Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
A. PENDAHULUAN
Seiring dengan meningkatnya penyakit saluran pernapasan di
masyarakat, kita akan mendapati lebih banyak pasien hamil dengan
penyakit saluran pernapasan daripada sebelumnya. Pada kehamilan terjadi
perubahan fungsi dan anatomi tubuh termasuk saluran pernapasan. Juga
terjadi perbedaan patofisiologi penyakit pada saluran pernapasan selama
kehamilan. 1
Sejumlah gangguan paru akut dan kronis ditemukan selama
kehamilan dan
hingga 4 persen dari wanita hamil. Penyakit paru akut dan kronis terjadi
dalam kehamilan akibat dari beberapa perubahan fisiologi paru. Walaupun
belum terbukti perubahan fisiologi paru adalah disebabkan oleh kehamilan
tetapi kehamilan dapat memperburuk patofisiologi suatu penyakit paru. 2
Asma bronkial merupakan penyakit yang ditandai dengan
meningkatnya
kepekaan
saluran trakeobronkial
terhadap
berbagai
janin sangat bergantung dari frekuensi dan beratnya serangan asma, karena
ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak
segera diatasi tentu akan memberikan pengaruh buruk pada janin, berupa
abortus, persalinan prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan
umur kehamilan. 3
Angka kesakitan dan kematian perinatal tergantung dari tingkat
penanganan asma. Gordon et al menemukan bahwa angka kematian
perinatal meningkat 2 kali lipat pada kehamilan dengan asma
dibandingkan kontrol, akan tetapi dengan penanganan yang baik, angka
kesakitan dan kematian perinatal dapat ditekan mendekati angka populasi
normal. 3
B. DEFINISI
Definisi asma oleh The American Thoracic Society (1962) adalah suatu
penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakhea dan bronkus terhadap
berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas
yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun
sebagai hasil suatu pengobatan. 3
Menurut Global Strategy for Asthma Managemant and Prevention
2012, asma adalah penyakit infamasi kronik saluran napas dimana terdapat
banyak sel dan elemen seluler yang berperan penting. Penyakit inflamasi
kronik ini dikaitkan dengan yang hiperresponsif yang menyebabkan
episode mengi yang berulang, sesak napas, nyeri dada, dan batuk yang
terjadi terutama pada malam atau pagi hari. Ini kebiasaanya terjadi secara
umum tetapi bervariasi dimana obstruksi saluran napas pada paru yang
bisa menjadi reversibel secara spontan maupun dengan terapi. 4
C. ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN PERNAFASAN BAWAH
Secara umum, saluran pernapasan bawah terdiri dari dua bentuk
utama: (1) saluran udara kartilaginosa (2) saluran udara non-kartilaginosa.
Saluran udara kartilaginosa hanya berperan untuk melakukan pertukaran
dari lingkungan eksternal ke tempat pertukaran gas. Saluran udara nonkartilaginosa berfungsi baik sebagai konduktor udara dan sebagai tempat
pertukaran gas. 5
Saluran udara kartilaginosa terdiri dari trakea, bronkus utama,
lobar bronkial, bronkus segmental, dan bronkus subsegmental. Secara
keseluruhan, saluran udara kartilaginosa disebut sebagai zona konduktor.
Saluran udara non-kartilaginosa terdiri dari bronkiolus dan terminal
bronkiolus. 5
dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel-sel jaringan tubuh
serta sebagai pengatur ventilasi. 6
Pada proses pernapasan yang normal akan terjadi proses inspirasi
dan ekspirasi. Selama proses inspirasi, kontraksi dari diafragma akan
menarik permukaan basal paru-paru ke bawah. Kemudian, selama
ekspirasi, diafragma akan relaksasi dan elastisitas paru-paru, dinding dada
serta struktur pada abdomen akan mengeluarkan udara dari paru-paru. 6
Otot-otot yang berperan penting dalam proses inspirasi adalah
muskulus
interkostalis
eksterna,
muskulus
sternokleidomastoideus,
melakukan pernapasan yang dalam dan kuat, biasanya sama dengan sekitar
3000 mililiter.
3. Volume ekspirasi cadangan adalah maksimum udara ekstra yang dapat
diekspirasi yang kuat setelah volume tidal ekspirasi, hal ini biasanya
berjumlah sekitar 1.100 mililiter.
