Vous êtes sur la page 1sur 14

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: Nn. Wiwik Wahyuni
Umur
: 28 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Pallantikan
Diagnosis Pre-operatif : Multi Sinusitis
Macam Operasi
: FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery)
Macam Anestesi
: Anestesi umum
Tanggal masuk
: 03 Maret 2015
Tanggal operasi : 04 Maret 2015
No. Register
: 39 36 72

II.

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Hidung sering tersumbat
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk RSUD Syekh Yusuf Gowa dengan keluhan hidung
sering tersumbat disertai nyeri hebat di sekitar hidung sejak 3 bulan yang
lalu. Sebelumnya pasien sering bersin terutama saat pasien menghirup debu.
Keluhan tersebut sudah dialami sekitar 2 tahun yang lalu dan memberat 3
bulan yang lalu. Demam (-), batuk (-), pilek (+), mual (-), muntah (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi sebelumnya disangkal
Riwayat batuk lama disangkal
Riwayat asma atau sesak nafas disangkal
Riwayat alergi obat disangkal, alergi debu dan dingin (+)
Riwayat Hipertensi dan Diabetes Mellitus disangkal
Pasien tidak sedang dalam pengobatan suatu penyakit tertentu dan tidak
mengkonsumsi obat-obatan apapun.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat anggota keluarga yang menderita keluhan serupa (+) bapak
Riwayat penyakit diabetes melitus atau kencing manis disangkal
Riwayat penyakit hipertensi atau darah tinggi disangkal

III.

PEMERIKSAAN FISIK
B1 (Breath)

: RR = 22x/menit, vesikuler, gerakan dinding dada simetris

B2 (Blood)

: TD 120/70 mmHg, N= 96x/menit, kuat angkat, BJ :


regular, bising (-)

B3 (Brain)

: GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor 2,5 mm/2,5mm,

B4 (Bladder)

: Urin spontan, tidak terpasang kateter, produksi urin sukar


dinilai

B5 (Bowel)

:Peristaltik (+) normal, distensi abdomen (-), defans


muscular (-), nyeri tekan (-)

B6 (Bone)
IV.

: Ekstremitas dingin (-), udem (-), hematom (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan
WBC

Hasil
8,09x103uL

Nilai Rujukan
4,00-11,0

RBC

4,05x103uL

04,00-6,20

Hb

12,0 g/dL

11,0-18,8

HCT

34,5%

35,0-55,0

PLT

26,5x103uL

150-400

CT-Scan : Kesan Multisinusitis disertai Deviasi Septum

V.

KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta penunjang, maka:
Diagnosa pre-operatif

: Multisinusitis

Rencana Operasi

: FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery)

Status operatif

:ASA 1 (Pasien tanpa gangguan organic, fisiologik,


biokemik, maupun psikiatri. Proses patologis yang

akan dilakukan operasi terbatas lokasinya dan tidak


akan menyebabkan gangguan sistemik)
VI.

TINDAKAN ANESTESI
Keadaan pre-operarif

: pasien puasa +6 jam. Pasien dalam keadaan sadar


dengan GCS 15 (E4M6V5), kooperatif, tensi
110/70 mmHg, nadi 92x/ menit

Jenis Anestesi

: anestesi umum, semi closed, general endotracheal


anestesi dengan ET oral no: 6,5 respirasi kontrol.

Premedikasi

: 5 menit sebelum dilakukan induksi anestesi,


diberikan premedikasi berupa: midazolam 0,4 mg
iv, Fentanyl 40 mg IV

Anestesi yang diberikan :

Induksi anestesi
Untuk induksi digunakan propofol 200 mg. Kemudian diberikan
Tramus/atracarium 4 cc sebagai pelumpuh otot, Setelah itu pasien diberi
O2 murni selama 1 menit, Setelah terjadi relaksasi kemudian dilakukan
intubasi melalui oral dengan ETT no. 6,5. Setelah di cek pengembangan
paru dan suara nafas paru kanan dan kiri sama, ET di fiksasi dan
dihubungkan dengan sistem apparatus anestesi. Pernafasan pasien
dibantu sampai terjadi nafas spontan.

