Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
STATUS PASIEN
1.1 Identitas
Nama pasien
: An. RP
Jenis kelamin
: Perempuan
Nomor RM
: 428546
: 29 Desember 2000
Pendidikan
: SMP, Kelas 2
Alamat Rumah
Agama
: Islam
Tanggal Masuk RS
: 08 Januari 2015
1.2 Anamnesis
Teknik
Riwayat Penyakit
Keluhan utama
Keluhan tambahan
Riwayat Kehamilan:
Riwayat Kelahiran:
Pasien lahir di RS dengan bantuan bidan. Pasien lahir secara normal, cukup
bulan dengan berat lahir 3500 gram serta panjang badan lahir 53 cm. Saat
lahir pasien langsung menangis. Pada pasien tidak didapati adanya kelainan
bawaan. Pasien anak ketiga dari 3 bersaudara.
Riwayat Perkembangan:
Menegakan kepala
: 3 bulan
Membalik badan
: 4 bulan
Duduk
: 8 bulan
Berdiri
: 12 bulan
Berjalan
: 12 bulan
Bicara
: 22 bulan
: tidak ada
Riwayat Makanan:
Umur
ASI /PASI
Buah
/Biskuit
0-2 Bulan
Ya
2-4 Bulan
Ya
4-6 Bulan
Ya
6-8 Bulan
Ya + susu formula
8-10 Bulan
Ya + susu formula
10-12 Bulan
Ya + susu formula
Batas 1 tahun : Nasi putih
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Frekuensi makanan
o Nasi :3-5 kali sehari, @ satu sendok nasi
o Sayur : 2 kali sehari @ 1 sendok sayur
o Daging :2 kali seminggu, @ 1-2 potong sekali makan
o Telur : 3 kali seminggu @ 1 butir sekali makan
o Ikan :3 kali seminggu @ 1 potong sekali makan
o Tahu :1 kali seminggu @ 1 potong sekali makan
o Tempe :1 kali seminggu @ 1 potong sekali makan
o Susu : 3 kali sehari, @ 500ml
: Tidak ada
Riwayat Imunisasi:
Jenis
II
III
IV
Imunisasi
BCG
2 bulan
DPT
2 bulan
4 bulan
6 bulan
18 bulan
Polio
1 minggu
2 bulan
4 bulan
6 bulan
Hepatitis B
1 minggu
1 bulan
6 bulan
Campak
9 bulan
Kesan imunisasi dasar
: Imunisasi dasar lengkap
Imunisasi tambahan
18 bulan
: Tidak ada
Riwayat Keluarga:
Masalah dalam keluarga
: Tidak ada
3
Perumahan milik
: Milik sendiri
Keadaan rumah
Keadaan umum
kulit kuning, lemas, tidak tampak gelisah, tidak tampak sesak. Posisi pasien
saat pemeriksaan berbaring.
Kesadaran
: Compos Mentis
Status Mental
: Tenang
Tanda vital
o Frekuensi nadi
o Tekanan darah
: 110/60 mmHg
Data Antropometri
Tinggi badan
: 155 cm
Berat badan
: 51 kg
Perhitungan berat badan terhadap tinggi badan dengan menggunakan tabel CDC
didapatkan berat badan ideal = 50 kg
BB BB Aktual
=
x 100
TB BB Ideal
BB 58
= x 100
TB 50
= 116 %
Pemeriksaan Sistematis
Kepala :
Wajah :
Raut wajah pasien baik dan tidak terdapat kelainan fasis. Kulit
wajah pasien tidak nampak adanya kelainan. Tidak ada pula nyeri
tekan sinus.
Mata :
Telinga :
Hidung :
Mulut :
Bibir kering, tidak sianosis. Mukosa mulut tidak pucat, lidah tidak
kotor, gusi tenang. Faring tidak hiperemis, tonsil tidak membesar
(T1-T1). Pada gigi tidak ada karies.
Leher :
Toraks :
Paru :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
kanan, batas atas pada sela iga II garis parasternal kiri, batas kiri
1cm medial dari ics V midclavicula kiri
Auskultasi
Abdomen :
Inspeksi
Palpasi
dibawah arcus costae dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium
(+)
Perkusi
Auskultasi
Perkembangan pubertas :
Ekstremitas :
Massa otot dan jaringan lemak bawah kulit dalam batas normal,
tonus baik, akral hangat. Tidak ada sianosis, tidak ada jari tabuh.
