Vous êtes sur la page 1sur 72

Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.

1 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

“Untuk kedua orangtuaku, kutulis lembaran tak berharga


ini dengan penuh cinta dan rasa bangga.”

Gading Al-Thalib Ar-Rizqy

DUA CAHAYA eps. 1


DAFTAR ISI

I. Sebuah Permintaan 3
II. Munculnya Sebuah Asa 26
III. Kenangan Nana 56
IV. Pelajaran Mengajar 71
V. Berita Baik 91
VI. Keinginan Nisa’ 107
VII. Strategi dan Pengalaman 127
VIII. Dua Cahaya 156
IX. Sosok Itu 180
X. Berbagai Macam Cara 196
XI. Malam Hari di Madiun 210
XII. ”Masya Allah!” 226
XIII. Bertemu di Walimah 243
XIV. in process!....

2 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

^Sebuah Permintaan^

Benderang hari siang, temaram semburat kesedihan.


Yang ada hanya hias-hiasan yang membuat hati
terguncang. Dengan sepenuh jiwa yang tergugah,
menunggu siang yang tak akan luput dari lekang. Hati
yang mengalun, mengantarkan seberkas angan untuk
mentadaburi setiap detik yang terlewati.

Kian elok apa yang dipandangnya, hingga tak ingin


lepas mata untuk memandang. Bidadari nan cantik,
berdiri dengan anggun di beranda rumah berlantai
dua. Dari kesempurnaan sosoknya, yang ia tahu hanya
sebatas nama. Namun pelak hati berkata, “Tidak ada
rasa padanya”. Ia sungguh telah jatuh cinta.

Seperti biasa, ia berjalan melewati pinggir-pinggir


lebar jalanan, dengan membawa beberapa buah buku
yang hendak ia kembalikan ke perpustakaan. Setiap
jalan ia lalui dengan keceriaan, lebih–lebih jika
melewati jalan dimana ia dapat memandang sang
pujaan.

Cukup lama ia berdiri terpaku memandangi gadis itu


dari jalan. Seolah-olah ia lupa tujuannya pergi ke kota.
Setelah megucapkan istighfar tiga kali ditambah
menghujat diri sendiri, barulah ia beranjak pergi. Saat
ia pergi, sang pujaan melihat kepadanya. Namun

3 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

percuma, perempuan berkerudung itu tidak begitu


mengenalnya.

“Fiuh!”, tiupan halus keluar dari mulut perempuan itu.


Helaan nafas yang bisa memiliki banyak arti. Bisa
sebagai tanda pemakluman, keletihan, penahan sabar,
atau hanya penyegaran pikiran. Tangannya masih saja
menggoreskan kuas basah ke kanvas bercoret-coret
indah. Tampak panorama padat kota terjiplak di
kanvas setengah basahnya.

“Nduk..masuk! Ada tamu!”, suara dari dalam rumah


terdengar olehnya. Tanpa menjawab, ia segera masuk
ke dalam rumah. Ia tinggalkan dengan segera lukis-
lukis indah yang tampak setengah sempurna. Ketika ia
masuk, jilbab panjangnya tertiup angin. Berkelebatlah
kain coklat itu, saking panjangnya sampai-sampai
kelebatan itu memenuhi pintu saat dirinya masuk ke
dalam .
***

Dengan tergesa-gesa seorang pemuda berjalan di tepi


jalan. Dirinya tidak mau tertinggal oleh jam tutup
perpustakaan. Di hari biasa, perpustakaan Al-Badar
tutup pukul tiga sore, sedangkan saat itu masih bakda
Zhuhur. Tapi entah mengapa hatinya mengatakan
bahwa ia harus cepat sampai di perpustakaan.

Begitu sampai di depan perpustakaan, hatinya sudah


sedikit lega. Walaupun dengan nafas yang berat, ia

4 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

tetap melangkahkan kakinya masuk ke halaman


perpustakaan. Baru beberapa langkah berjalan, tampak
pak Badri, pemilik perpustakaan hendak keluar dari
gedung yang bergandengan dengan sebuah kios itu.
Laki-laki setengah baya yang berjenggot cukup
panjang itu sudah siap dengan jaket kulit dan tas
jinjing ditangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya
memegang kunci pintu, pertanda hendak ditutupnya
perpustakaan itu. Pak Badri pun terkejut dengan
kedatangan seorang pemuda yang ia kenal dengan
nama Faiz. Faizal Rasyid Ismail.

“Assalamu’alaikum Pak!”, salam Faiz sembari menjabat


tangan pak Badri.

“Wa’alaikumsalam Iz. Lha kamu kok baru datang!?


Untung belum kututup ini perpus!”, kata Pak Badri
sedikit menyayangkan bercampur lega.

“Maaf pak, sebenarnya saya ingat pesan bapak untuk


datang lebih cepat hari ini. Tadi rencana mau
berangkat sebelum Zhuhur, yaa..jam sebelasan gitu!
Tapi Eyang malah meminta saya untuk belanja
keperluan warung”, terang Faiz cukup panjang, pak
Badri hanya manggut-manggut mendengar penuturan
Faiz. “Saya bisa masuk ndak pak?”, sambung Faiz
bertanya kepada pak Badri.

“Ya mesti bisa tho Iz! Lha kamu kesini mau ngapain
coba? Ayo!”, tampak keramahan pak Badri. Walaupun

5 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

bisa dikatakan berbadan besar, dan berwajah cukup


sangar, namun tak diragukan lagi bahwa pak Badri
adalah orang yang ramah, berwibawa, dan bijaksana.

Faiz hanya tersenyum, kemudian ia pun masuk ke


dalam ruangan yang berukuran 10x8 meter. Di dalam
ruangan itu terdapat banyak rak buku dari yang besar
hingga yang kecil. Di depannya ada berderet-deret
meja baca bagi pengunjung. Namun ada juga
pengunjung yang suka membaca buku sambil berdiri,
termasuk dirinya.

Di dalam, Faiz duduk di sebuah kursi di depan meja


pustakawan. Buku-buku yang ia bawa, ia letakkan di
meja. Sementara pak Badri mengambil sesuatu di
lemari, Faiz mengamati daftar new entry dibalik kaca
bening meja. Dia berharap menemukan sebuah buku,
buku yang sudah dicarinya sejak lama, namun
dahinya berkerut ketika tak ditemukan judul buku
yang dicarinya dalam daftar itu.

Buku-buku di perpustakaan Al-Badar tergolong cukup


lengkap, tidak kalah dengan perpustakaan kota. Mulai
dari buku tentang agama, sastra dan budaya, ekonomi,
IT, novel, buku-buku terbaru sampai tabloid-tabloid
keluaran zaman bahula ada di perpus itu. Memang, Al-
Badar adalah perpustakaan swadaya. Pemilik
resminya adalah Pak Badri, namun ada beberapa
tokoh yang juga menyokong dana untuk kelengkapan

6 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

perpus tersebut. Tak kurang dari lima puluh buku dan


bacaan baru, datang setiap bulannya. Asalnya pun dari
berbagai macam sumber, misalnya sumbangan dari
beberapa perusahaan, sumbangan individu, dari khas
perpustakaan yang terkumpul, atau bahkan buku-
buku lawas para anggotanya yang disumbangkan
kesana.

“Kamu kemarin pinjam buku apa saja Iz?”, suara berat


pak Badri mengagetkan Faiz.

“Oh..anu pak..Mutiara Amaly edisi 45 sampai 50, sama


Kimia Kebahagiaannya Al-Ghazali”, jawab Faiz sambil
menyodorkan tumpukan buku yang dibawanya.
Terlihat pak Badri mencatat apa-apa yang telah Faiz
diktekan.

“Ndak pinjem buku lagi Iz?”

“Ndak pak, makasih! Mungkin lusa!”

“Lho, lha kenapa? Biasanya setelah mengembalikan


buku, kamu langsung mborong lagi”

“Walah..kalau ditanya begitu saya jadi malu.”

“Emangnya malu kenapa? Sama orang aja kok malu!


Malu tu ya sama Allah! Malu atas dosa-dosa kita yang
masih menumpuk.” sekarang Pak Badri berdiri
dengan membawa buku-buku yang dipinjam Faiz.

7 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

“Iya Pak..saya tahu. Saya cuma malu sama diri saya


sendiri. Saya ini masih belum kerja. Jadi kalau saya
kebanyakan membaca buku, ndak enak sama Eyang,
masak setiap hari kerjanya membaca terus.”

“Lho, membaca itu nambah ilmu lho Iz, jadi gak perlu
ndak enak atau gimana.”

“Saya juga tahu itu pak. Tapi saya merasa masih belum
bisa membahagiakan eyang sebagai orangtua saya
yang kedua. Eyang meminta, paling tidak saya punya
kerjaan tetap. Tapi saya sendiri malah asyik dengan
dunia menulis dan membaca ini.”

Sambil menata buku-buku pak Badri menjawab,


”Memang dimana-mana, orang tua itu pengen anak
atau cucunya bahagia, hidup terjamin! Aku dulu saja
walaupun sudah jadi entrepreneur tingkat menengah,
bapak sama ibuk masih tetap khawatir. Pengennya
mereka ya aku ini jadi PNS atau jadi ABRI. Tapi aku
sudah punya keyakinan, ini adalah jalanku! Kalau
dulu aku gak yakin, ya kamu gak bakal langganan
pinjam buku disini. Tapi kalau masalah baca tulis itu
bagiku ndak masalah. Sudah biasa pemuda seperti
kamu itu berkreasi. Bahkan seharusnya perkembangan
dunia baca tulis Indonesia itu berada di pundak kaum-
kaum muda seperti kamu ini. Jadi jangan sampai ada
yang menghalangi niat baik kamu untuk terus
menggoreskan pena demi kemajuan bangsa kita. Lha

8 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

selain nulis, kamu punya usaha apalagi Iz? Jangan


bilang gak punya usaha!”

“Kalau pekerjaan selain bidang tulis menulis mungkin


hanya bantu mas Dirga tetangga saya buka Lesehan di
jalan Diponegoro. Walaupun sebenarnya cuma bantu,
dalam artian bukan jadi karyawan, mas Dirga tetap
menggaji saya seikhlasnya. Itu sudah Alhamdulillah
Pak!” papar Faiz panjang.

“Oh ya sudah kalau ada sambilan. Jangan sampai


kamu ribet dengan buku, tapi kehidupan kamu ndak
kamu tata. Itu yang bahaya! Lha eyangmu tu
pengennya gimana?” Pak Badri telah menyelesaikan
pekerjaan merapikan bukunya. Kini ia duduk di depan
Faiz.

“Kalau eyang inginnya saya punya pekerjaan tetap itu


saja! Ini juga lagi mencari modal kok Pak. Untuk
merintis usaha kecil-kecilan.”

“Oh begitu. Bagus-bagus! Kalau pengen berwiraswata


itu, memang harus punya modal dulu. Dulu aku
memodali diriku ini dengan menjual sapi yang sejak
kecil aku ingoni. Alhamdulillah, dengan modal itu aku
bisa membuka toko alat tulis yang cukup besar waktu
itu.” Pak Badri dengan semangat bercerita. Faiz hanya
terdiam. Dirinya baru tahu kalau pak Badri juga punya
toko alat tulis.

9 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

“Tenang saja Iz, kalau masalah wirausaha, Pak Badri


ahlinya! Hehehe. Kamu gak usah sungkan tanya. Jadi,
tidak ada alasan lagi untuk ragu-ragu, Ok!”

“Iya Pak!”

“Kuncinya itu sabar dan tabah. Allah bersama orang-


orang yang sabar, ingat itu!” kata Pak Badri tegas.

“Iya Pak, Insya Allah!”


***

Siang itu, matahari cukup terang menyinari sebuah


perkampungan yang aktif. Dengan beberapa pusat
aktivitas, membuat desa yang masuk dalam kawasan
KecamatanTakeran, Kabupaten magetan itu menjadi
sebuah sentra pada lokasi perbatasan. Perbatasan
antara Kabupaten Magetan dengan Kabupaten
Madiun sekaligus dengan Kota Madya Madiun.

