Vous êtes sur la page 1sur 33

PENYAKIT ASMA DALAM KEHAMILAN

A. PENDAHULUAN
Seiring dengan meningkatnya penyakit saluran pernapasan di
masyarakat, kita akan mendapati lebih banyak pasien hamil dengan
penyakit saluran pernapasan daripada sebelumnya. Pada kehamilan terjadi
perubahan fungsi dan anatomi tubuh termasuk saluran pernapasan. Juga
terjadi perbedaan patofisiologi penyakit pada saluran pernapasan selama
kehamilan. 1
Sejumlah gangguan paru akut dan kronis ditemukan selama
kehamilan dan

yang paling umum adalah asma, yang mempengaruhi

hingga 4 persen dari wanita hamil. Penyakit paru akut dan kronis terjadi
dalam kehamilan akibat dari beberapa perubahan fisiologi paru. Walaupun
belum terbukti perubahan fisiologi paru adalah disebabkan oleh kehamilan
tetapi kehamilan dapat memperburuk patofisiologi suatu penyakit paru. 2
Asma bronkial merupakan penyakit yang ditandai dengan
meningkatnya

kepekaan

saluran trakeobronkial

terhadap

berbagai

rangsangan. Pada serangan asma terjadi bronkospasme, pembengkakan


mukosa dan peningkatan sekresi saluran nafas, yang dapat hilang secara
spontan atau dengan pengobatan. Gejala klinik yang klasik berupa batuk,
sesak nafas, dan mengi (wheezing), serta bisa juga disertai nyeri dada.
Serangan asma umumnya berlangsung singkat dan akan berakhir dalam
beberapa menit sampai jam, dan setelah itu penderita kelihatan sembuh
secara klinis. Pada sebagian kecil kasus terjadi keadaan yang berat,
dimana penderita tidak memberikan respon terhadap terapi (obat beta
agonis dan teofilin), hal ini disebut sebagai status asmatikus. 3
Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap
penderita tidaklah sama, bahkan pada seorang penderita asma serangannya
tidak sama pada kehamilan pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya
serangan akan timbul mulai usia kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu,
dan akan berkurang pada akhir kehamilan. Pengaruh asma pada ibu dan

janin sangat bergantung dari frekuensi dan beratnya serangan asma, karena
ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak
segera diatasi tentu akan memberikan pengaruh buruk pada janin, berupa
abortus, persalinan prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan
umur kehamilan. 3
Angka kesakitan dan kematian perinatal tergantung dari tingkat
penanganan asma. Gordon et al menemukan bahwa angka kematian
perinatal meningkat 2 kali lipat pada kehamilan dengan asma
dibandingkan kontrol, akan tetapi dengan penanganan yang baik, angka
kesakitan dan kematian perinatal dapat ditekan mendekati angka populasi
normal. 3
B. DEFINISI
Definisi asma oleh The American Thoracic Society (1962) adalah suatu
penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakhea dan bronkus terhadap
berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas
yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun
sebagai hasil suatu pengobatan. 3
Menurut Global Strategy for Asthma Managemant and Prevention
2012, asma adalah penyakit infamasi kronik saluran napas dimana terdapat
banyak sel dan elemen seluler yang berperan penting. Penyakit inflamasi
kronik ini dikaitkan dengan yang hiperresponsif yang menyebabkan
episode mengi yang berulang, sesak napas, nyeri dada, dan batuk yang
terjadi terutama pada malam atau pagi hari. Ini kebiasaanya terjadi secara
umum tetapi bervariasi dimana obstruksi saluran napas pada paru yang
bisa menjadi reversibel secara spontan maupun dengan terapi. 4
C. ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN PERNAFASAN BAWAH
Secara umum, saluran pernapasan bawah terdiri dari dua bentuk
utama: (1) saluran udara kartilaginosa (2) saluran udara non-kartilaginosa.
Saluran udara kartilaginosa hanya berperan untuk melakukan pertukaran

dari lingkungan eksternal ke tempat pertukaran gas. Saluran udara nonkartilaginosa berfungsi baik sebagai konduktor udara dan sebagai tempat
pertukaran gas. 5
Saluran udara kartilaginosa terdiri dari trakea, bronkus utama,
lobar bronkial, bronkus segmental, dan bronkus subsegmental. Secara
keseluruhan, saluran udara kartilaginosa disebut sebagai zona konduktor.
Saluran udara non-kartilaginosa terdiri dari bronkiolus dan terminal
bronkiolus. 5

Gambar 1: Saluran Pernapasan Bawah Trakeobronkial 5

Tujuan dari sistem pernapasan adalah untuk memberikan oksigen


ke jaringan dan untuk mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Untuk
mencapai tujuan ini, sistem pernapasan dapat dibagi mempunyai empat
fungsi utama yaitu sebagai ventilasi paru, difusi oksigen dan karbon
dioksida antara alveoli dan darah, transportasi oksigen dan karbon

dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel-sel jaringan tubuh
serta sebagai pengatur ventilasi. 6
Pada proses pernapasan yang normal akan terjadi proses inspirasi
dan ekspirasi. Selama proses inspirasi, kontraksi dari diafragma akan
menarik permukaan basal paru-paru ke bawah. Kemudian, selama
ekspirasi, diafragma akan relaksasi dan elastisitas paru-paru, dinding dada
serta struktur pada abdomen akan mengeluarkan udara dari paru-paru. 6
Otot-otot yang berperan penting dalam proses inspirasi adalah
muskulus

interkostalis

eksterna,

muskulus

sternokleidomastoideus,

muskulus serrati anterior dan muskulus skaleneus. Otot-otot selama


ekspirasi adalah muskulus rectus abdominalis dan muskulus interkostalis
interna. 6

Gambar 2: Proses inspirasi dan ekspirasi pada pernapasan. 7


Sebuah metode yang sederhana untuk mempelajari tentang
ventilasi paru adalah dengan merekam jumlah udara yang masuk dan
keluar dari paru-paru dengan menggunakan spirometri. Volume paru
dibagi menjadi; 6
1. Volume tidal yaitu volume udara yang di inspirasi maupun ekspirasi
pada setiap pernapasan yang normal, adalah sekitar 500 mililiter pada pria
dewasa.
2. Volume inspirasi cadangan adalah volume udara ekstra yang dapat
terinspirasi melebihi volume tidal normal apabila seseorang tersebut

melakukan pernapasan yang dalam dan kuat, biasanya sama dengan sekitar
3000 mililiter.
3. Volume ekspirasi cadangan adalah maksimum udara ekstra yang dapat
diekspirasi yang kuat setelah volume tidal ekspirasi, hal ini biasanya
berjumlah sekitar 1.100 mililiter.
4. Volume residu adalah volume udara yang tersisa di paru-paru setelah
dilakukan ekspirasi kuat yang dipaksa, rata-rata sekitar 1.200 mililiter.

