Vous êtes sur la page 1sur 5

Undangan Biru Muda

Tidak ada yang lebih menyebalkan selain bangun pagi tapi badan masih terasa capek. Semacam tidak
puas karena kualitas tidur yang sangat buruk. Lebih menyebalkan lagi jika hari itu hari yang sangat
penting.
Entah mengapa, pagi ini hal itu terjadi. Benar-benar menyebalkan. Semalam, aku sudah berbaring di
tempat tidur sekitar pukul 10 malam. Sengaja ingin tidur tidak terlalu malam karena esoknya ada ujian
pasien di bagian penyakit dalam. Mana konsulen-dosen klinis, dokter spesialis yang mengujiku terkenal
galak. Dua hari yang lalu saat aku bertanya kapan beliau bisa mengujiku beliau membalas,
Rabu. 7.27 di bangsal delima.
Begitu singkat. Padahal SMS pertanyaanku sangat panjang, penuh kata maaf dan terima kasih, khas orang
dengan inferiority complex.
San, bangun san, subuh! tetangga kamar ku Andi mengetuk pintu kamarku.
Aku sudah bangun, tapi seperti tanpa energi, malah lebih seperti orang linglung. Belum sepenuhnya
bangun, tapi juga tidak tidur.
Iyaa, begitu sahutku. Jujur, ini hanya respon spontan. Hampir tiap hari seperti ini. Meskipun biasanya
kondisinya lebih baik. Aku sudah benar-benar bangun dan segar, atau masih benar-benar tidur lalu
terbangun. Tidak seperti hari ini.
Jujur, aku berterima kasih sekali pada Andi. Dia mahasiswa semester 6 yang masih sibuk-sibuknya
berorganisasi, bahkan sering ku lihat dia pulang ke kos teramat malam, atau bahkan pagi. Tapi dia tak
pernah melewatkan sholat subuh berjamaah di masjid dekat kos.
Pun pagi itu. Aku tahu dia baru pulang sekitar jam 1 malam. Tidurku yang tak nyenyak dan berkali-kali
terbangun membuat aku mengetauhinya.
Dengan terpaksa, atau lebih tepatnya memaksa diri sendiri, aku bangkit. Rasanya masih tidak nyaman,
kepala masih terasa berat. Sekilas ku lihat jam dinding. Waktu itu pukul 04.05 pagi. Dengan setengah
kesadaran aku memperkirakan 5 menit lagi iqomah.
Kuputuskan untuk ke toilet terlebih dahulu. Seperti rutinitas sehari hari, buang air kecil, dan mengambil
wudhu. Lumayan membantu. Meskipun tidak sepenuhnya.
Kemudian kuganti pakaian yang lebih pantas. Ah, tidak ganti, Cuma merangkapi kaos oblong yang
kupakai tidur dengan baju koko yang sudah kupakai beberapa hari terakhir. Ya, baju koko menjadi
semacam seragam sholat.
qodqomatissholah
Suara iqomah sudah terdengar sangat keras. Seperti biasa.
Aku pun berjalan menuju masjid. Lepas salam aku berdoa sebentar dan langsung meninggalkan masjid
dan kembali ke kamar.
Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 05.00. Cahaya fajar masih menyembul diantara celah-celah
ventilasi. Tidak ada suara kokok ayam di sini. Mana ada yang memelihara ayam di perumahan padat yang