Panjang simetris, tidak ada edema, tidak ada paralisis maupun
paresis. Tidak terdapat ptekie, rumple leed test negatif
Kulit
Nilai Rujukan
o Hemoglobin
: 4.9 g/dL**
12-16 g/dL
o Hematokrit
: 13%**
o Eritrosit
: 1.1 juta / L*
4.3-6.0 juta/L
o Leukosit
: 8950 / L
4.800-10.800/L
o Trombosit
: 160000 / L
o Hitung jenis
: 0/0/3/76*/19*/2
o MCV
: 117 fL*
80-96 fL
o MCH
: 43 fL*
27-32 pg
o MCHC
: 37 g/dL*
32-36 g/dL
o RDW
: 28.00 %*
11.5-14.5 %
37-47 %
150000-400000/L
0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8
polikromasi (+)
o Leuksit
o Lain-lain
:-
o Kesan
Nilai rujukan
o Bilirubin total
: 5.74 mg/dL*
o Bilirubin direk
: 1.41 mg/dL*
o Bilirubin indirek
: 4.33 mg/dL*
o SGOT (AST)
: 48 U/L*
< 35 U/L
o SGPT (ALT)
: 28 U/L
< 40 U/L
o Ureum
: 16 mg/dL*
20-50 mg/dL
o Kreatinin
: 0.7 mg/dL
0.5-1.5 mg/dL
o Asam urat
: 3.8 mg/dL*
2.4-5.7 mg/dL
Resume
Pasien perempuan usia 14 tahun datang tanpa rujukan ke Poliklinik Anak RSPAD
dengan keluhan mata kuning sejak 1 hari SMRS. Keluhan mata kuning disertai dengan
demam 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam muncul secara tiba-tiba. Demam
dirasakan hilang timbul. Demam naik saat malam hari. Demam tidak disertai dengan
kejang. Tidak disertai menggigil dan berkeringat. Demam belum di obati.
Anak juga mengalami mual muntah sejak 2 hari yang lalu. mual muntah dirasakan
setiap kali masuk makanan atau minuman. Muntah tidak disertai darah. pasien juga
mengatakan nyeri di ulu hati pasien juga mengeluh lemas sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit.
Tidak ada keluhan gusi berdarah maupun mimisan. Tidak tampak bintik-bintik
kemerahan pada tangan dan kaki pasien. Buang air kecil berwarna gelap disangkal, buang
air besar seperti dempul disangkal. Orang tua pasien mengatakan tidak ada riwayat
berpergian ke luar kota endemis malaria, tidak ada riwayat kebanjiran. Anak tidak
memiliki kebiasaan makan sembarangan.
Pasien memiliki riwayat anemia hemolitik sejak 1 tahun yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan suhu 38,1 C, tekanan darah 110/60 mmHg, nadi
100 x/menit, RR 22 x/menit. Pemeriksaan kepala, THT, mulut jantung, paru, dan
ekstremitas dalam batas normal. Pada pemeriksaan mata ditemukan konjungtiva anemis
dan skelera ikterik. Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan epigastrium dan hepar
teraba 2 jari dibawah arcus costa. Kulit kuning (+)
Pada hasil laboratorium didapatkan penurunan kadar hemoglobin, hematrokit dan
eritrosit. Peningkatan MCV, MCH, MCHC, dan RDW. Pada pemeriksaan darah tepi
didapatkan Makrositik, anisositosis, rouleaux formation (+), polikromasi (+). Pada
pemeriksaan kimia klinik didapatkan peningkatan kadar bilirubin total, bilirubin direk, dan
bilirubin indirek. Pada pemeriksaan incompatible Sel darah merah : Terdapat sensitisasi
invivo oleh immune antibody (IgG) dan faktor Complemen C3. Eluate : positif, spesifikasi
tidak dapat ditentukan. Serum : Ditemukan adanya cold antibody yang reaktif pada suhu
20C s/d titer 1:64 dan ireguler antibody yang reaktif pada liss Coombs, spesifikasi tidak
dapat ditentukan. Auto Kontrol : Positif. Crossmatch : incompatible mayor dan minor.