Gambar 3: Volume dan kapasitas paru pada proses pernapasan. 6

Dalam menggambarkan peristiwa dalam siklus paru, adalah


penting untuk mempertimbangkan tentang volume paru. Kombinasi dua
atau lebih volume disebut sebagai kapasitas paru. 6
1. Kapasitas inspirasi adalah sama dengan volume tidal ditambah volume
inspirasi cadangan. Ini adalah jumlah udara (sekitar 3500 mililiter)
seseorang dapat inspirasi.
2. Kapasitas residu fungsional sama dengan volume ekspirasi cadangan
ditambah volume residu. Ini adalah jumlah udara yang tertinggal di dalam
paru-paru pada akhir ekspirasi normal (sekitar 2.300 mililiter).
3. Kapasitas vital sama dengan volume inspirasi cadangan ditambah
volume tidal ditambah volume ekspirasi cadangan. Ini adalah jumlah
maksimum udara seseorang bisa expirasi dari paru-paru (sekitar 4600
mililiter).

4. Kapasitas total paru-paru adalah volume maksimum paru-paru dengan


upaya terbesar yang mungkin (sekitar 5800 mililiter), ini adalah sama
dengan kapasitas vital ditambah volume residu.
Semua volume paru dan kapasitas sekitar 20-25 persen lebih
rendah pada wanita dibandingkan pada pria, dan mereka lebih besar pada
orang yang bertubuh lebih besar dan atlet.6
Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan
yang disebabkan oleh perubahan hormonal dan faktor mekanik.
Perubahan-perubahan ini diperlukan untuk mencukupi peningkatan
kebutuhan metabolik dan sirkulasi pada pertumbuhan janin, plasenta dan
uterus. 3
Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan
kapasitas sebelum hamil yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan
volume tidal dari 450 cc menjadi 600 cc, yang menyebabkan terjadinya
peningkatan ventilasi permenit selama kehamilan antara 19-50 persen.
Peningkatan volume tidal ini diduga disebabkan oleh efek progesteron
terhadap resistensi saluran nafas dan dengan meningkatkan sensitifitas
pusat pernapasan terhadap karbon dioksida. 3
Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama
setelah pada pertengahan trimester kedua kehamilan akibat membesarnya
janin,

menyebabkan

turunnya

kapasitas

residu

fungsional,

yang

merupakan volume udara yang tidak digunakan dalam paru, sebesar 20


persen. Selama kehamilan normal terjadi penurunan resistensi saluran
napas sebesar 50 persen. 3
Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada
kimia dan gas darah karena meningkatnya ventilasi maka terjadi
penurunan pCO2 menjadi 30 mm Hg, sedangkan pO2 tetap berkisar dari
90-106 mmHg, sebagai penurunan pCO2 akan terjadi mekanisme
sekunder ginjal untuk mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18-22
mEq/L, dan pH darah tidak mengalami perubahan. 3

Secara anatomi terjadi peningkatan sudut subkostal dari 68,5


-103,5 selama kehamilan. Perubahan fisik ini disebabkan karena elevasi
diafragma sekitar 4 cm dan peningkatan diameter tranversal dada
maksimal sebesar 2 cm. Adanya perubahan-perubahan ini menyebabkan
perubahan pola pernapasan dari pernapasan abdominal menjadi torakal
yang juga memberikan pengaruh untuk memenuhi peningkatan konsumsi
oksigen maternal selama kehamilan. 3
Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan seperti
terbukti dengan peningkatan konsumsi oksigen. Selama melahirkan,
konsumsi O2 dapat meningkat 20-25 %. Bila fungsi paru terganggu karena
penyakit paru, kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen
terbatas dan mungkin tidak cukup untuk mendukung partus normal,
sebagai konsekuensi fetal distress dapat terjadi. 3

Gambar 4: A.Gambaran anatomi wanita yang tidak hamil


B. Gambaran anatomi wanita hamil pada trimester ketiga. 8

Gambar 5: Perubahan fisiologi pulmonologi pada kehamilan dan postpartum. 9

D. EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENSI


Asma bronkial merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang
sering ditemui pada kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1-4 persen
wanita hamil menderita asma. Efek kehamilan pada asma tidak dapat
diprediksi. Turner et al dalam suatu penelitian yang melibatkan 1054
wanita hamil yang menderita asma menemukan bahwa 29% kasus
membaik dengan terjadinya kehamilan, 49% kasus tetap seperti sebelum
terjadinya kehamilan, dan 22% kasus memburuk dengan bertambahnya
umur kehamilan. Sekitar 60% wanita hamil yang mendapat serangan asma
dapat menyelesaikan kehamilannya dengan baik. Sekitar 10% akan
mengalami eksaserbasi pada persalinan. Mabie dkk (1992) melaporkan
peningkatan 18 kali lipat resiko eksaserbasi pada persalinan dengan seksio
sesarea dibandingkan dengan pervaginam. 3
Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama terjadi pada
awal kehidupan. Sekitar setengah dari kasus berkembang sebelum usia 10
tahun, dan sepertiga lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. 10
Di Indonesia insiden asma adalah sekitar 5 6 persen dari
populasi. Insiden asma dalam kehamilan sekitar 3,7 4 persen. Hal
tersebut membuat asma menjadi salah satu permasalahan yang biasa
ditemukan dalam kehamilan. 1
Secara epidemiologi pada wanita sebanyak 10 persen lebih
dibandingkan laki-laki telah didiagnosis memiliki asma selama siklus

hidup mereka ( American Lung Association, 2005; Ostrom N, 2006).


