Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
memperoleh
pengetahuan.
Dalam
hal
ini
Ihwan
Al-Shafa
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 31.
2
Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003)
hlm. 21.5
82
83
84
validitas
kebenaran
ilmu
pengetahuan.
Sikap
ini
untuk
85
yang lebih dari sekedar bersifat sensual; dia punya akal, punya hati nurani,
dan punya iman.5 Karena dalam keimanan itu tersimpan kekuatan-kekuatan
spiritual yang menakjubkan. Misal seseorang bisa memiliki kesadaran yang
tinggi dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sangat berat, bahkan
penuh resiko, karena dorongan potensi spiritual (iman) tersebut.6
Akal juga terdapat kekuatan spiritual. Akal manusia mempunyai
substansi spiritual yang sumber dan prinsipnya adalah Ilahi atau logos yang
juga merupakan prinsip alam jagat macrocosmic dan merupakan sumber
kitab suci, al-Quran seperti dipercayai oleh kaum Muslim, berada pada
akal Ilahi itu. Akal manusia sebagai individu, alam jagat sebagai
macrocosmic dan al-Quran mempunyai dasar atau sumber metafisika yang
sama-sama memiliki pengaruh besar pada metodologi sains dalam Islam.
Akal tersebut melakukan aktivitasnya yang disebut berpikir. Jika akal
memiliki substansi spiritual, maka dalam berpikir tentu juga dianugerahi
oleh kekuatan spiritual.7
Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa sesungguhnya ilmu dan berpikir
itu terjadi dengan sebab adanya kekuatan tertentu dalam diri manusia.
Lantaran adanya ilmu dan berpikir itulah, maka dapat mengembangkan
akal seseorang. Apa yang dikatakan Ibnu Khaldun dengan istilah kekuatan
tertentu dalam diri manusia itu sebenarnya adalah kekuatan yang
dianugerahkan atau kekuatan spiritual. Mestinya manusia menyadari dan
berusaha menghadapkan diri dengan penuh ketundukan kepada Sang
pemberi kekuatan tersebut (Tuhan), bukan malahan sebaliknya berusaha
menghina Tuhan dengan modal kekuatan tersebut, seperti para ilmuwan
dan filosof ateis Barat.8
Berdasarkan realitas spiritual tersebut, tidak mengherankan, jika
Ibrahim
5
Madkour
menuturkan,
bahwa
ada
banyak
filsafat
yang
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin, 1998), hlm. 72.
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin,
1992), hlm. 217-218.
7
Endang Saifudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987),
hlm.149-154.
8
Ibid.
6
86
kebahagiaan
tertinggi.9
Filosof
yang
menciptakan
ajaran
neoplatonisme yang juga guru dari Porphyrios ini ketika sedang ekstase
bukan hanya sekedar berhubungan dengan Tuhan, melainkan lebih dari itu
dia berusaha menyatu dengan Tuhan yang mirip atau mungkin sama
dengan kasus ittihad dalam kehidupan tasawuf, sebagaimana yang pernah
dialami Abu Yazid Al-Bustami, hulul, al-hallaj, Wahdatul Wujud, Ibn
Arabi dan sebagainya. Penyatuan dengan Tuhan tersebut dirasakan
melebihi segala pengetahuan.10 Sedangkan emanasi dari Plotinus ini
memandang, bahwa semua makhluk yang ada, bersama-sama merupakan
keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki
terdapat yang satu, yaitu Allah. Teori emanasi ini kemudian berpengaruh
dan diadaptasi oleh AI-Farabi dan Ibnu Sina di kalangan filosof Muslim.
Pengetahuan dalam Islam perolehannya itu lebih didominasi melalui
bantuan kekuatan spiritual, maka baik metode maupun objek pemikiran
ilmu pengetahuan dalam Islam lebih luas dan lebih bervariasi, daripada
yang dialami oleh sains modern Barat. Ilmu dalam Islam di samping tetap
menggunakan metode yang biasa dipakai sains Barat meskipun tidak
seluruhnya, juga memiliki metode sendiri yang tidak dimiliki oleh sains
Barat. Demikian juga objek pemikirannya, di samping terhadap masalah
yang dapat dijangkau oleh pikiran manusia juga masalah yang tidak mampu
dijangkau. Pada objek yang terakhir inilah peranan kekuatan spiritual
sangat besar, karena akal manusia hanya mampu menerima terhadap
ketentuan-ketentuan yang ada.
