Vous êtes sur la page 1sur 25

BAB I

STATUS PASIEN
1.1 Identitas
Nama pasien

: An. RP

Jenis kelamin

: Perempuan

Nomor RM

: 428546

Tempat dan tanggal lahir

: 29 Desember 2000

Pendidikan

: SMP, Kelas 2

Alamat Rumah

: Setjen Kemhan Jl Kirai RT 03/01 Jakarta Pusat

Agama

: Islam

Tanggal Masuk RS

: 08 Januari 2015

1.2 Anamnesis
Teknik

: Autoanamnesis dan aloanamnesis

Riwayat Penyakit

Keluhan utama

: Mata dan badan kuning sejak 1 hari SMRS

Keluhan tambahan

: Demam, Mual, dan muntah

Riwayat Perjalanan Penyakit :


Pasien datang tanpa rujukan ke Poliklinik Anak RSPAD dengan
keluhan mata dan badan kuning sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengalami
demam 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam muncul secara tiba-tiba,
hilang timbul, naik saat malam hari, tidak disertai dengan kejang, tidak
disertai menggigil dan berkeringat, dan belum di obati.
Anak juga mengalami mual muntah sejak 2 hari yang lalu. mual
muntah dirasakan setiap kali masuk makanan atau minuman. Muntah tidak
disertai darah. pasien juga mengatakan nyeri di ulu hati pasien juga
mengeluh lemas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Tidak ada keluhan gusi berdarah maupun mimisan. Tidak tampak
bintik-bintik kemerahan pada tangan dan kaki pasien. Buang air kecil
berwarna gelap disangkal, buang air besar seperti dempul disangkal. Orang
tua pasien mengatakan tidak ada riwayat berpergian ke luar kota endemis
malaria, tidak ada riwayat kebanjiran. Anak tidak memiliki kebiasaan
makan sembarangan.
1

Pasien juga memiliki riwayat anemia hemolitik yang terdiagnosis


sejak 1 tahun yang lalu. Pada saat demam pasien badan pasien menjadi
kuning dan pucat.

Penyakit sebelumnya yang ada hubungannya dengan penyakit sekarang :


o Riwayat anemia hemolitik 1 tahun yang lalu

Riwayat penyakit dalam keluarga :


o Pada keluarga tidak ada yang menderita keluhan yang sama dengan
pasien

Pengobatan yang sudah diperoleh :


o Streriod dan transfusi setiap kali anemia hemolitik timbul

Keluhan lain yang tidak ada hubungannya dengan penyakit sekarang:


Tidak ada

Riwayat Kehamilan:

Saat mengandung pasien, ibu pasien memeriksakan kandungan secara


teratur ke bidan setiap bulan. Tidak didapati kelainan maupun gangguan
selama kehamilan.

Riwayat Kelahiran:

Pasien lahir di RS dengan bantuan bidan. Pasien lahir secara normal, cukup
bulan dengan berat lahir 3500 gram serta panjang badan lahir 53 cm. Saat
lahir pasien langsung menangis. Pada pasien tidak didapati adanya kelainan
bawaan. Pasien anak ketiga dari 3 bersaudara.

Riwayat Perkembangan:

Menegakan kepala

: 3 bulan

Membalik badan

: 4 bulan

Duduk

: 8 bulan

Berdiri

: 12 bulan

Berjalan

: 12 bulan

Bicara

: 22 bulan

Gangguan perkembangan mental/emosi

: tidak ada

Riwayat Makanan:
Umur

ASI /PASI

Buah

Bubur susu Nasi Tim

/Biskuit
0-2 Bulan
Ya
2-4 Bulan
Ya
4-6 Bulan
Ya
6-8 Bulan
Ya + susu formula
8-10 Bulan
Ya + susu formula
10-12 Bulan
Ya + susu formula
Batas 1 tahun : Nasi putih

Ya
Ya
Ya

Ya
Ya
Ya

Ya
Ya
Ya

Frekuensi makanan
o Nasi :3-5 kali sehari, @ satu sendok nasi
o Sayur : 2 kali sehari @ 1 sendok sayur
o Daging :2 kali seminggu, @ 1-2 potong sekali makan
o Telur : 3 kali seminggu @ 1 butir sekali makan
o Ikan :3 kali seminggu @ 1 potong sekali makan
o Tahu :1 kali seminggu @ 1 potong sekali makan
o Tempe :1 kali seminggu @ 1 potong sekali makan
o Susu : 3 kali sehari, @ 500ml

Kesulitan makan bila ada

: Tidak ada

Kesan kualitas makanan

: Kualitas makanan baik

Kesan kuantitas makanan

: Kuantitas makanan baik

Riwayat Imunisasi:

Jenis

II

III

IV

Imunisasi
BCG
2 bulan
DPT
2 bulan
4 bulan
6 bulan
18 bulan
Polio
1 minggu
2 bulan
4 bulan
6 bulan
Hepatitis B
1 minggu
1 bulan
6 bulan
Campak
9 bulan
Kesan imunisasi dasar
: Imunisasi dasar lengkap

Imunisasi tambahan

18 bulan

: Tidak ada

Riwayat Keluarga:
Masalah dalam keluarga

: Tidak ada
3

Perumahan milik

: Milik sendiri

Keadaan rumah

: Jarak antar rumah rapat, pencahayaan baik,

ventilasi baik, lingkungan bersih


Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita :

Demam Berdarah tahun 2009

Thypoid tahun 2009

1.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan dilakukan di bangsal perawatan IKA lantai 2 (tanggal 09 Januari jam
07.00 WIB).
Pemeriksaan Umum

Keadaan umum

: Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis,

kulit kuning, lemas, tidak tampak gelisah, tidak tampak sesak. Posisi pasien
saat pemeriksaan berbaring.

Kesadaran

: Compos Mentis

Status Mental

: Tenang

Tanda vital

o Frekuensi nadi

: 100x/menit, regular, cukup kuat, isi penuh.

o Tekanan darah

: 110/60 mmHg

o Frekuensi napas : 22x/menit, tipe pernapasan thorakoabdominal


o Suhu tubuh

: 38,1C suhu axila

Data Antropometri

Tinggi badan

: 155 cm

Berat badan

: 51 kg

Perhitungan berat badan terhadap tinggi badan dengan menggunakan tabel CDC
didapatkan berat badan ideal = 50 kg
BB BB Aktual
=
x 100
TB BB Ideal
BB 58
= x 100
TB 50

= 116 %

Kesan = gizi lebih

Pemeriksaan Sistematis

Kepala :

Bentuk kepala pasien normocephal dengan ubun-ubun besar sudah


menutup. Rambut pasien hitam, terdistribusi merata, tidak mudah
dicabut dan sutura menutup.

