Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Amelia Fitriani
108083000057
l'
Jatrta-
2' Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisaa id telah saya cantumkan
dengan ketentuaa yaag berlaku di universitas
Islam Negeri
sesuai
Jal(arta
3'
::- ::t,
AmeliaFitriani
Nama
NIM
: 108083000057
AmeliaFitriani
Tehh
menyel
Penerapan The Policy o{Peace and ProsperigrKorea Selatan Terhadap Korea Utara di
diuji.
Menyetujui
Pembimbing,
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di fakultas Ilmu Sosial dan llmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullatr, Jakarta pada tanggal 25
gelar
Septcmber 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
smjana sosial (s.sos) pda Program studi Hubungan Internasional'
Ketua,
Penguji I,
Penguji II,
Bpdi Satari.M^{
Ditoima dan dinptakan memenuhi sprat kelulumn pada tanggal 25 September 2013
ABSTRAK
Nama : Amelia Fitriani
NIM
: 108083000057
Penerapan The Policy of Peace and Prosperity Korea Selatan Terhadap Korea Utara
di Bawah Pemerintahan Roh Moo-hyun
Skripsi ini melakukan analisa mengenai penerapan the Policy of Peace and
Prosperity yang merupakan kebijakan resmi Korea Selatan terhadap Korea Utara di
bawah pemerintahan Roh Moo-hyun (2003-2008). Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisa bagaimana kebijakan tersebut diterapkan, serta instrumen apa saja yang
digunakan dalam penerapannya. Penulis menggunakan metode analisis kualitatif yang
bersifat deskriptif analitis dalam melakukan penelitian ini. Dalam temuan penulis, the
Policy of Peace and Prosperity mampu meningkatkan partisipasi aktif Korea Utara
dalam berbagai instrumen yang digunakan, seperti dalam kerjasama ekonomi melalui
Kaesong Industrial Complex dan proyek wisata Gunung Kumgang. Selain itu,
kebijakan itu juga mampu melibatkan Korea Utara melalui program pertemuan
kembali keluarga yang terpisah. Korea Selatan dan Korea Utara juga secara bersamasama terlibat dalam Pembicaraan Enam Pihak (Six Party Talks) bersama dengan
Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan Jepang untuk membahas masalah Semenanjung
Korea.
Akan tetapi, kebijakan Roh Moo-hyun mendapat hambatan eksternal, terutama
dari Amerika Serikat yang sejak dipimpin oleh pemerintahan George W Bush
melakukan perubahan dalam kebijakannya terhadap Korea Utara. Perubahan sikap
Amerika Serikat yang cenderung keras terhadap Korea Utara kemudian memicu pada
gagalnya penerapan Agreed Framework 1994. Kegagalan Agreed Framework 1994
turut membawa perubahan sikap Korea Utara menjadi lebih agresif dengan menarik
diri dari NPT dan menghidupkan kembali reaktor nuklirnya sebagai respon terhadap
Amerika Serikat. Sikap Korea Utara yang cenderung lebih agresif tersebut kemudian
mempengaruhi penerapan the Policy of Peace and Prosperity.
Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana penerapan the Policy of Peace
and Prosperity diterapkan kepada Korea Utara, penulis menggunakan teori kebijakan
luar negeri, konsep diplomasi, dan bantuan luar negeri.
Keyword: the Policy of Peace and prosperity, Diplomasi, Roh Moo-hyun
KATA PENGANTAR
Sujud sukur atas rahmat Allah SWT yang telah memberikan penulis
kesempatan, kekuatan, kesadaran serta kesabaran untuk bisa menyelesaikan
penulisan skripsi yang berjudul Penerapan The Policy of Peace and Prosperity
Korea Selatan Terhadap Korea Utara di Bawah Pemerintahan Roh Moo-hyun
demi penyelesaian pendidikan tingkat tinggi ini.
Selama proses pengerjaan skripsi, penulis banyak menghadapi kendala dan
juga rintangan. Namun di saat yang bersamaan, penulis mendapat bantuan serta
dukungan dari berbagai pihak. Tanpa bantuan dan jasa dari pihak-pihak tersebut,
penulis tidak akan mampu bertahan sejauh ini dalam proses pendidikan maupun
dalam pengerjaan skripsi ini. Sehingga, dalam lembaran ini, penulis ingin
setidaknya menuliskan dan mencurahkan rasa terimakasih kepada mereka, agar
jasanya dapat penulis kenang seumur hidup.
Dengan segenap rasa hormat dan kerendahan hati, penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ayahanda penulis, Drs. H. Supiyanto yang selalu bersedia memeras
keringat dan memutar otaknya demi memperjuangkan pendidikan
penulis dan ketiga adik penulis. Terimakasih, Pah atas perjuanganperjuangan Papa yang tidak kenal lelah. Terimakasih atas setiap tetes
keringat yang telah Papa keluarkan untuk membuat keluarga dan anakanaknya hidup layak dan mendapatkan pendidikan terbaik. Papa
adalah ayah terbaik.
vi
vii
viii
angkatan 2008 lainnya, terimakasih atas kenangan yang telah samasama kita buat bersama.
11. Seluruh staf akademik di jurusan HI UIN yang telah banyak membantu
penulis dalam pengurusan administrasi serta dokumen-dokumen
lainnya. Terutama untuk Pak Jajang yang selalu ramah menyapa dan
sigap melayani kebutuhan akademik para mahasiswa FISIP secara
umum, dan penulis secara khusus. Terimakasih banyak, Pak.
12. Profesor Chung-in Moon serta Seung-chan Boo yang juga secara
langsung dan tidak langsung telah membantu penulis dalam pengerjaan
skripsi ini. .
Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu penulis secara langsung maupun tidak
langsung, yang telah memberikan dukungan moril maupun materil. Penulis
meminta maaf yang sebesar-besarnya karena tidak mampu menyebutkan satu per
satu dalam lembaran ini. Namun penulis menghargai dukungan tersebut dan
mengucapkan terimakasih banyak.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................
vi
xii
xiii
xiv
xv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................
B. Pernyataan Penelitian........................................................
2. Diplomasi ...................................................................
11
14
17
19
21
21
24
26
29
37
43
48
1. Diplomasi ..................................................................
48
58
59
60
63
65
67
68
70
xi
BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan ......................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
82
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1
Gambar III.2
Gambar III.3
xii
DAFTAR TABEL
Tabel. II. A. 1
Tabel. III.B.1
Tabel. III.B.2
Tabel. III.B.3
Tabel. III.B.4
Tabel. III.B.5
45
Key Statistics
for the Kaesong Industrial Complex .......................
51
Production by Category
in the Kaesong Industrial Complex .........................
52
54
Number of Families
Involves in Face to Face Family Reunions
and Video Conference (1985, 2000-2007) ..............
56
58
xiii
DAFTAR SINGKATAN
APPC
DK
Dewan Keamanan
DPRK
IAEA
KIC
NPT
PBB
Perserikatan Bangsa-Bangsa
ROK
Republic of Korea
USAMGIK
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
xvi
Lampiran II
xxiii
Lampiran III
xxvii
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semenanjung Korea merupakan dataran yang membentang sepanjang 1.100
kilometer dari arah utara ke selatan. Pada tahun 1910, Korea dijajah oleh Jepang dan
merdeka pada akhir Perang Dunia kedua, yakni tahun 1945. (Pelayanan Kebudayaan,
2008: 14). Sekalipun akhir Perang Dunia kedua membawa pembebasan secara
nasional bagi penjajahan Jepang, namun hal tersebut tidak serta membawa jaminan
atas otonomi dan kemerdekaan penuh di Korea. Adanya kekuasaan politik antara
Amerika Serikat dan Uni Soviet menyebabkan terjadinya pembagian dua Korea
sepanjang garis 38 derajat lintang utara yang memperdalam konfrontasi ideologi
maupun militer antara Korea Utara dan Korea Selatan. Adanya intervensi serta
pembagian nasional turut mengarahkan dua Korea kepada dua jalur perkembangan
yang berbeda, baik dalam hal perkembangan politik, ekonomi, sosial-budaya,
maupun militer. Korea Selatan menerapkan prinsip demokrasi ala barat (westernstyle democracy) dan kapitalisme. Sementara, Korea Utara melakukan proses
Sovietisasi (a process of Sovietization) dimana kediktatoran proletariat dan
sosialisme
menjadi
prinsip
yang
diterapkan
pada
tata
perpolitikan
dan
Istilah Sunshine Policy (dalam Haggars dan Noland, 2008: 111) diambil dari
dongeng Korea mengenai angin dan matahari. Dalam dongeng diceritakan tentang
matahari dan angin yang bersaing untuk melihat siapa yang mampu membuat
seorang pejalan kaki melepaskan jas yang sedang dikenakannya. Ketika angin gagal
melakukannya
walaupun
sudah
berhembus
keras,
matahari
menggunakan
kehangatannya untuk membuat pejalan kaki itu melepaskan jasnya. Kim Dae-jung
berpendapat bahwa sinar matahari akan lebih dapat memberikan dampak efektif
dibandingkan dengan kekuatan angin dalam mempengaruhi Korea Utara untuk tidak
lagi mengisolasi diri dan tidak lagi bersikap konfrontatif.
berarti mendorong
militer
yang
akan membantu Korea Utara keluar dari isolasi negara-negara Barat. (Yoo, 2004:
110).
Menurut data yang dikutip dari artikel Chae Kyung-suk berjudulThe Future of
the Sunshine Policy: Strategic for Survival. (2002: 7-8), salah satu bentuk
implementasi dari instrumen-instrumen kebijakannya tersebut adalah seperti pada
tahun 1998, Korea Selatan memberikan total 11 juta dolar jagung (30.000 ton) dan
tepung (10.000 ton) dalam bantuan ke Utara yang disalurkan melalui Program
Pangan Dunia (World Food Programme/WFP). Selain itu, Sejak 1999, Korea
Selatan juga membantu menyelesaikan akar penyebab permasalahan ketersedian
pangan di Korea Utara dengan mengirimkan pupuk. Kemudian pada tahun 1999,
Korea Selatan menghabiskan 46.2 juta won untuk mengirim 155 ribu ton pupuk
kepada Korea Utara. Penyediaan pupuk ini dilakukan kembali pada tahun 2001,
ketika Korea Selatan menyediakan 200.00 ton pupuk untuk Korea Utara. Selain itu,
Korea Selatan juga memberikan 500 dollar obat-obatan melalui Organisasi
Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) untuk program pemberantasan
penyakit di Korea Utara. Selain itu juga, pada Mei 2001, Korea Selatan mengirim
obat-obatan, peralatan pengendali hama, vaksin imunisasi dan produk perawatan
medis lainnya kepada Korea Utara.
hubungan antar-Korea dan tidak dengan diberi balasan atau ganti yang setara (dalam
arti bentuk dan jumlah bantuan yang telah diberikan). (Govindasamy, 2012: 5).
Hasil penerapan Sunshine Policy yang dilakukan oleh pemerintah Kim Daejung membawa kemajuan bagi hubungan dua Korea. Pencapaian-pencapaian penting
yang berhasil direalisasikan antara lain adalah pada 1998, Kim Dae-jung berhasil
melancarkan proyek bersama antar Korea yakni proyek pariwisata dan turisme
Gunung Kumgang dan proyek komplek industri Kaesong di Korea Utara. Selain itu
juga, pada Juni 2000, ia berhasil melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi Korea
(Korean Summit) yang dilakukan oleh presiden Kim Dae-jung dan pemimpin Korea
Utara, Kim Jong-il. (Moon, 2000: 4).
Penerapan Sunshine Policy dibawah pemerintahan Kim Dae-jung dilanjutkan
oleh
pemerintahan
selanjutnya,
yakni
Roh
Moo-hyun.
Pemerintahan
Policy.; (2) Kang In-duk, Menteri Unifikasi Korea Selatan periode 2001-2002,
menulis dalam artikel yang berjudul Toward Peace and Prosperity: The New
Governments North Korea Policy yang diterbitkan dalam jurnal East Asian
Review, Vol. 15, No. 1, Spring 2003 menuliskan bahwa In his inaugural address,
Roh outlined his new Peace andProsperity Policy which will maintain the general
framework of theSunshine Policy while aiming at a more widespread
nationalconsensus
and
bipartisan
cooperation,
two
areas
that
the
and Prosperity yang juga merupakan istilah umumuntuk merujuk secara spesifik
pada kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di bawah pemerintahan Roh
Moo-hyun.
Pemerintah Roh dalam menjalankan kebijakannya berada pada kondisi
internasional yang berbeda dari pemerintah sebelumnnya.Roh Moo-hyun mewarisi
peluang sekaligus tantangan dari penerapan kebijakan tersebut.Ia memiliki
keuntungan karena sudah ada bentuk dasar atau bentuk nyata, hasil dari warisan
pemerintah sebelumnya atas Sunshine Policy. Misalnya, proyek pariwisata Mt.
Kumgang yang mulai dijalankan sejak tahun 1998 dan Korean Summit bersejarah
yang terjadi pada tahun 2000. Terkait hal tersebut, pemerintah Roh mendapat
keuntungan, yakni dapat melanjutkan dan mengembangkan program yang sudah
dicapai oleh pemerintahan sebelumnya demi melancarkan tujuan kebijakannya
terhadap Korea Utara. (Do-Hyeong, 2004: 97).