sebagian besar menjadi kos-kos an untuk mahasiswa ini. Paling-paling burung beo peliharaan bapak kos
yang beberapa kali menjadi pembunuh sunyi.
Kurebahkan kembali tubuhku ke kasur. Sempat terpikir untuk membuka dan membaca catatan-catatan
selama 2 bulan terakhir. Tapi apa daya, justru pikiranku melayang pada wajah seorang gadis. Ah, benar
kata orang bijak. Semakin kita ingin melupakan, semakin pula kita ingat.
Astaghfirullah. Dia sudah mau menikah dengan orang lain. Sudahlah, live your own live. Kataku dalam
hati.
Benar. Baru kemarin aku mendapat undangan dari nya. Tidak lewat pertemuan langsung, melainkan lewat
pesan gambarnya melalui WhatsApp.
Entah kapan aku terakhir kali bertemu dengan nya secara langsung. Mungkin 4 atau 5 tahun yang lalu.
Berkabar lewat sms atau chatting pun hanya sekadar interaksi biasa. Ah, sebelumnya juga tidak ada yang
istimewa dalam interaksi kita. Hanya saja, dalam hati ada cerita yang berbeda. Dan itu adalah cerita yang
masih ingin kujaga, hingga saat yang menurutku tepat.
Aku tidak tahu bagaimana pendapatnya, lebih tepatnya aku tak peduli. Meskipun beberapa teman, dulu
sering menggoda kami. Saat aku berusaha dingin, seperti biasanya, ia justru terlihat tersenyum. Kupikir
itu tanda, tapi benar-benar sangat prematur untuk menyimpulkan isi hati seseorang hanya dari roman
mukanya.
Daripada berlama-lama seperti ini mending aku mandi saja, dan langsung berangkat ke rumah sakit.
Kataku dalam hati.
Aku pun bergegas ke kamar mandi. Dan berangkat.
Aku sudah sampai di bangsal jam 6.30 . Kutaruh tas ku yang sangat berat itu ke ruang jaga. Stetoskop,
tensimeter, dan termometer aku keluarkan. Juga buku catatan dan bolpoin yang akan kugunakan untuk
mencatat nanti.
Kusapa perawat-perawat bangsal dan mengatakan aku mau ujian dengan Dokter WS, inisial yang sangat
populer di rumah sakit ini, bahkan mungkin di seantero Indonesia. Mereka pun menjawab dengan santai,
Semangat ya mas koas, semoga selamat.
Selamat? Kedengarannya seram sekali. Emang aku mau dimakan? Begitu gumamku.
Siap, Bu begitu saja jawabku.
Setelah itu aku mencari tempat duduk di depan bangsal. Dua buah bangku dan meja kayu yang kelihatan
cukup tua. Sempat kulihat label inventaris nya, tertulis mulai dipakai tahun 1980. Lebih tua 10 tahun lebih
dibandingkan dengan umurku.
Kubuka ponsel genggam ku. Sebuah samrtphone murah yang cukup handal, minimal bisa dipakai untuk
medsos dan chatting. Fungsi yang sangat penting untuk seorang mahasiswa kalau tidak ingin ketinggalan
informasi. Aku berniat untuk mengingatkan dosen ku kalau beliau berjanji menguji ku jam 7.27 di
bangsal delima.

