Vous êtes sur la page 1sur 27

BAB I

PENDAHULUAN
Autisme adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan gangguan
perkembangan pervasive pada anak, yang mengakibatkan gangguan pada bidang bahasa,
perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.1
Dewasa ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus-kasus autisme pada anak
(autisme infantil). Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah
keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah anaknya tuli.2
Mencoba memahami anak yang mengidap autisme berarti harus membayangkan anak
yang terisolir dari dunianya. Anak yang tidak bisa membentuk ikatan emosional dengan
orang-orang disekitarnya, sehingga tampak beda, aneh dan seakan terasing. Walau gejala
autisme sangat beragam, namun kebanyakan dari mereka tidak mampu untuk mengerti apa
yang dipikirkan, dirasakan dan diinginkan orang lain. Bahkan seringkali karena kecerdasan
dan kemampuan bahasanya tidak berkembang sempurna, maka komunikasi dan hubungan
sosialnya menjadi semakin sulit. Disamping itu tanda yang cukup menonjol adalah umumnya
mereka melakukan aktivitas yang berulang-ulang (obsesif, stereotipik) seperti bicara dengan
kalimat yang diulang-ulang, gerakan seperti menepuk-nepuk, memukul-mukul, bahkan
kadang membenturkan kepalanya ke tembok.2
Gangguan ini ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Autisme terdapat pada
semua negara di dunia, serta tidak memandang ras, etnis, agama maupun latar belakang sosial
ekonomi.1,2 Secara global prevalensinya berkisar 4 per 10.000 penduduk, dan pengidap
autisme laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita ( 4 kalinya). Pada wanita seringkali
lebih berat dan ditemukan adanya riwayat keluarga dengan gangguan kognitif. Dalam
klasifikasi penyakit, gangguan ini termasuk kelompok PPD (Pervasive Developmental
Disorders) dan Autistic Spectum Disorders. Di Indonesia belum ada angka yang tepat
mengenai angka kejadian autisme.3 Banyak penyandang autisme terutama yang ringan tidak
terdiagnosis atau bahkan mendapat diagnosis yang salah. Hal ini tentu saja merugikan anak
tersebut. Di sisi lain, ada kekuatiran bahwa terjadi overdiagnosis dari autisme.4
Autisme bukanlah gangguan fungsional semata, namun didasari oleh gangguan
organik dalam perkembangan otak.2 Beberapa studi mengemukakan terjadi gangguan
neurobiologik yang meliputi tanda dan gejala neurologik yang samar, adanya perubahan
neurokimiawi, kelainan neuroanatomi, faktor genetik dan kemungkinan berhubungan dengan
beberapa penyakit atau keadaan seperti fenilketonuria, rubella, tuberosklerosis, sindroma
1

Fragile-X dan sindroma Rett. Namun penyebab spesifik dari autisme pada 90-95% adalah
tidak diketahui.1 Sehingga penanganan maupun riset autisme ini melibatkan banyak bidang,
baik kedokteran, pendidikan, psikologi, sosial dan sebagainya.2

BAB II
AUTISME
II.1. DEFINISI
Autisme berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri merupakan suatu
gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan afek, komunikasi
verbal dan non-verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi, ini
merupakan suatu kelainan dengan ciri perkembangan yang terlambat atau yang abnormal dari
hubungan sosial dan bahasa.1,2
Autisme secara tipikal ditandai sebagai bagian dari kelompok gangguan yang terdiri
dari sindrom Asperger (AS) dan gangguan menetap / pervasive developmental disorders
(PDD) lainnya. AS dibedakan dari gangguan autistik oleh keterlambatan yang bermakna
secara klinik dalam perkembangan bahasa (1 kata pada umur 2 tahun), selain gejala-gejala
kegagalan interaksi sosial dan tingkah laku, perhatian/aktifitas yang terbatas dan berulang
yang

menandai

autism-spectrum

disorders

(ASDs).

PDD

digunakan

untuk

mengkategorikan anak-anak yang kriterianya kurang sesuai untuk autisme tetapi mereka
sangat mendekati diagnosis autisme dengan 2-3 gejala autisme. Autisme infantil (autisme
pada masa anak-anak) adalah PDD yang awitannya muncul sebelum umur 30-36 bulan dan
kegagalan pada interaksi sosial dan komunikasi berhubungan dengan pola tingkah laku yang
terbatas, berulang (repetisi) dan stereotipi.5
Adapun gangguan-gangguan yang timbul pada penderita autisme dapat meliputi
berbagai bidang, diantaranya:4
1.

Gangguan dalam bidang komunikasi verbal maupun non verbal.

Terlambat bicara atau tidak dapat bicara.

Mengeluarkan kata-kata yang tak dapat dimengerti oleh orang lain yang sering
disebut sebagai bahasa planet.

Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai.
Meniru (ekolalia) tanpa mengerti artinya.
Kadang bicaranya monoton seperti robot dan mimik datar.
2.

Gangguan dalam bidang interaksi sosial.


Menolak atau menghindar untuk bertatap mata.
Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering dikira mengalami ketulian.
Merasa tidak senang bila dipeluk.
3

Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang.


Bila menginginkan sesuatu maka ia menarik lengan orang yang terdekat dan
mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.
Bila didekati untuk bermain justru menjauh.
Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain.
3.

Gangguan dalam bidang perilaku dan bermain.

Umumnya seperti tidak mengerti cara bermain.

Anak dapat terlihat hiperaktif (tidak bisa diam, melompat, berputar), sehingga
sering salah diagnosis dengan ADHD (attention deficit hyperactivity disorder).

4.

Kadang anak terlalu diam (duduk diam dengan tatapan mata yang kosong).
Gangguan dalam bidang perasaan/emosi.

Tidak ada atau kurangnya rasa empati.

Tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab yang nyata.

Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak bisa
mendapatkan apa yang diinginkan, bahkan bisa menjadi agresif dan destruktif.

5.

Gangguan dalam persepsi sensoris.

Mencium-cium, menggigit atau menjilat mainan atau benda apa saja.

Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.

Tidak menyukai rabaan atau pelukan. Bila digendong cenderung merosot untuk
melepaskan diri dari pelukan.

Merasa sangat tidak nyaman bila memakai pakaian dari bahan tertentu.