Wajah :

Raut wajah pasien baik dan tidak terdapat kelainan fasis. Kulit
wajah pasien tidak nampak adanya kelainan. Tidak ada pula nyeri
tekan sinus.

Mata :

Palpebra tidak edem dan tidak ada ptosis, konjungtiva anemis,


sklera ikterik, pupil bulat isokhor diameter 3mm, reflex cahaya
positif pada kedua pupil, lensa jernih, tidak ada kelainan pada bola
mata maupun pengelihatan pasien.

Telinga :

Bentuk daun telinga pasien normotia, tidak menggantung, posisi


tidak rendah. Liang telinga didapati lapang, tidak nampak adanya
sekret maupun serumen. Gendang telinga intak, refleks cahaya baik,
tidak cembung dan tidak hiperemis.

Hidung :

Bentuk hidung normal, konka inferior normal, septum nasi di


tengah, selaput lendir tidak hiperemis. Tidak tampak adanya sekret
ataupun nafas cuping hidung.

Mulut :

Bibir kering, tidak sianosis. Mukosa mulut tidak pucat, lidah tidak
kotor, gusi tenang. Faring tidak hiperemis, tonsil tidak membesar
(T1-T1). Pada gigi tidak ada karies.

Leher :

Pada leher tidak terdapat kelainan bentuk, kelenjar gondok tidak


membesar, tekanan vena jugularis tidak meninggi. Tidak teraba

pembesaran KGB. Trakea terdapat di tengah. Pergerakan leher


bebas.

Toraks :

Bentuk dada pasien normochest. Tidak ditemukan adanya krepitasi


maupun benjolan. Tidak ada kelainan kulit. Tulang-tulang iga intak
dan sela iga dalam batas normal. Kelenjar berkembang normal.

Paru :

Inspeksi

: Tampak gerakan nafas simetris dalam keadaan statis

maupun dinamis, tidak ada bagian yang tertinggal.

Palpasi

: Vocal fremitus kanan dan kiri sama.

Perkusi

: Suara sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi

:Suara nafas vesikuler di kedua lapang paru, tidak

ditemukan wheezing pada saat inspirasi maupun ekspirasi. Tidak


ditemukan ronkhi

Jantung :

Inspeksi

: Iktus kordis tidak nampak

Palpasi

: Iktus cordis teraba disela iga IV midclavicula

sinistra, tidak kuat angkat,tidak ada thrill

Perkusi

: Batas jantung kanan di sela iga IV garis parasternal

kanan, batas atas pada sela iga II garis parasternal kiri, batas kiri
1cm medial dari ics V midclavicula kiri

Auskultasi

: Bunyi jantung I-II regular, murmur (-) , gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi

: Datar, venektasi (-), distensi (-)

Palpasi

: Supel, tidak teraba benjolan. Hepar teraba 2 cm

dibawah arcus costae dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium
(+)

Perkusi

: Timpani pada seluruh lapang abdomen

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Alat kelamin wanita :

Tidak ada kelainan bentuk, rambut pubis sudah tumbuh.

Perkembangan pubertas :

Rambut pubis : Sudah tumbuh

Anus : Tidak ada kelainan

Ekstremitas :

Massa otot dan jaringan lemak bawah kulit dalam batas normal,
tonus baik, akral hangat. Tidak ada sianosis, tidak ada jari tabuh.
Panjang simetris, tidak ada edema, tidak ada paralisis maupun
paresis. Tidak terdapat ptekie, rumple leed test negatif

Kulit

: Warna kuning (+)

1.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (08 Januari 2015)


Hematologi Rutin

Nilai Rujukan

o Hemoglobin

: 4.9 g/dL**

12-16 g/dL

o Hematokrit

: 13%**

o Eritrosit

: 1.1 juta / L*

4.3-6.0 juta/L

o Leukosit

: 8950 / L

4.800-10.800/L

o Trombosit

: 160000 / L

o Hitung jenis

: 0/0/3/76*/19*/2

o MCV

: 117 fL*

80-96 fL

o MCH

: 43 fL*

27-32 pg

o MCHC

: 37 g/dL*

32-36 g/dL

o RDW

: 28.00 %*

11.5-14.5 %

37-47 %

150000-400000/L
0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8

Gambaran darah tepi (08 Januari 2015)


o Eritrosit

: Makrositik, anisositosis, rouleaux formation (+),

polikromasi (+)
o Leuksit

: Jumlah normal, neutrofil segmen meningkat

(76%), granulatoksik (+)


o Trombosit

: Jumlah normal, tak ada kelainan morfologi

o Lain-lain

:-

o Kesan

: Anemia makrositik e.c. defisiensi vit B12/asam folat

Laboratorium (09 Januari 2015)


Kimia Klinik

Nilai rujukan

o Bilirubin total

: 5.74 mg/dL*

< 1.5 mg/dL

o Bilirubin direk

: 1.41 mg/dL*

< 0.3 mg/dL

o Bilirubin indirek

: 4.33 mg/dL*

< 1.1 mg/dL

o SGOT (AST)

: 48 U/L*

< 35 U/L

o SGPT (ALT)

: 28 U/L

< 40 U/L

o Ureum

: 16 mg/dL*

20-50 mg/dL

o Kreatinin

: 0.7 mg/dL

0.5-1.5 mg/dL

o Asam urat

: 3.8 mg/dL*

2.4-5.7 mg/dL

Pemeriksaan Incompatible (25 Desember 2013)


o Golongan darah : O Rhesus positif
o Sel darah merah : Terdapat sensitisasi invivo oleh immune antibody
(IgG) dan faktor Complemen C3.
Eluate : positif, spesifikasi tidak dapat ditentukan.
o Serum : Ditemukan adanya cold antibody yang reaktif pada suhu
20C s/d titer 1:64 dan ireguler antibody yang reaktif pada liss
Coombs, spesifikasi tidak dapat ditentukan.
o Auto Kontrol : Positif
o Crossmatch : incompatible mayor dan minor
o Direct Coombs : Anti IgG (+8) dan Anti C3d (+3)

Resume
Pasien perempuan usia 14 tahun datang tanpa rujukan ke Poliklinik Anak RSPAD
dengan keluhan mata kuning sejak 1 hari SMRS. Keluhan mata kuning disertai dengan
demam 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam muncul secara tiba-tiba. Demam
dirasakan hilang timbul. Demam naik saat malam hari. Demam tidak disertai dengan
kejang. Tidak disertai menggigil dan berkeringat. Demam belum di obati.
Anak juga mengalami mual muntah sejak 2 hari yang lalu. mual muntah dirasakan
setiap kali masuk makanan atau minuman. Muntah tidak disertai darah. pasien juga
mengatakan nyeri di ulu hati pasien juga mengeluh lemas sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit.