Direct Coombs : Anti IgG (+8) dan Anti C3d (+3)
1.5 Diagnosis Banding
1. AHIA tipe warm
2. AHIA tipe cold
1.6 Diagnosis kerja
AHIA tipe warm
1.7 Tatalaksana
1. IVFD RL 2000 cc/24 jam
2. Transfusi PRC cuci 1500 cc (pemberian dibagi menjadi 4 kali 300 mL, 300
mL, 400 mL, 500mL)
3. Metil prednisolon 8 mg (4-3-3) PO
4. Injeksi framadol 3 x 500 mg
5. Dexanta syrup 3 x 1 tablet
1.8 Prognosis
Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
9
Quo ad sanastionam
Quo ad functionam
: Dubia ad malam
: Dubia ad bonam
1.9 Follow up
09/01/15
10/01/15
pasien
mengeluh
lemas
sakit
berkurang,
kepala,
keluhan
demam berkurang
O:
Kesadaran : CM, tampak sakit ringan
TD 120/80 mmHg, HR 88 x/m, RR 22
x/m, S 38,1 oC
Mata: CA +/+, SI +/+
THT : dalam batas normal
Mulut : Mulut kering (-), sianosis (-).
Leher: Tidak ada pembesaran KGB dan
x/m, S 36,8 oC
Mata: CA +/+, SI +/+
THT : dalam batas normal
Mulut : Mulut kering (-), sianosis (-).
Leher: Tidak ada pembesaran KGB dan
(-)
Pulmo:
pergerakan dada simetris saat statis dan I: normochest, sela iga melebar (-),
dinamis, retraksi (-)
pergerakan dada simetris saat statis dan
P: Fremitus taktil dan fremitus vokal sama
dinamis, retraksi (-)
kanan dan kiri nyeri tekan (-)
P: Fremitus taktil dan fremitus vokal
P: sonor pada kedua lapang paru.
sama kanan dan kiri nyeri tekan (-)
A: SN vesikuler (+), rhonchi -/-, wheezing
P: sonor pada kedua lapang paru.
-/-.
A: SN vesikuler (+), rhonchi -/-,
Abd: datar, supel, BU (+) normal, hepar
wheezing -/-.
teraba 2 jari dibawah aecus costae, lien tidak Abd: datar, supel, BU (+) normal, hepar
teraba
teraba 2 jari dibawah aecus costae, lien
Ekstremitas : edema (-), akral hangat, CRT
tidak teraba
<2.
Ekstremitas : edema (-), akral hangat,
Kulit : Kuning (+)
CRT <2.
A: AIHA type warm
Kulit : Kuning (+)
A: AIHA type warm
P:
P:
Cek Darah Lengkap, Bilirubin total,
Cek Darah Lengkap, Bilirubin total, direk,
direk, indirek
indirek
1. IVFD RL 2000 cc/24 jam
1. IVFD RL 2000 cc/24 jam
2. Transfusi PRC cuci 1500
2. Transfusi PRC cuci 1500 cc
10
11/01/15
12/01/15
S: badan masih terasa lemas, sudah tidak S: pasien merasa tidak ada keluhan,
demam, kuning sudah mulai berkurang, keluhan lemas sudah berkurang, kuning
mual muntah tidak ada, pasien masih sudah berkurang, mual muntah tidak
merasa pusing. BAB dan BAK tidak ada ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan
O:
keluhan
Kesadaran : CM, tampak sakit ringan
O:
TD 120/80 mmHg, HR 86 x/m, RR 20
Kesadaran : CM, tampak sakit sedang
TD 120/80 mmHg, HR 82 x/m, RR 20 x/m, x/m, S 36 oC
Mata: CA -/-, SI -/S 36,5 oC
THT : dalam batas normal
Mata: CA -/-, SI +/+
Mulut : Mulut kering (-), sianosis (-).
THT : dalam batas normal
Leher: Tidak ada pembesaran KGB dan
Mulut : Mulut kering (-), sianosis (-).
