Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Nama : Ny.M
Umur : 59 th
ANAMNESIS
Poli Saraf
Nama
: Ny. M
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tanggal lahir
: 17 Januari 1955
Umur
: 59 th
Pekerjaan
: Buruh
Pendidikan
: SD
Alamat
Tanggal Periksa
: 18/12/2014
Diagnosis Masuk
: Neuropati DM
Tanggal
: 05-11-2014
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
: kesemutan pada kedua telapak tangan (+), badan terasa cekat cekut
(+), kedua lutut terasa nyeri (+),
Pasien mengaku didiagnosa DM sejak 3 bulan yang lalu, saat itu pasien mengeluh lemas dan
kesemutan pada kedua kaki dan kedua telapak tangan. Pada waktu itu pasien periksa ke dokter
umum dan di cek GDSnya 492. Setelah itu pasien diberi obat metformin 2x500mg, dan dicek
GDS berturut turut menurun (330, 220, 104, 110, 100), dan tidak mengkonsumsi obat lagi 2
minggu terakhir.
Riwayat Kebiasaan :
-
Nama : Ny.M
Umur : 59 th
Poli Saraf
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum
Kesan umum
: tampak tenang
Kesadaran
: compos mentis
GCS
: E4 V5 M6
Status gizi
: baik
Sikap pasien
Tanda vital
Tekanan Darah
: 140/84 mmHg
Nadi
: 80x/menit
Suhu badan
: afebris
Pernafasan
: 20 x/menit
PEMERIKSAAN FISIK :
KEPALA
Bentuk
: Normocephal
Wajah
Mata
RM.02.
sekret (-/-), exopthalmus (-/-), ptosis (-/-), pupil isokor 3mm/3mm, reflek
cahaya (+/+), reflek kornea (+/+)
Telinga
Hidung
Mulut
LEHER
Bentuk
Trakea
THORAX
Bentuk dada
JANTUNG
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: batas jantung
Kanan atas
Kiri atas
PARU-PARU
Kanan
Tampak simetris, retraksi subcostalis
Kiri
Tampaks simetris, retraksi subcostalis
(-),
Palpasi
gerak (-)
Ketinggalan gerak (-), deformitas (-)
gerak (-)
Ketinggalan gerak (-), deformitas (-)
Perkusi
Auskultasi
wheezing
Inspeksi
retraksi
supraclavicularis
inspirator
(-),
(-),
stridor
RM.03.
inspiratory
(-),
ekspirator
diperpanjang (-)
ABDOMEN
Inspeksi
Palpasi
: supel(+), defans muskular (-), massa (-), nyeri tekan epigastrium (-),
turgor cukup, hepar dan lien tidak teraba , hepatomegali (-)
EKSTREMITAS
Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, edema (-/-)
NEUROLOGIS
Kesadaran
: compos mentis,
Kuantitatif
: GCS 15 (E4V5M6)
Orientasi
: baik
Jalan pikiran
: baik
: (-)
Muntah proyektil
: (-)
Sakit kepala
: (-)
Edema papil
: (-)
Kernig
: (-)
Brudzinski I
: (-)
Brudzinski II
: (-)
Brudzinski III
: (-)
Brudzinski IV
: (-)
Nn. Craniales :
RM.04.
Kanan
Subjektif
II. Optikus
Kiri
Normal
Baik
Baik
Pengenalan warna
Baik
Baik
Normal
Normal
(-)
(-)
(+)
(+)
Ptosis
Strabismus
(-)
(-)
Nystagmus
(-)
(-)
Exoftalmus
(-)
(-)
(+)
(+)
Pandangan double
(-)
(-)
Diameter pupil
3 mm
3 mm
(+)
(+)
IV. Troklearis
Gerakan mata (ke bawah-lateral)
V. Trigeminus
Membuka mulut
(+)
(+)
mengunyah
(+)
(+)
menggigit
(+)
(+)
sensibilitas muka
VI. Abdusen
(+)
(+)
(+)
(+)
Mengerutkan dahi
(+)
(+)
Mengangkat alis
(+)
(+)
Menutup mata
(+)
(+)
RM.05.
Memperlihatkan gigi
(+)
(+)
mencucukan bibir
VIII. Vestibulokoklearis
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
Refleks muntah
X. Vagus
(+)
Bicara
(+)
Menelan
XI. Assesorius
(+)
Mengangkat bahu
Memalingkan kepala
XII. Hipoglosus
(+)
(+)
(+)
(+)
Sikap lidah
Normal
Artikulasi
Jelas
Tremor lidah
Menjulurkan lidah
(-)
Tidak ada deviasi
Kekuatan motorik
Ekstremitas superior
Kekuatan
Lengan Atas
Kanan
Kiri
5
5
Lengan Bawah
Kanan
Kiri
5
5
Tangan
Kanan
Kiri
5
5
Jari-jari
Kanan
Kiri
5
5
Tungkai Bawah
Kanan
Kiri
5
5
Kaki
Kanan
Kiri
5
5
Jari-jari
Kanan
Kiri
5
5
Ekstremitas inferior
Kekuatan
Tungkai Atas
Kanan
Kiri
5
5
Reflek fisiologis
Extremitas superior
Kanan
Kiri
RM.06.
Biceps
+2
+2
Triceps
+2
+2
Patella
+2
+2
Achilles
+2
+2
Ekstremitas inferior
Refleks Patologis
Ekstremitas superior
Kanan
Kiri
Babinsky
Chaddock
Gordon
Schaeffer
Gonda
Klonus patella
Klonus achilles
Hoffman Tromner
Ekstremitas inferior
Sensori
-
Pemeriksaan sensasi gerak dan posisi pada ibu jari kaki dbn
Jari-hidung
: baik
Tumit lutut
: baik
Fungsi Vegetatif
Miksi
:+
Inkontinensia urine
:-
Defekasi
:+
Inkontinensia alvi
:-
Fungsi Luhur
Astereognosia
:RM.07.
Apraksia
:-
Afasia
:-
Keadaan Psikis
Intelegensia
: baik
Demensia
: (-)
Tanda regresi
: (-)
DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : polineuropati
Diagnosis Topik : saraf tepi
Diagnosis Etiologi : metabolik (diabetes melitus)
RENCANA PEMERIKSAAN
-
HbA1c
EMNG
PEMERIKSAAN PENUNJANG
LIPID
Cholesterol total
Trigliserida
187 mg/dL
146 mg/dL
< 220
70.0 140.0
HDL cholesterol
46 mg/dL
30.0 - 63.0
LDL cholesterol
112 mg/dL
< 130
KIMIA KLINIS
Gula Darah Puasa
102
md/dL
76 - 110
190
md/Dl
80 - 120
Ureum
17.0
mg/dL
10 - 50
Creatinin
0.72
mg/dL
0.60 - 1.10
Asam urat
4.3
mg/dL
2.0 7.0
RM.08.
Gabapentin 2 x 100 mg
Meloxicam 2 x 7,5 mg
Ranitidin 2 x 1
PROGNOSIS
Vitam : dubia et bonam
Fungsionam : dubia et bonam
Sanationam : dubia ad malam
MASALAH YANG DIKAJI
Bagaimana penegakan diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus neuropati diabetik ?
TINJAUAN PUSTAKA
Neuropati diabetik merupakan komplikasi diabetes melitus jangka panjang yang paling
sering ditemukan serta menimbulkan morbiditas dan mortalitas tinggi pada penderita diabetes.
Bahkan saat ini telah diketahui juga bahwa neuropati diabetik dapat terjadi pada kondisi gangguan
toleransi glukosa dan sindrom metabolik tanpa adanya hiperglikemia.
Neuropati diabetik merupakan sekumpulan gejala klinis yang mempengaruhi berbagai
sistem saraf baik secara tunggal maupun bersama-sama. Gejala dan tanda klinis dapat bersifat nonspesifik, tersembunyi dan berkembang secara lambat serta tidak terdeteksi atau dapat bermanifestasi
dengan gejala dan tanda klinis yang menyerupai penyakit lain. Karena itu diagnosis neuropati
diabetik didapat dengan menyingkirkan penyebab neuropati lainnya.
Masih minimnya pengetahuan mengenai neuropati diabetik mengakibatkan para klinisi tidak
segera mendiagnosisnya. Akibatnya penderita neuropati diabetik datang dalam keadaan ulserasi
kaki, gangren dan kelemahan anggota gerak. Neuropati diabetik meningkatkan resiko amputasi
RM.09.
sebesar 1.7 kali, 12 kali lipat bila ada deformitas dan 36 kali lipat jika ada riwayat ulserasi
sebelumnya. Neuropati diabetik juga menganggu kualitas hidup penderita diabetes. Saat neuropati
diabetik otonom ditegakkan maka kehidupan akan berlangsung suram dan angka mortalitas akan
mencapai 25% hingga 50% dalam waktu 5 hingga 10 tahun. Penatalaksanaan terpadu dalam
mencegah kejadian neuropati diabetik sangat diperlukan.
Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memperluas wawasan pengetahuan
mengenai
neuropati diabetik sehingga dapat menegakkan diagnosis dini dan melakukan penatalaksanaan
neuropati diabetik dengan tepat.
A. DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
1. Sistem Saraf
Sistem saraf terdiri dari sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel penyokong (neuroglia dan sel
Schwann). Kedua jenis sel tersebut demikian erat berkaitan dan terintegrasi satu sama lain sehingga
bersama-sama berfungsi sebagai satu unit. Neuron adalah sel-sel sistem saraf khusus peka rangsang
yang menerima masukan sensorik atau aferen dari ujung-ujung saraf perifer khusus atau dari organ
reseptor sensorik, dan menyalurkan masukan motorik atau masukan eferen ke otot dan kelenjar,
yaitu organ efektor. Neuroglia merupakan penyokong, pelindung dan sumber nutrisi bagai neuron
otak dan medula spinalis. Sel Schwann merupakan pelindung dan penyokong neuron-neuron dan
tonjolan neuronal di luar sistem saraf pusat.