Asma telah dilaporkan mempengaruhi 3,7-8,4 persen wanita hamil, dan
sebanyak 12 persen pada wanita antara 18-24 tahun ( Kwon et al., 2003 ).
Selanjutnya, diamati asma dalam kehamilan ditemukan lebih tinggi antara
perempuan yang lebih muda, kulit putih, obesitas, dan kurang
berpendidikan, memiliki pendapatan rendah, dan merokok selama
kehamilan ( Louik et al., 2010; Blais and Forget, 2008). Studi terbaru
menunjukkan bahwa asma ibu yang tidak terkontrol meningkatkan risiko
kematian perinatal, preeklamsia, kelahiran prematur, dan bayi berat lahir
rendah( Langhammer et al., 2000; Cydulka et al., 2001; Bateman et al.,
2009 ). 9
E. PREVALENSI, MORBIDITAS DAN MORTALITAS ASMA
Asma merupakan suatu masalah di seluruh dunia dan di estimasi
sebanyak 300 juta orang yang mengalaminya. Berdasarkan aplikasi
metode yang telah di standarisasi untuk mengukur prevalensi asma dan
penyakit mengi pada anak-anak dan dewasa, diperoleh bahawa prevalensi
global terjadinya asma berkisar antara 1 persen hingga 18 persen dari
populasi keseluruhan antara negara yang berbeda.4
World Health Organization telah mengestimasikan

bahwa

sebanyak 15 juta disability-adjusted life years ( DALYs) kehilangan nyawa


akibat terjadinya asma dan ini menjadi sebanyak 1 persen dari total beban
penyakit global.4
F. ETIOLOGI
Asma merupakan penyakit heterogen yang dapat disebabkan oleh
faktor genetik, atopi maupun faktor lingkungan. 10
Faktor atopi dapat dideteksi dengan pemeriksaan serum IgE
spesifik ataupun dari pemeriksaan reaktifitas kulit terhadap alergen yang
sering terkait dengan asma. Asma dan atopi dapat terjadi secara bersamaan
maupun secara tersendiri pada pasien, pada populasi serta terhadap waktu.
Di United Kingdom dan Australia, prevalensi pada kedua asma dan

reaktifitas terhadap pemeriksaan kulit telah meningkat, manakala di Hong


Kong, Germany dan Italy prevalensi asma dan bukan pada reaktifitas
pemeriksaan kulit telah meningkat. 11
Atopi merupakan faktor risiko terbesar terjadinya serangan asma.
Pasien yang sering menderita penyakit atopik dan khusus rhinitis
ditemukan sebanyak 80 persen mempunyai penyakit asma. Alergen yang
menyebabkan serangan tersebut biasanya adalah berupa protein yang
melakukan aktivitas protease dan alergen ini sering ditemukan pada
serangga di rumah, kucing, bulu anjing, kecoak, rumput, pohon dan tikus.
10

Pengaruh

intrinsik

pada

seseorang

individu

juga

dapat

menyebabkan serangan asma. Sebanyak 10 persen dari pasien yang


mengalami serangan asma menunjukkan hasil negatif pada tes kulit
terhadap alergen yang sering ditemukan dan mempunyai konsentrasi
serum IgE yang normal. Pasien ini biasanya akan mempunyai penyakit
konkomiten seperti polip nasalis dan sangat sensitif terhadap aspirin.
Pasien seperti ini akan mengalami serangan yang lebih berat dan persisten.
10

Infeksi juga dapat menjadi salah satu faktor etiologi terjadinya


asma. Walaupun infeksi virus merupakan faktor resiko terjadinya serangan
asma namun mekanisme faktor resiko ini masih belum jelas. Pada
penelitian terbaru didapatkan bakteri atipikal seperti Mycoplasma dan
Chlamydia telah ditemukan sebagai penyebab terjadi serangan asma yang
berat, namun masih belum terbukti dengan kukuh. 10
Faktor genetik berhubungan erat dengan serangan asma namun ada
tidaknya predisposisi gen tertentu yang menyebabkan serangan asma atau
disebabkan oleh faktor atopi masih belum jelas. Skrining mengenai
genetik

dengan

menggunakan

analisis

klasik

dan

neukleotida

polimorfisme yang tunggal dari beberapa gen menyatakan bahwa asma


merupakan poligenik. 10

10

Dari data yang terbaru menunjukkan bahawa terdapat banyak gen


yang terlibat dalam patogenesis asma dan dinyatakan gen yang berbeda
berperan pada kelompok etnik yang berbeda. Penelitian tentang keluarga
dan case-control telah mengidentifikasikan beberapa kromosom yang
berkaitan dengan terjadinya asma. Sebagai contoh, kecenderungan untuk
memproduksi

serum

IgE

yang

tinggi

adalah

berkaitan

dengan

hiperresponsif saluran napas dan gen yang berperan dalam hiperresponsif


saluran napas terdapat berdekatan dengan lokus mayor yang regulasi
jumlah serum IgE pada kromosom 5q. Walaubagaimanapun penelitian
tentang gen yang spesifik berkaitan dengan atopi maupun asma masih
dilakukan karena hasil data yang diperoleh masih belum konsisten. 4
Obesitas dapat menjadi suatu faktor terjadinya asma. Asma sering
kali ditemukan pada subyek dengan Body Mass Index melebihi 30kg/m2
dan lebih sulit untuk dikontrol. Pasien dengan obesitas mempunyai fungsi
paru yang lebih rendah dan lebih tinggi morbiditasnya dibanding dengan
pasien yang mempunyai berat badan yang normal. 4
Faktor lingkungan pada usia muda akan mempengaruhi seseorang
yang menderita dari atopik menjadi asma. 10
Faktor lain seperti umur ibu hamil yang muda, durasi pemberian
asi, prematuritas dan berat bayi lahir rendah dapat berkontribusi terhadap
peningkatan prevelansi asma dalam kehamilan . Konsumsi parasetamol
dapat menjadi suatu etiologi yang mekanismenya masih belum jelas. 10

11

Gambar 6: Interaksi antara beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya atopi,


inflamasi saluran pernapasan, Hiperresponsif pada saluran pernapasan dan faktor
yang tidak diketahui. 11

G. PATOGENESIS
Terdapat dua jenis respon imun yang utama terjadi pada manusia
yaitu respon imunitas seluler dan respon immunitas humoral. Respon imun
seluler melibatkan sensivitas limfosit. Respon imun ini juga disebut
sebagai tipe IV atau delayed type hypersensitivity. Respon imun humoral
melibatkan antibodi yang beredar dalam tubuh yang terlibat dalam respon
alergi seperti asma. Antibodi adalah serum globulin, atau protein, yang
mempertahankan tubuh dari invasi antigen. Meskipun terdapat lima
imunoglobulin yang berbeda (IgG, IgA, IgM, IgD, dan IgE) telah
diidentifikasi bahwa, antibodi IgE adalah penyebab dasar terjadinya
respon alergi. 5
Ketika seseorang individu terdedah terhadap antigen tertentu,
jaringan limfoid akan melepaskan antibodi IgE spesifik. Antibodi IgE
yang baru dibentuk ini akan melewati aliran darah dan menempel pada

