Vous êtes sur la page 1sur 11

TUGAS RANGKUMAN

Mata Kuliah

: SEJARAH SASTRA JAWA

Dosen

: DARNI

Oleh :
SUZYANTIE TRIA DEWI
NIM. 14020114116
KELAS B

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
Jl. Ketintang No 1. Ketintang

SURABAYA
2014

VIII. KARYA SASTRA DAN KENYATAAN

1. TEORI PLATO MENGENAI MIMESIS


Filsafatnya mengenai kenyataan yang bersifat hirarkik. Empirik hanya dapat
mendekati lewat mimesis peneladanan atau pembayangan atau peniruan. Seni
hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataankenyataan yang tampak. Dalam seni tidak ada pertentangan antara realisme
dan idealisme. Seni yang terbaik lewat mimesis peneladanan kenyataan
mengungkapkan suatu makna hakikat kenyataan itu. Seni yang baik harus
terukur benar dan seniman harus bersifat modes dan rendah hati. Dia harus
tahu bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal. Seni
menimbulkan nafsu manusia yang berasio harus menekankan nafsu. Seni
cenderung menghimbau, bukan rasio, melainkan nafsu-nafsu atau emosi yang
justru harus ditekankan.
2. ARISTOTELES MENYANGGAH PLATO
Menulis Aristoteles seni justru menyucikan jiwa manusia lewat proses yang
disebut Katharsis (penyucian). Penyair tidak meniru kenyataan tidak
mementaskan manusia yang nyata atau peristiwa sebagaimana adanya.
Seniman menciptakan dunianya sendiri dengan probability yang memaksa
dan membebaskan manusia dari nafsu yang rendah, melalui pemuasan estitik
budi manusia ditingkatkan menjadi budiman. Seniman tidak meniru sarana
pengetahuan

yang

khas,

pemahaman

manusia

yang

tidak

dapat

dikomunikasikan dengan jalan lain seniman lebih tinggi dari tukang


penafsiran kenyataan.
3. ALAM DAN SENI DALAM KEBUDAYAAN
Dalam sejarah kebudayaan hubungan antara seni dengan kenyataan tetap
menjadi masalah yang cukup sentral. Konveksi dipengaruhi oleh kenyataan.
Kenyataan mengarahkan terjadinya kenveksi bahasan, sastra dan rasio
budaya. Kebenaran dari segi pemakaian bahasa yang tak teratasi.

Contoh dalam puisi jawa kuna (kakawan) aspek memesis, peneladanan alam
oleh penyair kuat sekali. Penyair sebagian besar mencari ilham dalam
keindahan alam.
4. KAITAN ANTARA MIMESIS DAN CREATIO DARI SEGI BAHASA
Hubungan antara kenyataan dan seni tetap menjadi masalah. Menurut
penganut teori creatio karya seni adalah sesuatu yang pada hakikatnya baru,
asli, ciptaan dalam arti yang sungguh-sungguh. Sedang teori mimesis pada
prinsipnya menganggap karya seni sebagai penerimaan, peniruan ataupun
pembayangan realitas. Jadi dari segi bahasa sudah jelas ada ambiguitas
terhadap kenyataan. Ada peneliti sebaiknya justru behasalah yang memberi
kemungkinan dan pembatasan pada kita untuk mengetahui kenyataan.
Pendiriannya yang ekstrim bahkan mengatakan, bahwa sama sekali tidak
mungkin kita mengetahui kenyataan bahasa sebagai kelir menutup kanyataan
itu dan bahasa katanya sama sekali tidak dapat dipercaya sebagai sumber
informasi mengenai kanyataan.
5. KANYATAAN DARI SOSIOLOGI
Menurut Peter Berger dan Thomas Ludmann dalam bukunya The Social
Contruction of Reality menjelaskan kenyataan bagi manusia dalam
kehidupan sehari-hari adalah kenyataan yang telah ditafsirkan sebelumnya
dan dialami secara subyektif sebagai dunia yang bermakna dan koheren.
Kenyataan yang kita hadapi dan hayati adalah kenyataan yang telah
pretabricated, penafsiran dan pemahamannya adalah sosial contruction
kerangka penafsiran kenyataan lewat struktur sosial. Peralatan penafsiran
kenyataan adalah bahasa. Bahasa memungkinkan untuk mengatasi kenyataan
sehari-hari dan memindahkan kenyataan yang tidak nyata ke dalam kenyataan
sehari-hari.

