Vous êtes sur la page 1sur 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan
Perhatian/ Hiperaktivitas (GPPH) yaitu gangguan neurologis dan tingkah laku atau
neurobehavioral kronis yang biasanya terjadi pada anak usia sekolah (AAP, 2000;
Kennet,1999; Osman, 2002).
Menurut Todd (1997) onset ADHD biasanya dimulai pada usia 3-4 tahun. Pada
umumnya penegakan diagnosis baru bisa ditegakan setelah anak duduk di sekolah dasar,
kasus ADHD dapat ditemukan pada institusi belajar yang kondusif, situasi belajar yang
formal dan menuntut untuk menggunakan konsentrasi pada intitusi mengikat membuat
anak ADHD dapat terlihat perbedaannya dibandingkan anak normal (Kaplan, 2007;
Saputro, 2001).
Menurut National Collaborating Centre for Mental Health (2009) masalah ADHD
mencapai puncak pada usia-usia anak sekolah yaitu sekitar 7-12 tahun misalnya dengan
munculnya kesulitan belajar dan kesulitan fokus pada pelajaran yang diberikan. Pada anak
ADHD pendeteksian dan penanganan dini akan sangat berpengaruh terhadap
perkembangan selanjutnya, anak ADHD yang tidak tertangani cenderung akan menetap
sampai masa remaja dan usia dewasa. Namun penegakan diagnosis dibawah usia 7
tahun sebaiknya dihindari (Kaplan, 2007; Elia et al.,1999).
Masalah lain yang dapat dialami anak ADHD adalah problem sosial, masalah
keluarga, dan self esteem (Spencer et al., 1998). Walaupun gejala hiperaktivitas akan
mengalami pengurangan seiring waktu namun tanpa penanganan tepat, gangguan
pemusatan perhatian dan impulsivitas cenderung menetap sampai remaja atau usia
dewasa (Kaplan, 2007; Elia et al., 1999). Tingkat kekronisan gejala yang menetap tersebut

dapat berkembang menjadi gangguan psikiatrik lain saat dewasa (Biederman et al., 1996;
Brown et al., 2001; Goldman et al., 1998; Schachar et al., 1987; Spencer et al., 1998;
Zentall et al., 1993).
Angka prevalensi ADHD di Indonesia belum diketahui secara pasti. Namun, pada
penelitian sebelumnya , prevalensi ADHD pada murid kelas I Sekolah Dasar di kecamatan
di Jakarta Timur 3,63%. Penelitian yang dilakukan terhadap murid-murid dengan kesulitan
belajar di SD Negeri Sukagalih I dan VI Kotamadya Bandung, ditemukan 2,70 %. Sebuah
penelitian di Sekolah dasar di kecamatan Turi, kabupaten Sleman, DIY menunjukan
prevalensi ADHD sebesar 9,5 %. Penelitian terhadap anak Sekolah Dasar di DKI Jakarta
didapatkan angka prevalensi ADHD sebesar 26,2 % yang diestimasi berdasar penapisan
dengan instrumen SPPAHI/G pada cut off score 29. Penelitian pada murid sekolah dasar
di Kecamatan Bangutapan, Bantul, Yogyakarta pada tahun 2006 menggunakan instrumen
DSM-IV didapatkan prevalensi ADHD sebesar 5,37 % (Wihartono, 2007). Persebaran
ADHD di wilayah Asia menurut Am J Psychiatry (2007) p=0,85. Prevalensi anak ADHD
menurut Asherson (2012) di wilayah Asia timur sebesar 10%.
Dalam penanganan anak ADHD, penanganan multidisiplin ilmu yang dilakukan
oleh dokter, orang tua, psikolog, guru, ahli gizi dan lingkungan sehingga dapat
memberikan hasil prognosis yang baik untuk perkembangan anak selanjutnya (DuPaul,
1998; Wiguna, 2009).
Attention Deficit Hyperactivity Disorder merupakan salah satu masalah pskiatrik
terutama pada anak yang dipengaruhi banyak faktor risiko dan salah satunya adalah
asupan makanan anak (Schab, 2004). Salah satu penanganan pada anak ADHD dapat
dilakukan dengan terapi diet yang dipadukan dengan pengobatan farmakologis.
Penghindaran makanan dengan kandungan pewarna sintetik dapat menjadi salah satu

