Vous êtes sur la page 1sur 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi
episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun
terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga
di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini
menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah
dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya.
Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman
yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA).1
Kasus asma meningkat insidennya selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara
berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat.
Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun,
ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan
bahkan kematian. Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di
berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986
menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas)
bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis
kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %.

Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis
kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan
menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC),
didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 %
di antaranya mempunyai gejala klasik. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma
telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.2

B. TUJUAN
Referat ini bertujuan menggali lebih lanjut dan membahas tentang penyakit asma bronkial,
sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan tentang penanganan dan cara mendiagnosis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Asma merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh hipersensitivitas cabang
trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan dan keadaan ini bermanifestasi sebagai
penyempitan jalan napas secara periodik dan reversibel akibat bronkospasme. Istilah asma
berasal dari kata Yunani yang artinya terengah-engah dan berarti serangan napas pendek.
Istilah tersebut dahulu digunakan untuk menyatakan gambaran klinis napas pendek tanpa
memandang sebabnya, namun sekarang istilah tersebut hanya ditujukan untuk keadaankeadaan yang menunjukkan respon abnormal saluran napas terhadap berbagai rangsangan
yang menyebabkan penyempitan jalan napas yang meluas. 3
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA), asma didefinisikan sebagai gangguan
inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil,
dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas,
bervariasi, dan sering bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai
rangsangan.4
Asma juga didefinisikan menurut ciri-ciri klinis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang
dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai
batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama
fisiologis adalah obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada

ekspirasi, sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang
kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.5,6

B. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), hingga saat ini jumlah
penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini
akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025. Hasil penelitian
International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) pada tahun 2005
menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% menjadi
5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh penduduk Indonesia,
artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia. 6,7
Prevalensi asma yang cenderung meningkat menunjukkan bahwa asma merupakan
salah satu penyakit utama yang memerlukan perawatan, baik di rumah sakit maupun di
rumah. Sebagian kasus asma berkembang sejak kanak-kanak, sedangkan sisanya pada
dewasa sebelum usia 40 tahun. Namun demikian, asma dapat menyerang segala usia,
mempengaruhi pria dan wanita dan dapat terjadi pada setiap orang pada segala etnis. 8

C. PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI


Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul
mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama
timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus sehingga pengobatan utama
asma adalah untuk mengatasi bronkospasme.

Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas,
melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan
peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran
respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa
dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau
tidak bergejala. Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi
diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan
dewasa.
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya
menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel plasma. IgE
melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan
berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate asthmareaction).
Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan mediator-mediator seperti histamin, leukotrien
C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator
tersebut menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan
permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul
adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali serangan asma hilang
dengan pengobatan.

Gambar. 1 Patogenesis Asma Bronkial


Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang
meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator inflamasi
tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi,
kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada
rangsangan spesifik maupun non spesifik. Secara klinis, gejala asma menjadi menetap,
penderita akan lebih peka terhadap rangsangan.Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel
bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan yang adekuat.
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang
proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional
yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau
repair. Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil
Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami
hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi
pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal (pseudo-

thickening), hyperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia
otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan
penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.

Gambar 2. Patofisiologi Asma Bronkial


Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel
bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi
tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan
obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada
penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai
asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinophil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini
mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan
proses inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa
jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling.
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen,
virus dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui

2 jalur yaitu jalur imunologis dan saraf otonom, jalur imunologis didominasi oleh antibodi
IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase
lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma
alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada intertisial paru, yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen,
terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut akan meningkat. Alergen kemudian
berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan antara lain: histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin.
Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mucus
yang kental dalam lumen bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.pada
reaksi alergi fase cepat obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah
pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel
mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat,
reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan
kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast
dan Antigen Presenting Cells (APC) merupakan sel-sel kunci dalam pathogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan
reflex bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag
akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke
dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keusakan epitel bronkus

oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa
melibatkan sel mast, misalnya hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.
Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal
mukosa yang terangsang menyebabkan dilepaskannya neuropeptide sensorik senyawa p,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida tersebut
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi
lender dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hiperreaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hiperreaktifitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif
beratnya hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja,
inhalasi udara dingin, inhalasi alergen maupun inhalasi zat non spesifik. Hiperreaktivitas
saluran napas akan menyebabkan obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran
udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama
yang mendukung obstruksi saluran napas adalah edema mukosa, kontraksi otot polos dan
produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami
volume penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan pada asma
yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi.

D. FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor resiko terjadinya asma dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor genetik (yang
menyebabkan berkembangnya asma pada individu dan faktor lingkungan (yang memicu
terjadinya gejala asma).
1. Faktor Genetik

a. Atopi/ alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetusnya.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan
c. Jenis Kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak, sebelum usia 14 tahun, prevalensi
asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi
menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan factor risiko asma.
Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala
fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah, misalnya tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing dan lain-lain
b. Alergen luar rumah (serbuk sari dan spora jamur)

Selain yang telah disebutkan di atas, ada beberapa faktor lain yang juga dapat
memicu timbulnya asma dan dapat meningkatkan keparahan asma, antara lain:
Alergen makanan
Contoh susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk,
bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan.
Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritromisin,
tetrasiklin, analgesic, antipiretik dan lain-lain.
Bahan yang mengiritasi
Contoh : parfum, household spray dan lain-lain
Ekspresi emosi berlebihan
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat
memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul
harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu
diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum
diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat
diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
Polusi udara dari luar maupun dalam ruangan
Exercise induced asthma

Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu.


Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan
asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktivitas tersebut.
Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan,
musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).
Status ekonomi

E. KLASIFIKASI
Berat ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2
agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis
obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan
tunggal yang dapat menentukan berat ringannya suatu penyakit. Dengan adanya
pemeriksaan klinis termasuk faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat
ringannya asma.
Klasifkasi asma ini sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana
lanjutan (jangka panjang). GINA membagi asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji
fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten,

asma persisten ringan, asma persisten sedang dan asma persisten berat.

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gejala pada Orang Dewasa

Selain itu, Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Derajat serangan juga menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi
tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat
asma juga diklasifikasikan menurut beratnya serangan yang terjadi.
Tabel 2. Klasifikasi Asma Menurut Derajat Serangan

F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita
tidak merasa perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat
episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas
yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan
diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama
reversibiltas kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. 4

Riwayat penyakit atau gejala : 1


1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.

3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.


4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.
5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit


1. Riwayat keluarga (atopi).
2. Riwayat alergi/atopi.
3. Penyakit lain yang memberatkan.
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan
terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan napas cepat,
kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada
auskultasi dapat ditemukan mengi, ekspirasi memanjang (wheezing).

3. Pemeriksaan Laboratorium
-

Pemeriksaan darah : dapat ditemukan adanya peningkatan kadar IgE atau hitung jenis
dan jumlah eosinofil.

Pemeriksaan sputum : dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral Curshman.


Bila ada infeksi mungkin akan didapatkan leukositosis polimorfonuklear.

4. Pemeriksaan Penunjang

Sebagian besar pemeriksaan penunjang pada asma bertujuan untuk mengukur fungsi
paru. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai: derajat obstruksi bronkus,
menilai hasil provokasi bronkus serta menilai hasil pengobatan dan mengikuti
perjalanan penyakit. Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
menunjang diagnosis asma, antara lain:
b. Spirometer
Spirometer adalah alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Spirometer
digunakan dengan cara pasien diminta untuk menghirup napas sedalam-dalamnya
dan kemudian menhembuskan secara cepat dan keras ke katup dari alat tersebut.
Kekuatan hembusan akan terekam pada rekorder yang menghasilkan suatu
spirogram sehingga dapat menunjukkan gambaran kondisi paru-paru. Beberapa
parameter yang dapat menggambarkan fungsi pernapasan antara lain:
-

FVC (Forced Vital Capacity) adalah ukuran kapasitas vital yang didapat dari
ekspirasi yang sekuat dan secepat mungkin. Volume udara ini pada keadaan normal
nilainya kurang lebih sama dengan kapasitas vital (VC), tetapi pada pasien yang
mengalami obstruksi akan terlihat pengurangan yang nyata akibat adanya hambatan
pada ekspirasi dan udara terperangkap di dalam paru-paru.