Bukanlah

kenyataan

yang

menentukan

tetapi

rangka

penafsiranlah yang menentukan penafsiran kita terhadap kenyataan.


Sebaliknya kerangka penafsiralah yang menentukan penafsiran terhadap
kenyataan.
6. SASTRA

KENYATAAN

PENELADANAN

DAN

SEKALIGUS

MODEL

Hubungan seni dan kenyataan tidak sederhana, hubungan dua arah konvensi
sosial budaya. Hubungan itu selalu merupakan interaksi yang komplek da
ditentukan oleh 3 hal atau saringan kelir yaitu kelir konvensi bahasa, kelir
konvensi sosial budaya dan konvensi sastra yang menyaring dan menentukan
kesan kita dan mengarah pengamatan dan penafsiran kita terhadap kenyataan.
Sebab sudah tentu konvensi tidak terjadi tanpa dipengaruhi oleh kenyataan.
Kenyataan berpengaruh besar dan mengarahkan terjadinya konvensi bahasa,
sastra dan sosial. Sebaliknya pengamatan dan penafsiran kenyataan diarahkan
pula oleh konvensi tersebut. Membaca sastra harus bolak-balik antara
kenyataan dan rekaan antara mimesis dan creasio. Membaca teks sebagai
pencerminan kenyataan belaka pasti menyesat tetapi sebaliknya membaca
teks sebagai rekaan murni tak kurang menyesatkan.
7. ROMAN DALAM KETEGANGAN ANTARA KENYATAAN DAN
REKAAN
Dunia nyata dan dunia rekaan selalu sering berjalinan yang satu tidak
bermakna tanpa yang lain. Dalam roman yang disebut realitas biasanya
ditimbulkan kesan pada pembaca seakan-akan kenyataan diberikan setepat
dan secermat mungkin. Penulis berusaha agar setting, latar sejarah sedapat
mungkin cocok dengan informasi faktual yang kita miliki mengenai waktu
itu. Namun kenyatan itu diresapi oleh pemberian makna yang diharapkan dari
pembaca, kemiripan dengan kenyataan bukan tujuan melainkan hanya sarana
untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca yang lebih

daripada

kenyataan itu.

8. MASALAH REALISME DALAM SEJARAH SASTRA


2 hal pemakaian istilah realisme dalam teori sastra
1. Sebagai istilah untuk gaya seni realisme dipakai untuk seni yang
nampaknya secara lugu memperlihatkan aspek kehidupan sehari-hari yang
nyata dan sungguh-sungguh tanpa tambahan fantasi atau ditel yang
bukan-bukan.

2. Realisme sebaliknya ingin melukiskan alam, manusia dan dunia masa itu
sendiri.
Pada pihak lain realisme merupakan aliran atau aspek dalam gerak
kebudayaan yang besar dan aneka ragam yang disebut dengan istilah
romantik. Dalam roman penulis harus melakukan kegiatan kreatif, penulis
harus mengadakan koherensik intrinsik dalam karyanya da terikat pada
konvensi bahasa, sosial budaya dan sastra. Dunia roman harus mendekati
aspek-aspek kenyataan tertentu. Seluruhnya adalah rekaan dan pembaca
secara konvensional membaca roman itu dengan harapan yang lain sekali
dibanding dengan risalah, sosiologi atau sejarah atau laporan wartawan.
Pembaca mengharapkan keseimbangan dan tegangan antara kenyataan yang
diketahui dan dihayatinya dengan dunia rekaan keseluruhan teks yang berada
di luar kenyataan yang konkrit. Secara prinsip realitas tidak berbeda dengan
roman lain ataupun dengan sajak lirik dalam hakikatnya sebagai karya sastra.
9. ROMAN SEBAGAI DOKUMEN SOSIAL
Dalam arti roman biasanya bukan sosial. Peling-paling informasi dari tuliasan
rekaan dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada data yang diperoleh
dari sumber yang sungguh-sungguh bersifat dokumen sosial. Tetapi dalam arti
lain karya rekaan memang merupakan dokumen sosial yang lebih dahulu
disebut jalan ke empat ke kebenaran lewat sastra pembaca sering kali jauh
lebih baik dari lewat tulisan sosiologi manapun juga dapat menghayati
hakikat eksistensi manusia dengan segala permasalahannya.