Leher: Tidak ada pembesaran KGB dan tiroid, JVP 5-2cm H20
Thorax:
tiroid, JVP 5-2cm H20
Cor: BJ I/II regular, murmur (-) gallop
Thorax:
Cor: BJ I/II regular, murmur (-) gallop (-)
(-)
Pulmo:
Pulmo:
I: normochest, sela iga melebar (-), I: normochest, sela iga melebar (-),
pergerakan dada simetris saat statis dan pergerakan dada simetris saat statis dan
dinamis, retraksi (-)
dinamis, retraksi (-)
P: Fremitus taktil dan fremitus vokal sama P: Fremitus taktil dan fremitus vokal
kanan dan kiri nyeri tekan (-)
sama kanan dan kiri nyeri tekan (-)
P: sonor pada kedua lapang paru.
P: sonor pada kedua lapang paru.
A: SN vesikuler (+), rhonchi -/-, wheezing A: SN vesikuler (+), rhonchi -/-,
-/-.
wheezing -/-.
Abd: datar, supel, BU (+) normal, hepar Abd: datar, supel, BU (+) normal, hepar
teraba 2 jari dibawah aecus costae, lien tidak teraba 2 jari dibawah aecus costae, lien
teraba
tidak teraba
Ekstremitas : edema (-), akral hangat, CRT Ekstremitas : edema (-), akral hangat,
<2.
CRT <2.
11
indirek
direk, indirek
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anemia Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia=AIHA) ialah suatu
anemia yg timbul karena terbentuknya autoantibodi terhadap self antigen pada membran
eritrosit sehingga menimbulkan dekstruksi eritrosit (hemolisis). Reaksi autoantibodi ini
akan menimbulkan anemia, akibat masa edar eritrosit dalam sirkulasi menjadi lebih
pendek.1,2 Anemia disebabkan karena kerusakan eritrosit melebihi kapasitas sumsum
tulang untuk menghasilkan sel eritrosit, sehingga terjadi peningkatan persentase retikulosit
dalam darah.3,4,5
2.2 Epidemiologi
12
Umumnya anemia di Indonesia adalah jenis anemia akibat kekurangan zat gizi
tertentu seperti anemia defisiensi besi, anemia defisiensi asam folat, dll. Angka kejadian
jarang di Indonesia, maka AIHA juga tidak terlalu diperhatikan di Indonesia. Hal ini dapat
dibuktikan dengan sedikitnya penelitian di Indonesia tentang AIHA, padahal AIHA
merupakan penyakit yang jika terjadi dan mengenai pada pasien khususnya anak-anak
akan berakibat fatal pada anak tersebut.6
Insidensi AIHA di Amerika Serikat tidak terlalu tinggi, terjadinya AIHA di
Amerika Serikat yaitu 2,6 per 100,000 tiap tahunnya, dengan rata-rata insidensi 3400
orang terkena AIHA di Amerika10. Insiden AIHA di Rumah Sakit Sanglah Denpasar pada
tahun 2005ditemukan sebanyak 5 orang (2,3%).Perbandingan AIHA pada pria dan wanita
memiliki frekuensi yang sama yaitu 1:17
2.3 Etiologi
AIHA terjadi akibat hilangnya toleransi tubuh terhadap self antigen sehingga
menimbulkan respon imun terhadap self antigen. Antibodi yang bereaksi terhadap self
antigen menyebabkan kerusakan pada jaringan dan bermanifestasi sebagai penyakit
autoimun.
B, human
13
d. Gangguan
skleroderma,
dermatomiositis,
artritis
reumatik,
kolitis
ulseratif,
Warm AIHA
Cold AIHA
Isotipe antibodi
Ig G, jarang Ig A, Ig M
Ig M
Antigen spesifitas
Multiple, Rh primer
i/L, P
Hemolisis
Terutama ekstravaskuler
Terutama intravaskular
Ig G
C3
2.5 Patogenesis
Kerusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui
sistem kompemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi keduanya.
a. Aktivasi Sistem Komplemen
Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyababkan hancurnya
membran sel eritosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang ditandai dengan
hemoglobinemia dan hemoglobinuria9.