Maintenance
Untuk mempertahankan status anestesi digunakan Isoflurane 2 Vol %
dengan O2 sebanyak 6 liter. Selama tindakan anestesi berlangsung,
tekanan darah dan nadi senantiasa di kontrol setiap 5 menit. Tekanan
darah sistolik berkisar antara 103-122 mmHg, dan 63-72 mmHg untuk
diastolik, nadi berkisar antara 75-96 x/menit. Infus Asering dan ringer
laktat/RL diberikan pada penderita sebagai cairan rumatan.
Keadaan post operasi

Operasi selesai dalam waktu 110 menit, tetapi pemberian agent


anestesi masih dipertahankan dengan tujuan agar tindakan ekstubasi
dalam dilakukan pada keadaan tidak sadar penuh sehingga tidak
menimbulkan batuk dan mencegah kejang otot yang dapat menyebabkan
gangguan nafas, hipoksia dan sianosis. 8 menit setelah operasi diberikan
Agent Reversal (Neostigmin dan SA 0,25mg 3:2).
Ruang Rumatan
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan diobsevasi mengenai
pernafasan, tekanan darah, nadi. Bila pasien tenang dan Aldrette Score
8 tanpa nilai nol, dapat dipindah ke bangsal. Namun, pada kasus ini,
pasien langsung dipindahkan ke ruang ICU untuk mendapatkan
pengawasan yang lebih intensif.
Program post operasi
Pasien dikirim ke bangsal dengan catatan:

Setelah pasien sadar, pasien harus tiduran dengan kepala yang


ditinggikan dengan bantal selama 24 jam, pasien belum boleh duduk
dan berdiri.

Kontrol tekanan darah, nadi dan pernafasan tiap 30 menit.

Bila pasien kesakitan beri ketorolac 30 mg IV, boleh diulang tiap 8


jam.

Bila pasien mual-muntah diberi ondansetron 4 mg IV.

Cairan infuse NaCl

Jika pasien sadar penuh dan peristaltik (+), coba makan dan minum

PEMBAHASAN
Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Tindakan
anesthesia yang memadai, meliputi 3 komponen:

1. Hipnotik
2. Analgesik
3. Relaksasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah sebelumnya adalah dilakukan
premedikasi yaitu tindakan awal anesthesia dengan memberikan obat-obat
pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik, sedatif, dan
analgetik. Tujuan dari pemberian obat-obatan premedikasi adalah:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, yang meliputi bebas dari rasa takut,
tegang, dan khawatir: bebas nyeri dan mencegah mual muntah.
2. Mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus.
3. Memudahkan/memperlancar induksi.
4. Mengurangi dosis obat anesthesia.
5. Mengurangi rasa sakit dan kegelisahan pasca bedah.
A. Induksi

Tramus (Atracurium)
Tramus merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Pelumpuh otot non
depolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan reseptor
nikotinik-kolinergik,

tetapi

tidak

menyebabkan

depolarisasi,

hanya

menghalangi asetilkolin menempatinya sehingga asetilkolin tidak dapat


bekerja. Mula kerja dan lamanya tergantung pada dosis yang diberikan.
Pada dosis untuk intubasi endotrakea, mula kerjanya 2-3 menit setelah
suntikan tunggal intravena, sedangkan lama kerjanya berkisar 15-35menit.
Atrakurium mengalami metabolism didalam darah atau plasma melalui
reaksi kimia yang unik yang disebut dengan reksi Hoffman yang tidak
tergantung pada fungsi hati atau ginjal, sehingga penggunaannya pada
penyakit ginjal atau hati tidak memerlukan perhatian khusus. Tidak
mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang, sehingga masa
kerjanya singkat. Tidak mempengaruhi fungsi kardiovaskular, sehingga
merupakan

pilihan

kardiovaskular.

pada

pasien

yang

menderita

kelainan

fungsi

Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan sesudah masa
kerjanya

berakhir,

atau

apabila

diperlukan

dapat

diberikan

obat

antikholinesterase.
Dosis dan cara pemberiannya:
1. Untuk intubasi endotrakea, dosisnya 0,5 0,6 mg/kgBB, diberikan
secara intravena.
2. Untuk relaksasi otot pada saat pembedahan, dosisnya 0,5 0,6
mg/kgBB,diberikan secara intravena.

Ketamin 100 mg
Terhadap susunan saraf pusat
Mempunyai efek analgesia sangat kuat, akan tetapi efek hipnotiknya kurang
dan disertai dengan efek disosiasi, artinya pasien mengalami perubahan
persepsi terhadap rangsang dan lingkungannya. Pada dosis lebih besar, efek
hipnotiknya lebih sempurna.
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan
mengalami perunbahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada
mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu
kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari, seperti gerakan
menguyah, menelan, tremor, dan kejang. Apabila diberikan secara
intramuscular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit. Aliran darah ke otak
meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial.
Terhadap mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus, dan kelopak mata terbuka secara
spontan. Terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran
darah pada fleksus koroidalis.
Terhadap system kardiovaskular
Ketamin adalah obat anesthesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga
bisa meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung.