Namun disamping itu, pemerintah Roh Moo-hyun juga menghadapi
tantangan dalam menjalankan kebijakannya tersebut. Salah satu tantangan yang
dihadapi oleh Sunshine Policydatang dari Amerika Serikat. Selama masa
pemerintahan Kim Dae-jung, Presiden Amerika Serikat yang pada saat itu adalah
Bill Clinton (1993-2001), turut berperan aktif dalam mendukung kebijakan
pemerintah Korea Selatan terhadap Korea Utara. Bill Clinton turut terlibat dengan
Korea Utara serta membuat terobosan dalam hubungan Amerika Serikat-Korea
Utara, salah satunya adalah dengan dilakukanya kunjungan Madeleine Albright
(menteri luar negeri Amerika Serikat pada masa Bill Clinton) ke Pyongyang pada
Oktober 2000. Sementara itu, berbeda dengan masa pemerintahan Bill Clinton, pada
masa pemerintahan George W. Bush yang secara resmi diawali pada tahun 2001
menerapkan kebijakan keras (hardline policy) terhadap Korea Utara yang dikenal
dengan istilah informal Anything but Clinton (ABC). (Moon, 2012: 79). Hal
tersebut menunjukkan adanya perubahan sikap dari Amerika Serikat yang pada masa
Bill Clinton sebelumnya mendukung kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara
dengan soft diplomacy yang dilakukannya, berubah dengan hardline policy yang
diterapkan oleh Presiden George W. Bush.
Salah satu hardline policy yang dilakukan oleh presiden Bush adalah ketika
ia menyebut Korea Utara sebagai salah satu poros setan (exis of evil) tahun 2002
pasca peristiwa 9/11. Lim Dong-woon, salah satu perancang utama Sunshine Policy
(dikutip dari Moon, 2012: 79) secara terbuka menyalahkan presiden Bush dan
pemikiran neo-konservatifnya atas perubahan yang terjadi di Korea. Ia juga
menyatakan bahwa sebutan poros setan yang disebutkan oleh presiden Bush
terhadap Korea Utara serta sikap presiden Bush yang menunjukkan keinginannya
untuk menghancurkan rezim Korea Utara melalui serangan pre-emptive membuat
kejutan bagi masyarakat Korea Selatan.
Disamping itu, tantangan lain yang juga dihadapi oleh pemerintah Roh Moohyun adalah sikap dari Korea Utara yang pada bulan Januari 2003 menarik diri dari
Non-Proliferation Treaty (NPT) dan membuang peralatan pemantauan milik
International Atomic Energy Agency (IAEA) di reaktor nuklir di Yongbon. Setelah
itu, Korea Utara kembali menghidupkan reaktor nuklirnya tersebut. (Kim, 2005: 13).
Hal tersebut menunjukkan bahwa Korea Utara kembali bersikap agresif kepada
dunia internasional dengan mengoperasikan reaktor nuklirnya. Hal tersebut menjadi
tantangan tersendiri bagi pemerintah Roh Moo-hyun, yang pada saat itu baru
B. Pertanyaan Penelitian
C. Kerangka Teori
C.1
Setiap negara memiliki kepentingan serta tujuan nasional yang ingin dicapai
dengan melakukan interaksi dengan negara ataupun aktor lain dalam politik
internasional. Rumusan kepentingan nasional serta tujuan bersama suatu negara
diformulasikan ke dalam kebijakan luar negeri.Setiap negara dan setiap periode
pemerintahan negara memiliki rumusan kebijakan luar negeri yang berbeda,
tergantung pada situasi ataupun kondisi domestik maupun internasional yang sedang
terjadi.
Selain itu, kebijakan luar negeri dapat dikatakan sebagai strategi atau rencana
tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara
lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan
nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional. Untuk
memenuhi kepentingan nasionalnya itu, Negara-negara maupun aktor dari Negara
tersebut melakukan berbagai macam kerjasama diantaranya adalah kerjasama
bilateral, trilateral, regional, dan multilateral. (Perwita dan Yani, 2005: 49)
Dengan kata lain. Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana
tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan Negara dalam menghadapi
Negara lain atau aktor politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk
mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan
nasional.
Dalam proses kebijakan luar negeri suatu Negara, ada dua tahap utama yang
dilaluinya,
yakni:
proses
pembuatan
kebijakan
dan
proses
implementasi
10
Sementara itu, menurut Howard Lentner (dalam Jemadu, 2008: 65) kebijakan
luar negeri harus mencakup tiga elemen dasar dari setiap kebijakan, yaitu:penentuan
tujuan yang hendak dicapai (selection of objectives), pengerahan sumberdaya atau
instrumen untuk mencapai tujuan tersebut (mobilization of means) dan pelaksaan
(implementation) dari kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan secara
aktual menggunakan sumberdaya yang sudah ditetapkan.
C.2
Diplomasi
Menurut buku John Baylis dan Steve Smith (2005: 396-397)., diplomasi dalam
hubungan internasional merupakan salah satu dari serangkaian instrumen (one of a
set of instruments) yang mengimplemantasikan dan merealisasikan keputusankeputusan yang telah diambil pemerintah (melalui Departemen Luar Negeri).
Diplomasi sebagai kegiatan pemerintah tidak hanya merujuk pada instrumen
kebijakan tertentu, tapi juga untuk seluruh proses permbuatan kebijakan dan
pelaksanaanya.
11
Disamping itu, diplomasi juga merupakan istilah yang dapat memiliki makna
berbeda, tergantung pada pengguna dan penggunaanya.Diplomasi dapat dibagi
menjadi dua perspektif dalam konteks politik dunia (world politic), yakni perspektif
makro, dan perspektif mikro.(Baylisdan Smith, 2005: 398).
Dalam perspektif makro politik dunia, diplomasi mengacu pada proses
komunikasi yang merupakan pusat kerja dari sistem global. Jika politik dunia
ditandai hanya dengan ketegangan antara konflik dan kerjasama, diplomasi bersama
dengan perang (diplomacy together with war), dapat dikatakan mewakili lembaga
yang menentukan. Jika konfik dan kerjasama ditempatkan pada dua ujung sebuah
spektrum, diplomasi dapat diletakan pada kerjasama dan mewakili bentuk interaksi
yang fokus pada resolusi konflik dengan melalui dialog dan negosiasi. Diplomasi
secara fundamental berkaitan dengan upaya untuk menciptakan stabilitas dan
ketertiban dalam sistem global, keberadaanya diperkuat untuk mencegah konflik
agar tidak berujung dengan perang.
12
Persuasi atau diplomasi murni (pure diplomacy) dapat dikatakan cukup untuk
memperoleh kebijakan suatu negara di luar negeri. Namun, diplomasi juga terhubung
dengan instrumen kebijakan lainnya untuk menghasilkan apa yang disebut dengan
diplomasi campuran (mixed diplomacy). Dari sini, diplomasi menjadi jalur
komunikasi apakah ancaman atau instrumen lainnya yang akan diterapkan kepada
pihak lain. Sikap persuasif dalam diplomasi lebih sering berhasil jika negara
menerapkan konsep sticksand/or carrots. (Baylis& Smith, 2005: 398).
13
kedua
ekonomi.Diplomasi
adalah
menggunakan
penggunaan
langkah-langkah
instrumen-instrumen
ekonomi
C.3
Bantuan luar negeri merupakan salah satu instrumen kebijakan yang sering
digunakan dalam hubungan luar negeri. Secara umum, bantuan luar negeri dapat
14
didefinisikan sebagai transfer sumber daya dari satu pemerintahan ke pemerintah lain
yang dapat berbentuk barang atau dana. (Perwitadan Yani, 2005: 81).
Parson dan Payasilian (dalamPerwitadan Yani, 2005: 81- 82)mengajukan
empat teori mengenai batuan luar negeri, yaitu :
1. Aliran realis menyatakan bahwa tujuan utama dari bantuan luar negeri adalah
bukan untuk menunjukkan idealisme abstrak aspirasi kemanusiaan tetapi
untuk proyeksi power secara nasional. Bantuan luar negeri merupakan
komponen penting bagi kebijakan keamanan internasional.
2. Teori ketergantungan (dependensia) menyatakan bahwa bantuan luar negeri
digunakan oleh negara kaya untuk mempengaruhi hubungan domestik dan
luar negeri negara penerima bantuan, merangkul elit politik lokal di negara
penerima bantuan untuk tujuan komersil dan keamanan nasional. Kemudian,
melalui jaringan internasional, keuangan internasional dan struktur produksi,
bantuan luar negeri ditujukan untuk mengeksploitasi sumber daya alam
negara penerima bantuan. Sehingga para penganut teori dependensia
menganggap bawa bantuan luar negeri dapat digunakan sebagai sebuah
instrumen untuk perlindungan dan ekspansi negara kayak ke miskin, sebuah
sistem untuk mengekalkan ketergantungan.
3. Aliran moralis/idealis menyatakan bahwa bantuan luar negeri secara esensial
merupakan gerakan kemanusiaan yang menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan
internasional. Menurut aliran idealis, negara yang lebih kaya memiliki
tanggung jawab moral untuk mempererat kerjasama Utara-Selatan yang lebih
besar dan merespon kebutuhan pembangunan ekonomi dan sosial di Selatan.
Maka itu, moralis berpendapat bahwa bantuan luar negeri mendorong
15
dalam
proses
pembuatan
kebijakan
yang
mempromosikan
Holsti (dikutip dari Perwita dan Yani, 2005: 81) membagi program bantuan luar
negeri ke dalam empat jenis, yaitu :
1. Bantuan militer
2. Bantuan teknik
3. Grant dan program komoditi impor
4. Pijaman pembangunan
D. Metode Penelitian
teori
serta
kerangka
pemikiran
agar
dapat
mengelaborasi
17
Oleh karena itu, penulis memberikan batasan masalah pada kebijakan luar negeri
yang diterapkan oleh Korea Selatan terhadap Korea Utara dibawah pemerintahan
Roh Moo-hyun, tepatnya pada periode 2003-2008, yakni ketika presiden Roh Moohyun secara resmi dilantik menjadi presiden Korea Selatan (25 Februari 2003)
hingga akhir masa jabatannya (24 Februari 2008). Masalah utama yang dikaji adalah
kebijakan luar negeri Korea Selatan terhadap Korea Utara dalam kerangka dan
penerapan konsepthe Policy of Peace and Prosperity.Penelitian ini juga berupaya
menganalisa bagaimana kebijakan tersebut diterapakan terhadap Korea Utara.
Selain itu, dalam pengumpulan data, penulis juga melakukan internet research
atau penggunaan data-data yang diperoleh dari situs (website) internet.Namun
penulis hanya menggunakan data dari situs yang dianggap relevan dan otoritatif
sesuai dengan data yang dibutuhkan.Data yang diperoleh melalui internet research
ini bersifat sebagai data tambahan/pendukung.
18
E. Sistematika Penulisan
Bab 1
Pendahuluan
A.
B.
Pertanyaan Penelitian
C.
Kerangka Teori
D.
Metode Penelitian
E.
Sistematika Penulisan
Bab 2
A.
B.
A.2.
A.3.
B.1.
B.2.
19
Bab 3
A.
B.
B.1.
Diplomasi
B.2.
Pemberian Bantuan
C.
Six-Party Talks
Bab 4
A.
B.
Bab 5
Kesimpulan
Daftar Pustaka
20
Bab II
KEBIJAKAN KOREA SELATAN TERHADAP KOREA UTARA
SEBELUM PEMERINTAHAN ROH MOO-HYUN
Dalam bab ini, penulis memaparkan mengenai letak geografis Korea, sejarah
Korea, dan pemerintahan Korea sejak masa kepemimpinan Syngman Rhee hingga
masa pemerintahan Kim Dae-jung. Penulis juga mengambil contoh kebijakankebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara pada masa pemerintahan pertama di
Korea Selatan, Rhe Syngman hingga masa pemerintahan Kim Dae-jung.
Korea terletak di ujung timur benua Asia, terdiri dari semenanjung Korea dan
3,305 pulau disekitarnya. Wilayah Korea secara keseluruhan meliputi luas 220.000
kilometer persegi, sementara luas Korea Selatan adalah 98.000 kilometer persegi,
sisanya adalah milik Korea Utara. Wilayah Korea pada bagian utara berbatasan
dengan Sungai Yalu dan Tumen. Sementara bagian timur dan barat dikelilingi oleh
perbatasan laut. (Hoom dan Moon, 2001: 11).
21
Menurut Soong Hoom Kil dan Chung-in Moon (2001: 11), karena letak
geografisnya, semenanjung Korea secara tradisional menjadi jembatan penghubung
antara benua Asia (Cina) di Utara dengan wilayah Jepang di Selatan. Selama abad
kesembilanbelas, Jepang dan kekuatan Barat melihat Korea sebagai batu loncatan
dimana mereka dapat meproyeksikan kekuatan dan pengaruhnya ke Manchuria.
22
Sementara itu, China dan Rusia menggunakan Korea sebagai batu loncatan untuk
memperluas wilayah kekuasaan mereka ke pasifik utara.