FEV (forced Expiratory Volume) adalah volume udara yang dapat diekspirasi kuatkuat dalam waktu standar. Biasanya FEV diukur selama detik pertama ekspirasi yang
dipaksakan sehingga disebut FEV1. Nilai FEV penting untuk mengetahui adanya
gangguan kapasitas ventilasi.
Pada umumnya, orang dewasa muda yang sehat akan memiliki FVC sebanyak
4-5 liter dan FEV1 sedikitnya 75% dari volume tersebut. Pada kondisi normal

tersebut, perbandingan antara FEV1/FVC (disebut forced expiratory ratio) akan


sedikitnya 0,75. Perbandingan yang bernilai > 0,75 menunjukkan adanya pernapasan
yang efisien. Rasio tersebut penting untuk membedakan antara penyakit-penyakt
akibat obstruksi saluran napas dengan penyakit akibat berkurangnya daya kembang
(compliance) paru-paru. Pada penyakit obstruktif, terjadi pengurangan nilai FEV1
yang lebih besar dibanding FVC-nya, sehingga rasio FEV1/FVC bisa kurang dari
0,75. Nilai parameter rasio ini dapt digunakan untuk mengklasifikasikan keparahan
gangguan obstruksi saluran napas.
FEV1/FVC: 60-75% = ringan
FEV1/FVC: 40-59% = sedang
FEV1/FVC: < 40% = berat
Pada penyakit restriktif parenkim paru, baik FEV1 maupun FVC nya menurun
dengan perbandingan yang kurang lebih sama, sehingga rasionya mungkin akan tetap
0,75 atau 0,75. Untuk mendiagnosis penyakit restriktif digunaan parameter TLC
(Total Lung Capacity) sebagai standar.
-

PEF (Peak Expiratory Flow) disebut juga PEFR (Peak Expiratory Flow Rate) adalah
kecepatan hembusan maksimum (dinyatakan dalam liter/menit) yang diukur ada 10
milidetik pertama ekspirasi. PEF lebih mudah diukur dengan alat peak-flow meter.
Nilai PEF sering diapakai untuk menentukan derajat keparahan penyakt obstruksi
walaupun tidak sevalid nilai FEV1/FVC. Nilai PEF normal tergantung pada tinggi
badan pasien.
Tabel 3. Nilai PEF (Peak Expiratory Flow) normal berdasarkan tinggi badan
Tinggi Badan (cm) PEF (liter/menit)
120

215

130

260

140

300

150

350

160

400

170

450

180

500

Catatan: diukur berdasarkan Wright Peak Flow Meter


Secara ringkas, adanya obstruksi jalan napas dapat ditunjukkan dengan
adana penurunan pada FEV1, pada PEF atau pada rasio FEV1/FVC. Jika dicurigai
asma, maka digunakan agonis dan tes fungsi paru diulangi lagi dalam waktu 1530 menit untuk melihat apakah ada perbaikan gejala. Jika terdapat peningkatan
PEF atau FEV1 melebihi 15% dari nillai dasarnya maka dugaan terhadap asma
menjadi kuat.

c. Uji Provokasi Bronkus


Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis masih diragukan. Tujuannya
untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus. Uji provokasi bronkus
dapat dilakukan dengan : histamine, metakolin, beban lari, udara dingin, uap air
atau alergen. Cara yang sering digunakan adalah dengan histamin, metakolin atau
beban lari. Hiperreaktivitas positif bila PEFR dan FEV1 turun > 15% dari nilai
sebelum uji provokasi dan setelah diberi bronkodilator nilai normal akan tercapai
lagi. Bila PEFR dan FEV1 sudah rendah dan setelah diberi bronkodilator naik >
15% yang berarti hiperreaktivitas bronkus positif maka uji provokasi tidak perlu
dilakukan. Uji provokasi bronkus ini memiliki sensitivitas 95% terhadap
diagnosa asma.

d. Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang
memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas,
pneumothoraks dan pneumomediastinum. Pada asma dapat ditemukan corakan
paru yang meningkat. Atelektasis juga sering ditemukan. Hiperinflasi terdapat
pada serangan akut dan pada asma kronik.
e. Uji Kulit Alergi dan Imunologi
Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit
atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tusuk kulit (skin prick test) adalah cara
utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi serta menunjukkan adanya antibodi
IgE spesifik pada kulit. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya

dengan gejala klinik harus selalu dilakukan. Untuk menentukan hal itu,
sebenarnya ada pemeriksaan yang lebih tepat yaitu uji provokasi bronkus dengan
alergen yang bersangkutan. Reaksi uji kulit alergi dapat ditekan dengan
pemberian antihistamin. Pemeriksaan darah IgE atopi dilakukan dengan cara Radio
Allergo Sorbent Test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada
dermographism).

f. Petanda Inflamasi
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas
penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan
merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran
napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum,
dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang

diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic


Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan
transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit
dilakukan di luar riset.

