark) dan kematian 2. Mengontrol serangan angina
sehingga memperbaiki kualitas hidup.
Terapi angina pektoris terdiri dari terapi farmakologis dan non
farmakologis.
1. Farmakologis
Obat bekerja mencapai

sasarannya

dengan cara : a.

menurunkan kebutuhan oksigen miokard b. meningkatkan aliran darah


miokard dengan dilatasi arteri koroner c. kombinasi antara penurunan
kebutuhan miokard dan peningkatan aliran darah koroner (Rahman,
2009).
a. Angina pektoris stabil
1) Aspirin
2) Penghambat adrenoreseptor beta (-blocker)
3) Angiotensin converting enzyme inhibitor, terutama bila
disertai hipertensi atau disfungsi ventrikel kiri

4) Nitrogliserin semprot atau sublingual untuk mengontrol


angina
5) Obat-obatan penurun LDL pada pasien-pasien dengan
LDL>130 mg/dl (target <100 mg/dl) yaitu statin, asam
nikotinat dan fibrat. Obat ini digunakan pada pasien dengan
peninggian trigliserid dan penurunan HDL (Rahman, 2009).
Obat tambahan:
1) Antagonis kalsium atau nitrat jangka panjang dan
kombinasinya

untuk

tambahan

-blocker

apabila

ada

kontraindikasi, efek samping yang tidak dapat ditoleransi,


pengobatan gagal
2) Klopidogrel untuk pengganti aspirin yang terkontraindikasi
mutlak
3) Penghambat kanal Ca++ nondihidropiridin long acting sebagai
pengganti -blocker untuk terapi permulaan (Rahman, 2009).
b. Angina pektoris tak stabil
1) Obat anti iskemia: nitrat, -blocker, antagonis kalsium
2) Obat antiagregasi trombosit: aspirin, tiklopidin, klopidogrel,
inhibitor glikoprotein IIb/ IIIa
3) Obat antitrombin: unfractioned heparin, low molecular weight
heparin (LMWH), direct thrombin inhibitors.
4) Morfin atau petidin pada pasien yang masih merasakan nyeri
dada (Trisnohadi, 2009).
2. Non Farmakologis
a. Perubahan gaya hidup:
1) Berhenti merokok
2) Penyesuaian diet, yaitu dengan diet rendah kolesterol
3) Penurunan berat badan untuk mencapai berat badan ideal
4) Olahraga teratur
5) Menanggulangi stres (Rahman, 2009).
b. Saat serangan angina:
1) Istirahat total / bed rest
2) Pemberian O2 (Rahman, 2009).
3. Terapi pembedahan:
a. Angina pektoris stabil
Reperfusi miokardium dapat dilakukan dengan balon,
pemakaian stent, dan operasi coronary artery bypass graft
(CABG). Keadaan yang memerlukan reperfusi miokardium pada
angina pektoris stabil:

1)

CABG pada : a). stenosis mitral kiri; b). lesi 3 pembuluh


terutama bila ada disfungsi ventrikel kiri; c). lesi 2 pembuluh
dengan penyakit arteri desenden anterior kiri bagian
proksimal, disfungsi ventrikel kiri, dan terdapat iskemia
pada tes non invasif; d). lesi 1-2 pembuluh tanpa penyakit
arteri desenden anterior kiri bagian proksimal, dan pasien

2)

pulih dari aritmia ventrikel yang berat/ cardiac arrest.


Percutaneous cornary intervention (PCI) pada pasien
dengan lesi 2 pembuluh dan penyakit arteri desenden
anterior kiri bagian proksimal, fungsi ventrikel kiri normal

3)

dan tidak diobati untuk DM.


PCI atau CABG pada: A. pasien dengan lesi 1 atau 2
pembuluh tanpa penyakit arteri desenden anterior kiri, tetapi
terdapat viable miokardium cukup luas atau pada tes non
invasif termasuk risiko tinggi; B. pasien yang sebelumnya
sudah reperfusi PCI tetapi mengalami restenosis, sedangkan
terdapat viable miokardium cukup luas atau pada tes non
invasif termasuk risiko tinggi; C. pasien yang tidak berhasil
baik dengan terapi konservatif, sedangkan reperfusi dapat

4)

dikerjakan dengan risiko cukup baik.