Karena letaknya yang strategis itulah, Jepang menduduki Korea pada tahun
1910 (Lew, 2000:23). Jepang secara efektif menduduki Korea melalui Perjanjian
Aneksasi Jepang-Korea. Selama penjajahan, sekalipun Jepang membangun jalan dan
jaringan komunikasi modern, namun kehidupan rakyat Korea kritis. Hal itu
dikarenakan sistem kerja paksa yang diberlakukan oleh Jepang. Selain itu juga,
ekspor tanaman Korea ke Jepang menyebabkan kekurangan pangan terjadi di Korea.
(news.bbc.co.uk diakses pada tanggal 25 Maret 2013). Jepang melakukan eksploitasi
ekonomi terhadap Korea dengan memanfaatkan makanan, ternak, dan logam dari
Korea untuk tujuan perang dan pertahanan Jepang. (Cahyo. 2012: 76).
Menurut Lew (2000: 23), terdapat tiga fase kepemimpinan Jepang di Korea.
Jepang memerintah Korea melalui Gubernur Jendral yang biasanya adalah seorang
militer Angkatan Darat atau Angkatan Laut dari Jepang. Selama tahap pertama
pendudukan Jepang (1910-1919), masyarakat Korea dikendalikan oleh sistem yang
merampas kebebasan dasar masyarakat sipil Korea. Adanya kontrol sosial yang ketat
akhirnya menghasilkan gerakan berupa demonstrasi nasional pada tanggal 1 Maret
1919 disebut sebagai Gerakan Pertama Maret (the March First Movement).
23
24
Menurut Fact File situs berita BBC (diakses pada 25 Juni 2012), dalam
konferensi ini juga, sekutu memutuskan untuk melucuti Jepang di semua daerah
yang telah diperoleh sejak awal Perang Dunia I (1914), Amerika Serikat, Cina, dan
Inggris telah sepakat di Kairo bahwa Korea akan diizinkan untuk menjadi bebas dan
merdeka pada waktunya setelah kemenangan Sekutu. Uni Soviet juga menyetujui
prinsip yang sama dalam deklarasi perang melawan Jepang.
Pada tanggal 8 Agustus 1945, selama hari-hari terakhir Perang Dunia II, Uni
Soviet menyatakan perang terhadap Jepang dengan meluncurkan invasi Manchuria
dan Korea. Pada saat itu, Jepang telah habis oleh perang berlarut-larut melawan
Amerika Serikat dan Sekutu. Peristiwa penjatuhan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki pada tanggal 6 dan juga 9 Agustus telah membuat pemerintah Jepang
berupaya mencari cara untuk mengakhiri perang. Hingga akhirnya pada tanggal 15
Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Sejak kemunduran
Jepang, Uni Soviet mendaratkan pasukannya di Korea dari arah utara. Hal tersebut
juga diikuti oleh Amerika Serikat yang mendaratkan pasukannya dari arah selatan
sebagai upaya untuk mencegah salah satu pihak menguasai seluruh Semenanjung
Korea. (Henneka. 2006: 21).
25
Hingga kemudian, pada 15 Agustus 1948, Korea Selatan yang didukung oleh
Amerika Serikat memerdekakan diri sebagai sebuah negara dengan nama resmi
Republic of Korea (ROK) dan diakui oleh PBB sebagai pemerintahan yang sah.
Sementara itu, Uni Soviet juga mendukung berdirinya pemerintahan di Pyongyang
dan menghasilkan kemerdekaan Korea Utara dengan nama resmi Democratic People
Republik Korea (DPRK) pada 9 September 1948. (Yukhoon, 2007: 83).
26
Pasca berdiri sebagai dua negara yang memiliki kedaulatannya masingmasing, hubungan Korea Selatan dengan Korea Utara diliputi konfrontasi dan
ketegangan militer yang merupakan upaya untuk menyatukan kembali kedua Korea.
Konfrontasi milite pasca kemerdekaan menemukan titik puncak ketika pecahnya
Perang Korea pada tanggal 25 Juni 1950. Ketika itu pasukan Korea Utara secara
tiba-tiba menyerang Korea Selatan pada pagi hari dan melintasi perbatasan garis 38
derajat Lintang Utara, yang merupakan garis batas antara wilayah Korea Utara
dengan Korea Selatan. Penyerangan tersebut didukung oleh rezim Kim Il Sung yang
juga mendapat dukungan dari Uni Soviet dan Cina. (Yukhoon, 2007: 84).
Penyerangan inilah yang disebut sebagai awal dari Perang Korea. Perang Korea
berlangsung dari 25 Juni 1950 hingga 27 Juli 1953. Perang ini disebut juga sebagai
proxy war (perang yang dimandatkan) antara Amerika Serikat dan sekutunya dari
Blok Barat dengan Republik Rakyat Cina (RRC) dan Uni Soviet dari Blok Timur.
(Cahyo, 2012: 175-176)
Beberapa jam pasca penyerangan, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat
mengecam invasi Korea Utara terhadap Korea Selatan melalui Resolusi Dewan
Keamanan (DK) PBB. PBB pun kemudian menerbitkan resolusi 83 yang
merekomendasikan negara anggota untuk memberikan bantuan militer ke Korea
Selatan pada 27 Juni 1950. Hal ini membuat wakil menteri luar negeri Uni Soviet
menilai Amerika memulai intervensi bersenjata atas nama Korea Selatan. (Cahyo,
2012: 177).
Korea Utara kemudian mengajukan perundingan gencatan senjata pada 10
Juli 1951 di Kaesong, wilayah Korea Utara bagian selatan. Negosiasi gencatan
senjata pun berlanjut dua tahun kemudian di Panmunjon (perbatasan kedua Korea).
27
Akhirnya, pada 27 Juli 1953, AS, RRC, dan Korea Utara menandatangani
persetujuan gencatan senjata. Presien Korea Selatan, Syngman Rhee menolak
menandatangani namun berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata tersebut.
Walaupun begitu, secara resmi, perang ini belum berakhir. (Cahyo, 2012: 177-178).
Pasca berdiri sebagai sebuah negara yang berdaulat, Korea Selatan telah
mengalami masa krisis dari segi tatanan konstitusional dan ketidakstabilan politik.
Sejak 1948 yang merupakan tahun kelahiran konstitusi Korea, sampai 1987, tidak
kurang dari enam republik didirikan di Korea. Selama jangka waktu tiga puluh
sembilan tahun, konstitusi direvisi sembilan kali, dan Korea dipimpin oleh presiden
dengan latar belakang militer selama periode 1961-1992. Baru kemudian pada tahun
1993, Korea dipimpin oleh pemerintahan demokratis di bawah pimpinan sipil, yakni
pada masa pemerintahan Kim Young Sam yang mulai menjabat secara resmi pada 23
Februari 1993. (Hoom dan Moon, 2001: 33).
Republik pertama di bawah Presiden Syngman Rhee, didirkan pada tahun 1948,
dan runtuh pada 19 April 1960 oleh revolusi Mahasiswa. Runtuhnya Syngman Rhee
melahirkan republik kedua di bawah Perdana Menteri Chang Myon. Republik kedua
(1960-1961) tidak berlangsung lama, namun, berakhir dengan kudeta militer oleh
Park Chung Hee pada tanggal 16 Mei 1961. Park Chung Hee kemudian muncul
sebagai pemimpin republik ketiga (1961-1973) dan republik keempat (1973-1979).
Kemudian republik kelima (1980-1988) dan keenam dipimpin oleh Chun Doo Hwan
dan Roh Tae Woo. (Hoom dan Moon, 2001: 34).
28
B.1.
Utara di
Bawah
Presiden pertama Korea Selatan yang juga merupakan salah satu tokoh
perintis kemerdekaan Korea Selatan ialah Syngman Rhee (1948-1960). Dalam
kepemimpinannya di awal kemerdekaan, Syngman Rhee mengusung kebijakan
resmi pemerintahannya dengan nama march north for unification, yang secara jelas
menerapkan kebijakan unifikasi dengan kekuatan bersenjata dan menolak untuk
hidup berdampingan dengan damai besama Korea Utara. (Cha, 2011: 6).
Dalam usaha mewujudkan reunifikasi Korea, pemerintahan Presiden Rhee
Syngman mempertahakan sifat permusuhan yang tidak dapat didamaikan terhadap
Korea Utara dan berusaha mencapai reunifkasi melalui penaklukan terhadap
komunisme Korea Utara. Kebijakan reunifikasi Presiden Rhee Syngman itu terkait
dengan dua faktor, yaitu rasa antisipasi dan tidak percaya terhadap komunisme serta
29
internasionalis
yang
mengeluarkan
kebijakanya
didasarkan
pada
30
31
dua kunci utama politik luar negerinya, yakni berusaha memperbaiki hubungan
Korea Selatan dengan Jepang dan negara-negara non-blok, dan bersedia melakukan
usaha-usaha untuk mengakhiri pemisahan Semenanjung Korea sesuai dengan
prinsip-prinsp resolusi PBB. (Yoon dan Masoed, 2004: 34).
Pemerintahan peralihan Ho Chong kemudian digantikan oleh kepemimpinan
Perdana Menteri Chang Myon yang melanjutkan kebjakan Ho Chong tersebut. Dua
hal yang jelas berbeda dari politik luar negeri yang dijalankan oleh Presiden Rhee
dan Perdana Menteri Chang Myon adalah bahwa Chang secara eksplisit menyatakan
Korea Selatan tidak akan menggunakan kekuatan militer untuk mencapai reunifikasi
dan mengembangkan sikap fleksibel teradap negara-negara non-blok. (Yoon dan
Masoed, 2004: 34). Chang Myon hanya memimpin selama delapan bulan sebagai
Perdana Menteri sebelum akhirnya mundur akibat kudeta militer yang dilakukan
oleh Jendral Park Chung Hee pada bulan Mei 1961. (Han, 2001: 108).
3. Masa pemerintahan Park Chung-hee/ (1963-1979),
32
kepemimpinan militer ala Jepang pada periode Meiji, yang di bawah kepemimpinan
militer yang kuat mendorong modernisasi ekonomi dan pembangunan militer
melalui ideologi Yishin atau revitalisasi. (Nahm, 1993: 196).
Park Chung-hee membuat pemerintahannya bertumpu pada kekuatan yang
berasal dari militer, birokrat, dan teknokrat. Oleh karena itu rezim Korea Selatan di
bawah Park Chung-hee disebut Rezim Otoriter Birokratis.Presiden Park termasuk
salah seorang peletak dasar strong military-dominated government di Asia. Dalam
rangka memenuhi tuntutan untuk mengatasi kebutuhan ekonomi yang mendasar dan
mendesak, pemerintahan militer di bawah Park Chung-hee mengambil beberapa
langkah penting. Pertama, membuka hubungan diplomasi dengan Jepang untuk
mengundang arus perdagangan dan bantuan ekonomi dari negara tersebut. Kedua,
mengambil sikap mengalah terhadap tekanan-tekanan dari Amerika Serikat
(terutama untuk mendapatkan dukungan politik dan pengakuannya) serta menerima
saran dari kelompok teknokrat untuk menggalakkan usaha-usaha ekspor, terutama
ekspor hasil-hasil industri manufaktur. (Jakti, 1995: 114).
Sementara, terkait kebijakan reunifikasi dengan Korea Utara, Pemerintahan
Park Chung-hee mendasarkanya pada tiga hal, yaitu:
1. Anti komunisme sebagai tujuan nasional terpenting dan terus memperkuat
rasa anti komunisme tersebut,
2. Menghormati piagam PBB, melaksanakan perjajian-perjanjian inernasional,
dan memperkuat ikatan dengan Amerika Serikat dan negara-negara bebas
lainnya,
33
3. Menggunakan
seluruh
tenaga
untuk
membangun
kekuatan
yang
untuk
meningkatkan
pemahaman
negara-negara
tersebut
terhadap
34
terhadap hak-hak politik dan kebebasan sipil rakyat. (Pelayanan Kebudayaan, 2008:
27).
Menurut Ki-shik S.J Han (2001: 117), Pemerintahan Park Chung-hee yang
dijalankan selama delapan belas tahun adalah pemerintahan yang sukses dalam hal
pertahanan nasional, kesejahteraan ekonomi, dan perkembangan national pride.
Presiden Park tewas pada penembakan yang terjadi pada Oktober 1979.
tuan rumah Asian Games 1986 dan Olimpiade ke-24 pada tahun 1988. Presiden
Chun mundur setelah tujuh tahun masa jabatannya dan melakukan transisi kekuasaan
secara damai dan tanpa kudeta.
36
B.2.
Utara di
Bawah
awal
kepemimpinannya,
pemerintahan
Kim
Dae-jung
meluncurkan
kebijakannya yang diberi nama Sunshine Policy, atau kebijakan untuk melakukan
kerjasama, mengendurkan ketegangan militer, melakukan pertukaran dan kerjasama,
serta membangun perdamaian dengan membangun kepercayaan bersama dengan
Korea Utara. (Moon, 2012: 1). Kebijakan pemerintah Kim Dae-jung terhadap Korea
Utara secara resmi bernama the Policy of Reconciliation and Co-operation, tapi
37
presiden Kim secara pribadi lebih suka menggunakan Sunshine Policy. (Moon, 2012:
17).