10. KENYATAAN DALAM PUISI LIRIK


Dalam lirik modern konvensi keterjalinan antara kenyataan dan rekaan lain
lagi sifatnya. Yang menjadikan sejak penting sebagai puisi bukanlah
informasi mengenai keakuan dan kekinian seorang penyair bernama Chairil
Anwar secara nyata. Puisi lirik baru dapat kita pahami dan nilai seluruhnya
dalam kaitannya yang komplek antara pengakuan yang paling individual si
penyair lewat aku liriknya dengan pesan yang relevan untuk setiap manusia.
11. KENYATAAN DALAM BABAD DAN SEJARAH

Pendekatan terhadap teks tradisional ini memang khas bersifat mimetik


mengharapkan sejarah dari teks-teks tertentu ternyata

mengecewakan

harapan peneliti modern. Tetapi pendekatan mimetik ini tidak sesuai dengan
sifat teks yang bersifat kesastraan dan interprestasi ilmiah dan faktual
modern. Peneliti harus tahu akan ketegangan antara mimetik tidak memahami
semiatik keseluruhan teks itu dalam konteks sosial budayanya, tetapi semiatik
tergantung pada kanyataan yang dikenal dan dihayati oleh pembaca.
12. SASTRA DAN PENULISAN SEJARAH
Menurut Aristoteles
Si penyair sebenarnya lebih ulung pekerjaannya daripada si sejarawan.
Sejarawan harus terikat pada fakta-fakta yang pernah terjadi dalam
penggarapannya bahan-bahan sejarah tidak bebas. Sedangkan seorang penyair
dapat menulis ceritanya sendiri.
Keobyektifan mutlak tidak pernah tercapai karena :
a. Fakta-fakta tidak pernah lengkap selalu fragmen tarik
b. Penulis sejarah harus selalu selektif, tidak semua fakta dan data sama
pentingnya dari relevan dia harus memilih dan kriteria yang obyektif
untuk seleksi tidak ada.
c. Penulis itu sendiri adalah manusia yang latar belakang, kecenderungan,
pendiriannya bersifat subyektif, ditentukan oleh pengalaman, situasi dan
kondisi hidupnya sebagai manusia sosial budaya dalam masa dan
masyarakat tertentu.
13. HAYDEN WHITE MENGENAI SEJARAH DAN SASTRA
Penulisan sejarah dalam kebudayaan barat menurut esensinya tidak berbeda
dengan sastra. Katanya : penulis sejarah harus berdasarkan sesuai dengan
narative modes ragam naratif atau gaya cerita yang berlaku di zaman dan
dalam kebudayaannya. Sejarawan yang ingin menulis mengenai data-data dan
fakta-fakta yang digarapkan harus disusun sesuai dengan salah satu platnya,
harus memplotkan. Sejarawan membebankan peristiwa itu dengan arti
simbolik sebuah struktur plot yang dapat dipahami.
14. KESIMPULAN : SASTRA SEBAGAI ALTERNATIF TERHADAP
KENYATAAN
Dalam tulisan sejarah peneliti mencoba memberi makna pada peristiwa lewat
pengumpulan data dan pengupasan data yang digarap seteliti dan setepat
mungkin. Tetapi dalam memberi makna dia harus selektif dan subyektif,

terkait pada model naratif dan ragam fiksional yang tersedia bagi dia selaku
partisipan kebudayaan tertentu. Sastrawan memberi makna lewat kenyataan
yang dapat diciptakan dengan bebas, asal tetap dapat dipahami oleh pembaca
dalam rangka konvensi yang tersedia baginya : konvensi bahasa, konvensi
sosial budaya dan konvensi sastra.
Alternatif selalu mengandalkan dasar bersama baru hanya atas dasar itu
alternatif menjadi distinkif terhadap yang ada. Pembaca sastra yang
kehilangan daya imajinasi meniadakan sesuatu yang tak kurang esensial bagi
manusia yaitu alternatif terhadap eksistensi yang ada dengan segala
keserbakurangnya. Manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan
dan impian yang kedua-duanya hakiki untuk kita sebagai manusia.