Ilmu pengetahuan Islam senantiasa berupaya untuk menerapkan
metode-metode yang berlainan sesuai dengan watak subjek yang dipelajari
dan cara-cara memahami subjek tersebut. Para ilmuwan Muslim dalam
mengembangkan beraneka ragam cabang pengetahuan telah menggunakan
9
Ibrahim Madkour, Filsafat Islam Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi Asmin,
(Jakarta: Penerbit Kanisius, 1993), hlm. 26.
10
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), hlm. 9.
87
setiap jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia, dari rasionalisasi dan
interpretasi kitab suci hingga observasi dan eksperimentasi. Penggunaan
metode yang beraneka ragam ini merupakan konsekuensi logis dari realitas
yang dirangkul ilmu pengetahuan Islam. Berbeda dengan sains modern
yang hanya membatasi ruang lingkup pada benda-benda yang bersifat
inderawi (observable facts), ilmu pengetahuan Islam bekerja pada wilayah
yang terpikirkan (conceivable area) dan wilayah yang tidak terpikirkan
(unconceivable area).11 Pada wilayah yang takterpikirkan ini ilmu
pengetahuan dalam Islam banyak diperoleh melalui metode-metode
spiritual yang tidak pernah dipakai oleh sains modern. Menurut M. Riaz
Kirmani, metode spiritual itu terdiri atas intuisi, inspirasi dan mimpi. Fakta
bahwa inspirasi dan mimpi adalah sumber pengetahuan jelas dari alQuran, seperti terkandung dalam Surat Al-Qasas 281: 7 dan Yusuf: 121:
4.12 Maka metode intuisi, inspirasi dan mimpi adalah contoh metode
spiritual, sedangkan sejarah, observasi, eksperimen, penalaran dan
penyimpulan termasuk metode-metode ilmiah (non-Spiritual).
Salah satu ciri utama ilmu pengetahuan Islam, menurut al-Quran
adalah berdasarkan wahyu yang ditempatkan di atas rasio. Wahyu
memperoleh kedudukan yang paling tinggi. Dalam upaya mengembangkan
ilmu pengetahuan Islam, yang akan dilakukan adalah menjadikan wahyu
Ilahi sebagai sumber kebenaran mutlak.13 Suatu kebenaran yang kokoh dan
tidak tergoda dan terbantahkan sedikit pun oleh kebenaran yang lain.
Wahyu Tuhan memberikan penyelesaian terakhir setelah akal tidak lagi
berdaya memecahkan suatu persoalan, tetapi wahyu juga terkadang
memberikan petunjuk awal dari suatu pencarian pengetahuan, sehingga
para ilmuwan untuk melakukan penggalian maupun percobaan ilmiah.
Ringkasnya wahyu menjadi tempat petunjuk dan konsultasi atau sandaran
11
88
memiliki
kedudukan
yang
paling
tinggi
sebagai
sumber
berkualitas,
daripada
kebenaran
yang
dicapai
akal,
karena
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UII Press, 1990), hlm. 14-16.
89
15
90
Al-Quran
sengaja
tidak
memberikan
rumus-rumus
ilmu
Sukanto, al-Quran Sumber Inspirasi, (Surabaya: Risalah Gusti, 1992), hlm. 9-14.
Ibid., hlm. 1-6.
91
dibebankan
pada
para
pemikir,
ilmuwan
atau
filosof.
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: PT. Reneka Cipta, 1992), hlm. 4-10.
Ibid.
92
ilmuwan
dapat
menyandarkan
aktivitas
atau
tindakan
Ibid.,
93
maksimal
untuk
menemukan
dan
110-114.