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun melalui jalur
alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik
adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin sebab
antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah
dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan
antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.10
b. Aktivasi Komplemen Jalur Klasik
Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal sebagai
recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan
menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1
14
akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (dikenal sebagai C3convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b
mengalami perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen
dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah berlabel antibodi). C3 juga
akan membelah menjadi C3d,g dan C3c,C3d, dan C3g akan tetap berikatan pada
membran sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan
membentuk kompleks C4b,2b menjadi C4b2b3b (C5-convertase). C5-convertase akan
memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks
penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul
C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam
membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran
normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel
membengkak dan rupture.10
c. Aktivasi Komplemen Jalur Alternatif
Aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan
berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian akan melekat pada
C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease
serin dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul
C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah
menjadi C5a dan C5b. selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.
d. Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskuler
Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan
komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi
komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel
retikulo endothelial. Proses immune adheren ini sangat penting bagi perusakan sel
eritrosit yang diperantarai sel. Imuno adherens terutama yang diperantai IgG-FcR
akan menyebabkan fagositosis.9
2.6 Gejala Klinis
Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya
anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia yang
terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik untuk
menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen. Gejala
anemia disebabkan oleh 2 faktor, yaituberkurangnya pasokan oksigen ke jaringan
danadanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan masif). Pasokan
15
laboratorium
untuk
menegakkan
diagnosis
AIHA
meliputi
pemeriksaan hitung darah lengkap, morfologi darah tepi, pemeriksaan bilirubin, laktat
dehidrogenase (LDH), haptoglobin, urobilinogen urin, dan pemeriksaan serologi.8
A. pemeriksaan darah lengkap
Kadar hemoglobin yang didapatkan pada AIHA tipe hangat bervariasi dari
normal sampai sangat rendah. Kadar hemoglobin pada AIHA tipe dingin jarang
ditemukan <7gr/dl. Jumlah retikulosit dapat meningkat sedangkan jumlah leukosit
bervariasi dan jumlah trombosit umumnya normal.
B. Morfologi darah tepi
Hasil pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anisositosis, polikromasi,
sferositosis, fragmentosit, dan eritrosit berinti.13 Polikromasi menunjukkan peningkatan
retikulosit yang diproduksi sumsum tulang. Sferositosis dapat terjadi pada proses
hemolitik pada anemia hemolitik sedang sampai berat.
16
mikroangiopati dan infeksi. Immune-mediated diperantarai adanya reaksi antigenantibodi pada permukaan sel darah merah. Dari pemeriksaan akan didapatkan sferosit
dan DAT positif. Pengobatan penyakit ini dapat dengan cara obati penyakit yang
mendasarinya, hentikan penggunakan obat-obatan penyebab, dan pemberian steroid,
splenektomi, gamma globulin IV, plasmaferesis, agen sitotoksik, atau danazol
(danocrine). Mikroangiopati diperantarai adanya mekaninsme gangguan eritrosit di
sirkulasi. Dari pemeriksaan akan didapatkan schistocytes. Pengobatan penyakit ini
dengan cara obati penyakit dasarnya. Sementara itu, infeksi diperantarai oleh penyakit
malaria dan infeksi clostridium. Pemeriksaan yang dibutuhkan antara lain kultur darah,
apusan darah tepi dan serologi. Pengobatan penyakit ini dengan cara pemberian
antibiotik12,15.
Sementara itu, tipe herediter terbagi menjadi enzimopati, membranopati dan
hemoglobinopati. Enzimopati terjadi pada penyakit defisiensi G6PD. Hal ini dapat
dipicu oleh adanya infeksi dan pengaruh obat-obatan. Pada pemeriksan akan didapatkan
rendahnya aktivitas enzim G6PD. Penyakit ini dapat diobati dengan hentikan obatobatan dan obati penyakit pemicunya. Membranopati terjadi pada sferositosis herediter.
Pada pemeriksaan akan didapatkan adanya sferosit, adanya riwayat keluarga dan DAT
negatif. Pengobatan penyakit ini dapat berupa splenektomi pada kasus yang sedang
sampai berat. Hemoglobinopati terjadi pada talasemia dan penyakit sickle cell.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain dengan elektroforesis hemoglobin dan
pemeriksaan genetik. Penyakit ini dapat dobati dengan pemberian asam folat dan
tranfusi 12,15.
