Vous êtes sur la page 1sur 6

WACANA

MEMBATASI KEBEBASAN PERS DI DALAM LAPAS

Oleh: Dina Juliani & Drs. Nugroho, M.Si


(Sekretariat HAM Direktorat Jenderal Pemasyarakatan)

Narapidana dikirim ke dalam LAPAS/RUTAN ”sebagai hukuman” bukan ”untuk


dihukum”, asas ini diatur dalam Pasal 5 butir (f) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan.1 Terpisah dari dunia luar merupakan bentuk kehilangan
kebebasan. Pada saat yang sama, narapidana tetap harus memelihara kontak dengan dunia
luar karena hal tersebut penting untuk mereka, dan karena kesanalah mereka akan
kembali setelah bebas pada akhirnya.

Standar Perlakuan Minimum kepada Narapidana (Standard Minimum Rules for


the Treatment of Prisoner – yang untuk selanjutnya disingkat menjadi SMR) tahun 1957
adalah suatu standar yang ditetapkan oleh Kongres Pertama Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Pencegahan dan Perlakuan bagi Pelanggar Hukum, yang diselenggarakan di
Jenewa pada tahun 1955, dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan
Bangsa-Bangsa melalui resolusi 663 C (XXIV) tanggal 31 Juli 1957 dan 2076 (LXII)
tanggal 31 Mei 1997 dan menjadi dasar perlakuan minimum bagi semua negara anggota
PBB dalam memperlakukan tahanan/narapidana, memiliki prinsip-prinsip tentang
Kontak dengan Dunia Luar.2 Tetapi SMR tidak secara spesifik membahas perijinan
media pers ke dalam institusi pemasyarakatan. Pada implementasinya, sebelum media
pers melakukan kunjungan ke LAPAS/RUTAN harus sudah mengantongi ijin dari pihak
yang berwenang (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan).

Beberapa prinsip dalam SMR tentang kontak dengan dunia luar yang harus dipahami oleh
semua orang, tanpa terkecuali, antara lain:

1. Narapidana memiliki hak-hak yang sama dengan semua orang, kecuali hak-hak
yang harus selalu dibatasi.

2. Aturan 36: bahwa narapidana dapat memiliki kesempatan untuk mengajukan


permohonan pengaduan kepada Kepala LAPAS-RUTAN/Petugas/Inspektur yang
sedang menginspeksi/Otoritas Pengadilan/Otoritas Lainnya yang tepat melalui jalur
resmi (termasuk di dalamnya LSM/Badan Masyarakat/Media yang telah melalui
prosedur yang resmi).

1
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas kehilangan kemerdekaan adalah satu-
satunya bentuk penderitaan.
2
Kompilasi Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia dan Dokumen-dokumen Terkait dengan Praktek
dalam Lembaga Pemasyarakatan, Edisi Revisi, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Direktorat
Jenderal Hak Asasi Manusia- Direktorat Jenderal Pemasyarakatan) dan Raoul Wallenberg Institute of
Human Rights and Humanitarian Law, 2008, hlm. 242.

1
Pada pasal ini ada beberapa penekanan yaitu:
a. Narapidana memiliki hak untuk berbicara dengan Kepala LAPAS dan
petugas LAPAS;
b. Narapidana memiliki hak untuk berbicara dengan Inspektur yang
melakukan pengawasan;
c. narapidana memiliki hak untuk berhubungan dengan penasehat hukum
mereka;
d. narapidana memiliki hak untuk berhubungan dengan otoritas publik atau
badan publik dan perwakilan-perwakilan diplomatik/konsulat;
e. Narapidana diperbolehkan bicara dengan Media bila mereka ingin,
tidak boleh diharuskan melakukannya. Fakta bahwa mereka akan
mengatakan hal yang memalukan tentang LAPAS/RUTAN, bukanlah alasan
yang kuat untuk menolak kontak dengan media;
f. Seluruh kegiatan yang disebutkan dalam butir a-e, harus telah melalui
prosedur yang resmi.