12

permukaan reseptor sel mast. Sel mast ini ditemukan kebanyakan pada sel
interstitial paru-paru, bronkiolus dan bronki Diperkirakan bahwa terdapat
antara 100.000 dan 500.000 reseptor IgE pada permukaan setiap sel mast.
Setelah antibodi IgE menempel pada sel mast, sel mast dinyatakan akan
menjadi sensitif terhadap antigen tertentu. 5
Setiap sel mast juga memiliki sekitar 1000 granula sekretori yang
berisi beberapa mediator kimia inflamasi. Apabila tubuh terpapar terus,
atau terpapar kembali dengan antigen tersebut akan terjadi reaksi antigenantibodi IgE pada permukaan sel mast, yang akan memusnahkan antigen
tersebut. Walaubagaimanapun proses ini akan menyebabkan sel mast
untuk degranulasi atau pecah dan melepaskan mediator kimia seperti
berikut; 5
1.
2.
3.
4.
5.

Histamin
Heparin
Slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A)
Platelet-activating factor (PAF)
Eosinophilic chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A)
Akibat

dari

pelepasan

semua

mediator

kimia

ini

akan

menyebabkan edema lokal pada dinding bronkiolus, serta sekresi lendir


kental ke dalam lumen bronkiolar, spasme otot polos bronkiolar dan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Oleh karena itu, resistensi
saluran napas akan sangat meningkat. 5
Selama serangan asma, akan terjadi edema bronkial, bronkospasme
dan mengi, meningkat produksi lendir, dan hiperinflasi paru-paru. 5

13

Gambar 7: Mekanisme terjadinya serangan asma. 5


H. FAKTOR PEMICU SERANGAN ASMA
Terdapat beberapa faktor pemicu terjadinya penyempitan saluran
i.

napas, mengi, dan dispneu pada pasien asma. 10


Alergen
Alergen yang dihirup dapat mengaktifkan sel mast yang sudah
terpapar dengan alergen tersebut dan terikat oleh IgE. Ini akan segera
mengaktifkan mediator bronkokonstriktor, dan akan berespon dengan
bronkodilator. Alergen yang paling sering memicu asma adalah
Dermatophagoides sp. Alergen lain adalah seperti alergen yang berasal

ii.

dari kucing dan hewan peliharaan domestik , serta kecoa. 10


Infeksi virus
Infeksi saluran pernapasan seperti rhinovirus, respiratory syncytial
virus, dan coronavirus, adalah pemicu yang sering mengakibatkan
eksaserbasi akut berat. Mekanisme dimana virus ini menyebabkan
eksaserbasi belum diketahui, akan tetapi terdapat peningkatan peradangan
saluran napas dengan peningkatan jumlah eosinofil dan neutrofil. Terdapat
bukti terjadinya produksi interferon tipe I yang berkurang pada sel-sel

14

epitel pasien asma yang mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap


iii.

infeksi virus dan respon inflamasi. 10


Agen farmakologi
Beberapa obat dapat memicu asma. Beta adrenergik biasanya
memperburuk

asma,

dan

penggunaannya

dapat

berakibat

fatal.

Mekanismanya tidak jelas tetapi ini dimediasi melalui peningkatan


bronkokonstriksi kolinergik. Semua beta bloker harus dihindari, bahkan
aplikasi topikal (misalnya, timolol tetes mata) dapat menjadi berbahaya.
Aspirin dapat memperburuk asma pada beberapa pasien. 10
iv.

Olahraga
Olahraga adalah pemicu paling sering pada asma, terutama pada
anak-anak.

Mekanisme

ini

terkait

dengan

hiperventilasi,

yang

menyebabkan peningkatan osmolaritas dalam lapian cairan saluran napas


dan
v.

memicu

sel

mast

melepaskan

mediator,

sehingga

terjadi

bronkokonstriksi. 10
Faktor Fisik
Udara yang dingin dan hiperventilasi dapat memicu asma melalui
mekanisme yang sama seperti olahraga. Kebanyakan pasien dilaporkan
memburuknya asma pada cuaca panas dan ketika perubahan cuaca.
Beberapa penderita asma menjadi lebih buruk bila terkena bau yang kuat

vi.

atau parfum, tetapi mekanisma responnya masih belum pasti. 10


Makanan
Terdapat bukti menyatakan bahwa reaksi alergi terhadap makanan
dapat meningkatkan gejala asma. Beberapa makanan, seperti kerang dan
kacang-kacangan, dapat menyebabkan reaksi anafilaksis yang mungkin
juga dapat menyebabkan mengi. Pengawet makanan tertentu dapat juga
memicu asma. Metabisulfit, yang digunakan sebagai pengawet makanan,
dapat memicu asma melalui pelepasan gas belerang dioksida dalam gaster.
Tartrazine, agen pewarna kuning makanan, diyakini menjadi pemicu asma,
tetapi masih belum terbukti. 10

vii.

Polusi udara
Peningkatan kadar sulfur dioksida, ozon, dan nitrogen oksida
berhubungan erat dengan peningkatan gejala asma. 10

15

viii.

Pekerjaan
Beberapa zat yang ditemukan di tempat kerja dapat bertindak
sebagai agen kepekaan, tetapi juga dapat bertindak sebagai pemicu gejala
asma. 10

Gambar 8: Contoh-contoh agen yang menyebabkan asma di tempat pekerjaan. 4

ix.

Faktor Hormonal
Beberapa wanita pada mengalami premenstrual memberikan
dampak asma yang lebih buruk, yang kadang-kadang boleh menjadi sangat
parah. Mekanisme ini tidak sepenuhnya diketahui, tetapi terkait dengan
penurunan progesteron dan pada kasus berat dapat diperbaiki dengan
pengobatan dengan dosis tinggi atau faktor gonadotropin-releasing

16

progesterone hormon. Tirotoksikosis dan hipotiroidisme juga boleh


memperburuk asma. 10
x.

xi.