Desa Madigondo namanya, merupakan lokasi yang


cukup strategis. Dengan Jalan Raya Gorang-gareng
yang membentang kearah barat, akses ke arah Madiun
dari Magetan dapat dilakukan dari sini. Karena dekat
dengan kota, kehidupan penduduknya sudah tampak
maju. Pasar-pasar sudah mengalami modernisasi,
sarana pendidikan juga sudah cukup lengkap.
Kesejahteraan telah dirasakan oleh para
penduduknya.

10 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Di desa itu pula terdapat sebuah rumah bercat hijau,


dengan pohon-pohon mangga di pekarangannya.
Lokasi yang dekat dengan raya membuat akses ke
rumah itu begitu mudah. Masuk ke dalam sebuah
gang kecil, rumah itu berdiri di antara rumah-rumah
yang lain.

Sekitar pukul satu siang, sebuah motor GL Pro hitam


memasuki pekarangan rumah itu. Rindangnya
pekarangan membuat si pengendara merasakan
kesejukan yang luar biasa setelah bekerja di tengah
panasnya kota aktif. Sesekali helaan nafas terdengar,
hawa yang sejuk menyelimuti badannya yang tampak
besar dengan jaket kulit.

Seseorang turun dari motor itu. Dirinya yang


dibonceng berjalan menuju ke rumah yang kecil nan
asri. Dengan langkah santai dia berjalan di atas
rumput-rumput yang telah ditata untuk memenuhi
pekarangan. Pekarangan itu tampak hijau dengan
rumput-rumput yang memenuhinya. Selain tiga pohon
mangga gadung, di pekarangan itu juga terdapat dua
pohon rambutan. Telah tampak buah-buah itu masak
dan menggantung di dahan masing-masing.

“Iz, aku pulang duluan ya! Soalnya nanti jam dua


siang ada janji sama rekan lama di rumah. Maaf gak
bisa mampir lebih lama. Kapan-kapan saja aku kesini
lagi!”, Pak Badri berpamitan kepada Faiz. Faiz yang

11 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

tadi hendak naik ke teras kembali ke tempat Pak Badri.


Dia menyalami pak Badri dengan penuh hormat.

“Oh..iya Pak! Padahal tadi mau saya suguhkan


mangga gadung yang maknyus dari pohon mangga
saya. Tapi kalau Pak Badri sudah pamit begitu, ya
bagaimana lagi! Jadi nyuguhkannya lain waktu
saja..hehe!” balas Faiz dengan sedikit bercanda.

“Ok..ok, kapan-kapan tak tagih janjimu.”

“Insya Allah.”

“Assalamu’alaikum.”

”Wa’alaikumsalam.”

Pak Badri dengan motor GLnya keluar dari


pekarangan rumah Faiz. Setelah keluar dari gang,
dipacunya motor itu dengan kecepatan sedang ke arah
selatan. Diikuti jalan raya yang cukup ramai. Deru
motornya tetap terdengar walau sudah beberapa
puluh meter jauhnya.

“Assalamu’alaikum! Eyang..Faiz sudah pulang!” dengan


setengah berteriak Faiz memanggil neneknya yang
berada di dalam rumah. Walaupun ia tahu rumahnya
tidak dikunci, namun ia telah dididik sejak kecil untuk
tidak masuk ke dalam rumah tanpa permisi, tak
terkecuali rumahnya sendiri. Minimal ada yang
menyahut salam atau panggilannya. Tidak seperti

12 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

pemuda zaman sekarang yang pergi tanpa pamit,


pulang tanpa salam.

“Wa’alaikumsalam”, suara dari dalam rumah menyahut.


“Sebentar!”

Beberapa detik kemudian, pintu rumah pun terbuka.


Muncul sesosok wanita tua, nenek Faiz yang biasa
dipanggil Eyang atau Bu Rinah, karena nama
lengkapnya adalah Qoshrinah. Faiz segera menyalami
wanita itu. Diciumnya tangan sang nenek dengan
penuh rasa takzhim. Kemudian mereka berdua masuk
ke dalam rumah. Faiz melepas kemejanya dan
mengganti dengan kaos oblong, sedangkan Eyangnya
mengambil sapu kemudian segera menyapu debu-
debu yang masuk ke dalam rumah. Akhir-akhir ini
angin sering bertiup kencang, jadi kalau sehari saja
rumah tidak disapu maka bisa ngeres lantainya.
Apalagi rumah itu hanya berlantai ubin hitam biasa,
yang sangat ketara jika kotor dipenuhi debu.

“Kok baru pulang tha Iz? Tadi dari mana? Berangkat


gak makan siang dulu..jam segini baru pulang!”
Sambil menyapu Eyangnya terus bertanya.

“Tadi Faiz cepat-cepat Yang. Hampir saja Faiz


terlambat mengembalikan buku. Untung Faiz datang
beberapa detik sebelum perpustakaannya tutup.”

13 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

“Oalah..ke perpus! Lha tadi pulang sama siapa? Eyang


kok barusan mendengar suara motor, temanmu tha?”

“Sanes Yang. Tadi Faiz sama pak Badri, yang punya


perpustakaan Al-Badar itu lho! Yang Eyang dengar
tadi suara motor beliau.”

“Oh. Lha kok gak disuruh mampir?”

“Pak Badri ada urusan penting Yang, makanya


perpusnya juga tutup lebih awal. Katanya ada tamu,
teman lama atau gimana gitu.”

“Oh ya sudah! Kamu belum makan tha? Ndang


makan, tadi Eyang bikinkan oseng kangkung telur
puyuh kesukaan kamu. Eyang mau nerusin nyuci
dulu.” Eyang pun segera merampungkan sapuannya.

“Inggih Yang.”
***

Kesibukan terlihat pada sebuah rumah di kawasan


Gulun. Dimana setiap anggota keluarga sibuk
mengurus kardus-kardus berisi buku. Setengah jam
yang lalu satu truk yang membawa buku-buku itu
datang, total yang dibawanya hampir delapan puluh
kardus. Supir truk dan dua anak buahnya membantu
menurunkan kardus-kardus itu, sedangkan sang
kepala keluarga mengawasi apa-apa saja yang
dikerjakan. Dua gadis berjilbab membantu ibu mereka
untuk mencatat dan mengelompokkan buku-buku

14 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

sesuai jenis dan rating. Mereka semua tampak


menikmati pekerjaan itu. Tak terlihat sedikitpun
kemuraman di sana. Semua ceria, semua bekerja sama
demi sebuah kesuksesan.

Adalah keluarga penulis, yang sekaligus keluarga


bisnis. Lewat tulisan-tulisanya, sang ayah, H. Luqman
Al-Badr, membangkitkan semangat para muslim
untuk tetap bertahan ketika rezim orde baru berkuasa
di Tanah Air. Sosok penulis senior yang begitu
dikagumi penggemarnya ini merupakan figur rendah
hati dan bisa akrab dengan siapa saja. Sorot mata yang
teduh membuat setiap orang merasakan kenyamanan
jika harus berhadapan dengan beliau. Tulisan dengan
gaya yang khas ’kedewasaan’, mampu membalik
pemikiran para separatis.

Beliau juga menghidupi keluarga dengan bisnisnya


yang cukup sukses, terutama bisnis buku. Hampir
setiap tiga minggu sekali berkardus-kardus buku
dikirim dari berbagai penerbit ke rumahnya yang juga
sebagai pusat pendistribusian. Haji Luqman, begitu
orang-orang memanggilnya, juga memiliki toko buku
yang tersebar di tiga tempat di Karesidenan Madiun.
Yang pertama di Kota Madiun sendiri, yang kedua di
Magetan dan yang terakhir di Ponorogo. Dengan
dikaruniai istri yang patuh dan kedua putri yang

15 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

cantik nan cerdas, keluarga yang ia bina


menentramkan hati dan jiwanya.

Istrinya, Hj. Maimunah..biasa dipanggil bu Hajah atau


Bu Mumun adalah sosok istri yang patuh dan taat
kepada suami. Baktinya juga dibuktikan dengan
mendidik kedua putrinya sehingga menjadi anak-anak
yang berprestasi secara akademis, non akademis
maupun secara moral. Beliau juga figur ibu yang
mengayomi anak-anaknya. Tak pelak, wanita yang
kemana-mana selalu memakai jilbab ini menjadi
tempat curhat bagi kedua putrinya.

Anaknya yang sulung bak seorang bidadari yang


turun dari langit. Yang mampu membius setiap lelaki
yang memandang. Matanya bak permata cokelat yang
mengerlingkan cahaya disetiap pandangannya. Ia
adalah seorang sarjana sastra Indonesia Universitas
Airlangga, Surabaya tahun 2008. Pernah menjadi
Sekretaris Organisasi Dakwah Kampus dan juga
pelopor didirikannya forum penulis Mahasiswa.
Dengan berbagai prestasi akademik maupun non
akademik membawanya meraih penghargaan
Mahasiswa Teladan 2007. Karakternya yang lembut
dan sopan, menjadikan setiap mata yang
memandangnya menjadi sejuk, dan setiap jiwa yang
diajak bicara selalu tergugah. Terlahir dengan berbagai
bakat dan kecerdasannya, tidak menjadikannya

16 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

sombong dan takabur. Dia senantiasa bersyukur


terhadap karunia Allah kepadanya dan keluarganya.
Dialah Annisa’ Al-Mukarramah.

Sedangkan anaknya yang bungsu, memiliki kecantikan


yang tidak biasa, melebihi kakaknya yang notabene
sudah begitu cantik. Bisa dibayangkan bagaimana
keelokan rupanya. Dengan lesung pipit yang dia
miliki, menambah manis wajah yang sudah begitu
manis. Setiap orang yang memandang akan
melekatkan sejenak pandangannya ke arah Annisa’ Al-
Munawwarah. Begitulah namanya. Jika orang yang
bukan mahram itu sadar, seketika juga mereka akan
mengucapkan istighfar berkali-kali. Tak kalah dengan
kakaknya, banyak prestasi yang dimiliki olehnya.
Dengan karakter pemberani dan lincah, dia sungguh
disenangi oleh banyak orang. Namun dalam hal
pendidikan, dia tidak seperti kakaknya, Nisa’,
Mahasiswi yang sudah memasuki tahapan skripsi ini
memilih jurusan pendidikan bahasa inggris di UNESA,
Surabaya. Dengan cita-citanya sebagai seorang guru,
bersama sang kakak, ia telah mendirikan sebuah panti
kecil yang digunakannya untuk mengajar para
thalabul ‘ilm kecil di rumahnya.

Hampir satu setengah jam mereka berkutat dengan


tumpukan kardus-kardus buku. Pekerjaan mereka
sudah sembilan puluh lima persen selesai. Tinggal

17 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

tumpukan buku anak-anak yang belum ditata dan


didata. Bu Mumun mencatat apa-apa saja yang
didiktekan oleh Nana, panggilan Al-Munawwarah.
Sedangkan Nisa’ masuk ke dalam rumah untuk
membuatkan minuman bagi mereka semua.

Sepuluh menit kemudian, Nisa’ keluar dengan


membawa tujuh gelas teh rosela. Empat untuk
keluarganya, tiga untuk supir dan anak buahnya.
Seketika itu pula semua pekerjaan telah selesai. Semua
kardus sudah masuk ke dalam gudang. Semuanya kini
duduk di dipan panjang yang ada di teras rumah.
Semuanya menikmati istirahat setelah bekerja keras.
Tampaklah kebenaran ayat Allah di sini, Fa inna ma’al
’usri yusraa..inna ma’al ’usri yusraa. Karena
sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan.

”Alhamdulillah.” ucapan spontan dari mulut Pak


Luqman. Tubuhnya yang sudah mulai letih, tampak
bersemangat kembali setelah meminum teh buatan
putri sulungnya.

”Nduk..teh kamu kok rasanya beda ya?” kata bu


Mumun. Ayahnya mengangguk pertanda idem dengan
istrinya.

”Iya Mi, itu teh rosela. Tadi Anggi yang membawa.


Kemarin kakaknya membawa oleh-oleh dari Malang.”
jawab Nisa’, kini dia sudah membawa nampan lagi,

18 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

gelas-gelas yang sudah kosong hendak ia masukkan ke


dalam rumah.

Saat Nisa’ hendak masuk, tiba-tiba Nana bertanya


kepadanya.” Mbak Anggi kesini tadi ngapain Kak?”.