3. Aturan 37 SMR: dinyatakan bahwa narapidana dapat diperbolehkan di bawah


pengawasan yang diperlukan, untuk berkomunikasi dengan keluarga mereka dan
teman-teman yang dapat dipercaya secara teratur, baik melalui surat-menyurat dan
kunjungan.
Pada pasal ini, ada penekanan bahwa narapidana memiliki hak untuk bertemu dengan
keluarganya. Tetapi untuk ”teman-teman atau kolega” harus dibatasi dalam kategori
adalah orang yang dapat dipercaya, dengan perilaku yang baik.

4. Aturan 61 SMR: seluruh perlakuan terhadap narapidana harus menekankan pada


asas ”kenormalan” dalam arti tidak menyisihkan mereka dari masyarakat dan
kehidupan bermasyarakat mereka selanjutnya, dan perlakuan ini dibatasi dengan
tata tertib LAPAS/RUTAN.

Berhubungan dengan isu Pers Bebas Masuk ke dalam LAPAS/RUTAN, berarti Pers
melakukan kunjungan kepada narapidana di dalam LAPAS/RUTAN. Perlu kita pahami
beberapa prinsip kunjungan ke dalam LAPAS/RUTAN antara lain:

a. Perihal masalah kunjungan, diperbolehkan adanya kontak fisik antara


pengunjung dan narapidana (dalam hal ini pers dan narapidana). Kondisi-kondisi
kunjungan harus memenuhi 2 (dua) unsur: yaitu mempertahankan hubungan-
hubungan sosial dan untuk memelihara harga diri para narapidana. Untuk
memenuhi unsur-unsur ini maka diperlukan pengaturan-pengaturan yang manusiawi
tentang kunjungan dan juga pengawasannya.3
- Dalam hal memudahkan pengawasan (karena jumlah petugas dan narapidana
tidak seimbang), kunjungan dilakukan di ruang kunjungan. Jika
memungkinkan, kunjungan dapat dilakukan di ruangan-ruangan khusus yang
disediakan oleh LAPAS/RUTAN, yang biasanya diperuntukkan bagi
narapidana yang memiliki keluarga yang tempat tinggalnya jauh atau

3
Membuat Standard-Standard Bekerja, sebuah buku panduan internasional mengenai praktek pemenjaraan
yang baik, Penal Reform International, Maret 2001.

2
kunjungan semua keluarga besar termasuk anak-anak atau kunjungan suami-
istri, tentu saja baru dapat dilakukan jika keamanan dan pengawasan dapat
terpenuhi.
- Atas dasar kepentingan untuk memelihara harga diri para narapidana di dalam
LAPAS/RUTAN, adalah tidak dimungkinkan untuk menerima kunjungan di
dalam sel. Selain menjaga privasi dari narapidana, juga menjaga keamanan di
dalam LAPAS/RUTAN. Kunjungan merupakan kesempatan yang paling
mudah untuk menyeludupkan obat-obatan, alkohol, uang dan senjata ke dalam
LAPAS/RUTAN, selain itu LAPAS/RUTAN juga memiliki kewajiban untuk
menjaga keselamatan diri dari para pengunjung.

b. Perihal wawancara:
Para narapidana harus memiliki hak untuk menolak wawancara dengan alasan
privasi. Mereka juga harus diperbolehkan untuk memiliki wawancara jika itu
keinginannya. Lembaga memiliki hak untuk struktur wawancara dengan cara yang
dapat menghindari timbulnya gangguan di dalam LAPAS/RUTAN, dan melindungi
privasi semua orang, termasuk staf dan para tahanan.
Jadi jika pers ingin mewawancarai narapidana, lebih baik dilakukan di ruangan
terpisah, tidak di dalam sel. Jika memang wawancara tetap harus dilaksanakan di
dalam sel, maka dilakukan sesuai dengan jalur resmi dan telah mendapat ijin dari
pihak yang berwenang.

c. Pengadaan kamera media/pers ke dalam LAPAS/RUTAN:


SMR tidak secara tegas menyebutkan kamera dilarang masuk kedalam LAPAS.
Sebagai alat komunikasi di dalam LAPAS yang disebutkan dalam SMR adalah
”SURAT-MENYURAT”. Pada era maju ini, surat ”tradisional” menjadi tidak
efektif dalam hal kontak dengan dunia luar. Dalam perkembangannya, kontak
dengan dunia luar dapat dilakukan melalui telepon, email, telegram, fax, ataupun
alat lainnya yang berbau elektronik (Manfred Nowak. Uraian Konvensi untuk Hak
Sipil dan Hak Politik, Kehl 1993, hlm 304), sudah tentu perlu adanya
pembatasan/pengaturan mengenai tata cara pengunaan media kontak dengan dunia
luar tersebut, dan orang-orang/pihak-pihak yang dihubungi sudah diidentifikasi
terlebih dahulu oleh petugas LAPAS/RUTAN dan diyakini bahwa kontak tersebut
memberikan manfaat dalam perkembangan pembinaan yang bersangkutan.

