Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
O
PY
Belum lama ini saya mengantarkan ke rumah sakit seorang kawan yang sedang mengalami
kecelakaan lalu lintas, dan langsung masuk ke Unit Gawat Darurat rumah sakit tersebut.
Bersamaan dengan masuknya seorang pasien yang baru saja terkena serangan jantung di
rumahnya. Pada waktu itu dokter belum datang, tidak lama kemudian dokter datang
memeriksa keadaan pasien yang terkena serangan jantung tersebut, dan ternyata pada saat
diperiksa ia sudah dalam keadaan meninggal. Rasanya belum lama ia terlihat hidup walaupun
dengan kondisi yang gawat, tetapi kini ia terlihat tergolek tak berdaya, baru saja ia disebut
sebagai manusia, sekarang disebut sebagai jenazah. Banyak orang berpendapat bahwa hidup
ini bersifat ironis, karena manusia sebenarnya tidak pernah meminta agar ia dilahirkan, tetapi
begitu ia lahir, mencintai hidup dan kehidupannya ia dihadapkan realitas yang sangat
menyakitkan hatinya. Manusia dihadapkan pada kematiannya, dihadapkan pada batas akhir
hidupnya, yang senang atau tidak senang harus dijalaninya, sebagaimana kelahirannya sendiri.
Goethe sendiri pernah mengatakan bahwa: Death is something so stranger that in spite
of our experience of we do not think it is possible for those we cheris; it always
surprise us something unbelievable and paradoxal. Kelahiran dan kematian yang harus
dijalaninya akhirnya menjadi salah satu misteri paling besar bagi manusia. Kematian, pada
dasarnya semua orang tahu, adalah kewajaran dalam hidup. Mati menjadi pasangan dari
hidup. Setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian. Tetapi kita memang sering tidak
memahami tentang datang dan harus kita hadapinya sang maut. Kematian datang pada diri
kita bagaikan pencuri, menyelinap masuk lalu keluar membawa ruh kehidupan kita dengan
meninggalkan jasad tergolek tak berdaya. Terasa hidup menjadi terlalu singkat, terasa banyak
tugas pekerjaan dan kewajiban yang belum terselesaikan. Kematian sering identik dengan
tragedi yang membawa banyak kesedihan bagi yang ditinggalkan. Kematian menjadi
dramatis, apalagi kalau peristiwa itu melibatkan diri kita, orang-orang dekat yang sangat kita
cintai, orang-orang yang sangat kita butuhkan, orang-orang yang mempengaruhi dan bahkan
menentukan jalur hidup kita. Sehingga meskipun manusia hidup di alam di mana semua
makhluk lahir, tumbuh, dan mengalami kematian. Tidak begitu mudah untuk menerima
kematian dirinya sendiri, kematian orang-orang yang dicintainya sebagai suatu kenyataan
yang wajar. Kita semua merasakan kesedihan yang barangkali bagi kebanyakan orang
luarbiasa, melihat dan mengalami kematian ayah dan ibu kita, orang-orang kita sayangi,
orang-orang baik yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau kematian yang mengenaskan dari
para korban pembunuhan sadis atau bencana alam. Kematian berarti keterpisahan dan jarak
yang ditimbulkannya menjadi tak terukur, tak terbatas. Semakin dekat jarak fisik dan emosi
kita dengan mereka, semakin tidak bisa kita terima keterpisahan ini. Semakin jauh jarak,
semakin terasa wajar kematian itu. Kendatipun demikian, akhirnya bagi seluruh manusia toh
kematian harus dan akan diterima sebagai nasib, sesuatu yang tak mungkin terelakkan.
*)
Kata Pengantar untuk buku Louis Leahy Hidup Atau Ketiadaan Esai mengenai Misteri Kematian
Attention: Dilarang mengutip tanpa ijin pengarang! Terima kasih. Achmad Charris Zubair
Sebagaimana kelahiran itu sendiri, kehidupan itu sendiri, kendatipun ada upaya untuk
mensikapi nasib, tetap tak terelakkan.
O
PY
bahwa saat datangnya kematian, jiwa berada pada puncak kemampuannya bertransendensi,
sementara badan berada pada puncak ketidakberdayaannya.