Reperfusi transmiokardial secara

operatif

dengan

menggunakan laser (Rahman, 2009).


b. Angina pektoris tak stabil
Pasien angina tak stabil yang memerlukan tindakan
revaskularisasi adalah adalah pasien dengan risiko tinggi. Pasien
yang termasuk risiko tinggi yaitu: 1. pasien dengan angina pada
waktu istirahat; 2. angina berlangsung lama atau pasca infark; 3.
sebelumnya sudah mendapatkan pengobatan intensif; 4. lanjut
usia; 5. didapatkan perubahan segmen ST yang baru; 6. didapatkan
kenaikan troponin; 7. ada keadaan hemodinamik tak stabil.
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada
pasien dengan iskemia berat dan refrakter dengan terapi
medikamentosa.

CABG

dilakukan

pada

pasien

dengan

penyempitan pada 3 pembuluh darah utama. Pembedahan PCI


dilakukan pada pasien dengan faal jantung yang masih baik
dengan penyempitan 1-2 pembuluh darah (Trisnohadi, 2009).
4. Terapi tambahan pada pasien angina pektoris stabil atau penyakit
jantung koroner asimtomatik:
a. Pemberian hormon pengganti pada pasien posmenopos
b. Penurunan berat badan pada obesitas, sekalipun tidak ada
hipertensi, DM dan hiperlipidemia
c. Terapi asam folat pada pasien dengan peninggian homosistein
d. Suplemen vitamin C dan E
e. Identifikasi adanya depresi dan pengobatnnya yang adekuat
(Rahman, 2009).
I. Evaluasi pengobatan
1. Pemeriksaan laboratorium terutama ditujukkan untuk menilai faktor
risiko, seperti gula darah, glikosilat Hb pada DM, profil lipid, fungsi
ginjal, dll. Profil lipid mula-mula diperiksa setiap 4-8 minggu, lalu 4-6
bulan.
2. Pemeriksaan foto toraks bila terdapat tanda gagal jantung kongestif
yang baru atau perburukkannya.
3. Pemeriksaan ekokardiografi atau radionuklir pada pasien gagal jantung
kongestif atau dengan timbulnya tanda infark jantung. Pemeriksaan
dilakukan untuk menilai kembali fungsi sistolik atau segental ventrikel
kiri.
4. Pemeriksaan ekokardiografi pada pasien dengan tanda kelainan katup
yang baru atau perburukkannya (Rahman, 2009).

BAB III
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama

: Tn. B

Umur

: 65 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Swasta

Alamat

: Karanganyar

No. CM

: 01254365

Tanggal Masuk

: 30 Juli 2014

Tanggal Pemeriksaan

: 30 Juli 2014

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :

Nyeri dada

2. Keluhan Penyerta :

Sesak napas

3. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan nyeri dada. Nyeri dada dirasakan
sejak setengah jam sebelum masuk rumah sakit dan tidak hilang
dengan istirahat. Nyeri dada dirasakan seperti tertekan benda berat,
menjalar ke lengan kiri, leher dan punggung. Selain itu pasien juga
merasakan sesak napas yang muncul bersamaan dengan nyeri dada.

Nyeri dada dan sesak nafas dirasakan saat pasien sedang mencangkul
di sawahnya.
Pasien memiliki riwayat merokok satu bungkus per hari sejak
usia 18 tahun. Keluhan berdebar-debar (+), keringat dingin (+), pusing
(-), mual (+). Buang air kecil dan air besar masih normal.
4. Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat sakit serupa

disangkal

b. Riwayat hipertensi

disangkal

c. Riwayat diabetes melitus

disangkal

d. Riwayat alergi obat dan makanan :

disangkal

e. Riwayat mondok

disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga :


a. Riwayat sakit serupa

disangkal

b. Riwayat hipertensi

disangkal

c. Riwayat diabetes melitus

disangkal

d. Riwayat penyakit jantung

disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
1
2

Keadaan Umum

: Tampak lemah, kesadaran compos mentis

Tanda Vital

(GCS= E4M6V5), gizi cukup


: Tensi
: 140/100 mmHg
Nadi

: 120 kali/ menit

Frekuensi Respirasi : 26 kali/menit


3

Kepala

Suhu
: 36,1 0C
: Bentuk kepala normal , konjungtiva anemis tidak

Leher

didapatkan, sklera tidak ikterik, reflek cahaya positif


: Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada
peningkatan tekanan vena jugularis

Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: Iktus kordis tidak tampak, pulsasi tidak tampak


: Iktus kordis tidak kuat angkat
: batas atas jantung SIC III linea parasternalis sinistra,

batas bawah jantung SIC V linea midclavicularis sinistra


: BJ I-II intensitas normal, regular, tunggal, kesan

Auskultasi

Takikardi
6

Pulmo :
Inspeksi

: Pengembangan dada simetris kanan dan kiri

Palpasi

Sama
: Fremitus raba kanan dan kiri sama

Perkusi

: Sonor/ sonor

Auskultasi

: Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan


(-/-)

Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi

: Distended (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-)


: Bising usus (+) normal
: Timpani di seluruh lapang abdomen, pekak alih (-), pekak
sisi (-), undulasi (-)
: Supel, hepar lien tak teraba
: Tidak terdapat oedema, akral dingin (+)

Palpasi
8. Ekstremitas

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil EKG

: HR: 135x/menit Supraventrikel takikardi, ischemik

inferior, clockwise rotation.


2. Hasil pemeriksaan laboratorium : Kolesterol 152,10 mg/dl; Glukosa
59,15 mg/dl; HDL 44,45 mg/dl; LDL 96,68 mg/dl; Trigliserid 54,87
mg/dl; Asam urat 7,27 mg/dl. Elektrolit: Na 130, K 3,5, Cl 97.
E. DIAGNOSA
1. Supraventrikel takikardi
2. Hipertensi stage I
3. Ischemic heart disease
F. PENGOBATAN
Perawatan dan monitor di ruang intensit pada 24 jam pertama kedatangan
1. Non Medikamentosa

a. Istirahat total/ bed rest


b. Pemberian O2 5 liter per menit
2. Medikamentosa
R/ Dextrose 5% Infus flb No.III
Cum Transfusi set No.I
IV catheter no. 22 No.I
Three way No.I
imm
R/ Isosorbid dinitrat inj amp No.I
Cum disposable syringe cc 3 No.I
imm
R/ Propranolol tab mg 10 No.VI
3 dd tab 2
R/ Unfractioned heparin 4000 IU
Cum disposable syringe cc 3 No.I
imm
R/ Aspilet tab kunyah mg 80 No. I
1 dd tab kunyah 2 manduco
R/ Clopidogrel tab mg 75 No. IV
4 dd tab 1
Pro: Tn. S.S.D. (60 tahun)

BAB IV

PEMBAHASAN OBAT
A. Nitrat Organik
Nitrat organik menurunkan kebutuhan dan meningkatkan suplai
oksigen dengan cara mempengaruhi tonus vaskular. Nitrat organik
menimbulkan vasodilatasi semua sistem vaskular. Vasodilatasi pembuluh
vena menyebabkan terjadinya pengumpulan darah pada vena perifer serta
splanknikus. Hal ini mengakibatkan berkurangnya aliran balik darah ke
dalam jantung, sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan
(preload) menurun. Nitrat organik juga menimbulkan dilatasi arteriol
perifer sehingga tekanan darah sistolik dan diastolik yang berpengaruh
terhadap afterload juga menurun. Penurunan preload dan afterload
mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen (Suyatna, 2009; Tjay dan
Rahardja, 2005).
Peningkatan suplai oksigen ke jantung terjadi karena nitrat organik
memperbaiki aliran darah miokard ke daerah iskemik dan mengurangi
beban preload sehingga perfusi subendokard membaik. Nitrat organik
meningkatkan suplai oksigen ke jantung dengan memperbaiki sirkulasi
koroner. Hal ini terjadi melalui redistribusi aliran darah pada daerah
iskemik akibat dilatasi pembuluh darah koroner besar di epikardial dan
perbaikan aliran darah kolateral (Suryatna, 2009).
1. Isosorbid-dinitrat: isordil, sorbidin, cedocard.
Derivat nitrat siklis ini sebagaimana juga nitrat lainya berkhasiat
relaksasi otot pembuluh, bronchia, saluran empedu, lambung-usus, dan
kemih, tetapi bersifat long-acting. Di dinding pembuluh zat ini di ubah
menjadi nitrogenoksida (NO) yang mengaktivasi enzim guanilsiklase dan
menyebabkan peningkatan kadar cGMP (cyclo-guanilmonophospate) di
sel otot polos dan menimbulkan vasodilatasi. Akibatnya, Tekanan darah
turun dengan pesat dan aliran darah vena yang kembali ke jantung
(preload) berkurang. Penggunaan oksigen jantung menurun dan bebannya
dikurangi. Arteri koroner juga di perlebar, tetapi tanpa efek langsung
terhadap miokard (Tjay dan Rahardja, 2005).
Secara sublingual kerjanya dalam 3 menit dan bertahan sampai 2
jam, secara spray masing-masing 1 menit dan 1 jam, sedangkan oral