Lalu bagaimana dengan kamera media? Kamera media bisa juga dikatakan sebagai
salah satu alat untuk kontak dengan dunia luar. Narapidana memiliki hak untuk
mengadu kepada media. Tapi harus ditekankan, bahwa narapidana yang satu tidak
boleh melanggar hak daripada narapidana yang lain. Jika pers memaksa masuk ke
dalam LAPAS/RUTAN dengan kamera media, LAPAS/RUTAN berhak melarang
dengan alasan NARAPIDANA ADALAH SUBJEK, BUKAN OBJEK untuk
dieksploitasi (hal ini diterangkan dalam Penjelasan UU Nnomor 12 tahun 1995).

Semua narapidana dan tahanan memiliki hak untuk privasi, media tidak boleh
dibiarkan untuk foto tahanan yang belum memberikan mereka izin untuk
melakukannya. Hal ini juga berlaku bagi staf pemasyarakatan yang hadir.

3
Pemasyarakatan harus dapat membuktikan bahwa tahanan memberikan izin jika
memungkinkan ini terjadi (biasanya menandatangani semacam lembar).

Pengalaman di seluruh dunia adalah bahwa media mustahil untuk mengendalikan


situasi tanpa skandal setelah Anda membiarkan mereka masuk ke dalam
LAPAS/RUTAN dengan kamera. Jika Anda membiarkan mereka berjalan-jalan
dengan kamera, mereka akan mengambil gambar yang Anda tidak ingin mereka
ambil

Dilihat dari segi hak pers, jika tujuannya adalah wawancara untuk difilmkan,
biasanya petugas pemasyarakatan akan mengambil alih kamera dimulai saat pintu
depan LAPAS/RUTAN, lalu berikan pada orang media untuk digunakan dalam
ruangan tempat wawancara berlangsung, dan mengambil alih kembali kamera
setiap kali mereka bergerak mengitari lembaga. Dengan begitu, media tidak dapat
mengambil gambar, kecuali Kalapas/Karutan memberikan wewenang atas hal itu.
Petugas dapat memberikan kamera kembali kepada mereka di luar pintu depan
LAPAS/RUTAN. Proses yang sama dapat digunakan jika ada media untuk
mengambil gambar dari hal tertentu, seperti sel, atau taman, atau halaman, atau apa
pun.

Dilihat dari segi hak narapidana, mereka berhak mengadu kepada pers tentang
permasalahannya di dalam LAPAS, boleh diwawancarai dan direkam gambarnya
oleh wartawan/media tersebut, di ruangan kunjungan atau suatu tempat khusus yang
disediakan. Jika dalam perkembangannya, wartawan atau media tetap memaksa
untuk mengeksploitasi LAPAS dan Narapidana lainnya, maka tidak tertutup
kemungkinan dapat dikenakan Kode Etik Jurnalistik.

Ada beberapa prinsip dalam Kode Etik Jurnalistik dikaitkan dengan Kemerdekaan
Pers di dalam LAPAS/RUTAN, yaitu:
1. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan
berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas
kehidupan manusia.
2. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers
menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan
terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
3. Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita
yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati
nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk
pemilik perusahaan pers; Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif
ketika peristiwa terjadi; Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan
setara; Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-
mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
4. Penafsiran Pasal 2: Wartawan Indonesia menghormati hak privasi.