Sistem saraf dibagi menjadi : sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri
otak dan medula spinalis. Sistem saraf tepi terdiri dari neuron aferen dan eferen sistem saraf somatis
dan neuron sistem saraf autonom (viseral). Secara anatomis, sistem saraf perifer dibagi menjadi 31
pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kranial. Saraf perifer terdiri dari neuron-neuron yang
menerima pesan-pesan neural sensorik (aferen) yang menuju ke sistem saraf pusat atau menerima
pesan-pesan neural motorik (eferen) dari sistem saraf pusat atau keduanya. Saraf spinal
menghantarkan pesan aferen maupun pesan eferen dan dengan demikian saraf spinal dinamakan
saraf campuran. Secara fungsional sistem saraf perifer dibagi menjadi sistem saraf somatis dan
sistem saraf otonom.
2. Definisi
International Consensus Meeting for the Outpatient Management of Neuropathy menyetujui
definisi sederhana dari neuropati diabetik dalam praktek klinis sebagai adanya gejala dan/atau tanda
RM.010.
disfungsi saraf perifer pada pasien diabetes setelah eksklusi penyebab lainnya. Diagnosis tidak
dapat dibuat tanpa pemeriksaan klinis yang seksama pada anggota gerak, hilangnya gejala bukan
berarti mengindikasikan hilangnya tanda.
3. Epidemiologi
Epidemiologi dan perjalanan alamiah neuropati diabetik masih belum banyak diketahui.
Prevalensi neuropati diabetik meningkat sesuai usia dan lebih sering dijumpai pada pasien diabetes
melitus tipe 2 dibandingkan diabetes melitus tipe 1. Prevalensi tertinggi neuropati diabetik terjadi
pada penderita diabetes lebih dari 25 tahun.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa prevalensi neuropati diperkirakan yaitu sebesar 30%
dari semua pasien rawat inap. Sementara pada sampel populasi hampir mendekati 20%. Prevalensi
neuropati diabetik pada usia lanjut sekitar 50%, bervariasi dari 14% hingga 63% tergantung pada
tipe populasi yang dipelajari dan kriteria yang digunakan untuk definisi neuropati diabetik.
Pada EURODIAB IDDM Complication Study dengan 3250 pasien, prevalensi keseluruhan
neuropati di 16 negara Eropa sebesar 28%. Neuropati diabetik mempengaruhi hampir 60%
penderita DM pada Rochester Diabetic Neuropathy Study walaupun yang bersifat simptomatik
hanya sekitar 15%. Pada penelitian Canadian First Nation didapatkan neuropati penderita diabetes
sebesar 15% sedangkan pada penelitian di provinsi Yazd Iran diketahui kejadian diabetes mellitus
sebesar 14.5% dengan komplikasi neuropati sensoris sebesar 51.7%.
Prevalensi keseluruhan neuropati diabetik perifer pada National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES) sebesar 14.8% yang lebih dari tiga perempat di antaranya
asimptomatik. Ziegler dan kawan-kawan mendapatkan prevalensi neuropati otonom diabetik
sebesar 16.8% pada penderita DM tipe 1 dan 22.1% pada penderita DM tipe 2. Penelitian diabetes
multisenter di Perancis menemukan hampir 25% penderita memiliki gejala neuropati otonom
diabetik.
RM.011.
Neuropati diabetik perifer merupakan sindrom neuropati yang paling umum ditemukan. Secara
klinis didapatkan kehilangan sensoris pola length-related dengan bermula dari jari kaki dan meluas
ke telapak kaki dan tungkai dalam distribusi kaus kaki.
Dalam kasus yang berat sering juga didapatkan keterlibatan pada anggota gerak atas. Neuropati
otonom subklinis biasanya didapatkan timbul bersamaan. Tetapi jarang ditemukan neuropati
otonom klinis yang jelas. Manifestasi motorik secara klinis tidak tampak jelas pada tahap awal
penyakit. Tetapi, seiring perkembangan penyakit, manifestasi motorik akan semakin tampak seperti
berkurangnya otot kecil tangan dan kelemahan anggota gerak.
Gambar 1.
Gambaran klinis utama dari neuropati diabetik perifer adalah kehilangan rasa sensorik yang
tidak disadari oleh pasien, atau digambarkan sebagai mati rasa. Beberapa pasien mengalami gejala
sensoris progresif seperti :
Mengelitik (parestesia)
Nyeri yang membakar
Nyeri tungkai bawah paroksismal
Nyeri seperti ditusuk atau diiris pisau
Nyeri kontak, sering diasosiasikan dengan wearing day-time clothes and bedclothes
(stimulus tidak menyakitkan tetapi sering diasosiasikan sebagai menyakitkan, dikenal
sebagai alodinia)
RM.012.
Stimulus nyeri ringan dipersepsikan sebagai nyeri yang sangat menyakitkan (hiperalgesia)
Nyeri waktu jalan, sering digambarkan sebagai berjalan tanpa alas kaki di atas kelereng,
Nyeri dapat meluas ke dorsum pedis dan menyebar ke seluruh tungkai. Beberapa pasien
mungkin hanya mengeluhkan kesemutan pada satu atau dua jari kaki, yang lain mungkin
mengalami komplikasi lebih seperti kaki mati rasa atau nyeri neuropati berat dan tidak dapat
respon dengan terapi obat.
Neuropati diabetik perifer yang menyakitkan sering ditemukan, mempengaruhi sekitar 16-26%
dari pasien diabetes, semakin terasa pada malam hari dan menyebabkan gangguan tidur. Nyeri
neuropati yang berat dan menyakitkan biasanya ditandai dengan pembatasan kegiatan fisik seharihari sehingga tidak mengejutkan jika gejala depresif merupakan hal yang umum terjadi. Pada
neuropati lanjut terjadi ataxia sensoris, yang menimbulkan gangguan kemampuan berjalan dan
sering terjatuh terutama jika ada gangguan penglihatan karena retinopati.
Penderita neuropati diabetik perifer bisa saja tidak memiliki berbagai gejala diatas, tetapi datang
dengan ulkus kaki. Keadaan ini memaksa perlunya pemeriksaan kaki semua penderita diabetes
secara seksama untuk mengidentifikasi berkembangnya ulserasi kaki. Kaki yang mati rasa
merupakan risiko terjadinya luka karena suhu atau mekanik, karena itu pasien harus diingatkan akan
hal ini dan diberikan nasehat untuk perawatan kaki.
Neuropati diabetik perifer mudah dideteksi dengan pemeriksaan klinis biasa. Kelainan yang
paling sering adalah berkurang atau hilangnya sensasi vibrasi pada jari kaki dengan menggunakan
garputala 128 Hz. Kehilangan sensasi saraf sensoris yang berat melibatkan semua hal (sensasi suhu,
tekanan dan nyeri) termasuk proprioseptif juga akan berkurang ditandai tanda Romberg yang
positif. Refleks tendon ankle hilang dan dengan semakin beratnya neuropati, refleks lutut juga
berkurang atau tidak ada.
RM.013.
Gambar 2. Contoh distribusi tipikal defisit sensorik (titik : sensasi suhu, garis: sensasi nyeri, garis
silang: sensasi sentuh)
Kekuatan otot pada awalnya akan normal walaupun kelemahan ringan dapat ditemukan pada
ekstensor jari kaki. Semakin progresif akan ditemukan gangguan muskular generalisata khususnya
pada otot kecil tangan dan kaki. Pergerakan halus jari juga terkena dan timbul kesulitan dalam
memegang benda kecil. Deformitas seperti bunion dapat membentuk fokus ulserasi dan deformitas
yang lebih ekstrim seperti artropati Charcot semakin meningkatkan resiko.
b. Nyeri neuropati akut
Nyeri neuropati akut merupakan suatu sindrom neuropati sementara yang ditandai dengan nyeri
akut pada tungkai bawah. Neuropati akut tampak dalam bentuk simetris dan relatif jarang terjadi.
Nyeri selalu membuat stres penderita dan kadang membuat tidak mampu bekerja. Terdapat dua
sindrom yang berbeda, pertama yang terjadi dalam kontrol glikemik yang buruk dan kedua akibat
perbaikan cepat kontrol metabolik setelah memulai insulin (neuritis insulin). Biasanya gejala
sembuh dalam waktu 12 bulan.
c. Neuropati otonom
Jenis neuropati ini mengenai saraf yang mengontrol jantung, tekanan darah dan kadar gula
darah. Selain itu mengenai organ dalam yang menyebabkan gangguan pada pencernaan, miksi,
respon seksual dan penglihatan. Juga mempengaruhi sistem yang memperbaiki kadar gula darah ke
normal, sehingga tanda-tanda hipoglikemia seperti keringat dingin, gemetar dan palpitasi
menghilang. Secara keseluruhan kerusakan terjadi difus pada saraf parasimpatik dan simpatik
terutama pada penderita diabetes dengan neuropati perifer difus.
Sistem pencernaan
Kerusakan saraf pada saluran pencernaan biasanya menyebabkan konstipasi. Selain itu dapat juga
menyebabkan hilangnya motilitas dan pengosongan lambung yang terlalu lambat sehingga
menimbulkan gastroparesis. Gastroparesis berat menyebabkan nausea dan muntah persisten,
sendawa dan tidak nafsu makan.
RM.014.
Sistem kardiovaskuler
Jantung dan sistem sirkulasi merupakan bagian dari sistem kardiovaskuler untuk mengontrol
sirkulasi darah. Kerusakan saraf otonom pada sistem kardiovaskuler menganggu kemampuan tubuh
untuk mengatur tekanan darah dan denyut jantung sehingga timbul hipotensi postural setelah duduk
atau berdiri dan pasien akan merasakan kepala yang ringan, melayang atau bahkan terjadi sinkop.
Kerusakan saraf otonom yang mengatur denyut jantung dapat menyebabkan denyut jantung
takikardi sebagai respon terhadap fungsi tubuh saat normal dan latihan.
Kelenjar keringat
Neuropati otonom dapat mengenai saraf yang mengatur kelenjar keringat sehingga tubuh tidak
dapat mengatur suhu dengan baik dan biasanya timbul keringat berlebihan saat makan dan malam
hari. Jika hal ini didapatkan maka gejala biasanya akan menetap. Anhidrosis kaki akibat denervasi
simpatis merupakan faktor kontribusi terjadinya kaki diabetik karena kulit kering dan mudah
tergores.
Mata
Neuropati otonom juga bisa menyebabkan gangguan pada pupil sehingga menjadi kurang
responsif terhadap cahaya dan mengalami penglihatan yang kurang jelas bila cahaya dinyalakan
mendadak pada kamar yang gelap atau mengalami kesukaran mengemudikan kendaraan pada
malam hari.