Tidak ada keluhan gusi berdarah maupun mimisan. Tidak tampak bintik-bintik
kemerahan pada tangan dan kaki pasien. Buang air kecil berwarna gelap disangkal, buang
air besar seperti dempul disangkal. Orang tua pasien mengatakan tidak ada riwayat
berpergian ke luar kota endemis malaria, tidak ada riwayat kebanjiran. Anak tidak
memiliki kebiasaan makan sembarangan.
Pasien memiliki riwayat anemia hemolitik sejak 1 tahun yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan suhu 38,1 C, tekanan darah 110/60 mmHg, nadi
100 x/menit, RR 22 x/menit. Pemeriksaan kepala, THT, mulut jantung, paru, dan
ekstremitas dalam batas normal. Pada pemeriksaan mata ditemukan konjungtiva anemis
dan skelera ikterik. Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan epigastrium dan hepar
teraba 2 jari dibawah arcus costa. Kulit kuning (+)
Pada hasil laboratorium didapatkan penurunan kadar hemoglobin, hematrokit dan
eritrosit. Peningkatan MCV, MCH, MCHC, dan RDW. Pada pemeriksaan darah tepi
didapatkan Makrositik, anisositosis, rouleaux formation (+), polikromasi (+). Pada
pemeriksaan kimia klinik didapatkan peningkatan kadar bilirubin total, bilirubin direk, dan
bilirubin indirek. Pada pemeriksaan incompatible Sel darah merah : Terdapat sensitisasi
invivo oleh immune antibody (IgG) dan faktor Complemen C3. Eluate : positif, spesifikasi
tidak dapat ditentukan. Serum : Ditemukan adanya cold antibody yang reaktif pada suhu
20C s/d titer 1:64 dan ireguler antibody yang reaktif pada liss Coombs, spesifikasi tidak
dapat ditentukan. Auto Kontrol : Positif. Crossmatch : incompatible mayor dan minor.
Direct Coombs : Anti IgG (+8) dan Anti C3d (+3)
1.5 Diagnosis Banding
1. AHIA tipe warm
2. AHIA tipe cold
1.6 Diagnosis kerja
AHIA tipe warm
1.7 Tatalaksana
1. IVFD RL 2000 cc/24 jam
2. Transfusi PRC cuci 1500 cc (pemberian dibagi menjadi 4 kali 300 mL, 300
mL, 400 mL, 500mL)
3. Metil prednisolon 8 mg (4-3-3) PO
4. Injeksi framadol 3 x 500 mg
5. Dexanta syrup 3 x 1 tablet
1.8 Prognosis
Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
9

Quo ad sanastionam
Quo ad functionam

: Dubia ad malam
: Dubia ad bonam

1.9 Follow up
09/01/15

10/01/15

S: badan masih terasa lemas, kuning di S:

pasien

seluruh tubuh, demam masih hilang timbul, keluhan

mengeluh

lemas

sakit

berkurang,

kepala,
keluhan

mual dan muntah. batuk dan sesak nafas.


O:
Kesadaran : CM, tampak sakit sedang
TD 110/70 mmHg, HR 100 x/m, RR 20

demam berkurang
O:
Kesadaran : CM, tampak sakit ringan
TD 120/80 mmHg, HR 88 x/m, RR 22

x/m, S 38,1 oC
Mata: CA +/+, SI +/+
THT : dalam batas normal
Mulut : Mulut kering (-), sianosis (-).
Leher: Tidak ada pembesaran KGB dan

x/m, S 36,8 oC
Mata: CA +/+, SI +/+
THT : dalam batas normal
Mulut : Mulut kering (-), sianosis (-).
Leher: Tidak ada pembesaran KGB dan

tiroid, JVP 5-2cm H20


Thorax:
Cor: BJ I/II regular, murmur (-) gallop (-)
Pulmo:
I: normochest, sela iga melebar (-),

tiroid, JVP 5-2cm H20


Thorax:
Cor: BJ I/II regular, murmur (-) gallop

(-)
Pulmo:
pergerakan dada simetris saat statis dan I: normochest, sela iga melebar (-),
dinamis, retraksi (-)
pergerakan dada simetris saat statis dan
P: Fremitus taktil dan fremitus vokal sama
dinamis, retraksi (-)
kanan dan kiri nyeri tekan (-)
P: Fremitus taktil dan fremitus vokal
P: sonor pada kedua lapang paru.
sama kanan dan kiri nyeri tekan (-)
A: SN vesikuler (+), rhonchi -/-, wheezing
P: sonor pada kedua lapang paru.
-/-.
A: SN vesikuler (+), rhonchi -/-,
Abd: datar, supel, BU (+) normal, hepar
wheezing -/-.
teraba 2 jari dibawah aecus costae, lien tidak Abd: datar, supel, BU (+) normal, hepar
teraba
teraba 2 jari dibawah aecus costae, lien
Ekstremitas : edema (-), akral hangat, CRT
tidak teraba
<2.
Ekstremitas : edema (-), akral hangat,
Kulit : Kuning (+)
CRT <2.
A: AIHA type warm
Kulit : Kuning (+)
A: AIHA type warm
P:
P:
Cek Darah Lengkap, Bilirubin total,
Cek Darah Lengkap, Bilirubin total, direk,
direk, indirek
indirek
1. IVFD RL 2000 cc/24 jam
1. IVFD RL 2000 cc/24 jam
2. Transfusi PRC cuci 1500
2. Transfusi PRC cuci 1500 cc
10

(pemberian dibagi menjadi 4 kali


300 mL, 300 mL, 400 mL, 500mL)
3. Metil prednisolon 8 mg (4-3-3) PO
4. Injeksi framadol 3 x 500 mg
5. Dexanta syrup 3 x 1 tablet

cc(pemberian dibagi menjadi 4


kali 300 mL, 300 mL, 400 mL,
500mL)
6. Metil prednisolon 8 mg (4-3-3)
PO
3. Injeksi framadol 3 x 500 mg
4. Dexanta syrup 3 x 1 tablet