V. KARYA SASTRA SEBAGAI STRUKTUR STRUKTURALISME


1. TEORI ARISTOTELES MENGENAI STRUKTUR KARYA SASTRA
Sesuai dengan model siometik lain, yaitu pendekatan obyektif, ekspresif,
pragmatik dan mimetik. Dalam bab ini akan diteliti pendekatan obyektif,
yaitu pendekatan yang menekankan karya sastra sebagai struktur yang sedikit
banyaknya bersifat otonom. Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Poetika
yang ditulis di sekitar tahun 340 sebelum Masehi di Athena.
Menurut pandangan Aristoteles dalam tragedi action, tindakan, bukan
character watak, yang terpenting efek tragedi dihasilkan oleh aksi plotnya,
dan untuk menghasilkan efek yang baik plot harus mempunyai keseluruhan
wholeness: untuk itu harus dipenuhi empat syarat utama, yang dalam
terjemahan Inggris disebut order, amplitude, atau complexity, unity dan
connecttion atau coherence. Order berarti urutan atau aturan: terutama harus
ada awal, pertangahan dan akhir yang tidak sembarangan. Amplitude (atau

complexity) berarti bahwa luasnya ruang lingkup dan kekomplekan karya


harus cukup untuk memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal.
Unity berarti bahwa semua unsur dalam plot harus ada. Connecttion atau
coherence berarti bahwa sastrawan tidak bertugas untuk menyebut hal-hal
yang sungguh-sungguh terjadi, tetapi hal-hal yang mungkin atau harus terjadi
dalam rangka keseluruhan plot itu. Sejarawan menceritakan yang terjadi,
sedangkan sastrawan menceritakan peristiwa atau kejadian yang masuk akal,
namun mengadakan kejutan pada pembaca yang pada awalnya tidak sadar
akan koherensi peristiwa plot tersebut.
Jadi, keteraturan atau susunan plot yang masuk akal, ruang lingkup yang
cukup luas, kesatuan dan keterkaitan plot disebut Aristoteles sebagai syarat
utama khususnya untuk tragedi; tetapi syarat yang sama pada prinsipnya
berlaku pula untuk epik dan untuk seni kata umumnya. Sesungguhnya syarat
itu sejak Aristoteles secara implisit atau eksplisit, selalu diajukan sebagai
syarat mutlak untuk karya sastra yang berhasil dan bernilai. Kesatuan,
keseluruhan, kebulata, keterjalinan, istilah manapun juga dapat dipakai untuk
mengungkapkan konvensi utama yang menguasai dan mengarahkan pembaca
dalam tanggapannya dan penilaiannya terhadap karya sastra.
Kita selalu mencoba memahami fungsi anasir-anasir atau peristiwa-peristiwa
dalam sebuah cerita dalam rangka menyeluruh plotnya, dan sebaliknya kita
membina interpretasi plot atas dasar pengikutsertaan sebanyak mungkin
bagian atau anasir cerita. Tidak ada hukuman yang lebih beratbagi karya
sastra daripada tudingan seorang pengritik sastra yang menyimpulkan :
Karya itu tidak ada ujung pangkalnya
2. STRUKTUR KARYA SASTRA DAN LINGKUNGAN HERMENEUTIK
Lingkungan hermeneutik (lihat di antara banyak tulisan lain, Vietor
1952:305-6 yang merujuk pada tulisan Dilthey dan Schleiermacher).
Hermeneutik adalah ilmu atau keahlian menginterpretasi karya sastra dan
ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya.
Dalam praktek interpretasi sastra lingkaran itu dikerjakan secara dialektik,
bertangga dan lingkarannya sebenarnya bersifat spiral : mulai dari interpretasi
menyeluruh yang bersifat sementara kita berusaha untuk menafsirkan anasiranasir sebaik mungkin. Kalau pemahaman bagian tidak cocok dengan