Kerusakan saraf menghalangi pengosongan sempurna kandung kemih dan menimbulkan retensio
RM.015.
urin sehingga bakteri dapat tumbuh dalam kandung kemih dan ginjal akibatnya sering terjadi infeksi
pada traktus urinarius. Selain itu dapat juga terjadi inkontinensia urin karena pasien tidak dapat
merasakan kapan kandung kemih penuh dan tidak dapat mengontrol otot-otot untuk miksi.
Neuropati otonom dapat mengurangi respon seksual pada pria dan wanita. Pria akan mengalami
gangguan ereksi atau bisa mencapai klimaks seksual tanpa ejakulasi sedangkan pada wanita akan
mengalami kesukaran lubrikasi dan orgasme.
palpitasi, keringat dingin namun pada penderita diabetes dengan gangguan neuropati otonom ini
tidak akan merasakan gejala hipoglikemia sehingga hipoglikemia akan sulit dideteksi.
2. Neuropati asimetris
Neuropati asimetris atau neuropati fokal adalah komplikasi yang sudah dikenal pada komplikasi
diabetes. Biasanya onsetnya cepat dan cepat pula sembuh. Hal ini berbeda dengan neuropati
diabetik perifer kronis, dimana tidak ada perbaikan atas gejala pada beberapa tahun setelah onset.
a. Amiotrofi diabetik (neuropati motorik proksimal)
Sindrom dari kelemahan dan atropi tungkai asimetris proksimal progresif pertama kali
digambarkan oleh Garland sebagai amiotrofi diabetik. Istilah ini juga dikenal sebagai neuropati
motorik proksimal, neuropati diabetik lumbosakral radikulopleksus atau neuropati femoral.
Penderita merasakan nyeri yang berat pada paha bagian dalam, kadang dirasakan seperti terbakar
dan meluas sampai ke lutut. Penderita diabetes melitus tipe 2 diatas usia 50 tahun sering terkena.
Pada pemeriksaan ditemukan kerusakan otot quadriceps ditandai kelemahan fungsi kelompok
otot ini meskipun otot fleksor dan abduktor panggul dapat juga terpengaruh. Adductor paha,
gluteus, dan otot hamstring juga terkait. Gerakan lutut biasanya berkurang atau tidak ada.
Kelemahan dapat berakibat pada kesulitan untuk bangkit dari kursi yang randah atau menaiki
tangga. Gangguan sensorik jarang terjadi dan jika ada biasanya bersamaan dengan neuropati
diabetik perifer.
Penyebab dari amiotrofi diabetik tidak diketahui. Biasanya cenderung terjadi bersamaan neuropati
diabetik perifer. Beberapa orang menyatakan bahwa kombinasi gambaran fokal tumpang tindih
dengan neuropati perifer difus menunjukkan kerusakan vaskular pada akar saraf femoral sebagai
penyebab kondisi ini.
RM.016.
RM.017.
Beberapa pasien datang dengan keluhan nyeri abdomen dan menjalani berbagai pemeriksaan yang
tidak perlu seperti barium enema, kolonoskopi dan bahkan laparotomi. Penyembuhan biasanya
dalam beberapa bulan meskipun gejala dapat menetap dalam beberapa tahun.
d. Pressure palsies
dengan gangguan kompleks sensori kortikal dan perifer. Magnetic resonance imaging (MRI)
menunjukkan peningkatan frekuensi lesi subkorteks dan batang otak pasien diabetes tipe 1 dengan
neuropati diabetik. Pasien neuropati diabetik menunjukkan area chord yang lebih kecil pada C4/5
dan T3/4. Menggunakan positron emission tomography (PET) dan [18F]-2-deoxy2-fluoro-D-glucose
didapatkan penurunan metabolisme glukosa otak pada pasien diabetes tipe 1 dengan neuropati
diabetik jika dibandingkan dengan pasien diabetes baru dan subyek sehat. Pengukuran
spektroskopik metabolit otak seperti N-acetyl aspartate (NAA) dalam thalamus mendapatkan rasio
kreatinin:NAA lebih rendah, menyatakan disfungsi neuronal thalamus pada neuropati diabetik.
Dengan demikian terdapat sekumpulan bukti yang menyatakan keterlibatan neuropati pada tingkat
spinal dan sentral merupakan gambaran diabetik neuropati tetapi tidak jelas apakah kejadian
tersebut primer atau sekunder.
C. PATOGENESIS
Banyak etiologi berperan serta dalam berbagai sindrom neuropati pada penderita diabetes.
Hiperglikemia sangat jelas memegang peranan dalam perkembangan dan progresi neuropati
diabetik sama seperti komplikasi mikrovaskuler diabetes lainnya. Penelitian patofisiologi molekuler
dan biokimia neuropati diabetik difokuskan pada jalur metabolisme glukosa.
Jalur utama yang dipengaruhi metabolisme adalah fluks glukosa melalui jalur poliol, jalur
hexosamine; aktivasi isoform protein kinase C (PKC) yang berlebihan; akumulasi dari advanced
glycation endproducts (AGEs). Peningkatan stres oksidatif dalam sel menyebabkan aktivasi jalur
polimerase (PARP) dengan meregulasi ekspresi gen yang terlibat dalam promosi reaksi inflamasi
dan disfungsi neuronal. Neuropati diabetik terjadi karena hiperglikemia yang menyebabkan
penurunan aliran neurovaskuler mulai dari iskemia sampai kerusakan neuronal. (lihat gambar 6)
1. Jalur Poliol
Enzim aldose reduktase mereduksi glukosa menjadi sorbitol dan sorbitol dehidrogenase (SDH)
mengoksidasi sorbitol menjadi fruktosa. Kedua enzim ini secara berlebihan diekspresikan pada
jaringan yang rentan terhadap komplikasi diabetes. Hiperglikemia mengaktivasi jalur aldose
reduktase dalam jumlah besar. Peningkatan fluks melalui jalur aldose reduktase menyebabkan
peningkatan sorbitol intraseluler, keadaan hipertonis intraseluler relatif dan efluks kompensasi
osmolit lain seperti mioinositol (penting dalam tranduksi sinyal) dan taurin (antioksidan).
Nicotinamide adenine dinucleotide phospate dehidrogenase (NADPH) digunakan oleh aldose
RM.019.
reduktase-diperantarai oleh reduksi glukosa menjadi sorbitol dan NADPH habis untuk regenerasi
glutation tereduksi (GSH) sehingga terjadi stress oksidatif.
RM.021.
RM.022.
Stres oksidatif ini menyebabkan kerusakan mitokondria diikuti dengan degenerasi aksonal dan
kematian.
Kerusakan mitokondria terjadi akibat pembentukan berlebihan ROS dan reactive nitrogen
species (RNS). ROS, seperti superoksida dan hidrogen peroksida, dihasilkan di bawah kondisi
normal melalui rantai transfer elektron mitokondria dan secara normal dilepaskan oleh agen
detoksifikasi seluler seperti superoxide dismutase, katalase dan glutation. Hiperglikemia
menyebabkan peningkatan aktivitas mitokondria sehingga meningkatkan produksi ROS.
Peroksinitrit (RNS utama) dibentuk oleh reaksi superoksida dan nitric oxide (NO). RNS
memicu sejumlah efek sitotoksik termasuk nitrosilasi protein dan aktivasi PARP. Kelebihan
pembentukan ROS/RNS membebani kapasitas alamiah antioksidan sel, menyebabkan kerusakan
lipid, protein dan DNA. Kerusakan tersebut memperburuk fungsi sel dan integritasnya. Mitokondria
rentan terhadap kerusakan ini karena merupakan asal dari pembentukan ROS/RNS.
Stres oksidatif seluler semakin meningkat bila hiperglikemia menyebabkan produksi berlebihan
superoksida sebagai produk fosforilasi oksidatif mitokondria. Produksi berlebihan superoksida juga
menghambat GADPH, menyebabkan akumulasi intermediate glikolitik upstream. Kerusakan seluler
lanjut dan penurunan aliran darah saraf serta iskemia terjadi karena intermediate tersebut
memperbanyak produksi aldose reduktase, hexosamine, PKC dan AGEs. Secara ringkas, stres
oksidatif dan ROS menghubungkan jalur metabolik dan mediator fisiologis yang terlibat pada
disfungsi progresif, kerusakan dan hilangnya serabut saraf pada neuropati diabetik.
Pembentukan ROS mengawali siklus dimana stres oksidatif sendiri menganggu mekanisme
antioksidan alamiah. Stres oksidatif tidak hanya merusak DNA, protein dan membran mitokondria
tetapi juga mengawali jalur sinyal yang menyebabkan destruksi mitokondrial terlokalisir disebut
mitoptosis yang selanjutnya memicu apoptosis.
7. Inflamasi
Agen inflamasi termasuk protein C-reaktif dan TNF- didapatkan pada diabetes melitus tipe 1
dan 2. Kadar tinggi protein ini berhubungan dengan insidens neuropati. Ketika kelebihan glukosa
dipintas melalui jalur alternatif metabolik seperti fructose-6 phospate atau diasilgliserol,
intermediate signalling dan modifikasi transcription factor menyebabkan peningkatan TGF- dan
NF-B. Pemecahan glikolitik triose fostat akan membentuk AGEs. AGE ekstraseluler lainnya
mengaktivasi RAGE yang juga menimbulkan signaling inflamasi intraseluler untuk upregulasi NFB.
RM.023.
Semua mekanisme inflamasi pada neuropati diabetik merupakan akibat dari aktivasi NF-B.
Aktivasi kronis NF-B menyebabkan pembuluh darah dan sel saraf lebih rentan terhadap kerusakan
akibat reperfusi iskemia. Reperfusi-iskemia mengakibatkan terjadinya infiltrasi luas monosit
makrofag dan inflitrasi sedang granulosit pada saraf tepi diabetik. Sitokin yang diinduksi oleh NFB dalam sel endotel, sel Schwann dan neuron juga menyebabkan rekruitmen makrofag pada saraf
diabetik. Makrofag menyebabkan neuropati diabetik melalui sejumlah mekanisme, termasuk
produksi ROS, sitokin dan protease, yang menimbulkan kerusakan mielin dan kerusakan oksidatif
seluler. Rekruitment berlebihan makrofag menganggu regenerasi neuropati diabetik.