11/01/15

12/01/15

S: badan masih terasa lemas, sudah tidak S: pasien merasa tidak ada keluhan,
demam, kuning sudah mulai berkurang, keluhan lemas sudah berkurang, kuning
mual muntah tidak ada, pasien masih sudah berkurang, mual muntah tidak
merasa pusing. BAB dan BAK tidak ada ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan
O:
keluhan
Kesadaran : CM, tampak sakit ringan
O:
TD 120/80 mmHg, HR 86 x/m, RR 20
Kesadaran : CM, tampak sakit sedang
TD 120/80 mmHg, HR 82 x/m, RR 20 x/m, x/m, S 36 oC
Mata: CA -/-, SI -/S 36,5 oC
THT : dalam batas normal
Mata: CA -/-, SI +/+
Mulut : Mulut kering (-), sianosis (-).
THT : dalam batas normal
Leher: Tidak ada pembesaran KGB dan
Mulut : Mulut kering (-), sianosis (-).
Leher: Tidak ada pembesaran KGB dan tiroid, JVP 5-2cm H20
Thorax:
tiroid, JVP 5-2cm H20
Cor: BJ I/II regular, murmur (-) gallop
Thorax:
Cor: BJ I/II regular, murmur (-) gallop (-)
(-)
Pulmo:
Pulmo:
I: normochest, sela iga melebar (-), I: normochest, sela iga melebar (-),
pergerakan dada simetris saat statis dan pergerakan dada simetris saat statis dan
dinamis, retraksi (-)
dinamis, retraksi (-)
P: Fremitus taktil dan fremitus vokal sama P: Fremitus taktil dan fremitus vokal
kanan dan kiri nyeri tekan (-)
sama kanan dan kiri nyeri tekan (-)
P: sonor pada kedua lapang paru.
P: sonor pada kedua lapang paru.
A: SN vesikuler (+), rhonchi -/-, wheezing A: SN vesikuler (+), rhonchi -/-,
-/-.
wheezing -/-.
Abd: datar, supel, BU (+) normal, hepar Abd: datar, supel, BU (+) normal, hepar
teraba 2 jari dibawah aecus costae, lien tidak teraba 2 jari dibawah aecus costae, lien
teraba
tidak teraba
Ekstremitas : edema (-), akral hangat, CRT Ekstremitas : edema (-), akral hangat,
<2.

CRT <2.
11

Kulit : Kuning (+) berkurang


A: AIHA type warm
P:
Cek Darah Lengkap, Bilirubin total, direk,

Kulit : Kuning (+) berkurang


A: AIHA type warm
P:
Cek Darah Lengkap, Bilirubin total,

indirek

direk, indirek

1. IVFD RL 2000 cc/24 jam


2. Metil prednisolon 8 mg (4-3-3) PO
3. Dexanta syrup 3 x 1 tablet

1. IVFD RL 2000 cc/24 jam


2. Metil prednisolon 8 mg (4-3-3) PO
3. Dexanta syrup 3 x 1 tablet

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anemia Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia=AIHA) ialah suatu
anemia yg timbul karena terbentuknya autoantibodi terhadap self antigen pada membran
eritrosit sehingga menimbulkan dekstruksi eritrosit (hemolisis). Reaksi autoantibodi ini
akan menimbulkan anemia, akibat masa edar eritrosit dalam sirkulasi menjadi lebih
pendek.1,2 Anemia disebabkan karena kerusakan eritrosit melebihi kapasitas sumsum
tulang untuk menghasilkan sel eritrosit, sehingga terjadi peningkatan persentase retikulosit
dalam darah.3,4,5
2.2 Epidemiologi

12

Umumnya anemia di Indonesia adalah jenis anemia akibat kekurangan zat gizi
tertentu seperti anemia defisiensi besi, anemia defisiensi asam folat, dll. Angka kejadian
jarang di Indonesia, maka AIHA juga tidak terlalu diperhatikan di Indonesia. Hal ini dapat
dibuktikan dengan sedikitnya penelitian di Indonesia tentang AIHA, padahal AIHA
merupakan penyakit yang jika terjadi dan mengenai pada pasien khususnya anak-anak
akan berakibat fatal pada anak tersebut.6
Insidensi AIHA di Amerika Serikat tidak terlalu tinggi, terjadinya AIHA di
Amerika Serikat yaitu 2,6 per 100,000 tiap tahunnya, dengan rata-rata insidensi 3400
orang terkena AIHA di Amerika10. Insiden AIHA di Rumah Sakit Sanglah Denpasar pada
tahun 2005ditemukan sebanyak 5 orang (2,3%).Perbandingan AIHA pada pria dan wanita
memiliki frekuensi yang sama yaitu 1:17
2.3 Etiologi
AIHA terjadi akibat hilangnya toleransi tubuh terhadap self antigen sehingga
menimbulkan respon imun terhadap self antigen. Antibodi yang bereaksi terhadap self
antigen menyebabkan kerusakan pada jaringan dan bermanifestasi sebagai penyakit
autoimun.

Antibodi yang terbentuk

mengakibatkan peningkatan klirens dengan

fagositosis melalui reseptor (hemolisis ekstravaskuler) atau destruksi eritrosit yang


diperantarai oleh komplemen (hemolisis intravaskuler).8

Etiologi AIHA terbagi 2 yaitu:


1. Idiopatik
a. Anemia autoimun tipe hangat
b. Anemia autoimun tipe dingin
2. Sekunder
a. Infeksi
virus: Virus EpsteinBarr (EBV), sitomegalovirus (CMV), hepatitis, herpes
simplex, measles, varisela, influenza A, coxsackie virus

B, human

immunodeficiency virus (HIV)


bakteri : streptokokus, salmonella typhi, septikemia Esceria coli, Mycoplasma
pneumonia (pneumoniaatipikal)
b. Obat-obatan
dan bahan kimia : kuinine, kuinidin, fenacetin, p-asam
aminosalisilat, sodium cefalotin (Keflin), ceftriakson, penisilin, tetrasiklin,
rifampisin, sulfonamid, khlorpromazin, pyradon, dipyron, insulin
c. Kelainan
darah:
leukemia,
limfoma,
sindrom
limfoproliferatif,
hemoglobinuriaparoksismal cold, hemoglobinuriaparoksismal nokturnal

13

d. Gangguan

Immunologi: sistemik lupus eritematosus, periarteritis nodosa,

skleroderma,

dermatomiositis,

artritis

reumatik,

kolitis

ulseratif,

disgammaglobulinemia, defisiensi IgA, kelainan tiroid, hepatitis giant cell,


sindrom limfoproliferatif autoimun, dan variasi defisiensi imun lainnya.
e. Tumor: timoma, karsinoma, limfoma
2.4 Klasifikasi
AIHA dibedakan menjadi 2 kelompok menurut karakteristik klinis dan serologis 8,
seperti yang tercantum pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Karakteristik AIHA
Karakteristik