4. Volume residu adalah volume udara yang tersisa di paru-paru setelah
dilakukan ekspirasi kuat yang dipaksa, rata-rata sekitar 1.200 mililiter.
menyebabkan
turunnya
kapasitas
residu
fungsional,
yang
bahwa
Pengaruh
intrinsik
pada
seseorang
individu
juga
dapat
dengan
menggunakan
analisis
klasik
dan
neukleotida
10
serum
IgE
yang
tinggi
adalah
berkaitan
dengan
11
G. PATOGENESIS
Terdapat dua jenis respon imun yang utama terjadi pada manusia
yaitu respon imunitas seluler dan respon immunitas humoral. Respon imun
seluler melibatkan sensivitas limfosit. Respon imun ini juga disebut
sebagai tipe IV atau delayed type hypersensitivity. Respon imun humoral
melibatkan antibodi yang beredar dalam tubuh yang terlibat dalam respon
alergi seperti asma. Antibodi adalah serum globulin, atau protein, yang
mempertahankan tubuh dari invasi antigen. Meskipun terdapat lima
imunoglobulin yang berbeda (IgG, IgA, IgM, IgD, dan IgE) telah
diidentifikasi bahwa, antibodi IgE adalah penyebab dasar terjadinya
respon alergi. 5
Ketika seseorang individu terdedah terhadap antigen tertentu,
jaringan limfoid akan melepaskan antibodi IgE spesifik. Antibodi IgE
yang baru dibentuk ini akan melewati aliran darah dan menempel pada
12
permukaan reseptor sel mast. Sel mast ini ditemukan kebanyakan pada sel
interstitial paru-paru, bronkiolus dan bronki Diperkirakan bahwa terdapat
antara 100.000 dan 500.000 reseptor IgE pada permukaan setiap sel mast.
Setelah antibodi IgE menempel pada sel mast, sel mast dinyatakan akan
menjadi sensitif terhadap antigen tertentu. 5
Setiap sel mast juga memiliki sekitar 1000 granula sekretori yang
berisi beberapa mediator kimia inflamasi. Apabila tubuh terpapar terus,
atau terpapar kembali dengan antigen tersebut akan terjadi reaksi antigenantibodi IgE pada permukaan sel mast, yang akan memusnahkan antigen
tersebut. Walaubagaimanapun proses ini akan menyebabkan sel mast
untuk degranulasi atau pecah dan melepaskan mediator kimia seperti
berikut; 5
1.
2.
3.
4.
5.
Histamin
Heparin
Slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A)
Platelet-activating factor (PAF)
Eosinophilic chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A)
Akibat
dari
pelepasan
semua
mediator
kimia
ini
akan
13
ii.
14
asma,
dan
penggunaannya
dapat
berakibat
fatal.
Olahraga
Olahraga adalah pemicu paling sering pada asma, terutama pada
anak-anak.
Mekanisme
ini
terkait
dengan
hiperventilasi,
yang
memicu
sel
mast
melepaskan
mediator,
sehingga
terjadi
bronkokonstriksi. 10
Faktor Fisik
Udara yang dingin dan hiperventilasi dapat memicu asma melalui
mekanisme yang sama seperti olahraga. Kebanyakan pasien dilaporkan
memburuknya asma pada cuaca panas dan ketika perubahan cuaca.
Beberapa penderita asma menjadi lebih buruk bila terkena bau yang kuat
vi.
vii.
Polusi udara
Peningkatan kadar sulfur dioksida, ozon, dan nitrogen oksida
berhubungan erat dengan peningkatan gejala asma. 10
15
viii.
Pekerjaan
Beberapa zat yang ditemukan di tempat kerja dapat bertindak
sebagai agen kepekaan, tetapi juga dapat bertindak sebagai pemicu gejala
asma. 10
ix.
Faktor Hormonal
Beberapa wanita pada mengalami premenstrual memberikan
dampak asma yang lebih buruk, yang kadang-kadang boleh menjadi sangat
parah. Mekanisme ini tidak sepenuhnya diketahui, tetapi terkait dengan
penurunan progesteron dan pada kasus berat dapat diperbaiki dengan
pengobatan dengan dosis tinggi atau faktor gonadotropin-releasing
16
xi.