94
samping itu juga dapat mempertegas, bahwa ilmu dalam Islam tidak
mengenal pertentangan antara wahyu dengan akal.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Kindi seorang filosof Islam,
yang pertama kali menyelaraskan antara agama dan filsafat. Dia melicinkan
jalan bagi Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.26 Usaha penyelarasan AlKindi ini berperan mengembangkan filsafat sinkretis atau sinkritisme yang
memang memiliki keistimewaan karakter dari sistem yang dimiliki hampir
seluruh filosof Muslim. Mulai dari Al-Kindi inilah mereka berusaha
mengusahakan persesuaian antara agama dan filsafat. Mereka mengajukan
bentuk akidah melalui kesesuaian keduanya.27 Usaha penyelarasan agama
dan filsafat yang dirintis Al-Kindi tersebut tidaklah sia-sia, karena
diteruskan oleh filosof Muslim berikutnya, seperti Ibn Rusyd. Melalui
penafsiran secara rasional, dia mewarnai keselarasan antara agama dan
filsafat. Tradisi pemikiran yang senantiasa menyelaraskan agama dengan
filsafat (ilmu) atau wahyu dengan akal ini terus berlanjut hingga
perkembangan yang terjadi paling akhir sekarang ini di kalangan para
filosof maupun ilmuwan Muslim. Berdasarkan pengamatan mereka
terhadap fungsi wahyu dan akal, maka mereka meyakini sepenuhnya,
bahwa ada titik pertemuan antara keduanya. Keyakinan ini tidak
tergoyahkan sedikit pun mengingat telah jelas fungsi dan peranan masingmasing yang manfaatnya dapat dirasakan bersama. Akal dapat menemukan
kebenaran, apalagi wahyu justru memberikan kebenaran itu tanpa upaya
penelusuran. Sayang sekali Ibn Rusyd gagal menanamkan pengaruhnya
tentang keselarasan antara wahyu dan akal di Barat.
Tradisi pemikiran semacam ini memang tidak biasa terjadi di
kalangan para ilmuwan pada umumnya, terutama para ilmuwan Barat.
Mereka dapat menerima, bahkan menerapkan, bahwa akal sebagai alat
untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan. Namun, mereka menolak
wahyu sebagai alat yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah.
26
27
Ibid., hlm.
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 55-56.
95
Maka di kalangan mereka terjadi dikotomi secara tajam antara wahyu dan
akal. Bagi mereka wahyu terlepas dari akal, sedangkan akal sendiri mereka
yakini tidak memiliki hubungan sama sekali dengan wahyu. Keduanya
bergerak dalam wilayah yang berbeda, sehingga tidak perlu disatukan.
Wahyu bergerak pada wilayahnya dan begitu pula hal yang sama dialami
oleh akal. Jadi, keduanya praktis terputus satu sama lain yang tidak bisa
disatukan.
Dalam kenyataannya, para ilmuwan mengingkari pasangan ilmu dan
agama. Mereka mengambil pesan agama dengan bahasa ilmu. Mereka
hidup dalam keterpecahan sepanjang waktu. Mereka memisahkan bidang
agama dan bidang ilmu, padahal bidang itu pada dasarnya menyeluruh.
Maka oleh para ilmuwan adalah perlawanan antara akal dan agama,
kemudian mereka menciptakan perlawanan antara akal dan perolehan untuk
menjauhkan penglihatan menyeluruh clan hanya berkutat pada bagianbagian. Mereka kurang menyadari, bahwa sesungguhnya ilmu tanpa
didampingi agama akan menyimpang dari akidah yang benar atau
kebablasan, seperti kecondongan mengagungkan akal, sedangkan agama
tanpa didampingi ilmu akan dirasakan sebagai doktrin-doktrin semata yang
membelenggu penalaran dan pemikiran seseorang, karena tidak ada
penjelasan-penjelasan yang memadai dari agama, yang ada hanya
ketentuan-ketentuan normatif.
Mungkin lantaran pengaruh sikap ilmuwan tersebut, hingga
sekarang masih terkesan adanya pertentangan antara agama dan ilmu.
Antara agama clan ilmu pengetahuan masih dirasakan adanya hubungan
yang belum serasi. Persoalannya adalah sejauh mana agama dapat
dijangkau oleh jaringan komunikasi ilmiah. Ini menjadi masalah, karena
dalam bidang agama terdapat sikap dogmatis, sedang dalam bidang ilmu
terdapat sikap rasional dan terbuka. Antara agama dan ilmu Pengetahuan
memang terdapat unsur-unsur yang saling bertentangan. Ini yang tampak
dari luar. Namun sebenarnya, jika diamati secara mendasar dalam kondisi
tertentu bisa berkebalikan; dalam ilmu ternyata -terdapat banyak dogma,
96
sedangkan dalam agama masih terdapat sikap rasional dan inklusif. Hanya
saja pandangan dan kesan secara umum memang masih mempertentangkan
antara agama dan ilmu pengetahuan pertentangan ini dapat diungkapkan
secara diantaranya: Kalau dalam bidang agama terdapat sifat statis, di
dalam bidang ilmiah terdapat sikap dinamis, dalam agama itu terdapat
semacam sikap yang tertutup, sedangkan bidang ilmiah sangat terbuka,
kalau dalam agama terdapat sikap emosional sedang dalam bidang ilmiah
terdapat sikap rasional dan sebagainya.