Warm AIHA

Cold AIHA

Isotipe antibodi

Ig G, jarang Ig A, Ig M

Ig M

Antigen spesifitas

Multiple, Rh primer

i/L, P

Hemolisis

Terutama ekstravaskuler

Terutama intravaskular

Direct antiglobulin test

Ig G

C3

2.5 Patogenesis
Kerusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui
sistem kompemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi keduanya.
a. Aktivasi Sistem Komplemen
Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyababkan hancurnya
membran sel eritosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang ditandai dengan
hemoglobinemia dan hemoglobinuria9.
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun melalui jalur
alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik
adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin sebab
antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah
dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan
antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.10
b. Aktivasi Komplemen Jalur Klasik
Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal sebagai
recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan
menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1
14

akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (dikenal sebagai C3convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b
mengalami perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen
dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah berlabel antibodi). C3 juga
akan membelah menjadi C3d,g dan C3c,C3d, dan C3g akan tetap berikatan pada
membran sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan
membentuk kompleks C4b,2b menjadi C4b2b3b (C5-convertase). C5-convertase akan
memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks
penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul
C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam
membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran
normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel
membengkak dan rupture.10
c. Aktivasi Komplemen Jalur Alternatif
Aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan
berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian akan melekat pada
C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease
serin dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul
C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah
menjadi C5a dan C5b. selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.
d. Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskuler
Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan
komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi
komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel
retikulo endothelial. Proses immune adheren ini sangat penting bagi perusakan sel
eritrosit yang diperantarai sel. Imuno adherens terutama yang diperantai IgG-FcR
akan menyebabkan fagositosis.9
2.6 Gejala Klinis
Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya
anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia yang
terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik untuk
menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen. Gejala
anemia disebabkan oleh 2 faktor, yaituberkurangnya pasokan oksigen ke jaringan
danadanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan masif). Pasokan
15

oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme kompensasi


peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung pada kadar Hb
mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb turun di bawah 5 g% atau ketika
terjadi gangguan mekanisme kompensasi jantung karena penyakit jantung yang
mendasarinya.11
Pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat, pasien mempunyai gejala khas
anemia yang berkembang secara tersembunyi, meliputi lemah, pusing, lelah, dan
dispnea saat beraktifitas atau gejala lainnya yang kurang khas yaitu demam,
perdarahan, batuk, nyeri perut dan penurunan berat badan. Pada pasien dengan
hemolisis hebat, dapat terjadi ikterik, pucat, edema, urin berwarna gelap
(hemoglobinuria), splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati yang mengiringi
anemia. Pada kasus yang lebih akut, dapat mengancam nyawa, hal ini terkait dengan
infeksi virus, terutama pada anak.12
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin, pasien biasanya mempunyai gejala
anemia hemolitik kronis berupa pucat dan lemah. Keadaan lingkungan yang dingin
dapat mencetuskan serangan, oleh karena itu episode hemolisis akut dengan
hemoglobinemia dan hemoglobinuria lebih sering terjadi di musim dingin. Darah lebih
mudah terpengaruh suhu pada ekstremitas, sehingga pasien lebih sering mengalami
akrosianosis (warna kebiru-biruan tanpa rasa sakit pada kedua tangan dan kaki) saat
serangan terjadi.12
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan

laboratorium

untuk

menegakkan

diagnosis

AIHA

meliputi

pemeriksaan hitung darah lengkap, morfologi darah tepi, pemeriksaan bilirubin, laktat
dehidrogenase (LDH), haptoglobin, urobilinogen urin, dan pemeriksaan serologi.8
A. pemeriksaan darah lengkap
Kadar hemoglobin yang didapatkan pada AIHA tipe hangat bervariasi dari
normal sampai sangat rendah. Kadar hemoglobin pada AIHA tipe dingin jarang
ditemukan <7gr/dl. Jumlah retikulosit dapat meningkat sedangkan jumlah leukosit
bervariasi dan jumlah trombosit umumnya normal.
B. Morfologi darah tepi
Hasil pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anisositosis, polikromasi,
sferositosis, fragmentosit, dan eritrosit berinti.13 Polikromasi menunjukkan peningkatan
retikulosit yang diproduksi sumsum tulang. Sferositosis dapat terjadi pada proses
hemolitik pada anemia hemolitik sedang sampai berat.
16

C. Pemeriksaan bilirubin, haptoglobin, urobilinogen, dan Laktat dehidrogenase (LDH)


Hemolisis ekstravaskuler terjadi pada AIHA tipe hangat dan didapatkan
peningkatan bilirubin indirek dan urobilinogen. Hemolisis ekstravaskuler terjadi
melalui proses fagositosis eritrosit oleh sistem retikuloendotelial yang menyebabkan
eritrosit lisis dan hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin oleh lisosom. Globin
dihidrolisis menjadi asam amino. Heme kemudian menjadi besi dan protoporfirin yang
terdiri dari biliverdin dan karbonmonoksida. Biliverdin yang terikat dengan albumin
merupakan bilirubin yang tidak terkonjugasi di dalam darah. Bilirubin yang tidak
terkonjugasi/indirek masuk ke hepar dan menjadi bilirubin terkonjugasi/direk. Bilirubin
direk dirubah menjadi urobilinogen yang diekskresikan melalui tinja. Bilirubin yang
direasorpsi di ginjal dirubah urobilinogen urin.5
Hemolisis intravaskuler terjadi pada AIHA tipe dingin yang menyebabkan
penurunan kadar haptoglobin.20 Hemolisis intravaskuler menimbulkan destruksi pada
eritrosit sehingga hemoglobin berikatan dengan haptoglobin menjadi haptoglobin
hemoglobin sehingga kadar haptoglobin menurun. Kompleks haptoglobin hemoglobin
dimetabolisme menjadi bilirubin.5
D. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan yang diperlukan adalah direct antiglobulin test (DAT) yang
menggunakan Ig G dan C3d. Sel eritrosit pasien AIHA dengan reagen anti globulin
yang dicampurkan akan menyebabkan terjadinya reaksi aglutinasi. Hal ini menandakan
adanya Ig G dan C3d pada permukaan eritrosit pasien.13

Gambar : pemeriksaan Direct Antiglobulin (Coombs) test


2.8 Diagnosa Banding
Anemia hemolitik merupakan kelainan dekstruksi sel darah merah, yang terbagi
atas 2 tipe yaitu didapat dan herediter. Tipe didapat terbagi menjadi immune-mediated,
17

