Vous êtes sur la page 1sur 39

Kedatangan Dai Nippon di Hindia Belanda

Jepang sendiri menjadi suatu negara yang kuat dan agresif sesudah
revolusi politik dan ekonomi sejak apa yang dinamakan Restorasi Meiji.
Jepang berkembang sebagai negara industri dan kapitalis yang kuat. Pada
masa Jepang masih menjadi permainan kekuatan-kekuatan Barat Besar,
yaitu dibuka pintunya oleh Commodore Perry, penduduknya hanya
berjumlah kurang dari 30 juta jiwa dan sekitar tahun 1930 penduduk ini
berjumlah 70 juta jiwa, dengan kira-kira hanya 500 ribu orang Jepang yang
tersebar di daerah-daerah jajahannya atau berimigrasi ke daerah-daerah lain.
Hanya industri yang dapat menampung pertambahan penduduk yang
demikian hebat. Penanaman modal Jepang juga menunjukkan angka-angka
yang meningkat. Pada akhir perang Cina-Jepang (1895), modal yang
ditanam berjumlah 308 juta yen, sedangkan pada tahun 1930 berjumlah
13.790.758 .000 yen, meningkat hampir seratus kali. Modal perdagangannya
dalam tahun 1930, sejak 1895, meningkat lima puluh kali. Setengah dari
jumlah modal penanaman ini, ditanamkan pada pabrik-pabrik dan
pertambangan, dan sebagian besar lainnya pada perbankan dan perdagangan.
Perkembangan industri di Jepang ini sayangnya tidak diikuti oleh
perubahan-perubahan sosial atau perubahan-perubahan struktur dalam
masyarakatnya. Malahan perkembangan industri dan modal ini terjadi atas
dasar masyarakat lama yaitu feodalisme, dan struktur feodalisme ini sedikit
banyak memungkinkan perkembangan yang pesat. Modal Jepang di tangan
beberapa firma atau clan (klan) yang sudah tua dan bersifat feudal, misalnya
Sumitomo Company, Mitsui Company berasal dari abad pertengahan, dan
1

Mistubishi Company mempunyai sejarah yang lama sekali. Industri tekstil


yang menjadi demikian penting umpamanya dipelopori dan dibesarkan oleh
Pangeran Shimazu, seorang anggota penting dari klan bangsawan Satsuma
(Daimyo of Satsuma) yang berperan penting dalam sejarah Jepang, terutama
dalam Restorasi Meiji. Sampai suatu batas tertentu dapat dikatakan bahwa
struktur feudal dan ikatan feudal serta kekayaan di tangan kepala-kepala
klan memudahkan perkembangan industri melalui penanaman modal dan
bentuk-bentuk organisasinya.
Akan tetapi di samping keluarga-keluarga bangsawan, dalam industri
tertentu terdapat juga banyak orang biasa yang menjadi kaya dengan
keterlibatan di dalamnya. Bagaimanapun juga, pada abad ke-19 timbul
dalam masyarakat Jepang suatu golongan baru, yaitu golongan bangsawan
berdasarkan kekayaan modal dan tidak berdasarkan atas kepemilikan tanah,
seperti bangsawan tua. Di samping birokrasi dan hirarki militer dari negara,
timbul pula suatu organisasi atas dasar modal, perdagangan dan industri
dalam masyarakat Jepang. Partai politik yang menjadi faktor penting dalam
kehidupan masyarakat Jepang banyak dipengaruhi oleh kepentingankepentingan modal besar, dan partai-partai ini sedikit banyak berhasil
merebut pemerintahan dalam tahun-tahun 1920-an. Sedangkan pemerintah
atau golongan elite, di samping menunjukkan garis-garis pemisah atas dasar
berbagai

kepentingan

memperlihatkan

industri,

permusuhan

perdagangan,

antar-klan,

yang

dan

agraria

juga

masing-masing

juga

mempunyai aktivitas ekonomi, negara pada umumnya, demi kepentingan


dan tujuan-tujuannya sendiri, lebih banyak membantu industri daripada soal
agraria.

Struktur

sosial

masyarakat

dan

persoalan

penyewaan

tanah

menyebabkan rakyat umumnya tidak menerima bagian yang setimpal dari


perindusstrian. Tingkat hidup rakyat masih rendah, juga disebabkan karena
perkembangan industri yang demikian cepat. Soal ini hampir-hampir dapat
dikatakan sebagai sebab utama Jepang terpaksa menuju ke ekspansionisme
imperialis dan kolonialis. Tujuannya adalah mencari pasar-pasar baru untuk
hasil industrinya sebab rakyatnya di dalam negeri tetap mempunyai
pendapatan rendah sehingga daya beli dalam negeri juga tidak besar. Di
samping itu, Jepang sendiri negara yang miskin bahan-bahan mentah dan
pertambangan. Landreform untuk meningkatkan standard of living tidak
diselenggarakan.
Persoalan ini terutama jelas sesudah tahun 1930, yaitu sesudah
krisis hebat yang menimpa dunia. Semua pengusaha kecil di
Jepang, juga kaitannya dengan konsentrasi modal di tangan
beberapa orang, tidak dapat bertahan terhadap hantaman-hantaman
ekonomis

dan

perusahannya.

konkuensi

sehingga

terpaksa

menggulung

Perkembangan-perkembangan

tersebut

menyebabkan perbedaan-perbedaan yang makin tajam dan terasa


antar golongan yang memerintah dan rakyat atau golongan yang
diperintah, yang sebelumnya dapat dikaitkan oleh ideologi
feodalisme.
Tentara dan juga sebagian besar angkatan laut menjadi jembatan bagi
golongan bawah untuk naik tangga sosial yang lebih tinggi. Banyak perwira
berasal dari golongan tani, ataupun samurai miskin yang mengalami segala
kesukaran hidup dan menderita dari struktur serta alam feudal masyarakat

Jepang. Golongan-golongan ini sering dikagetkan oleh korupsi partai-partai


politik dan pemerintahan sipil yang hubungannya demikian erat dengan
kaum pemilik modal Jepang.
Angkatan darat dan angkatan laut lalu memiliki suatu rasa benci dan
pandangan rendah terhadap para politisi, ditambah dengan perasaanperasaan patritisme yang melihat penjualan negara . Reaksi kaum pemilik
modal dan para politisi sering menyebabkan berbagai golongan dalam
tentara melihat ekspansionaisme sebagai penyaluran. Namun, berhubungan
dengan kepentingan-kepentingan perdagangan dan lain-lain, kaum pemilik
modal sangat hati-hati terhadap ekspansi dan peperangan. Angkatan Darat
dan Laut Jepang memang kemudian menjafdi sumber dari ketidakpuasan
sosial dan sumber nasionalisme yang mendorong ke arah ekspansi yang
lebih luas. Jepang menjadi negara besar dalam suasana imperialisme
modern, di mana ekspansi belum dicap sebagai sesuatu yang jahat
( Onghokham, 2014 : 10 14 )

Upaya pemerintah Jepang untuk memodernisasikan militernya secara


tidak langsung sangat diuntungkan dengan posisi negara yang dijadikan
sebagai buffer state (negara penyangga) bagi negara besar yang memiliki
kepentingan di Asia-Pasifik. Dengan posisi tersebut, Pemerintah Jepang
secara leluasa dapat membangun kekuatan militernya tanpa memperoleh
gangguan dari negara-negara Barat. Hanya dua angkatan yang dibangun
Jepang, yakni Angkatan Darat dan Angkatan Laut, sedangkan Angkatan
Udara diintegrasikan sebagai bagian dari masing-masing angkatan. Kaisar
Meiji membangun kekuatan Angkatan Darat dengan cara meniru Angkatan
Darat Perancis, tetapi kemudian berpaling ke Angkatan Darat Jerman.
4

Sementara itu, Angkatan Laut Inggris dijadikan sebagai rujukan untuk


membangun kekuatan Angkatan Laut Jepang.
Kenerhasilan Jepang membangun kekuatan militernya diujicobakan
dengan melakukan ekspansi ke Cina (1894). Setelah melakukan peperangan
dengan tentara Cina selama satu tahun, pada 17 April 1895, Jepang
mengakhiri peperangan tersebut yang ditandai dengan ditandatanganinya
Perjanjian Shimonoseki. Berdasarkan perjanjian itu Jepang memiliki
kekuasaan atas beberapa wilayah Cina, yaitu Pulau Formosa (Taiwan),
Kwantung, Port Arthur, dan Dairen. Penguasaan atas beberapa wilayah Cina
tersebut telah melontarkan Jepang dari status negara semikolonial menjadi
salah satu negara imperialis. Jepang pun menikmati status barunya dengan
mengatur Formosa sebagai tanah jajahannya yang pertama. Tidak seperti
negara lain yang melakukan demobilisasi sesudah menang perang, Jepang
justru kian memperkuat Angkatan Darat dan Angkatan Lautnya dengan dana
kompensasi yang dibayarkan oleh Cina.
Kemenangan tersebut membawa dampak yang besar bagi bangsa
Jepang untuk menjadi yang termaju di antara bangsa Asia lainnya. Halangan
utama yang harus segera di atasi Jepang adalah memotong kepentingan
Rusia di wilayah Asia Timur. Membiarkan Rusia memiliki pelabuhan air
hangat akan sangat membahayakan Jepang, sehingga politik air hangat
Rusia itu perlu diakhiri sedini mungkin (Himawan Soetanto el al , 2010 :
68 70 )
Untuk memotong kepentingan Rusia atas Asia Timur Pasifik, pada
1904, Jepang menyerang kota dan pangkalan militer Rusia Port Arthur di
5