Nisa’ yang sudah berada di ambang pintu menjawab


pertanyaan adiknya, ”Nganter undangan
pernikahan!”. Setelah menjawab dengan singkat,
dirinya masuk ke dalam dapur untuk meletakkan
gelas-gelas itu di tempat pencucian piring.

Satu menit kemudian Nisa’ keluar dengan membawa


setoples camilan emping. Diletakkannya camilan itu di
dipan. Setelah dibuka, emping itu pun dinikmati
bersama-sama.

“Yang mau menikah siapa Nis?” bu Mumun bertanya


kepada Nisa’ yang baru sejenak duduk.

“Anggi sendiri Mi!” jawab Nisa’ sembari mengunyah


emping yang baru diambilnya dari toples.

“Calonnya?”

“Belum dikenalkan kepada Nisa’ Mi, tapi yang pasti


calonnya itu berasal dari Madiun juga, jadi dekat!”

“Oh.”

”Kalau mbak Anggi saja sebentar lagi menikah, lha


Kak Nisa’ nikahnya kapan?”, pertanyaan mendadak
dari Nana membuat Nisa’ tersedak emping.

19 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

”Huk..huk..huk.” ia pun terbatuk-batuk, Bu Mumun


membantu mengurut tengkuknya.

”Kamu itu jangan tanya macam-macam tha Na.” Bu


Mumun mengingatkan Nana.

”Lha bagaimana tha Ummi ni, kan pertanyaan Nana


gak salah.” jawab Nana mencoba membela diri.

”Emang gak salah Dik, tapi ya lihat situasi dan


kondisinya tha..huk!” Nisa’ menasihati adiknya walau
batuknya belum berhenti. ”Kalau saja kamu tanyanya
waktu santai begitu pasti kujawab kok! Malu kan sama
Pak Udin, kang Basir dan kang Jamal.” Lanjut Nisa’.
Ketiga orang yang dimaksud pun tertawa kecil.

”Sudah-sudah, jangan ribut..Sebentar lagi azan.”


kalimat sederhana dari pak Luqman itu membuat
semuanya terdiam. Beberapa detik kemudian azan
‘Ashar pun berkumandang. Di dalam hati, mereka
menjawab panggilan shalat itu.

Selesai azan berkumandang, terdengar sayup-sayup


pujian. Mereka semua beranjak untuk mengambil air
wudhu. Kemudian Shalat ‘Ashar pun didirikan di
mushola yang terletak di halaman rumah. Pak Haji
Luqman sendiri yang mengimami.

Seusai Shalat dan berdoa, mereka semua kembali


bercengkerama di dipan yang sejenak mereka
tinggalkan. Karena hari sudah mulai sore, Kang Udin

20 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

sebagai supir truk meminta izin untuk pulang


mewakili kedua rekannya.

”Hati-hati Pak Udin, besok tolong si Harno disuruh


kemari ya pak. Mau saya ajak lihat toko di Ponorogo
sekalian membawa sebagian buku-buku ini kesana.”
kata Pak Luqman.

”Insya Allah Pak Haji. Saya pamit dulu.


Assalamu’alaikum!”

”Wa’alaikumsalam.” jawab Pak Luqman sekeluarga


serempak.

”Nah, sekarang sudah bisa njawab kan Kak?.” Nana


kembali hendak menjahili Nisa’.

”Apaan sih Dik Nana nih!? Ndak tau ah!” setelah


berucap seperti itu, Nisa’ berdiri kemudian masuk ke
dalam rumah. Abi, Ummi, dan adiknya hanya
tersenyum melihat kelakuan Nisa’.
***

Malam itu, bulan tertutup awan. Angin yang cukup


kencang membuat penduduk kampung enggan keluar
rumah. Praktis setelah jamaah Isya’ selesai, semuanya
kembali ke rumah masing-masing. Yang masih terlihat
berkeliaran hanya Pak Kabul, penjaja pentol yang
daerah operasinya adalah Demangan, Josenan,
Kuncen, Madigondo dan Sambirejo. Dengan gerobak
hijau dan sepeda jengki tuanya pak Kabul terus

21 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

berputar mencari pelanggan. Suara jangkrik yang


menemaninya terdengar samar, suara deru mesin
motor yang memadati desa Madigondo menyamarkan
orkes alam itu.

Adalah Faiz yang menggoreskan baris-baris rapi


sebuah resensi. Redupnya cahaya lampu, tidak
membuat dirinya berhenti membuat pola-pola huruf
diatas kertas bergaris tipis. Ditemani secangkir teh
hangat, pemuda kurus itu tetap betah duduk berjam-
jam demi selembar resensi. Otaknya tidak berhenti
memikirkan ringkasan-ringkasan yang hendak ia tulis.
Sejuknya hawa malam itu membuatnya tak bosan
untuk menghirup udara dalam-dalam. Jika merasa
lelah, dirinya tinggal menggerak-gerakkan tubuh agar
lebih segar.

“Lagi ngerjakan apa tha Iz?” suara Eyang


mengagetkannya. Ia melihat Eyangnya membawa
sepiring rangginan untuknya. Langsung saja ia sambar
satu kemudian ia makan.

“Resensi Yang..sekalian ngisi waktu luang!” jawab Faiz


yang mulutnya penuh dengan kunyahan rangginan.

”Buku bacaan lagi? Ngresensi kok ndak buku


pelajaran?” Eyangnya berujar.

”Lho, Eyang ini bagaimana tha, kalau buku pelajaran


jadinya bukan resensi tapi rangkuman. Faiz kan sudah

22 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

ndak sekolah Eyang! Jadi buku fasilitator seperti itu


akan Faiz buka lagi hanya untuk mengingat kembali,
ya sesekali begitu. Mendalaminya sudah waktu kuliah
dulu. Lagian buku-buku umum non pelajaran seperti
ini malah lebih banyak berguna lho Yang!”

”Ya wis, terserahlah gimana..yang penting, kamu tu


ndang cari kerjaan! Kerjaan kok mbaca terus”

”Iya Yang! Eyang pokoknya harus percaya sama Faiz!”

”Aku akan percaya seratus persen kalau kamu sudah


membuktikannya Iz! Buatlah eyangmu ini bahagia di
usia senjanya”

”Insya Allah Yang, Faiz akan berusaha sekuat tenaga.


Doakan Faiz Yang!”

“Iya, akan kudoakan engkau selalu cucuku. Kudoakan


agar kamu segera mendapat kerja, ndak nganggur lagi,
bisa mengamalkan ilmu yang kamu punya, bisa hidup
dengan bahagia, dan mendapat istri yang shalihah.”
setelah berkata seperti itu, Bu Rinah hanya tersenyum
kecil.

“Amiin.” jawab Faiz singkat. Mendengar penuturan


Sang Nenek, hati Faiz terasa pilu. Dia hampir terbawa
oleh keharuan hatinya. Namun saat itu ia masih
mampu untuk menahan airmata yang hendak keluar
dari kedua pelupuk matanya.

23 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Sebenarnya ada banyak tawaran pekerjaan yang


datang kepadanya. Jabatan yang diberikan juga tidak
tanggung-tanggung. Manager. Mana ada yang bisa
menolak? Sudah puluhan perusahaan dari Surabaya,
Bandung, dan Yogya meminta tenaganya. Namun
semuanya ditolak mentah-mentah. Faiz tidak ingin
meninggalkan neneknya sendirian, seharipun di
Madiun. Jika ia ditanya oleh Eyang, Faiz tak pernah
jujur. Dia selalu menjawab tidak ada rekrutmen yang
ditujukan kepadanya. Andai saja ia bisa mengatakan
sejujurnya! Ia tak tega membuat eyangnya merasa
bersalah.

“Fiuh.” Faiz menghela nafas.

Setelah menelan kunyahan rangginan terakhir yang


berada di dalam mulutnya, Faiz kembali
menggerakkan pena hitam yang sedari tadi ia bawa.
Hendak ia goreskan tinta pena itu di sebuah kertas.
Namun pekerjaannya itu terhenti ketika dia merasa
eyangnya hendak berbicara.

”Begini lho..Eyang tu ndak keberatan kamu nulis-nulis


kayak gitu. Jangan di sangka aku tu menghalangi niat
kamu untuk berkreatifitas. Tidak, sama sekali! Tapi ya
tolong..tolong diimbangi dengan usaha, agar kamu
ndak kesuwen nganggur. Dulu itu waktu kamu masuk
SMA favorit, aku tu seneng banget. Aku dulu berharap
kamu bisa jadi insinyur, itu dulu! Sekarang kamu mau

24 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

jadi apapun ndak apa-apa, yang penting bisa membuat


aku bahagia, itu saja sudah cukup.

“Ya Alhamdulillah, walaupun modal ndeso, tapi kamu


tu pikirannya kutho. Alhamdulillah juga, kamu selalu
dapat beasiswa, jadi aku ya ndak kerepotan nanggung
biayanya. Mungkin Cuma kebutuhan bukumu yang
ndak ada habisnya itu yang rada abot. Tapi Insya Allah
Eyangmu ini ikhlas Lillahi ta’ala. Oh iya, kebun jeruk
mbahkungmu yang dulu aku buat jaminan untuk
biaya kuliah kamu, sekarang surat-suratnya masih
dipegang pegadaian. Jadi ya tolong segera ditebus ya
le! Kuburan mbahkungmu itu ada di sana, jadi kalau
aku sudah mati, ya pengennya di kubur di sana, di
samping kuburannya mas Wiryo mbahkungmu.”

Kata-kata Eyang menyayat hatinya, begitukah


perjuangan seorang nenek demi kesuksesan cucunya?
Faiz tidak menjawab apa-apa. Airmatanya meleleh, dia
merasa menjadi cucu paling tidak berguna di dunia.
Begitu besar harapan Eyang kepadanya. Mulai saat itu
ia berjanji, akan berusaha untuk mendapatkan
penghasilan tetap. Apa yang kurang dari dirinya? Dia
seorang muslim. Seberat apapun masalahnya, dia
punya akal sehat, akhlak yang karim. Semiskin apapun
dia, dia masih memiliki Allah ‘Azza wa jalla.

Diingatnya sabda Rasulullah saw. “Sungguh


menakjubkan perilaku orang mukmin. Semua keadaan

25 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

adalah baik baginya. Jika memperoleh kesenangan ia


bersyukur, dan yang demikian itu adalah baik
baginya; dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar,
dan yang demikian itu adalah baik baginya. Perilaku
seperti itu hanya ada pada diri seorang mukmin”.

۩
II

^Munculnya Sebuah Asa^

Kicau burung memanjakan telinga, dingin air


menyejukkan syaraf. Sempurna wudhunya
merupakan pelipur, pelipur bagi jiwa-jiwa yang
tengah gelisah. Khusyuk, sungguh khusyuk
dibuatnya. Dirinya yang tengah ’bercengkerama’
dengan Tuhannya, dalam dhuha. Dhuha itu telah
mematrikan cintanya, seperti dhuha-dhuha yang
sebelumnya, Cintanya kepada Allah tak mengenal
batas ruang dan waktu. Subhana Rabbial a’la
wabihamdih, sujudnya yang tumakninah, terus terjaga
hingga beberapa saat lamanya. Selepas salam beratus
doa ia panjatkan, beribu dzikir ia ucapkan. Dirinya
benar-benar telah larut dalam kekhusyukan jiwa.

”Alhamdulillah.” ucapnya lirih seketika usai


menyempurnakan ibadah dhuhanya dengan doa.
Diapun keluar dari kamar berukuran kecil yang
dikhususkan untuk shalat dan mengaji.

26 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Bu Rinah yang melihatnya keluar dari kamar langsung


menghampiri dan mengabarkan sesuatu. ”Iz..sudah
ditunggu Dirga di depan itu lho!” begitu katanya.

”Oh iya tha Yang, padahal ini baru jam setengah


delapan!” respon Faiz heran.

”Iya, cepetan. Entah jam setengah delapan atau jam


berapa, kalau sudah diampiri ya ndang bergegas.
Kasihan orangnya nunggu.”

”Iya Yang.” jawab Faiz sambil melepaskan baju koko


yang dikenakannya.