G. DIAGNOSIS BANDING
a. Bronkitis kronik
Ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk
sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan
harus disingkirkan dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada
pasien berumur lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk
pagi hari, lama kelmaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan jasmani.
Pada stadium lanjut, datap ditemukan sianosis dan tanda-tanda cor pulmonal.

b. Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema. Sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada emfisema tidak pernah
ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, dan
suara napas sangat lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.

c. Gagal jantung kiri akut


Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila timbul pada
malam hari disebut paroxyismal nokturnal dyspnea. Pasien tiba-tiba terbangun pada malam
hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada anamnesis

dijumpai hal-hal yang memperberat atau memperingan gejala gagal jantung. Disamping
ortopnea pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.

d. Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi, gagal jantung dan
tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, pasien batuk-natuk yang dapat disertai
darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, irama derap,
sianosis, dan hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perubahan antara
lain aksis jantung ke kanan.

H. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Selain itu, ada 4 komponen utama dalam penatalaksanaan asma, yang
meliputi:
1. Penilaian dan pemantauan asma yang diperoleh dari uji obyektif, uji fisik, riawayat
pasien dan laporan pasien, untuk mendiagnosa dan menilai karakteristik dan
keparahan asma, serta memantau apakah kontrol terhadap asmanya dapat tercapai
atau tidak.
2. Edukasi kepada semua individu yang terlibat dalam perawatan penderita asma.
3. Kontrol terhadap faktor-faktor lingkungan dan kondisi komorbid yang mungkin
mempengaruhi asma
4. Terapi farmakologi.

Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma


terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. Kriteria
asma terkontrol antara lain: 1) tidak ada atau gejala minimal, 2) tidak ada gejala asma
malam, 3) tidak ada keterbatasan aktivitas, 4) tidak ada atau minimal pemakaian obat
pelega, 5) faal paru normal atau mendekati normal dan 6) tidak ada kunjungan ke emergensi
Tabel 4. Tingkatan Asma Terkontrol
Karakteristik
Terkontrol
Gejala harian

Tidak ada (2 kali


atau kurang dalam
seminggu)

Pembatasan aktivitas

Tidak ada

Gejala
nokturnal/gangguan
tidur (terbangun)
Kebutuhan
akan
reliever atau terapi
rescue
Fungsi paru (PEF atau
FEV1)

Tidak ada

Eksaserbasi

Tidak ada

Tidak ada (2 kali


atau kurang dalam
seminggu)
normal

Terkontrol
Tidak terkontrol
sebagian
Lebih dari dua kali Tiga atau lebih
seminggu
gejala dalam
kategori asma
terkontrol sebagian,
muncul sewaktuwaktu dalam
seminggu
Sewaktu-waktu
dalam seminggu
Sewaktu-waktu
dalam seminggu
Lebih dari 2 kali
seminggu
< 80% (perkiraan
atau dari kondisi
terbaik bila diukur)
Sekali atau lebih Sekali dalam
dalam setahun
seminggu

Sumber: GINA 2006


Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari terapi non-farmakologi dan terapi farmakologi
:
a) Terapi non-farmakologi
-

Mengontrol dan menghindari faktor-faktor pemicu serangan

Berbagai pemicu serangan asma antara lain debu, polusi, merokok, olahraga,
perubahan suhu secara ekstrim dan lain-lain, termasuk penyakit-penyakit yang
sering mempengaruhi kejadian asma seperti rinitis, sinusitis, gastro-esofageal
refluks disease (GERD) dan infeksi virus. Untuk memastikan macam alergen
pemicu serangan asma pada pasien, maka direkomendaikan untuk mengetahui
riwayat kesehatan pasien serta uji kulit (skin test). Jika penyebab serangan
sudah diidentifikasi, pasien perlu diedukasi mengenai berbagai cara mencegah
dan mengatasi diri dalam serangan asma.
-

Edukasi
Edukasi terhadap pasien meliputi pengetahuan tentang patogenesis asma,
bagaimana mengenal pemicu asmanya dan mengenal tanda-tanda awal
keparahan gejala, cara penggunaan obat yang tepat terutama teknik inhalasi
yang tepat dan bagaimana memonitor fungsi paru-parunya

b) Terapi farmakologi
Terapi ini bertujuan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas
yang terdiri dari terapi pengontrol (controller medication) dan terapi pelega (reliever
medication).
Terapi pengontrol (controller medication)
Merupakan terapi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan
setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada
asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol

kortikosteroid

inhalasi,

kortikosteroid

sistemik,

sodium

kromoglikat, nedokromil sodium, metilsantin, agonis beta-2 kerja lama (long

acting beta-2 agonist/LABA) inhalasi, LABA oral, leukotrien modifiers dan


antihistamin generasi ke dua (antagonis-H1).

Glukokortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan
hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat
serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan
pertama bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat).
Tabel 5. Dosis glukortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi

Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat indeks terapi
(efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid
oral jangka panjang.

Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)


Pemberiannya secara inhalasi dan igunakan sebagai pengontrol pada asma
persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan
apakah obat ini bermanfaat atau tidak.

Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan
sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama
efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru.

Agonis beta-2 kerja lama (Long Acting Beta-2 Agonist/ LABA)


Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya
agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi
penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Tabel 6. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2
Onset
Durasi (Lama Kerja)
Singkat
Lama
Cepat
Fenoterol
Formoterol
Prokaterol
Salbutamol/Albuterol
Terbutalin
Pirbuterol
Lambat
Salmeterol

Leukotriene modifiers

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang
beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).

Terapi pelega (reliever medication)


Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas
atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Obat yang termasuk terapi pelega
adalah agonis beta2 kerja singkat (short acting beta-2 agonist/SABA),
kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain), antikolinergik,
aminofillin dan adrenalin.

Agonis beta-2 kerja singkat (short acting beta-2 agonist/SABA)


Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol
yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang
cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos
saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan modulasi pelepasan mediator dari sel mast. Merupakan

terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada
exercise induced-asthma.

Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi
dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga
menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam
golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.

Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat. Pemberian
secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan
gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan,
tetapi harus dengan pengawasan ketat (bed side monitoring).

Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral
dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian
pengobatan langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah:
-

lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas

efek sistemik minimal atau dihindarkan

beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada
pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah lebih
cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.

Tabel 7. Pengobatan sesuai berat asma


Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari
Berat
Medikasi
Alternatif/Pilihan Lain
Alternatif
Asma
Pengontrol Harian
Lain
Asma
Tidak perlu
Intermitten
Asma
Glukokortikosteroid teofilin lepas lambat
Persisten
inhalasi (200-400 g kromolin
Ringan
BD/hari atau
leucotriene modifiers
ekivalennya)
Asma
Kombinasi inhalasi
Glukokortikosteroid inhalasi
Ditambah
Persisten
glukokortikosteroid
(400-800 g BD atau
agonis
Seadng
(400-800 g
ekivalennya) ditambah Teofilin
beta-2 kerja
BD/hari atau
lepas lambat, atau
lama oral,
ekivalennya) dan
atau
Glukokortikosteroid inhalasi
agonis beta-2 kerja
(400-800 g BD atau
Ditambah
lama
ekivalennya) ditambah agonis
teofilin
beta-2 kerja lama oral, atau
lepas
lambat
Glukokortikosteroid inhalasi
dosis tinggi (>800 g BD atau
ekivalennya), atau
Glukokortikosteroid inhalasi
(400-800 g BD atau
ekivalennya) ditambah
leucotriene modifiers
Asma
Kombinasi inhalasi Prednisolon/ metilprednisolon oral
Persisten
glukokortikosteroid selang sehari 10 mg ditambah
Berat
(>800 g BD/hari agonis beta-2 kerja lama oral,
atau
ekivalennya) ditambah teofilin lepas lambat
dan agonis beta-2
kerja
lama,
ditambah 1 di
bawah ini:
Teofilin
lepas
lambat
Leucotriene
modifiers
Selain pengobatan berdasarkan derajat asma di atas, terdapat pula pengobatan
berdasarkan sistem wilayah bagi pasien. Sistem pengobatan ini dimaksudkan untuk
memudahkan pasien mengetahui perjalanan dan kronisitas asma, memantau kondisi
penyakitnya, mengenal tanda-tanda dini serangan asma dan dapat bertindak segera mengatasi

kondisi tersebut. Dengan menggunakan peak flow meter pasien diminta mengukur secara
teratur setiap hari dan membandingkan nilai APE yang didapat pada waktu itu dengan nilai
terbaik APE pasien atau nilai prediksi normal. Seperti halnya lampu pengatur lalu lintas,
berdasarkan nilai APE akan terletak pada wilayah:
-

Hijau Berarti Aman : Nilai APE luasnya 80-100% nilai prediksi, variabilitas < 20%.
Tidur dan aktivitas tidak terganggu. Obat-obat yang dipakai sesuai dengan tingkat anak
tangga saat itu. Bila 3 bulan tetap hijau, pengobatan ini diturunkan ke tahap yang lebih
ringan.

