Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Beberapa prinsip dalam SMR tentang kontak dengan dunia luar yang harus dipahami oleh
semua orang, tanpa terkecuali, antara lain:
1. Narapidana memiliki hak-hak yang sama dengan semua orang, kecuali hak-hak
yang harus selalu dibatasi.
1
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas kehilangan kemerdekaan adalah satu-
satunya bentuk penderitaan.
2
Kompilasi Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia dan Dokumen-dokumen Terkait dengan Praktek
dalam Lembaga Pemasyarakatan, Edisi Revisi, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Direktorat
Jenderal Hak Asasi Manusia- Direktorat Jenderal Pemasyarakatan) dan Raoul Wallenberg Institute of
Human Rights and Humanitarian Law, 2008, hlm. 242.
1
Pada pasal ini ada beberapa penekanan yaitu:
a. Narapidana memiliki hak untuk berbicara dengan Kepala LAPAS dan
petugas LAPAS;
b. Narapidana memiliki hak untuk berbicara dengan Inspektur yang
melakukan pengawasan;
c. narapidana memiliki hak untuk berhubungan dengan penasehat hukum
mereka;
d. narapidana memiliki hak untuk berhubungan dengan otoritas publik atau
badan publik dan perwakilan-perwakilan diplomatik/konsulat;
e. Narapidana diperbolehkan bicara dengan Media bila mereka ingin,
tidak boleh diharuskan melakukannya. Fakta bahwa mereka akan
mengatakan hal yang memalukan tentang LAPAS/RUTAN, bukanlah alasan
yang kuat untuk menolak kontak dengan media;
f. Seluruh kegiatan yang disebutkan dalam butir a-e, harus telah melalui
prosedur yang resmi.
Berhubungan dengan isu Pers Bebas Masuk ke dalam LAPAS/RUTAN, berarti Pers
melakukan kunjungan kepada narapidana di dalam LAPAS/RUTAN. Perlu kita pahami
beberapa prinsip kunjungan ke dalam LAPAS/RUTAN antara lain:
3
Membuat Standard-Standard Bekerja, sebuah buku panduan internasional mengenai praktek pemenjaraan
yang baik, Penal Reform International, Maret 2001.
2
kunjungan semua keluarga besar termasuk anak-anak atau kunjungan suami-
istri, tentu saja baru dapat dilakukan jika keamanan dan pengawasan dapat
terpenuhi.
- Atas dasar kepentingan untuk memelihara harga diri para narapidana di dalam
LAPAS/RUTAN, adalah tidak dimungkinkan untuk menerima kunjungan di
dalam sel. Selain menjaga privasi dari narapidana, juga menjaga keamanan di
dalam LAPAS/RUTAN. Kunjungan merupakan kesempatan yang paling
mudah untuk menyeludupkan obat-obatan, alkohol, uang dan senjata ke dalam
LAPAS/RUTAN, selain itu LAPAS/RUTAN juga memiliki kewajiban untuk
menjaga keselamatan diri dari para pengunjung.
b. Perihal wawancara:
Para narapidana harus memiliki hak untuk menolak wawancara dengan alasan
privasi. Mereka juga harus diperbolehkan untuk memiliki wawancara jika itu
keinginannya. Lembaga memiliki hak untuk struktur wawancara dengan cara yang
dapat menghindari timbulnya gangguan di dalam LAPAS/RUTAN, dan melindungi
privasi semua orang, termasuk staf dan para tahanan.
Jadi jika pers ingin mewawancarai narapidana, lebih baik dilakukan di ruangan
terpisah, tidak di dalam sel. Jika memang wawancara tetap harus dilaksanakan di
dalam sel, maka dilakukan sesuai dengan jalur resmi dan telah mendapat ijin dari
pihak yang berwenang.