Disamping karakter-karakter tersebut di atas pengetahuan Islam itu
memiliki beberapa orientasi yang dijadikan sebagai tujuan khusus dan
merupakan sebagai bentuk cirikas filsafat pengetahuan Islam. Adapun ciriciri tersebut yaitu:
A. Memiliki Orientasi Teosentris
Berpijak dari suatu pandangan, mengatakan bahwa segala ilmu itu
berasal dari Allah, ini merupakan salah satu perbedaan mendasar antara ilmu
dengan sains, maka implikasinya berbeda sekali dengan sains, ilmu
pengetahuan dalam Islam memiliki perhatian yang sangat besar kepada
Allah. Artinya ilmu tersebut mengemban nilai-nilai ketuhanan, sebagai
nilai yang memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi semua makhluk.
Sebaliknya, ilmu tersebut tidak boleh menyimpang dari ajaran-ajaran
Allah. Jika sains Barat tidak memiliki kepedulian kepada Tuhan, maka
ilmu dalam Islam selalu diorientasikan kepada Allah untuk mencapai
kebahagiaan hakiki.
Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak hanya semata-mata
berupaya mencapai kemudahan-kemudahan atau kesejahteraan duniawi,
tetapi juga kebahagiaan ukhrawi dengan menjadikannya sebagai sarana
dalam melakukan ibadah. Mahdi Ghulsvani menegaskan, Setiap ilmu
pengetahuan yang kita pelajari adalah merupakan suatu alat untuk
mencapai kedekatan dengan Tuhan, dan tidak mensakralkan suatu ilmu
pengetahuan
yang
diperolehnya,
karena
suatu
pengetahuan
yang
97
ilmu
hanya
berkaitan
dengan
syarat-syarat
formal
manusia
terhadap
Tuhannya.
Muhammad
Imarah
98
99
lain, ilmu dalam Islam memiliki sesuatu yang dimiliki dan sesuatu yang tidak
dimiliki oleh sains. Di sinilah letak kelebihan atau keunggulan ilmu dalam
Islam dibanding sains.28
Adapun keunggulan itu terletak pada faktor transendental. Sains Barat
yang masih ditandai oleh sikap-sikap intelektual dan intelektualistis, tidak
menghargai transendensi. Sebaliknya dalam banyak kebudayaan Timur,
transendensi tidak saja diakui, tetapi bahkan dianggap sebagai sesuatu yang
pencapaiannya perlu diusahakan oleh setiap insan. Dalam konteks Islam,
secara epistemologis, sumber segala ilmu itu transendental. Untuk menjaga
pikiran, kearifan dan kesucian ilmu-ilmu yang intransendental perlu
dikonsultasikan kepada yang transendental. Sebaliknya kita menggunakan
yang transendental secara reflektif, suatu upaya mondar-mandir antara
induksi-deduksi hampir setiap saat. Upaya ini tidak berdampak pada
perubahan yang intransendental menjadi transendental, tetapi dengan
harapan bahwa yang intransendental itu sedapat mungkin terilhami atau
tersinari oleh nilai-nilai transendental, sehingga perkembangannya masih
dalam kontrol pesan-pesan Tuhan.
Ilmu pengetahuan dalam Islam bersifat universal yang menyatu
dengan nilai-nilai Ilahiyah atau Ketuhanan. Maka keberagamaan atau
keimanan seseorang dalam ajaran Islam meliputi pernyataan tiga komponen
yang ada pada diri manusia, yakni hati nurani atau kalbu (tasdiq bi alqalb), lisan (iqrar bi al-lisan), dan perbuatan (`alnal bi al-arkan) yang
saling melengkapi satu sama lainnya. Umat Islam patut bersyukur, karena
ada tempat konsultasi yang lebih, daripada kebenaran etik insanivah,
yaitu kebenaran integratif ilahiyah. Hal ini disebut kebenaran integratif
ilahiyah, karena kebenaran yang terkandung dalam Al-Quran dan hadits
memberikan kepada manusia berupa ayat, isyarat, hudan dan rahmah.