Kuning Berarti Hati-Hati : Nilai APE luasnya 60-80% nilai prediksi, variabilitas 2030%. Gejala asma masih normal, terbangun malam karena asma, aktivitas terganggu.
Daerah ini menunjukkan bahwa pasien sedang mendapat serangan asma sehingga obatobat anti asma perlu ditingkatkan atau ditambah antara lain agonis beta 2 hirup dan bila
perlu kortikosteroid oral. Mungkin pula tahap pengobatan yang sedang dipakai belum
memadai, sehingga perlu dikaji ulang bersama dokternya.

Merah Berarti Bahaya : Nilai APE di bawah 60% nilai prediksi. Bila agonis beta 2
hirup tidak memberikan respon, segera mencari pertolongan dokter. Bila dengan agonis
beta 2 hirup membaik, masuk ke daerah kuning, obat diteruskan sesuai dengan wilayah
masing-masing. Pada wilyah merah, kortikosteroid oral diberikan lebih awal dan
diberikan oksigen.

I. KOMPLIKASI

Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :


1. Status asmatikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema

J. PROGNOSIS
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-kira 10
juta. Namun, angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas
kesehatan terbatas.
Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka kematian penderita asma
wanita dua kali lipat penderita asma pria. Kenyataan bahwa angka kematian akibat serangan
asma pada usia tua lebih banyak, menurut sebuah literatur kalau serangan asma diketahui
dan dimulai sejak kanak-kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20
tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering
mengalami serangan common cold sebanyak 29% akan mengalami serangan ulang.14
Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%,
sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka
kematiannya 9%.

BAB III
KESIMPULAN
1. Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering ditemukan, penyakit ini
pada umumnya dimulai sejak masa anak-anak.
2. Serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai yang berat dan mengancam kehidupan,
faktor pencetus timbulnya serangan asma antara lain: latihan, alergen, infeksi, perubahan
mendadak suhu udara dan pajanan terhadap iritan respiratorik seperti asap rokok, dan lain
sebagainya. Selain itu faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens asma di suatu
tempat, antara lain umur, gender, ras, sosio-ekonomi, dan faktor lingkungan.
3. Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller).
4. Pengobatan asma mengandung komponen-komponen yang terintegrasi yaitu penyuluhan
penderita dan keluarganya, pengontrol/pengendalian lingkungan dan obat-obatan, demikian
juga penggunaan alat pengukur yang obyektif untuk memantau keberhasilan pengobatan,
disamping faktor kejelian dokter dalam menilai kondisi penyakit asmanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu


Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58; No.11;
November 2008.
2. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar SP, et
al. 2006. Allergy And Asthma, The Scenario In Indonesia. In: Shaikh WA. Editor.
Principles And Practice Of Tropical Allergy And Asthma. Mumbai: Vicas Medical
Publisher;.707-36
3. Price, S.A., Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6
Volume 2. EGC: Jakarta.
4. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Diakses dari
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/123456789/756/4/BK2009-G127.pdf
tanggal 24 Januari 2014.
5. Riyanto BS, Hisyam B. 2009. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke - 5. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI: Jakarta. h 2220 2225
6. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention,
revised 2006. Diakses dari http://www.ginasthma.com/GuidelinesResources.asp tanggal 24
Januari 2014.
7. Dewan Asma Indonesia. You Can Control Your Asthma : ACT NOW!. Jakarta. 2009 May
4th.

Available

from:

http://indonesianasthmacouncil.org/index.php?

option=com_content&task=view&id=13&Itemid=5
8. Ikawati, Z. 2011. Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya. Bursa Ilmu:
Yogyakarta. H 104-156.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.
2003. h 73-5
10. Mcfadden ER. 2000. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Isselbacher KJ et al, editor. Jakarta : EGC. h 1311-18.

Vous aimerez peut-être aussi