8. Growth factor
Growth factor membantu pertumbuhan dan kelangsungan hidup neuron. Neuropati diabetik
diketahui mengalami degenerasi neuronal dan kerusakan sel Schwann, gangguan growth factor
seperti nerve growth factor (NGF), insulin-like growth factor (IGF) dan neurotrophin 3 (NT-3) yang
terlibat dalam patogenesis neuropati diabetik. Faktor-faktor ini terikat pada reseptor heterodimeric
tyrosine kinase
Kadar ekspresi berbagai growth factor terganggu pada model neuropati diabetik. NGF
merupakan growth factor yang paling banyak dipelajari pada neuropati diabetik. NGF diproduksi
oleh otot dan keratinosit dan reseptor trkA-nya diekspresikan pada neuron simpatis dan sensoris.
Kadar NGF berkurang pada berbagai model diabetik. Tetapi ketika kadar glukosa kembali normal
maka kadar NGF juga kembali normal. Hal ini menunjukkan bahwa diabetes, baik oleh karena
hiperglikemia maupun kekurangan insulin, mempunyai kemampuan meregulasi growth factor.
Tetapi beberapa penelitian lain menunjukkan hasil berbeda mengenai kadar ekspresi NGF ini. Sama
seperti pada NGF, IGF I dan II diregulasi juga dibawah kondisi diabetik melalui pemberian insulin.
NT-3 diekspresikan pada otot dan kulit. NT-1 dapat bersinyal melalui trkA dan B dan umumnya
melalui trkC. Seperti trkB, trkC ditemukan pada motor neuron dan populasi neuron sensoris
diameter besar yang bertanggungjawab terhadap proprioseptif dan sensasi taktil. Sama seperti
penelitian dengan growth factor lainnya, perubahan pada ekspresi NT-3 di diabetes belum secara
konsisten tercatat. Kadar protein NT-3 diupregulasi pada saraf suralis dengan kadar mRNA yang
dilaporkan dapat meningkat dan menurun.
Akibat proses-proses di atas terjadi perubahan morfologi saraf yaitu hilangnya serabut saraf,
atrofi akson, edema nodus Ranvier, disfungsi aksoglia dan edema endoneurial, keadaan ini
menyebabkan terjadinya perubahan struktural saraf perifer, yaitu :
-
Degenerasi Wallerian
RM.024.
Mengenai akson dan selubung myelin, akson yang terputus dari pusat akan menyusut, akson
dan myelin terpecah, destruksi oleh makrofag, degenerasi terjadi pada bagian proksimal
sepanjang 1-2 segmen, perubahan perikarion, badan Nissl terpecah dan menghilang, nukleus
pindah ke pinggir sel, sel Schwann berproliferasi terjadi lesi transversa pada berkas saraf.
-
Degenerasi aksonal
Degenerasi akson pertama kali terjadi terutama pada bagian distal selanjutnya berkembang
ke proksimal, proses selanjutnya seperti degenerasi Wallerian
Manifestasi neuropati diabetik yang paling sering dikeluhkan oleh penderita adalah rasa nyeri.
Nyeri neuropati diabetik merupakan salah satu gejala positif dari neuropati diabetik perifer.
Patofisiologi timbulnya gejala nyeri masih banyak yang belum dimengerti dan alur neurologik
terjadinya nyeri juga masih membingungkan. Pada model hewan menunjukkan adanya kepekaan
dari akson perifer yang cedera dan sistem saraf pusat. Kepekaan saraf perifer ditunjukkan dengan
tanggapan yang berlebihan dari saluran natrium dan khususnya reseptor adrenergik, pada aferen
perifer yang tidak bermielin juga dikeluarkan sejumlah peptida, terutama 11-aminoacid peptide
substance P yang merupakan vasodilator kuat dan penarik kimia untuk sel darah putih serta
menyebabkan lepasnya histamine dan serotonin dari platelet. Sedangkan perubahan saraf pusat
ditunjukkan dengan peningkatan sensitivitas dari reseptor N-methyl-D-aspartate (NDMA) juga
reseptor glutamine-activated yang mengubah reseptor opiate dan neuropeptida lainnya.
Pada beberapa peneliti menduga bahwa nyeri ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi serabut
kecil tidak bermielin tipe C nosiseptif dan sedikit serabut bermielin A delta namun berkaitan dengan
serabut bermielin besar. Setelah terjadi cedera pada saraf perifer karena kadar gula darah tinggi
yang berlangsung lama, beberapa serabut C akan mengalami kehilangan kontak sinaptik dengan
medula spinalis dan terjadi degenerasi aksonal. Sebagai mekanisme kompensasi, pada serabut besar
bermielin akan timbul tunas di daerah yang mengalami kehilangan sinap, yaitu di daerah superfisial
dari kornu dorsalis medula spinalis. Pada keadaan yang sama pembentukan tunas kolateral, serabut
besar juga timbul cetusan ektopik abnormal, hal ini merupakan penggerak utama terjadinya nyeri
RM.025.
neuropati. Teori ini didukung dengan percobaan bahwa anestesi lokal dosis rendah dapat menahan
cetusan ektopik dengan menghasilkan efek analgesik bermakna pada hewan percobaan dan
percobaan klinik dengan nyeri neuropati. Komponen nyeri neuropati lain adalah hilangnya inhibisi
pada medula spinalis (terjadinya degenerasi dari -aminobutyric acid = GABA-ergik pada kornu
dorsalis) memperlihatkan adanya eksitotoksisitas dengan pengeluaran glutamate dan aspartat yang
berlebihan.
D. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Melalui anamnesis dapat dicari keluhan atau gejala yang berhubungan dengan neuropati
diabetik seperti :
Gangguan sensorik, gejala negatif muncul berupa rasa baal, rasa geli, seperti memakai
sarung tangan, sering menyerang distal anggota gerak, terutama anggota gerak bawah. Rasa
nyeri dapat timbul bersama-sama atau tanpa gejala di atas.
Penilaian nyeri merupakan aspek penting dalam menentukan diagnosis nyeri neuropati
diabetik. Pada tahap awal diperlukan riwayat nyeri, lokasi nyeri, kualitas nyeri, distribusi
nyeri, bagaimana pengaruh terhadap rabaan atau sentuhan, faktor yang meringankan atau
memperberat. Pasien dapat memberi keluhan lebih dari satu tipe nyeri, riwayat nyeri dapat
membantu penderita untuk mengumpulkan keterangan mengenai nyeri apakah tipe neuropati
atau nosiseptif yaitu terjadinya nyeri yang merupakan respon dari aktivitas reseptor nyeri
terhadap stimulus noksisous.Untuk menentukan tingkat beratnya nyeri atau yang
berhubungan dengan karakteristik, pola nyeri dapat menggunakan kuesioner nyeri McGill
(MPQ). Sementara untuk menentukan ada atau tidaknya nyeri dapat menggunakan Visual
Analog Scale.
Gangguan motorik dapat berupa gangguan koordinasi, parese proksimal dan atau distal,
manifestasinya berupa sulit naik tangga, sulit bangkit dari kursi atau lantai, sering terjatuh,
sulit bekerja atau mengangkat lengan ke atas bahu, gerakan halus tangan terganggu, mudah
tersandung, kedua kaki mudah bertabrakan.
Gejala otonom berupa gangguan berkeringat, perasaan melayang pada posisi berdiri, sinkop
saat buang air besar, batuk atau bersin, impotensi, sulit ejakulasi, ejakulasi retrograde, sulit
RM.026.
menahan buang air besar atau kecil, diare saat malam hari, konstipasi, gangguan adaptasi
dalam gelap dan terang.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien neuropati diabetik dilakukan pada semua sistem tubuh, berkaitan
dengan komplikasi yang mungkin terjadi pada DM. termasuk pemeriksaan tekanan darah dan
denyut jantung. Pasien dengan gejala atau tanda gangguan pada ekstremitas perlu dilakukan
pemeriksaan bising dan denyut nadi perifer karena ada kemungkinan terjadi gangguan vaskuler
oklusif. Bila ada keluhan lapang pandang dilakukan pemeriksaan oftalmologi. Pemeriksaan kulit
dilakukan terutama pada daerah kaki, apakah ada luka yang sembuhnya lambat atau ulkus.
Pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan saraf kranial, tonus otot, kekuatan, adanya
fasikulasi, atrofi, pemeriksaan refleks tendon dalam patella dan Achilles. Observasi mengenai cara
berjalan, berjalan di tempat, berjalan dengan jari kaki dan tumit. Pemeriksaan sensorik dilakukan
dengan pemeriksaan vibrasi, temperatur, raba dan pemeriksaan propioseptif.
3. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Semua pasien dengan neuropati diabetik harus dilakukan pemeriksaan gula darah,
urinalisis, kadar HbA1c, kolesterol total, kolesterol HDL dan LDL, trigliserida, asam urat,
serta pemeriksaan lain bila ada indikasi seperti elektrolit, hitung jenis sel darah, serum protein
elektroforesis, vitamin B12, folat, keratin kinase, laju endap darah, antibodi antinuclear, fungsi
tiroid dan elektrokardiografi.
Radiologis
Pemeriksaan radiologis dapat berupa pemeriksaan MRI servikal, torakal dan atau lumbal
untuk menyingkirkan kausa sekunder dari neuropati, CT mielogram merupakan suatu
pemeriksaan alternatif untuk menyingkirkan lesi kompresi dan keadaan patologis lain di
kanalis spinal pada radikulopleksopati lumbosakral dan neuropati torakoabdominal, MRI otak
digunakan untuk menyingkirkan aneurisma intrakranial lesi kompresi dan infark pada
kelumpuhan nervus okulomotorius.
Consensus Development Conference pada Standarized Measure in Diabetic Neuropathy
merekomendasikan lima pengukuran yang dilakukan dalam diagnosis neuropati diabetik sebagai
berikut :
1. Pengukuran klinis
RM.027.