terapi untuk anak-anak ADHD seperti yang dinyatakan pada teori Feingold diet (Feingold,
1976 cit Schab 2004).
Pewarna makanan merupakan zat tambahan yang bukan zat gizi. Perkembangan
dalam industri pangan terutama dalam pengembangan cara dan corak pewarnaan suatu
makanan akibat perubahan pola hidup, menambah kenaikan substansi tertentu yang
ditambahkan untuk menarik konsumen terutama konsumen anak-anak yang menyukai
warna cerah (Nurtjahjo,1990).
Menurut FDA (2012), tujuan pewarna makanan dimasukkan ke dalam bahan
makanan adalah
1. Mengurangi kehilangan warna asli makanan akibat paparan cahaya, udara,
temperatur, kelembaban dan kondisi penyimpanan
2. Menjaga variasi warna alami makanan
3. Meningkatkan daya tarik konsumen mengenai produk pangan dan minuman
4. Menghindari adanya pemalsuan terhadap hasil suatu pabrik atau menjadi ciri
khas
5. Menjaga keseragaman produk
Penelitian kebiasaan makan dan jajanan dan faktor-faktor yang berhubungan telah
dilakukan di 6 sekolah dasar di Kotamadya dan Kabupaten Bandung. Dari hasil penelitian
tersebut didapatkan makanan dan jajanan di sekolah memberikan kontribusi yang nyata
terhadap konsumsi energi dan zat-zat gizi, berkisar antara 10% sampai 25%. Namun
makanan dan minuman yang dijual di sekitar sekolah secara keseluruhan kurang aman
untuk kesehatan. Sebanyak 88% makanan dan minuman mempergunakan zat pewarna
sintetik dan sebagian diantaranya mengandung zat pewarna dilarang yaitu rhodamin B
yang memberi warna merah dan metanil kuning yang memberi warna kuning (Husaini,
1993).

Menurut Schab (2004) studi yang dilakukan lebih dari dua dekade penelitian
mengenai pewarna makanan dan hiperaktivitas terutama dengan metode penelitian meta
analysis, ditemukan hubungan yang kuat antara pewarna makanan buatan dan
hiperaktivitas. Bukti lain ditunjukkan pada sebuah review yang dilakukan pada 23 studi
mengenai ADHD dan pewarna makanan, Centre of Science in Public Interest (CSPI)
dalam Jacobson (1999) melaporkan bahwa pewarna makanan artificial dan beberapa zat
tambahan pada makanan dapat berdampak memperburuk tingkah laku anak ADHD.
Conners (1976) menyatakan setidaknya 4 dari 15 anak yang terdiagnosis ADHD pada
masa itu setelah diamati oleh orang tua, guru dan peneliti terjadi peningkatan
perkembangan yang baik dalam hal penurunan keparahan simtom setelah diberikan diet
bebas pewarna artificial dan penambah rasa (NIH cit Jacobson, 1996). Studi mengenai
pewarna makanan dan anak ADHD di Indonesia belum ditemukan. Hal tersebut yang
menjadi dorongan untuk melakukan penelitian lebih lanjut sehubungan dengan pewarna
makanan yang sering muncul pada jajanan anak Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa permasalahan yang menjadi latar
belakang penelitian sebagai berikut:
1.

Attention

Deficit/Hyperactivity

Disorder

(ADHD)

merupakan

gangguan

neurobehavior yang paling sering terjadi pada anak sekolah dasar dan dapat
menyebabkan buruknya prestasi sekolah, stres pada keluarga maupun penderita,
dan simtom dapat terbawa hingga dewasa.
2.

Faktor diet seperti intake makanan pada anak sekolah dasar di Indonesia cukup
menjadi perhatian bagi orang tua karena hampir sebagian besar jajanan
didapatkan di sekolah dan waktu anak dewasa ini lebih banyak dihabiskan di
sekolah

3.

Pewarna Makanan sering digunakan pada produk makanan ringan yang sering
dikonsumsi anak-anak. Pewarna makanan menjadi suatu faktor daya tarik bagi
konsumen dalam hal ini anak-anak karena warna menambah daya tarik mereka
untuk membeli makanan yang terlihat menarik.