ujung Semenanjung Liandong yang disewa dari Cina. Armada Timur Jauh
Rusia yang terjebak di Port Arthur tidak dapat keluar dari pangkalannya,
sehingga Rusia mendatangkan bala bantuan dengan mengirimkan Armada
Baltik yang terpaksa mengelilingi separuh dunia untuk mencapai Port
Arthur. Namun sudah jauh-jauh berlayar, armada yang kelelahan ini dicegat
dan dihancurkan di Selat Tsuhima oleh armada Jepang yang dipimpin
Laksamana Heihachiro Togo pada musim semi 1905. Bala tentara Jepang
setelah merebut Linadong, kemudian berusaha masuk lebih jauh kedalam
wilayah Manchuria.
Setahun kemudian, Jepang berkuasa atas wilayah Manchuria bahkan
sampai ke Pulau Sakhalin Selatan. Keberhasilan ini sangat mengagumkan
bagi sebagian negara Asia dan dianggap sebagai awal kebangkitan Asia.
Dengan demikian, ancaman Rusia di Manchuria pun dapat disingkirkan dan
sekaligus Jepang dapat menempatkan seorang wali atau resident general di
Korea, yaitu Hirobumi Ito yang langsung berusaha mengubah Korea sebagai
negara pengaruh Jepang. Tetapi usaha ini gagal karena dibunuh oleh seorang
patriot Korea pada 1909. Akibat pembunuhan ini, Jepang murka dan
Semenanjung Korea pun resmi dianeksasi sebagai wilayah Jepang pada 1910
( Himawan Soetanto et al, 2010 : 71 72 )
Dari tahun 1920 sampai 1930, negara-negara Barat berhasil
mengekang Jepang. Jepang pada tahun 1920-an itu mengalami kesalahankesalahan diplomatik di lapangan internasional. Kekuatan negara-negara
Barat agak terlalu besar untuk dihadapi dan Jepang sendiri di dalam negeri
diperintah oleh partai politik pemilik modal dan golongan yang lebih hatihati dalam politik ekspansi. Pimpinan angkatan bersenjatanya juga masih di
6

dalam tangan bangsawan-bangsawan tua dari klan yang berpengaruh seperti


klan Satsuma dan klan Choshu. Dari tahun 1920 sampai 1930, Jepang
mengalami masa damai, kekalahan diplomatik, dan perjanjian-perjanjian
internasional yang mengurangi persenjataannya. Washington Conference dan
Perjanjian Empat Negara (Four Power Treaty) semuanya mengekangnya,
dan membatasi jumlah kapal perang Jepang, seperti juga negara lain yang
mempunyai kepentingan di Asia Timur serta menetralisasi Manchuria dan
menjamin kedaulatan Cina dan kedaulatannya atas Manchuria.
Pada tahun 1930 di Jepang terjadi perubahan politik yang besar. Sebab
dengan perobaan pembunuhan Perdana Menteri Hamaguchi, dan di bawah
malapetaka krisis ekonomi dunia, golongan angkatan bersenjatanya sebagai
satu-satunya golongan tidak korup Jepang, dianjurkan mengambil alih
pemerintahan. Namun angkatan bersenjatanya ini sudah berubah dalam
struktur sosialnya. Kepemimpinannya bukan lagi di tangan klan yang
berpengaruh. Golongan-golongan perwira yang berasal dari kalangan petani
menengah atau dari klan samurai yang jatuh miskin, dalam perkembangan
1920 1930, dapat menyingkirkan golongan-golongan klan Satsuma dan
klan Choshu dari pimpinan angkatan bersenjatanya. Walaupun masa 1930
sampai 1941 tidak seluruhnya pimpinan negara berada di tangan Angkatan
Bersenjata Jepang, tetapi golongan ini merupakan faktor politik paling
penting yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kabinet-kabinet dan
dengan menduduki beberapa tempat penting dalam kabinet. Selain itu, juga
menteri-menteri angkatan darat dan laut adalah menteri-menteri yang
memiliki hubungan langsung dengan kaisar; di tangan siapa keputusankeputusan terakhir berada ( Onghokham, 2014 : 15 16 )

Bangsa Jepang perlu mengamankan wilayah yang mendukung proses


industrialisasinya, baik wilayah yang memiliki sumber daya alam maupun
wilayah yang memiliki potensi sebagai hasil industrinya. Ekspansi yang
dilakukan Jepang ke Hindia Belanda tidak dapat dilepaskan dari upaya
Pemerintah Jepang untuk memperluas ruang hidupnya (lebensraum), baik
seara politik maupun ekonomi. Meskipun secara umum rencana ekspansi
tersebut merupakan isu yang dapat diterima oleh bangsa Jepang, tetapi juga
pada kenyataannya terdapat perbedaan pandangan mengenai rencana
ekspansi itu sendiri.
Angkatan Darat Jepang tebih memprioritaskan untuk melakukan
ekspansinya ke Daratan Cina dan Semenanjung Korea. Oleh Bangsa Jepang,
pandangan ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan ekspansi ke daerah
Utara. Di pihak lain, Angkatan Laut Jepang dalam setiap kesempatan selalu
menyebarkan pemikiran bahwa pengembangan negara Jepang bukanlah di
daerah Utara (Daratan Cina dan Semenanjung Korea), melainkan ke wilayah
Selatan, yaitu negara-negara yang sekarang termasuk ke dalam kawasan
Asia Tenggara.
Pada awalnya, prioritas pertama sasaran ekspansi tersebut adalah
Filipina. Namun sejak 1933 berubah menjadi Hindia Belanda. Perubahan ini
semata-mata disebabkan oleh melimpahnya sumber daya alam. Khususnya
minyak yang dimiliki Hindia Belanda. Oleh karena itu, Angkatan Laut
Jepang Jepang sangat berkepentingan terhadap Hindia Belanda terlebih-lebih
sebagai upaya menjaga persaingan dengan Angkatan Darat Jepang yang
sudah memantapkan kekuasaan politiknya di Manchuria dan Mongolia.

Bagi Angkatan Laut Jepang, Hindia Belanda merupakan bentangan


geografis yang jika dikuasai akan mampu menjawab kebutuhan Jepang akan
sumber daya alam. Jika mereka berhasil menguasai wilayah ini, maka
Pasifik sebagai garis kehidupan (seineisen) Jepang dapat dikuasai seara
sempurna. Dengan perkataan lain, Angkatan Laut Jepang telah secara jelas
menfokuskan sasarannya pada wilayah Selatan, terutama Hindia Belanda
dalam rencana perluasan kekuasaan negara kekaisaran. Perbedaan
pandangan ini kemudian semakin menajam ke arah persaingan antara
Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang mengenai rencana perluasan
wilayah penghidupan bangsa Jepang.
Potensi sumber daya alam, terutama minyak bumi, merupakan
landasan utama Markas Besar Angkatan Laut Jepang dalam pengembangan
rencana ekspansi ke Selatan. Markas Besar Angkatan Laut Jepang memang
sangat berkepentingan untuk mengamankan pasukan minyak karena mereka
mereka merupakan konsumen terbesar di Jepang.
Memasuki era-1940-an, perhatian Angkatan Laut Jepang terhadap
Hindia Belanda semakin memperlihatkan rencana konkret ke arah ekspansi
Kebijakan damai merupakan langkah awal yang akan diambil oleh bangsa
Jepang untuk menguasai Hindia Belanda. Apabila kebijakan damai ini tidak
bisa dilaksanakan, Angkatan Laut Jepang menggariskan bahwa kebijakan
kekuatan militer merupakan jalan terakhir untuk menguasai Hindia Belanda
Terhadap kebijakan ini, Angkatan Laut Jepang menyusun rencana dengan
pendekatan campuran budi dan wibawa kekerasaan dan kesejahteraan
terhadap penduduk setempat Oleh para petinggi militer Jepang, Hindia
Belanda dikategorikan sebagai bagian dari Persemakmuran Asia Timur Raya
9

bersama-sama dengan seluruh negara yang terletak di wilayah ini. Para


petinggi militer Jepang merumuskan empat alternatif bentuk penguasaan
wilayah Indonesia, yakni : (1) secara murni menjadi wilayah Jepang; (2)
menjadi negara perlindungan (protektorat) Jepang; (3) menjadi daerah
otonom ; dan (4) menjadi negara serikat.
Dalam pandangan Angkatan Laut Jepang, alternatif yang paling tepat
untuk menguasai Hindia Belanda ialah menjadikan wilayah itu sebagai
negara perlindungan Jepang. Militer Jepang terlebih dahulu harus
menduduki Hindia Belanda secara militer, kemudian menjalankan
pemerintahan militer untuk mengamankan kedaulatan penuh Jepang atas
wilayah tersebut. Apabila situasi telah memenuhi syarat, wilayah itu akan
diberi status setengah merdeka sebagai Negara Kebangsaan Hindia
Timur .
Hubungannya dengan pemerintah Jepang akan diikat melalui suatu
perjanjian yang menetapkan Jepang sebagai negara pelindung bagi negara
baru tersebut. Meskipun demikian, hingga Juli 1941 belum ada perjanjian
antara Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang mengenai pembagian
daerah kekuasaan mereka di Indonesia jika militer Jepang berhasil
menduduki Indonesia ( Himawan Soetanto et al, 2010 : 87 91 )
Dapat dianggap bahwa minyak Indonesia menjadi faktor yang
menentukan bagi keputusan Jepang untuk melancarkan perang pada akhir
tahun 1941. Benar bahwa motivasi ideologis lebih besar daripada hanya
usaha untuk memperoleh minyak. Sudah dalam bulan Juli 1940, Kabinet
Konoye yang nantinya akan diganti oleh kabinet perang di bawah pimpinan
Jenderal Tojo Hideki, menyatakan bahwa kebijaksanaan nasional dasar
10