Refleks gastroesofagus
Merupakan suatu penyebab terjadinya asma. Refluks acid dapat
merupakan pemicu terjadinya refleks bronkokonstiksi. 10
Faktor Stres
Banyak penderita asma dilaporkan memburuknya gejala dengan
adanya stres. Tidak ada keraguan bahwa faktor psikologis dapat
menyebabkan bronkokonstriksi melalui jalur refleks kolinergik. 10
I. MANIFESTASI KLINIS
Asma menggambarkan manifestasi klinis yang spektrum luas mulai
dari mengi ringan sampai bronkokonstriksi berat. Hasil fungsional dari
terjadinya bronkospasme akut adalah obstruksi jalan napas dan penurunan
aliran udara. Ini menyebabkan jumlah pernapasan semakin meningkat, dan
pasien datang dengan keluhan nyeri dada, mengi atau sesak napas.
Perubahan selanjutnya akan terjadi pada oksigenasi terutama pada proses
ventilasi-perfusi, karena penyempitan saluran napas tidak merata. 2
Gejala mungkin lebih buruk di malam hari, dan pasien biasanya
terbangun lebih cepat pada paginya. Adanya peningkatan produksi lendir
pada beberapa pasien, dengan lendir biasanya sulit untuk dikeluarkan. 10

Scoggin membagi perjalanan klinis asma sebagai berikut : 3


1. Asma akut intermiten : 3
Diluar serangan, tidak ada gejala sama sekali. Pemeriksaan fungsi
paru tanpa provokasi tetap normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke
dalam status asmatikus dan dalam pengobatannya sangat jarang
memerlukan kortikosteroid. Faktor-faktor yang mencetuskan serangan
sering berupa : 3
a. Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus.
b. Kegiatan jasmani (exercises induced ashtma)
c. Lingkungan pekerjaan (occupational asthma)

17

d. Obat-obat (drug induced asthma)


e. Tidak jelas
2. Asma akut dan status asmatikus:
Serangan asma dapat demikian beratnya sehingga penderita segera
mencari pertolongan. Bila serangan asma akut tidak dapat diatasi dengan
obat-obat beta adrenergik beta dan teofilin disebut status asmatikus. 3
3. Asma kronik persisten (asma kronik):
Pada asma kronik selalu ditemukan gejala-gejala obstruksi jalan
napas, sehingga diperlukan pengobatan yang terus menerus. Hal tersebut
disebabkan oleh karena saluran nafas penderita terlalu sensitif selain
adanya faktor pencetus yang terus menerus. 3
Variasi dari manifestasi asma telah menyebabkan klasifikasi yang
termasuk tingkat keparahan ,onset dan durasi gejala. 2

Gambar 9:Klasifikasi tingkat keparahan asma. 2


Pada asma dalam kehamilan hipoksia dapat dikompensasi dengan
hiperventilasi, pO2 arteri yang normal, pCO2 menurun, dan alkalosis

18

pernapasan akan terjadi. Apabila penyempitan saluran napas menjadi lebih


parah, gangguan proses ventilasi-perfusi akan terjadi seterusnya akan
terjadi hipoksemia. Dengan obstruksi saluran napas yang berat, ventilasi
menjadi terganggu dan akibat dari kelelahan menyebabkan retensi CO2.
Dengan obstruksi pernapasan yang terus-menerus kegagalan pernafasan
dapat terjadi. 2
Meskipun perubahan ini umumnya reversibel dan dapat ditoleransi
dengan baik oleh individu yang sehat dan tidak hamil, namun pada wanita
hamil bahkan pada tahap awal asma dapat menjadi berbahaya bagi wanita
hamil tersebut dan janinnya. Hal ini karena kapasitas residu fungsional
yang lebih kecil dan peningkatan shunt efektif membuat wanita lebih
rentan terhadap hipoksia dan hipoksemia. 2

Gambar 10: Tahap-tahap klinis pada asma 2


J. PENGARUH PERUBAHAN HORMONAL SELAMA KEHAMILAN
Keadaan hormon selama kehamilan sangat berbeda dengan keadaan
tidak hamil dan mengalami perubahan selama perjalanan kehamilan.
Perubahan-perubahan ini akan memberikan pengaruh terhadap fungsi
paru. 3

19

Progesteron

tampaknya

memberikan

pengaruh

awal

dengan

meningkatkan sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan terjadinya


hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan.
Seterusnya dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos. Pengaruh total
progesteron selama kehamilan karena peningkatannya yang mencapai 50100 kali dari keadaan tidak hamil, masih diperdebatkan. 3
Selama kehamilan kadar estrogen meningkat, dan terdapat data-data
yang menunjukkan bahwa peningkatan ini menyebabkan menurunnya
kapasitas difusi pada jalinan kapiler karena meningkatnya jumlah sekresi
asam mukopolisakarida perikapiler. Estrogen memberikan pengaruh
terhadap asma selama kehamilan dengan menurunkan klirens metabolik
glukokortikoid sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol. Estrogen juga
berpotensiasi relaksasi bronkial yang diinduksi oleh isoproterenol. Kadar
kortisol bebas plasma meningkat selama kehamilan, demikian pula kadar
kortisol plasma total. Peningkatan kadar kortisol ini seharusnya
memberikan perbaikan terhadap keadaan penderita asma, akan tetapi
dalam kenyataannya tidak demikian. Tampaknya beberapa wanita hamil
refrakter terhadap kortisol meskipun terjadi peningkatan kadar dalam
serum 2-3 kali lipat. Hal ini mungkin disebabkan terjadinya kompetisi
pada reseptor glukoortikoid oleh progesteron, deoksikortikosteron dan
aldosteron yang semuanya meningkat selama kehamilan. 3
Semua tipe prostaglandin meningkat dalam serum maternal selama
kehamilan, terutama menjelang persalinan aterm. Meskipun ditemui
adanya peningkatan kadar matabolit prostaglandin PGF 2x yang
merupakan suatu bronkokonstriktor kuat, dalam serum sebesar 10%-30%,
hal ini tidak selalu memberikan pengaruh buruk pada penderita asma
selama persalinan. 3
Pada jaringan janin ditemukan histamin dalam konsentrasi tinggi.
Sebagai respon terhadap stimulus ini maka plasenta menghasilkan
histaminase (diaminoksidase) dalam jumlah besar mencapai 1000 kali lipat
dibandingkan wanita yang tidak hamil.