II.2. PREVALENSI
Autisme terdapat pada semua negara di dunia, serta tidak memandang ras, etnis,
agama, maupun latar belakang sosial ekonomi.2 Secara global prevalensinya berkisar 4 per
10.000 penduduk, dan pengidap autisme laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita (lebih
kurang 4 kalinya). Pada wanita seringkali lebih berat dan ditemukan adanya riwayat keluarga
dengan gangguan kognitif. Di Indonesia belum ada angka yang tepat mengenai angka
kejadian autisme.3
II.3. ETIOLOGI

Autisme bukanlah gangguan fungsional semata, namun didasari oleh gangguan


organik dalam perkembangan otak.2 penyebab spesifik dari autisme pada 90-95% adalah
tidak diketahui.1 Sehingga penanganan maupun riset autisme ini melibatkan banyak bidang,
baik kedokteran, pendidikan, psikologi, sosial dan sebagainya. 2 Ada beberapa bukti yang
sudah terkumpul untuk mendukung penyebab autisme:6
1.

Faktor psikodinamik dan keluarga.

2.

Kelainan organik-neurologik-biologik.

3.

Faktor genetik.

4.

Faktor imunologik.

5.

Faktor perinatal.

6.

Faktor neuroanatomi.

7.

Faktor biokimia.
Secara umum autisme disebabkan adanya gangguan perkembangan neurobiologik

yang mengakibatkan adanya gangguan struktur maupun fungsi otak. Beberapa bagian otak
yang diduga terlibat dalam autisme adalah amigdala, yaitu pusat pengendalian emosional
terhadap rangsangan dari luar dan hipokampus yang penting dalam fungsi memori. sel-sel
saraf yang terdapat di amigdala ditemukan bentuknya kecil, abnormal dan tampak lebih padat
dibanding sel normal. Dari hasil penelitian juga ditemukan adanya sirkulasi darah yang lebih
lambat pada beberapa bagian lapisan luar otak (korteks), dan menurunnya jumlah sel yang
bertugas meneruskan sinyal-sinyal penghambat gerakan tubuh yang berpusat di otak kecil
(serebelum) ke korteks. Dengan foto MRI didapat gambaran pengisutan (hipoplasi)
serebelum dan sisterna limbik. Tanda-tanda ini mengarahkan para ahli pada suatu hipotesis,
bahwa awal terjadinya autisme infantil adalah sebelum lahir.7
Akhir-akhir ini ditemukan bahwa pada otak penderita autisme, secara makroskopis
ukuran otaknya lebih besar dibanding normal. Dicurigai pembesaran ini karena kegagalan
proses perampingan/pemangkasan sel-sel saraf (apoptosis) yang tidak diperlukan lagi pada
saat perkembangan otak berlangsung. Jawaban yang lebih pasti dan rinci atas pertanyaan
dimana dan bagaimana bentuk gangguan otak anak autisme sampai sekarang belumlah
diketahui secara pasti.7

Sumber : http://www.wsusignpost.com/category/sciencetech/health/
Pada pemeriksaan menggunakan PET ditemukan penurunan sintesis 5-HT di korteks
dan thalamus. Namun di plasma maupun di platelet ditemukan peningkatan kadar serotonin
yang bisa mencapai 25%. Diperkirakan bahwa gangguan metabolisme serotonin sangat
berperan dalam patologi autisme. Menurunkan triptofan dengan menginhibisi pengambilan
kembali 5-HT adalah salah satu usaha untuk memperbaiki simptom autisme.3
Peningkatan opioid endogen ada kaitannya dengan perilaku melukai sendiri dan ini
akan berkontribusi ke simptom lain dari autisme melalui serotoninergik dan aksis
hypothalamicpituitary adrenal (HPA) secara tidak langsung sehingga terjadi sekresi
proopiomelanokortin,kortisol dan oksitosin. Defisiensi melatonin menyebabkan gangguan
tidur.3
II.4 DIAGNOSIS AUTISME.
Diagnostic and Statistical Manual IV atau DSM-IV merupakan suatu system diagnosis yang
dibuat oleh perhimpunan psikiater Amerika, sedangkan International Classification of
Diseases-10 atau ICD-10 merupakan suatu sistem diagnosis yang dibuat oleh WHO. Kedua
sistem ini menyebutkan tentang Pervasive Developmental Disorder. Seorang anak dapat
disebut mengalami Gangguan Autistik harus memenuhi kriteria dibawah ini :
A.
Klasifikasi Autisme
Enam atau Lebih Gejala dari (1),(2),dan (3) dengan paling sedikit 2 dari (1) dan 1 dari
6

masing-masing (2) dan (3)


1.

Gangguan kualitatif interaksi sosial, yang terlihat sebagai paling sedikit 2 dari gejala

berikut :
(1) Gangguan yang jelas dalam perilaku non-verbal (perilaku yang dilakukan

tanpa

bicara) misalnya kontak mata, ekspresi wajah, posisi tubuh, dan mimik untuk
mengatur interaksi sosial
(2) Tidak bermain dengan teman seumurnya, dengan cara yang sesuai
(3) Tidak berbagi kesenangan, minat, atau kemampuan mencapai sesuatu hal

dengan

orang lain, misalnya tidak memperlihatkan mainan pada orang tua, tidak menunjuk ke
suatu benda yang menarik, tidak berbagi kesenangan dengan orang tua.
(4) Kurangnya interaksi social timbal balik, misalnya tidak berpartisipasi aktif dalam
bermain, lebih senang bermain sendiri
2.

Gangguan kualitatif komunikasi yang terlihat sebagai paling tidak satu dari gejala berikut :
(1) Keterlambatan atau belum dapat mengucapkan kata-kata berbicara, tanpa disertai
usaha kompensasi dengan cara lain, misalnya mimik dan bahasa tubuh
(2) Bila dapat berbicara, terlihat gangguan kesanggupan memulai atau mempertahankan
komunikasi dengan orang lain
(3) Penggunaan bahasa yang stereotipik dan berulang, atau bahasa yang tidak dapat
dimengerti
(4) Tidak adanya cara bermain yang bervariasi dan spontan, atau bermain meniru secara
sosial yang sesuai dengan umur perkembangannya

3.

Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, berulang, dan tidak berubah (stereotipik),

yang ditunjukkan dengan adanya 2 dari gejala berikut :


(1)
Minat yang terbatas, stereotipik dan menetap dan abnormal dalam intensitas dan focus
(2)
Keterikatan pada ritual yang spesifik tetapi tidak fungsional secara kaku dan tidak
(3)

(4)

fleksibel
Gerakan motorik yang stereotipik dan berulang, misalnya flapping tangan dan jari,
gerakan tubuh yang kompleks
Preokupasi terhadap bagian dari benda.8

B. Tanda Awal Autisme


Usia anak
Bayi lahir usia 6 bulan

Gejala
Anak terlalu tenang/baik
Mudah terangsang (irritable)
Banyak menangis terutama
7

malam, susah ditenangkan

Jarang menyodorkan

kedua

lengan untuk minta diangkat

Jarang mengoceh

Jarang menunjukkan senyuman


social

Jarang
mata

menunjukkan

kontak

Perkembangan gerakan kasar

tampak normal
Usia 6 bulan 2 tahun

Tidak

mau

dipeluk,

atau

menjadi tegang bila diangkat

Acuh menghadapi kedua orang


tuanya

Tidak

mau

mengikuti

permainan sederhana seperti ciluk ba,


bye-bye

Tidak berupaya menggunakan


kata-kata

Seperti

tidak

tertarik

pada

boneka atau binatang mainan untuk


bayi

Bisa sangat tertarik pada kedua

tangnnya sendiri

Mungkin

menolak

makanan

keras atau tidak mengunyah


Usia 2 3 tahun

Tidak tertarik (terbatas) atau

menunjukkan perhatian khusu

Meganggap orang lain sebagai


alat atau benda

Menunjukkan kontak mata yang


terbatas

Mungkin

mencium

atau

menjilati benda-benda

Menolak untuk dipeluk dan


menjadi tegang atau sebaliknya (tubuh
8

menjadi lemas)

Relatif cuek menghadapi kedua


orang tuanya
Usia 4-5 tahun

Bila anak akhirnya berbicara,

tidak jarang echolalic

Menunjukkan nada suara yang


aneh (biasanya bernada tinggi dan
monoton)

Merasa sangat terganggu bila


terjadiperubahan rutin pad kegiatan
sehari-hari

Kontak
terbatas,

mata

walaupun

perbaikan\

Tantrum
berkelanjutan

masih

sangat

bisa

terjadi

dan
tetapi

agresi
bisa

juga

berangsur-angsur berkurang

Melukai diri sendiri

Merangsang diri sendiri


Menurut PPDGJ III, kelompok gangguan perkembangan pervasive ini ditandai
dengan kelainan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik dan dalam pola
komunikasi, serta minat dn aktivitas yang terbatas, streotipik, berulang. Kelainan kualitatif ini
menunjukkan gambaran yang pervasif dari fungsi-fungsi individu dalam semua situasi,
meskipun dapat berbeda dalam derajat keparahannya.8
F 84.0 Autisme masa kanak8

Gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan dan/atau


hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan ciri kelainan
fungsi dalam 3 bidang : interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan

berulang.8
Biasanya tidak jelas ada perkembangan yang normal sebelumny, tetapi bila ada,
kelainan perkembangan

sudah menjadi jelas sebelum

usia 3 tahun, sehingga

diagnosis sudah dapat ditegakkan. Tetapi gejala-gejalanya (sindrom) dapat di

diagnosis pada semua kelompok umur.8


Selalu ada hendaya kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik (reciprocal
social interaction). Ini berbentuk apresiasi yang tidak adekuat terhadap isyarat sosio9

emosional, yang tampak sebagai kurangnya respon terhadap emosi orang lain
dan/atau kurangnya modulasi trhadap perlaku dalam konteks sosial, buruk dalam
menggunakan isyarat sosial dan integritas yang lemah dalam perilaku sosial,
emosional dan komunikatif, dan khususnya, kurangnya respons timbal balik sosio

emosional.8
Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini berbentuk
kurangnya pengguanaan keterampilan bahasa yang dimiliki di dalam hubungan sosial,
hendaya dalam permainan imaginative dan imitasi sosial, keserasian yang buruk dan
kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan, buruknya keluwesan dalam
bahasa ekspresif dan kreativitas dan fantsai dalam proses pikir yang relatif kurang,
kurangnya respon emosional terhadap ungkapan verbal dan non-verbal orang lain,
hendaya dalam mengguanakan variasi iramaatau penekanan sebagai modulasi
komunikatif, dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau memberi arti

tambahan dalam komunikasi lisan.8


Kondisi ini juga di tandai oleh pola perialku, minat, dan kegiatan yang terbatas,
berulang dan streotipik. Ini bentuk kecenderungan untuk bersikap kaku dan rutin
dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, ini biasanya berlaku untuk kegiatan baru

dan juga kebiasaaan sehari-hari serta pola bermain.8


Semua tingkatan IQ dapat ditemukan dalam hubungannya dengan autism, tetapi

pada tiga perempat kasus secara signifikan terdapat retardasi mental.8


F 84.1 Autisme tak khas

Gangguan perkembangan pervasif yang berbeda dari autism dalam hal onset maupun
tidak terpenuhinya ketiga kriteria diagnostik. Jadi kelainan dan atau hendaya
perkembangan menjadi jelas untuk pertama kalinya pada usia setelah 3 tahun,
dan/atau tidak cukup menunjukkan kelainan dalam satu atau dua dari tiga bidang
psikopatologi yang dibutuhkan untuk diagnosis autism (interaksi sosial timbal-balik,
komunikasi, dan perilaku terbatas, streotipik, dan berulang) meskipun terdapat

kelainan yang khas dalam bidang lain.8


Autisme tidak khas sering muncul pada individu dengan retardasi mental yang berat,
yang sangat rendah kemampuannya, sehingga psien tidak mampu menampakkan
gejala yang cukup untuk menegakkan diagnosis autisme, ini juga tampak pada
individu dengan gangguan perkembangan yang khas dari bahasa resptif yang berat.8

C.

Pemeriksaan Penunjang

10

Tidak ada pemeriksaan medis yang dapat memastikan suatu diagnosis autism pada
anak. Tetapi terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis yang dapat
digunakan sebagai dasar intervensi.
Elektroensefalogram (EEG)
EEG untuk memeriksa gelombang otak yang mennujukkan gangguan kejang, diindikasikan
pada kelainan tumor dan gangguan otak.
Skrening Metabolik
Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan urine untuk melihat metabolisme
makanan di dalam tubuh dan pengaruhnya pada tumbuh kembang anak. Beberapa spectrum
autism dapat disembuhkan dengan diet khusus.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computer Assited Axial Tomography (CT
Scan)
MRI atau CAT Scans sangat menolong untuk mendiagnosis kelainan struktur otak, karena
dapat melihat struktur otak secara lebih detail.

Pemeriksaan Genetik
Pemeriksaan darah untuk melihat kelainan genetik, yang dapat menyebabkan gangguan
perkembangan. Beberapa penelitian menunjukkkan bahwa penderita autism telah dapat
ditemukan pola DNA dalam tubuhnya.
II.5 DIAGNOSIS BANDING.9
A.