Setelah itu Bu Rinah langsung berjalan menuju dapur,


untuk melanjutkan olahan jajanan warungnya.
Sedangkan Faiz sendiri setelah melepaskan baju
kokonya, langsung berjalan menuju ke arah pintu
depan hendak menemui Dirga, tetangganya. Belum
sampai di pintu, ia sudah dapat melihat sosok putih
tegap itu dari kaca bening yang terpasang di bagian
depan rumahnya.

”Mas..sudah lama tha?” sapa Faiz kepada sosok Dirga


yang sedang duduk di dipan.

Dirga sedikit terkejut mendengar sapaan dari Faiz.


”Oh..baru saja kok Iz!” jawabnya. Kemudian keduanya
bersalaman. Tampaklah keakraban mereka berdua.

Diantara penduduk kampung yang seumuran,


mungkin Dirga adalah salah satu dari sedikit pemuda

27 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

yang sukses. Padahal usianya baru memasuki angka


28 tahun, tiga tahun di atas Faiz. Namun
kesuksesannya sudah diakui oleh orang-orang di
kampungnya. Dirinya yang masih muda itu telah
membuka cabang usaha Lesehan di tiga tempat. Empat
termasuk pusat yang ada di jalan Diponegoro, tempat
biasa Faiz membantunya.

”Kita berangkat sekarang mas?” tanya Faiz kepada


Dirga yang sedang menata duduknya.

”Iya..untuk hari-hari ini, kita harus buka lebih pagi.


Soalnya bulan ini pemkot akan banyak mengadakan
kegiatan. Nah mungkin puncaknya ya minggu ini!”
jawab Dirga sembari menjelaskan alasannya datang
lebih pagi.

”Oh iya..ya mas! Sebentar lagi kan Madiun ulang


tahun.”

”Iya..makanya kita cepat-cepat buka, biar pelanggan


tambah banyak. Kebetulan sekolah-sekolah juga pada
libur, semoga saja banyak siswa-siswa yang
nongkrong. Hehehe!”

”Hahaha..tul! Lho..lha mobilnya mana mas? Kok cuma


bawa motor mio!”

”Kalau mobilku, tadi sudah dibawa Jono ke


Diponegoro. Temen-temen sudah kesana semua lho,
tinggal kita aja yang di sini.”

28 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

”Oalah..maaf..maaf kalau begitu. Aku ganti baju dulu


ya mas.”

”Iya..gak apa-apa.”

Kemudian Faiz masuk ke dalam rumahnya. Tiba-tiba


saja Dirga meneriakinya.

”Jangan kesusu lho Iz..jangan lupa, pake bajunya


tangan kanan dulu. Resleting jangan lupa dislerekin,
hehehe!”

”Iya mas!! Tenang aja.” balas Faiz dengan berteriak


juga.

Setelah semuanya siap, mereka bersama-sama pamit


kepada Bu Rinah. Mereka berdua berboncengan
menuju Lesehan Dirga di jalan Diponegoro. Dengan
usia yang masih muda, pekerjaan seperti itu adalah
suatu pengalaman yang akan berguna untuk masa
depan mereka kelak.
***

Di tengah padang pasir terdapat sebidang oase.


Dimana oase itu merupakan suatu titik cerah ditengah
kuasan gelap yang pekat. Jika padang pasir itu adalah
kemiskinan, maka oase itu adalah sodaqoh jariyah.
Jika kepekatan itu adalah kejahiliyahan maka setitik
cerah itu adalah ilmu. Jika ilmu juga termasuk
sodaqoh, maka ilmu dapat juga menghapuskan
kemiskinan dan juga mencairkan kebodohan.

29 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Dua gadis berdiri di tengah ramainya gurauan anak-


anak. Anak-anak yang secara fisik dan materi miskin,
namun kedua gadis itu berusaha agar kemiskinan
tiada melanda hati dan jiwa anak-anak itu. Cukuplah
fisik dan materi yang miskin, namun jangan sampai
mereka miskin hati dan jiwa. Kedua gadis
berkerudung itu terus berusaha untuk memberikan
sodaqoh-sodaqoh yang mampu mereka berikan.
Bukan merupakan uang, makanan, atau harta benda.
Lebih dari itu, mereka menyedekahkan ilmu mereka.

Dengan kerudung yang sama-sama berbatik, mereka


begitu antusias mengajar pada hari itu. Mereka
mengajarkan anak-anak itu ilmu agama dasar.
Walaupun itu bukan bidang keahlian mereka, namun
mereka tidak ragu lagi untuk mengajarkan ilmu yang
paling utama dipelajari itu.

Ucapan-ucapan yang keluar dari mulut mereka


sungguh berisi, namun juga mudah dicerna oleh anak-
anak seusia yang mereka ajar. Dengan kalimat yang
bukan lagi tampak berbobot, tapi memang benar-benar
berbobot, mereka terus mengisi bejana ilmu para
santri. Diharapkan pengajaran yang diberikan,
membentuk pribadi muslim kaffah yang siap menjadi
penerus perjuangan Islam di Indonesia ini.

Nana lah yang memulai pada hari itu, dengan bacaaan


Bismillah dia menerangkan kepada para santri kecil itu

30 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

dengan pentingnya ucapan Bismillah sebelum


mengerjakan suatu amal. Dengan penjelasan yang
ringan dan cair, para santri sangat antusias dengan
pengejaran yang ia berikan. Bahkan para santi putra
senang mencandainya. Para ikhwan kecil itu mungkin
juga tertarik kepadanya, namun kepolosan mereka
mensucikan cinta yang mereka rasakan.

”Bagaimana anak-anak? Sudah mengerti kan, kalau


segala sesuatu amal itu, harus diawali dengan ucapan
Bismillah.” Nana hendak memastikan bahwa para
santri itu mengerti apa yang telah ia ajarkan.

”Mengerti kak!!” jawab anak-anak itu serempak.

”Nah, sekarang kakak mau tanya, kalau misalnya kita


ada di kamar mandi, boleh gak mengucapkan
basmalah?” tanyanya.

”Ndak boleh.” jawaban dengan nada yang begitu


polos keluar dari mulut santri kecil itu.

”Bagus..seratus untuk semuanya.” Nana pun bertepuk


tangan. Anak-anak yang masih polos itu juga ikut
bertepuk tangan. Semuanya bergembira, Nana dan
Nisa’ merasakan kesejukan di hati mereka masing-
masing.

”Kak, lha kalau wudhu di kamar mandi gimana? Tetap


ndak boleh bilang bismillah? Soalnya rumahku gak

31 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

ada padasannya! Jadi kalau wudhu ya pakai ciduk di


jeding ” salah seorang santriwati tiba-tiba bertanya.

”Pertanyaan yang bagus Maesarah, yang lain ada yang


bisa menjawab?” Nana menawarkan kepada santri
yang lain.

Suasana hening, tidak ada satupun yang merespon.


Melihat hal itu, Nisa’ yang sedari tadi diam di pojok
ruangan mulai berbicara. ”Coba dipikirkan pelan-
pelan! Kakak yakin kalian bisa.”

Tiba-tiba salah seorang anak yang memakai jubah


krem mengangkat tangan. ”Ya Ali, kamu bisa
menerangkan ke depan?” Nisa’ mendorong anak
bernama Ali untuk maju.

Anak dari orang tua Salafy itu pun maju ke depan.


Walau tampak malu, namun ia tetap berjalan dengan
tenang ke depan kelas. Setibanya di dekat Nana ia pun
berbalik arah menghadap teman-temannya, tampak ia
mulai gemetaran.

”Ayo Ali, kamu pasti bisa. Tenangkan diri kamu, lalu


bicaralah.” Nana yang tepat berada di samping Ali,
membisikinya dengan kalimat motivasi.

Suasana begitu hening, semua santri terpaku pada


sosok Ali yang berada di depan. Suasana hening itu
pecah ketika Ali mulai membuka mulutnya.

32 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

”Assalamu’alaikum teman-teman dan juga kakak guru.”


dia mengawali dengan salam.

”Wa’alaikumsalam waramatullahi wabarokatuh.” ucap


seisi ruangan bersamaan.

Nana dan Nisa’ mengamati anak yang berada di depan


itu. Tampak rasa kagum bercampur bangga berkutat
di dada mereka.

”Kata Abi, boleh wudhu di kamar kecil.


Karena..karena, eeee..begini lho, pokoknya bismillah
kan bagian dari wudhu, jadi boleh.” Ali menerangkan
dengan begitu polosnya. Seisi kelas pun tertawa, Nana
dan Nisa’ tersenyum. Mereka tahu apa yang dimaksud
Ali, Nisa’ pun kemudian mengambil bagian untuk
meluruskan pendapat Ali.

”Begini anak-anak, yang dikatakan teman kamu Ali ini


benar.” mendengar satu kalimat dari Nisa’ seperti itu,
wajah Ali menjadi merah pertanda malu.

”Karena apa, kalimat Basmalah merupakan rukun


wudhu, jadi jika kita berwudhu di kamar kecil tetap
diperbolehkan. Karena suatu larangan, tidak bisa serta
merta menghapuskan rukun yang telah ditetapkan.
Begitu..mengerti anak-anak?” Nisa melanjutkan
penjelasannya dengan cukup panjang.

”Insya Allah.” jawab para santri serempak.

33 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

”Bagus..waktu sudah mulai siang, segera bersiap


untuk pulang anak-anak. Jangan lupa sesampai di
rumah shalat dhuha dahulu, terus sampaikan salam
dari kak Nisa’ dan kak Nana kepada orang tua
kalian.” Nisa’ menyampaikan kalimat perpisahan itu
dengan muka cerah. Para santri segera mengemasi
bawaan mereka, ada yang menggunakan kantong
plastik untuk membawa buku, atau bahkan tidak
membawa suatu apapun. Mereka memang berada
pada kalangan bawah untuk tingkat kesejahteraan
penduduk. Namun begitu, mereka tetap berhak
mendapatkan pendidikan. Demi masa depan yang
mereka harapkan.

”Ali tolong pimpin doa teman-teman kamu ya.” suruh


Nana kepada Ali. Ali hanya mengangguk.

”Bersiap..berdoa mulai!” Ali mengucapkan kalimat itu


dengan suara tegas. Tampak semuanya menundukkan
kepala, membaca surat Al-Ashr dan doa penutup
majelis. ”Amiin ya Rabbal ’alamin”.

Setelah itu mereka semua bubar, menuju ke rumah


mereka masing-masing. Dengan berjalan kaki, mereka
saling bergandengan tangan tanda keeratan ukhuwah
Islamiyah di masa Diniyah. Wajah-wajah polos itu
kelak akan menjadi tonggak berjayanya Islam di suatu
masa, Insya Allah.

34 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Ucapan hamdalah keluar dari mulut Nisa’ dan Nana.


Mereka benar-benar bersyukur masih diberi
kesempatan untuk mengajar para anak-anak seperti
itu. Mereka berdua kemudian membereskan ruangan
tempat belajar. Nana yang membereskan bangku,
sedangkan Nisa’ yang menyapu.

Setelah selesai dengan pekerjaan masing-masing,


merekai duduk dengan jenak di kursi yang berada di
dekat pintu.

”Dik, habis ini mau kemana?” tanya Nisa’ kepada


adiknya.

”Mau beli makan kak, ana ada janji sama Ukh Ulfa.
Ukh Ulfa sekalian mau curhat katanya.” jawab Nana.

”Mau makan di mana?”

”Mungkin di Lesehan ayam bakar jalan Diponegoro,


antum mau titip sesuatu?”

”Iya, nanti tolong kembalikan buku yang ana pinjam


dari Anggi. Ngembalikannya di tempat ayahnya saja,
kan lebih dekat!”

”Oh..ya sudah, mana bukunya kak?”

”Iya sebentar ana ambilkan.” kemudian Nisa’ keluar


dari ruangan tempat pengajaran. Kemudian dia masuk
ke dalam rumah untuk mengambil buku.

35 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Beberapa menit kemudian dia keluar dengan


membawa beberapa buah buku. Saat dia keluar, Nana
sudah siap dengan motor mionya.

”Sudah pamit Ummi?” tanya Nisa’ kepada Nana.

”Ummi ada di tempat Mbak Ijah kak. Nanti ana kan


melewati warungnya, jadi bisa sekalian pamit.”

”Ya sudah, hati-hati di jalan. Salam buat dek Ulfa.”

”InsyaAllah. Assalamu’alaikum kak.”