O
PY
Ibn Maskawaih seorang filsuf muslim pernah menulis dalam buku Tahdzibul Akhlaq wa
Tathhirul Araq bahwa, Sesungguhnya ketakutan akan kematian hanya melekat kepada
orang yang tidak mengetahui apa hakikat mati itu, atau tidak tahu kemana tujuan dirinya
sesudah mati, atau orang menyangka bahwa setelah jasmaninya rusak maka dirinya pun akan
hilang pula, atau orang yang mengira bahwa alam ini akan terus lestari sedang dirinya sudah
musnah karena ia tidak mengerti bahwa diri dan jiwa itu kekal, ia tidak mengerti bagaimana
jiwa itu kembali ke hadlirat Allah. Demikian juga rasa takut kepada maut hanya
menghinggapi orang yang menyangka bahwa kematian itu menyebabkan rasa sakit yang tak
terperikan, atau orang yang merasa sesudah matinya akan menerima siksa, atau orang-orang
yang merasa sedih dan menyesal akan berpisah dengan harta atau kesenangan duniawinya
(Hadikusuma, tt:38). Oleh karena itu pemahaman akan tugas-tugas manusia hidup
seharusnya lebih ditingkatkan. Bahwa manusia bukanlah sekedar makhluk jasmani yang tidak
memiliki amanat hidup yang semestinya ia kerjakan justru demi martabat dirinya sendiri.
Sehingga masalah yang paling hakiki adalah kualitas hidup dan mati itu sendiri yang akan
menentukan kualitas martabat manusia secara keseluruhan. Sedangkan sejauhmana panjang
dan pendeknya usia sebagai jarak antara kelahiran dan kematian manusia menjadi kurang
penting. Persoalannya bukan terletak pada hitungan waktu duniawi, melainkan apa yang kita
isi pada saat rentang waktu tersebut. Apakah kita sebagai manusia dinamis dalam pengertian
mentransendensikan hidupnya, semakin meruhani ataukah statis dalam pengertian tetap
menjasmani hidupnya. Dalam bahasa agama, keberhasilan manusia adalah manakala ia
menggunakan hidupnya untuk semakin dekat kepada Allah, sementara kegagalan hidup
manusia adalah manakala ia bergelimang dosa. Dalam hal ini bagi orang-orang yang baik dan
berhasil dalam hidupnya, yang mampu bertransendensi, yang mampu mengatasi badan bukan
sebagai tolok ukur tujuan hidupnya, kematian pada dasarnya merupakan kesempurnaan
eksistensinya sebagai manusia.
Pengertian dan pemahaman tentang kematian yang sekedar ditanggapi sebagai peristiwa yang
menakutkan dan mengancam keberadaan manusia semata-mata perlu dijernihkan. Sebab
fenomena kematian itu sendiri merupakan fenomena yang bersifat alamiah dan sesuai dengan
ketentuan Allah itu sendiri. Kullu nafsin dza iqatul mauut, setiap yang berjiwa pasti
mengalami kematian. Rekonstruksi pemahaman tentang kematian sebagai kewajaran dalam
hidup manusia, dengan sudut pandang ruhaniah, perlu dilanjutkan. Untuk terakhir kalinya
saya akan mengutip suatu kesimpulan yang ditulis oleh saudara Arif Widodo dalam skripsi
untuk mencapai gelar kesarjanaan di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada yang berjudul
Laku Icip Pati Sebagai Langkah Metodis untuk Mencapai Derajat Kemulyaan
Hidup (1995): Kita sering memahami kematian sebatas kejadian pasif pada manusia yang
berupa membujurnya tubuh menjadi mayat. Pemahaman yang demikian selayaknya dirombak
dengan membangun pemahaman kematian dari dimensi ruhaniah. Dimensi inilah yang
terpenting untuk memberikan makna fenomena kematian tidak menjadi pasif (sekedar
tangkapan pengetahuan inderawi), namun lebih dari itu manusia harus mampu
memanfaatkan dimensi ruhaniahnya untuk mengungkap tabir misteri kematian agar
pemahamannya sampai pada pemahaman tentang kematian yang aktif. Artinya,
pemahaman tentang fenomena kematian manusia bukan sekedar pengetahuan tentang
peristiwa alamiah yang pasti dialami oleh setiap makhluk, namun kelurusan pemahaman
tentang kematian harus bermuara pada dimensi ruhaniah manusia, agar pengetahuan yang
Attention: Dilarang mengutip tanpa ijin pengarang! Terima kasih. Achmad Charris Zubair
O
PY
Dalam refleksi yang sederhana ini saya akan menyimpulkan bahwa, kedalaman pemahaman
manusia dalam menyingkap tabir kematianlah yang diperlukan manusia untuk mengaktualisasikan diri sepenuhnya dalam kehidupan ini. Pemahaman atas kematian yang benar akan
menyadarkan manusia bahwa kehidupan dunia bagi manusia hanyalah tahapan yang harus
dilalui agar ia kembali ke rahmatullah atau kembali ke haribaan Tuhannya. Seperti layaknya
manusia yang pulang ke kampung halaman yang dirindukannya. Di sinilah makna hidup
yang sesungguhnya, di mana manusia menemukan makna hidup justru dengan memahami
awal dan akhir hidupnya.
Attention: Dilarang mengutip tanpa ijin pengarang! Terima kasih. Achmad Charris Zubair