Kebijakan ini didasarkan pada tiga prinsip utama berdasarkan pidato pelantikan
Kim Dae-jung pada tahun 1998. Pertama, prinsip non-toleransi terhadap segala
bentuk ancaman militer maupun provokasi bersenjata oleh Korea Utara. Kedua,
prinsip unifikasi dua Korea tanpa menggunakan ancaman ataupun kekerasan. Ketiga,
prinsip mendorong peningkatan pertukaran serta kerjasama antara Korea SelatanKorea Utara melalui pemberlakukan kembali perjanjian rekonsiliasi tahun 1991.
(Moon,2012: 21). Perjanjian rekonsiliasi atau Treaty of Reconciliation and
Nonaggression, merupakan perjanjian yang ditandatangani oleh Korea Selatan dan
Korea Utara pada tanggal 13 Desember 1991. Pada perjanjian
38
yakni:
hidup
berdampingan
secara
damai/peaceful
co-existence
serta
perluasan
kepentingan
bersama
melalui
peningkatan
39
tidak ada yang bisa membenarkan perang dan bahwa hal itu harus dicegah dengan
biaya apapun. Perang bisa membawa sebuah unifikasi nasional, tetapi penyatuan
dicapai melalui cara-cara kekerasan kemungkinan akan menelurkan benih kebencian
dan menetaskan divisi nasional lainnya.
Tujuan kedua adalah untuk memperoleh unifikasi secara de facto. Sunshine
Policy mengasumsikan bahwa de jure atau unifikasi kelembagan melalui
musyawarah dan referendum nasional akan memakan waktu lebih lama. Menyadari
kendala yang realistis, pemerintah Kim Dae-jung bertujuan untuk menciptakan tahap
awal unifikasi (quasi-unification) untuk mengaktifkan pertukaran pekerja, barang,
dan jasa demi mewujudkan pembangunan kepercayaan bersama dan pengawasan
senjata secara bersama-sama.
Tujuan ketiga yang mendasari Sunshine Policy adalah keyakinan Kim Daejung bahwa kebijakan keterlibatan dan akomodasi (policy of engagement and
accommodation) bisa membawa perubahan di Korea Utara, dan bahwa transformasi
menjadi keadaan normal bisa menawarkan momentum menentukan bagi koeksistensi damai di semenanjung Korea.
Tujuan keempat adalah sentralitas Korea Selatan dalam mengelola masalah
Korea dan lingkungan keamanan eksternal.Sunshine Policy mengakui pentingnya
Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan Jepang dalam mempengaruhi masa depan
semenanjung Korea, namun membantah determinisme tradisional dalam menilai
keseimbangan kekuasaan ini atau tingkat pengaruh mereka.
Tujuan terakhir adalah Kim Dae Jung mencoba untuk mencapai konsensus
dalam negeri dan dukungan politik bipartisan dalam melaksanakan Sunshine Policy.
40
Selain itu, ciri lain kebijakan pemerintah Kim Dae-jung adalah membangun
kebijakan yang bersifat timbal balik (reciprocity) dan fleksibel terhadap Korea
Utara. Timbal balik berarti bahwa kebijakan Korea Selatan yang salah satunya
adalah memberikan bantuan kepada Korea Utara tidak perlu diberi balasan atau
ganti yang setara (dalam arti bentuk dan jumlah bantuan yang telah diberikan),
namun Korea Utara hanya perlu meningkatkan hubungan baik dengan Korea
Selatan. Selain itu, sekalipun nuklir Korea Utara telah diakui sebagai salah satu
masalah utama, namun secara resmi, hal tersebut dipisahkan dari kebutuhan untuk
memperbaiki hubungan antar-Korea. Pemerintah Kim tidak memprioritaskan
kebijakannya pada masalah senjata nuklir Korea Utara. Sebaliknya, pemerintah Kim
menekankan kebijakannya pada kebutuhan ekonomi dan kemanusiaan Korea Utara.
(Govindasamy, 2012: 5).
Hasil penerapan Sunshine Policy yang dilakukan oleh pemerintah Kim Daejung membawa kemajuan bagi hubungan dua Korea. Pencapaian-pencapaian penting
yang berhasil direalisasikan antara lain adalah pada 1998, Kim Dae-jung berhasil
melancarkan proyek bersama antar Korea yakni proyek pariwisata dan turisme
Gunung Kumgang dan proyek Komplek Industri Kaesong di Korea Utara. Selain itu
41
juga, pada Juni 2000, ia berhasil melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi Korea
(Korean Summit) yang dilakukan oleh presiden Kim Dae-jung dan pemimpin Korea
Utara, Kim Jong-il. (Moon, 2000: 4).
42
BAB III
THE POLICY OF PEACE AND PROSPERITY
A.
Roh Moo-hyun secara resmi menjadi presiden Korea Selatan setelah dilantik
pada tanggal 25 Februari 2003. Dalam pidato pelantikannya, Presiden Roh Moohyun menyatakan keinginannya untuk mempertahankan kebijakan Korea Selatan
terhadap Korea Utara yang diterapkan oleh pendahulunya, yakni Kim Dae-jung, dan
juga untuk memperluas cakupan dan konten dari Sunshine Policy tersebut dalam
rangka membangun sebuah struktur perdamaian pada semenanjung Korea.
Kebijakan tersebut diberi nama the Policy of Peace and Prosperity. (Kim, 2006:
37). Pemerintahan Roh Moo-hyun dikenal juga dengan nama Participatory
Government. (The Ministry of National Defense of the ROK, 2003: 34).
The Policy of Peace and Prosperity didasarkan pada empat prinsip dasar,
yakni: (1) menggunakan dialog sebagai sarana untuk menyelesaikan semua masalah
yang tertunda; (2) membangun rasa saling percaya dan menjaga hubungan timbal
balik (upholding reciprocity); (3) mempromosikan kerjasama internasional pada
prinsip-prinsip partisipasi langsung dan timbal-balik; dan (4) meningkatkan
transparansi, memperluas partisipasi warga, dan mengamankan dukungan bipartisan
(bipartisan support). (In-duk, 2003: 5-6).
Menurut Ko Jae-nam (2004: 7) prinsip pertama dari kebijakan Roh Moohyun, yakni menyelesaikan masalah melalui dialog, muncul karena adanya
kemungkinan untuk timbulnya konflik bersenjata di Semenanjung Korea yang
43
diakibatkan oleh ketidakstabilan rezim militer di Korea Utara dan juga gencatan
senjata yang masih belum usai antara dua Korea. Maka dari itu, diperlukan
penyelesaian secara damai melalui dialog.
Prinsip kedua adalah membangun kepercayaan satu sama lain antara dua
Korea. Hal tersebut dilakukan supaya meningkatkan hubungan dan mendorong
kerjasama yang saling menyehatkan/menguntungkan (healthy mutual cooperation)
dengan Korea Utara dan negara-negara di sekitarnya. (Jae-nam, 2004: 7).
Prinsip ketiga adalah meningkatkan kerjasama internasional berdasarkan
prinsip parties directly concerned, yakni pembagunan rezim perdamaian di
semenanjung Korea serta menciptakan komunitas ekonomi Utara-Selatan (SouthNorth Korea economic community), atas dasar ini, Korea Utara akan secara alami
bekerjasama dengan komunitas internasional dan berkontribusi bagi perdamaian dan
kemakmuran di kawasan Asia Timur. Prinsip terakhir adalah adanya perluasan
partisipasi masyarakat. Dalam proses melaksanakan the Policy of Peace and
Prosperity, Korea menjamin transparansi eksternal dalam proses pembuatan
kebijakan. (Jae-nam, 2004: 7).
Menurut white paper the Ministry of National Defense of the Republic of
Korea (2003: 32), dalam jangka pendek prinsip-prinsip tersebut digunakan sebagai
pedoman dalam bekerjasama dengan negara tetangga untuk membawa resolusi
perdamaian pada pemasalahan nuklir Korea Utara. Atas dasar itu, tujuan jangka
menengah adalah meningkatkan kerjasama substantif, mewujudkan kepercayaan
militer antara dua Korea dan membangun rezim perdamaian di Semenanjung Korea
dengan mendukung normalisasi hubungan antara Korea Utara dengan Amerika
44
Serikat dan Jepang. Hal tersebut menjadi permulaan dari tujuan jangka panjang,
yakni untuk membentuk kemakmuran umum/bersama, membangun dasar untuk
reunifikasi dan membangun semenanjung Korea sebagai pusat ekonomi Asia Timur.
Dalam mengaplikasikan kebijakannya tersebut, pemerintah Roh Moo-hyun
memiliki tiga tahap pembangunan, yakni; pada tahap pertama, Korea Selatan
berusaha memfasilitasi perdamaian di semenanjung Korea. Pada tahap kedua, Korea
Selatan berupaya untuk mengembangkan lebih lanjut kerjasama antar-Korea sebagai
dasar dari rezim perdamaian. Pada tahap ketiga, adalah meluncurkan sebuah rezim
perdamaian di Korea. (Kim, 2006: 37). Tiga tahapan tersebut secara lebih detil
ditampilkan dalam bagan di bawah ini.
Tabel II. A. 1 Implementation Strategy by Stages for Establishment of a Peace
Regime on the Korean Peninsula
Stage 1: Resolution of the North Korean Nuclear Issues and Promotion of Peace
Endeavor to create a breakthrough for a peaceful resolution of the North Korean nuclear
issue
Continue to promote reconciliation and cooperation between South and North Korea and
regularize inter-Korean military talks
Provide a foundation for the firm establishment of peace through inter-Korean summits
and other forums
Create an environment for peace and cooperation in Northeast Asia on the basis of
strengthened diplomatic capabilities
Reach an agreement on the peaceful resolution of the North Korean nuclear issue and
missile issues
Stage 2: Expansion of Inter-Korean Cooperation and Laying the Foundation for a Durable Peace
Regime on the Korean Peninsula
Undertake concrete measures for the implementation of matters agreed upon for the
resolution of the North Korean nuclear and missile issues
Deepen substantive cooperation and promote military confidence-building measures
between the South and the North
Propose and promote an initiative for a forum for peace and cooperation in Northeast
Asia
45
Sumber :Ministry of Unification, Policy of Peace and Prosperity of the Participatory Government,
(March 2004), hal. 1 dalam Jae-nam, Ko. The Policy of Peace and Prosperity and South KoreaRussia Cooperation.East Asian Review.Vol.16, No. 3, Auntum 2004 hal. 6
Menurut white paper the Ministry of National Defense of the Republic of Korea
(2003: 34), tujuan dari participatory government yang dipimpin oleh Roh Moo-hyun
adalah untuk mendapatkan hal-hal berikut, yakni: demokrasi dengan masyarakat/
democracy with the people, pembangunan masyarakat yang seimbang/a society of
balanced development, and era perdamaian dan kesejahteraan di Asia Timur/era of
peace and prosperity in northeast Asia. Tujuan-tujuan tersebut tergambar dalam
bagan di bawah ini.
Sumber: The ministry of National Defense of the republic of Korea. 2003. Participatory Government
Defense Policy, hal. 34
46
maka
akan
membuka
kemungkinan
bahwa
perekonomian
47
B.
1.
Diplomasi
Diplomasi dalam konteks kebijakan luar negeri menurut John Baylis dan
Steve Smith (2005: 398) mengacu pada penggunaan diplomasi sebagai instrumen
kebijakan yang memiliki peluang lebih besar karena memiliki hubungan dengan
instrumen lain, seperti kekuatan ekonomi atau militer untuk memungkinkan aktor
internasional dapat mencapai tujuan kebijakannya. Dalam The Policy of Peace and
Prosperity sebagai kebijakan luar negeri Korea Selatan terhadap Korea Utara,
diplomasi yang digunakan antara lain mencakup dua hal, yakni diplomasi ekonomi
dan perdagangan serta diplomasi sosial-budaya.
48
49
Sumber:Manyin, Mark E. and Dick KNanto. The Kaesong North-South Korean Industrial Complex.
2011. USA: Congressional Research Service. Hal, 2.
50
itu, KIC juga memiliki beberapa keistimewaan lainnya seperti: zona bebas bea, tidak
ada pembatasan pada penggunaan mata uang asing atau kartu kredit, tidak
membutuhkan visa untuk keluar-masuk area, hak kepemilikan poperti dijamin oleh
pemerintah, serta pelanggaran hukum yang dilakukan oleh warga Korea Selatan di
KIC tidak akan diadili di Korea Utara, melainkan di Korea Selatan sesuai dengan
undang-undang yang berlaku di Korea Selatan. (Manyin dan Nanto, 2011: 5-6).
End 2006
15
End 2007
65
6,000
11,000
23,000
n.a
700
800
Annual Production
Value
Exports to 3rd
Countries
(i.e., not South Korea)
$15 mil.
$74 mil.
$185 mil.
$20 mil.
$40 mil.
Sumber: South Korean Ministry of Unification documents, dalam Manyin, Mark E. and Dick K
Nanto. The Kaesong North-South Korean Industrial Complex. 2011. USA: Congressional Research
Service. Hal, 1
Dari tabel tersebut, dijelaskan bahwa perusahaan swasta Korea Selatan yang
beroperasi di KIC mengalami peningkatan sejak tahun pertama produksi (2005).