masing-masing 20 menit dan 4 jam. Resorpsinya juga baik, tetapi karena


first pass effect besar, bioavaibilitas nya hanya kurang lebih 29%. Protein
plasma kurang lebih 30%, waktu paruh 30-60 menit. Di dalam hati zat ini
di rombak pesat menjadi 2 metabolit aktif : isorbida-5-monoinitrat dan
isorbida -2-minonitrat dalam perbandingan kurang lebih 4:1 dan waktu
paruh masing-masing lebih kurang 5,2 dan 2 jam (Tjay dan Rahardja,
2005).
a. Dosis
Pada serangan akut atau profilaksis, tablet sublingual 5 mg, bila
perlu di ulang sesudah beberapa menit. Interval: 3 tablet perhari 20 mg
atau tablet /kapsul retard maksimal 1-2 tablet perhari 80 mg. Spray
1,25-3,75 mg (1-3 semprotan) (Tjay dan Rahardja, 2005).
b. Indikasi
Pada pasien penderita angina tak stabil dalam keadaan akut
isorbid dinitrat di berikan secara sublingual atau melalui infus
intravena. Di Indonesia isorbid dinitrat terutama di berikan secara
intravena dengan dosis 1-4 mg per jam. Kekurangan cara ini adalah
toleransi yang cepat (24-48 jam setelah pemberian). Untuk itu dosis
dapat di tinggikan dari waktu ke waktu. Bila keluhan sudah terkendali
dan pasien bebas angina selama 24 jam, maka pemberian obat dapat di
ganti dengan pemberian oral (Tjay dan Rahardja, 2005)
B. Blocker : propranolol, metroprolol, atenolol
Zat-zat ini yang juga di sebut penghambat adrenoseptor beta
Blocker menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung dengan cara
menurunkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah dan kontraktilitas
miokard (Tjay dan Rahardja, 2005).
Suplai oksigen meningkat karena penurunan frekuensi denyut
jantung sehingga perfusi koroner membaik saat diastol. Semua -bloker
harus dihindari oleh penderita asma karena dapat memprovokasi
bronchospasm (kejang cabang tenggorok) (Suyatna, 2009).
1. Sifat farmakologi
Blocker dibedakan atas beberapa karakteristik seperti jenis
subtipe reseptor yang di hambat, kelarutan dalam lemak, metabolisme,
farmakodinamik dan adanya aktivitas simpatomimetik intrinsik.

Walaupun suatu -bloker diklasifikasikan sebagai kardioselektif,


kardio selektivitas ini relatif dan menghilang jika dosis ditinggikan.
Sifat larut lemak menetukan tempat metabolisme (hati) dan waktu
paruh (memendek). Penghentian terapi angina dengan Blocker
(terutama waktu paruh pendek) harus dilakukan secara bertahap untuk
mencegah kambuhnya serangan angina. Blocker yang mempunyai
aktivitas

simpatomimetik

intrinsik

yang

kurang

menimbulkan

brakikardia atau penekanan kontraksi jantung, tetapi mungkin sedikit


kurang

efektif

dibandingkan

Blocker

tanpa

aktivitas

simpatomimetik dalam mencegah serangan angina (Suyatna, 2009).