2.9 Tatalaksana
Autoimmune Hemolytic Anemia dibagi dua golongan yaituAIHA yang
diperantarai oleh antibodi IgG disebut sebagai AIHA tipe hangat yang berikatan pada
temperatur 37oC sedangkan AIHA tipe dingin di perantarai oleh antibodi IgM yang
berikatan maksimal pada temperatur dibawah 320C.4 Alur pengobatan terhadap AIHA
berbeda tergantung pada tipe AIHA nya. Secara umum tujuan pengobatan pada AIHA
adalah untuk mengembalikan hematologis normal, mengurangi proses hemolitik, dan
menghilangkan gejala dengan efek samping minimal.5Transfusi darah biasanya hanya
digunakan untuk kepentingan sementara tapi mungkin diperlukan diawal sebagai upaya
untuk mengatasi anemia berat sampai terlihat efek dari pengobatan yang lain. 6 Pasien
biasanya ditransfusi dengan menggunakan packed red cell jika Hb < 7 g/dL.16
2.9.1
Kortikosteroid dosis tinggi merupakan obat pilihan utama untuk AIHA tipe
panas. Steroid bekerja memblok fungsi makrofag dan menurunkan sintesis antibodi. 4
Prednison diberikan secara oral 2-4mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis selama 2-4 minggu
kemudian dilakukan tappering off dalam 2-6 minggu berikutnya. Jika respon
pengobatan tidak baik, dosis prednison ditingkatkan menjadi 30 mg/kgBB/hari secara
intravena selama 3 hari.2 Pada beberapa pasien dengan hemolisis yang berat maka dosis
prednison dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB/hari dengan tujuan untuk mengurangi
tingkat hemolisisnya. Pengobatan tetap dilanjutkan sampai didapatkan penurunan
hemolisis, kemudian dosis obat diturunkan secara bertahap.Jika relaps terjadi, maka
diberikan dosis awal kembali.6 Pasien dikatakan respon terhadap pengobatan dengan
steroid akan memperlihatkan peningkatan hemoglobin atau hemoglobin yang stabil
serta penurunan kadar retikulosit setelah dua minggu pengobatan.16
Anemia hemolitik yang tetap berat meskipun telah diobati dengan kortikosteroid
atau anemia hemolitik yang memerlukan dosis obat yang tinggi untuk mencapai
hemoglobin yang normal, maka dapat dipertimbangkan pemberian immunoglobulin
intravena dan danazol.2 Obat immunosuppresif termasuk pengobatan baru seperti
rituximab dengan dosis 375mg/m2 dapat diberikan sebagai pengobatan lini kedua pada
pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan dengan steroid, pasien dengan
steroid-dependent, pasien relaps, ataupun pasien AIHA kronik.2,16
Pasien yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid dianjurkan untuk
dilakukan splenektomi.2 Splenektomi juga dapat dilakukan pada pasien AIHA kronik.
AIHA dikatakan kronik jika gejala dan hasil laboratorium yang abnormal tetap
ditemukan selama > 6 bulan, akan tetapi splenektomi dapat menyebabkan peningkatan
risiko infeksi (sepsis), terutama pada anak yang berumur < 2 tahun. 16 Persiapan yang
dilakukan sebelum splenektomi adalah pemberian profilaksis dianjurkan dengan vaksin
yang sesuai ( pneumococcal, meningococcal, dan Haemophilus influenza type b) dan
pemberian penisilin secara oral setelah splenektomi dilakukan.3
2.9.2 AIHA tipe dingin
AIHA tipe dingin lebih jarang ditemukan pada anak-anak dibanding dewasa.
Penggunaan kortikosteroid pada AIHA tipe dingin kurang efektif dibandingkan pada
AIHA tipe panas. Penderita dianjurkan untuk menghindari paparan terhadap udara
dingin yang dapat memicu terjadinya hemolisis dan jika penyebab mendasari dapat
diidentifikasi, maka penyebab tersebut harus diatasi. Pada beberapa pasien dengan
hemolisis berat, pengobatan termasuk immunosupresan dan plasmaferesis. Beberapa
penelitian sebelumnya menyatakan keberhasilan pengobatan AIHA tipe dingin dengan
19
yang lebih parah dan kronis dengan mortalitas yang lebih tinggi. Pasien anemia
hemolitik autoimun tipe dingin lebih sering bersifat akut, self-limited (<3 bulan).