”Wa’alaikumsalam”
***

Pagi itu Faiz tampak begitu sibuk. Pesanan tak


kunjung juga berhenti, setiap sepuluh menit minimal
satu pelanggan yang datang atau jika tidak, ada saja
yang memesan lewat telepon. Itulah pekerjaan, susah
mudah harus tetap dijalani, demi sesuap nasi. Dengan
bertugas sebagai kasir, dia bertanggung jawab
terhadap pesanan para pelanggannya.

”Jon..ayam bakar spesial dua meja empat.” teriaknya


kepada Jono, ketika seorang ibu yang berketurunan
Tionghoa datang memesan. Jono adalah salah satu
pemuda dikampung Faiz yang pintar memasak.

”Ok!” jawab Jono singkat.

Saat Faiz tengah sibuk menghitung bon ibu itu,


matanya menangkap sesosok feminin gadis sedang

36 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

memarkir motor. Lekat rasanya, ingin mengetahui


siapa dia. Faiz merasa pernah mengenalnya. Gadis itu
pun segera masuk ke dalam setelah memarkir
motornya dengan sempurna.

Kala dirinya sedang mengamati gadis itu, Dirga


datang menghampirinya. ”Iz..habis ini tolong kamu
bantu si Burhan buat ngangkat beberapa krat Sosro,
biar aku yang ganti jaga kasir.”

”Iya mas. Kuselesaikan satu ini dulu.” kata Faiz


mengiyakan.

Setelah selesai melayani pelanggannya, Faiz segera


berdiri meninggalkan meja kasir. Saat hendak masuk
ke dalam dapur, gadis yang ia maksud semakin
mendekat. Istighfar langsung ia ucapkan dalam hati, ia
tak ingin pikirannya dipenuhi syahwat. Maka ia pun
langsung masuk ke dalam dapur untuk membantu
teman sekampungnya, Burhan.

Memang, Dirga banyak mengajak pemuda kampung


yang lagi menganggur untuk membantu dirinya yang
sedang berwiraswasta. Pikirnya adalah, daripada
pemuda-pemuda itu kerjaannya hanya nongkrong,
atau jadi preman yang tak jelas lebih baik
dimanfaatkan sumber dayanya. Salah satu contoh si
Wira, dulunya preman kampung, sekarang jadi
pelayan yang begitu santun terhadap pelanggannya.
Sosok Dirga-lah yang merubah mereka, diam-diam

37 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Faiz kagum pada pribadi Dirga. Dirinya merasa tidak


ada apa-apanya dibanding kakak kelasnya di ITS itu.

”Selamat pagi, ada yang bisa dibantu.” sapaan selamat


datang diucapkan oleh Dirga kepada gadis
berkerudung batik.

”Pagi, menu spesial hari ini apa ya mas?” tanya gadis


itu.

”Untuk pagi ini, bebek goreng srundeng yang spesial.


Mau ambil menu spesial?” Dirga menjawab dengan
ramah.

”Iya, tolong bebek goreng srundengnya dua dimakan


disini mas. Terus saya pesan dua ayam bakar biasa
dibungkus.” kata gadis itu dengan lembut.

”Jadi, dua menu spesial ditambah ayam bakar


dibungkus ya? Minumnya apa?”

”Iya, nanti saja mas untuk minumnya. Kira-kira


jadinya berapa lama ya?”

”Mungkin sepuluh menit”

”Kalau begitu saya tinggal dulu, nanti jika


makanannya sudah jadi tapi saya belum datang,
makanannya bisa diberikan kepada orang lain yang
pesan menu yang sama. Jika tidak ada dikeluarkan
saat saya kembali saja.” gadis itu meminta beberapa
permintaan kepada Dirga.

38 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

”Iya, tapi tolong dibayar dahulu makanan yang sudah


di pesan. Jumlahnya tiga puluh enam ribu rupiah.”

”Iya, ini.” gadis itu langsung membayar dengan uang


pas. Kemudian setelah membayar bonnya gadis yang
memiliki lesung pipit itu langsung mengambil motor
dan pergi ke arah Barat.

Bersamaan dengan perginya motor si gadis, datanglah


satu buah mobil carry merah yang kemudian parkir
tepat di depan warung Lesehan. Dari dalam mobil itu
keluarlah seorang laki-laki yang memakai kemeja
lengan pendek bergaris vertikal.

Kemudian laki-laki itu masuk ke dalam warung.


Begitu melihat pribadi yang menjaga kasir, dirinya
tersenyum. Tampaklah bahwa laki-laki itu mengenal
Dirga. Setelah saling bertemu mata, mereka saling
berjabat tangan.

”Assalamu’alaikum.” sapa laki-laki itu.

”Wa’alaikumsalam.” balas Dirga dengan wajah yang


cerah.

”Apa kabar Mas?” tanya laki-laki itu.

”Alhamdulillah, seperti yang kau lihat saat ini Sif!”


jawab Dirga. “Ini ngomong-ngomong ada keperluan
apa?” lanjut Dirga bertanya.

39 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

“Yang pertama, untuk silaturahim. Yang kedua, mau


mencari seseoarang Mas.”

“Pasti Faiz kan?

“Memangnya siapa lagi Mas? Hahaha.” Canda laki-


laki itu.

”Tunggu sebentar, orangnya ada di dalam.” Dirga pun


segera masuk ke dalam dapur untuk memanggil Faiz.

Ketika keluar dari dapur, Faiz langsung menuju laki-


laki yang baru saja datang. ”Selamat datang sahabatku
Asif, engkau tampak kurus sekarang.” kata Faiz sambil
menjabat tangan Asif, begitu nama laki-laki itu.
Seorang sahabat karib Faiz saat kuliah dan saat di
pesantren.

”Bisa saja kau Iz. Malah aku kesini ini untuk


memperhatikan dirimu yang juga semakin kurus itu.”
kata Asif membalas jabatan tangan Faiz. Mereka pun
tertawa bersama-sama.

”Iz, Asif diajak duduk saja. Kamu temani dia dulu.”


Dirga meminta kepada Faiz.

”Lho, lha kerjaannya mas?” Faiz merasa agak


keberatan.

”Sudah, gak apa-apa. Kan ada tamu tha, masak ya


ditelantarin begitu. Kan Asif kemari tu buat nyari
kamu.” jelas Dirga.

40 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

”Oh..i..iya sudah mas.” Faiz tampak merasa tidak


enak.

“Kamu baik-baik saja kan Iz?” tanya Asif sembari


mengambil posisi duduk.

“Alhamdulillah. Kamu sendiri?”

“Alhamdulillah baik juga. Eyang bagaimana?”

“Alhamdulillah sehat juga Sif. Alhamdulillah lagi, semua


berkata Alhamdulillah!”

“Alhamdulillah, hahaha.”

“Semua harus disyukuri tha?”

“Betul kamu.”

Mereka bercanda dengan akrabnya.

“Oh ya, kok tumben kemari! Ada apa gerangan?”


Tanya Faiz kepada Asif.

“Mau ngasihkan ini.” Asif menyerahkan sesuatu yang


sedari tadi dipegangnya kepada Faiz.

”Apa ini?” tanya Faiz heran.

”Dibuka saja.” Asif menyuruh Faiz. Kemudian Faiz


pun membuka undangan yang dibalut warna-warni
emas itu.

”Wah, mau menikah tha? Kenapa baru bilang


sekarang. Duh..duh, sudah sukses hendak menikah
lagi!” Faiz pun memberikan selamat kepada Asif.

41 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Sebenarnya di dalam hati Faiz ada sedikit rasa iri.


Namun segera ia buang jauh-jauh segala macam rasa
iri itu, ia tidak mau mendzalimi dirinya sendiri,
ataupun mendzalimi Asif. Dia harus belajar bersyukur
terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya,

”Iya, doakan saja Iz.”

”Insya Allah. Wah, calonnya anak Madiun juga, Kaibon


situ dekat.”

”Iya, Alhamdulillah. Lha kamu sendiri bagaimana Iz?


Sudah ada calon?”

Pertanyaan itu seakan menohok urat lehernya. Ia


hanya bisa diam. Lidahnya tidak mampu berkata apa-
apa. Namun dengan keteguhan hatinya, kerisauan
hatinya hilang.

”Belum Sif, aku ini calon pekerjaan saja belum dapat,


apalagi calon istri.” Faiz menjawab dengan senyum
yang dipaksakan. Asif hanya tersenyum, bukan
senyum bahagia namun prihatin. Asif tahu cerita Faiz
tentang ia menolak lamaran yang datang dari kota-
kota besar. Ia juga tahu, sebenarnya Faiz adalah orang
yang sulit untuk menolak rezeki. Namun demi
eyangnya, ia rela melepas itu semua.

”Aku mengerti masalahmu wahai sahabatku. Berbesar


hatilah, itu adalah jalan terbaik yang diberikan Allah
kepadamu. Pengabdianmu kepada orang tua tidak

42 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

akan bisa terkalahkan oleh pengabdian para milyuner


kepada perusahaannya.” Asif mencoba membesarkan
hati Faiz.

”Iya, itu adalah jalanku. Terima kasih ya Sif! Engkau


memang sahabatku.” Faiz sudah tampak ceria
kembali.

”Iya sama-sama, itu sudah kewajibanku untuk selalu


membantu saudara sesama muslim.” balas Asif yang
memang pemurah sifatnya.

”Eh, ada lowongan pekerjaan begitu gak? Kan kamu


bekerja di media massa, mungkin banyak lowongan
yang sekiranya patut bagi aku?” tiba-tiba Faiz
bertanya kepada Asif, jarang seorang sarjana bertanya
kepada temannya yang sarjana pula tentang lowongan
pekerjaan. Karena biasanya mereka malu dianggap
tidak sukses atau apa.

Asif berpikir sebentar. Hingga satu menit lamanya dia


berpikir. Tiba-tiba tangannya menepuk bahu meja,
pertanda ide itu telah datang. ”Begini Iz..”

”Iya apa?” Faiz yang terlalu penasaran secara spontan


berkata seperti itu.

”Kemarin pas aku ngikuti konferensi media massa se-


Jatim, aku berkenalan sama orang Mutiara Amaly. Lha
kemarin itu dia menawari aku jadi agen di Madiun,
soalnya agen yang lama sudah ndak ngorder lagi.

43 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Karena aku sibuk, jadi langsung aku tolak. Tapi


kenalanku itu tetap memberikan kartu namanya,
’mungkin bisa berguna’ begitu katanya. Apa kamu
sanggup jadi agen Mutiara Amaly? Kalau iya aku
kasihkan kartu namanya ke kamu!” jelas Asif panjang
lebar.

”Wah Alhamdulillah, kebetulan aku suka tabloid itu.


Insya Allah aku sanggup. Kartu namanya kamu bawa
sekarang? Kalau bisa besok aku sudah kerja gitu lho!”
Faiz pun dengan semangat menyanggupi. Dia sudah
dapat membayangkan asyiknya bekerja secara
mandiri. Tak lupa dirinya mengucap syukur kepada
Allah ‘Azza wa jalla, yang telah memberikan semua
karunia itu kepadanya.

”Iya sebentar”, kemudian Asif merogoh saku


belakangnya untuk mengambil dompet. Dicarinya
kartu itu di dalam dompetnya. Setelah beberapa lama,
”Nah ini Iz.”

Sejenak Faiz mengamati kartu nama itu. Kemudian dia


mengucapkan terimakasih kepada Asif, ”Syukran ya
Sif, kamu banyak membantu.”

”Afwan.”

Setelah usai obrolan tentang karir dan pekerjaan,


mereka memutuskan untuk membicarakan tentang
reuni. Disaat sedang asyik mengobrol, bebek goreng

44 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

srundeng yang dipesan Asif datang. Asif pun


langsung melahap masakan asli Jawa itu. Selagi Asif
melahap makanannya, Faiz membuatkan untuknya
minuman. Sekembalinya Faiz dari dapur, mereka
melanjutkan obrolan mereka.

Ketika mereka berdua sedang mengobrol, datang


sesosok gadis berkerudung batik yang tadi telah
memesan makanan. Sekarang ia ditemani oleh gadis
dengan kerudung merah maroon yang menunggu di
motor.