20

K. DIAGNOSIS ASMA DALAM KEHAMILAN


Diagnosis asma tidak sulit, terutama bila dijumpai gejala yang klasik
seperti sesak nafas, batuk dan mengi. Serangan asma dapat timbul
berulang-ulang dengan masa remisi diantaranya. Serangan dapat cepat
hilang dengan pengobatan, tetapi kadang-kadang dapat pula menjadi
kronik sehingga keluhan berlangsung terus menerus. 3
Adanya riwayat asma sebelumnya, riwayat penyakit alergik seperti
rinitis alergik, dan keluarga yang menderita penyakit alergik, dapat
memperkuat dugaan penyakit asma. Selain hal-hal di atas, pada anamnesa
perlu ditanyakan mengenai faktor pencetus serangan. 3
Penemuan pada pemerikasaan fisik penderita asma tergantung dari
derajat obstruksi jalan nafas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi
dada, takikardi, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada
penderita asma dalam serangan. 3
Dalam praktek tidak sering ditemukan kesulitan dalam menegakkan
diagnosis asma, tetapi banyak pula penderita yang bukan asma
menimbulkan mengi sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang. 3
Pemeriksaan penunjang yang penting dalam asma adalah sebagai berikut :
1. Spirometri
Spirometri untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas
reversible. Cara yang paling cepat dan sederhana untuk diagnosis asma
adalah melihat respon pengobatan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri
sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak >
20% mengarah ke diagnosis asma. Pemeriksaan spirometri tidak saja
penting untuk menegakkan diagnosis, tetapi juga penting untuk menilai
berat obstruksi dan efek pengobatan.3
2. Tes provokasi
Tes provokasi bronkial untuk menunjukkan adanya hiperreaktifitas
bronkus. Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya
hiperreaktifitas bronkus harus dilakukan tes provokasi histamin,

21

metakolin, alergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin


bahkan inhalasi dengan aquadestilata. Penurunan FEV1 sebesar 20% atau
lebih setelah tes provokasi adalah bermakna. 3
3. Pemeriksaan tes kulit
Tujuan tes kulit yaitu menunjukkan adanya antibodi IgE yang
spesifik dalam tubuh. Tes ini hanya menyokong anamnesa, karena alergen
yang menunjukkan tes kulit yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma sebaliknya tes kulit yang negatif tidak selalu berarti tidak ada faktor
kerentanan kulit. 3
4. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam serum.
Kegunaan pemeriksaan IgE total tidak banyak dan hanya untuk
menyokong adanya penyakit atopi. 3
5. Pemerikasaan radiologi
Pada umumnya pemeriksaan foto toraks penderita asma adalah
normal. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila ada kecurigaan proses
patalogik

di

paru atau

komplikasi

asma

seperti

pneumotoraks,

pneumomediastinum, atelektasis dan lain-lain. 3


6. Analisa gas darah
Pemeriksaan analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita
dengan serangan asma berat. Pada keadaan tersebut dapat terjadi
hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis respiratorik. 3
7. Pemeriksaan eosinofi dalam darah
Pada penderita asma jumlah eosinofil total dalam darah sering
meningkat. Selain dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup
tidaknya dosis kortkosteroid yang diperlukan penderita asma, jumlah
eosinofil total dalam darah dapat membantu untuk membedakan asma dari
bronkitis kronik. 3
8. Pemeriksaan sputum
Disamping untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot, spiral
Churschmann. 3

22

L. PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP ASMA


Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi
dan tidak dapat diduga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama
kehamilan, yang mengenai 60%-70% wanita hamil, boleh memberi kesan
memperberat keadaan asma. Wanita yang memulai kehamilan dengan
asma yang berat, tampaknya akan mengalami asma yang lebih berat
selama masa kehamilannya dibandingkan dengan mereka yang dengan
asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma akan
mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-kehamilan
berikutnya. Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE
diperkirakan akan memperburuk keadaan asma selama kehamilan,
sebaliknya penderita dengan kadar IgE yang menurun akan membaik
keadaannya selama kehamilan. 3
Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester
III atau pada saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya
pengaruh perubahan faktor hormonal, yaitu penurunan progesteron dan
peningkatan prostaglandin, sebagai faktor yang memberikan pengaruh.
Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko timbulnya eksaserbasi
serangan asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika persalinan
berlangsung pervaginam. 3
M. PENGARUH ASMA TERHADAP KEHAMILAN
Pengaruh asma terhadap kehamilan bervariasi tergantung derajat
berat ringannya asma tersebut. Asma terutama jika berat bisa secara
bermakna mempengaruhi hasil akhir kehamilan, beberapa penelitian
menunjukkan adanya peningkatan insidensi abortus, kelahiran prematur,
janin dengan berat badan lahir rendah, dan hipoksia neonatus. 3
Beratnya derajat serangan asma sangat mempengaruhi hal ini,
terdapat korelasi bermakna antara fungsi paru ibu dengan berat lahir janin.
Angka kematian perinatal meningkat dua kali lipat pada wanita hamil

23

dengan asma dibandingkan kelompok kontrol. Asma berat yang tidak


terkontrol juga menimbulkan resiko bagi ibu, kematian ibu biasanya
dihubungkan dengan terjadinya status asmatikus, dan komplikasi yang
mengancam jiwa seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, kor
pulmonale akut, aritmia jantung, serta kelemahan otot dan gagal nafas. 3
Angka kematian menjadi lebih dari 40% jika penderita
memerlukan ventilasi mekanik. Asma dalam kehamilan juga dihubungkan
dengan terjadinya sedikit peningkatan insidensi preeklampsia ringan, dan
hipoglikemia pada janin, terutama pada ibu yang menderita asma berat. 3
N. PENANGANAN

ASMA

SELAMA

KEHAMILAN

DAN

PERSALINAN
Penanganan penderita asma selama kehamilan bertujuan untuk
menjaga ibu hamil sedapat mungkin bebas dari gejala asma, walaupun
demikian eksaserbasi akut selalu tak dapat dihindari. Pengobatan yang
harus diusahakan adalah : 3
a. Menghindari terjadinya gangguan pernapasan melalui pendidikan
terhadap penderita, menghindari pemaparan terhadap alergen, dan
mengobati gejala awal secara tepat. 3
b. Menghindari terjadinya perawatan di unit gawat darurat karena
kesulitan pernapasan atau status asmatikus, dengan melakukan
intervensi secara awal dan intensif. 3
c. Mencapai suatu persalinan aterm dengan bayi yang sehat, di samping
melindungi keselamatan ibu. 3
Dalam

penanganan

penderita

asma

diperlukan

individualisasi

penanganan, karena penanganan suatu kasus mungkin berbeda dengan


kasus asma yang lain, dalam memulai suatu perawatan obstetri terhadap
wanita hamil dengan asma perlu diperhatikan beberapa prinsip tertentu
yaitu : 3
a. Mendeteksi dan mengeliminasi faktor pemicu timbulnya serangan
asma pada penderita tertentu.