Dari semula 11 perusahaan, kemudian meningkat menjadi 15 perusahan pada tahun
2006, dan meningkat drastik pada tahun 2007 menjadi 65 perusahaan. Peningkatan
jumlah perusahaan yang beroperasi di KIC sejalan dengan penyerapan tenaga kerja.
Jumlah tenaga kerja Korea Utara di KIC meningkat sejak tahun 2005 yang berjumlah
51
6.000 orang, menjadi 11.000 orang pada tahun 2006, dan 23.000 orang pada tahun
2007. Jumlah tenaga kerja Korea Utara yang bekerja di KIC jumlahnya lebih dari
sepuluh kali lipat dari pekerja Korea Selatan. Pada tahun 2006, tenaga kerja Korea
Selatan hanya berjumlah 700 orang, dan hanya bertambah 100 orang pada tahun
berikutnya.
Dengan jumlah perusahaan dan pekerja di KIC tersebut, nilai produksi
tahunan yang diterima mencapai $15 juta pada tahun awal produksi, kemudian
meningkat menjadi $74 juta pada tahun 2006, dan $185 juta pada tahun berikutnya.
Sedangkan total ekspor ke negara di luar Korea Selatan adalah sebesar $20 juta pada
tahun 2006, dan $40 juta pada tahun 2007.
Sejak beroperasi pada tahun 2005, jumlah produksi pada perusahaanperusahaan yang beroperasi di KIC tersebut mengalami peningkatan, Hal tersebut
tergambar lebih jelas dalam tabel di bawah ini.
Tabel. III.B.2 Production by Category in the Kaesong Industrial Complex
(US $1,000)
Textiles
and
Clothing
Chemical
Products
Metals and
Machinery
Electric and
Electronic
Products
Total
2005
6,780
1,768
5,250
1,108
14,906
2006
27,793
10,900
20,853
14,191
73,737
2007
85,543
18,262
41,947
39,027
184,779
Sumber: ROK, Ministry of Unification documents, dalam Manyin, Mark E. and Dick K Nanto. The
Kaesong North-South Korean Industrial Complex. 2011. USA: Congressional Research Service.
Hal,8
52
di
masa
pemerintahan
Roh
Moo-hyun,
Hyundai
Grup
53
Number of Tourists
By ship
By bus/private car
1998
10,554
10,554
1999
148,074
2000
213,009
213,009
2001
57,879
57,879
2002
84,727
84,727
2003
74,334
39,902
34,432
2004
268,420
449
267,971
2005
298,247
298,247
2006
243,446
243,446
2007
345,006
345,006
2008
62,405
62,405
Total
1,797,101
554,594
1,242,507
148,074
Sumber: Ministry of Unification, 2011 Ministry of Unification, Basic facts about inter-Korean
relations: Humanitarian Cooperation (2011), dalam Govindasamy, Geetha. Kim Dae Jung and The
Sunshine Policy : An Appealing Policy Option for Inter-Korean Relations. Sarjana.Vol. 27. No. 1,
June 2012. Hal, 6
54
Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa jumlah warga Korea Selatan yang
mengunjungi Gunung Kumgang antara tahun 1998 hingga 2002 (ketika masa
pemerintahan Kim Dae-jung) terbesar terjadi pada tahun 2000, yakni sebanyak
213,009 orang pengunjung. Kunjungan yang dilakukan pun hanya terbatas melalui
jalur air (dengan kapal laut). Namun adanya pembangunan transportasi darat ke
Gunung Kumgang di masa pemerintahan Roh Moo-hyun, membuat jumlah
pengunjung Gunung Kumgang meningkat. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun
2007, yakni sebanyak 345,006. .Adanya akses darat menuju gunung Kumgang
membuat akses laut kurang diminati (pada tahun 2004, hanya terdapar 449
pengunjung yang menggunakan akses laut), sehingga membuat akses laut menuju
Gunung Kumgang tidak lagi digunakan sejak tahun 2005.
b. Socio-cultural Diplomacy
Selain melalui kerjasama ekonomi dan perdagangan, the Policy of Peace and
Prosperity juga diarahkan untuk meningkatkan hubungan baik dengan Korea Utara
melalui diplomasi sosial dan budaya. Salah satunya adalah melalui pertemuan
keluarga yang terpisah.
Adanya pembagian Korea menjadi dua wilayah negara yang berbeda pasca
Perang Dunia II bukan hanya memisahkan kedua wilayah, yang semula satu, secara
teritori dan politik, tapi juga turut memisahkan banyak warga Korea itu sendiri.
Sejak pembagian Korea menjadi dua wilayah negara, banyak keluarga yang harus
terpisah ke dua negara yang berbeda. Hal tersebut melatarbelakangi pemerintah
55
Korea Selatan untuk melakukan pertemuan keluarga yang terpisah antara warga
Korea Selatan dan Korea Utara. Menurut Geetha Govindasamy (2012: 8), pertemuan
keluarga yang terpisah pertama kali dilakukan pada tahun 1985. Kemudian
pertemuan tersebut dilakukan kembali pasca terjadinya Korean Summit pada tahun
2000 (pada masa pemerintahan Kim Dae-jung), dan terus dilanjutkan pada
pemerintahan Roh Moo-hyun.
Pertemuan kembali keluarga yang terpisah tersebut dilakukan melalui dua
metode, yakni tatap muka dan konferensi melalui video. Pertemuan ini biasanya
diadakan di markas Palang Merah Korea Selatan (South Korean Red Cross
headquarters), daerah wisata Gunung Kumgang atau pusat reuni (reunion centers) di
Korea Utara. (Govindasamy, 2012: 8). Jumlah keluarga yang dapat kembali
dipertemukan sejak tahun 1985 dan 2000-2007 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel III.B.4 Number of families involved in face to face family reunions and
video conferences (1985, 2000-2007)
Method of
Reunion
Korea
Korea
Total
Face to face
1.683
1.695
3.378
Video conferences
279
278
557
Total
1.962
1.973
3.935
56
Dalam tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa jumlah keluarga yang berhasil
ditemukan melalui metode tatap muka (baik keluarga dari Korea Selatan maupun
Korea Utara) jumlahnya adalah 3.378 keluarga. Sementara itu, jumlah keluarga yang
berhasil dipertemukan kembali melalui metode konferensi video jauh lebih sedikit,
yaitu 557 keluarga. Dengan demikian, jumlah keseluruhan keluarga yang dapat
dipertemukan kembali sepanjang tahun 1985, 2000-2007 adalah 3.935 keluarga.
57
2.
Pemberian Bantuan
Sejak tahun 1995, yakni masa pemerintahan Kim Young Sam, pemerintah
Korea Selatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah mengirimkan
beberapa bantuan kepada Korea Utara dalam bentuk sumbangan, makanan dan
pupuk. Kemudian pada masa Kim Dae-jung, hingga Roh Moo-hyun, jumlah total
bantuan yang diberikan oleh pemerintah Korea Selatan terhadap Korea Utara
mengalami peningkatan. (Govindasamy, 2012: 7-8). Hal tersebut dapat dilihat lebih
jelas dalam tabel di bawah ini.
Tabel III.B.5 South Koreas Humanitarian Aid to North Korea (in US$
million)
Sector
Total
1993-1998
1998-2003
2003-2008
Government
26,172
49,977
140,253
216,402
Private
2,236
19,125
43,246
64,607
Total
28,408
69,102
183,500
281,010
58
$28,408 pada masa pemerintahan Kim Yong Sam dan $69,102 pada masa
pemerintahan Kim Dae Jung, menjadi $183,500 pada masa pemerintahan Roh Moo
Hyun. Dari total tersebut, sumber bantuan terbesar berasal dari pemerintah, yakni
sebesar $140,253.
Menurut Govindasamy (2012: 7-8), pemberian bantuan yang diberikan
tersebut merupakan salah satu intrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity.
Sementara itu, menurut Hong Nack, Kim (2006: 38-39) peningkatan pemberian
bantaun ekonomi dan kemanusiaan yang dilakukan Korea Selatan terhadap Korea
Utara dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan pada Semenanjung
Korea.
C.
Six-Party Talks
Pembicaraan Enam Pihak atau Six-Party Talks merupakan salah satu
59
1.
60
61
Oleh karena itu, Korea Selatan yang pada saat itu masih berada di bawah
pemerintahan Kim Dae-jung melakukan berbagai upaya untuk membahas
kemungkinan dimulainya kembali perundingan Amerika Serikat dengan Korea
Utara. Menurut Center for Nonproliferation Studies (2012: 6), Pembantu Presiden,
Lim Dong Won melakukan pertemuan dengan pejabat Korea Utara termasuk
Pemimpin, Kim Jong-il yang kemudian setuju untuk melakukan pertemuan dengan
Diplomat Amerika Serikat Jack Pritchard. Namun pertemuan tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan. Pasalnya Korea Utara menuntut agar Amerika Serikat
merampungkan pembangunan Reaktor Air Ringan yang berdasarkan pada Agreed
Framework 1994 dijadwalkan rampung pada tahun 2003. Namun Amerika Serikat
menuntut bahwa pembangunan Reaktor Air Ringan tersebut akan dilakukan setelah
tim IAEA selesai melakukan pemeriksaan persenjataan Nuklir di Korea Utara yang
akan memakan waktu selama 3-4 tahun. Korea Utara menolak usulan tersebut.
Kemudian, Amerika Serikat melakukan kunjungan lanjutan ke Korea Utara
pada 3-5 Oktober 2002. Pasca kunjungan tersebut, Asisten Menteri James A. Kelly
dan delegasinya mengklaim bahwa Korea Utara tengah menjalankan program
pengayaan uraniumnya. Klaim tersebut mendapatkan sambutan negatif dari Korea
Utara yang pada akhir Oktober menonaktifkan dan melarang dilanjutkannya inspeksi
IAEA.
Atas tindakan Korea Utara tersebut, Presiden Bush merespon dengan
pernyataanya pada 14 November 2002 yang menyatakan bahwa pengiriman kapal
bermuatan bahan bakar minyak bagi Korea Utara (seperti ketentuan yang tertulis
dalam Agreed Framework 1994) yang dilakukan pada tahun itu merupakan
pengiriman terakhir jika Korea Utara tidak menghentikan program nuklirnya.
62
Pasca
peluncuran
misil
yang
dilakukannya,
menurut
Center
for
Nonproliferation Studies (2012: 5), Korea Utara pada 12 April 2003 secara resmi
mengindikasikan keinginannya untuk membuka kembali pembicaraan multilateral.
63
Cina kemudian menjadi penengah serta tuan rumah atas Pertemua Tiga Pihak
(Three-Party Talks) antara Amerika Serikat, Korea Utara dan Cina. Namun tidak ada
kesepakatan yang dihasilkan dari perundingan tersebut.
64
c. Membangun sebuah mekanisme regional (di luar Asia Timur Laut) untuk
memelihara perdamaian, stabilitas dan kemakmuran di abad ke-21.
(Zhongying, 2009:4)
3.
Menurut Center for Nonproliferation Studies (2012: 5), Six Party Talks pada
putaran pertama (27-29 Agustus 2003), putaran kedua (25-28 Februari 2004), dan
putaran ketiga (23-26 Juni 2004) belum menunjukan hasil maupun keputusan jelas
mengenai permasalahan nuklir di Semenanjung Korea.
Six Party Talks baru menemukan pergerakan yang jelas pada putaran
keempat. Putaran keempat Six Party Talks dilakukan dalam dua tahap, yakni dari 27
Juli-7 Agustus 2005 yang tidak menemukan kesepakatan yang jelas dan tahap kedua
yang dilakukan pada 13-19 September 2005 yang menghasilkan pernyataan prinsip
yang ditandatangani oleh Korea Utara. Pernyataan prinsip tersebut salah satunya
adalah menuntut Korea Utara untuk meninggalkan kembali program nuklirnya dan
kembali bergabung dengan NPT. Dengan demikian, Amerika Serikat akan
melanjutkan pembangunan reaktor air ringan.
Namun penerapan pernyataan prinsip tersebut ditunda akibat sikap Amerika
Serikat yang secara sepihak membekukan aset Korea Utara di Banco Delta Asia
karena diklaim terlibat dalam pencucian uang terkait masalah nuklir Korea Utara.
Tindakan tersebut kembali memicu respon negatif dari Korea Utara dengan menolak
untuk kembali kepada perundingan dan memulai kembali pembangunan reaktor
nuklir miliknya. (CNS, 2012: 5).
65
Six Party Talks mengalami stagnansi yang kemudian disusul dengan tindakan
Korea Utara yang melakukan tes pertama atas perangkat nuklir miliknya pada 9
Oktober 2006. Namun kemudian dengan bantuan negosiasi Cina, Korea Utara
kembali dalam Six Party Talks pada Novenber (tahap pertama) dan Desember (tahap
kedua) 2006. Di mana para pihak menegaskan kembali pernyataan prinsip (yang
pernah dibahas pada tahun 2005) yang kemudian dibahas lebih lanjut pada
pertemuan tahap ketiga pada tahun 2007.
Kemudian pada tanggal 19 Maret 2007 aset Korea Utara di Banco Delta Asia
dirilis dan kembali dapat dicairkan. Kemudian pada tanggal 14 Juli, IAEA
menegaskan penutupan fasilitas nuklir Yongbyon di Korea Utara. Pada bulan
Oktober 2007, Six Party Talks sepakat untuk Rencana Aksi tahap kedua yang
menyerukan Korea Utara untuk menonaktifkan fasilitas nuklir utamanya di
Yongbyon dan selanjutnya menyerahkan deklarasi penuh bahwa Korea Utara telah
menonaktifkan seluruh program nuklirnya pada 31 Desember 2007.