Refleks gastroesofagus
Merupakan suatu penyebab terjadinya asma. Refluks acid dapat
merupakan pemicu terjadinya refleks bronkokonstiksi. 10
Faktor Stres
Banyak penderita asma dilaporkan memburuknya gejala dengan
adanya stres. Tidak ada keraguan bahwa faktor psikologis dapat
menyebabkan bronkokonstriksi melalui jalur refleks kolinergik. 10
I. MANIFESTASI KLINIS
Asma menggambarkan manifestasi klinis yang spektrum luas mulai
dari mengi ringan sampai bronkokonstriksi berat. Hasil fungsional dari
terjadinya bronkospasme akut adalah obstruksi jalan napas dan penurunan
aliran udara. Ini menyebabkan jumlah pernapasan semakin meningkat, dan
pasien datang dengan keluhan nyeri dada, mengi atau sesak napas.
Perubahan selanjutnya akan terjadi pada oksigenasi terutama pada proses
ventilasi-perfusi, karena penyempitan saluran napas tidak merata. 2
Gejala mungkin lebih buruk di malam hari, dan pasien biasanya
terbangun lebih cepat pada paginya. Adanya peningkatan produksi lendir
pada beberapa pasien, dengan lendir biasanya sulit untuk dikeluarkan. 10
17
18
19
Progesteron
tampaknya
memberikan
pengaruh
awal
dengan
20
21
di
paru atau
komplikasi
asma
seperti
pneumotoraks,
22
23
ASMA
SELAMA
KEHAMILAN
DAN
PERSALINAN
Penanganan penderita asma selama kehamilan bertujuan untuk
menjaga ibu hamil sedapat mungkin bebas dari gejala asma, walaupun
demikian eksaserbasi akut selalu tak dapat dihindari. Pengobatan yang
harus diusahakan adalah : 3
a. Menghindari terjadinya gangguan pernapasan melalui pendidikan
terhadap penderita, menghindari pemaparan terhadap alergen, dan
mengobati gejala awal secara tepat. 3
b. Menghindari terjadinya perawatan di unit gawat darurat karena
kesulitan pernapasan atau status asmatikus, dengan melakukan
intervensi secara awal dan intensif. 3
c. Mencapai suatu persalinan aterm dengan bayi yang sehat, di samping
melindungi keselamatan ibu. 3
Dalam
penanganan
penderita
asma
diperlukan
individualisasi
24
Epinefrin
menstimulasi
reseptor
beta-2
menyebabkan
25
terjadinya
peningkatan
kadar
siklik
AMP
karena
kortikosteroid
selama
kehamilan
tidak
menyebabkan
26
27
28
dengan
ultrasonografi
dan
parameter-parameter
klinik,
29
30
Daftar Pustaka
31
asma
dalam
kehamilian.
2011.
Available
www.karikaturijo.blogspot.com/2011/10/asma-dalam-kehamilan_03.html
4. FitzGerald Mark, Bateman Eric D, Boulet LP, Cruz Alvaro, et.al. In :
Global Strategy For Asthma Management and Prevention. Global
Initiative For Asthma. Updated 2012.
5. Jardins Terry D. The anatomy and physiology of the respiratory system.
In: Cardiopulmonary Anatomy & Physiology. 4 th ed. United States:
Thompson Learning; 2002. Pg 22-31.
6. Guyton Arthur C, Hall John E. Pulmonary ventilation. In: Textbook of
Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006. Pg
471-472, 475-477.
7. Rugman, M. In: The Muscles of Respiration. Sounder Sleep System The
Insomnia
Solution.
Available
www.soundersleep.com/muscleofrespiration.php
8. Dombrowski Mitchell P. In: Asthma and Pregnancy. The American
College of Obstetricians and Gynecologists. Lippincott Williams &
Wilkins; 2006. Available from: www.health.utah.edu
9. Gonzalez-Diazi SN, Corella Claudia IG, Rodriguez Gabriela G, et.al. In:
Asthma and Pregnancy - Comorbid and Coexisting. Global advanced
Research Journal of Medicine and Medical Sciences; 2012. Available from
: www.garj.org/garjmms/pdf/2012
10. Mcfadden Jr.ER. Asthma. In: Kasper Dennis L, Fauci Anthony S,
Braunwald Eugene, et.al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th
ed. United States. McGraw-Hill; 2005. Pg 1508-1516.
11. Waltraud Eder, Markus J. Ege, Erika von Mutius. In: The Asthma
Epidemic. The New England Journal of Medicine. Massachussetts
Medical Society; 2006. Available from : http://www.nejm.org.
32
33