pemahaman keseluruhan kita mencari jalan untuk menyesuaikan keduaduanya, dengan meninjau kembali satu di antaranya atau malahan keduaduanya. Yang jelas pula proses interpretasi yang bertanda berdasar struktur
koheren tadi dipertahankan, baik atau dianggap baik dari awal mulanya
berlatih dan dilatih untuk memecahkan lingkaran hermeneutik dan mencari
makna total sebagai sebuah karya sastra. Kalau seorang pembaca tidak
berhasil mencapai interpretasi integral dan total, tinggal hanya dua
kemungkinan karya itu gagal atau pembaca bukan pembaca yang baik,
kemungkinan ketiga tidak ada.
3. KEKURANGAN MINAT UNTUK STRUKTUR KARYA SASTRA
PADA ABAD KESEMBILAN BELAS
Abad ke-19 dalam teori dan kritik sastra minat untuk karya demi karya itu
tidak dominan. Dalam bab II telah diuraikan bahwa dalam kritik sastra abad
ke-19 pendekatan ekspresif sangat ditonjolkan. Sejarah sastra yang juga
sering mengabaikan karya sebagai keseluruhan makna. Sastra yang populer
pada abad ke-19 ialah pendekatan yang melihat sastra pertama-tama sebagai
sarana untuk memahami aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas terutama
agama, sejarah atau aspek kemasyarakatan.
4. MUNCULNYA MINAT UNTUK STRUKTUR KARYA SASTRA
Pergeseran yang umum yang dapat dilihat di bidang ilmu kemanusiaan ialah
pergeseran dari pendekatan historik atau diakronik ke pendekatan sinkronik,
dan sekaligus dapat disaksikan secara khas pergeseran dari pendekatan sastra
sebagai sarana untuk pengetahuan lain ke arah sastra sebagai bidang
kebudayaan yang otonom. Makna dan fungsi unsur-unsurnya hanya dapat
dipahami dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur lain, sifat utama bahasa
sebagai sistem tanda ialah sifat relasionalnya, yang berarti bahwa keseluruhan
relasi atau oposisi antara unsur-unsur dan aaspek-aspeknya harus diteliti dan
dipahami lebih dahulu konsepsi yang strukturalis. Dalam ilmu di bidang
antropologi budaya pendekatan struktural juga muncul pada abad ini.
5. ALIRAN FORMALIS DI RUSIA
Formalis sebagai ahli dan pengkritik sastra sangat erat hubungannya dengan
aliran puisi modern di Rusia, khususnya dengan penyair Mayakowsky dan

aliran Futurisme. Yang gejala ini sering kali dapat disaksikan dalam sejarah
sastra dan ilmu sastra. Teori sastra menyusul karya sastra, perkembangan atau
aliran baru dalam sastra juga menghasilkan pandangan ilmiah baru mengenai
sastra. Pada awalnya para formalis pertama-tama ini membebaskan ilmu
sastra dari kungkungan ilmu-ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah atau
penelitian kebudayaan. Ciri itu disebut literariness. Puisi adalah pemakaian
bahasa yang sign oriented, terarah ke tanda-tanda, bukan ke kenyataan. Yang
penting menurut kaum formalis ialah dalam bahasa Rusia priem, devices,
prosede atau sarana-sarana yang secara distinktif dimanfaatkan oleh penyair.
Sarana di bidang bunyi (rima, matra, irama, aliterasi dan asonansi, morfologi,
sintaktis dan semantik). Karya dipandang sebagai penjumlahan dari saranasarana individual. Karya sastra dalam anggapan ini menjadi tanda yang
otonom yang hubungannya dengan kenyataan yang bersifat tak langsung.
Aliran formalis cepat berkembang ke arah strukturalis. Penyimpangan tadi
ada dua aspek secara sinkronik karya sastra menyimpang dari bahasa seharihari.
6. PENDEKATAN STRUKTURAL DAN GERAKAN OTONOMI
Di sini perlu kita kembali ke konsep struktur karya sastra dengan sengaja
teori para formalis diuraikan agak lengkap sebab teori ini dianut pula dalam
garis utamanya, oleh berbagai aliran imu sastra yang dapat disimpulkan
dengan sebutan strukturalis, formalis ataupun gerakan otonomi, jadi yang
meneliti karya sastra dalam otonominya lepas dri latar belakang sosial,
sejarah, biografik dan lain-lain.
7. TENTANG ANALIS STRUKTUR KARYA SASTRA
Sudah tentu diuraikan panjang lebar metode dan teknik analisis struktural.
Analisis struktual berujuan untuk membongkar dan memaparkan secar
cermat, teliti dan mendetail. Yang penting justru sumbangan yang diberikan
oleh semua gejala semacam ini pada keseluruhan makna, keterkaitan dan
keterjalinannya juga dan justru antara berbagai tataran bentuk dan isi tidak
mungkin lagi. Setiap karya sastra memerlukan metode analisis yang sesuai
dengan sifat dan strukturalnya. Dalam analisis struktur perbedaan dominan
anasir tertentu mau tak mau harus memainkan peranan yang penting. Dalam

roman yang mendahulukan perwatakan ada pula yang plotnya diuatamakan


atau struktur waktu. Analisis struktur tidak dapat tidak harus diarahkan oleh
ciri khas sastra yang hendak dianalisis. Di Indonesia sudah banyak analisi
struktur yang dihasilkan baik sebagai skripsi sarjana atau dalam rangka
proyek bahasa, fakultas sastra, dll.

Vous aimerez peut-être aussi