Skizofrenia dengan onset masa anak-anak


Skizofrenia jarang pada anak-anak di bawah 5 tahun. Skizofrenia disertai dengan

halusinasi atau waham, dengan insidensi kejang dan retardasi mental yang lebih rendah dan
dengan I.Q yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak autistik.9
Kriteria
Usia onset
Insidensi

Gangguan Autistik

Skizofrenia dengan onset

<38 bulan
2-5 dalam 10.000

masa anak-anak
>5 tahun
Tidak diketahui,
kemungkinan sama atau

Rasio jenis kelamin

3-4:1

bahkan lebih jarang


1,67:1
11

(L:P)
Riwayat keluarga

Tidak naik atau kemungkinan Naik

Skizofrenia
Status sosioekonomi

tidak naik
Terlalu mewakili kelompok Lebih sering pada SSE

Penyulit prenatal dan

SSE tinggi (artefak)


Rendah
Lebih sering pada gangguan Lebih jarang pada

perinatal dan

autistic

skizofrenia

disfungsi otak
karakteristik perilaku

Gagal untuk

Halusinasi dan waham,

mengembangkan hubungan

gangguan pikiran

: tidak ada bicara (ekolalia);


frasa stereotipik; tidak ada
atau buruknya pemahaman
bahasa; kegigihan atas
fungsi adaptif
Tingkat inteligensi

kesamaan dan stereotipik.


Biasanya selalu terganggu
Pada sebagian besar kasus

Pemburukan fungsi
Dalam rentang normal,

subnormal, sering terganggu sebagian besar normal bodoh


Pola I.Q.
Kejang Grand mal

parah (70%)
Jelas tidak rata
4-32%

(15%-70%)
Lebih rata
Tidak ada atau insidensi
Rendah

B.

Retardasi mental dengan gangguan emosional/perilaku


Kira-kira 40% anak autistik adalah teretardasi sedang, berat atau sangat berat, dan

anak yang teretardasi mungkin memiliki gejala perilaku yang termasuk ciri autistik. Ciri
utama yang membedakan antara gangguan autistik dan retardasi mental adalah :9
1.

Anak teretardasi mental biasanya berhubungan dengan orang tua atau anak-anak lain

2.

dengan cara yang sesuai dengan umur mentalnya.


Mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Mereka memilki sifat gangguan yang relatif tetap tanpa pembelahan fungsi.9

3.

C.

Gangguan bahasa reseptif /ekspresif campuran


Sekelompok anak dengan gangguan bahasa reseptif/ekspresif memiliki ciri mirip

autistik.9
Kriteria

Gangguan autistik

Gangguan bahasa
reseptif/ekspresif
campuran
12

Insidensi
Ratio jenis kelamin (L:P)
Riwayat keluarga adanya

2-5 dalam 10.000


3-4 : 1
25 % kasus

5 dalam 10.000
sama atau hampir sama
25 % kasus

sangat jarang

tidak jarang

keterlambatan bicara /
gangguan bahasa
Ketulian yang
Berhubungan
Komunikasi

nonverbal tidak ada/rudimenter

(gerak gerik, dll)


Kelainan bahasa

Ada

lebih sering

lebih jarang

lebih jarang
sering terganggu parah

lebih sering
Walaupun mungkin

(misalnya ekolalia, frasa


stereotipik diluar
konteks)
Gangguan artikulasi
Tingkat intelegensia

terganggu, seringkali
tidak rata, rendah pada

kurang parah
lebih rata, walaupun IQ

skor verbal, rendah pada

verbal lebih rendah dari

Perilaku autistik,

sub test pemahaman


lebih sering dan lebih

IQ kinerja
tidak ada atau jika ada,

gangguan kehuidupan

parah

kurang parah

tidak ada/rudimenter

biasanya ada

Pola test IQ

sosial, aktivitas
stereotipik dan ritualistik
Permainan imaginatif
D.

Afasia didapat dengan kejang


Afasia didapat dengan kejang adalah kondisi yang jarang yang kadang sulit dibedakan

dari gangguan autistik dan gangguan disintegratif masa anak-anak. Anak-anak dengan
kondisi ini normal untuk beberapa tahun sebelum kehilangan bahasa reseptif dan
ekspresifnya selama periode beberapa minggu atau beberapa bulan. Sebagian akan
mengalami kejang dan kelainan EEG menyeluruh pada saat onset, tetapi tanda tersebut
biasanya tidak menetap. Suatu gangguan yang jelas dalam pemahaman bahasa yang terjadi
kemudian, ditandai oleh pola berbicara yang menyimpang dan gangguan bicara. Beberapa
anak pulih tetapi dengan gangguan bahasa residual yang cukup besar.9
E.

Ketulian kongenital atau gangguan pendengaraan parah


13

Anak-anak autistik sering kali dianggap tuli oleh karena anak-anak tersebut sering
membisu atau menunjukkan tidak adanya minat secara selektif terhadap bahasa ucapan. Ciriciri yang membedakan yaitu bayi autistik mungkin jarang berceloteh sedangkan bayi yang
tuli memiliki riwayat celoteh yang relatif normal dan selanjutnya secara bertahap menghilang
dan berhenti pada usia 6 bulan 1 tahun. Anak yang tuli berespon hanya terhadap suara yang
keras, sedangkan anak autistik mungkin mengabaikan suara keras atau normal dan berespon
hanya terhadap suara lunak atau lemah. Hal yang terpenting, audiogram atau potensial
cetusan auditorik menyatakan kehilangan yang bermakna pada anak yang tuli. Tidak seperti
anak-anak autistik, anak-anak tuli biasanya dekat dengan orang tuanya, mencari kasih sayang
orang tua dan sebagai bayi senang digendong.9
F.

Pemutusan psikososial
Gangguan parah dalam lingkungan fisik dan emosional (seperti pemisahan dari ibu,

kekerdilan psikososial, perawatan di rumah sakit, dan gagal tumbuh) dapat menyebabkan
anak tampak apatis, menarik diri, dan terasing. Keterampilan bahasa dan motorik dapat
terlambat. Anak-anak dengan tanda tersebut hamper selalu membaik dengan cepat jika
ditempatkan dalam lingkungan psikososial yang menyenangkan dan diperkaya, yang tidak
terjadi pada anak autistik.9