daripada Jepang adalah pembentukan perdamaian dunia sesuai dengan citacita Hakko Ichi-u tersebut, tetapi agaknya intisarinya adalah pembentukan
suatu lingkungan yang didominasi oleh Jepang yang meliputi bagian-bagian
besar dunia. Tertib dunia atau lingkungan kemakmuran bersama yang
baru ini akan dicapai dalam beberapa tahap. Tahap pertama dicapai selama
Perang Dunia II dengan jalan melancarkan beberapa langkah politik global
yang, jika perlu, disokong oleh kekuatan militer. Tahap pertama ini meliputi
pembentukan lingkungan kemakmuran bersama yang terkecil, yang
disebut Lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya yang
mencakup apa yang sekarang menjadi Asia Tenggara dengan Jepang, Cina
dan Mancukuo sebagai tulang punggungnya. Adapun pengembangan yang
paling luas daripada lingkungan kemakmuran bersama itu akan mencakup
tempat-tempat yang berjauhan seperi Sri Langka, Australia, Selandia Baru,
seluruh Oseania (termasuk Hawai), dan bahkan bagian-bagian Benua
Amerika seperti Alaska dan negara-negara kecil di Amerika Tengah.
Halangan utama terhadap ambisi-ambisi Jepang tersebut adalah Amerika
Serikat yang meskipun pada waktu itu masih netral, namun telah
memberikan segala macam bantuan kecuali intervensi bersenjata kepada
pihak Serikat.
Pada tanggal 11 Mei 1940, sehari setelah Jerman-Nazi menyerbu
negeri Belanda, menteri luar negeri Amerika Serikat mengeluarkan
pernyataan bahwa Banyak negara, di antaranya Jepang, telah mengikatkan
diri untuk menghormati status Hindia Belanda, dan bahwa setiap gangguan
terhadapnya akan merugikan perdamaian dan keamanan seluruh wilayah
Pasifik. Sehari sebelumnya menteri luar negeri Amerika Serikat telah
mengusulkan

kepada

menteri

luar

negeri

Inggris

supaya

kedua
11

pemerintahnya sekali lagi memberikan jaminan kepada Jepang bahwa


mereka tidak akan mengganggu status daripada, atau di, Hindia Timur
Belanda. Sebelum London menjawab, menteri luar negeri Jepang
menyatakan kepada duta besar Jerman, Italia, Perancis dan Inggris di Tokyo
bahwa kejadian-kejadian di Eropa memperbesar kekhawatiran Jepang
mengenai jajahan Belanda itu. Hal itulah yang mendorong menteri luar
negeri Amerika Serikat untuk mengeluarkan pernyataan tersebut di atas
karena kekhawatiran bahwa pernyataan tersebut merupakan isyarat bagi
dimulainya gerakan oleh pihak Jepang.
Sementara itu pihak Jepang telah mengambil serangkaian langkahlangkah diplomatik terhadap pemerintah Hindia Belanda untuk memastikan
eksport daripada barang strategis tertentu ke Jepang. Untuk tujuan itu,
setelah serangkaian pertukaran nota, pada bulan September 1940 sebuah
delegasi di bawah pimpinan menteri perdagangan dan industri Kobayashi
Ihiro di kirim ke Batavia untuk mengadakan perundingan ekonomi. Sebelum
perundingan dimulai, pada tanggal 20 Mei, pihak Jepang telah mengirimkan
suatu nota yang meminta supaya dalam keadaan bagaimanapun harus
dilakukan pengiriman ke Jepang dari bahan-bahan yang diperlukan dengan
jumlah 3.150.000 ton.
Dibandingkan dengan eksport rata-rata dalam tahun-tahun 1937, 1938
dan 1939 yang berjumlah 650.000 ton, permintaan Jepang itu oleh pihak
Belanda dianggap berlebih-lebihan dan karenanya ditolak. Pada tanggal 20
Oktober, Kobayoshi dipanggil pulang dan perundingan dihentikan. Baru
dalam bulan Januari tahun berikutnya sebuah delegasi kedua di bawah
Yoshizawa Kenkichi dikirim, yang ternyata tidak membawa hasil yang lebih
12

baik. Setelah mengeluarkan komunike bersama yang menyesalkan tidak


berhasilnya perundingan tetapi menekankan bahwa hubungan normal antara
kedua negara tak berubah, delegasi Jepang pada tanggal 27 Juni 1941 pulang
( Nugroho Notosusanto : 1978 : 17 21 )
Banyak intelektual Indonesia dan pemimpin-pemimpin lain, dengan
melihat kenyataan-kenyataan bahwa melalui Belanda tidak dapat dicapai
kemerdekaan, tidak bersikap bermusuhan terhadap Jepang. Antara
pemimpin-pemimpin ini, ada suatu kekaguman yang besar terhadap Jepang.
Dilihatnya bahwa Jepang adalah satu-satunya negara Asia yang dapat
memodernisasi diri, menjadi besar, dan dihormati atau ditakuti oleh dunia.
Dengan singkat, satu-satunya negara Asia yang mempunyai tempat di mata
dunia. Nationale Commentaren majalah atau terbitan nasional

yang

terpenting dan yang berpengaruh luas di kalangan gerakan Indonesia di


tangan Sam Ratulangi dan Subardjo, dua tokoh bersikap simpatik terhadap
Jepang.
Pers Indonesia pada umumnya, pada permulaan perundingan dengan
Jepang, yaitu dengan misi Kobayashi, mengharapkan hasil dari perundingan
ini. Namun, ketika usul-usul dan tuntutan-tuntutan Jepang diketahui tentang
pemasukan orang-orang Jepang dan penetrasi ekonomi Jepang yang
menuntut kedudukan yang sama seperti Belanda dengan enclave-enclave
Jepang, maka terdengar suara-suara protes. Timbul pertanyaan bagi
Indonesia apa gunanya eksploitasi dan peningkatan aktivitas ekonomi bila
orang-orang Indonesia mendapat kesempatan untuk diikutsertakan dan
belajar pada firma-firma Jepang.

13

Pers

dan

suara-suara pergerakan

Indonesia

juga

mengambil

kesempatan dengan adanya tuntutan-tuntutan Jepang ini untuk mengecam


Belanda, dengan mengatakan bila cukup banyak orang Indonesia dididik
oleh Belanda untuk melayani ekonomi ekonomi modern, tentu tuntutantuntutan Jepang tidak akan diajukan atau Jepang tentu tidak mempunyai
alasan

untuk

mengajukan

tuntutan-tuntutan

demikian.

Selain

itu,

perundingan dan sikap ancaman Jepang ini dipakai untuk memperoleh


konsesi-konsesi dari pemerintah Belanda yang tidak berhasil. Malahan
sebaliknya mungkin, kelemahan kedudukan internasional Belanda ditutupi
dengan suatu aksi dan sikap tegas terhadap dalam negeri. Contoh-contoh
adalah ditangkapnya Sam Ratulangi, Douwes Dekker, dan diadakan
penggeledahan di rumah Thamrin yang menyebabkan kematiannya.
Terhadap penangkapan tiga tokoh nasional yang dihormati tersebut, tidak
pernah ada penjelasan memuaskan dari pemerintah Hindia Belanda.
Bahaya juga timbul dari persiapan-persiapan pra-militer. Kapal-kapal
nelayan Jepang dianggap sebagai pelopor angkatan lautnya dan juga dapat
dipakai untuk pekerjaan-pekerjaan spinonase, serta menimbulkan insideninsiden yang dapat memberikan alasan-alasan bagi penyerangan Jepang.
Pada tahun 1941, tersebar di lautan Hindia Belanda 4.000 nelayan Jepang
atas 500 kapal nelayan. Insiden-insiden yang timbul dari pelanggaran
undang-undang nelayan Hindia Belanda ini banyak sekali dan makin
meningkat dalam tahun 1940-1941. Kapal-kapal terbang dan angkatan laut
Belanda pada akhirnya dipakai untuk mengawasi mereka, sebab timbul
bahaya didudukinya beberapa pulau kecil di antara 3000 pulau di Nusantara
kita yang dapat dipakai untuk basis-basis strategis. Pada tahun 1940, salah
satu perusahaan nelayan yang besar di Jepang meminta basis-basis nelayan
14

di tempat-tempat strategis seperti di Ambon, Manado, Batavia, Surabaya,


dan lain-lain. Selain itu, para pemotret Jepang juga memasuki Hindia
Belanda di sudut-sudut terpencil. Di mana tidak banyak hasil ekonomis dari
pemotretan, didiami tulang-tukang potret Jepang atau tukang-tukang cukur.
Terutama dua golongan terakhir ini menurut Belanda banyak bagiannya
dalam pekerjaan spionase. Sumber lain dari spionase Jepang adalah
perusahaan-perusahaan seperti Veem dan lain-lain, yang besar dan dimiliki
oleh pemimpin-pemimpin ekstrem nasional di Jepang seperti Nanyo Veem
yang dimiliki Ishihara. Sering perusahaan-perusahan ini, kecuali di tangan
tokoh-tokoh ekstrem nasionalis Jepang, dibantu juga oleh tentara dan
Angkatan Laut Jepang atau pemerintahannya. Mereka berusaha di lapanganlapangan eksploitasi hutan-hutan, pertambangan dan lain-lain. Biarpun
kadang-kadang perusahaan ini rugi tetapi usahanya diteruskan demi
penetrasi ekonomi atau untuk memperoleh basis-basis ekonomi di Hindia
Belanda, Irian Barat juga menjadi sasaran dalam hal ini. Timor Portugis di
mana orang-orang Portugis tidak memajukan apa-apa. Tentu perusahanperusahaan juga memasukan bacaan-bacaan terlarang dan agitatif terhadap
pemerintah Hindia Belanda. Spion-spion Jepang mengadakan perjalananperjalanan di Hindia Belanda dan terutama basis Angkatan Laut Hindia
Belanda menjadi sasaran. Pada misi Kobayashi juga terdapat umpamanya
Atase Laut Maeda.
Konsulat Jepang di Jakarta dan di tempat-tempat lain tentunya
melakukan pekerjaan-pekerjaan spinonase juga. Wakil Konsul Tagaki
dibebaskan dari pekerjaan-pekerjaan lain hanya untuk pekerjaan-pekerjaan
ini. Persiapan-persiapan pra-militer ini sudah berlangsung agak lama, sudah
pada kira-kira sekitar Perang Dunia I, tetapi sejak tahun 1930-an dipergiat
15

dengan mutasi-mutasi dari spion-spion penting dari firma-firma Jepang biasa


ke konsul dan lain-lain. Selain pemerintah Jepang, banyak badan tak resmi
atau semi resmi, seperti tentunya dari apa yang dinamakan Black Dragon
Society,

melakukan

pekerjaan-pekerjaan

spionase

di

Indonesia.