24

b. Menghentikan merokok, baik untuk alasan obstetrik maupun pulmonal


c. Mendeteksi dan mengatasi secara awal jika diduga adanya infeksi pada
saluran nafas, seperti bronkitis, sinusitis.
d. Pembahasan antara ahli kebidanan dan ahli paru, untuk mengetahui
masalah-masalah yang potensial dapat timbul, rencana penanganan
umum termasuk penggunaan obat-obatan.
e. Pertimbangan untuk mengurangi dosis pengobatan, tetapi masih dalam
kerangka respon pengobatan yang baik.
f. Melakukan penelitian fungsi paru dasar, juga penentuan gas darah
khususnya pada penderita asma berat.
Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan asma secara garis
besar dapat dibagi dalam 5 kelompok utama yaitu beta adrenergik,
methylxanthine, glukokortikoid, cromolyn sodium dan anti kolinergik, di
samping itu terdapat obat-obat lain yang sering digunakan sebagai terapi
tambahan pada penderita asma seperti ekspektoran dan antibiotik. 3
1. Beta adrenergik agonis
Dalam golongan ini epinefrin merupakan obat yang paling sering
digunakan.

Epinefrin

menstimulasi

reseptor

beta-2

menyebabkan

bronkodilatasi, tetapi juga menstimulasi reseptor alfa dan beta-1 yang


menyebabkan terjadinya vasokonstriksi perifer dan takikardia baik pada
ibu maupun janin, juga dapat menyebabkan fetal distres, ini merupakan
kelemahan teoritis penggunaan epinefrin dalam kehamilan, untungnya
epinefrin mempunyai waktu paruh pendek dan belum ada laporan yang
menunjukkan adanya efek jangka panjang terhadap janin pada
penggunaannya dalam kehamilan. 3
2. Terbutalin
Merupakan beta agonis yang sering digunakan untuk terapi tokolitik pada
persalinan prematur. Dalam pengobatan asma dosisnya sebaiknya
dikurangi pada saat mendekati aterm, meskipun tidak terdapat laporan
yang menunjukkan adanya penundaan bermakna dalam onset persalinan
normal, bila obat ini digunakan sebagai terapi inti asma standar. 3
3. Methylxanthine (Teofilin)

25

Teofilin dengan berbagai garamnya termasuk dalam golongan ini.


Mekanisme teofilin menimbulkan bronkodilatasi tidak jelas, diduga
melalui inhibisi kompetitif terhadap enzim fosfodiesterase, sehingga
menyebabkan

terjadinya

peningkatan

kadar

siklik

AMP

karena

degradasinya yang menurun. Aminofilin merupakan suatu garam


dietileniamin dari teofilin dan merupakan satu-satunya obat golongan
xanthin yang dapat diberikan secara parenteral. 3
4. Glukokortikoid
Kortikosteroid digunakan lama untuk pengobatan asma. Kortikosteroid
bukan merupakan bronkodilator, tetapi bermanfaat dalam mengarungi
inflamasi pada saluran napas. Umumnya disepakati memberikan steroid
seawal mungkin pada penderita dengan serangan asma akut berat.
Pemakaian

kortikosteroid

selama

kehamilan

tidak

menyebabkan

meningkatnya resiko komplikasi baik pada janin maupun ibu. 3


5. Cromolyn Sodium
Cromolyn sodium bukan merupakan bronkodilator, efek terapeutik
utamanya adalah inhibisi terhadap degranulasi sel mast, sehingga
mencegah terjadinya pelepasan mediator kimia untuk reaksi anafilaksis.
Cromolyn berguna baik untuk asma alergik maupun non alergik. 3
6. Anti Kolinergik
Obat antikolinergik seperti atropin sulfat dapat memberikan efek
bronkodilatasi ada penderita asma, tetapi penggunaannya menjadi terbatas
karena efek samping yang tidak diinginkan. Golongan antikolinergik yang
lebih sering digunakan adalah ipratropium bromida, terbukti efektif dan
kurang menimbulkan efek yang tidak diinginkan. 3
Umumnya obat-obat anti asma yang biasanya dipergunakan relatif
aman penggunaannya selama kehamilan, jarang dijumpai adanya efek
teratogenik pada janin akibat penggunaan obat anti asma. 3
I.

Penanganan asma kronik pada kehamilan

26

Dalam penanganan penderita asma dengan kehamilan, dan tidak


dalam serangan akut, atau dikenal sebagai asma kronik pada kehamilan
diperlukan adanya kerja sama yang baik antara ahli kebidanan dan ahli
paru. Usaha-usaha melalui edukasi terhadap penderita dan intervensi
melalui pengobatan dilakukan untuk menghindari timbulnya serangan
asma yang berat. Adapun usaha penanganan penderita asma kronik
meliputi : 3
1. Bantuan psikologik menenangkan penderita bahwa kehamilannya tidak
akan memperburuk perjalanan klinis penyakit, karena keadaan gelisah dan
stres dapat memacu timbulnya serangan asma. 3
2. Menghindari alergen yang telah diketahui dapat menimbulkan serangan
asma. 3
3. Desensitisasi atau imunoterapi, aman dilakukan selama kehamilan tanpa
adanya peningkatan resiko terjadinya prematuritas, toksemia, abortus,
kematian neonatus, dan malformasi kongenital, akan tetapi efek terapinya
terhadap penderita asma belum diketahui jelas. Diberikan dosis teofilin per
oral sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma antara 10-22
mikrogram/ml, biasa dosis oral berkisar antara 200-600 mg tiap 8-12 jam.
Dosis oral teofilin ini sangat bervariasi antara penderita yang satu dengan
yang lainnya. 3
4. Jika diperlukan dapat diberikan terbulatin sulfat 2,5-5 mh per oral 3 kali
sehari, atau beta agonis lainnya. 3
5. Tambahkan kortikosteroid oral, jika pengobatan masih belum adekuat
gunakan prednison dengan dosis sekecil mungkin. 3
6. Pertimbangan antibiotika profilaksis pada kemungkinan adanya infeksi
saluran nafas atas. 3
7. Cromolyn sodium dapat dipergunakan untuk mencegah terjadinya
serangan asma, dengan dosis 20-40 mg, 4 kali sehari secara inhalasi. 3
II.