66
67
BAB IV
A. Penerapan the Policy of Peace and Prosperity di Masa Pemerintahan Roh Moohyun
Kebijakan luar negeri menurut Howard Lentner (dalam Jemadu, 2008: 65) harus
mencakup tiga elemen dasar, yaitu: penentuan tujuan yang hendak dicapai, pengerahan
sumber daya atau instrumen untuk mencapai tujuan tersebut, dan pelaksaan dari
kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan secara aktual menggunakan
sumber daya yang sudah ditetapkan.
The Policy of Peace and Prosperity sebagai kebijakan luar negeri yang resmi
dijalankan oleh pemerintahan Korea Selatan terhadap Korea Utara juga mencakup ketiga
elemen yang dikonsepkan oleh Howard Lenter tersebut. Elemen pertama adalah
penentuan tujuan yang hendak dicapai. Menurut white paper dari the Policy of Peace and
68
Prosperity (dalam The Ministry of National Defense of the Republic of Korea, 2003: 3132) tujuan kebijakan tersebut secara umum yakni untuk membangun perdamaian dan
kemakmuran di Timur Laut Asia berdasarkan pada penyelesaian secara damai terhadap
permasalahan Korea Utara dan membangun komunitas ekonomi antar Korea. Dengan
kata lain, tujuan yang ingin dicapai bukan hanya dalam sektor ekonomi, tapi juga dalam
sektor militer/keamanan. Kebijakan tersebut menekankan pada pendekatan keseimbangan
antara perdamaian dan kesejahteraan.
Elemen kedua dalam kebijakan luar negeri adalah pengerahan sumber daya atau
instrumen untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam menjalankan kebijakannya, pemerintah
Roh Moo-hyun mendasarkan kebijakannya pada visi yang ditujukan untuk membentuk
Semenanjung Korea yang damai dan sejahtera. Kebijakanya tersebut meliputi kerjasama
politik, ekonomi dan keamanan antara Korea Selatan dan Korea Utara. (Kim, 2006: 37).
Elemen terakhir dalam kebijakan luar negeri yang dikonsepkan oleh Howard
Lentner adalah pelaksaan dari kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan
secara aktual menggunakan sumber daya yang sudah ditetapkan. Dalam pelaksanaanya,
the Policy of Peace and Prosperity mengikuti empat prinsip dasar yang telah diulas
dalam bab sebelumnya, yakni: menggunakan dialog sebagai sarana untuk menyelesaikan
semua masalah yang tertunda, membangun rasa saling percaya dan menjaga hubungan
timbal-balik, mempromosikan kerjasama internasional pada prinsip-prinsip partisipasi
langsung dan timbal-balik, serta meningkatkan transparansi, memperluas partisipasi
warga, dan mengamankan dukungan bipartisan. (In-duk, 2003: 5-6). Sementara itu dalam
69
Berdasarkan empat prinsip utama dari the policy of peace and prosperity,
pemerintah Roh Moo-hyun menekankan penggunaan diplomasi sebagai instrumen utama
yang digunakan dalam penerapan kebijakannya. Diplomasi dalam konteks kebijakan luar
negeri menurut John Baylis dan Steve Smith (2005: 398-399) mengacu pada penggunaan
diplomasi sebagai instrumen kebijakan yang memiliki peluang lebih besar karena
memiliki hubungan dengan instrumen lainya, seperti kekuatan ekonomi atau militer
untuk memungkinkan aktor internasional dapat mencapai tujuan kebijakannya. Secara
garis besar, terdapat tiga jenis instrumen kebijakan yang digunakan dalam kebijakan luar
negeri, yakni penggunaan angkatan militer, penggunaan langkah-langkah ekonomi, dan
subversi.
Melalui KIC, pemerintah Roh Moo-hyun terlibat salah satunya melalui pemberian
bantuan/insentif kepada perusahaan-perusahaan swata Korea Selatan yang beroperasi di
Kaesong yang bertujuan untuk merangsang para pemilik modal agar mau menanamkan
modalnya di KIC, dengan demikian maka akan turut mengembangkan KIC. Pemberian
insentif terhadap perusahaan Korea Selatan di KIC dilakukan dengan menggunakan
anggaran negara. Proyek KIC tersebut menunjukkan hasil seperti ketika pada tahun 2007,
sebanyak 65 perusahaan swasta milik Korea Selatan beroperasi di Kaesong dengan
mempekerjakan sebanyak 23,000 pekerja Korea Utara dan menghasilkan keuntungan
$185 juta dalam satu tahun.
KIC merupakan perusahaan bersama antara Korea Utara dengan Korea Selatan.
Menurut analisa penulis, KIC merupakan elemen yang mampu menjadi penengah dari
kedua Korea melalui pendekatan ekonomi dan perdagangan. KIC di satu sisi memberikan
keuntungan bagi Korea Selatan karena dengan memberikan modal serta teknologinya ke
KIC, perusahaan-perusahaan Korea Selatan dapat menekan biaya produksi seperti upah
pekerja dan sewa lahan. Di sisi lain, Korea Utara juga mendapatkan nilai ekonomis,
karena dengan beroperasinya KIC, tenaga kerja Korea Utara dapat terserap dan menekan
angka pengangguran di Korea Utara.Seperti yang dapat dilihat pada tabel III.B.1
(Halaman 53), bahwa jumlah tenaga kerja yang lebih banyak mengoperasikan persahaanperusahaan di KIC adalah berasal dari Korea Utara. Seperti data pada tahun 2007 yang
menyebutkan bahwa jumlah pekerja Korea Utara yang bekerja di KIC berjumlah 23,000
pekerja. Jumlah yang lebih besar daripada pekerja dari Korea Selatan yang hanya
berjumlah 800 pekerja.
71
Akan tetapi, menurut penulis, KIC pada masa pemerintahan Roh Moo-hyun
belum memiliki dasar hukum atau upaya membentuk dasar hukum yang kuat. Sehingga
pasca pemerintahannya, proses produksi di KIC terganggu dengan hubungan Korea
Selatan-Korea Utara yang belum stabil. Sehingga ketika terjadi ketegangan terutama
dalam hal militer atau senjata nuklir, perusahaan-perusahaan di KIC bisa tiba-tiba
dibekukan untuk beroperasi. Sehingga hal tersebut mengganggu produksi barang yang
juga berpengaruh pada kepercayaan pihak lain terhadap produksi barang dari KIC yang
dapat berhenti setiap saat. Upaya membentuk dasar hukum yang kuat di KIC muncul
baru-baru ini (September 2013) dimana Korea Selatan dan Korea Utara melakukan
perjanjian pembukaan kembali KIC (setelah ditutup sejak Maret 2013) dan sepakat untuk
melakukan upaya menarik invenstor asing untuk menanam modal di KIC. Bagi Korea
Selatan, upaya tersebut penting dilakukan agar memberkuat dasar hukum KIC, sehingga
Korea Utara tidak lagi dapat membekukan KIC secara sepihak.
Selain KIC, pemerintah Roh juga melakukan upaya revitalisasi Gunung Kumgang
yang terletak di Korea Utara, dan berbatasan langsung dengan Korea Selatan. Revitalisasi
yang dilakukan oleh pemerintah Roh Moo-hyun antara lain adalah dengan menyediakan
akses transportasi melalui jalan darat, dan menghapus jalur laut yang selama ini biasa
digunakan oleh warga Korea Selatan untuk menuju ke Gununng Kumgang. Revitalisasi
ini, menurut penulis, merupakan salah satu gerakan simbolis dari Korea Selatan untuk
melakukan pendekatan terhadap Korea Utara. Gunung Gumgang secara geografis berada
di perbatasan yang langsung dapat terhubung ke wilayah Korea Selatan. Disamping itu,
Gunung Kumgang juga merupakan salah satu tempat dilakukannya pertemuan kembali
keluarga yang terpisah, yang merupakan program antara Korea Selatan dengan Korea
72
Disamping diplomasi yang dilakukan melalui ekonomi, pemerintah Roh Moohyun juga menerapak diplomasi sosial kebudayaan. Salah satunya adalah dengan
melanjutkan program pemerintah sebelumnya, yakni melakukan pertemuan kembali
keluarga yang terpisah. Hal tersebut, menurut pendapat penulis, selain ditujukan untuk
mempererat kembali jalinan keluarga yang sempat terpisah karena pembagian nasional
Korea, juga dimaksudkan untuk mempererat hubungan baik dengan Korea Utara melalui
tindakan kemanusiaan. Selain itu juga, pertemuan keluarga yang terpisah ditujukan untuk
memunculkan citra positif Korea Selatan bagi Korea Utara.
Korea Utara dengan Korea selatan yang merujuk pada sejarah merupakan sebuah wilayah
yang satu, tempat dimana satu keluarga dulu bersatu. Namun karena adanya pembagian
kedua Korea tersebut, maka keluarga yang satu itupun harus terpisah. Sehingga program
pertemuan kembali keluarga yang terpisah ini, menurut penulis, merupakan pendekatan
historis yang berupa mengingatkan kembali baik kepada Korea Utara maupun dunia
internasional, bahwa kedua Korea berasal dari satu keluarga yang sama.
74
75
Dengan penerapan seperti itu, menurut penulis, Korea Selatan seolah memberikan
bantuan kemanusiaan dengan nominal yang besar kepada Korea Utara secara cumacuma, karena Korea Utara tidak membalasnya dengan memperbaiki hubungan antarKorea. Hal tersebut ditunjukkan seperti misalnya dengan adanya krisis nuklir kedua pada
tahun 2006. Dengan kata lain, pemberian bantuan tersebut tidak memberikan keuntungan
yang signifikan bagi Korea Selatan. Berbeda dengan kebijakan lainnya seperti
mendorong pembangunan KIC dan revitalisasi Gunung Kumgang. Dalam kebijakan
tersebut,
Korea
Selatan
turut
bekerjasama
dengan
Korea
utara
dalam
Namun di sisi lain, penulis menilai bahwa sikap agresif yang ditunjukkan oleh
Korea Utara dengan melakukan aktivitas produksi dan percobaan senjata nuklirnya bukan
semerta-merta untuk mengancam korea Selatan, melainkan sebuah bentuk respon
76
Namun kebijakan tersebut tidak berlangsung lama, karena Presiden Bush secara
sepihak menuding Korea Utara sebagai Axis of Evil pada pidato resmi tanggal 29 Januari
2002, karena menilai bahwa Korea Utara terindikasi memiliki senjata pemusnah massal.
Lebih lanjut Presiden Bush juga mengeluarkan pernyataan pada 14 November 2002
bahwa pengiriman kapal bantuan berisi bahan bakar minyak mentah dari Amerika Serikat
ke Korea Utara yang sebenarnya sudah tercantum dalam Agreed Framework 2014, akan
menjadi pengiriman terakhir jika Korea Utara tidak menghentikan produksi nuklirnya.
Korea Utara yang telah memenuhi aturan Agreed Framewok 1994 dengan
membekukan produksi reaktor nuklir serta mengijinkan adanya inspeksi rutin tim IAEA,
menyambut negatif tudingan sepihak yang dilontarkan Amerika Serikat. Sebagai respon
atas tudingan Amerika Serikat, pada akhir tahun 2002, Korea Utara mengusir tim
inspeksi IAEA dan membuang peralatan pengawasan milik IAEA.
senjata nuklir. Karena bantuan minyak mentah dari Amerika Serikat setiap tahunya sejak
pemberlakuan Agreed Framework 1994, digunakan oleh Korea Utara untuk energi
pembangkit tenaga listrik dan digunakan juga sebagai penghangat bagi masyarakat Korea
di musim dingin. Sehingga ketika Amerika Serikat menghentikan bantuan minyak, Korea
Utara membutuhkan energi lain untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.
Disamping itu, keluarnya Korea Utara dari keanggotaanya di NPT yang dilakukan
jelang pelantikan Roh Moo-hyun juga merupakan bentuk protes Korea Utara terhadap
sikap Amerika Serikat. Dengan keluarnya Korea Utara dari NPT membuat tidak adanya
jaminan mengenai keamanan nuklir di Semenanjung Korea. Hal tersebut turut berdampak
pada penerapan the Policy of Peace and Prosperity yang dijalankan oleh Roh Moo-hyun.
78
Namun dalam menghadapi sikap Korea Utara, Presiden Roh Moo-hyun tetap
menjalankan prinsip-prinsip kebijakannya. Seung-chan Boo yang merupakan research
fellow di
menyatakan bahwa Presiden Roh tetap menjalankan berbagai kerjasama dengan korea
Utara, termasuk juga mengirimkan bantuan (wawancara melalui surat elektronik (email)
pada 29 Mei 2013 terdapat pada lampiran I). Roh Moo-hyun juga terlibat aktif dengan
Korea Utara dalam melakukan dialog, termasuk di dalam Six Party Talks. Hal tersebut
sejalan dengan prinsip the Policy of Peace and Prosperity yang mengutamakan dialog
untuk mencari jalan keluar permasalahan nuklir di Semenanjung Korea.