Faiz yang asyik dengan obrolannya tidak


memperhatikan kedatangan gadis itu. Gadis itu juga
tidak memperhatikannya. Seketika pesanan telah
berada di tangannya, dan dia akhirnya meminta menu
spesial yang tadi ingin dimakan di tempat untuk
dibungkus. Burhan yang sekarang menjadi kasir minta
tolong kepada Jono untuk membungkuskan pesanan
gadis itu.

Setelah semua pesanannya sudah berada di tangannya,


ia berbalik hendak berjalan keluar. Namun ketika ia
mendapati dua pemuda yang sedang berbincang
santai, dirinya beristighfar. Dirinya begitu mengenal
salah satu pemuda itu. Kemudian ia terus keluar,
dengan mencuri pandang kepada pemuda yang
dikenalnya.

45 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Namun pemuda yang ia perhatikan tidak juga merasa.


Pemuda itu tetap asyik membicarakan reuni dengan
sahabatnya.
***

Ketika matahari telah berada jauh dari pelabuhannya,


terlihat sebuah motor mio merah memasuki sebuah
halaman rumah. Pengendaranya memegangi kantong
yang berisi beberapa kotak makanan yang diletakkan
di dasbor. Motor itu pun berhenti tepat di bawah
pohon mangga yang lebat daunnya lagi masak
buahnya. Semilir angin terasa menyejukkan jiwa dan
raganya.

Sang pengemudi pun turun, dilepasnya helm yang ia


kenakan. Terlihatlah manis bibir seorang gadis yang
tengah menyungging senyum. Entah mengapa,
padahal tidak ada seorangpun di halaman rumah itu.
Dia terus saja tersenyum hingga pipinya menjadi
merah. Dengan kerudung rapat, wajahnya tampak
semakin cantik. Dibukanya jaket yang ia pakai,
dilepaskan sarung yang ia kenakan di tangannya.
Dirinya kini menjinjing kantong yang berisi makanan.
Ia pun masuk ke dalam rumah, tetap dengan wajah
yang memerah dan bibir yang menyungging.

”Assalamu’alaikum”, ucapnya ketika berada di depan


pintu yang masih tertutup.

46 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

”Wa’alaikumsalam. Sebentar dik Na” seseorang yang


berada di dalam rumah membalas salamnya.

Pintu pun di buka, dengan segera ia memberikan


kantong yang dibawanya kepada seeorang yang
membukakan pintu.

”Kak Nisa’ tolong ya. Ini ana bawakan ayam bakar”,


katanya ceria kepada gadis berkerudung berwajah
teduh yang ada di depannya.

”Iya. Antum bawa apa saja ini? Kok banyak amat?”


tanya Nisa’ dengan wajah yang teduh.

”Ayam bakar sama bebek goreng kak”, jawab Nana


sembari berjalan masuk ke dalam rumah. Nisa’ pun
mengikuti adiknya berjalan ke dalam. Sampai saat itu
Nana masih saja tersenyum.

Mereka berdua berhenti di ruang tengah. Di sana


mereka berpisah. Nana masuk ke kamar meletakkan
tas dan helm, sedangkan Nisa’ ke dapur untuk
meletakkan makanan yang dibawa adiknya.

”Makanannya untuk siapa saja tha dik?” tanya Nisa’


sekembalinya dari dapur.

Nana yang telah duduk di sofa menjawab.”Untuk ana,


kak Nisa, sama Ummi. Antum belum makan kan?”

”Kalau sarapan sudah, makan siangnya yang belum.


Hehehe! Punya ana yang bebek atau ayam?” nafsu

47 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

makan Nisa’ tiba-tiba muncul ketika membayangkan


makanan yang dibawakan adiknya.

”Antum sama Ummi ayam bakar saja ya kak. Ana lagi


pingin bebek goreng soalnya. Ndak tau kenapa,
pengen banget, hihihi.” jawab Nana dengan sedikit
candaan.

”Iya..iya, tapi ana makannya nanti saja deh. Nunggu


Ummi pulang.”

”Iya, ana juga nunggu Ummi saja. Kak Lâ Tahzannya


ni sudah selesai?” Nana yang memegang sebuah buku
berwarna kuning bertanya kepada Nisa’.

”Belum, ni tadi baru saja ana baca. Emang kenapa


Dik?” kini Nisa’ duduk di samping Nana. Ditemani
camilan kripik gadung mereka berbincang.

”Ndak kenapa-kenapa kak, ana lagi pengen baca


soalnya” Nana berbicara sembari tersenyum sesekali.

”Antum tu ana perhatikan dari tadi senyuuum terus.


Masa suasana hati ceria begitu bacaannya Lâ Tahzan?”
Melihat tingkah adiknya Nisa’ pun menjadi heran.

”Ya ndak apa tha kak! Emang ada yang nglarang?”

”Ya ndak ada sih, tapi aneh aja. Gak kayak dik Nana
yang biasanya.”

”Perasaan sama saja deh kak. Kakak aja yang aneh.”


Nana pun tersenyum.

48 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

”Iya mungkin, mungkin kakak saja yang terlalu


berlebihan menilai antum.” Nisa mulai meragukan
pendapatnya. Nana hanya manggut-manggut
mendengar pengakuan kakaknya.

”Eh, lha tadi jadinya gimana?” Nisa’ kembali bertanya


namun dengan topik yang berbeda.

”Gimana gimana tha kak? Bukunya? Klo buku sudah


ana kembalikan.” Nana terlihat kebingungan. Senyum
yang tadi begitu mengembang, kini sudah mulai
berkurang.

”Bukan. Curhatnya Dik Ulfa, masalah dengan


suaminya sudah selesai kan?” Nisa’ memperjelas
pertanyaannya.

”Alhamdulillah, tadi ukh Ulfa itu Cuma


memberitahukan kalau masalahnya sudah selesai.
Makanya ana pulangnya cepet.” Nana menjelaskan.

”Alhamdulillah, semoga saja usia mereka yang relatif


masih muda tidak membuat mahligai rumah tangga
yang mereka bina menjadi rusak. Bahkan sebaliknya
bisa lebih memperkokoh ikatan cinta mereka dalam
mengarungi bahtera rumah tangga. Amiin.”

”Amiin. Malah ini ukh Ulfa sama suaminya hendak


liburan ke Surabaya kak.” Ucap Nana sambil
memakan kripik gadung. Kripik gadung yang sedari

49 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

tadi tidak ada yang menyentuh kini di ambil beberapa


buah oleh Nana.

”Wah, asyiknya bulan madu kedua.” secara spontan


kalimat itu terlontar dari mulut Nisa’.

Mendengar kakaknya mengucapkan kalimat itu, Nana


menjadi kesulitan menelan kripiknya, ”Hegh!”. Setelah
kripik gadungnya tertelan, Nana pun berkata, ”Yyaa,
kakak pengen ya..hayo ngaku!”

Setelah sadar apa yang dikatakan pipi Nisa’ pun


menjadi merah. ”Apaan sih? Mulai deh. Ana hanya
mengapresiasi pendapat ana itu saja.” jawab Nisa’
mengelak.

”Halah, bohong. Hihihi.” kata Nana jahil.

”Apaan sih..udah ah! Ganti topik! Dek ngomong-


ngomong kok Lâ Tahzannya ndak kamu stempel
dengan stempel ’Al-Munawwarah’?” Nisa’ begitu
saklek mengalihkan pembicaraan.

”Ah kakak nih, mengalihkan pembicaraannya ndak


profesional. Tapi ndak apa-apa, karena Nana sedang
baik hati hari ini, ngejahilinnya lain kali saja. Hehehe.”
kata-kata Nana membuat Nisa’ semakin malu. Nisa’
hanya bisa gregetan melihat tingkah adiknya.

”Iya..iya, emang ana gak profesional. Tapi pertanyaan


ana tolong dijawab tha!”

50 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

”Hmmph, pertanyaan apa kak? Tolong diulangi.”


tanya Nana kaku.

”Antum ni juga sama saja. Kenapa Lâ Tahzannya ndak


distempel?”

Tiba-tiba wajah Nana berubah merah, tampak dirinya


menjadi salah tingkah. Dirinya tidak juga menjawab,
namun hanya senyum-senyum sendiri. Gurauan yang
dari tadi ia candakan tidak keluar sepatah kata pun.

”Dik..jangan melamun lho!”

”Eh..iya kak! Apa pertanyaan itu harus dijelaskan?”

”Iya dong, harus itu.” Nisa’ tersenyum penuh


kemenangan. Dirinya sendiri tidak menduga kalau
pertanyaan itu malah memojokkan adiknya. Selama ini
dialah yang menjadi bahan candaan adiknya, sekarang
gantian dia yang menyudutkan Nana.

”Ndak mau..kakak juga ndak mau ngejelasin sesuatu


ke ana! Yee..gak jadi menang deh!hihihi.” Nana yang
begitu grapyak bisa menguasai keadaan.

”Sesuatu yang mana?” Nisa’ yang merasa kehilangan


kemenangan bertanya.

”Tentang nikah itu..tu.” Kini keadaan kembali


berbalik. Mendengar kata-kata itu pipi Nisa’ menjadi
merah.

”Curang, masa ditanya ganti nanya.” Nisa’ pun protes.

51 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

”Ya ndak apa-apa tha.”

Mereka pun berdebat. Memang keakraban dari setiap


keluarga berbeda-beda. Ada yang akrab karena
kekompakan, ada yang akrab karena saling hormat,
ada yang akrab karena saling menjaga, tetapi ada juga
yang akrab karena candaan-candaan seperti kedua
anak Haji Luqman. Candaan mereka bukanlah
candaan omong kosong yang sekarang sedang marak
di kalangan remaja. Namun candaan mereka bersifat
mengingatkan dan mengkritik. Mereka saling
membangun satu sama lain.

Di tengah perdebatan Nisa’ dan Nana, tiba-tiba ucapan


salam datang dari Bu Mumun, yang masuk ke dalam
ruang keluarga.

Setelah melihat perdebatan kedua putrinya, Bu


Mumun dengan suara yang lembut bertanya.”Lho,
bidadari-bidadari Ummi ini sedang diskusi apa tha?
Kok kelihatannya serius.”

”Ndak diskusi apa-apa kok Ummi, Nisa’ dan Nana


hanya bercanda saja.” Nisa’ menjelaskan dengan halus.

”Bercanda tapi kok kelihatan serius begitu?” tanya Bu


Mumun lagi.

”Ndak apa-apa kok Ummi, Nana dan kak Nisa’ hanya


bicara hal-hal ringan sekalian merefresh pikiran. Oh
iya, tadi Nana bawakan ayam bakar Mi. Ada tiga. Buat

52 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Ummi, kak Nisa’ sama Nana” kini ganti Nana yang


menjelaskan. ”Tadi makanannya ditaruh mana kak?”
lanjut Nana bertanya kepada Nisa’.

”Di meja keramik.” jawab Nisa’ singkat.

”Oh ya sudah, kita makan bersama setelah Zhuhur.


Ayo ndang siap-siap semua!” Ajakan Bu Mumun mau
tak mau membuat mereka menunda perdebatannya.
Namun kedua saudara itu sama-sama lega, pertanyaan
yang tidak diinginkan untuk dijawab sementara
tertunda. Namun..

”Na, Ummi mau tanya.” begitu melihat buku


berwarna kuning yang ada di meja, tiba-tiba muncul
keinginan Bu Mumun untuk bertanya.

”Apa Mi?”

”Ummi kemarin habis baca Lâ Tahzan. Baru itu Ummi


sadar, kok bukumu itu aneh. Biasanya di bagian depan
itu ada stempel Al-Munawwarahnya, tapi yang ini kok
ndak.” pertanyaan Bu Mumun membuat muka Nana
memerah kembali.

Nisa’ yang melihat adiknya seperti itu merasakan


kemenangan. Dia pun tersenyum lebar dan juga
tertawa sambil ditahan.

Bu Mumun yang heran bertanya, ”Kenapa tha Nis?


Kok begitu saja diketawain. Apa pertanyaan Ummi
salah?”

53 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

”Ndak apa-apa kok Ummi.” jawab Nisa’ sambil


melirik kearah Nana.

Setelah itu azan Zhuhur pun berkumandang.

”Ya sudah, jawabnya lain kali saja Na.”mendengar


kalimat itu Nana menjadi lega. Selega ketika dia
mendengar kumandang azan.