BAB III. MANAJEMEN AUTISME


14

Pengelolaan anak dengan autisme infantil memerlukan pendekatan lintas sektoral,


agar anak bisa berkembang optimal dan hidup mandiri. 1 Yang perlu ditekankan bahwa tidak
ada satu metode pun yang dewasa ini dapat menyembuhkan autisme, namun hanya
mengembangkan potensi dasar anak ke arah yang optimal.2
Penyembuhan seorang anak dimulai dengan diagnosa dini yang tepat. Diagnosa
yang salah akan sangat merugikan anak tersebut, oleh karena dengan tatalaksana yang tidak
tepat anak tak akan mendapatkan kemajuan yang diinginkan. Setelah seorang anak
terdiagnosa dengan autisme, maka secepat mungkin harus dilakukan intervensi dini.
Sangatlah penting bahwa anak mendapatkan stimulasi semaksimal mungkin dan keluar dari
dunianya. Kemudian dilakukan assessment yang lengkap pada anak tersebut untuk
mengetahui taraf gangguan perkembangan yang dideritanya, untuk kemudian mendapatkan
terapi sesuai kebutuhannya.10 Secara garis besar penanganan autisme dapat dibagi dalam
beberapa kelompok sebagai berikut:
III.1. NON MEDIKAMENTOSA
III.1.1. TERAPI PERKEMBANGAN / INTERVENSI DINI
Para ahli menemukan bahwa anak autisme paling baik belajar pada lingkungan yang
mengembangkan minat dan ketrampilan mereka dengan cara merujuk kebutuhan-kebutuhan
mereka, berupa intervensi yang konsisten dan terstruktur sesuai tingkat perkembangan
anak.1,2 Hal-hal yang esensial antara lain metode pembelajaran yang terstruktur untuk
memberikan perhatian terhadap stimuli lingkungan, orang lain, imitation motorik dan verbal,
penggunaan bahasa, bagaimana cara bermain dengan mainan dan cara berinteraksi sosial
dengan yang lain.1

Aktivitas latihan fisik di kelompok membantu mereka untuk

mengembangkan keseimbangan tubuh, koordinasi dan ketrampilan motorik. Pada saat


istirahat (snack time), pelatih mendorong interaksi sosial anak, misalnya dengan
mengembangkan model penggunaan bahasa bagaimana cara minta tambahan snack, dan
sebagainya. Jadwal yang konsisten membuat anak autisme dapat merencanakan aktivitas
harian mereka berdasarkan pengalaman-pengalaman yang diperoleh.2 Diperlukan perhatian
yang optimal dari para pelatih, perbandingan antara pelatih dengan penyandang autisme
yang diharapkan adalah 1:2 atau 1:1.1,10

III.1.2. TERAPI PERILAKU


15

Gangguan perilaku pada autisme biasanya merupakan satu gejala yang membuat
orangtua menyadari bahwa anaknya berbeda perkembangannya dengan anak lain seusianya.
Selain hiperaktivitas, impulsivitas, gerakan stereotipik, cara bermain yang tidak sama dengan
anak lain, juga adanya agresivitas, temper tantrum dan perilaku yang cenderung melukai diri
sendiri. Kondisi ini sangat menguras tenaga maupun psikis orang-orang disekitarnya. 12
Pendekatan perilaku bertujuan untuk mengurangi stereotipi, kekakuan, agresifitas dan self
injury behaviour. Terapi perilaku ini juga disesuaikan untuk masing-masing anak sesuai
dengan gangguannya.1 Apapun metodenya sebaiknya sesegera dan seintensif mungkin,
Sebaiknya memang dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain, apabila terdapat perilaku
yang sulit dikendalikan, mungkin intervensi medikamentosa diperlukan terlebih dahulu, agar
anak dapat diberi terapi yang lain.12
Bila seseorang mendapat reward yang menyenangkan atas apa yang dilakukannya
(aktifitas atau perilaku tertentu), maka akan cenderung untuk mengulangi atau melanjutkan
perilaku / aktifitas tersebut. Dasar inilah yang dikembangkan menjadi suatu metode terapi
oleh Dr. O. Ivar Lovaas sejak 28 tahun silam. Metode tersebut bercirikan sangat intensif
dalam waktu, terstruktur dan melalui tahap-tahap ulangan dimana anak diberikan suatu
perintah dan senantiasa mendapat reward bila mengerjakannya dengan benar. Metode ini
dapat diterapkan dalam toilet training pada anak dengan autisme.2
Untuk mencapai tujuan yang telah disebutkan diatas, kita harus mencapai tujuan
antara, yaitu berbagai kemampuan perilaku yang terdiri dari:11

Komunikasi dua arah secara aktif, artinya anak harus mampu memulai suatu topik
pembicaraan lebih dahulu secara aktif.

Sosialisasi ke dalam setiap lingkungan, dimulai dengan lingkungan keluarga dan


teman-temannya.

Menghilangkan atau meminimalkan perilaku autistiknya.

Kemampuan (pre)akademik, sesuai dengan perkembangan umur dan kecerdasan


(IQ)nya.

Kemampuan bantu diri (bina diri) yang memadai, sehingga mampu merawat diri
sendiri secara mandiri.

Untuk mencapai tujuan antara ini, dengan sendirinya setiap anak harus mampu menguasai
kemampuan-kemampuan perilaku dasar, seperti: kepatuhan, kontak mata, menirukan, bahasa
reseptif (kognitif) dan bahasa ekspresif. Dengan memiliki kemampuan-kemampuan dasar dari

16

perilaku ini, diharapkan anak akan lebih mudah dan lancar menerima pelatihan perilaku yang
semakin kompleks.11
III.1.3. TERAPI WICARA
Keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa dan berbicara merupakan keluhan
yang sering diajukan para orangtua, hampir 100% mengalami hal ini. Komunikasi non verbal
juga mengalami gangguan, sering tidak dapat menggunakan gerakan tubuh dalam
berkomunikasi, seperti menggeleng, mengangguk, menunjuk, melambai dan mengangkat
alis.12
Intervensi dalam bentuk terapi wicara perlu dilakukan, seperti diketahui bahwa tidak
semua individu dengan autisme akan dapat berkomunikasi dengan cara verbal, sekitar 2510% kemungkinan tetap non verbal. Terapi wicara yang diberikan pada individu dengan
autisme berbeda dengan gangguan lain, sehingga diperlukan pengetahuan yang baik
mengenai ciri-ciri bicara dan berbahasa anak autistik. Terapi ini harus diberikan sejak dini
dan dengan intensif, bersama dengan terapi-terapi yang lain.12
III.1.4. TERAPI EDUKASI
Hambatan pada individu dengan autisme terutama pada interaksi sosialnya. Hal ini
akan berlanjut bila tidak segera ditangani pada usia sekolah, anak akan mengalami kesulitan
dalam berkomunikasi, bersosialisasi dengan lingkungan barunya (teman, guru). Oleh karena
itu sebaiknya anak sesegera mungkin dikenalkan dengan lingkungannya.12
Intervensi dalam berbagai bentuk pelatihan ketrampilan sosial, ketrampilan seharihari agar anak jadi mandiri (self care). Berbagai metode pengajaran telah diuji cobakan pada
gangguan ini. Antara lain metode TEACCH (Treatment and Education of Autistic and
Related Communication Handicapped Children). Dikembangkan oleh Eric Schopler pada
awal tahun 1970an, merupakan suatu sistem pendidikan khusus untuk anak dengan autisme,
di School of Psychiatry at the University of North Carolina in Chapel Hill. Metode ini
merupakan suatu program yang sangat terstruktur yang mengintegrasikan metode klasikal
yang individual, metode pengajaran yang sistematik, terjadwal dan dalam ruang kelas yang
ditata secara khusus.12
III.1.5. TERAPI OKUPASI
Ketrampilan motorik pada individu dengan autisme sering terganggu, baik motorik
kasar maupun halus. Diperlukan intervensi terapi okupasi / fisik agar individu dengan
17