2. Analisis morfologi
3. Pengukuran elektrodiagnostik
4. Tes kuantitatif sensoris dan
5. Tes sistem saraf otonom
1) Alat skrining klinis
Kebanyakan instrumen skrining untuk neuropati diabetik bersifat non-invasif, murah, sensitif
dan endpoint prediktif klinis tinggi. Sejumlah sistem skoring diajukan untuk menilai secara klinis
defisit neurologis sehingga dapat diketahui adanya dan beratnya neuropati. Pendekatan ini dimulai
oleh Dyck dkk pada Mayo Clinic yang membuat Neuropathy Disability Score (Mayo NDS). Tetapi
sistem skoring tersebut memerlukan keahlian seorang neurolog. Modifikasi NDS pertama dibuat
oleh Young dkk dapat dilakukan oleh non-spesialis dan mempunyai jumlah total 28 terhadap defisit
sensoris dan refleks. Skor sensoris merupakan evaluasi nyeri (pin prick), sentuh (wol katun), dingin
(garpu tala yang dimasukkan ke dalam air es), vibrasi (garpu tala 128 Hz), digradasikan sesuai
lokasi anatomi yang terganggu (tidak ada abnormalitas [0], ibu jari [1], kaki tengah [2], ankle [3],
tengah tungkai bawah [4], dan lutut [5]). Rerata kedua tungkai untuk setiap modalitas dihitung
jumlah dari keempat defisit menggambarkan skor sensoris. Skor refleks berasal dari refleks lutut
dan ankle (normal=0, ada=1 dan tidak ada=2). Skor 1-5=neuropati ringan, 6-16= neuropati sedang
dan 17-28=neuropati berat.
Metode alternatif untuk mendiagnosis dan menentukan derajat neuropati diabetik pada pasien
rawat jalan termasuk Michigan Neuropathy Sreening Instrument, yang terdiri atas 15 pertanyaan
ya atau tidak untuk gejala yang berhubungan dengan sensasi, kelelahan umum dan penyakit
vaskuler perifer selain inspeksi kaki, penilaian sensasi vibrasi dan refleks ankle. Beberapa metode
lainnya seperti Neuropathy Symptom Profile, Neuropathy Symptom Score Diabetic Neuropathy
Symptom Score dan UT Abbreviated Neuropathy Questionnaire.
Tabel 1. Modified Neuropathy Disability Score
Neuropathy disability score
Ambang batas persepsi getaran
Garpu tala 128-Hz; apeks ibu jari:
Normal = dapat membedakan
getaran/tidak
Kanan
Kiri
Normal = 0
Abnormal = 1
RM.028.
Ada = 0
Ada dengan bantuan = 1
Tidak ada = 2
2) Penilaian morfologi
diagnosis dan nilai prediktif teknik ini sangat tinggi. Penelitian longitudinal densitas IENF dan
laju regenerasi dipastikan berhubungan dengan perubahan neuropatologis dan progresi
neuropati serta untuk menilai kegunaan potensial biopsi kulit sebagai pengukuran outcome
pada penelitian neuropati perifer.
Gambar 8. Biopsi nervus suralis normal dibandingkan neuropati diabetik sedang dan
berat.
3) Tes kuantitatif sensoris (Quantitative Sensory Testing)
Tes kuantitatif sensoris (QST) memiliki intensitas dan karakteristik stimulus yang terkontrol
baik dan ambang deteksi ditentukan dalam unit parameter yang dapat dibandingkan dengan nilai
normal sehingga penting untuk pengukuran akurat neuropati.
Alat ini mengukur :
1. Evaluasi serial terstandarisasi pada lokasi tubuh multipel.
2. Kontrol akurat karakteristik dalam range dinamik luas
3. Penilaian sensoris multipel
4. Perbandingan hasil uji individual dengan database normatif dan bersifat non-invasif.
Kerugian utama yaitu kurangnya objektivitas dan respon yang diperiksa tergantung pada kerjasama
dan konsentrasi mereka seperti yang diharapkan. QST mengukur vibrasi menggunakan
Biothesiometer atau Neurothesiometer.
RM.030.
Gambar 9. Neurothesiometer
4) Elektrodiagnostik
Elektromiografi digunakan untuk membedakan penyakit otot dari gangguan neurologis.
Pada tes ini, beberapa jarum diletakkan pada otot kemudian dilakukan pencatatan sewaktu
istirahat dan kontraksi. Prosedur ini terasa sangat nyeri untuk beberapa pasien dan mungkin
memerlukan analgesik pasca-prosedur. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf menyempurnakan
pemeriksaan elektromiografi (EMG), membantu pemeriksa untuk mengevaluasi keberadaan dan
luasnya patofisiologi saraf perifer.
Pemeriksaan hantaran mencatat respon listrik otot terhadap rangsangan ke saraf motoriknya
pada dua titik atau lebih di sepanjang jalurnya menuju otot. Pemeriksaan hantaran saraf sensorik
menentukan kecepatan hantaran dan amplitudo potensial aksi dalam serabut sensorik dengan
merangsang serabut pada satu titik dan merekam responnya pada titik lain di sepanjang akson
saraf. Pemeriksaan hantaran saraf sangat berguna dalam membedakan antara gangguan
demielinisasi dari denervasi dengan hilangnya akson dan dalam mendiagnosis gangguan hantaran
neuromuskular. Pemeriksaan ini juga dapat membantu membedakan antara mononeuropati dan
polineuropati.
untuk mengontrol gula darah. Perubahan gula darah yang fluktuatif dianggap dapat memperburuk
dan menyebabkan nyeri neuropati sehingga stabilitas nilai kontrol glikemik lebih penting untuk
menghilangkan nyeri neuropati diabetik. Kontrol glikemik yang ketat dapat menurunkan resiko
neuropati sebesar 60% dalam waktu 5 tahun pada penelitian Diabetes Control and Complication
Trial.
2. Terapi simptomatik
a. Polineuropati diabetik
Nyeri merupakan manifestasi dini neuropati diabetik dan sering mendahului diagnosis diabetes.
Beberapa penelitian terbaru menyatakan bahwa hampir sepertiga pasien dengan gangguan
toleransi glukosa (pre-diabetes) mencari pertolongan medis karena sindrom nyeri yang identik
dengan polineuropati diabetik. Polineuropati diabetik merupakan gejala persisten pada penelitian
epidemiologi pasien dengan DM tipe 2 tetapi jarang pada diabetes tipe 1. Kurangnya pengertian
patogenesis kelainan ini menyebabkan terbatasnya perkembangan terapi mekanisme spesifik.
Termasuk didalamnya penggunaan antikonvulsan, antidepresan, agen topikal dan opioid.
Antidepresan
-
serotonin. Pada penelitian yang dilaporkan oleh Max dan kawan-kawan, amitriptilin (150
mg/hari) lebih superior dibandingkan plasebo dalam mengurangi polineuropati diabetik
setelah pengobatan selama 6 minggu. Tetapi amitriptilin berhubungan dengan efek samping
signifikan termasuk mulut kering, sedasi dan penglihatan kabur.
Desipramine lebih baik ditoleransi dan sama efektifnya dalam mengobati polineuropati
diabetik. Uji klinis acak untuk imipramin menyatakan bahwa dosis 50 mg dan 75 mg per
hari
secara
signifikan
memperbaiki
polineuropati
diabetik
Clomipramide
juga
diabetik.
Inhibitor reuptake serotonin norepinephrine (SNRI) mempunyai efikasi lebih besar
dalam pengobatan polineuropati diabetik dibandingkan SSRI. Duloxetine telah disetujui
FDA dalam mengobati polineuropati diabetik berdasarkan tiga uji klinis plasebo-kontrol
acak yang besar. Dari penelitian tersebut duloxetine 60 mg dan 120 mg perhari memberikan
hasil signifikan dalam pengobatan polineuropati diabetik. Dosis lebih tinggi memberikan
hasil lebih baik tetapi dengan efek samping yang lebih besar. Secara umum, duloxetine lebih
RM.034.
baik ditoleransi dalam hal efek samping jantung dan gastrointestinal dibandingkan SNRI
lainnya. Venlafaxine 150-225 mg/hari mengurangi polineuropati diabetik tetapi dengan efek
samping terhadap jantung seperti peningkatan resiko perubahan elektrokardiografi.
Antikonvulsan
Antikonvulsan mengontrol eksibilitas neuronal dengan penghambatan saluran natrium dan/atau
kalsium. Secara luas obat ini digunakan untuk mencegah kejang tetapi dapat juga digunakan dalam
pengobatan nyeri neuropati. Fenitoin dan karbamazepin secara primer memblok voltage gated
sodium channel. Dengan dosis antara 200 dan 600 mg/hari, keduanya dapat mengurangi
polineuropati diabetik dibandingkan plasebo.
Sodium valproat meningkatkan kadar GABA pada susunan saraf pusat, menghambat saluran T
T-type calsium dan meningkatkan masuknya potasium. Efek samping yang ada seperti kerontokan
rambut, pertambahan berat badan, hepatotoksisitas dan disfungsi kognitif dalam penggunaan jangka
panjang membatasi penggunaannya walaupun dosis 500 mg/hari dapat menurunkan nyeri
polineuropati diabetik. Lamotrigine merupakan antikonvulsan baru yang memblok voltage gated
sodium channel, menurunkan arus kalsium presinaptik untuk menghambat pelepasan glutamat dan
penurunan kadar GABA dalam otak.
Topiramate mempunyai beberapa aksi seperti pemblokan activity-dependent voltage gated
sodium channel; menghambat L-type voltage gated calcium channel dan memblok reseptor
kainite/-amino-3-hydorxxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) excitatory amino acid
receptor. Topiramate 400 mg/hari biasanya ditoleransi baik dan secara signifikan mengurangi
polineuropati diabetik pada 1 dari 6 pasien.Oxcarbazepine merupakan keto-analog karbamazepine
yang memblok sodium channel. Oxcarbazepine mempunyai profil efek samping yang baik dan
ditoleransi dengan baik.
yang lebih sedikit dibandingkan antidepresan trisiklik dan antikonvulsan lainnya. Gabapentin
menghasilkan efek analgesia dengan terikat pada 2- L-type voltage gated calcium channel dan
menurunkan influks kalsium. Gabapentin 400mg lebih efektif dalam mengobati polineuropati
diabetik dibandingkan amitriptilin ( 90 mg/hari). Gabapentin dapat ditoleransi dengan baik pada
titrasi lambat. Efek samping gabapentin termasuk dizziness, ataksia, sedasi, euforia, edema ankle
RM.035.
dan pertambahan berat badan. Biasanya dibutuhkan titrasi berminggu-minggu untuk mencapai dosis
maksimal yang efektif hingga 3 g/hari.