mikroangiopati dan infeksi. Immune-mediated diperantarai adanya reaksi antigenantibodi pada permukaan sel darah merah. Dari pemeriksaan akan didapatkan sferosit
dan DAT positif. Pengobatan penyakit ini dapat dengan cara obati penyakit yang
mendasarinya, hentikan penggunakan obat-obatan penyebab, dan pemberian steroid,
splenektomi, gamma globulin IV, plasmaferesis, agen sitotoksik, atau danazol
(danocrine). Mikroangiopati diperantarai adanya mekaninsme gangguan eritrosit di
sirkulasi. Dari pemeriksaan akan didapatkan schistocytes. Pengobatan penyakit ini
dengan cara obati penyakit dasarnya. Sementara itu, infeksi diperantarai oleh penyakit
malaria dan infeksi clostridium. Pemeriksaan yang dibutuhkan antara lain kultur darah,
apusan darah tepi dan serologi. Pengobatan penyakit ini dengan cara pemberian
antibiotik12,15.
Sementara itu, tipe herediter terbagi menjadi enzimopati, membranopati dan
hemoglobinopati. Enzimopati terjadi pada penyakit defisiensi G6PD. Hal ini dapat
dipicu oleh adanya infeksi dan pengaruh obat-obatan. Pada pemeriksan akan didapatkan
rendahnya aktivitas enzim G6PD. Penyakit ini dapat diobati dengan hentikan obatobatan dan obati penyakit pemicunya. Membranopati terjadi pada sferositosis herediter.
Pada pemeriksaan akan didapatkan adanya sferosit, adanya riwayat keluarga dan DAT
negatif. Pengobatan penyakit ini dapat berupa splenektomi pada kasus yang sedang
sampai berat. Hemoglobinopati terjadi pada talasemia dan penyakit sickle cell.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain dengan elektroforesis hemoglobin dan
pemeriksaan genetik. Penyakit ini dapat dobati dengan pemberian asam folat dan
tranfusi 12,15.
2.9 Tatalaksana
Autoimmune Hemolytic Anemia dibagi dua golongan yaituAIHA yang
diperantarai oleh antibodi IgG disebut sebagai AIHA tipe hangat yang berikatan pada
temperatur 37oC sedangkan AIHA tipe dingin di perantarai oleh antibodi IgM yang
berikatan maksimal pada temperatur dibawah 320C.4 Alur pengobatan terhadap AIHA
berbeda tergantung pada tipe AIHA nya. Secara umum tujuan pengobatan pada AIHA
adalah untuk mengembalikan hematologis normal, mengurangi proses hemolitik, dan
menghilangkan gejala dengan efek samping minimal.5Transfusi darah biasanya hanya
digunakan untuk kepentingan sementara tapi mungkin diperlukan diawal sebagai upaya
untuk mengatasi anemia berat sampai terlihat efek dari pengobatan yang lain. 6 Pasien
biasanya ditransfusi dengan menggunakan packed red cell jika Hb < 7 g/dL.16
2.9.1

Pengobatan pada AIHA tipe panas


18

Kortikosteroid dosis tinggi merupakan obat pilihan utama untuk AIHA tipe
panas. Steroid bekerja memblok fungsi makrofag dan menurunkan sintesis antibodi. 4
Prednison diberikan secara oral 2-4mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis selama 2-4 minggu
kemudian dilakukan tappering off dalam 2-6 minggu berikutnya. Jika respon
pengobatan tidak baik, dosis prednison ditingkatkan menjadi 30 mg/kgBB/hari secara
intravena selama 3 hari.2 Pada beberapa pasien dengan hemolisis yang berat maka dosis
prednison dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB/hari dengan tujuan untuk mengurangi
tingkat hemolisisnya. Pengobatan tetap dilanjutkan sampai didapatkan penurunan
hemolisis, kemudian dosis obat diturunkan secara bertahap.Jika relaps terjadi, maka
diberikan dosis awal kembali.6 Pasien dikatakan respon terhadap pengobatan dengan
steroid akan memperlihatkan peningkatan hemoglobin atau hemoglobin yang stabil
serta penurunan kadar retikulosit setelah dua minggu pengobatan.16
Anemia hemolitik yang tetap berat meskipun telah diobati dengan kortikosteroid
atau anemia hemolitik yang memerlukan dosis obat yang tinggi untuk mencapai
hemoglobin yang normal, maka dapat dipertimbangkan pemberian immunoglobulin
intravena dan danazol.2 Obat immunosuppresif termasuk pengobatan baru seperti
rituximab dengan dosis 375mg/m2 dapat diberikan sebagai pengobatan lini kedua pada
pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan dengan steroid, pasien dengan
steroid-dependent, pasien relaps, ataupun pasien AIHA kronik.2,16
Pasien yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid dianjurkan untuk
dilakukan splenektomi.2 Splenektomi juga dapat dilakukan pada pasien AIHA kronik.
AIHA dikatakan kronik jika gejala dan hasil laboratorium yang abnormal tetap
ditemukan selama > 6 bulan, akan tetapi splenektomi dapat menyebabkan peningkatan
risiko infeksi (sepsis), terutama pada anak yang berumur < 2 tahun. 16 Persiapan yang
dilakukan sebelum splenektomi adalah pemberian profilaksis dianjurkan dengan vaksin
yang sesuai ( pneumococcal, meningococcal, dan Haemophilus influenza type b) dan
pemberian penisilin secara oral setelah splenektomi dilakukan.3
2.9.2 AIHA tipe dingin
AIHA tipe dingin lebih jarang ditemukan pada anak-anak dibanding dewasa.
Penggunaan kortikosteroid pada AIHA tipe dingin kurang efektif dibandingkan pada
AIHA tipe panas. Penderita dianjurkan untuk menghindari paparan terhadap udara
dingin yang dapat memicu terjadinya hemolisis dan jika penyebab mendasari dapat
diidentifikasi, maka penyebab tersebut harus diatasi. Pada beberapa pasien dengan
hemolisis berat, pengobatan termasuk immunosupresan dan plasmaferesis. Beberapa
penelitian sebelumnya menyatakan keberhasilan pengobatan AIHA tipe dingin dengan
19

menggunakan monoclonal antibodi yaitu rituximab dengan dosis 375mg/m 2.