autisme dapat melakukan gerakan, memegang, menggunting, menulis, melompat dengan


terkontrol dan teratur sesuai kebutuhan saat itu.12
III.1.6. AIT (Auditory Integration Training)
Banyak individu dengan autisme mengalami hipersensitivitas terhadap suara dan
mengganggu pendengaran mereka, Mereka sering tampak menutup telinga dengan kedua
tangan bila mendengar nada suara tertentu, yang untuk orang lain tidak menimbulkan
masalah. Suara-suara tersebut dapat sedemikian menyakitkan, sehingga mereka dapat
berteriak, menjerit tiba-tiba, tetapi setelah suara-suara tersebut hilang, mereka kembali biasa
seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Contoh: suara pengering rambut, mesin cuci, penyedot
debu, mixer, bahkan suara microwave.12
Pada intervensi AIT awalnya ditentukan suara yang mengganggu pendengaran dengan
perangkat audiometer. Lalu diikuti dengan seri terapi yang memperdengarkan suara-suara
yang direkam, tapi tidak disertai dengan suara yang menyakitkan. Selanjutnya dilakukan
desensitisasi terhadap suara-suara yang menyakitkan tersebut.12
Berbagai jenis terapi lain telah dicoba dan dikembangkan seperti: holding therapy,
brain gym, visual therapy, aversive therapy, dan lain-lain. Yang patut diingat adalah semua
terapi pada dasarnya adalah baik, namun harus dipertimbangkan sesuai atau tidak sesuai
dengan si anak.12
III.1.7. INTERVENSI KELUARGA
Yang dimaksud keluarga disini bisa hanya keluarga inti (ayah + ibu, ayah atau ibu saja
+ anak-anak), namun dapat pula ditambah dengan anggota keluarga lain yang memiliki
pengaruh pada pengasuhan seorang anak, bisa kakek atau nenek, paman atau bibi, dan
lainnya.12
Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga baik perlindungan,
pengasuhan, pendidikan maupun dorongan untuk dapat tercapainya perkembangan yang
optimal dari seoang anak, mandiri dan dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. Untuk itu
dibutuhkan keluarga yang dapat berinteraksi positif satu sama lain (antar anggota keluarga)
dan saling mendukung. Oleh karena itu pengolahan keuarga dalam kaitannya dengan
manajemen terapi menjadi sangat pentin, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali kita
dapat melaksanakan terapi apapun pada individu dengan autisme.12

18

III.1.8. PERBAIKAN METABOLISME


Gangguan pencernaan harus diperbaiki dengan menyeimbangkan lagi flora usus,
dengan membasmi jamur atau kuman patologis yang ditemukan pada pemeriksaan feses.
Kemudian sangat penting untuk memberi tambahan lacyobacillus untuk mencegah
tumbuhnya jamur secara berlebihan. Multiple food allergi harus diperbaiki dengan diet yang
ketat, hindari makan yang menyebabkan alergi pada anak tersebut.10
III.1.9. TERAPI DIET
Anak-anak autisme pada umumnya menderita multiple food allergy. Hal ini akan
terungkap bila dilakukan pemeriksaan darah untuk comprehensive food allergy. Protein
dari susu sapi (casein) dan gandum (gluten) adalah rangkaian asam amino yang sulit dicerna.
Bila pencernaan anak sempurna maka casein maupun gluten akan dilepas seluruh rantainya
sehingga terjadilah asam amino yang kemudian diserap oleh tubuh guna pertumbuhan.
Namun bila pencernaan tidak sempurna, maka rantai tersebut tak lepas seluruhnya. Masih ada
rantai pendek, 2 atau 3 asam amino yang bergandengan yang disebut peptide.10
Sebagiaan dari peptide masuk aliran darah, kemudian dikeluarkan dengan urin, namun
sebagian masuk ke otak, menembus sawar otak. Di otak peptide tersebut disergap oleh
opioid-receptor dan kemudian berfungsi seperti morphin. Hal ini mempengaruhi aspek
perilaku, atensi, kognisi dan sensoris anak. Oleh karena itu tidak ada salahnya untuk tidak
mengkonsumsi susu sapi dan tepung terigu. Anak dibiasakan makanan yang lebih sehat dan
variatif sehingga kebutuhan gizi tetap terpenuhi.10
III.1.10. DETOKSIFIKASI LOGAM BERAT
Logam berat yang neurotoksik dengan kadar yang tinggi seperti Hg dan Pb, harus
dikeluarkan dengan cara detoksifikasi. Bila logam berat itu tidak dikeluarkan, maka
kerusakan sel-sel otak akan terus berlanjut. Sebelum melakukan detoksifikasi, seluruh
metabolisme tubuh harus diperbaiki dahulu, terutama keadaan traktus gastrointestinal. Jenis
detoks yang dilakukan sebaiknya yang tidak menimbulkan trauma pada anak dan dengan efek
samping yang minimal, yaitu dengan dikonsumsi per oral saja. Lamanya detoks tergantung
dari kadar keracunan si anak. Bila kadar keracunan berat maka bisa sampai 2 tahun
lamanya.10
Di Indonesia hal ini sudah mulai dilakukan, namun baru beberapa bulan terakhir saja.
Dimana pengeluaran logam berat yang dilakukan masih dalam taraf pengeluaran logam yang
dalam tubuh sehingga belum bisa dilihat benar kemajuan yang dicapai pada anak. Pada taraf
19

detoks berikutnya baru dikeluarkan logam berat dari otak. Menurut laporan di Amerika,
detoks mempunyai efek yang sangat dramatis, terutama pada anak-anak yang timbulnya
gejala autisme dipacu oleh keracunan logam berat.10
III.1.11. TERAPI SENSORI INTEGRASI
Terapi sensori integrasi adalah pengorganisasian informasi melalui sensori-sensori
(sentuhan, gerakan, kesadaran tubuh dan gravitasinya, penciuman, pengecapan, penglihatan
dan pendengaran) yang sangat berguna untuk menghasilkan respons yang bermakna.13
Terapi sensori integrasi seperti yang dianjurkan oleh DR. Ayres, dilakukan dalam
ruang terapi khusus. Dalam ruangan tersebut tersedia berbagai alat yang dapat
memfasilitasikan aktifitas-aktifitas yang akan memberi masukan input-input sensorik,
mendukung terjadinya respons adaptif dan memperbaiki fungsi batang otak dan talamus.12
Setiap anak memiliki masalah yang berbeda sehingga aktivitas yang diberikan pun
berbeda dari anak yang satu dengan lainnya. Pemberian aktivitas disesuaikan dengan kondisi
anak yang bersangkutan. Pada pendekatan sensori integrasi, okupasi terapi harus bekerja
berdasarkan urutan perkembangan, stabilitas digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan
mobilitas. Urutan yang harus diikuti adalah:13
1.