Pregabalin juga bekerja dengan mengikat subunit 2- calcium channel. Pada empat penelitian
uji klinis plasebo kontrol acak, pregabalin (300-600 mg/hari) secara signifikan lebih efektif dalam
meringankan polineuropati diabetik dibandingkan plasebo. Tidak seperti gabapentin, pregabalin
memiliki absorpsi gastrointestinal yang lebih baik dan dapat diberikan dua kali perhari. Efek
farmakokinetik linearnya menyebabkan onset maksimal hilangnya nyeri yang cepat. Tetapi efek
sampingnya sama dengan gabapentin. Diantara efek samping tersebut, pertambahan berat badan
perlu diperhatikan pada pasien DM tipe 2.
Metixiline
Metixline merupakan anti-aritmia dan telah digunakan untuk mengobati berbagai macam nyeri
neuropati termasuk polineuropati diabetik. Beberapa uji klinis plasebo kontrol acak telah dilakukan
tetapi tidak satupun penelitian menunjukkan pengurangan skor nyeri lebih dari 50%. Tetapi pasien
dengan keluhan nyeri yang menusuk dan membakar dan sensasi panas dapat dikurangi dengan
terapi metixiline.
Opioid
Oxycodon lepas lambat 20mg/hari mengurangi polineuropati diabetik pada periode 6 minggu.
Walaupun opioid efektif terhadap polineuropati diabetik, penggunaan jangka panjang akan
mempunyai efek samping termasuk konstipasi, retensio urin, gangguan fungsi kognitif, gangguan
fungsi imun dan masalah yang berhubungan dengan toleransi dan adiksi. Baru-baru ini penelitian
menggunakan kombinasi terapi opioid dan gabapentin membuktikan bahwa ada efek pengurangan
nyeri. Kombinasi obat lebih efektif dalam mengurangi nyeri dibandingkan obat tunggal.
Dua antagonis reseptor NDMA, dekstrometrofan dan mematine telah diuji pada polineuropati
diabetik. Dekstrometrofan mempunyai efek penurunan polineuropati diabetik signifikan yang
tergantung pada dosis. Walaupun begitu inhibitor NMDA mempunyai efek samping termasuk
sedasi, mulut kering dan distres gastrointestinal.
Agen topikal
Capsaicin merupakan ekstrak dari capsicum. Capsaicin terikat pada reseptor TRPV1 dan
memakai substansi P pada saraf perifer untuk mendapatkan efek analgesiknya. Pada penelitian oleh
Capsaicin Study Group, 0.075 krim capsaicin dioleskan tiga kali sehari selama 6 minggu lebih
efektif dalam mengurangi polineuropati diabetik dibandingkan plasebo. Rasa terbakar merupakan
efek samping paling sering yang cenderung menurun jika terapi diteruskan. Efek terapeutik
capsaicin dimulai mingguan setelah pemakaian krim. Baru-baru ini patch yang mengandung
capsaicin dosis tinggi menunjukkan efek menjanjikan dalam pengobatan nyeri diabetik.
Karena gangguan pembentukan NO menyebabkan penurunan aliran darah terlibat dalam
polineuropati diabetik, penelitian kecil menggunakan isosorbid dinitrat dilakukan. Pada 12 minggu
penelitian crossover, double-blind, placebo controlled dengan 22 pasien didapatkan semprotan
isosorbid dinitrat secara signifikan mengurangi polineuropati diabetik. Pasien dalam percobaan ini
melaporkan nyeri kepala ringan dan dibutuhkan penelitian lebih besar untuk mengevaluasi efek
potensial pengobatan ini dalam polineuropati diabetik.
Patch lidokain topikal 5% dilaporkan pada beberapa penelitian mengurangi nyeri polineuropati
diabetik. Pada penelitian open label hingga empat patch lidokain 5% diberikan hingga 18 jam/hari
dapat ditoleransi dengan baik pada pasien dengan nyeri diabetik polineuropati. Patch lidokain
secara signifikan memperbaiki nyeri dan angka kualitas hidup.
b. Neuropati diabetik otonom
Seperti didiskusikan sebelumnya, langkah pertama dalam pengobatan semua bentuk neuropati
diabetik adalah kontrol glikemik. Gejala neuropati diabetik otonom mungkin bermanifestasi pada
berbagai organ sehingga pengobatan simptomatik ditujukan untuk organ dan sistem tubuh yang
terkena.
Hipotensi ortostatik sangat sulit untuk untuk ditatalaksana karena tekanan darah berdiri akan
meningkat tanpa menyebabkan hipertensi ketika pasien berbaring. Pilihan pengobatan hipotensi
ortostatik dicantumkan pada tabel 2 di bawah.
RM.037.
Golongan
Dosis
Efek Samping
HIPOTENSI ORTOSTATIK
9
Fluorohydrocortisone
Mineralocorticoid
0.5-2 mg/hari
Gagal jantung
kongestif,hipertensi
Clonidine
2-Adrenergic agonist
0.1-0.5 mg (malam)
Octreotide
Analog Somatostatin
0.1-0.5 g/kg/hari
GASTROPARESIS
Metoclopromide
D2-Receptor antagonist
Domperidon
D2-Receptor antagonist
Galactorrhea
RM.038.
Golongan
Dosis
Efek Samping
Levosulfide
D2-Receptor antagonist
25 mg tid
Galactorrhea
DIARE DIABETIK
Metranidazole
Hipotensi ortostatik
Clonidine
2-Adrenergic agonist
Megakolon toksik
Cholestyramine
4 1-6 kali/hari
Loperamide
Opiate-receptor agonists
2 mg qid
Octreotide
Analog somatostatin
50 g tid
CYSTOPATHY
Bethanechol
Acetylcholine receptor
agonist
10 mg, 4 kali/hari
Doxazosin
1-Adrenergic antagonist
DISFUNGSI EREKSI
Sildenafil
GMP type-5
50 mg sebelum aktivitas
phosphodiesterase inhibitor seksual, sekali sehari
Pengobatan harus dimulai dengan kontrol glikemik yang baik. Antibiotika spektrum luas seperti
metronidazol dapat digunakan untuk mengobati diare yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri
yang berlebihan. Klonidine memperbaiki diare dengan menekan aktivitas berlebihan adrenergik.
Kolestiramin digunakan untuk mengikat garam empedu jika uji nafas hidrogen normal dan pasien
gagal diobati dengan antiobiotika. Loperamide dapat digunakan untuk mengurangi jumlah feses
tetapi harus digunakan dengan hati-hati karena resiko megakolon toksik. Diare yang resisten
terhadap pendekatan di atas mungkin respon terhadap octreotide.
Pengobatan kandung kemih neurogenik harus dimulai dengan berkemih terjadwal, kadang
bersamaan dengan tekanan manual pada kandung kemih untuk memulai urinasi (Crede manuver).
Agen parasimpatomimetik, bethanecol (10 mg,QID) dapat membantu dan relaksasi sfingter
didapatkan juga dengan antagonis adrenergik -1, doxazosin (1-2 mg, BID atau TID). Kateterisasi
RM.039.
sangat berguna dan dapat mengurangi resiko infeksi saluran kemih. Biasanya kateterisasi kronis
atau pembedahan transuretral leher kandung kemih mungkin diperlukan.
Disfungsi ereksi merupakan gejala awal diabetes dan petanda berkembangnya penyakit vaskuler
generalisata. Pengobatan disfungsi ereksi harus dimulai dengan optimalisasi kontrol glukosa dan
mengurangi alkohol serta tembakau. Fosfodiesterase inhibitor saat ini sudah tersedia dengan
farmakokinetik dan profil efek samping aman dalam mengobati disfungsi ereksi. Sildenafil (50 mg,
60 menit sebelum aktivitas seksual) atau tadalafil (5 hingga 20 mg, 60 menit sebelum aktivitas
seksual) efektif dalam mengobati disfungsi ereksi. Pengobatan dikontraindikasikan pada pasien
yang mendapat nitrogliserin atau obat yang mengandung nitrat. Injeksi prostasiklin ke dalam corpus
kavernosum dan prostesa implan penis juga sudah tersedia.
3. Terapi kausal
Terapi yang dibahas sebelumnya terbukti dapat mencegah atau memperlambat neuropati
diabetik (kontrol glikemia) atau menghilangkan efeknya (terapi simptomatik). Seperti telah
diketahui pendekatan yang terbukti dalam mengobati penyebab neuropati diabetik adalah kontrol
glikemik, farmakologis dan neutraceutical yang bertujuan menekan patogenesis neuropati diabetik
seperti dibahas berikut ini. Terapi potensial ini berusaha untuk mengurangi penyimpangan biokimia
yang menginduksi kerusakan saraf.
akibat keberhasilannya dalam mengurangi pembentukan katarak dikarenakan stres osmotik akibat
akumulasi poliol pada lensa diabetik. Lebih jauh inhibitor aldose reduktase berhasil dalam
pencegahan dan menekan kerusakan saraf pada model hewan pengerat. Sejumlah inhibitor aldose
reduktase telah memasuki pasaran, kebanyakan terapi ini secara efektif menurunkan kadar poliol
saraf, tetapi hasilnya tidak selalu diterjemahkan sebagai perbaikan gejala neuropati diabetik.
- Sorbinil
Sorbinil merupakan prototip inhibitor aldose reduktase dikembangkan pada tahun 1981 dalam
pengobatan neuropati diabetik. Walaupun berhasil menurunkan dan mencegah defisit NCV pada
model hewan pengerat, sorbinil gagal menunjukkan keberhasilan pada manusia. Bagaimanapun
sorbinil berhasil membuka jalan untuk terapi inhibitor aldose reduktase di masa depan.
- Ponalrestat
RM.040.
Ponalrestat merupakan asam karbosilat yang secara efektif menurunkan kadar sorbitol saraf in
vitro dan pada tikus, tetapi gagal terbukti pada saraf diabetik manusia. Ponalrestat terikat pada
99% plasma protein (peningkatan 10 kali lipat pada tikus) dan kebanyakan asam yang tidak
terikat diionisasi pada pH seluler. Ion ini lambat menyeberangi membran plasma sehingga
menghilangkan efektivitas ponalrestat.