79
Namun upaya Roh Moo-hyun tersebut terhambat dengan sikap Amerika Serikat
yang dipimpin oleh George W Bush. Presiden Bush kerap memberlakukan kebijakankebijakan maupun klaim sepihak terhadap Korea Utara yang memicu timbulnya
ketegangan di Semenanjung. Sehingga Roh Moo-hyun mengalami kesulitan dalam
mencapai tujuannya seperti mencari resolusi damai terhadap nuklir Korea Utara serta
membangun kepercayaan militer antara kedua belah pihak.
Roh Moo-hyun memiliki tiga tahap pembangunan hubungan dengan Korea Utara
berdasarkan kerangka kebijakannya. Menurut penulis, Roh Moo-hyun bisa dikatakan
behasil membangun dua tahap pertama, yakni melakukan upaya perdamaian dan
mengembangkan kerjasama ekonomi kedua belah pihak. Namun Roh Moo-hyun
kesulitan dalam menjalankan tahap ketiga, yakni meluncurkan rezim perdamaian di
Semenanjung Korea. Pasalnya, Roh Moo-hyun tidak berhasil mencari penyelesaian atas
perjanjian gencatan senjata tahun 1953 dan menggantinya dengan perjanjian damai.
Dengan demikian, Korea Selatan dan korea Utara secara resmi masih berada dalam
keadaan konflik.
Menurut Seung-chan Boo, isu antar Korea dapat dianalisa melalui berbagai
perspektif termasuk ideologi, politik, ekonomi dan kekuatan militer. Permasalahan utama
antara kedua Korea terletak pada perbedaan metodologi untuk membangun sistem
perdamaian di Semenanjung Korea.
80
Pasca perjanjian gencatan senjata, Korea Selatan dan Korea Utara menfokuskan
legitimasi keamanan pada masing-masing pemerintahan dan inisiatif dalam konteks
keamanan.
Seung Chan-boo menilai bahwafaktor utama yang juga menjadi penghambat atas
perdamaian sepenuhnya di Semenanjung Korea adalah karena kedua Korea memiliki cara
pandang yang berbeda mengenai penyelesaian masalah di Semenanjung Korea. Seung
Chan-boo menggambarkan perbedaan metodologi tersebut.
Bagi Korea Selatan terutama pada masa pemerintahan Kim Dae-jung dan Roh
Moo-hyun, tahapan penyelesaian permasalahan semenanjung Korea adalah sebagai
berikut: maintaining cease-fire enlarging exchange and cooperation confidence
building measures signing peace agreement US troop withdrawal building
permanent peace.
Sementara itu, bagi Korea Utara, tahapan penyelesaian masalah Semenanjung
Korea adalah sebagai berikut: abrogating cease-fire agreement signing North-US
peace agreement US troop withdrawal building permanent peace.
Perbedaan cara pandang tersebut itulah yang juga menjadi penghambat dan alasan
mengapa kebijakan Roh Moo-hyun tidak sepenuhnya dpaat mencapai tujuan yang
diharapkan.
81
BAB V
KESIMPULAN
82
yang jelas mengenai mekanisme timbal balik yang diterapkan oleh Korea Selatan.
Sehingga anggaran pemerintah yang merupakan sumber pendaan terbesar bagi
pemberian bantuan tersebut, tidak membawa perubahan yang cukup signifikan bagi
perbaikan hubungan kedua Korea. Akan lebih efektif jika anggaran tersebut
dialokasikan pada peningkatan pembangunan kerjasama ekonomi antara kedua Korea,
sehingga dapat menghasilkan keuntungan ekonomi lebih besar bagi kedua belah pihak
yang kemudian dapat berujung pada saling hubungan ketergantungan dalam bidang
ekonomi. Dengan meningkatnya hubungan saling ketergantungan ekonomi tersebut di
sisi lain akan mampu mengeliminasi potensi konflik dan penggunaan senjata di
Semenanjung Korea.
83
84
Daftar Pustaka
1. Buku
Baylis, John and Steve Smith. 2005. The Globalization of World Politics.
United States : Oxford University Press
Jakarta: Erlangga
Lew, Young Ick. 2000. Brief History of Korea; A Bird's Eye View. New
York: The Korea Society
xvi
2. Jurnal
xvii
xviii
Jae-nam, Ko. The Policy of Peace and Prosperity and South Korea-Russia
Cooperation. East Asian Review.Vol. 16, No. 3, Auntum 2004
Kim Choong Nam. The Roh Moo Hyun Governments Policy Toward
North Korea. International Journal of Korean Studies, Vol. IX,
Fall/Winter, No. 2005
Kim, Hong Nack. South-North Korean Relations Under The Roh MooHyun Government. International Journal of Korean Studies., Vol. X,
No.1, 2006
Kim, Hong Nack. The Lee Myung-Bak Governments North Korea Policy
And the Prospects for Inter-Korean Relations. International Journal of
Korean Studies. Vol. XII, No.1
3. Dokumen elektronik
Korea. 2003.
xix
4. Internet
http://news.bbc.co.uk/2/hi/7317086.stm diakses pada 25 Juni 2012
http://www.koreafocus.or.kr diakses pada 25 Februari 2013
http://www.ncnk.org/resources/briefing-papers/all-briefing-papers/mt.kumgang-and-inter-korean-relations diakses pada 20 Juli 2013
http://globalasia.org/articles/issue4/iss4_8.html diakses pada 2 Agustus
2013
xx
Lampiran I
Narasumber
: Seung-chan Boo
Jabatan
Waktu Wawancara
: 29 Mei 2013
Keterangan
HASIL WAWANCARA
1. Q: In continuing the policy of his predecessor (Sunshine Policy under Kim Dae-jung
administration), would you please tell me, what are the barriers and the challenging
that faced by the Roh Moo-hyun administration at the beginning of his reign? Is the
changing of international condition, such as the aggressiveness of US government
policy toward DPRK under President George W. Bush influenced the application of
that policy?
A: The impediments Roh Moo-hyun administration faced can be divided into national
and international factors. Nationally Roh administration faced South-South conflict
that was triggered by Kim-Dae-jung administrations Sunshine Policy and the
controversy over compensation of the inter-Korean summit and over-policization of
policy toward North Korea. Internationally, motive for continuing Sunshine Policy
was considerably weakened as President Bush indicated North Korea as a rogue
state, an axis of evil along with Iraq and Iran. Especially on October 2002 the
xxi
second nuclear crisis broke out, on December of the same year North Korea
demanded monitoring system on Yongbyon facilities be removed and on January
2003 unilaterally declared withdrawal from NPT. These all contributed to unfolding
worst conditions for US-north Korea relationships as well as inter-Korean
relationships.
2. Q: In addition to diplomacy, foreign aid, and cooperation, what are the instrument
used by the Roh Moo-hyuns administration in implementing the Policy of Peace and
Prosperity? How those instruments applied in inter-Korean relations?
A: Roh Administration faced poor conditions for policy toward North Korea as did
Kim Dae-jung administration. Both of them saw ideological conflicts within Korea
and rampant discords. Conservative civil society and political powers disparaged
xxii
economic exchange and humanitarian assistance for North as giving too much.
Especially Roh Administration had to suffer more criticism and distrust than Kim
Administration did as concerns for the first nuclear test and North Koreas human
rights issues rose.
4. Q: How did the Roh Moo-hyuns administration respond -through the Policy of Peace
and Prosperity- in the face of DPRKs aggressiveness through DPRKs nuclear crisis
in 2003 & 2006?
February 2007 members of Six-Party Talks drew 2.13 nuclear agreements as initial
actions for fulfilling September agreement.
5. Q: In the application of the policy, Roh Moo-hyun sought to put the inter-Korean
policy, regional policy, and ROK-US alliances in one basket.
policies influence the relationship between two Korea, especially during the period of
2003 to 2008?
security vacuum and anxiety that were likely to follow Global Defense Posture
Review and wartime operational control transfer. Under these difficulties, despite
both domestic and international controversies, Roh Administration sent troops to Iraq
for political considerations for US-Korean alliance and national interests from
participating in the restoration project.
7. Q: How did the role of Six Party Talks in advance of the Policy of Peace and
Prosperitys implementation?
xxv
A: China introduced itself as a mediator after the second nuclear issue and the Three
Party Talks between South Korea, North Korea and the USA were held in Beijing,
April 2003. The talks, however, produced no fruits other than confirming each others
intentions. Three Party Talks turned to Six-Party Talks including North Korea, South
Korea and four surrounding powerful nations. These nations tried to solve problems
by discussing and consulting with each other. Accordingly, starting with the first SixParty Salks, six times of six party talks were held in times of Roh Government. The
fourth six party talks produced 9.19 joint declarations with 6 provisions including
principle of denuclearization of the Korean peninsula which provided a fundamental
base for solving North Korean nuclear issues. In 2007 2.13 nuclear agreements
provided a clue for solving North Korean nuclear issues.
8. Q: Refer to your point of view, what are your criticism to the ROKs policy toward
the DPRK, both in the Kim Dae-jung and the Roh Moo-huns administrations? And
how do you respond about the Sunshine Policy (and also the Policy of Peace and
Prosperity) that in some writings questionable on effectiveness and even blamed for a
failed policy?
A: President Roh Moo-hyun, tried to carry forward the engagement policy towards
North Korea in the midst of citizens agreements and participations. However,
challenged by the conservatives which resulted in South-South conflicts, the policy
met with serious difficulties. The conservatives argued that, as North Korea tried
developing nuclear weapons for their own safety and thus threatening the peace of
Korean peninsula, the engagement policy showed its limitations in persuading North
Korea which enlarged controversy over giving too much. Also, they criticized that
xxvi
9. Q: In your opinion, what are, actually, the main problems between two Korea,
looking back from the history and the current issue? Why it seemed so hard to make a
peace in the Peninsula? What are the constraints? What it takes to make Korean
Unification become real?
toward North, strong response to North Koreas provocations and continued exchange
and cooperation are necessary for peace to settle in Korean peninsula. Of course,
governmental endeavors to solve South-South conflicts should precede to carry those
policies.
10. Q: On last wednesday (10/04/13), I attend to the festival of Kim Il Sung flower in
Jakarta, Indonesia. I met DPRKs ambassador for Indonesia, Ri Jong Ryul. Related to
ROK-DPRKs issue, he said that, "We (DPRK) actually want peace, we do not want
war. But we are also not afraid of war. Refer to his statement, I can conclude that
actually, in DPRKs point of view, they want to make a peace in Peninsula. Then, I
am curious about your opinion, how does the ROKs point of view toward making
peace with DPRK? Are they feel the same?
A: South Korea and North Korea both agree to establish a peace regime on the
Korean Peninsula. However, due to different political systems and national power
gap, they are of different opinions in terms of approach. As Lee Myung-bak
governments policies showed, North Korea, due to these recent circumstances, is
threatened of reunification through absorption. Hence, Korean government should
help North Korea to relieve the anxiety and enter into reform an open-door policy.
Only in that way is easier the peace establishment. There is no discussion over peace
regime on the Korean Peninsula at present. North and South are making a trial of
strength and burning energy out. Other than multi-lateral talks like Six Party Talks,
resolution of nuclear issues is hard to find. Korean government should not be too
subordinate to North Korean nuclear issues, but continue private humanitarian
xxviii
assistance to build inter-Korean trust and endeavor to build structural basis for interKorean exchange and cooperation.
Q: Question/pertanyaan
xxix
A: Answer/jawaban
INF
INFCIRC/457
2 November 1994
INFORMATION CIRCULAR
GENERAL Distr.
Original: ENGLISH
The attached text of the Agreed Framework between the United States of America
and the Democratic Peoples Republic of Korea, signed in Geneva on 21 October 1994, is
being circulated to all Member States of the Agency at the request of the Resident
Representative of the United States of America.
94-04871
INFCIRC/457
Attachment
--
--
- 2-
2)
3)
I n a c c o r d a n c e w i t h t h e O c t o b e r 2 0 , 1 99 4 l e t t e r o f
assurance from the U.S. President, the U.S.,
representing the consortium, will make arrangements
to offset the energy foregone due to the freeze of
the DPRK's graphite- moderated reactors and related
facilities, pending completion of the first LWR unit.
--
--
Deliveries of heavy
three months of the
will reach a rate of
accordance with an
--
--
- 3-
4)
II.
--
2)
3)
III. Both sides will work together for peace and security on
a n u c le a r - f r e e K o r e a n P e n i n s u l a .
1)
2)
3)
T h e D P R K w i l l e n g a g e i n N o r t h- S o u t h d i a l o g u e , a s
this agreed framework will help create an atmosphere
that promotes such dialogue.
- 4-
2)
U p o n c o n c l u s i o n o f t h e s u p p l y c o n t r a c t f o r t he
provision of the LWR project, ad hoc and routine
inspections will resume under the DPRK's Safeguards
Agreement with the IAEA with respect to the
facilities not subject to the freeze. Pending
conclusion of the supply contract, inspections
r e q ui r e d b y t h e I A E A f o r t h e c o n t i n u i t y o f
safeguards will continue at the facilities not
subject to the freeze.