Kemampuan untuk mempertahankan dalam posisi awal.

2.

Meningkatkan stabilitas pada posisi yang telah dicapai.

3.

Kemampuan untuk bergerak dari posisi gerakan lurus.

4.

Integrasi gerakan yang telah dikuasai dengan gerakan rotasi.

Terapi sensori integrasi dapat memperbaiki fungsi otak anak-anak dengan autisme, sehingga
perilaku anak-anak tersebut jadi membaik dan lebih adaptif. Setelah terapi sensori integrasi
ini berhasil, anak dapat memproses berbagai informasi sensorik yang kompleks dengan lebih
baik. Maka anak akan mampu menyimak dan merespons usaha orang tua atau pengasuhnya
untuk melakukan interaksi sosial dan selanjutnya membantu perkembangan emosi dan
kognitifnya. Tentu saja hal-hal tersebut akan memberikan pengaruh yang besar bagi
kemampuan anak untuk melakukan berbagai aktifitas sehari-hari.12
Masalah regulasi seperti pola tidur, pola makan dan eliminasi, biasanya paling dahulu
berkurang pada bulan-bulan pertama terapi. Perbaikan dalam fungsi yang mendasar ini
seringkali diikuti dengan perbaikan kesahatan anak secara keseluruhan dan anak tampil lebih
cerah, nada ekspresi muka jadi lebih bervariasi dan anak lebih terbuka untuk diajak
berinteraksi; meskipun pada mulanya hanya berupa interaksi singkat pada tahap non verbal.
Kemajuan dalam dorogan untuk melakukan interaksi ini biasanya mulai terlihat pada
20

munculnya joint attention. Maka anak jadi lebih mudah diajari, karena menarik perhatian si
anak menjadi lebih mudah.12
III.1.12. SNOEZELEN
Snoezelen adalah sebuah aktivitas yang dirancang untuk mempengaruhi sistem saraf
pusat (SSP) melalui pemberian stimuli yang cukup pada sistem sensori primer seperti
penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah dan pembau, juga pada sistem sensori internal
seperti vestibular dan proprioseptif dalam rangka mencapai maksud relaksasi atau aktivasi
pada seseorang dengan tujuan memperbaiki kualitas hidupnya. Kondisi untuk mencapai sesi
snozolen yang optimum:14

The right fundamental attitude.


Anak yang akan melakukan aktivitas, sedangkan terapis melakukan aktivitas,
mengobservasi dan memberikan arahan (bukan memaksa).

The right guidance.


Terapis bersikap respek dan memberikan dorongan atau membesarkan hati atau
semangat anak.

The right atmosphere.


Menciptakan suasana yang cocok dengan kebutuhan anak.

Offering stimuli in a selective way.


Menciptakan stimuli yang aman dan menghilangkan stimuli yang kontradiksi dengan
kebutuhan anak.

The right direction.


Durasi bergantung pada reaksi anak di ruang snoezelen.

Repetition.
Diperbolehkan bagi anak mengulang aktivitas dengan objek yang sama.

The possibility to determine the speed.


Anak memiliki waktu yang cukup untuk mengindetifikasi stimuli yang berbeda.

21

III.1.13. OLAH MUSIK


Aktivitas utama anak-anak pada umumnya adalah bermain. Lingkungan dan suasana
yang menyenangkan dan familiar digunakan sebagai pendekatan yang mudah diterima oleh
anak, yaitu menggabungkan kegiatan bermain dengan berolah musik.15
Dalam hal ini musik diperkenalkan melalui lagu atau bunyi, sehingga merangsang
kemampuan pendengaran dan kemampuan verbal dengan menirukan lagu bunyi yang
diperdengarkan. Selanjutnya, anak mendapatkan stimulasi untuk melakukan gerakan sesuai
dengan irama lagu (melatih koordinasi tubuh). Suasana musikal yang dihasilkan dapat
membantu terciptanya komunikasi dan interaksi sosial.15
III.1.14. TERAPI OROFARING
Pada penderita autisme organ sensoris tidak mampu melakukan proses registrasi dan
modulasi informasi sensoris pada tahapan yang nyaman untuk anak. Anak ini akan belajar
melalui informasi yang tidak terorganisir. Umpan balik sensoris tidak adekuat, membentuk
lingkaran misinformasi yang akan mempengaruhi proses belajar oromotor, menghasilkan
gerakan primitif dan kadangkala abnormal.16
Problem oromotor yang disebabkan oleh gangguan sensory processing hanyalah salah
satu masalah yang dihadapi oleh penderita autisme, selain masalah defisit kognitif,
komunikasi, sosial dan tingkah laku. Sehingga penanganan problem oromotor dapat
dipisahkan dan harus terintegrasi dengan penanganan autisme secara keseluruhan. Tujuan
penatalaksanaan problem oromotor adalah mempertahankan nutrisi peroral secara optimal,
menghasilkan respon perilaku adaptif yang lebih fleksibel, terorganisir, terampil dan
produktif. Kemampuan menghasilkan respon adaptif merupakan tanda independensi terhadap
perubahan lingkungan.16
Ada berbagai pendekatan terapi yang dapat diaplikasikan, diantaranya: Metode Farber
(1982), Moris dan Klein (1987), Ayres (1989), Glass dan Wolf (1992). Apapun jenis terapi
yang akan diberikan hendaknya didasari pada pemahaman yang mendalam terhadap ilmu
neuroanatomi dan neurofisiologi.16
III.2. TERAPI MEDIKAMENTOSA
Obat hanyalah terapi pendamping, bukan yang utama. Perlu dinyatakan bahwa belum
ada obat yang dapat menyembuhkan autisme.7,17 Obat dibutuhkan hanya untuk membantu
mengatasi masalah-masalah yang timbul yang tidak dapat diatasi dengan metoda non obat,
seperti hiperaktivitas, agresivitas, menyakiti diri dan insomnia. 10 Atau bila metoda intervensi
22

non obat dikombinasikan dengan obat, diharapkan intervensinya dapat maksimal. 7 Obat-obat
yang sering dipakai adalah:

III.2.1. STIMULAN17,18
Inatensi mungkin merupakan satu gejala yang mengganggu proses belajar. Harus dibedakan
antara inatensi yang merupakan bagian dari gejala autisme dengan inatensi sebagai gejala
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).