- Zopolrestat
Zopolrestat merupakan analog asam karbosilat ponalrestat yang tergantung pada dosis dalam
menurunkan sorbitol saraf tikus diabetik dan kadar fruktosa. Pada penelitian manusia, zopolrestat
kadar rendah (250-500 mg) menurunkan kadar saraf sorbitol, tetapi tidak mempunyai efek
terhadap kadar fruktosa atau pengurangan gejala dan menunjukkan sedikit perbaikan NCV.
Zopolrestat kadar tinggi (1000 mg) secara signifikan lebih efektif meningkatkan NCV tetapi
berhubungan dengan insiden kenaikan enzim liver lebih tinggi.
- Zenarestat
Zenarestat merupakan inhibitor aldose reduktase yang bersifat asam karbosilat juga menunjukkan
ketergantungan dosis untuk perbaikan kecepatan hantar saraf. Perkembangannya dihentikan
akibat insiden tinggi peningkatan kadar kreatinin serum.
- As-3201
AS-3201 atau ranirestat merupakan spirosuccinimide yang ditemukan pada tahun 1998.
Percobaan fase 2 menjanjikan dan menunjukkan sedikit efek samping serta perbaikan defisit
kecepatan hantar saraf dan gejala neuropati diabetik.Tetapi kesimpulan fase 3 belum didapatkan
karena penelitian masih berlangsung. Pengembangan AS 3201 masih berlanjut, peneliti berharap
bahwa penelitian lanjutan dan peningkatan dosis ranirestat akan terbukti efek untuk pengobatan
neuropati diabetik di masa depan
- Epalrestat
Pada tahun 1992 epalrestat memasuki pasaran Jepang sebagai asam karbosilat inhibitor aldose
reduktase dengan efek samping minimum tetapi tanpa bukti nyata efikasi yang dilatarbelakangi
penelitian randomized, double blind placebo-controlled. Dari tahun 1997-2003 penelitian di atas
akhirnya dilakukan dan pada peningkatan dosis (150 mg), epalrestat menghambat kerusakan saraf
dan mengurangi banyak gejala neuropati diabetik seperti kesemutan dan kram anggota tubuh.
Epalrestat sekarang merupakan terapi standar untuk neuropati diabetik di Jepang.
Myo-inositol
RM.041.
Myo-inositol secara alamiah merupakan messenger sekunder yang terlibat dalam fungsi saraf.
Deplesi myo-inositol berhubungan dengan penurunan fungsi Na-K-ATPase dan penurunan
kecepatan hantar saraf dan terlibat dalam tahap awal patologi neuropati diabetik. Bukti
menunjukkan bahwa suplemen myo-inositol mungkin memperlambat progresi neuropati walaupun
penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai efikasinya.
b. Jalur hexosamine
Seperti disebutkan di atas, aktivasi jalur hexosamine menghasilkan UDPGlcNAc yang
memodulasi transcription factor dan menginduksi kerusakan neurovaskuler. Modulasi jalur
hexosamine dapat mengalihkan metabolisme glikolisis jauh dari jalur yang merusak berikutnya.
Aksi kerja terapi ini menawarkan kemungkinan untuk menganggu jalur kelainan metabolik.
Benfotiamine
Benfotiamine merupakan analog larut lemak tiamin atau vitamin B1 yang mengaktivasi
transketolase, yaitu enzim yang mengubah fruktosa-6 fosfat menjadi pentosa-5 fosfat. Penurunan
input fruktosa 6-fosfat menurunkan fluks melalui jalur hexosamine (sama seperti fluks melalui jalur
advanced glycation end product (AGE) dan diasilgliserol (DAG)-protein kinase C (PKC)).
Peningkatan fluks jauh dari jalur hexosamine dan masuk ke dalam jalur pentosa 5-fosfat
memberikan suatu keuntungan tambahan yaitu peningkatan kapasitas redoks. Salah satu produk
jalur pentosa fosfat adalah NADPH, reaktan utama dalam pembentukan glutation antioksidan.
Karena NADPH terdeplesi pada jalur poliol, benfotiamine memegang kemungkinan spekulatif
hilangnya efek jalur ini. Benfotiamine berhasil menghambat jalur-jalur ini dan mencegah retinopati
diabetik pada model hewan. Pada manusia, benfotiamine menunjukkan perbaikan nyeri akibat
neuropati diabetik dan perbaikan kecepatan hantar. Benfotiamin saat ini tersedia sebagai suplemen
makanan di Amerika Serikat.
c. Jalur protein kinase C
Ruboxistaurin
Ruboxistaurin merupakan inhibitor kompetitif PKC- yang secara efektif menangani banyak
komplikasi diabetes dalam uji klinis. Terapi ini umumnya berhasil dalam mengurangi progresi
retinopati diabetik, vasodilatasi endotel pada nefropati. Tetapi efek percobaan ruboxistaurin
terhadap neuropati diabetik tidak menunjukkan perbaikan pada neuropati diabetik. Ruboxistaurin
saat ini belum disetujui oleh FDA untuk digunakan.
d. Advanced glycation endproductsreseptor advanced glycation endproductsjalur RAGE
RM.042.
Jelas sekali bahwa kontrol glikemik merupakan terapi utama dalam menurunkan pembentukan
AGE. Pencegahan aktivasi RAGE merupakan alternatif terapeutik paling penting dalam neuropati
diabetik. Dua pendekatan paling mudah adalah mencegah pembentukan AGE atau memblok RAGE.
Di bawah ini akan dijelaskan beberapa terapi yang telah dinilai untuk kemampuan menurunkan
aktivitas aksis RAGE pada neuropati diabetik.
Aspirin
Seperti dijelaskan sebelumnya, aspirin (asam asetilsalisilat-NSAID) banyak digunakan
walaupun penggunaan jangka panjang pada pasien diabetik harus dipertimbangkan karena
kemungkinan efek samping gastrointestinal. Pada pasien diabetik dengan dosis tinggi aspirin,
insiden retinopati menurun dibandingkan
menunjukkan bahwa aspirin mempunyai efek perlindungan terhadap glikasi. Aspirin mengurangi
glikasi secara potensial melalui asetilasi grup amino pada in vitro dan hewan percobaan.
Kemungkinan lain aspirin tidak secara langsung menganggu glikasi tetapi menghambat glikosidasi
dan pembentukan
mengindikasikan penurunan resiko kejadian kardiovaskuler pada pasien diabetik dengan dosis
rendah aspirin.
Aminoguanidine
Aminoguanidine (juga disebut pimagedine) merupakan senyawa nukleofilik hidrazine dan obat
Phenacylthiazolium bromida
Senyawa dari pembelahan cross-link AGE telah dijelaskan, membuka kemungkinan pembalikan
komplikasi diabetik. Senyawa tersebut termasuk N-phenacylthiazolium bromide (PTB) yang dapat
membelah cross-link melalui mekanisme yang masih belum jelas. PTB telah digunakan membelah
RM.043.
cross-link AGE antara albumin dan kolagen in vitro dan penelitian terbaru pada tikus diabetik juga
menunjukkan bahwa PTB dapat mencegah atau membalik akumulasi AGE pada pembuluh darah.
Tetapi penelitian lain menemukan bahwa PTB dapat mengurangi model cross-link AGE in vitro
walaupun tidak mengurangi pembentukan cross-link AGE in vivo. Apakah pemecahan cross-link
AGE berguna in vivo akan juga tergantung pada toksisitas jangka panjangnya. Akibat alamiah PTB
yang tidak stabil, analog seperti alagebrium klorida, juga dikenal sebagai ALT-711 telah
dikembangkan. Senyawa ini mempunyai efek renoproteksi pada tikus diabetik. Penelitian pasien
saat ini menemukan bahwa ALT-17 ditoleransi baik dan didapatkan perbaikan signifikan vaskuler
pada manula melalui penurunan tekanan darah dan peningkatan elastisitas vaskuler. Efek terhadap
komplikasi diabetes lainnya termasuk neuropati belum diketahui
diblok dengan penggunaan soluble RAGE (sRAGE) yang merupakan ekstraseluler ligan-binding
domain RAGE atau oleh penggunaan antibodi yang mampu bereaksi dengan RAGE. Penelitian oleh
Schmidt dan kawan-kawan telah melakukan berbagai penelitian pada model tikus diabetik
menggunakan tikus knockout RAGE dan tikus yang diobati dengan sRAGE atau anti-RAGE.
Mereka mendapatkan sRAGE topikal memperbaiki penyembuhan luka, sRAGE menurunkan
aterosklerosis pada tikus ApoE knockout. Blokade RAGE mencegah tahap akhir diabetogenesis
pada tikus diabetik non-obese dan mencegah defisit sensoris.
e. Inhibitor poly(ADP-ribose) polimerase
PARP memperantarai disfungsi neuronal dan inflamasi sehingga inhibisi PARP memberikan efek
potensial dalam perbaikan dua jalur yang menyimpang pada neuropati diabetik. Inhibitor PARP
seperti 1,5 isoquinolinediol dan 3-aminobenzamide berhasil memperbaiki disfungsi neuronal akibat
PARP pada tikus diabetik. Selain itu, nikotinamide (vitamin B3) menunjukkan bekerja sebagai
inhibitor PARP dan antioksidan pada hewan pengerat dalam memperbaiki neuropati perifer diabetik
dini. Nikotinamide merupakan terapeutik potensial karena efek samping dan toksisitasnya yang
terbatas.
f. Antioksidan
Pendekatan terapeutik paling logis adalah mencegah stres oksidatif melalui pemberian
antioksidan. Perlawanan antioksidan berasal dari enzim antioksidan yang mengkatalisasi pelepasan
molekul antioksidan ROS dengan mencegah oksidasi molekul lainnya, biasanya karena antioksidan
RM.044.
ini telah mengoksidasi molekul yang mengikat transisi ion metal sehingga tidak mampu
mengkatalisasi pembentukan ROS pada sel.
Vitamin E
Vitamin E merupakan senyawa larut lemak yang ada dalam 8 isoform dengan berbagai aktivitas
biologis. Kadar vitamin E darah dapat menurun pada stres oksidatif yang memanjang dan individu
yang tidak dapat mengabsorbsi lemak makanan, diet rendah lemak atau defisiensi zinc. tocopherol merupakan isoform paling aktif dan merupakan suplemen makanan yang paling banyak
didapatkan. Senyawa ini banyak diuji karena kemampuannya pada penyakit kronis yang melibatkan
stres oksidatif termasuk kanker dan komplikasi diabetes. Beberapa penelitian kecil mengindikasikan
bahwa intake tinggi vitamin E menurunkan insiden kanker tertentu tetapi penelitian yang besar
tidak mendukung penemuan ini. Selain aksi antioksidan poten, vitamin E dapat meningkatkan
sistem imun, perbaikan DNA dan metabolisme.