4
5. Pasal 5 : Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan
identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak
yang menjadi pelaku kejahatan.
6. Pasal 7 : Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi
narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun
keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang,
dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Sebagai ilustrasi pertama, dalam menerapkan Kode Etik Jurnalistik:


Dalam kasus pengambilan gambar Artalita dan seluruh penghuni Rutan Pondok
Bambu pada saat mereka sedang tidur, sudah merupakan pelanggaran dari SMR dan
juga Kode Etik Jurnalisik. Karena para penghuni RUTAN tersebut, tidak memiliki
hak untuk menolak penyebaran identitas atau keberadaan mereka di dalam
LAPAS/RUTAN. Pers tidak meminta ijin kepada para penghuni perihal
memasukkan wajah mereka ke dalam televisi. Dan akhirnya narapidana dan tahanan
tersebut menjadi objek / konsumsi publik.

Ilustrasi kedua perihal pemindahan narapidana:


Narapidana dapat dipindahkan ke antar LAPAS, dengan alasan pembinaan,
keamanan dan ketertiban, proses peradilan atau hal-hal lain yang dianggap perlu
(pasal 16 Undang-undang Pemasyarakatan). Kalapas/Karutan yang melaksanakan
pemindahan wajib memberitahukan kepada narapidana dan keluarga yang
bersangkutan perihal pemindahan narapidana dan melakukan pengawasan
terhadapnya.
Ketika seorang narapidana menjadi objek publik di media, apakah pemindahan
narapidana yang bersangkutan dari satu LAPAS ke LAPAS lain, juga bisa diliput
oleh media?
Aturan 45 ayat 1 SMR menyatakan: ketika narapidana atau tahanan dipindahkan
ke atau dari sebuah lembaga, mereka sesedikit mungkin ditempatkan di depan
publik dan pengamanan yang layak diperlukan untuk melindungi mereka dari
hinaan, keingintahuan dan publisitas dalam segala bentuk.

c. Jika ada ketidakpuasan untuk menindaklanjuti laporan dari narapidana via pers
tersebut, maka permasalahan ini dapat diselesaikan dengan bantuan Lembaga
Ombudsman.4

4
Ombudsman Republik Indonesia (sebelumnya bernama Komisi Ombudsman Nasional) adalah
lembaga negara di Indonesia yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik
baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan
oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan
swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian
atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 September
2008; lihat www.ombudsman.go.id, dan http://id.wikisource.org/wiki/Undang-
Undang_Republik_Indonesia_Nomor_37_Tahun_2008

5
Tugas Ombudsman Republik Indonesia adalah:

1. Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan


pelayanan publik.
2. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan.
3. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup
kewenangannya.
4. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan
Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
5. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau
lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan
perseorangan.
6. Membangun jaringan kerja.
7. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
8. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.

Kesimpulan

Pemasyarakatan tidak menutup hak semua pihak untuk melakukan kunjungan ke


dalam Institusi Pemasyarakatan. Adalah hal yang baik dan positif jika kunjungan-
kunjungan tersebut menjadi alat pengendali sosial dalam memberikan pelayanan prima
kepada narapidana, keluarga dan pihak-pihak yang terkait.
Tetapi harus menjadi perhatian kita bersama tentang kunjungan pers di dalam
institusi pemasyarakatan, antara lain:
a. Kunjungan macam apa yang dibicarakan disini? terkait dengan pers, wawancara
atau liputan macam apa yang diperlukan dalam hal kebebasan informasi publik?
b. Pers mana yang berhak melakukan wawancara dan apakah mereka sudah
menjalankan sesuai prosedur yang berlaku dalam mencari berita di dalam institusi
peasyarakatan?
c. Dalam hal mengambil gambar/merekam video, apa tujuan pengambilan
gambar/perekaman video tersebut? Untuk kepentingan siapa pengambilan
gambar/perekaman video di dalam LAPAS/RUTAN?
d. Apakah pers juga sudah memperhatikan hak narapidana sebagai manusia? dan
e. Siapakah yang bertanggungjawab atas hasil kunjungan-kunjungan pihak luar ke
tempat pemenjaraan?

Kembali ke tujuan awal, bahwa pers adalah alat pengendali sosial dan semua
kunjungan-kunjungan di dalam LAPAS/RUTAN bertujuan untuk memberikan manfaat
perkembangan pembinaan bagi narapidana, maka sudah seharusnya kunjungan-
kunjungan pihak luar ke tempat pemenjaraan, intinya tidak serta merta dipublikasikan
sebelum diklarifikasikan ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. (-dj-19/01/2010)

Vous aimerez peut-être aussi