Peningkatan tekanan darah disebabkan oleh karena efek inotropik positif


dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Terhadap system respirasi
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap system respirasi.
Bisa menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya,
sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma.
Terhadap metabolisme
Ketamin

merangsang

sekresi

hormone-hormon

katabolic

seperti

katekolamin, kortisol, glucagon, tiroksin dan lain-lainnya, sehingga laju


katabolisme tubuh meningkat.
Dosis dan cara pemberian
1. Untuk induksi
Diberikan intravena dalam bentuk larutan 1% dengan dosis lazim 12mg/kgBB pelan-pelan.
2. Untuk pemeliharaan
Diberikan intravena intermitten atau tetes kontinyu. Pemberian secara
intermitten diulang setipa 10-15 menit dengan dosis setengah dari dosis
awal sampai operasi selesai.
Kontra indikasi:
Tekanan inta cranial meningkat, misalnya pada tumor kepala, trauma
kepala dan operasi intracranial.
Tekanan intra ocular meningkat seperti pada glaucoma.
Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obatobat simpatomimetik.

B. Maintanance
a. N2O (Nitrous Oksida)

Kemasan dan sifat fisik


N2O diperoleh dengan memanaskan amonium nitrat sampai 250C (NH4
NO32H2O + N2O). N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau
manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara.
Absorpsi, distribusi dan eliminasi
Berdasarkan saturasinya di dalam darah, absorpsi N2O dalam darah
bertahap; Pada 5 menit pertama absorpsinya mencapai saturasi 100%
dicapai stelah 5 jam. Pada tingkat saturasi 100% tidak ada lagi absorpsi dari
alveoli dan dalam darah. Pada keadaan ini konsentrasi N2O dalam darah
sebanyak 47 ml N2O dalam 100 ml darah.
Di dalam darah, N2O tidak terikat dengan hemoglobin tetapilarut dalam
plasma dengan kelarutan 15 kali lebih besar dari kelarutan oksigen. N2O
mampu berdifusi ke dalam semua rongga-rongga dalam tubuh, sehingga
bisa menimbulkan hipoksia-difusi apabila diberikan tanpa kombinasi
dengan oksigen, oleh karena itu setiap mempergunakan N2O harus selalu
dikombinasikan dengan oksigen.
Terhadap sistem saraf pusat
Berkhasiat analgesia dan tidak mempunyai efek hipnotik. Khasiat
analgesianya relatif lemah akibat kombinasinya dengan oksigen. Efeknya
terhadap tekanan intracranial sangat kecil bila dibandingkan dengan obat
anesthesia yang lain. Terhadap susunan saraf otonom, N2O merangsang
reseptor alfa saraf simpatis, tetapi tahanan perifer pembuluh darah tidak
mengalami perubahan.
Terhadap sistem organ yang lain
Pada pemakaian yang lazim dalam praktek anesthesia, N2O tidak
mempunyai pengaruh negatif terhadap sistem kardiovaskular, hanya sedikit
menimbulkan dilatasi pada jantung. Terhadap system respirasi, ginjal,
system reproduksi, endokrin dan metabolism serta system otot rangka tidak

mengalami perubahan, tonus otot tetap tidak berubah sehingga dalam


penggunaannya mutlak memerlukan obat pelumpuh otot.
Efek Samping
N2O akan meningkatkan efek depresi nafas dari obat tiopenton
terutama setelah diberikan premedikasi narkotik.
Kehilangan pendengaran pasca anesthesia, hal ini disebabkan oleh
karena adanya perbedaan solubilitas antara N2O dan N2 sehingga
terjadi perubahan tekanan pada rongga telinga kanan.
Pemanjangan proses pemulihan anastesia akibat difusinya ke tubuh
seperti misalnya pneumothoraks.
Pemakaian jangka panjang menimbulkan depresi sumsum tulang
sehingga bisa menyebabkan anemia aplastik.
Mempunyai efek teratogenik pada embrio terutama pada umur
embrio 8 hari 6 minggu, yang dianggap periode kritis.
Hipoksia difusi pasca anesthesia.Hal ini terjadi sebagai akibat dari
sifat difusinya yang luas sehingga proses evaluasinya terlambat.
Oleh karena itu pada akhir anesthesia, oksigenasi harus diperhatikan.
Penggunaan Klinik
Dalam praktik anastesia, N2O digunakan sebagai obat dasar dari anestesi
umum

yang

selalu

dikombinasikan

dengan

oksigen

dengan

perbandingan antara N2O dan O2 = 70 : 30 (untuk pasien normal), 60 :


40 (untuk pasien yang memerlukan tunjungan oksigen lebih banyak)
atau 50 : 50 (untuk pasien yang beresiko tinggi). Dosis untuk
mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20%:80%,
untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%.
b. Halothane (Fluothane)
Halothane adalah obat anestesi inhalasi dalam bentuk cairan
bening tak berwarna yang mudah menguap dan berbau harum.