Perkumpulan-perkumpulan rahasia Jepang yang utranasionalis dan


militeristik berkembang juga di kalangan orang-orang Jepang. Di Indonesia,
Nanyo Veem dari Ishihara, seorang ultranasionalis yang agresif, menjadi kaki
tangan dari ekspansi Jepang itu. Masyarakat Jepang sendiri yang sebelum
tahun 1933 (tahun keluarnya Jepang dari Liga bangsa-bangsa dan mulainya
sikap anti-Barat) merupakan masyarakat Jepang imigran, yang tentram dan
baik, sejak tahun 1933 jatuh di bawah pengaruh sikap-sikap anti-Barat dan
ekspansi Jepang ini. Insiden-insiden terjadi dan menjadi sedikit banyak suatu
alat dalam perekutan spionase, sumber anti-Barat dan lain-lain. Dari tahun
1939 perwira-perwira Angkatan Laut dan Darat Jepang sering meninjau
Indonesia sebagai turis atau pedagang-pedagang dan pegawai-pegawai firma
Jepang. Kapten Laut Unawa misalnya, hampir secara terbuka mempelajari
persoalan-persoalan angkatan laut dan peraiaran pantai di tempat-tempat di
Indonesia dengan didampingi oleh agen-ahen Jepang yang lain. Kira-kira
ada dua puluh empat perwira Jepang, di bawah jabatan dan namanya sebagai
perwira yang melancong sebagai turis ke Hindia Belanda dalam tahun 1940 .
Ada beberapa harian yang dibeli Jepang dan diterbitkan dalam
berbagai bahasa seperti bahasa Indonesia, Belanda dan Tionghoa. Selain itu,
radio Jepang juga beragitasi terhadap Hindia Belanda dalam bahasa
Indonesia, Belanda, dan Tionghoa, dan radio ini didengarkan di Indonesia.
Koran Jepang beragitasi dan wartawan-wartawan selama misi Kobayashi
kadang-kadang membuat berita-berita sensasi, seperti diberitakan oleh
16

mereka dalam bulan Juni 1940 bahwa 2.000 serdadu Inggris telah mendarat
di Jawa (berdasarkan laporan seorang wartawan Jepang yang mendengar
seorang serdadu Belanda berbahasa Inggris di suatu toko di pedalaman
Jawa). Angka 2.000 tentara Inggris ini oleh DOMEI (pusat berita Jepang)
dijadikan 20.000 tentara Inggris. Insiden-insiden dengan kapal-kapal nelayan
juga dibesar-besarkan

dan lain-lain oleh konsul Jepang yang agresif,

SAITO, yang mengambil peranan yang sangat penting dalam agitasi ini
untuk menyebabkan suatu keadaan histeris perang seperti yang termuat
dalam berita darinya : Penembakan membabi-buta oleh Angkatan Laut
Belanda terhadap kapal-kapal nelayan Jepang yang tak berdaya (1 Mei 1940
di Riau ) Bayangan ancaman perang dan serangan terhadap Hindia
Belanda terus berjalan selama perundingan.
Dalam misi Kobayashi ikut serta seorang agent-provacateur Jepang
yang tersohor; Katsujiro Kizaki, yang juga mengambil peranan dalam
menimbulkan insiden dalam perundingan-perundingan tahun 1934, yaitu
dengan menyuruh merusak suatu toko Belanda di Osaka. Selama
perundingan-perundingan dengan misi Kobayashi, insiden-insiden semacam
itu di Hindia Belanda dapat dibatasi dan hanya berjumlah kecil, entah karena
Kobayashi melarangnya atau karena awasnya polisi Hindia Belanda. Namun
hal ini toh menyukarkan dan menimbulkan keringat dingin di pihak Belanda
( Onghokham, 2014 : 48 54 )

Keputusan Jepang yang menuju Perang Pasifik diambil pada tanggal 2


Juli 1941 dalam suatu Konperensi Kemaharajaan yang dihadiri oleh Kaisar,
Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, Menteri Angkatan Darat, Menteri
17

Angkatan Laut, Menteri Dalam Negeri, Ketua Dewan Pesaehat Pribadi


Kaisar maupun para Kepala Staf Angkatan Angkatan Darat dan Angkatan
Laut. Keputusan diambil oleh Konperensi antara lain menggariskan bahwa
(1) Pemerintah Kemaharajaan bertekad untuk mengikuti suatu kebijaksanaan
yang akan menghasilkan pembentukan Lingkungan Kemakmuran Bersama
Asia Timur Raya dan Perdamaian Dunia, perkembangan internasional
bagaimanapun yang akan terjadi. Dan (2) Pemerintahan Kemaharajaan akan
melanjutkan usahanya untuk mencapai penyelesaian terhadap Insiden Cina
dan berusaha membangun dasar yang kokoh bagi keamanan dan
pengamanan bangsa. Hal ini akan meliputi suatu gerak maju ke Daerahdaerah Selatan dan, sesuai dengan perkembangan masa depan, juga
penyelesaian

daripada

Persoalan

Soviet

serta

(3)

Pemerintahan

Kemaharajaan akan melaksanakan program tersebut di atas meskipun akan


menghadapi halangan apa pun.
Untuk melaksanakan keputusan, diambil langkah-langkah segera,
sumber-sumber ekonomi negara diorganisasi untuk perang, gerakan masuk
ke Indocina dimulai dan rencana operasi terhadap Malaya, Indonesia,
Filipina, dan Papua Nugini disusun oleh Angkatan Darat, sedangkan
Angkatan Laut mulai melatih diri bagi serangan Pearl Harbor di Teluk
Kagoshima. Sementara itu Kabinet Konoye masih berusaha untuk
menghindarkan perang dengan Amerika Serikat.
Masuknya Jepang ke Indocina pada tanggal 24 Juli mengakibatkan
semua asset Jepang dua hari kemudian dibekukan oleh pemerintah Amerika
Serikat. Dan pada tanggal 29 Juli 1941, pemerintah Hindia Belanda
memutuskan untuk mengawasi semua eksport ke Jepang. Mereka juga
18

memperingatkan bahwa jika Jepang pada masa mendatang tidak berlaku


secara yang dapat diterima, Hindia Belanda akan melancarkan suatu blokade
ekonomi total.
Pihak Jepang tidak heran oleh tindakan represif Amerika dan Inggris.
Tetapi dekrit pemerintah Hindia Belanda itu tidak mereka duga sebelumnya.
Karena keputusan itu akan menghentikan import minyak yang masih
memungkinkan Jepang bergerak terus meskipun ada larangan Amerika dan
Inggris, maka ia menyebabkan pihak Jepang terkejut. Namun kegiatan
diplomasi berjalan terus yang berpusat pada tuntutan Amerika Serikat
supaya pasukan-pasukann Jepang ditarik mundur dari Indocina.
Dengan demikian akhirnya tibalah Jepang pada persimpangan jalan.
Ia harus memilih antara sikap mundur dengan menarik kembali pasukanpasukannya dari Indocina dan bahkan dari Cina seperti yang dihendaki
Amerika Serikat, atau menghadapi embargo di seluruh dunia yang akan
menyebabkan pencekikan ekonomi terhadap dirinya. Menurut perkiraan
militer, mereka mungkin masih mempunyai cukup sumber, terutama minyak
untuk melancarkan perang selama dua tahun. Pada waktu itu Hindia Belanda
sudah akan jatuh ke tangan mereka dan perbaikan yang diperlukan terhadap
mereka akan dapat memecahkan masalah minyak dan dapat siap untuk
menghadapi serangan balas.
Satu langkah lagi ke arah perang diambil pada tanggal 6 September
1941 dengan diselenggarakannya suatu Konprensi Kemaharajaan lagi yang
antara lain mengambil keputusan bahwa jika pada bagian awal bulan
Oktober tidak ada sesuatu harapan untuk sukses dalam perundingan
19

diplomasi, Jepang akan segera menentukan sikap untuk bersiap melancarkan


perang terhadap Amerika (dan Inggris dan Belanda). Dalam situasi seperti
itu sulitlah bagi Konoye untuk meneruskan usahanya untuk memelihara
perdamaian, dan karenanya pada tanggal 16 Oktober kabinetnya meletakkan
jabatan dan keesokan harinya Jenderal Tojo menjadi perdana menteri.
Pilihan antara perang dan damai didiskusikan secara mendalam pada
suatu konperensi penghubung antara Komando Tertinggi dengan Kabinet
yang berlangsung lpada malam hari tanggal 1-2 November 1941. Menteri
Luar Negeri dengan dukungan Menteri Keuangan mendesak agar supaya
meskipun perundingan dengan Amerika Serikat gagal, Jepang jangan
melancarkan perang, melainkan menunggu dan melihat bagaimana arah
perkembangan situasi internasional. Tetapi wakil-wakil Komando Tertinggi
yang meliputi Angkatan Darat dan Angkatan Laut dengan keras menentang
kebijaksanan seperti itu. Mereka menyatakan bahwa jika operasi-operasi
Angkatan Darat dan Angkatan Laut yang sedang mereka persiapkan tidak
dilaksanakan pada akhir tahun, maka kondisi cuaca yang tidak
mengutungkan akan memaksa penundaaannya selama hampir satu tahun.
Hal ini akan memberikan waktu kepada Amerika Serikat dan Inggris untuk
menambah pasukannya di Asia Tenggara sampai taraf yang membahayakan.
Tambahan pula, persediaan bahan mentah Jepang akan berkurang secara
terus menerus, dan jika tidak diambil langkah-langkah untuk menembus
blokade ekonomi, Jepang akan terdesak pada suatu posisi di mana ia tidak
akan dapat berjuang dengan harapan sukses dan dengan demikian akan
terpaksa menerima setiap syarat yang diajukan oleh Amerika Serikat
kepadanya. Persoalan yang menentukan adalah minyak. Persediaan Jepang
sudah mulai berkurang meskipun konsumsi sipil telah dibatasi sampai suatu
20