Lalu bagaimana dengan kamera media? Kamera media bisa juga dikatakan sebagai
salah satu alat untuk kontak dengan dunia luar. Narapidana memiliki hak untuk
mengadu kepada media. Tapi harus ditekankan, bahwa narapidana yang satu tidak
boleh melanggar hak daripada narapidana yang lain. Jika pers memaksa masuk ke
dalam LAPAS/RUTAN dengan kamera media, LAPAS/RUTAN berhak melarang
dengan alasan NARAPIDANA ADALAH SUBJEK, BUKAN OBJEK untuk
dieksploitasi (hal ini diterangkan dalam Penjelasan UU Nnomor 12 tahun 1995).
Semua narapidana dan tahanan memiliki hak untuk privasi, media tidak boleh
dibiarkan untuk foto tahanan yang belum memberikan mereka izin untuk
melakukannya. Hal ini juga berlaku bagi staf pemasyarakatan yang hadir.
3
Pemasyarakatan harus dapat membuktikan bahwa tahanan memberikan izin jika
memungkinkan ini terjadi (biasanya menandatangani semacam lembar).
Dilihat dari segi hak pers, jika tujuannya adalah wawancara untuk difilmkan,
biasanya petugas pemasyarakatan akan mengambil alih kamera dimulai saat pintu
depan LAPAS/RUTAN, lalu berikan pada orang media untuk digunakan dalam
ruangan tempat wawancara berlangsung, dan mengambil alih kembali kamera
setiap kali mereka bergerak mengitari lembaga. Dengan begitu, media tidak dapat
mengambil gambar, kecuali Kalapas/Karutan memberikan wewenang atas hal itu.
Petugas dapat memberikan kamera kembali kepada mereka di luar pintu depan
LAPAS/RUTAN. Proses yang sama dapat digunakan jika ada media untuk
mengambil gambar dari hal tertentu, seperti sel, atau taman, atau halaman, atau apa
pun.
Dilihat dari segi hak narapidana, mereka berhak mengadu kepada pers tentang
permasalahannya di dalam LAPAS, boleh diwawancarai dan direkam gambarnya
oleh wartawan/media tersebut, di ruangan kunjungan atau suatu tempat khusus yang
disediakan. Jika dalam perkembangannya, wartawan atau media tetap memaksa
untuk mengeksploitasi LAPAS dan Narapidana lainnya, maka tidak tertutup
kemungkinan dapat dikenakan Kode Etik Jurnalistik.
Ada beberapa prinsip dalam Kode Etik Jurnalistik dikaitkan dengan Kemerdekaan
Pers di dalam LAPAS/RUTAN, yaitu:
1. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan
berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas
kehidupan manusia.
2. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers
menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan
terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
3. Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita
yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati
nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk
pemilik perusahaan pers; Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif
ketika peristiwa terjadi; Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan
setara; Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-
mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
4. Penafsiran Pasal 2: Wartawan Indonesia menghormati hak privasi.
4
5. Pasal 5 : Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan
identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak
yang menjadi pelaku kejahatan.
6. Pasal 7 : Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi
narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun
keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang,
dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
c. Jika ada ketidakpuasan untuk menindaklanjuti laporan dari narapidana via pers
tersebut, maka permasalahan ini dapat diselesaikan dengan bantuan Lembaga
Ombudsman.4
4
Ombudsman Republik Indonesia (sebelumnya bernama Komisi Ombudsman Nasional) adalah
lembaga negara di Indonesia yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik
baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan
oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan
swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian
atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 September
2008; lihat www.ombudsman.go.id, dan http://id.wikisource.org/wiki/Undang-
Undang_Republik_Indonesia_Nomor_37_Tahun_2008
5
Tugas Ombudsman Republik Indonesia adalah:
Kesimpulan
Kembali ke tujuan awal, bahwa pers adalah alat pengendali sosial dan semua
kunjungan-kunjungan di dalam LAPAS/RUTAN bertujuan untuk memberikan manfaat
perkembangan pembinaan bagi narapidana, maka sudah seharusnya kunjungan-
kunjungan pihak luar ke tempat pemenjaraan, intinya tidak serta merta dipublikasikan
sebelum diklarifikasikan ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. (-dj-19/01/2010)