-lipoic acid
Alpha lipoic acid disebut juga thioctic acid merupakan antioksidan yang tersedia dalam
pengobatan neuropati diabetik. Obat ini merupakan scavanger ROS, meregenerasi antioksidan
lainnya dan mengikat ion metal. Beberapa penelitian uji klinis teracak menunjukkan bahwa
pemberian infus intravena -lipoic acid (600 mg setiap hari, 5 hari/minggu selama 3 minggu) secara
signifikan memperbaiki gejala sensoris neuropati diabetik atau Neuropathic Impairment Score. Pada
penelitian kecil lainnya mengenai -lipoic acid oral (800 mg, QD) kecenderungan perbaikan dalam
pengukuran neuropati otonom kardiak dilaporkan. Pada penelitian open-label terbaru dengan
pemberian intravena selama 10 hari diikuti pemberian oral selama 50 hari, -lipoic acid didapatkan
memperbaiki beberapa manifestasi neuropati otonom. Hasil penelitian Neurological Assessment of
Thioctic Acid in Neuropathy (NATHAN) I menyimpulkan bahwa -lipoic acid dapat ditoleransi
dalam jangka panjang dengan memperbaiki beberapa defisit dan gejala neurologis tetapi tidak
memperbaiki konduksi saraf pada neuropati diabetik ringan dan sedang.
g. Terapi target penyakit vaskuler- Angiotensin receptor blocker dan angiotensin-converting
enzyme inhibitors.
Beberapa obat banyak digunakan dalam kontrol tekanan darah, penyakit kardivaskuler dan
nefropati pada DM tipe 2. Terapi first line keadaan di atas adalah angiotensin-converting enzim
inhibitor atau angiotensin receptor blocker. Secara spesifik, pencegahan penyakit kardiovaskuler
adalah mencegah komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. Pada penelitian eksperimental
RM.045.
enalapril
menurunkan defisit neurologis termasuk aliran darah dan kecepatan konduksi saraf
motorik. Perindropril mencegah kehilangan photo-receptor, sebuah indikator neuropati. Pada uji
klinis kecil, trandolapril memberikan perbaikan signifikan pada neuropati perifer. Pasien neuropati
otonom diabetik jangka panjang mengalami perbaikan dengan pemberian quinapril dan atau
losartan.
h. Faktor neurotrofik
Kerusakan sistem saraf perifer pada diabetes merupakan akibat hiperglikemia dan hilangnya
dukungan neurotrofik yang secara normal dilakukan oleh insulin. Hipotesis ini didukung oleh
laporan kadar ekspresi abnormal growth factor pada diabetes. Eksplorasi terhadap penggunaan
nerve growth factors, insulin, insulin like-growth factors dan faktor neurotrofik lainnya dilakukan
dalam pengobatan neuropati diabetik.
Reseptor insulin ditemukan dalam sel Schwann, perisit, sel endotel dan neuron khususnya
neuron sensoris. Pemberian insulin pada spinal cord tikus streptozocin memperbaiki kondisi
pengukuran kecepatan hantar saraf dan pemberian dosis rendah sistemik mampu menurunkan tanda
distres mitokondria dalam neuron sensoris.
Insulin-like growth factors (IGFs) I dan II memiliki efek yang besar terhadap perkembangan
sistem saraf dan kelangsungan hidupnya, diperantarai melalui aktivasi reseptor IGF-I (IGF-IR). IGF
dan IGF-IR diekspresikan selama perkembangan dan sistem saraf dewasa. IGF dilaporkan menurun
pada beberapa model hewan diabetes walaupun mungkin bervariasi dan tergantung pada model, tipe
diabetes dan jaringan yang diamati. Sejumlah penelitian preklinis pada tikus diabetik menyatakan
terapi IGF sistemik atau intratekal dapat memperbaiki neuropati.
Sistem neurotrofin penting dalam perkembangan dan pemeliharaan sistem saraf tepi dan saraf
pusat termasuk nerve growth factor (NGF), brain derived neurotrophic factor (BDNF) dan
neurotrophins (NT) 3-6. NGF tidak diperlukan untuk kelangsungan hidup neuron sensoris pada
saraf tepi dewasa tetapi NGF mengatur pertumbuhan akson dan fenotip saraf sensoris. Penelitian
preklinis NGF pada tikus diabetik menunjukksn perbaikan dalam outcome sinyal sistem NGF.
Penelitian klinis belum mencapai fase 3 tetapi didapatkan bahwa molekul aktivator kecil trkA
berpotensi dalam pendekatan alternatif.
BDNF diekspresikan pada neuron perifer dan otot, reseptornya trkB, ditemukan pada neuron
motorik dan beberapa saraf sensoris. Transpor retrograde endogen BNDF pada sel tubuh neuron
terganggu pada tikus diabetik, hal ini menyatakan ada masalah dengan suplai lokal BDNF pada
RM.046.
terminal saraf perifer. BDNF eksogen bersifat protektif terhadap serabut besar sensoris bermielin
pada tikus STZ tetapi tidak pada serabut kecil yang konsisten dengan distribusi ekspresi trkB.
Penelitian klinis terapi eksogen NT-3 pada tikus diabetik memiliki hasil bervariasi. Satu
penelitian menemukan perbaikan dalam serabut besar sensoris tetapi tidak pada serabut motorik.
Penelitian lain menemukan efek terhadap serabut besar sensoris dan motorik. NT-3 intratekal
meningkatkan serabut bermielin pada kulit tikus diabetik tetapi tanpa perbaikan fungsi.
Ciliary derived neurotrophic factor (CNTF) merupakan sitokin dengan sejumlah kegunaan
neurotrofik. CNTF hanya diekspresikan dalam sel Schwann sistem saraf perifer dan kadar CNTF
berkurang pada tikus diabetik. Defisiensi ini dapat diperbaiki oleh terapi inhibitor aldose reduktase.
CNTF eksogen sendiri mempunyai keuntungan terapeutik dalam tikus diabetik seiring dengan
peningkatan kemampuan regeneratif. Penggunaan CNTF mempunyai efek sistemik terutama pada
otot.
4. Terapi Non-Farmakologis pada Nyeri Neuropati Diabetik
Karena tidak ada farmakoterapi yang memuaskan dalam terapi nyeri diabetik, plihan
pengobatan non-farmakologis harus dipertimbangkan. Pembahasan sistematik terbaru menilai bukti
uji klinis yang nyata dan meta-analisis terapi komplementer dan alternatif dalam pengobatan nyeri
neuropati dan neuralgia. Pengobatan komplementer dan alternatif diidentifikasi sebagai akupuntur,
elektrostimulasi, obat herbal, magnet, suplemen makanan dan penyembuhan spritual.
a. Dukungan psikologik
Komponen psikologik terhadap nyeri tidak boleh diremehkan. Oleh sebab itu penjelasan bahwa
nyeri yang berat juga dapat berkurang harus diberikan terutama pada pasien dengan nyeri neuropati
akut yang tidak terkontrol. Jadi pendekatan empati terhadap kecemasan penderita dengan nyeri
neuropati penting untuk keberhasilan terapinya.
b. Akupuntur
Pada penelitian 10 minggu tidak terkontrol pada pasien diabetes dengan terapi strandar, 77%
menunjukkan kurangnya nyeri secara signifikan setelah akupuntur tradisional Cina selama 6 sesi
tanpa adanya efek samping. Pada periode follow-up 18-52 minggu, 67% berhasil mengurangi atau
menghentikan pengobatan medisnya dan hanya 24% yang memerlukan pengobatan lanjutan.
c. Stimulasi elektrik
RM.047.
muscle stimulation dibandingkan TENS terhadap gejala neuropati setelah 1 minggu tetapi penelitian
yang lebih panjang belum ada.
dari 3 minggu menyebabkan berkurangnya nyeri secara signifikan dibandingkan stimulasi plasebo.
Penelitian multisenter skala besar saat ini sedang berlangsung.
pembentukan nyeri neurogenik. Percobaan mengindikasikan bahwa stimulasi elektrik diikuti oleh
penurunan asam amino glutamat dan aspartat pada tanduk dorsal. Efek ini diperantarai oleh
mekanisme GABAergik. Pada nyeri neuropati diabetik yang tidak respon terhadap obat, ESCS
dengan elektrode yang diimplan antara T9 dan T11 menyebabkan pengurangan rasa nyeri sebesar >
50% 8 dari 10 pasien. Selain itu toleransi latihan akan mengalami perbaikan secara signifikan juga.
Komplikasi ESCS termasuk infeksi kuman superfisial pada dua pasien, migrasi lead memerlukan
reinsersi pada dua pasien dan late failure setelah 4 bulan pada pasien yang sebelumnya pernah
mendapat terapi penghilang rasa nyeri. Pilihan terapi invasif ini dilakukan jika pasien tidak respon
terhadap obat yang diberikan.
penelitian tidak terkontrol pasien diabetes. Kebalikannya dua penelitian terkontrol menunjukkan
bahwa energi infrared monokromatik tidak lebih efektif dibandingkan plasebo pada pasien
RM.048.
polineuropati diabetik, hal tersebut menekankan perlunya penelitian terkontrol untuk mendapatkan
keputusan pengobatan evidence-based
d. Dekompresi bedah
Dekompresi bedah pada lokasi anatomis yang mengalami penyempitan merupakan pengobatan
altenatif untuk pasien dengan polineuropati diabetik simptomatis. Literatur mengatakan bahwa
hanya penelitian Kelas IV yang menekankan kegunaan pendekatan terapeutik ini. Berdasarkan bukti
yang ada, pengobatan alternatif ini dianggap belum terbukti. Prospective randomized controlled
trial dengan definisi standar dan pengukuran outcome perlu untuk menentukan nilai dari intervensi
terapeutik ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Subekti I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006.h.1902-4
2. Sunaryo.M.
Polineuropati
Diabetika.
Diunduh
dari
Co-Assisten,
RM.049.
RM.050.