minimum dan di Cina tidak ada operasi-operasi militer yang sangat besar
yang sedang dijalankan.
Keputusan untuk perang diambil pada suatu konperensi penghubung
lain yang diselenggarakan pada tanggal 27 November. Keputusan itu
disahkan pada suatu Konperensi Kemaharajaan pada tanggal 1 Desember
1942 ( Nugroho Notosusanto, 1979 : 17 21 )
Setelah keputusan Koperensi Kemaharajaan pada tanggal 6 September
1941 bahwa Jepang harus mempersiapkan diri untuk perang. Angkatan Darat
mulai mengadakan persiapan-persiapan bagi kampanye di Asia Tenggara.
Persiapan-persiapan itu diakhiri pada ujung bulan Oktober, dan pada tanggal
6 November Markas Besar Kemaharajaan membentuk jajaran Tentara
Umum Selatan (biasanya disingkat menjadi Nampo Gun atau Tentara
Selatan) di bawah komando Jenderal (kemudian Marsekal Darat) Terauchi
Hisaichi)
Di bawah Tentara Selatan terdapat beberapa satuan bawahan yakni
Tentara Keempat belas di bawah Letnan Jenderal Homma Masaharu dengan
Filipina sebagai daerah operasinya. Tentara kelima belas di bawah Letnan
Jenderal Lida Shojiro di Muangthai dan Birma sebagai wilayah operasinya.
Tentara Keenam belas di bawah Letnan Jenderal Imamura Hitoshi dengan
Indonesia sebagai daerah operasinya dan Tentara Kedua puluh lima di bawah
Letnan Jenderal Yamashita Tomoyuki dengan Malaya sebagi daerah
operasinya. Di samping itu ada satuan-satuan lain yang langsung berada di
bawah Panglima Tentara Selatan seperti Divisi Udara Ke-3 di bawah Letnan
Jenderal Sugawara Mihio, Divisi Udara Ke-5 di bawah Letnan Jenderal
21

Obata Eiryo, dan Divisi Ke-21 yang berdiri sendiri di bawah Letnan Jenderal
Tanaka Hisaichi serta beberapa satuan kecil lainnya.
Pada waktu Imamura membawahkan Divisi Ke-2 di bawah Mayor
Jenderal Maruyama Masao, Divisi ke-39 di bawah Mayor Jenderal Sano
Tadayoshi, Divisi ke-48 di bawah Mayor Jenderal Tsuchihashi Yuetsu dan
Detasemen Sakaguhi di bawah Mayor Jenderal Sakaguhi Shizuo. Divisi ke-2
(yang diikuti oleh Staf Tentara Keenam belas) ditugaskan untuk merebut
Jawa Barat, dan baik Panglima maupun Kepala Staf Mayor Jenderal Okazaki
Seizaburo mendarat dengan satuan-satuan divisi ini di Banten, dari Divisi
Ke-38 satu brigade lainnya ditugaskan ke Palembang; satuan-satuan lain dari
divisi ini dibawah Kolonel Shoji mendarat di Eretan (sebelah barat irebon di
Jawa Barat) dan kemudian merebut Lapangan Udara Kalijati. Adapun Divisi
Ke-48 mendarat di Kragan (Jawa Tengah) dan selanjutnya menduduki Jawa
Timur. Detasemen Sakaguhi pertama kali mendarat di Kalimantan Timur
merebut Tarakan, kemudian terus ke Balikpapan dan selanjutnya ke
Bajarmasin dan akhirnya menggabungkan diri kepada Divisi ke-48 di
Kragan untuk menyerang menuju Bandar Cilacap.
Satuan-satuan Angkatan Laut yang digunakan dalam kampanye di
Asia Tenggara adalah dari Armada Selatan di bawah Laksamana Madya
Kondo Nobutake yang membawahi Armada Ke-2, Armada Ke-3, Armada
Ekspedisi Selatan dan Armada Udara Ke-11. Untuk mengangkut pelbagai
satuan Tentara Keenam belas ke Jawa sebagai sasaran terakhir, dibentuk
sebuyah angkatan tugas di bawah Laksamana Madya Takahashi Ibo,
angkatan-tugas ini dibagi atas dua gugus-tugas yang satunya terdiri atas 41
pengakut dikawal oleh dua flotia perusak dan diberi tabir oleh sebuah flotilla
22

lain yang terdiri atas satu divisi penjelajah dan satu divisi perusak. Terdapat
pula tiga kapal induk, satu divisi penyapu ranjau dan satu divisi buru-selam.
Setelah konsolidasi pasukan-pasukannya, pihak Jepang melakukan
reorganisasi di dalam jajaran Tentara Selatan. Tiga homen gun atau tentara
wilayah dibentuk, satu buat Birma dan dua untuk Indonesia dan Malaysia.
Tentara Keempat belas di Filipina dan Tentara Garnisum di Muangthai
langsung di bawah Panglima Tentara Selatan. Tentara-tentara di Indonesia
disusun sebagai berikut : dibawah Tentara Wilayah Ketujuh pimpinan
Jenderal Itaguki Seishiro (markas besar di Singapura) terdapat Tentara
Keenam belas (Jawa), Tentara Kedua puluh lima (Sumatera), Tentara Kedua
puluh sembilan (Malaya dan Singapura) dan Tentara Garnisum di Kalimatan.
Di bawah Tentara Wilayah Kedua pimpinan Jenderal Anami Korechika
(kemudian diganti oleh Letnan Jenderal Jimura Jo) markas besar di Davao,
kemudian Manado) terdapat pasukan-pasukan di Indonesia bagian timur
yakni Tentara Kesembilan belas (Maluku), Tentara Kedua (Irian Utara ),
Divisi ke-32) dan Brigade Ke-125 juga di Irian Utara )dan Brigade Ke-57 di
Sulawesi Utara.
Tentara wilayah ini, berlainan dengan Tentara Wilayah Ketujuh, tidak
mempunyai tanggung jawab administratif. Seperti yang kemudian akan di
sampaikan, di Kalimantan dan Indonesia bagian timur pemerintahan militer
dilakukan oleh Angkatan Laut. Satuan-satuan Angkatan Darat di sana hanya
bertugas untuk menghadapi kemungkinan dilancarkannya serangan balas
dari Australia.

23

Pembagian wewenang terhadap wilayah-wilayah Indonesia yang


diduduki adalah sebagai berikut : Sumatera dan Jawa masuk wewenang
Angkatan Darat, yang dilaksanakan masing-masing oleh Tentara Kedua
puluh lima dan Tentara Keenam belas. Sedangkan Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Nusatenggara dan Irian masuk wewenang Angkatan Laut.
Pemerintahan militer oleh Angkatan Laut dilaksanakan oleh Armada Ketiga
yang kemudian menjadi Armada Wilayah Barat Daya (Nansei Homen
Kantai) yang memakai aparat pemerintahan yang disebut Minseifu
( pemerintahan sipil) dengan markas besar di Makasar. Di bawah Minseifu
terdapat tiga aparat pemerintahan bawahan yang dinamakan minseibu,
masing-masing untuk eks Kalimantan-Belanda (markas besar Balikpapan),
untuk Sulawesi (markas besar Makasar) dan satu untuk Maluku dan
Nusatenggara (markas besar di Ambon). Irian ditempatkan di bawah satu
pemerintahan dengan Papua Nugini, yang kiranya didasarkan atas
pertimbangan strategis mengingat situasi perang.
Pasukan-pasukan Jepang yang mendarat di Jawa terdiri atas dua
divisi, yakni Divisi Ke-2 yang mendarat di Jawa Barat dan Divisi Ke-48
yang mendarat di Jawa Tengah dekat perbatasan Jawa Timur. Di Jawa Barat
pasukan-pasukan terdiri atas tiga resimen infanteri dan satu resimen
kavaleri, dengan bantuan satuan-satuan artileri, zeni dan angkutan. Di
samping itu masih ada satu detasemen tambahan dari Divisi Ke-38 yang
terdiri atas dua batalyon infanteri di bawah Kolonel Shoji. Di Jawa Tengah
dan Jawa Timur pasukan-pasukan terdiri atas tiga resimen infanteri beserta
sebuah brigade infanteri dengan bantuan satu batalyon pasukan perintis dan
beberapa satuan artileri dan zeni. Di samping itu terdapat pula Brigade