Namun kulihat ada notifikasi dari aplikasi chatting. Setelah kubuka, ternyata ada pesan dari gadis itu.
Gadis yang mengirimiku undangan kemarin.
Assalamualaikum. San, bisa dateng kan di pernikahanku?
Dor, setelah sejenak mulai bisa melupakannya, pesannya hadir seperti halilintar di siang bolong. Sejenak
aku termenung. Kubalas atau tidak. Yang jelas, pesan itu sudah kubuka dan dia pasti tahu itu.
Untuk apa dia menanyakan aku bisa datang atau tidak. Untuk mempermalukanku atas ketidakberanianku?
Ah, mungkin terlalu jauh. Mungkin dia hanya ingin mengkonfirmasi berapa dan siapa saja teman SMA
nya yang bisa datang di hajatannya satu persatu. Bukan hanya aku.
Mengenai hal itu, tidak ada yang tahu. Yang jeas, dia mengirim pesan pribadi padaku.
Kucoba untuk menenangkan diri dengan menarik napas dalam. So desperate. Mungkin terlihat seperti
itulah diriku waktu itu.
Tiba-tiba rlihat sekelibat orang memakai jas putih panjang yang menepuk pundakku. Membangu
Eh bro, kenapa terlihat murung gitu? Ternyata si Ela, teman sekelompokku yang melakukannya.
Lo dapet ujian sama dokter WS ya? Sabar ya, gue yakin lo bisa lah. Kan lo yang paling sering ngajarin
kita-kita kemarin.
Aku hanya mengangguk. Lalu membalasnya. Eh, la, kamu ujian pagi ini juga ya? Enak nih kamu,
ujiannya sama dokter Bella. Pasti lulus lah ya.
Haha, beruntung nih gue, sudah disesuaikan sama kemampuan mahasiswa nya nih emang kayaknya,
Jawab Ela. Jelas dia merendah.
Gue Cuma mau cari pasien nih, baru besok ujiannya. Dia menambahkan.
Wah, enak ya bisa milih. Kamu mau cari pasien di sini juga ya? Sahutku
enggak deh, gue mau ke bangsal sebelah aja, disini kan pasiennya susah-susah.
Eh, gue langsung ya.. Sukses San! Gue yakin lo bisa, jangan kelihatandesperate gitu dong.. Dah!
Gadis berambut pendek itu pun berlalu begitu saja.
Kulihat lagi ponselku, kututup, lalu kumatikan. Pesan tadi belum sempat, ah mungkin belum mampu
kubalas sekarang. Kutarik lagi napasku. Dalam dan lebih dalam. Cukup menenangkan. Lalu kubaca lagi
catatan-catatan gejala penyakit dan beberapa obat yang penting.
Kulihat jam tanganku, sudah pukul 07.25. Kuarahkan pandanganku ke lift. Benar, Dokter WS datang.
Aku segera merapikan kertas-kertas catatan yang masih agak tercecer di meja. Lalu aku berdiri. Dia
mendekat.
Janggut nya yang sudah mulai memutih, tubuhnya tinggi dan besar. Sedikit gemuk, pandangannya tajam
seperti peluru. Tapi tenang, khas dokter yang sudah memilik jam terbang sangat tinggi.
Kamu koas yang ujian sama saya?

Iya dok.
Sudah siap?
InsyaAllah, dok.
Oke, ayo ikut saya.
Perawat-perawat pun memberikan hormat kepada dokter senior itu.
Aku mengikutinya dari belakang.
Siapa nama kamu? Mana lembar penliaiannya?
Hasan dok, Jawabku sambil menyerahkan lembar nilai ujian nya.
Tidak usah tegang begitu lah. Mumpung saya lagi baik pagi ini, saya kasih pasien yang mudah saja.
Baik dok.
Kami berjalan ke ke kamar 3.02. Beliau mengetuk pintu, dan menyalami seorang pasien dan mengatakan
bahwa dia akan diperiksa oleh mahasiswa bimbingannya, tentu saja dalam pengawasannya. Pasien itu pun
setuju.
Jujur, aku sudah membaca semua rekam medis pasien yang ada di bangsal ini kemarin siang. Tapi aku
belum membaca punya pasien ini. Kepanikanku bertambah. wah, pasien baru ini. Persis seperti cerita
senior-senior, Dokter WS pasti mencari pasien baru untuk ujian koas.
Pasien itu seorang laki-laki, dari penampilannya mungkin dia mahasiswa atau karyawan berumur sekitar
20-25 tahun. Kulihat wajahnya nampak murung dan tidak beremangat.
Aku pun maju mendekat ke Dokter WS. Dok, saya mulai sekarang?
Silahkan
Kusalami pasien itu sambil memperkenalkan diri, Selamat pagi Pak, Saya Hasan, dokter muda
bimbingannya dokter WS spesialis penyakit dalam. Saya akan memeriksa bapak. Apakah bapak
bersedia?
Oke.
Aku mulai menganamnesis pasien itu. Namanya mas Ihsan, umurnya 24 tahun, lebih tua 2 tahun dariku.
Dia lulusan sebuah universitas swasta dan sedang melamar ke beberapa perusahaan untuk bekerja. Dia
mengeluh nyeri dada dan daerah ulu hati yang tidak membaik sejak 1 minggu yang lalu.
Akupun berpikir ke arah dispesia dan gastroesofageal refluks. Istilah medis untuk sakit maag.
Dia dibawa ke RS dan mondok karena sakitnya itu tidak membaik meskipun sudah diberi obat. Dia
mengaku, sebelum ini belum pernah mengalami sakit seperti ini. Dia merasakan sakit terus menerus
hingga mengganggu tidur dan aktivitas sehari-harinya. Aku mencoba menggali lebih dalam masalahmasalah yang disampaikan mas Ihsan.
Saya sudah frustrasi dengan penyakit saya ini dok, Wajah nya terlihat sangat sedih.