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin hampir selalu berhubungan dengan infeksi
(misalnya, infeksi Mycoplasma, CMV, dan EBV).2 Lebih dari 80% anak dengan anemia
hemolitik autoimun sembuh spontan.1
BAB III
ANALISA KASUS
An. RP usia 14 tahun datang tanpa rujukan datang ke Poliklinik RSPAD dengan
keluhan mata kuning sejak 1 hari SMRS didiagnosa anemia hemolitik autoimun tipe warm.
Anamnesa
Pasien datang tanpa rujukan ke Poliklinik Anak RSPAD dengan keluhan mata dan
badan kuning sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengalami demam 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Demam muncul secara tiba-tiba, hilang timbul, naik saat malam hari, tidak
disertai dengan kejang, tidak disertai menggigil dan berkeringat, dan belum di obati.
Anak juga mengalami mual muntah sejak 2 hari yang lalu. mual muntah dirasakan
setiap kali masuk makanan atau minuman. Muntah tidak disertai darah. pasien juga
mengatakan nyeri di ulu hati pasien juga mengeluh lemas sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit.
Tidak ada keluhan gusi berdarah maupun mimisan. Tidak tampak bintik-bintik
kemerahan pada tangan dan kaki pasien. Buang air kecil berwarna gelap disangkal, buang
air besar seperti dempul disangkal. Orang tua pasien mengatakan tidak ada riwayat
berpergian ke luar kota endemis malaria, tidak ada riwayat kebanjiran. Anak tidak
memiliki kebiasaan makan sembarangan.
Pada pasien dengan keluhan badan kuning kita harus mengetahui terlebih dahulu
keluhan badan kuning disebabkan dari prehepatik, hepatik, atau post hepatik. Prehepatik
21
atau hemolitik yaitu ikterus yang disebabkan oleh hal-hal yang meningkatkan hemolisis
(rusaknya sel darah merah). Intrahepatik yaitu menyangkut perdangan atau adanya
kelainan pada hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin. Pascca hepatik yaitu
menyangkut penyumbatan saluran empedu diluar hati oleh batu empedu atau tumor. Pada
pasien ini penyebab post hepatik dapat dilemahkan karena pada ikterus yang disebabkan
kan post hepatik kemungkinan BAB akan seperti dempul akibat bilirubin yang tidak
terbuang lewat feses. Pasien juga mengeluh demam, disini kita harus melihat apakah
demam tersebut memicu terjadinya hemolisis atau demam itu sebagai gejala infeksi pada
hepar yang dapat menyebabkan badan menjadi kuning.
Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan suhu 38,1 C, tekanan darah 110/60 mmHg, nadi
100 x/menit, RR 22 x/menit. Pemeriksaan kepala, THT, mulut jantung, paru, dan
ekstremitas dalam batas normal. Pada pemeriksaan mata ditemukan konjungtiva anemis
dan skelera ikterik. Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan epigastrium dan hepar
teraba 2 jari dibawah arcus costa. Kulit kuning (+)
Pada kasus ini ditemukan konjungtiva pucat disertai dengan adanya kuning pada
tubuh pasien. Oleh karena itu pada pasien ini terdapat kemungkinan Anemia hemolitik
akut atau kronis, hepatitis, anemia aplastik, karena pada pemeriksaan fisik pada anemia
hemolitik dapat ditemukan adanya pucat dan jaundice.19 Sehingga harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium lebih lanjut untuk membantu menegakan diagnosis.
Pemeriksaan penunjang
Pada hasil laboratorium didapatkan penurunan kadar hemoglobin, hematrokit dan
eritrosit. Peningkatan MCV, MCH, MCHC, dan RDW. Pada pemeriksaan darah tepi
didapatkan Makrositik, anisositosis, rouleaux formation (+), polikromasi (+). Pada
pemeriksaan kimia klinik didapatkan peningkatan kadar bilirubin total, bilirubin direk, dan
bilirubin indirek SGOT sedikit meningkat tapi nilainya tidak 2 x normal, SGPT normal.