24

Sakaguchi yang sebelumnya telah merebut Tarakan, Balikpapan dan


Banjarmasin di Kalimantan sebelum mendarat di Jawa.
Yang menghadapi mereka di pihak Serikat adalah tiga resimen
infanteri Belanda, tiga batalyon Australia dengan dukungan dua kompi
pasukan berlapis baja, selanjutnya satu kompi taruna Akademi Militer
Kerajaan (KMA) dan Korps Pendidikan Perwira cadangan (CORO) di Jawa
Barat. Selanjutnya terdapat empat batalyon infanteri di Jawa Tengah, tiga
batalyon pasukan bantuan Indonesia dan satu batalyon marinir di Jawa
Timur, kesemuanya dibantu oleh satuan-satuan artileri, di antaranya terdapat
satuan Inggris dan Amerika.
Dengan demikian jelas bahwa pasukan-pasukan Jepang mempunyai
keunggulan dalam jumlah. Apa yang juga menentukan adalah bahwa pihak
Jepang mempunyai bantuan udara taktis, yang sama sekali tidak dimiliki
oleh pihak Belanda karena kekuatan udaranya sudah dihancurkan dalam
pertempuran-pertempuran pertama di bagian-bagian lain Indonesia maupun
di Malaysia. Pasukan-pasukan Jepang rupa-rupanya juga mempunyai
kelebihan dalam bidang yang lebih tinggi, kiranya karena kemenangankemenangan taktis yang mereka alami secara berturut-turut. Mengingat halhal tersebut, tidaklah mengherankan bahwa perlawanan Belanda runtuh
dalam waktu hanya satu minggu lebih sedikit ( Nugroho Notosusanto, 1979 :
22 26 )
Di dalam usahanya untuk membangun suatu imperium di Asia, Jepang
telah meletuskan suatu perang di Pasifik. Armada Amerika terkuat di Pasifik
yang berpangkalan di Pearl Harbour, Hawai, merupakan penghalang besar
25

bagi Jepang yang berambisi memiliki badan industri di negara-negara


Selatan. Oleh karena itu, untuk menghancurkan Armada Amerika, disusun
rencana serangan rahasia oleh Laksamana Isoroku Yamamoto pada bulan
September 1941. Pada bulan berikutnya, tanggal 26 November 191, Armada
Laksamana Noihi Naguno yang diangkat sebagai panglima operasi, bergerak
dari kepulauan Kuril. Dengan kekuatan puluhan kapal perang, antara lain
terdiri dari kapal induk, kapal selam, dan tanker, Armada Naguno berlayar
ke arah timur, menyebrangi lautan Pasifik melalui jalur pelayaran yang tidak
biasa dilayari kapal-kapal. Setelah berlayar kira-kira satu minggu, mereka
tiba di suatu tempat kira-kira tujuh ratus mil di sebelah utara Pulau Oahu,
Hawai. Pada tanggal 2 Desember 1941, ketika masih dalam pelayaran,
Laksamana Naguno menerima telegram sandi dari Yamamoto agar ia
melaksanakan serangan. Hari H ditetapkan tanggal 7 Desember. Dengan
kecepatan tinggi, Armada Naguno berlayar ke arah selatan dilengkapi
dengan kapal-kapal induk di tengah-tengahnya.
Gerakan Armada Naguno itu baru diketahui Amerika Serikat pada
saat-saat terakhir sebelum serangan. Serangan udara Jepang dimulai pada
hari Minggu pagi, hari libur, pada saat pasukan Amerika tidak siap
menghadapinya. Pada saat itu, di Pearl Harbour terdapat 96 kapal dari
pelbagai jenis yang merupakan inti kekuatan Armada Pasifik Amerika, di
bawah pimpinan Laksamana H.E Kimmel. Selain armada, terdapat dua
divisi infanteri dan di lapangan terbang Hikman dan Wheeler berderet 390
pesawat terbang dari pelbagai jenis.
Jepang melancarkan serangan udara gelombang pertama pada pukul
07.45 dengan mengerahkan 183 pesawat pengeboman yang didatangkan dari
26

kapal induk. Satu jam kemudian berlangsung serangan udara kedua.


Sebanyak 170 pesawat pengeboman dan pesawat tempur Jepang menyerang
Pearl Harbour. Di samping pengeboman pesawat-pesawat, Jepang juga
melakukan straffing dari udara. Sasarannya adalah kapal-kapal perang dan
pesawat-pesawat terbang Amerika serta instalasi militer seperti gudanggudang perbekalan dan bahan bakar.
Serangan berakhir kira-kira pukul 10.00. Dalam waktu singkat
Amerika Serikat mengalami kerugian besar dengan hancurnya 86 pesawat
terbang Angkatan Darat dan 97 pesawat terbang Angkatan Laut di lapangan
terbang Hickam dan Wheeler. Dari 86 kapal perang yang berlabuh di Pearl
Harbour, 19 tenggelam dan rusak. Korban jiwa di pihak Angkatan Laut
2.117 tewas, 876 luka-luka, dan 960 orang hilang, sedangkan di pihak
Angkatan Darat 49 orang tewas dan 396 luka-luka. Di pihak sipil sebanyak
49 orang tewas dan 83 orang luka-luka. Berbeda dengan Jepang, yang hanya
kehilangan 29 pesawat terbang dari 353 pesawat dan 55 pilot serta 6 kapal
selam mini (midget)
Lima jam setelah serangan mendadak di Pearl Habour, sore hari pada
tanggal 7 Desember 1941, Presiden Amerika Serikat Franklin Delano
Roosevelt menandatangani pernyataan perang terhadap Jepang, yang diikuti
oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenbourgh. Pada
tanggal 8 Desember 1941 pukul 06.30, Gubernur Jenderal ini melalui radio
NIROM mengeluarkan pengumuman yang disimpulkan sebagai pernyataan
perang pemerintah Hindia Belanda terhadap Jepang. Pernyataan perang ini
melibatkan Indonesia dalam perang melawan Jepang. Sebelumnya Indonesia
direncanakan menjadi sasaran serbuan Jepang, sesuai dengan Rencana
27

Tentatif bagi Suatu Kebijaksanaan Mengenai Daerah-Daerah Selatan yang


dirumuskan oleh Kementerian Angkatan Darat Jepang pada tanggal 4
Oktober 1941. Dalam rencana itu, Indonesia dianggap sebagai sumber bahan
strategis terutama minyak dan karet, yang harus dikuasai dengan cara
menduduki Indonesia
Sesuai dengan rencana dalam gerakannya ke selatan, Jepang
menyerbu pula ke Indonesia, yang diawali dengan serangan undara,
kemudian diikuti oleh pendaratan pasukan. Serangan udara dilancarkan
Jepang dari pangkalan Dawao (Filipina) dan kapal-kapal induk di Laut ina
Selatan. Tujuh ratus dari 15000 pesawat pelbagai jenis termasuk pesawat
tempur yang terkenal Zeke, dikerahkan Jepang untuk melakukan serangan
udara ke Malaya dan Hindia Belanda. Kekuatan udara ini yang merupakan
bagian dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut, memiliki 4.000 orang
penerbang yang berpengalaman terbang di atas 500 jam.
Sehari setelah Jepang menyatakan perang terhadap Belanda, dari
Davao dilancarkan serangan pertama pada tanggal 10 Januari 1942. Dalam
usahanya untuk menguasai instalasi minyak, pada tanggal 11 Januari 1942
Jepang mendaratkan pasukannya di Tarakan, Kalimantan Timur, dan
keesokan harinya komandan Belanda di pulau itu menyerah pada tanggal 12
Januari 1942. Setelah Tarakan dikuasai Jepang, 200 orang anggota pasukan
meriam Belanda dibunuh dengan alasan melanggar persetujuan tembakmenembak. Serangan selanjutnya adalah Balikpapan, yang merupakan
sumber minyak kedua. Tidak lama kemudian, pada tanggal 24 Januari 1942,
kota ini jatuh ke tangan Jerpang. Sebelumnya Jepang mengultimatum
komandan pasukan Belanda yang mempertahankan Balikpapan agar tidak
28

melakukan bumi hangus terhadap instalasi minyak, tetapi pembumihangusan


tetap berlangsung sehingga Jepang membunuh 80 orang Belanda dan
memaksa orang-orang Indonesia untuk menyaksikannya. Setelah pada
tanggal 29 Januari 1942 Pontianak berhasil diduduki Jepang, menyusullah
pada tanggal 3 Februari 1942 Samarinda. Sesampainya di kota tersebut pada
tanggal 5 Februari 1942, tentara Jepang melanjutkan penyerbuannya ke
Lapangan Terbang Samarinda II yang waktu itu masih dikuasai oleh Tentara
Hindia Belanda (KNIL). Dengan berhasil direbutnya lapangan terbang itu,
dengan mudah pula Banjarmasin diduduki oleh tentara Jepang pada tanggal
10 Februari 1942.
Serangan udara Jepang berikutnya adalah kota-kota lain di Indonesia
bagian timur. Dalam waktu singkat kesatuan udara Jepang berhasil
menduduki Ambon yang kurang mendapat perlawanan dari pihak Belanda
Keberhasilan Jepang lainnya adalah menguasai Morotai yang mempunyai
arti penting dalam pertempuran udara. Setelah kesatuan udara Jepang
berhasil menduduki Manado, Jepang melakukan pengeboman terhadap
lapangan terbang Kendari. Dengan dikuasainya Kendari, hubungan udara
antara Indonesia dan Australia terputus, dan pertahanan Belanda di Makassar
menjadi terancam. Dengan didahului oleh serangan udara, Jepang dengan
mudah mendarat di kota itu.
Dari pangkalannya di Laut Cina, pasukan Jepang melancarkan
serangan ke Sumatera. Sehari setelah menduduki Singapura, pada tanggal 16
Februari 1942. Palembang dan sekitarnya berhasil diduduki. Dalam serangan
ke Palembang, Jepang mengerahkan pasukan Jepang yang diangkut oleh
kira-kira 100 pesawat terbang, antara lain pesawat terbang Inggris
29