2. Penggunaan klinis
Blocker digunakan dalam pengobatan serangan angina,
angina tidak stabil dan infark jantung. Penggunaan Blocker jangka
panjang (tanpa aktivitas simpatomimetik intrinsik) dapat menurunkan
mortalitas setelah infark jantung. Pada semua pasien angina tidak stabil
harus di beri Blocker kecuali ada kontra indikasi. Berbagai macam
-bloker seperti propanolol, metroprolol, atenolol, telah di teliti pada
pasien dengan angina tak stabil, yang menunjukan efektivitas yang
sama (Trisnohadi, 2009).
C. Antikoagulan : heparin
1. Farmakodinamik
Efek antikoagulansia heparin timbul karena ikatanya dengan
AT-III. AT-III berfungsi menghambat protease faktor pembekuan
termasuk faktor IIa (trombin), Xa dan IXa, dengan cara membentuk
kompleks yang stabil dengan protease faktor pembekuan. Heparin
yang terikat dengan AT-III mempercepat pembentukan kompleks
tersebut sampai 1000 kali. Bila kompleks AT-III protease sudah
terbentuk heparin di lepaskan untuk selanjutnya membentuk ikatan
baru dengan antitrombin (Dewoto, 2007). Hanya sekitar 1/3 molekul
heparin yang dapat terikat kuat dengan AT-III. Heparin berat molekul
tinggi (5.000-30.000) memiliki afinitas kuat dengan antitrombin dan
menghambat dengan nyata pembekuan darah. Heparin molekul rendah
efek koagulannya terutama melalui penghambatan faktor Xa oleh

antitrombin, karena umumnya molekulnya tidak cukup panjang untuk


mengkatalisis penghambatan trombin. Terhadap lemak darah, heparin
bersifat lipotropik yaitu memperlancar transfer lemak darah ke dalam
depot lemak. Aksi penjernihan ini terjadi karena heparin membebaskan
enzim-enzim yang menghidrolisis lemak, salah satu diantaranya ialah
lipase lipoprotein ke dalam sirkulasi serta menstabilkan aktivitasnya.
Efek lipotropik ini dapat dihambat oleh protamin (Dewoto, 2009).
2. Farmakokinetik
Heparin tidak diabsorbsi secara oral, karena itu diberikan
secara

subkutan

atau

intravena.

Pemberian

secara

subkutan

bioavailabilitasnya bervariasi, mula kerjanya lambat 1-2 jam tetapi


masa kerjanya lebih lama. Heparin cepat di metabolisme terutama di
hati. Waktu paruhnya tergantung dosis yang digunakan, suntikan
intravena 100, 400, dan 800 unit/kgBB memperlihatkan masa paruh
masing-masing kira-kira 1, 2, dan 5 jam. Heparin berat molekul rendah
mempunyai waktu paruh yang lebih panjang daripada heparin standar.
Metabolit inaktif dieksresikan melalui urin. Heparin di eksresikan
secara utuh melalui urin hanya bila digunakan dosis besar intravena.
Heparin tidak melalui placenta dan tidak terdapat dalam air susu ibu
(Dewoto, 2009).
3. Indikasi
Pada penderita angina tak stabil dapat di berikan unfractionated
heparin untuk dosis awal 60 U per kg (maksimum 4000-5000 U)
dilanjutkan dengan infus awal 12-15 U per kg per jam (maksimum 1000
U/JAM). Target normogram terapi adalah aPTT adalah1,5 2,5 kali nilai
aPTT normal atau tingkat optimal 50-75 detik. Sangat dibutuhkan
pencapaian target terapi ini. Pengukuran dilakukan berulang jika terdapat
perubahan dosis UFH, biasanya setelah 6 jam pemberuan UFH dengan
dosis baru. Selama pemeberian UFH sebaiknya dilakukan pemeriksaan
darah lengkap untuk pengawasan terjadinya anemia dan trombositopenia.

Salah satu kontra indikasi obat ini adalah bila ada riwayat heparin induced
thrombocytopenia (Sjaharudin dan Alwi, 2009).
Selain UFH, pada pasien angina tak stabil dapat di berikan lowmolecular-weight heparin (LMWH). Dosis yang biasa di berikan 0,6-1,0
U/ml dengan resiko pendarahan yang meningkat pada dosis 1,8-2 U/ml
(Sjaharudin dan Alwi, 2009).
D. Anti Antiagregasi Trombosit
1. Aspirin
Aspirin menghambat sintesis tromboxan A2 (TXA2) di dalam
trombosit dan protasiklin (PGI2) di pembuluh darah dengan
menghambat secara ireversibel enzim siklooksigenase (akan tetapi
sikolooksigenase dapat di bentuk kembali oleh sel endotel).
Penghambatan

enzim

siklooksigenase

terjadi

karena

aspirin

mengasetilasi enzim tersebut. Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan


pembentukan tromboxan A2, sebagai akibatnya terjadi pengurangan
agregasi trombosit. Sebagai antitrombotik dosis efektif aspirin 80-320
mg per hari. Dosis lebih tinggi selain meningkatkan toksisitas
(terutama pendarahan), juga menjadi kurang efrektif karena selain
menghambat

tromboxan

A2

juga

menghambat

pembentukan

protasiklin (Dewoto, 2009).