Splenektomi tidak banyak membantu pada AIHA tipe ini. 3
2.10 Komplikasi
2.10.1 Tromboemboli
Menurut Allgood dkk, pada pasien AIHA penyebab kematian yang paling sering
adalah emboli paru (4 dari 47 pasien). Semua pasien ini mendapatkan terapi
kortikosteroid dan splenektomi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pullarkat dkk, 8
dari 30 pasien (27%) mengalami episode tromboemboli vena. Faktor yang berperan
dalam trombosis pada AIHA adalah cytokine-induced expression of monocyte atau
faktor endothelial tissue. Hoffman (2009) berpendapat bahwa antikoagulan lupus yang
terdeteksi pada pasien AIHA berisiko tinggi untuk terjadinya tromboemboli vena dan
pasien sebaiknya diberikan antikoagulan untuk profilaksis. Penelitian yang dilakukan
Kokori dkk pada pasien AIHA dengan sistemik lupus erythematosus ditemukan risiko
trombosis meningkat lebih dari 4 kali lipat.14
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hendrick, disimpulkan bahwa pasien AIHA
memiliki risiko tromboemboli yang cukup tinggi. Dia meneliti pada 23 pasien dengan
AIHA tipe hangat, didapatkan 6 pasien mengalami tromboemboli vena, dan 5
diantaranya cukup fatal.14
2.10.2 Kelainan limfoproliferatif
Pasien dengan kelainan limfoproliferatif dapat berkembang menjadi AIHA.
Begitu juga sebaliknya, pada pasien AIHA terjadi peningkatan risiko kelainan
limfoproliferatif. Sallah, dkk. melaporkan 18% pasien AIHA berkembang menjadi
kelainan limfoproliferatif maligna. Faktor risiko perkembangan AIHA menjadi
keganasan limfoproliferatif adalah usia, adanya penyebab penyakit autoimun, dan
serum gammophaty. Perkembangan menjadi keganasan lymphoid membutuhkan proses
yang bertahap, pada fase awal proliferasi termasuk stimulasi antigen kronik hingga
terjadinya mutasi yang menyebabkan perubahan menjadi keganasan. Analisis terakhir
ditemukan peningkatan sel T limfoma dan zona marginal limfoma, serta ditemukan juga
peningkatan sel B limfoma non Hodgkin 2-3 kali lipat, khususnya tipe diffuse large cell
limfoma.14
2.11 Prognosis
Prognosis anemia hemolitik autoimun pada anak-anak biasanya baik
kecuali yang diikuti penyakit penyerta (misalnya, imunodefisiensi kongenital, acquired
immunodeficiency syndrome [AIDS], lupus erythematosus).3 Secara umum, anak-anak
dengan anemia hemolitik autoimun tipe hangat berisiko tinggi untuk menderita penyakit
20

yang lebih parah dan kronis dengan mortalitas yang lebih tinggi. Pasien anemia
hemolitik autoimun tipe dingin lebih sering bersifat akut, self-limited (<3 bulan).
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin hampir selalu berhubungan dengan infeksi
(misalnya, infeksi Mycoplasma, CMV, dan EBV).2 Lebih dari 80% anak dengan anemia
hemolitik autoimun sembuh spontan.1

BAB III
ANALISA KASUS
An. RP usia 14 tahun datang tanpa rujukan datang ke Poliklinik RSPAD dengan
keluhan mata kuning sejak 1 hari SMRS didiagnosa anemia hemolitik autoimun tipe warm.
Anamnesa
Pasien datang tanpa rujukan ke Poliklinik Anak RSPAD dengan keluhan mata dan
badan kuning sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengalami demam 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Demam muncul secara tiba-tiba, hilang timbul, naik saat malam hari, tidak
disertai dengan kejang, tidak disertai menggigil dan berkeringat, dan belum di obati.
Anak juga mengalami mual muntah sejak 2 hari yang lalu. mual muntah dirasakan
setiap kali masuk makanan atau minuman. Muntah tidak disertai darah. pasien juga
mengatakan nyeri di ulu hati pasien juga mengeluh lemas sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit.
Tidak ada keluhan gusi berdarah maupun mimisan. Tidak tampak bintik-bintik
kemerahan pada tangan dan kaki pasien. Buang air kecil berwarna gelap disangkal, buang
air besar seperti dempul disangkal. Orang tua pasien mengatakan tidak ada riwayat
berpergian ke luar kota endemis malaria, tidak ada riwayat kebanjiran. Anak tidak
memiliki kebiasaan makan sembarangan.
Pada pasien dengan keluhan badan kuning kita harus mengetahui terlebih dahulu
keluhan badan kuning disebabkan dari prehepatik, hepatik, atau post hepatik. Prehepatik
21

atau hemolitik yaitu ikterus yang disebabkan oleh hal-hal yang meningkatkan hemolisis
(rusaknya sel darah merah). Intrahepatik yaitu menyangkut perdangan atau adanya
kelainan pada hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin. Pascca hepatik yaitu
menyangkut penyumbatan saluran empedu diluar hati oleh batu empedu atau tumor. Pada
pasien ini penyebab post hepatik dapat dilemahkan karena pada ikterus yang disebabkan
kan post hepatik kemungkinan BAB akan seperti dempul akibat bilirubin yang tidak
terbuang lewat feses. Pasien juga mengeluh demam, disini kita harus melihat apakah
demam tersebut memicu terjadinya hemolisis atau demam itu sebagai gejala infeksi pada
hepar yang dapat menyebabkan badan menjadi kuning.

Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan suhu 38,1 C, tekanan darah 110/60 mmHg, nadi
100 x/menit, RR 22 x/menit. Pemeriksaan kepala, THT, mulut jantung, paru, dan
ekstremitas dalam batas normal. Pada pemeriksaan mata ditemukan konjungtiva anemis
dan skelera ikterik. Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan epigastrium dan hepar
teraba 2 jari dibawah arcus costa. Kulit kuning (+)
Pada kasus ini ditemukan konjungtiva pucat disertai dengan adanya kuning pada
tubuh pasien. Oleh karena itu pada pasien ini terdapat kemungkinan Anemia hemolitik
akut atau kronis, hepatitis, anemia aplastik, karena pada pemeriksaan fisik pada anemia
hemolitik dapat ditemukan adanya pucat dan jaundice.19 Sehingga harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium lebih lanjut untuk membantu menegakan diagnosis.
Pemeriksaan penunjang
Pada hasil laboratorium didapatkan penurunan kadar hemoglobin, hematrokit dan
eritrosit. Peningkatan MCV, MCH, MCHC, dan RDW. Pada pemeriksaan darah tepi
didapatkan Makrositik, anisositosis, rouleaux formation (+), polikromasi (+). Pada
pemeriksaan kimia klinik didapatkan peningkatan kadar bilirubin total, bilirubin direk, dan
bilirubin indirek SGOT sedikit meningkat tapi nilainya tidak 2 x normal, SGPT normal.
Pada pemeriksaan incompatible

Sel darah merah : Terdapat sensitisasi invivo oleh

immune antibody (IgG) dan faktor Complemen C3. Eluate : positif, spesifikasi tidak dapat
ditentukan. Serum : Ditemukan adanya cold antibody yang reaktif pada suhu 20C s/d titer
1:64 dan ireguler antibody yang reaktif pada liss Coombs, spesifikasi tidak dapat
ditentukan. Auto Kontrol : Positif. Crossmatch : incompatible mayor dan minor. Direct
Coombs : Anti IgG (+8) dan Anti C3d (+3)
22

Pada pemeriksaan lab kadar hemoglobin menurun menunjukan adanya anemia.