Tanpa ditanya, tiba-tiba dia bercerita sesuatu,


Apakah penyakit saya ini berhubungan dengan kejadian seminggu yang lalu ya dok?
Oh, kejadian apa ya mas? Bisa coba diceritakan?
Hmm.. saya malu mengatakan ini dok. Dia pun menarik napas, lalu melanjutkan, 2 minggu yang lalu,
saya diputuskan oleh pacar saya dok, dan 1 minggu yang lalu, tiba-tiba dia mengirimi saya undangan
pernikahan. Ternyata dia memutuskan saya karena mau menikah dengan orang lain. Ia pun tiba tiba
meneteskan air mata.
Apa sebaiknya saya bunuh diri saja ya dok? Dia pun semakin menangis.
Deg! Kenapa kejadiannya hampir sama dengan apa yang aku rasakan?
Tiba-tiba semua berubah menjadi gelap.
San! Bangun san!, sudah iqomah itu! Suara perempuan. Seperti suara Ibu ku. Aku kelabakan. Hah,
tadi itu mimpi? Kutepuk pipi kiri dan kanan ku. Ah iya, mimpi buruk. Kugenggam kembali kesadaranku.
Perlahan-lahan semakin penuh.
Kulihat jam dinding. Pukul 04.30 pagi. Lalu kulihat kalender, tanggal 1 Desember 2014.
Ujian pasien, ujian pasien? Bukannya aku sudah ujian ya, bahkan hasilnya pun sudah diumumkan.
Aku menarik napas dalam. Lega. Akupun bangkin, secepat kilat mengambil air wudhu dan bergegas ke
mushola depan rumah. Alhamdulilah, meskipun masbuk masih mendapat jamaah.
Sehabis sholat aku berdoa, Alhamdulillah, alhamdulillah, Cuma mimpi ternyata.
Aku kembali ke rumah. Ku ambil ponsel ku, aku buka WhatsApp ku. Tidak ada undangan mengagetkan
berwarna biru muda itu. Tidak ada pula janjian ujian pasien. Yah, ini hari libur. Itulah mengapa aku di
rumah.
Dengan memberanikan diri, aku mencoba memulai pesan dengan gadis itu. Gadis yang masuk dalam
mimpi burukku semalam.
Assalamualaikum, Cuy, Gimana kabar? Aku lagi libur nih, di rumah. Kayaknya si Yoga dan Elsa lagi
pada pulang juga nih. Ngumpul yuk? Begitu pesanku padanya. Tentu saja mimpi buruk semalam tak
akan kuceritakan. Bisa-bisa dia jadi GR. Akan tetapi, kalau kejadian bagaimana? Ah, perasaan yang tidak
jelas ini memang sering membuat dilema.
Lanjutkan saja hidupmu, San! Begitu kataku dalam hati. Aku pun berjanji, Sepatah-patah hatinya
diriku, semoga tidak sampai menjadikanku pasien di RS pendidikan, bakal jadi pasien untuk ujian ntar.
Tidakk.

Vous aimerez peut-être aussi