C. Pertanyaan Penelitian
Apakah pewarna makanan artificial mempengaruhi tingkat keparahan simtom pada anak
ADHD?
Berapa persen rata-rata tingkat asupan jajanan dengan AFC (Artificial food color) pada
anak ADHD?

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui tingkat konsumsi pewarna makanan dalam jajanan terhadap tingkat
keparahan simtom anak Attention Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) di Yogyakarta
2. Tujuan Khusus
a) Diketahuinya tingkat konsumsi jajanan dengan AFC pada anak ADHD murid kelas I-VI
Sekolah Dasar di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta; meliputi, SDN Salakan I, SDN Mutihan, SDN Jurugentong, dan SDN
Plakaran
b) Diketahuinya keparahan simtom pada anak ADHD setelah terkena paparan jajanan
dengan pewarna makanan

E. Manfaat Penelitian
1.

Masyarakat
Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan dan masyarakat dalam hal ini orangtua,
guru, dan produsen makanan ringan mengenai ADHD untuk memperhatikan faktor
dietary yang berupa pewarna makanan artificial terhadap anak ADHD

2.

Institusi
Melengkapi sumber data bagi institusi mengenai hubungan antara jajanan anak dengan
pewarna artificial terhadap keparahan simtom anak ADHD

3.

Pemberi lahan
Melengkapi database anak pada masing-masing sekolah, sehingga dapat mengetahui
penanganan bagi anak-anak ADHD yang bersekolah di SD tempat penelitian

4.

Peneliti
a. Mengetahui hubungan jajanan dengan pewarna artificial terhadap keparahan simtom
anak ADHD
b. Menggambarkan tingkat konsumsi jajanan anak dengan pewarna artificial di
Yogyakarta

F. Keaslian Penelitian
Berdasarkan referensi, penelitian tentang tingkat konsumsi pewarna makanan
dalam jajanan terhadap tingkat keparahan simtom anak Attention Deficit/Hyperactivity
Disorder (ADHD) di Yogyakarta belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian yang
pernah dilakukan yang berkenaan dengan ADHD antara lain:

Tabel 1. Penelitian ADHD yang pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia


Peneliti

Instrumen

Hasil

Damodoro (1989

DSM-III R

Prevalensi ADHD murid SD


di kec. Turi : 9.59%

Kiswanjaru (1997)

DSM-IV

Prevalensi ADHD murid TK


di Yogyakarta : 0.40%

Saputro (2004)

SPPAHI/G

Prevalensi ADHD murid SD


di Jakarta: 26.2%

Wihartono (2007)

DSM-IV

Prevalensi ADHD murid SD


di Banguntapan 5.37%

Penelitian lain terhadap AFC terhadap tingkat keparahan simtom anak Attention
Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) di Eropa dan di Amerika telah dilakukan, dan
memberikan hasil yang bervariasi dari tiap penelitian. Hal ini disebabkan perbedaan
karakteristik, sampel, jenis jajanan, setting, dan kriteria diagnostik yang digunakan.
Menurut Schab (2004) studi yang dilakukan lebih dari dua dekade penelitian
mengenai pewarna makanan dan hiperaktivitas terutama dengan metode penelitian meta
analysis, mereka menemukan hubungan yang kuat antara pewarna makanan buatan dan
hiperaktivitas. Penelitian yang berhubungan dengan diet pada anak ADHD salah satunya
yaitu Dietary patterns and attention deficit hyperactivity disorder among Iranian children
yang dilakukan Azadbakht tahun 2012 menyatakan ada hubungan yang signifikan antara
anak ADHD yang diberi diet penghindaran fast food dan sweetener dibanding anak ADHD
yang tidak diberi diet dengan odds ratio (OR) 3,95, confidence interval (CI) 95%, P= 0,03.
Di Indonesia, penelitian mengenai ADHD masih sangat terbatas jumlahnya dan
belum ada penelitian yang membahas mengenai tingkat konsumsi jajanan anak sekolah

dasar dengan pewarna makanan terhadap keparahan simtom pada anak ADHD.
Berdasarkan penjelasan tersebut menjadi pertimbangan adanya suatu penelitian atau
studi mengenai tingkat konsumsi jajanan anak sekolah dasar dengan pewarna makanan
terhadap keparahan simtom pada anak ADHD sehingga diharapkan dapat membantu
dalam penanganan anak ADHD.

Vous aimerez peut-être aussi