Lockhead Hudson yang berhasil dirampas di Malaka dan yang masih


bertanda gambar Inggris.
Dengan jatuhnya Palembang sebagai sumber minyak, terbukalah
Pulau Jawa bagi tentara Jepang. Dalam menghadapi ofensif Jepang, pernah
dibentuk suatu komando gabungan oleh pihak Sekutu yakni Amerian British
Ducth Australian Command (ABDACOM) pada tanggal 15 Januari 1942, di
bawah pimpinan Marsekal Sir Arhibald Wavell (Inggris) dengan markas
besarnya di Lembang, dekat Bandung. Panglima Angkatan Perang Hindia
Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten diangkat sebagai panhlima Angkatan
Darat, sedangkan Laksamana Thomas Hart sebagai panglima Angakatan
Laut ABDACOM. Kurangnya koordinasi yang baik antarkomando yang
mendahlukan kepentingan negaranya masing-masing menyebabkan Jenderal
Wavell dan Gubernur Jenderal Tjarda dalam perundingan pada tanggal 22
Februari 1942 sepakat untuk membubarkan ABDACOM dan menempatkan
Sekutu di bawah perintah Hindia Belanda. Pada akhir Februari 1942
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh telah
mengungsi ke Bandung disertai oleh pejabat-pejabat tinggi pemerintah Pada
masa itu Hotel Homan Dan Preanger penuh dengan pejabat-pejabat tinggi
Hindia Belanda.
Untuk mempertahankan kekuasaan Hindia Belanda di Pulau Jawa
terhadap

serangan

laut

Jepang. ABDACOM

(Sekutu)

membentuk

pertahanan laut yang dipusatkan kepada kesatuan pemukul (striking force) di


bawah pimpinan Laksamana Muda Karel Doorman yang berada di kapal
penjelajah Dde Ruyter. Kesatuan pemukul yang berada di Surabaya terdiri
dari dua kapal penjelajah berat, tiga kapal penjelajah ringan, sembilan kapal
30

perusak, sedangkan kesatuan pemukul di Tanjung Priok terdiri dari satu


kapal penjejalah berat, dua kapal penjelajah ringan, dan tiga kapal perusak.
Armada milik Belanda, Amerika, Inggris, dan Australia itulah yang
terlibat dalam pertempuran laut dengan armada Jepang pada tanggal 27
Februari 1942 di sebelah selatan Pulau Bawean, di Laut Jawa. Sekitar pukul
17.00 Laksamana Karel Doorman melihat iringan armada Jepang pimpinan
Laksamana Tagaki bergerak di timur laut Pulau Bawean. Kemudian Karel
Doorman menggerakkan armadanya dari Surabaya dengan pasukannya yang
masih keadaan letih. Dalam pertempuran Laut Jawa, sekitar pukul 16.00
kapal-kapal Jepang yang dilengkapi dengan torpedo mulai seranganserangan terhadap kapal-kapal Sekutu.. Dengan bantuan pesawat pengintai,
kapal-kapal Jepang dapat melancarkan tembakan-tembakannya secara
terarah. Sementara itu, Karel Doorman sulit mengetahui posisi-posisi kapal
Jepang yang terlindung oleh tabir asap. Hanya kurang lebih dua jam,
serangan-serangan

torpedo

Jepang

mengakibatkan

Karel

Doorman

kehilangan dua kapal perusak, Kortenaer dan Electra, sedangkan Exeter


mengalami kerusakan berat dan terpaksa kembali ke Surabaya dengan
kawalan Witte de With.
Dalam keadaan dengan Karel Doorman berusaha menyelamatkan diri
dengan membawa armadanya ke arah selatan yang dibayang-bayangi terus
oleh armada Jepang. Pada pukul 21.00 Armada Karel Doorman sudah berada
tidak jauh dari Tuban yang penuh dengan ranjau Sekutu. Kapal perusak
Jupiter yang melanggar ranjau mengakibatkan kapal ini akhirnya tenggelam.
Pada kapal Karel Doorman mengubah haluannya kembali ke utara, dalam
jarak 7 km, pada tengah malam, armada pimpinan Laksamana Tagaki
31

melancarkan serangan torpedo yang menyebabkan tenggelamnya kapal


penjelajah De Ruyter dan Laksamana Karel Doorman turut tenggelam di
dalamnya. Sebelumnya ia masih sempat memerintahkan kapal penjelajah
Houston dan Perth untuk menyelamatkan diri ke Tanjung Priok ( RP Soejono
dan RZ Leiressa ed, 2010 : 1 6 )
Pada saat tengah malam antara tanggal 29 Februari dan 1 Maret 1942,
pasukan utama Tentara ke-16 Jepang mulai mendarat di Merak dan Teluk
Banten. Pendaratan itu sendiri mendapatkan perlawanan sengit dari kekuatan
laut dan udara Sekutu yang sudah sangat sedikit jumlahnya, tetapi masih
bisa menunjukkan giginya. Di samping serangan kapal penjelajah Houston
dan Perth, yang tidak sengaja bertemu mereka, armada Jepang tersebut juga
digempur oleh sejumlah pesawat pembom Glenn Martin. Sebuah kapal
selam Belanda, K-15, juga turut beraksi. Gempuran meriam kapal, bom, dan
torpedo Sekutu berhasil menggelamkan sejumlah kapal pengangkut dan
kapal tanki Jepang.
Akan tetapi, sekalipun menghadapi perlawanan sengit, armada Jepang
berhasil mendaratkan pasukan mereka. Gelombang yang tinggi memaksa
para prajurit turun dari kapal-kapal mereka ke barkas-barkas pendaratan
melalui tanggal tali. Letnan Jenderal Imamura Hitoshi dan beberapa perwira
tinggi lainnya sendiri terpaksa berenang setelah kapalnya ditenggelamkan
dalam pertempuran laut melawan kapal penjelajah Houston dan Perth.
Barulah setelah 20 menit terombang-ambing di laut, mereka akhirnya
mendapatkan pertolongan. Ketika dia telah berada di pantai dan duduk di
tumpukan bamboo untuk mengeringkan diri, ajudannya mendatanginya dan
memberikan

ucapan

selamat

kepada

Imamura

atas

keberhasilan
32

pendaratannya ( Nino Oktorino, 2013 : 185 186 dan Onghokham, 2015 :


340 341 ))
Pertempuran-pertempuran di Jawa berakhir dengan kemenangan di
pihak Jepang dalam waktu yang sangat singkat terutama karena aksi pasukan
-pasukan di bawah Kolonel Shoji yang mendarat di Eretan, Jawa Barat, dan
segera setelah menginjak kaki ke pesisir, langsung masuk ke pedalaman dan
dalam waktu beberpa jam saja berhasil merebut Lapangan Udara Kalijati,
hanya 40 km dari Bandung. Pihak Jepang memperoleh pendadakan total :
pasukan-pasukan Inggris yang mempertahankannya tidak mempunyai waktu
untuk menghancurkan pesawat dan perbelakan di sana, sehingga beberapa
pembom maupun anumisi dan persedian bahan bakar jatuh ke tangan
Jepang. Pada hari itu juga seorang mayor jenderal Jepang telah tiba di
Kalijati dari Palembang dengan pesawat-pesawatnya yang direbut dua
minggu sebelumnya. Dalam hari-hari berikutnya pesawat-pesawat Jepang
yang beroperasi dari Kalijati memainkan peranan yang menentukan di dalam
menggagalkan serangan balas Belanda. Dalam tiga hari berikutnya dua
batalyon Kolonel Shoji dengan bantuan udara dari Kalijati melakukan usaha
penerobosan ke arah kubu pertahanan teralkhir pihak Belanda. Pada tanggal
7 Maret mereka sudah mengetuk pintu kota Bandung di Lembang setelah
runtuhnya posisi-posisi pertahanan Belanda di sekitar Ciater. Sementara itu
pasukan-pasukan dari Divisi Ke-2 telah mencapai Jakarta (yang telah
ditinggalkan oleh pasukan-pasukan Belanda dan dinyatakan sebagai kota
terbuka) serta Bogor.
Pasukan-pasukan Divisi ke-48 juga memperoleh serangkaian sukses
dan pada tanggal 8 Maret telah merebut Surabaya. Mereka bergerak melalui
33

tiga rute , rute utara Kragan-Bojonegoro-Lamongan-Gresik, rute tengah


Kragan-epu-Bojonegoro-Nganjuk-Jombang-Mojokerto

dan

rute

selatan

melalui Blora-Cepu-Kertosono-Jombang. Suatu kolonel lain meluncur ke


barat dari Kragan melalui Rembang-Pati-Kudus-Demak dan menduduki
Semarang tanpa mengalami perlawanan dari pihak Belanda. Sementara itu
Brigade Sakaguci bergerak ke bagian selatan Jawa Tengah dengan memakai
dua kolone, satu mengikuti rute Blora-Purwokerto-Kebumen-GombongCilacap. Pada tanggal 7 Brigade itu telah di tepi timur Sungai Serayu, garis
pertahanan terakhir pihak Belanda di Jawa Tengah. Di mana-mana pihak
Belanda tidak memberikan perlawanan yang berarti. Seringkali mereka
mengundurkan diri setelah kembali menembak singkat dan acap kali pula
sudah mundur sebelum ada seorang pun prajurit musuh kelihatan.
Pertarungan di Jawa diselesaikan di Jawa Barat, di mana pada tanggal
7 Maret pasukan-pasukan Belanda di sekitar Bandung meminta penyerahan
lokal. Pada waktu menerima berita dari Kolonel Shoji mengenai usul
penyerahan dari pihak Belanda. Jenderal Imamura mengirimkan pesan
bahwa masalah kapitulasi itu akan ditanganinya sendiri secara pribadi. Ia
memerintahkan Shoji untuk mentuntut penyerahan total daripada semua
pasukan Serikat di Jawa (dan bagian Indonesia lainnya). Jika pihak Belanda
tidak mengindahkan ultimatum Jepang, maka kota Bandung akan dibom dari
udara. Sebagai prasyarat tambahan ia juga menuntut kehadiran Gubernur
Jenderal Hindia Belanda di Kalijati untuk perundingan paling lambat pada
hari berikutnya. Jika ia tidak muncul pada hari yang ditentukan, pemboman
Bandung dari udara akan segera dilaksanakan. Pihak Belanda memutuskan
untuk memenuhi tuntutan Jepang dan keesokan harinya pada tanggal 8
Maret, baik Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer
34