Pada pemeriksaan incompatible
immune antibody (IgG) dan faktor Complemen C3. Eluate : positif, spesifikasi tidak dapat
ditentukan. Serum : Ditemukan adanya cold antibody yang reaktif pada suhu 20C s/d titer
1:64 dan ireguler antibody yang reaktif pada liss Coombs, spesifikasi tidak dapat
ditentukan. Auto Kontrol : Positif. Crossmatch : incompatible mayor dan minor. Direct
Coombs : Anti IgG (+8) dan Anti C3d (+3)
22
dalam 2-6 minggu berikutnya. Jika respon pengobatan tidak baik, dosis prednison
ditingkatkan menjadi 30 mg/kgBB/hari secara intravena selama 3 hari. 2 Pada pasien ini
dosis yang diberikan masih kurang karena hanya mendapat dosis 80 mg/ hari seharusnya
pasien memperoleh dosis 116-223 mg/hari, tetapi ada juga yang mengatakan dosis awal
dari predison 1-1,5 mg/kgBB/hari.17 Sehingga dosis yang diberikan sesuai yaitu antara 5887 mg/hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Robert J. Arceci, Ian M. Hann, Owen. 2006. Pediatric hematology 3rd ed.
Blackwell; Australia. Hal: 151-170.
2. Lange, Appleton. 2007.Current Pediatric Diagnosis & Treatment, Eighteenth
Edition. The McGraw-Hill Companies; United States of America. Chapter 127.
3. I. Kliegman, Behrman, Jenson. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed,
Elsevier Science; Philadelphia. Chapter 457.
4. Rudolph, Colin D.; Rudolph, Abraham M, dkk. 2003. Rudolph's Pediatrics, 21st
Edition McGraw-Hill. Chapter 19.
5. Lanzkowskys,Philip. 2005. Manual of Pediatric Hematology and Oncology,
Elsevier Science; California. Hal: 136-198.
6. Made IB., 2006. Hematologi Klinik Dasar. Jakarta: Buku kedokteran EGC.
7. Bagus Mudita Ida. 2007. Pola Penyakit Dan Karakteristik Pasien Hemato-Onkologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Univeritas Udayana/RS Sanglah
Denpasar Periode 2000-2005. Sari Pediatri; Denpasar.
8. Friedberg RC and Johari VP, 2009. Autoimmune Hemolytic Anemia , in Wintrobes
Clinical Hematology, 12th edition, Wolter Kluwer, pp 956-962.
9. Marc, M. 2014. Warm Autoimmune hemolytic anemia:
Advances
in
24
13. Permono, Bambang, dkk. 2006. Cetakan kedua. Buku Ajar Hematologi Onkologi
Anak. BAB 2 Anemia, Sub bab Anemia Hemolitik. Jakarta : badan penerbit IDAI
Hal 52-54.
14. Dave, Krishna, Diwan. 2012. Evans Syndrome Revisited. Journal Association of
Physician India, Vol.60: 60-61.
15. Hilman RS, ZAult KA, Rinder HHM, 2005, Hemolytic Anemias in Hematology
Clinical Practise, Fourth edition, Mc Graw Hill, pp 134-150.
16. Sarper Nazan, Suar Caki Kilic, Emine Zengin, Sema Aylan Gelen.2011.
Management of autoimmune hemolytic anemia in children and adolescents : A
single center experience. Turk J Hematol 28:198-205.
17. Alberto Zanella and Wilma Barcellini.2014. Treatment of autoimmune hemolytic
anemias : haematologica 2014; 99(10)
18. Ramelan S, Gatot D, Transfusi Darah Pada Bayi dan Anak dalam Pendidikan
Kedokteran berkelanjutan (Continuing Medical Education) Pediatrics Updates,
2005, Jakarta, IDAI cabang Jakarta, halaman: 21-30
19. Irawan. Hendri.2013. Pendekatan Diagnosis Anemia pada Anak CDK-205/ vol. 40.
25