3)
____________________
Kang Sok Ju
____________________
Robert L. Gallucci
SIX-PARTY TALKS
SIX-PARTY TALKS
Initiated: 27 August 2003
Participants: China, Democratic Peoples Republic
of Korea (DPRK), Japan, Russian Federation,
Republic of Korea (ROK), and the United States.
Background:
The goal of the Six-Party Talks is to identify a course
of action to bring security and stability to the Korean
Peninsula. The main issue that the talks address is the
DPRKs nuclear weapons program. The Six-Party
Talks began in 2003, shortly after the DPRK
announced its intention to withdraw from the Treaty
on the Non-proliferation of Nuclear Weapons (NPT).
The United States requested the participation of
China, Japan, South Korea, and Russia due to the
DPRKs breaches of the bilateral Agreed Framework
of 1994. Talks have taken place in Beijing, China.
Participants:
China: China, the DPRKs main trading partner, has
provided Pyongyang with an enormous amount of
humanitarian and energy assistance. Because of this
relationship, China plays a vital role in acting as a
mediator for the Six-Party Talks. China has an
interest in preserving stability in the DPRK due to the
large number of refugees it would receive if tensions
rose. Regional stability is also needed to ensure
Chinas continued economic growth.
DPRK: The leadership of the DPRK has made it
clear that it believes its nuclear weapons program
provides vital national security benefits. Energy
production is also one of the primary concerns of the
DPRK leadership. The DPRK economy is weak, and
the nation has suffered multiple famines in recent
years that have killed large numbers of its citizens.
Within the Six-Party Talks, the leaders of the DPRK
seek to gain security, energy, and economic benefits.
Japan: Japan believes that the DPRKs nuclear
weapons program directly threatens its national
security. Besides seeking the denuclearization of the
Korean Peninsula, Japan wishes to address other
issues in the Six-Party Talks, such as the abduction of
Japanese citizens by the DPRK government.
Developments:
For related information, see sections on Joint
Declaration of South and North Korea, KEDO, and
IAEA
2012: On 23 February, talks between the United
States and North Korea resumed in Beijing. The
DPRK agreed to halt their nuclear tests, long-range
missile launches and enrichment activities at
Yongbyon nuclear complex. In addition, they
promised to allow IAEA inspectors to monitor the
moratorium on uranium enrichment at the complex.
In return, the United States pledged to resume
SP-1
SIX-PARTY TALKS
240,000 metric-tons of food aid. The agreement was
known informally as the Leap day agreement.
In commemoration of the late president Kim IlSungs 100th birthday, North Korea launched the
Kwangmyongsong-3 satellite on April 6, which failed
to reach orbit. The United States and South Korea
viewed the act as a test of missile technology and
suspended food aid to the DPRK. The United States
has since been meeting with other Six-Party members
including ROK and Japan individually regarding a
peaceful solution to the issue.
On May 3 during the first preparatory meeting for the
2015 NPT Review Conference in Vienna, the five
permanent members of the UN Security Council
issued a joint statement strongly urging the DPRK to
fulfill its commitments under the 2005 Joint
Statement of the Six-Party Talks, and to fully comply
with the obligations under UN Security Council
Resolutions 1718 and 1874, including abandoning all
its nuclear weapons and existing nuclear programs
and immediately ceasing all related activities.
On May 22, North Korea vowed to move ahead with
its nuclear program and take self-defense measures
to protect itself from U.S. hostility regarding its
satellite launch in April. There is concern among the
Six-Party members that a nuclear test could follow
shortly, as it has in the case of past rocket/satellite
launches. In response, U.S. Special Envoy Glyn
Davies emphasized the need for sanctions against the
DPRK during meetings with Chinese officials in
Beijing. Despite statements by North Korea that it
does not intend to test a nuclear device, satellite
images indicate construction at rocket launch sites is
progressing rapidly.
2011: Despite threats from North Korea, the United
States and South Korea started their annual joint
military exercises on February 28. The exercises,
designed to test force preparedness for a conflict with
North Korea, were described by both parties as
defensive in nature but were viewed by the DPRK
as acts of aggression. They will continue through 30
April.
On March 15, North Korea indicated to Russia its
willingness to return to the Six-Party Talks if they
were resumed unconditionally. Russia responded the
next day indicating its readiness to restart the SixParty Talks.
Also on March 15 the G8 Foreign Ministers
condemned DPRKs continued violation of UN
Security Council Resolutions 1718 and 1874
following DPRKs disclosure of uranium enrichment
activities.
SP-2
SIX-PARTY TALKS
and Medvedev also discussed a range of joint energy
and infrastructure projects, and Russia pledged to
provide the DPRK with 50,000 tons of wheat.
South Korea and the United States responded
skeptically to Kim Jong-Ils statements, and both
called for the DPRK to take meaningful, tangible
steps toward denuclearization before Six-Party talks
could resume.
On September 27, DPRK Deputy Foreign Minister
Pak Kil Yon stated at the United Nations, that the
DPRK was ready for an unconditional resumption
of Six-Party Talks. Pak Kil Yon also called for
mechanisms that will make Security Council
Resolutions related to peace and security (i.e.
sanctions and use of force), subject to United Nations
General Assembly approval.
On 19 December, North Korea announced that Kim
Jong-Il died.
2010: On 11 January, DPRK Foreign Minister Paek
Nam Sun stated that the formation of a peace treaty
with the United States was a precondition for his
countrys return to the Six-Party Talks.
On 4 February, Kurt Campbell, U.S. Assistant
Secretary of State for East Asian and Pacific Affairs
responded by announcing that United States would
continue to hold the DPRKs return to the Six-Party
Talks as an essential precondition to discussing a
peace treaty or lifting any sanctions imposed by the
United Nations.
On 26 March, a South Korean warship, the Cheonan,
sank after coming into contact with a torpedo, killing
46 soldiers. In May, South Korea formally accused
DPRK of launching a torpedo against its warship, but
North Korea denied having any involvement in the
explosion. South Korean officials stated they would
not resume Six-Party Talks until the Cheonan
incident was resolved and an official policy response
from North Korea was given.
On 22 April, Russian Foreign Minister Sergei Lavrov
called for a reconvening of Six-Party Talks, after
DPRK announced it would not eliminate its nuclear
weapons program, but instead wanted to work with
other nuclear weapons states in their
nonproliferation efforts.
On 27 August, North Koreas Kim Jong-Il met with
Chinese President Hu Jintao in an attempt by China
to re-engage North Korea in Six-Party Talks. During
the meeting Kim Jong-Il expressed hope for the
early resumption of the talks.
SP-3
SIX-PARTY TALKS
violation of United Nations Security Council
Resolution 1718. The statement demanded that the
DPRK not conduct any additional launches. It also
established a committee to determine whether an
adjustment of sanctions would be possible. This
statement was drafted after the permanent members
of the Security Council failed to agree on a new
resolution that included sanctions.
In response to the Security Council statement, on
April 14, the DPRK announced its withdrawal from
the Six-Party Talks and its intention to restore the
nuclear facilities that had been shut down under the
disablement process. On the same day, the DPRKs
state-run Korean Central News Agency reported:
The DPRK threatened to conduct a nuclear test and
more ballistic missile tests if the United Nations
Security Council does not apologize to the DPRK
and withdraw its condemnation of Pyongyangs
rocket launch earlier this month.
On May 25, the DPRK conducted an underground
nuclear test about 70 kilometers northwest of
Kimchaek, the site of the 2006 underground nuclear
test. The international community, including all five
permanent members of the United Nations Security
Council, strongly condemned this act.
On June 12, the United Nations Security Council
unanimously adopted Resolution 1874. This
resolution imposed further economic and commercial
sanctions on the DPRK and authorized UN Member
States to interdict and search DPRK vessels for
prohibited cargo. The resolution also called upon the
DPRK to retract its announced withdrawal from the
NPT and return to the Six-Party Talks.
In September, DPRK leader Kim Jong-Il was quoted
by Chinas Xinhua news agency as saying that he
would be open to bilateral talks with the United
States in order to resolve relevant issues.
In October, Chinese Prime Minister Wen Jiabao
visited the DPRK and met with Kim Jong-Il.
Afterwards, the Prime Minister announced that the
DPRK was ready to return to the Six-Party Talks. He
also made it clear that DPRK participation in the
talks would be dependant on whether progress was
made in the bilateral negotiations with the United
States. At the time of this announcement, the South
Korean news agency Yonhap reported that the DPRK
had nearly completed the restoration of its main
nuclear facility in Yongbyon.
In December, U.S. special representative to North
Korea Stephen Bosworth met with DPRK officials in
Pyongyang. The talks did not produce any concrete
commitments, though Bosworth reported that he had
SP-4
SIX-PARTY TALKS
furthermore to submit a full declaration of its entire
nuclear program by December 31, 2007.
2006: As a result of failed talks, North Korea tested
seven missiles including several long-range missiles
in July and announced plans to test a nuclear device.
On 9 October 2006, the DPRK tested its first nuclear
device at 10:35am (local time) at Mount Mantap
near Punggye-ri, Kilchu-kun, North Hamgyong
Province. The yield from the test appeared to be less
than 1 kiloton; the DPRK reportedly was expecting at
least a 4 kiloton yield, possibly indicating that the
nuclear program still had a number of technical
hurdles to overcome before it could deploy a usable
warhead. In reaction to the test, the UN Security
Council passed Resolution 1718 placing sanctions on
the DPRK.
With Beijings behind the scenes negotiations, the
DPRK returned to the Six-Party Talks in from
November (phase 1) and December 2006 (phase 2)
in which the parties reaffirm the September 19, 2005
Joint Statement. The talks would continue into a third
phase in 2007.
2005: On 10 February, the DPRK announced that it
had manufactured nuclear weapons and was
suspending talks for an indefinite period.
In April, the ROK claimed the North has shut down
its reactor to extract fissile material for nuclear
weapons. On May 1, the DPRK partook in another
missile test.
A fourth round of Six-Party Talks took place in two
phases: from July 27 to August 7 and from
September 13 to 19. The first phase of the Fourth
Round of Six-Party Talks was largely unsuccessful in
that no agreements could be made, thus they were
recessed until Septembers second phase.
On 19 September, the DPRKs delegation to the SixParty Talks signed a Statement of Principles
whereby Pyongyang agreed to abandon all nuclear
programs and return to the NPT and restore IAEA
safeguards in exchange for a U.S.-provided lightwater reactor. Implementation was delayed because
the DPRK and the United States had desired that the
other side fulfill its obligations under the agreement
first.
Despite the Statement of Principles, the Six-Party
Talks process was put on hold for over a year. A key
issue holding back the talks was a disagreement over
financial sanctions placed by the United States on
businesses working with the DPRK. In September
2005, Washington froze the assets of Macao-based
Banco Delta Asia. The reasons for this action was
SP-5
SIX-PARTY TALKS
North Korea as a member of the axis of evil due to
their suspected nuclear weapons program.
Through April, U.S. and South Korean officials
attended several meetings to discuss the possible
resumption of U.S. negotiations with North Korea to
reinvigorate the 1994 Agreed Framework. South
Korean presidential aide Lim Dong Won met with
North Korean officials, including leader Kim Jong-Il,
who agreed to receive U.S. diplomat Jack Pritchard
to discuss restarting U.S.-North Korean negotiations
on the Agreed Framework. At issue were the IAEA
inspections of North Koreas nuclear facilities, called
for in the 1994 agreement when a significant
portion of the new reactors was completed. U.S.
officials said the inspections could take three to four
years to conduct, making their early commencement
necessary to avoid interruption or delay in U.S. aid
for building the two LWRs intended to supply
electricity to North Korea. North Korean officials,
however, were reluctant to allow the inspections in
the wake of U.S. President Bushs January axis of
evil speech, and due to concerns that the United
States would renege on its pledge to help the country
complete the LWRs.
During a visit to the DPRK from October 3-5, U.S.
Assistant Secretary James A. Kelly and his
delegation advised the North Koreans that the United
States had recently acquired information indicating
that North Korea had a program to enrich uranium for
nuclear weapons in violation of the Agreed
Framework and other agreements. On October 16,
U.S. officials claimed that North Korea
acknowledged they had such a program; however,
there is still much conflict over the interpretation of
North Korean statements if they really admitted
possession or asserted their right to possession. The
following day, Kim Jong-Il stated he would allow
inspections of decommissioned nuclear facilities.
On November 14, U.S. President George W. Bush
declared that November oil shipments to North Korea
would be the last if the North did not agree to put a
halt to its weapons programs.
On December 12, the DPRK threatened to reactivate
nuclear facilities for energy generation as a
consequence of the Americans decision to halt oil
shipments Finally, North Korea expelled IAEA
inspectors and stated plans to reopen its reprocessing
facilities.
2001: On February 22, North Korea threatened to
abandon its participation in the Agreed Framework if
the Bush administration followed a different North
Korea policy from that of the Clinton administration.
SP-6
SIX-PARTY TALKS
of conventional power plants to meet North Koreas
civilian energy needs. They called into question
Pyongyang's track record and said that North
Korea's regime could hardly be trusted with LWR
technology or fissile material.
On 13 June, U.S. special envoy Jack Pritchard met
North Koreas UN envoy in New York, beginning a
dialogue between the Bush administration and the
government in Pyongyang. This meeting was
followed by the U.S. administrations decision to
resume negotiations with North Korea after a threemonth review.
SP-7