”Nis, kamu juga jangan ngetawain adikmu begitu


kalau dia sedang Ummi tanya.” Nasihatnya kepada
Nisa’. Nisa’ hanya mengangguk tanda paham.

”Semuanya ayo ke mushola!” ajak Bu Mumun kepada


kedua putrinya.

”Nana sedang ndak shalat Mi. Nana langsung ke


kamar saja ya!” kata Nana kepada Umminya.

”Ya sudah, kamu ndang istirahat. Liburan kamu ndak


panjang lagi lho. Manfaatkan waktu sebaik mungkin.”

”Iya Ummi.”

Kemudian Bu Mumun dan Nisa’ bergegas keluar


menuju mushola. Sedangkan Nana berjalan menuju
tangga kemudian naik ke lantai dua. Dia masih
mengingat-ingat pertanyaan Ummi dan kakaknya.
Pertanyaan sederhana yang membuat dua orang
terdekatnya penasaran. Hanya dia dan Allah yang
tahu ada apa gerangan. Disimpannya memori itu
dalam-dalam. Buku merah yang menjadi perbincangan

54 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

itu kini dipegangnya. Ia tidak peduli kakaknya masih


membaca. Dia ingin bersama buku itu untuk
sementara waktu. Setiap pijakan anak tangga yang ia
naiki, semakin membuka tabir masa lalu yang sulit ia
lupakan. Terhadap sesosok pemuda. pemuda yang
membuatnya mengucap istighfar. Setelah sadar ia
terlalu larut, ia langsung mengucap istighfar,
“Astaghfirullah!”

۩
III

^Kenangan Nana^

Sekitar dua tahun yang lalu, di kota Pahlawan,


Surabaya. Nana masih menjadi mahasiswa tingkat
dua.

Kala itu sedang musim liburan. Nana yang rumahnya


tak jauh dari kampus kerjanya hanya mengurus
proyek FPMI. Kebetulan ia dipilih menjadi Ketua Studi
UNESA. Jadi ialah yang paling aktif mengurus proyek
jangka panjang itu. Sebenarnya ia tak mau. Namun,
kerena desakan dari teman-teman anggota forum yang
lain, ia menyerah. Dipangkunya jabatan itu. Saat
terpilih ia masih menjadi mahasiswa tingkat dua.

Latar belakang teman-temannya menjagokan dia tak


lain tak bukan karena kakaknya, Nisa’, merupakan
Wakil Ketua Forum Penulis Mahasiswa Islam atau

55 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

yang disingkat dengan FPMI cabang Surabaya. Bahkan


didaulat sebagai Dewan Kehormatan FPMI Pusat,
yang mana tak sembarang orang bisa mendudukinya.

Setelah terpilih itulah, ia yang semula tidak terlalu


aktif berorganisasi, menjadi harus berubah total
menjadi organisator sejati. Karena perubahan itu, ia
semakin rajin ke toko-toko buku. Bukan berarti
sebelumnya ia tak sering ke toko buku. Bahkan lebih
sering. Hanya saja tujuannya kali ini tidak hanya
untuk membeli buku. Tetapi juga meneliti, menyensus,
dan mencatat segala statistik tentang buku.

Saat itu jadwalnya tidak terlalu padat. Semenjak tadi


pagi, kerjaannya hanya mengoreksi dan mencocokkan
data dari anggotanya. Cukup mudah, tapi butuh
ketelitian. Sekitar jam satu, setelah istirahat shalat
Zhuhur, ia tidak kembali ke ruang kerja untuk
melanjutkan pengkoreksian. Pekerjaan itu ia serahkan
ke sekretarisnya, Hamida.

Ia sendiri mengajak salah seorang teman akhwatnya,


Luthfiya, untuk pergi ke toko buku. “Sekalian
mendata!” begitu pikirnya. Selain untuk keperluan
refreshing dan pendataan, ia juga sedang melakukan
pencarian terhadap sebuah buku yang belakangan ini
sering didiskusikan teman-temannya. Karena
kesibukannya, ia belum sempat mendiskusikan buku
itu. Jangankan mendiskusikan, membaca saja belum

56 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

pernah. Kalau ia memaksa ikut nimbrung, bisa tak


nyambung pembicaraannya. Makanya ia berusaha
mendapatkan buku itu terlebih dahulu.

“Fi, enaknya toko buku mana?” tanyanya kepada


Luthfiya.

“Kalau Toga Mas saja bagaimana?” Luthfiya


menyarankan.

“Ok deh, dekat situ aja.”

“Pakai motorku saja ya! Tadi baru kuisi full


bensinnya.” Tawar Luthfiya.

“Kalau ditawari seperti itu, siapa yang mau nolak!?”


Nana berkomentar.

“Ayo!”

Dengan naik motor Luthfiya, mereka berdua melaju di


jalanan Surabaya menuju toko buku Toga Mas di
kawasan Margorejo.

Sepuluh menit berjalan. Akhirnya mereka sampai di


toko buku diskon itu. Setelah memarkir motor, mereka
langsung masuk ke dalam. Tetapi sebelumnya mereka
harus menitipkan tas dan jaket mereka di dekat pintu
masuk terlebih dahulu.

“Fi, kamu pergi ke kasir nanya-nanya sesuatu ya. Aku


mau nyari Lâ Tahzan. Keburu habis ntar!” Kata Nana
kepada Luthfiya.

57 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Gadis berkerudung rapat itu hanya mengangguk.

Sementara temannya menuju meja kasir, Nana


menelusuri rak-rak buku mencari tempat di mana Lâ
Tahzan karya DR. ‘Aidh al-Qarni berada. Ia pandangi
satu persatu rak buku yang berbau islami. Karena ia
tahu, buku itu tak mungkin melenceng dari kategori
itu.

Beberapa saat mencari, ia menangkap sebuah buku


berwarna kuning cerah di ujung rak. Jaraknya
mungkin sekitar delapan meter dari tempatnya berdiri.
Melihat hal itu, hatinya langsung lega.

Sebenarnya, ia sudah pernah beberapa kali mencari di


toko buku lain. Namun malang, bukan rezekinya jika
disetiap toko buku yang dikunjunginya, buku itu
selalu sold out. Kali ini ia tak ingin kehabisan lagi. Dan
melihat buku kuning, sedikit tebal, bertuliskan Lâ
Tahzan dengan font yang cukup besar di rak paling
ujung, merupakan hal yang membuatnya benar-benar
lega.

Dirinya berjalan perlahan menuju rak paling ujung.


Tinggal beberapa meter lagi sampai. Poros matanya
sudah terpaku pada buku merah itu. Dan tangannya
pun sudah siap mengambil.

‘Sret!’ seorang laki-laki mengambil Lâ Tahzan yang


dikunci Nana dengan pandangannya. Nana sempat

58 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

kaget, namun ia segera menenangkan diri. Ia


berkeyakinan bukunya masih sisa. Tidak mungkin
buku yang tinggal satu buah harus didahului orang
lain saat ia mau mengambilnya. “Seperti drama saja.”
Begitu pikirnya.

Setelah mengambil Lâ Tahzan, pemuda itu langsung


pergi. Ke kasir mungkin. Nana hanya menduga kalau
laki-laki itu kemari hanya untuk membeli buku itu.

Nana kembali berjalan menuju rak paling ujung.


Setelah sampai, ia cari baris yang ada buku Kuningnya
tadi. Ia mencari dan mencari, tetapi tetap saja tidak
ada. Ia tak percaya buku yang diambil pemuda tadi
yang terakhir. Langsung ia datangi kasir.

Sesampainya di dekat kasir ia melihat laki-laki yang


mengambil Lâ Tahzan masih mengantri. Sedangkan di
sampingnya adalah temannya sendiri, Luthfiya, yang
sedang mengajukan beberapa pertanyaan kepada
salah seorang karyawan toko.

Pengantre terakhir, yaitu laki-laki pengambil buku Lâ


Tahzan sudah mendapat giliran. Nana langsung
berdiri di sampingnya. Ia agak menjaga jarak dengan
Nana. Setelah mendapat kembalian, ia tidak langsung
keluar. Tetapi masih melihat-lihat hiasan meja yang di
pajang di meja kasir.

59 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Sementara itu, Nana yang berada di sampingnya,


menanyakan perihal stok Lâ Tahzan kepada penjaga
kasir. Namun malang lagi nasibnya, buku itu telah
habis. Buku terakhir di ambil beberapa detik sebelum
ia mengambilnya. Wajahnya terlihat susah. Bukan
karena ia tidak mendapatkan buku itu, tetapi lebih
kepada keterlambatan yang hanya beberapa detik. Ia
membayangkan ternyata sedetik itu begitu berharga.
Sedetik saja terlewat, bom bisa meledak. Sedetik saja
terlambat, kepala bisa terpenggal. Sedetik saja berucap,
dua negara besar bisa saling beradu. Ia kemudian
duduk menunggu Luthfiya selesai. Ia terus merenung.
Mengoreksi diri, tentang ikhtiarnya, tentang doanya.

Laki-laki pengambil buku Lâ Tahzan yang berkemeja


merah bata melihat raut mukanya. Rasa simpati
muncul dalam dirinya. Ia menanyakan ada apa
gerangan, pada kasir yang tadi ditanyai. Setelah itu, ia
pun tahu masalah yang menimpa Nana. Dan ia ingin
melakukan sesuatu. Sesuatu yang mengejutkan.

Beberapa menit kemudian Luthfiya telah selesai


dengan karyawan toko. Ia langsung menuju tempat
Nana yang sedang duduk termenung. Melihat raut
wajah temannya yang tampak mendung, membuatnya
langsung bertanya.

“Ada apa tha Na? Dapat kan bukunya?”

Nana hanya menggeleng.

60 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

“Hmm, sudah..sudah. kalau memang jodoh, nanti juga


dapat!” Kata Luthfiya menenangkan.

“Iya..ya. Kenapa aku harus sedih? Nana, kamu harus


kuat. Itu hanya sebuah buku. Di toko lain pasti masih
ada yang menjual.” Nana memotivasi diri, walaupun
raut wajahnya tak banyak berubah.

“Iya. Kalau begitu ayo pulang.” Ajak Luthfiya.

“He’em.” Nana menyetujui.

Mereka kemudian menuju pintu utama. Yang mereka


lakukan adalah mengambil tas dahulu, baru keluar.
Saat di tempat penitipan, penjaganya berkata kepada
Nana,

“Ada barang untuk mbak!”

Nana yang bingung langsung bertanya, “Barang apa?”

“Ini.” Penjaga berambut keriting itu menyerahkan


sesuatu yang terbungkus tas kresek putih bertuliskan
Toga Mas toko buku diskon. “Dibukanya jangan di
sini mbak. Nanti kalau sudah sampai kampus atau
rumah saja.” Lanjutnya.

“Ini dari siapa ya?” Nana semakin penasaran.

“Maaf mbak, saya lupa menanyakan.” Jawab penjaga


itu jujur.

“Ada keterangan tentang dia?”

61 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

“Tidak mbak. Saya juga baru pertama melihatnya.”

“Oh, ya sudah. Terima kasih.”

Kemudian Nana langsung kembali ke kampus.


Dengan mengendarai motor Kirana Luthfiya, ia terus
memikirkan kesedihan dan juga rasa penasarannya
terhadap bungkusan yang diberikan kepadanya.
Terkadang sesuatu yang datangnya tiba-tiba tidak
langsung membuat kita senang. Namun jika kita
menjalaninya dengan ikhlas, Allah akan memberikan
yang terbaik melalui hal yang tak terduga tersebut.
Itulah yang ada di pikiran Nana sekarang.

Sesampainya di kampus, Nana tidak langsung kembali


ke kantornya. Ia terlebih dahulu pergi ke kantin untuk
makan siang. Perutnya sejak pagi memang belum
terisi, hanya roti bakar buatan Umminya yang paroan
sama Nisa’. Luthfiya juga ikut dirinya ke kantin.
Memang kebiasaan akhwat yang tidak baik adalah
malas sarapan pagi.

“Kok tadi gak dapat? Stoknya habis?” Luthfiya


bertanya setelah memesan makanan untuknya dan
Nana.

“Tidak juga. Tadi masih ada sebenarnya.” Jawab Nana


dengan nada agak menyesal.

“Lha terus?”