maupun Panglima Tertinggi Angkatan Perang Belanda di Indonesia Letnan


Jenderal H Ter Poorten pergi ke Kalijati. Di sana mereka kemudian dijumpai
oleh Letnan Jenderal Imamura yang datang dari Batavia (Jakarta). Dalam
perundingan itu angkatan perang Belanda secara resmi menyerah kepada
Jepang dan dengan demikian pemerintah kolonial Belanda di Indonesia telah
berakhir ( Nugroho Notosanto, 1979 : 26 27 dan Onghokham, 2015 : 356
359 )
Bekas gubernur Jawa Barat/Menteri Dalam Negeri Sewaka dalam
menulis kenangan-kenangan zamannya, menulis tentang sebab-sebab
mengapa Jepang dengan demikian mudah dapat menduduki seluruh Hindia
Belanda. Dikatakan olehnya bahwa Jepang memberikan harapan-harapan
akan zaman yang lebih baik bagi Indonesia. Siaran-siaran dari radio Tokyo,
yang dibuka dan ditutup dengan lagu Indonesia Raya serta pidato-pidato dari
sana dan lain-lain memberikan harapan bagi kaum nasionalis dan mengambil
hati rakyat Indonesia. Bagi Sewaka sendiri perubahan zaman berarti satu
promosi yang mencolok, ia dari suatu jabatan di pamong praja Indramayu
dipindahkan ke Cirebon dalam kedudukan wali kota, yang dahulu dipangku
oleh seorang Belanda.
Kesan-kesan Sewaka tentang perlawanan Belanda terhadap Jepang
juga nihil. Belanda hampir sama sekali tidak melawannya. Debacle Hindia
Belanda dan tentara Belanda, tidak akan diimbangi dengan penaklukan
terhadap Indonesia untuk menaikkan derajat Belanda sekali lagi. Kesan
sikap kurang berani Belanda ini agak meluas rata di kalangan semua
penduduk dan di semua pelosok. Tentara Jepang yang memasuki kota dan
yang mendarat ini adalah terutama tentara tempur dan pelopor dan pakaian35

pakaiannya tidak terlalu mentereng, malahan compang-camping dan


kelihatannya sama sekali tidak gagah, tetapi justru seram dan jelek. Sma
sekali berbeda seratus persen dengan tentara KNIL, Belanda yang besar dan
ganteng, dengan pakaian yang mentereng serta tegap badannya. Seakan-akan
gajah kalah dengan keberanian Jepang atau macan (Belanda) yang tidak
melawan tetapi lari.
Kesan bahwa suatu babak baru mulai bagi Indonesia dengan
runtuhnya Hindia Belanda dan kesan di dalam jiwa tentang debacle ini juga
dapat terlihat dari cerita-cerita penyerahan di Jawa Timur (Sidoardjo) dan di
Batavia sendiri. Di kota mana setelah pada tanggal 5 Maret diproklamasikan
kota terbuka beberapa jam kemudian masuk tentara Jepang yang kurang
gagah kelihatannya. Ditambah dengan pandangan wali kota (Belanda) dan
residen (Belanda) dalam pakaian lengkap dibariskan mengelilingi seluruh
kota dan juga dari sikap mereka. Sebab ketika mereka ditawarkan bekerja di
bawah Jepang maka mereka menjawab pertanyaan ini dengan positif
( Bandung belum jatuh pada waktu itu) sampai mereka disodorkan formulir
dengan sumpah setia pada tentara Nippon, yang ditolak mereka. Lain-lain
pejabat tidak demikian membedakan .
Kita telah melihat di atas bahwa berbagai pejabat pamong praja
dengan masuknya Jepang ini akan naik tingkat dan bahwa tidak semua lalu
menangisi penguasa-penguasa dahulu. Lebih gembira adalah pemimpinpemimpin gerakan nasional dan pengikut-pengikutnya. Di Pasuruan sebagai
contoh dari persitiwa yang akan terjadi, suara-suara nasionalis ini terdengar
juga. Ketika residen Belanda mengumpulkan seluruh penduduk di kantor
Kresidenan Pasuran dan berpidato tentang penyerahan maka pada akahirnya
36

menanyakan siapa di antara yang hadir ingin berbicara atau menanyakan


suatu hal. Seorang pemuda Indonesia biasa, yang tidak terlalu terkemuka
berdiri dan membuat pidato yang menuduh Belanda dan perananannya di
Indonesia

sebagai

kolonisator.

Belanda

yang

hadir

hanya

dapat

memandangnya dengan muka merah.


Memang benar bahwa di banyak tempat rakyat menyambut masuknya
tentara Jepang dengan gembira dan baik, dan bahwa mereka pun tidak
pernah ikut serta dalam pertahanan Hindia Belanda atau peperangan.
Indonesia tidak ikut serta dan bertanggung jawab terhadap peperangan.
Tidak benar seperti pers Barat mengatakan pada bulan Maret 1942 ini bahwa
suatu kepulauan yang berpenduduk 60 juta dikalahkan, rakyat yang 60 juta
tidak dikalahkan, yang dikalahkan itu pemerintahan Hindia Belanda di
Indonesia.
Lebih gembira tentunya pemimpin-pemimpin nasional yang dinaungi
Belanda dan yang dibebaskan Jepang. Hal ini tanda-tanda buruk lain bagi
Belanda dan nasib selanjutnya di Indonesia. Kesan tentang kekuatan Jepang
dan kelemahan Barat besar sekali (Barat/Belanda). Soekarno dibebaskan dari
Bukittinggi untuk dibawa ke Jawa dan diberikan kedudukan penting
bersama-sama dengan Hatta yang sudah berada di Sukabumi. Runtuhnya
Hindia Belanda berarti pembebasan pemimpin Indonesia tersebut. Tetapi
juga untuk beberapa detik bagi mereka Nasib Indonesia selanjutnya penuh
pertanyaan ? Dan juga nasib mereka sendiri! Suatu babak baru dalam sejarah
dan riwayat orang-orang. Ada pemimpin-pemimpin lain yang juga
dibebaskan dan menunggu sikap Jepang; selanjutnya memberikan reaksi
apa-apa.
37

Reaksi rakyat sendiri di Pulau Jawa dalam suasana Gotterdammerung


(kiamat) adalah sesuai dengan keadaan. Keseraman suasana dan kekalutan
menyebabkan tidak ada kekuasaan di berbagai tempat. Peledakan dan
perusakan barang-barang sendiri dan seterusnya menyadarkan kebebasan
bertindak. Berkelompok-kelompok rakyat di sepanjang jalan invasi Jepang
dan di tempat-tempat lain lalu melakukan perampokan-perampokan,
perusakan-perusakan pada toko-toko Tionghoa, rumah-rumah Belanda,
pabrik-pabrik, dan perkebunan-perkebunan, atau lembaga-lembaga lain dari
Hindia Belanda. Ribuan orang berjalan sambil diam tanpa teriakan, hanya
terdengar suara-suara kaki yang berjalan, telanjang di atas aspal, untuk
kemudian menyerbu rumah-rumah, lembaga-lembaga, pabrik-pabrik dan
segala institut dari penjajahan, untuk merusak dan merampoknya, membakar
dan membunuh atau menunjukkan apa yang lazim menurutnya menyunati
orang-orang kafir. Di kota-kota seluruh pantai utara terjadi dan berlangsung
selama berhari-hari jawaban

massa yang diam. Di Banyumas dan

terutama di Surakarta terjadi kemarahan rakyat terhadap simbol-simbol


asing selama satu minggu yang penuh keseraman.
Penduduk Belanda baik yang di dalam kota maupun di luar kota
melarikan diri dan berkumpul di rumah gubernur Belanda di Surakarta. Di
sini mereka aman di jaga KNIL. Dalam vakum kewibawaan ini terlaksana
huru-hara

bagi

Indische

Burgerij.

Susuhunan

katanya

tidak

bisa

menghindarinya ataupun tidak berusaha dalam hal ini. Mangukunegoro VIII,


teman baik dari banyak orang Belanda dan yang dihormati oleh sarjanasarajana Belanda, mencoba mencegahnya tetapi perintah-perintahnya datang
terlambat. Tidak dapat menahan arus gelombang kemarahan rakyat. Di
38

Yogykarata tidak terjadi apa-apa di sana keadaan tetap tentram sebab sultan
mencegah segala kegoncangan dan melindungi orang-orang Belanda dalam
detik kekalahannya. Suatu sikap yang sangat dipuji Belanda tetapi
diinterprestasi salah, oleh karena sendiri. Seakan-akan sultan muda itu pro
Belanda. Peristiwa-peristiwa di Jawa Timur sepanjang pantai Pulau Jawa
tidak kurang seram. Kota-kota besar ternyata lebih aman daripada kota-kota
kecil dan pegunungan-pegunungan tidak aman sebaliknya diperkirakan
karena bahaya pengeboman terhadap kota-kota besar pada zaman perang. Di
kota-kota kecil terjadi kegoncangan dan dirasakan kekosongan kewibawaan
sehingga terjadi huru-hara terhadap Indische Burgerij.
Kerusuhan-kerusuhan terjadi sampai di sana-sini, tentara Jepang
mengembalikan kekuasaan setempat dan mendukungnya dengan bayonetbayonet yang sama seperti stadswacht. Terlaksanalah di sana-sini eksekusieksekusi dan lain-lain, biarpun pada permulaan mereka membiarkan kadangkadang terjadinya perampokan dan lain-lain ataupun menganjurkannya.
Tetapi tiap pemerintah memerlukan tata tentram dan ini dikembalikan
dengan keras dan cepat ( Onghokham , 2015 : 370 376 )

39

Vous aimerez peut-être aussi