Kebenaran ilahiyah merupakan kebenaran tertinggi, di atas
kebenaran tersebut tidak ada lagi kebenaran. Kebenaran inderawi,
28
100
Islam selalu
29
Ibid., 157
101
Ibid., 158
102
seorang ilmuwan itu akan dibentuk oleh pengaruh pengaruh yang diserap
selama hidupnya. Pengaruh-pengaruh tersebut bisa berbentuk agama,
ideologi, faham, latar belakang pendidikan, profesi, teori-teori pengetahuan
yang dikuasai, paradigma berpikir dan sebagai nya. Pengaruh-pengaruh
tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik disengaja
maupun kebetulan akan turut mewarnai hasil kerja ilmiah seseorang
ilmuwan termasuk menyangkut teori-teori ilmiah yang dirumuskannya. Dia
tidak bisa menghindar dari pengaruh-pengaruh itu, karena seringkali
muncul di luar kesadaran dirinya. Contoh yang paling sederhana, jika
seorang ilmuwan dalam mengungkapkan teori-teori ilmiah dengan
menggunakan pola berpikir atau pendekatan tertentu dari ilmuwan lain,
padahal pola berpikir dan pendekatan itu mengandung kelemahankelemahan, sementara itu ilmuwan lainnya lagi memiliki pola pikir dan
pendekatan yang berbeda sama sekali. Ini berarti pola pikir dan pendekatan
dari ilmuwan lain yang dipakai itulah yang mempengaruhi jalan
pikirannya, dan tentu juga berpengaruh sampai pada hasil pemikirannya
yang disebut bebas nilai itu.
Para ilmuwan tidak mungkin mampu membersihkan dirinya sendiri
dari
pengaruh-pengaruh
tersebut
ketika
memproses
suatu
ilmu
31
103
Ibid.,hlm.20-21.
104
dan
respons
masyarakat,
sehingga
pertimbangan-
pertimbangan aksiologis selalu ditempatkan menyertai pertimbanganpertimbangan episternologis, agar di samping mampu mencapai kemajuan
juga mampu mempertahankan keutuhan moralitas yang positif. A. Rashid
Moten menegaskan, dalam Islam ilmu harus didasarkan nilai dan harus
memiliki fungsi dan tujuan. Dengan kata lain, pengetahuan bukan untuk
kepentingannya sendiri, tetapi menyajikan jalan keselamatan, dan agaknya
tidak seluruh pengetahuan melayani tujuan ini. Sains-sains sosial dan
humanika jelas relevan terhadap nilai-nilai, sebaliknya nilai-nilai adalah
relevan dengan mereka. Ini tidak berarti bahwa sains-sains tersebut adalah
subjektif, walaupun subjektivisme seringkali masuk ke dalamnya, kadangkadang dengan jelas dapat dirasakan. Jelasnya, sains yang berorientasi nilai
tidak berarti subjektif, asal nilai-nilai tersebut tidak diam semata-mata
sebagai asumsi-asumsi, tetapi diobjektifkan.
Pentingnya nilai mendasari ilmu tersebut pada bagian lain juga
untuk kesejahteraan dan kekuatan manusia. Hanya dengan menempatkan
manusia sebagai subjek, maka manusia dapat memanfaatkan ilmu secara
optimal. Bila manusia ditempatkan sebagai objek maka dia tidak akan
mampu berperan secara leluasa dan derajatnya tidak lagi terhormat, seperti
dalam persepsi ilmuwan Barat. Barangkali tidak banyak ilmuwan Barat,
seperti Francis Bacon. Dia menyarankan, pengetahuan itu harus dapat
mendatangkan keuntungan bagi manusia, artinya la harus dapat dipakai
untuk meningkatkan kemampuan dan memperbesar kekuasaan manusia.
Francis Bacon seperti berupaya untuk mengingatkan para ilmuwan agar
bersikap memandang ilmu untuk kepentingan manusia, dan peringatan ini
agaknya untuk meluruskan fenomena yang sedang berkembang di Barat,
bahwa justru sebaliknya manusia untuk kepentingan ilmu, sehingga hanya
dipandang sebagai objek bagi proses kegiatan ilmiah. Memang banyak
105
106
Demikian juga yang terjadi pada hadist shahih. Mengenai nilai ini dalam
seminar di Stockholm pada 1981 tentang Pengetahuan dan Nilai
diidentifikasi 10 konsep yang menggeneralisasikan nilai-nilai dasar kultur
Islam: tauhid, khilafah, ibadah, ilm, halal dan haram, `adl, zulm, istislah dan
diya. Nilai-nilai in masih bisa diperdalam lagi secara detail dan
dikembangkan secara spesifik, jika diinginkan untuk menggalinya. Dengan
kata lain bahwa kitab suci sangat terikat nilai karena kitab suci adalah
pedoman hidup manusia.