Penanganan serangan asma akut pada kehamilan

27

Dalam menghadapi ibu hamil dengan serangan asma akut, harus


secara cepat dinilai beratnya serangan, jika berat perlu dipertimbangkan
perawat diruang unit perawatan intensif dengan tetap memonitor keadaan
janin dalam kandungan. Penanganan serangan asma akut pada kehamilan
adalah sebagai berikut: 3
1. Pemberian oksigen yang telah dilembabkan, 2-4/menit, pertahankan
pO2 70-80 mmHg. Janin sangat rentan terhadap keadaan hipoksia. 3
2. Hindari obat-obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Tenangkan
penderita Berikan cairan intravena, biasanya penderita mengalami
kekurangan cairan, cairan yang digunakan biasanya ringer laktat atau
normal saline. 3
3. Berikan aminofilin dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan
dengan dosis 0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam
plasma sebesar 10-20 mikrogram/ml. 3
4. Jika diperlukan pertimbangan penggunaan terbulatin subkutan dengan
dosis 0,25 mg. 3
5. Berikan steroid : hidrokortison secara intravena 2 mm/kgBB loading
dose, tiap 4 jam atau setelah loading dose dilanjutkan dengan infus 0,5
mg/kgBB/jam. 3
6. Pertimbangan penggunaan antibiotika jika ada kecurigaan infeksi yang
menyertai. 3
7. Intubasi dan ventilasi bantuan, jarang dibutuhkan kecuali pada kasuskasus yang mengancam kehidupan. 3
8. Serangan asma berat yang tidak memberikan respons setelah 30-60
menit dengan terapi infeksi (obat agonis beta & teofilin) disebut status
asmatikus, pada keadaan ini penderita ini harus ditangani di unit
perawatan intensif. Selama kehamilan pertimbangan untuk intubasi lebih
awal diperlukan jika fungsi pernapasan ibu terus menurun, meskipun
dilakukan penanganan yang intensif. Melakukan intubasi dan ventilasi
mekanis. 3

28

Gambar 11: Penatalaksanaan pada asma eksaserbasi akut. 4


III.

Penanganan asma dalam persalinan


Pada kehamilan dengan asma yang terkontrol baik, tidak
diperlukan suatu intervensi obstetri awal. Pertumbuhan janin harus
dimonitor

dengan

ultrasonografi

dan

parameter-parameter

klinik,

khususnya pada penderita-penderita dengan asma berat atau yang steroid

29

dependen, karena mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk


mengalami masalah pertumbuhan janin. Onset spontan persalinan harus
diperbolehkan, intervensi preterm hanya dibenarkan untuk alasan obstetrik
karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit,
maka persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk
menangani komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan
bahwa 10% wanita memberat gejala asmanya pada waktu persalinan. 3
Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal
harus diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan
hidrokortison 100 mg intravena, diulangi tiap 8 jam sampai persalinan.
Bila mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama
dengan penanganan serangan akut dalam kehamilan seperti telah diuraikan
di atas. 3
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan
terbaik untuk penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki
dilakukannya seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea. Jika dilakukan
seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional daripada anestesi umum
karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme yang berat.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan
pervaginam, memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi
vakum atau forceps akan bermanfaat. 3
Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2
dan uterotonika lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin
F2(x) yang dapat menimbulkan terjadinya bronkospapasme yang berat.
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak
melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada
meperidine atau morfin yang melepas histamin. Bila persalinan dengan
seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, maka sebaiknya
anestesi cara spinal. 3
IV.

Penanganan asma post partum

30

Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik


diperlukan. Perjalanan dan penanganan klinis asma umumnya tidak
berubah secara dramatis setelah post partum. Pada wanita yang menyusui
tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan dengan penyakitnya ini.
Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari
10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu
tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan
kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum
mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada bayi.3
O. PROGNOSIS
Prognosis asma dalam kehamilan telah menunjukan perbaikan
sejak 20 tahun yang lalu. Selain asma dalam kehamilan dengan penyakit
kronik menunjukkan prognosis yang baik. Walaubagaimanapun ditemukan
insidensi preeklamsia, persalinan kurang bulan, bayi lahir kurang berat
badan maupun kematian bayi dalam ibu dengan asma dalam kehamilan. 2

Daftar Pustaka

31

1. Warouw Najoan N. Penyakit saluran pernapasan. In: Saifuddin Abdul B,


Rachimhadhi T, WiknjosastroGulaedi H. Ilmu Kebidanan. Edisi keempat.
Jakarta: Sarwono Prawirohardjo; 2010. Hal 800-813.
2. Cunningham Gary F, Leveno Kenneth J, Bloom Steven L, et.al.
Pulmonary disorders. In: Cunningham Gary F, Leveno Kenneth J, Bloom
Steven L, et.al. Willims Obstetrics. 23rd ed. United States: McGraw-Hill
Companies; 2010.
3. Karikaturijo. In:

asma

dalam

kehamilian.

2011.

Available

www.karikaturijo.blogspot.com/2011/10/asma-dalam-kehamilan_03.html
4. FitzGerald Mark, Bateman Eric D, Boulet LP, Cruz Alvaro, et.al. In :
Global Strategy For Asthma Management and Prevention. Global
Initiative For Asthma. Updated 2012.
5. Jardins Terry D. The anatomy and physiology of the respiratory system.
In: Cardiopulmonary Anatomy & Physiology. 4 th ed. United States:
Thompson Learning; 2002. Pg 22-31.
6. Guyton Arthur C, Hall John E. Pulmonary ventilation. In: Textbook of
Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006. Pg
471-472, 475-477.
7. Rugman, M. In: The Muscles of Respiration. Sounder Sleep System The
Insomnia

Solution.

Available

www.soundersleep.com/muscleofrespiration.php
8. Dombrowski Mitchell P. In: Asthma and Pregnancy. The American
College of Obstetricians and Gynecologists. Lippincott Williams &
Wilkins; 2006. Available from: www.health.utah.edu
9. Gonzalez-Diazi SN, Corella Claudia IG, Rodriguez Gabriela G, et.al. In:
Asthma and Pregnancy - Comorbid and Coexisting. Global advanced
Research Journal of Medicine and Medical Sciences; 2012. Available from
: www.garj.org/garjmms/pdf/2012
10. Mcfadden Jr.ER. Asthma. In: Kasper Dennis L, Fauci Anthony S,
Braunwald Eugene, et.al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th
ed. United States. McGraw-Hill; 2005. Pg 1508-1516.
11. Waltraud Eder, Markus J. Ege, Erika von Mutius. In: The Asthma
Epidemic. The New England Journal of Medicine. Massachussetts
Medical Society; 2006. Available from : http://www.nejm.org.

32

12. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser,et.al. In: Asthma. Harrisons Principles


of Internal Medicine. 17th ed. United States. McGraw-Hill; 2008.

33

Vous aimerez peut-être aussi