Pemberian halothane sebaiknya bersama dengan oksigen atau nitrous


oksidase 70% - oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer yang
khusus dikalibrasi untuk halothane agar konsentrasi uap dihasilkan itu
akurat dan mudah dikendalikan. Pada nafas spontan rumatanane stesi 1-2
vol% dan pada nafas kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya
disesuaikan dengan respon klinis pasien. Kelebihan dosis menyebabkan
depresi pernafasan, menurunya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardia, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard dan
inhibisi refleks baroreseptor. Paska pemberian halothane sering
menyebabkan pasien menggigil.
c. Isofluran (Forane)
Isofluran merupakan isomer dari enfluran dengan efek samping
yang minimal. Induksi dan masa pulih anesthesia dengan isoflurane
cepat.
Sifat Fisis
Titik didih 58,5 koefisien partisi darah/gas 1,4 MAC 1,15%
Farmakologi
- Sistem pernapasan. Seperti anestetika inhalasi yang lain isofluran
juga mendepresi pernapasan, dengan posisi enfluran dan halothan.
Volum tidal dan frekuensi napas dapat menurun, dan menimbulkan
dilatasi bronchus sehingga baik untuk kasus-kasus penyakit paru
obstruktif menahun dan asma bronchial.
-

Sistem

Kardiovaskuler.

Depresi

terhadap

jantung

minimal

dibandingkan enfluran dan halothan. Pada beberapa pasien dapat


menyebabkan takikardi. Dapat menurunkan tekanan darah arteri
dengan cara menurunkan resistensi perifer total, karena itu dapat
digunakan kombinasi dengan teknik hipotensi kendali.
-

Otot. Isofluran mempunyai efek relaksasi otot yang baik dan


berpotensi dengan obat relaksan.

Susunan Saraf Pusat. Berbeda dengan enfluran, obat ini tidak


menimbulkan perubahan pada gambaran EEG. Aliran darah otak dan
tekanan intracranial tidak dipengaruhi.

Hati dan ginjal. Karena metabilisme yang minimal dari isofluran ini
sehingga tidak menimbulkan efek hepatotoksik atau nefrotoksik.

Indikasi
Keuntungan anastesi dengan isofluran antara lain irama jantung stabil
dan tidak terangsang oleh adrenalin endogen maupun eksogen. Bangun
dari anastesi cepat yang menguntungkan untuk operasi rawat jalan.

C. Intubasi
1. Pengertian Intubasi
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal)
dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan
pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan
cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara
pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan
memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing
sebelum laryngoscopy.
2. Tujuan Intubasi
Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau
melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea.
Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut :
a. Mempermudah pemberian anesthesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernapasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan
tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.

e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.


f. Mengatasi obstruksi laring akut
3. Indikasi dan kontraindikasi Intubasi
Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan
saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang,
meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap
pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan
yang

terjadi,

ventilasi

yang

tidak

adekuat,

ventilasi

dengan

thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi,


memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai posisi
(misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah
dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas, Perawatan
kritis : mempertahankan saluran napas yang adekuat, melindungi terhadap
aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret
pulmonal. Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal
yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga
sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang
akan menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan
pipa orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang digunakan pada
intubasi nasotrakeal
biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi
cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang
dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan
jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila
urgensi pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi
nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan
penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini merupakan
kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam penderita
bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring.

Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur


basis cranii, khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal,
koagulopati, dan trombolisis.
Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit
dilakukan intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk dilakukan
intubasi), diduga adanya kelainan pada saluran napas atas, trakea stenosis
dan kompresi, menghindari ekstensi leher (insufisiensi arteri vertebra,
leher yang tidak stabil), resiko tinggi kerusakan gigi (gigi goyang atau
gigi rapuh), dan intubasi pada keadaan sadar.

DAFTAR PUSTAKA
1. National Institute of Health (2003). JNC 7 Express: The 7 th Report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure.
2. Beckett NS, Peters R, Fletcher AE, Staessen JA, Liu L, Dumitrascu D, et.al.
Treatment of Hypertension in Patients 80 Years of Age or Older. N Engl J Med
2008; 359: 1887-98.

3. Anderson FL, Salgado LL, Hantler CB. Perioperative hypertension (HTN).


Decision making in anesthesiology-an algorithmic approach. 4th ed.
Philadhelpia: Elsevier; 2007.p.124-6.
4. Kuwajerwala NK. Perioperative medication management; Available at:
http://www. emedicine.com/MED/ topic3158.htm..
5. Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at: http://www.4um.com/
tutorial/anaesthbp.htm.
6. Benowitz NL. Antihypertensive agentcardiovaskular- renal drugs. In: Katzung
BG, editor. Basic and clinical pharmacology. 9th ed. New York: McGraw-Hill;
2004.p.160-83.
7. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In:
Hines RL, Marschall KE, editors. Stoeltings anesthesia and co-existing
disease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.

Vous aimerez peut-être aussi