a. Indikasi
Pada penderita angina pektoris tak stabil, banyak sekali
studi yang membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi
kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal
dari 51% sampai 72% pada pasien angina tak stabil. Oleh karena
itu aspirin di anjurkan untuk di berikan seumur hidup, dengan
dosis awal 160 mg/hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg
/hari (Trisnohadi, 2009).
2. Klopidogrel
Derivat-piridin ini adalah pro-drug, yang di dalam hati diubah
untuk kurang lebih 15% menjadi metabolit thiolnya yang aktif. Zat
aktif ini setelah direabsorpsi meningkat dengan pesat dan irreversibel
dengan reseptor trombosit dan menghambat penggumpalanya, yang di

induksi oleh adenosindifosfate (ADP). Resorpsinya minimal 50%,


Protein plasmanya 98%. Eksresi melalui kemih dan tinja (Tjay dan
Rahardja, 2005).
1. Indikasi
Pada pasien angina tak stabil klopidogrel dianjurkan untuk
pasien yang tidak tahan aspirin. Tapi dalam pedoman american
college of cardiology (ACC) dan america heart association (AHA)
klopidogrel juga diberikan bersama aspirin paling sedikit 1 bulan
sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari dan
selanjutnya 75 mg per hari (Trisnohadi, 2009).

DAFTAR PUSTAKA
Antman EM, Selwyn AP, Braunwald E, Loscalzo J (2008). Ischemic heart
disease. Dalam: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL et al., (eds). Harrisons principles of internal Medicine
Edisi ke 17. Singapore: The McGraw-Hill Comp, pp: 1514-1527
Arora RR, Chou TM, Jain D, Fleishman B, Crawford L, McKiernan T, Nesto RW
(1999). The multicenter study of enhanced external counterpulsation
(MUST-EECP): effect of EECP on exercise-induced myocadial ischemia
and anginal episodes. J Am Coll Cardiol 33 (1):1833-1840.
Corwin, E.J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Ahli Bahasa Pendit, B.U. Editor
Endah, P. Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan RI (2007). Pedoman pengendalian penyakit jantung dan
pembuluh darah. Kementerian Kesehatan RI. http://www.hukor.
depkes.go.id Diakses Juli 2014
Dewoto HR (2009). Antikoagulan, antitrombotik, trombolitik dan hemostatik.
Dalam: Gunawan SG (ed). Farmakologi dan terapi Edisi ke 5. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, pp: 361-372

Djohan, T.B.A. 2004. Patofisiologi Dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung


Koroner. Fakultas Kedokteran Sumatera Utara. Diakses tanggal 27
Februari 2012.
Hanafiah A (2003). Angina Pektoris. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo SK,
Roebiono PS. Buku ajar kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, pp: 166-172
Rahman AM (2009). Angina pektoris stabil. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi ke 5 Jilid II. Jakarta: Interna Publishing, pp: 1735- 1739
Sjaharudin H dan Alwi I (2009). Infark miokard akut tanpa elevasi ST. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke 5 Jilid II. Jakarta: Interna Publishing,
pp: 1626-1631
Suyatna FD (2009). Antiangina. Dalam: Gunawan SG (ed). Farmakologi dan
terapi Edisi ke 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp: 361-372
Tjay, T.H., Rahardja, K. (2005). Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya. Edisi VI. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media
Komputindo, pp: 540-541.
Trisnohadi HB (2009). Angina pektoris tak stabil. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi ke 5 Jilid II. Jakarta: Interna Publishing, pp: 1735-1739
Vasiliki K, Theodorus X, Robin R, Karlis G, Padadimitriou L (2010). Enhanced
external counterpulsation: mechanisms of action and clinical application.
Acta Cardiol 65 (1):239-294

Vous aimerez peut-être aussi