Hasil pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan polikromasi. Polikromasi menunjukkan
peningkatan retikulosit yang diproduksi sumsum tulang. Karena adanya peningkatan
retikulosit sehingga kita harus melihat kadar bilirubin. Pada pasien ini terjadi peningkatan
kadar bilirubin terutama bilirubin indirek. Pada anemia deisertai dengan peningkatan
bilirubin menunjukan adanya anemia hemolitik.19 Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
Coombs test. Pada pasien ini ditemukan Anti IgG (+8) dan Anti C3d (+3). Hal ini
menandakan adanya IgG dan C3d pada permukaan eritrosit pasien. Sehingga pada pasien
ini menunjang ke arah anemia hemolitik tipe hangat karena pada anemia hemolitik tipe
hangat ditemukan isotop antibodi IgG baik dengan anti komplemen atau pun tidak.8
Penatalaksanaan
1. IVFD RL 2000 cc/24 jam
2. Transfusi PRC cuci 1500 cc (pemberian dibagi menjadi 4 kali 300 mL, 300 mL,
400 mL, 500mL)
3. Metil prednisolon 8 mg (4-3-3) PO
4. Injeksi framadol 3 x 500 mg
5. Dexanta syrup 3 x 1 tablet
Alur pengobatan terhadap AIHA berbeda tergantung pada tipe AIHA nya. Secara
umum tujuan pengobatan pada AIHA adalah untuk mengembalikan hematologis normal,
mengurangi proses hemolitik, dan menghilangkan gejala dengan efek samping minimal.
Transfusi darah biasanya hanya digunakan untuk kepentingan sementara tapi mungkin
diperlukan diawal sebagai upaya untuk mengatasi anemia berat sampai terlihat efek dari
pengobatan yang lain.6. Pada pasien biasanya ditransfusi jika Hb < 7 g/dL dengan
menggunakan packed red cell. PRC yang dicuci (WRC) digunakan untuk menghilangkan
Ab pada sel darah merah sehingga resiko reaksi hemolisis pada sel darah merah berkurang.
Bila yang digunakan sel darah merah pekat (packed red cells), maka kebutuhannya adalah
2/3 dari darah lengkap, menjadi: BB (kg) x 4 x (Hb diinginkan - Hb tercatat). Untuk
anemia yang bukan karena perdarahan, maka teknis pemberiannya adalah dengan tetesan.
Makin rendah Hb awal makin lambat tetesannya dan makin sedikit volume sel darah
merah yang diberikan. Pada Hb sekitar 5-7 g/dL jumlah yang diberikan yaitu 5 ml/kgBB
dalam 3-4 jam.18 Pada pasien diberikan tranfusi PRC yang dicuci sebanyak 1500 cc sesuai
dengan kebutuhan pasien yaitu 58 x 4 x 6,9 = 1600 cc dengan pemberian pemberian dibagi
menjadi 4 kali 300 mL, 300 mL, 400 mL, 500mL karena pada pasien ini Hb 4,9 sehingga
pemberian pertama yaitu 5 x 58 = 290 cc. Prednison diberikan secara oral 24mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis selama 2-4 minggu kemudian dilakukan tappering off
23

dalam 2-6 minggu berikutnya. Jika respon pengobatan tidak baik, dosis prednison
ditingkatkan menjadi 30 mg/kgBB/hari secara intravena selama 3 hari. 2 Pada pasien ini
dosis yang diberikan masih kurang karena hanya mendapat dosis 80 mg/ hari seharusnya
pasien memperoleh dosis 116-223 mg/hari, tetapi ada juga yang mengatakan dosis awal
dari predison 1-1,5 mg/kgBB/hari.17 Sehingga dosis yang diberikan sesuai yaitu antara 5887 mg/hari.

DAFTAR PUSTAKA
1. Robert J. Arceci, Ian M. Hann, Owen. 2006. Pediatric hematology 3rd ed.
Blackwell; Australia. Hal: 151-170.
2. Lange, Appleton. 2007.Current Pediatric Diagnosis & Treatment, Eighteenth
Edition. The McGraw-Hill Companies; United States of America. Chapter 127.
3. I. Kliegman, Behrman, Jenson. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed,
Elsevier Science; Philadelphia. Chapter 457.
4. Rudolph, Colin D.; Rudolph, Abraham M, dkk. 2003. Rudolph's Pediatrics, 21st
Edition McGraw-Hill. Chapter 19.
5. Lanzkowskys,Philip. 2005. Manual of Pediatric Hematology and Oncology,
Elsevier Science; California. Hal: 136-198.
6. Made IB., 2006. Hematologi Klinik Dasar. Jakarta: Buku kedokteran EGC.
7. Bagus Mudita Ida. 2007. Pola Penyakit Dan Karakteristik Pasien Hemato-Onkologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Univeritas Udayana/RS Sanglah
Denpasar Periode 2000-2005. Sari Pediatri; Denpasar.
8. Friedberg RC and Johari VP, 2009. Autoimmune Hemolytic Anemia , in Wintrobes
Clinical Hematology, 12th edition, Wolter Kluwer, pp 956-962.
9. Marc, M. 2014. Warm Autoimmune hemolytic anemia:

Advances

in

pathophysiology and treatment. Elsevier Masson SAS.


10. IDAI. 2006. Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan kedua. Dalam: Anemia
Hemolitik, Badan Penerbit IDAI. 2006. Hal: 51-57.
11. Sari,TT dan Ismi CI. 2009. Sferositosis Herediter: Laporan Kasus. Sari Pediatri,
Vol.11 No.4, hal: 298-304.
12. Oehadian, Amaylia. 2012. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. Continuing
Medical Education 39 (6): 407- 412.

24

13. Permono, Bambang, dkk. 2006. Cetakan kedua. Buku Ajar Hematologi Onkologi
Anak. BAB 2 Anemia, Sub bab Anemia Hemolitik. Jakarta : badan penerbit IDAI
Hal 52-54.
14. Dave, Krishna, Diwan. 2012. Evans Syndrome Revisited. Journal Association of
Physician India, Vol.60: 60-61.
15. Hilman RS, ZAult KA, Rinder HHM, 2005, Hemolytic Anemias in Hematology
Clinical Practise, Fourth edition, Mc Graw Hill, pp 134-150.
16. Sarper Nazan, Suar Caki Kilic, Emine Zengin, Sema Aylan Gelen.2011.
Management of autoimmune hemolytic anemia in children and adolescents : A
single center experience. Turk J Hematol 28:198-205.
17. Alberto Zanella and Wilma Barcellini.2014. Treatment of autoimmune hemolytic
anemias : haematologica 2014; 99(10)
18. Ramelan S, Gatot D, Transfusi Darah Pada Bayi dan Anak dalam Pendidikan
Kedokteran berkelanjutan (Continuing Medical Education) Pediatrics Updates,
2005, Jakarta, IDAI cabang Jakarta, halaman: 21-30
19. Irawan. Hendri.2013. Pendekatan Diagnosis Anemia pada Anak CDK-205/ vol. 40.

25

Vous aimerez peut-être aussi