62 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

“Ada anak laki-laki yang mendahuluiku mengambil


bukunya. Dan yang paling kusesali adalah buku itu
diambil tepat waktu aku sudah hampir mencapai rak.
Tinggal beberapa meter saja.”

“Sudah..sudah. Mungkin bukan rezeki kamu kali! Eh,


bungkusan tadi isinya apa ya?”

Nana menggerakkan pundaknya. Tidak tahu.

“Dibuka sekarang aja Na!”

“Hmm. Habis makan saja ya!”

“Oke!”

Beberapa saat kemudian, makanan yang mereka pesan


datang. Nana memesan soto babat plus iso goreng.
Sedangkan Luthfiya yang gak doyan jeroan hanya
memesan bakso. Mereka makan dengan lahap.
Walaupun lahap, etika makan tetap mereka
perhatikan. Rasanya tidak manusiawi jika etika itu kita
hilangkan.

Setelah selesai makan. Nana dan Luthfiya kembali ke


Ruang Unit Kegiatan Mahasiswa. Di sana masih
banyak anak-anak yang mengerjakan proyek, padahal
musim libur. Biasanya yang masih sibuk di kampus
adalah anak-anak yang mengisi liburan dengan
semester pendek. Kalau bukan mereka, biasanya
mahasiswa yang asli Surabaya. Terlihat Hamida
membaca buku sambil bersantai. Pertanda

63 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

pekerjaannya sudah selesai. Nana langsung


mengeceknya. Ia hanya tersenyum. Puas dengan kerja
sekretarisnya.

“Na, kubuka ya bungkusannya!” Luthfiya berkata


ketika Nana baru selesai mengecek pekerjaan Hamida.

“Biar aku saja.” Ucap Nana menanggapi usul Luthfiya.


Luthfiya pun langsung memberikan kresek putih yang
diletakkan di meja kepada Nana.

“Apa itu Na?” Hamida yang tidak tahu menahu


penasaran dengan pembicaraan Nana dan Luthfiya.

“Bingkisan dari someone! Hehehe.” Luthfiya


menyahut. Kemudian terkekeh.

Hamida melotot tak percaya.

“Huss..apaan sih Fi!” Nana tidak terima.

“Ya betul kan someone. Masak mau something?


Someone kan bukan berarti pacar, Nana
Nunu...Hehehehe.” Luthfiya tampak semakin asyik
mencandai Nana.

“Huuuhh!” Nana gemes dibuatnya.

“Sudah-sudah. Ndang dibuka kalau begitu.” Hamida


menengahi.

“Iya. Luthfiya nih. Bikin lama saja!”

64 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Nana langsung mengeluarkan sebuah benda dari


dalam kresek. Ternyata benda itu masih dibungkus
kertas kado becorak istana Walt Disneys. Didalam hati,
ia mengucapkan basmalah. Perlahan-lahan ia melepas
beberapa selotip pada bungkusan itu. Kemudian
membukanya lipatan demi lipatan. Kelihatannya ia
sudah bisa menebak isi bungkusan itu. Namun rasa
penasarannya belum lunas sebelum ia melihat sendiri
apa isinya. Ia, luthfiya dan Hamida menahan nafas
ketika lipatan paling besar dibuka. “Sreeet!” Ternyata
isinya masih dibungkus kertas koran. Mereka bertiga
pun langsung mengambil nafas. “Fiuh!”

Sekarang gantian Hamida yang hendak membuka


bungkusannya. Namun baru sempat merobek sedikit,
ada teriakan dari luar.

Bersamaan dengan itu, seorang pemuda berbadan


tinggi, adik tingkatgan iba-tiba tidak langsung
membuat kita senang. namun Nana datang dengan
tergopoh-gopoh.

“Mbak Nana..mbak Nana! Sukma Mbak! Sukma


kecelakaan.”

“Apa? Innalillahi wa inna’ilaihi raji’un! Dimana? Sukma


bagaimana?” Nana spontan mengucapkan istirja’.
Luthfiya dan Hamida hampir bersamaan
mengucapkannya juga. Ketiganya langsung berdiri
mensejajarkan tubuh dengan lawan bicara mereka.

65 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

“Di dekat Gramedia Mbak. Sekarang sedang di bawa


ke RS setempat. Alhamdulillah tidak kenapa-kenapa.
Hanya kakinya yang luka. Orangnya juga masih
sadar.”

“Alhamdulillah. Kamu dapat kabar dari mana, Lid?”

“Dari Mas Iqbal. Tadi kebetulan orangnya juga ke


Gramed. Hanya saja ndak boncengan.”

“Ceritanya bagaimana tha? Sama apa?” Luthfiya


menimpali bertanya.

“Waduh, saya ndak tahu Mbak. Tapi yang jelas Sukma


yang salah. Orangnya nabrak becak yang sedang
berhenti.”

Setelah berbincang cukup lama, mereka berniat


mengunjungi Sukma. Tetapi sebelum berangkat, Nana
memindah bungkusan yang sudah sedikit terbuka ke
mejanya. Ia tak mau memikirkan bungkusan itu dulu.
Fokusnya hanya untuk Sukma yang tadi pagi memang
disuruhnya mensurvei Gramedia. Ia jadi sedikit
merasa bersalah.
***

Sekitar pukul empat sore Nana masuk ka dalam


Ruang UKM. Di sana hanya ada Vina, adik tingkatnya
yang sedang duduk membaca sebuah buku. Ia
memilih pulang terlebih dahulu karena jam lima harus

66 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

sampai rumah. Sedangkan teman-temannya yang lain


menunggu kerabat Sukma datang.

Nana langsung merebahkan dirinya ke kursi.


Kerudungnya tampak basah oleh keringat. Ia begitu
merasa bersalah. Ia begitu terpukul ketika mengetahui
ada tulang Sukma yang patah. Di RS ia
mengungkapkan permintaan maafnya berkali-kali.
Walaupun Sukma telah memaafkannya, ia tampaknya
yang tak bisa memaafkan dirinya sendiri.

Kejadiannya tadi pagi. Ketika baru masuk ke dalam


Ruang UKM, ia langsung mendapati Sukma sedang
menulis sesuatu. Kemudian ia meminta Sukma agar
pergi ke Gramedia untuk mensurvei buku terbaru
bulan ini. Sejatinya, itu adalah tugasnya. Namun
karena ia begitu lelah sehabis MABIT dengan Lembaga
Dakwah Kampus kemarin malam, ia memutuskan
mencari pengganti. Awalnya Sukma menolak, tetapi ia
tetap berusaha membujuknya. Akhirnya hati Sukma
luluh. Ia oleh Nana dicarikan seorang partner. Karena
yang di dekat situ hanya ada Iqbal, maka Iqbal lah
yang dimintai tolong. Iqbal mau tetapi dengan syarat.
Harus naik motor sendiri-sendiri. Karena Iqbal tak
mau memboncengkan akhwat yang bukan
mahramnya. Mereka pun sepakat. Sukma dan Iqbal
berangkat.

67 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Nana tak menyangka gara-gara sebuah paksaan,


Sukma harus menderita seperti itu. Bodohnya lagi, ia
sadar kalau Sukma itu anak kampung yang baru
belajar naik motor. Ia pilu ketika mengingat cerita
Sukma bahwa dia hidup di Surabaya dengan
keringatnya sendiri. Yaitu dengan menulis cerpen.
Orang tuanya di kampung hanyalah seorang penjual
pecel. Semua biaya kuliahnya ditanggung daerah
karena berprestasi. Nana langsung teringat, tadi pagi
Sukma juga menulis. Mungkin cerpen. Ah! Ketika
mengingat itu semua ia jadi menyesal. Kenapa ia tak
berangkat menepati jadwalnya. Terkadang pilihan kita
untuk lebih memperhatikan diri tidak tepat. Matanya
basah.

“Ada apa mbak Na?” tanya Vina yang sedari tadi


hanya membaca.

“Ndak apa-apa Vin. Sedih melihat Sukma. Kakinya


harus operasi.” Nana menjelaskan dengan sedikit
terisak.

“Sudah mbak. Ini semua sudah ada yang mengatur.”


Vina mencoba menenangkan.

Nana hanya mengangguk.

“Ini Mbak, tadi saya pinjam!” Vina menyodorkan


sebuah buku Kuning kepada Nana.

68 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Setelah menerima, Nana langsung membaca judulnya.


Lâ Tahzan.

“Makasih Vin, mungkin dengan membacanya aku bisa


lebih tenang.”

“Sama-sama Mbak.”

Nana mengusap mukanya dengan tangan. Kemudian


ia bertanya, “Kamu pinjam siapa Vin?”

Vina ditanya seperti itu menunjukkan wajah heran.

“Bukannya itu buku Mbak Nana?”

“Apa Vin?” Nana kaget mendengar pertanyaan Vina.

“Bukannya itu bukunya Mbak Nana? Tadi kan saya


sudah bilang. Waktu saya berkata, ‘Ini Mbak, tadi saya
pinjam!’.”

“Aku gak punya Lâ Tahzan tuh! Tadi mau beli saja


kehabisan.”

“Lha bungkusan itu? Itu punyanya Mbak Nana kan?”


Kata Vina sembari menunjuk bungkusan yang sudah
tak berisi di meja kerja Nana. “Tadi saya temukan
sudah terbuka begitu, jadi langsung saya pinjam.”
Lanjutnya.

“Subhanallah wal hamdulillah! Keadaan begitu cepatnya


berganti. Ini semua adalah rahasia Allah Yang Maha
Mengatur. Allah memberikan buku ini saat aku

69 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

membutuhkan. Jujur, bungkusan itu hadiah dari


orang. Bukan aku yang beli.”

“Subhanallah Mbak.”

Nana mendapatkan sebuah kegembiraan di tengah


perasaan bersalahnya kepada Sukma. Vina yang
sebenarnya tidak tahu apa-apa juga ikut gembira.

Entah bagaimana ceritanya bungkusan itu bisa


terbuka. Namun dengar-dengar dari Vina, ada
mahasiswa yang salah membuka bungkusan. Dikira
jahitan jas almamater, ternyata buku. Tapi ia tak
peduli. Rasanya hari itu penuh rasa dalam hatinya.
Kecewa, menyesal, kaget, sedih, senang, bahagia.
Semua bercampur menjadi satu. Ia tak tahu yang
paling dominan yang mana. Tetapi yang ia tahu, ia
sangat berterima kasih kepada orang yang
memberikannya buku itu. Dan suatu saat, ia ingin
membalas kebaikan orang itu.

“Barakallahu fii khair!” lirihnya dalam hati.

To be continued...

70 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

BIODATA PENULIS

Nama : Gading Ekapuja Aurizki


Nama Pena : Thalib Ar-Rizqy / Aa' Gading
Tempat, TL : Madiun, 24 Desember 1992 (17 tahun)
Alamat : Ds. Madigondo 5/II Takeran,
Magetan-Jawa Timur 63383
Agama : Islam
Sekolah : SMA 3 Madiun, Kelas XII IPA 3
HP : 085 648 679 244
e-mail : g_aurizki@yahoo.co.id
Website :-
Kata2 Mutiara
-Once you learn to quit, it becomes a habit
-Hari ini harimu!

71 Al-Mukarramah
Thalib Ar-Rizqy Dua Cahaya eps.1

Tokoh idola
-Rasulullah Muhammad SAW
-Ibu yang sayangnya membelai kalbuku
-Bapak yang diamnya menggetarkan jiwaku
-Yangti yang perhatiannya merebut duniaku
Organisasi
-Ketua Umum OSIS SMA 3 Madiun 08/09
-Pembantu Umum OSIS SMA 3 Madiun 07/08
-Sie Litbang Teater ASAP SMA 3 Madiun
-Ketua Umpi Putra Kontingen Kota Madiun
Raimuna Nasional 2008 Cibubur
-Bendahara Umum Ikaprasda 2006/2007
-DPP Pramuka SMP 2 Madiun 2005/2006
-Sekbid I OSIS SMP 2 Madiun 2005/2006
Buku Favorit
-Mushaf Qur'an al-Karim
-Hadist Shahih
-Smart Living
-Lâ Tahzan

-Ketika Cinta Bertasbih eps. 1 dan 2

GO PROFESIONAL!

72 Al-Mukarramah

Vous aimerez peut-être aussi