Deksamfetamin dan Levoamfetamin.

Metilfenidat.

Dapat meningkatkan atensi dan mengurangi distraktibilitas. Dosis: 0,3 mg/kg.


III.2.2. AGONIS RESEPTOR ALPHA ADRENERGIK12,17
Agonis reseptor alpha adrenergik (Klonidin) dilaporkan dapat menurunkan agresivitas,
temper tantrum, impulsivitas dan hiperaktivitas. Mulai dengan dosis rendah: 0,025-0,05 mg 2
kali/hari dinaikkan secara bertaap sampai dosis maksimum 0,3-0,6 mg/hari dalam 3-4
kali/hari.
III.2.3. BETA ADRENERGIK BLOCKER12,17
Beta adrenergik blocker (Propanolol) dipakai dalam mengatasi agresivitas terutama yang
disertai dengan agitasi dan anxietas. Dosis: 1-5 mg/kg/hari atau lebih.
III.2.4. POTENT LONG ACTING OPIOID ANTAGONIST12,17
Potent long acting opioid antagonist (Naltrekson) memiliki potensi untuk mengatasi perilaku
melukai diri sendiri dan ritual, dosis: 0,5-2 mg/kg/hari.
III.2.5. SPESIFIK SEROTONIN REUPTAKE INHIBITOR (SSRI)7,12,15
SSRI digunakan untuk mengatasi perilaku stereotipik seperti perilaku yang melukai diri
sendiri, resisten terhadap perubahan hal-hal rutin, ritual obsesif dengan anxietas yang tinggi.
Pemberian SSRI dimulai dari dosis terkecil dan secara bertahap dinaikkan sampai mencapai
dosis terapeutik.

Fluoxetine.

Fluvoksamin.
23

III.2.6. NEUROLEPTIK7,12,17,18
Neuroleptik tipikal potensi rendah (Thioridazine).
Dapat menurunkan agreivitas dan agitasi. Dosis: 0,5-3 mh/kg/hari, dibagi dalam 2-3 kali/hari.
Neuroleptik tipikal potensi tinggi (Haloperidol dan Pimozide).
Dalam dosis kecil: 0,25-3 mg/hari, dapat menurunkan agresivitas, hiperaktivitas, iritabilitas
dan stereotipik.
Neuroleptik atipikal (Risperidon).
Bila digunakan dalam dosis yang direkomendasikan: 0,5-3 mg/hari dibagi dalam 2-3
kali/hari, dapat dinaikkan 0,25 mg setiap 3-5 hari sampai dosis inisial tercapai 1-2 mg/hari
dalam 4-6 minggu, akan tampak perbaikan pada hubungan sosial, atensi dan gejala obsesif.
III.2.7. ANTI EPILEPSI7
Anti epilepsi (Asam valproat) digunakan bila penderita autisme mengalami epilepsi (1/3
kasus autisme mengidap epilepsi).
III.2.8. NOOTROPIK7
Nootropik (Pirasetam) digunakan untuk

memperbaiki gangguan perkembangan bahasa,

karena terbukti obat ini mampu memperbaiki fungsi hemisfer kiri otak.

24

BAB IV
PENUTUP
Pemahaman mengenai etiologi, diagnosis dan penatalaksanaan autisme pada anakanak selalu berubah secara dramatis sejak 2 dekade terakhir. Dari berbagai penelitian yang
telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa diagnosis dini autisme merupakan hal
penting yang akan mempengaruhi outcome dari penatalaksanaan autisme.
Pada individu dengan autisme diperlukan bantuan manajemen terapi yang
komprehensif dan terpadu antar disiplin ilmu yang terkait, agar dapat tercapai target terapi
seperti yang diharapkan. Mengingat masing-masing individu dengan autisme adalah unik,
tidak ada yang sama satu dengan yang lain (kembar sekalipun), maka pendekatan manajemen
terapi yang diberikan juga sebaiknya disesuaikan dengan masing-masing kondisi anak.
Dukungan keluarga sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan terapi.
Sebaiknya tidak menunda pemberian terapi, sedini mungkin, agar anak dapat
menerima yang sesuai dan adekuat sehingga dapat berkembang seoptimal mungkin. Tidak
ada kata terlambat, lebih baik terlambat daripada tidak diterapi sama sekali.

25

DAFTAR PUSTAKA
1. Rahmawati D. Gangguan Berbahasa dan Bicara Pada Anak Dengan Autisme Infantil:
Kumpulan Makalah Simposium Neuropediatri The Child Who Does Not Speak.
Penerbit FK Undip Semarang, 2002: 15-23.
2. Hartono B. Aspek Medik Autisme Infantil. Media Medika Indonesiana, Vol.33, No.4,
Penerbit FK Undip Semarang, 1998: 209-213.
3. Purba JS. Patogenesis Autisme Menuju Tatalaksana Holistik dan Terintegrasi. Dalam:
Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta. 2000: 321-325.
4. Hardiono P. Autisme: Bagaimana Mengenal dan Menegakkan Diagnosis. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. 2002: 47-62.
5. Faradz SMH. Genetic Evaluation of Autism with Special Reference to Fragile-X
Syndrome. Dalam: Konferensi Nasional Autisme I. Jakarta. 2003: 8-14.
6. Edi TMSO. Diagnosis Dini Autisme. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme.
Jakarta. 2000: 9-12.
7. Hartono B, Rahmawati D, Muhartomo H. Masalah-Masalah Neurobehaviour pada
Infantil. Dalam: Seminar dan Workshop on Fragile-X, Mental Retardation, Autism
and Related Disorders. Semarang. 2002: 104-112.
8. American Psychiatric Association. (2000) Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders Fourth Edition Text Revision, DSM-IV-TR. Arlington,VA:
American Psychiatric Association.
9. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott.2007. Kaplan & Sadock's Synopsis
of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New york; p
1192-99.
10. Budhiman M. Penanganan Autisme Secara Komprehensif. Dalam: Seminar dan
Workshop on Fragile-X, Mental Retardation, Autism and Related disorders.
Semarang. 2002: 46-60.
11. Handojo Y. Manajemen Tata Laksana Terapi Perilaku Anak Dengan Kebutuhan
Khusus (Autisme). Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional
Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
2003: 153-163.
12. Widyawati I. Manajemen Multidisplin Pada Individu Autisme. Dalam: Konferensi
Nasional Autisme I. Jakarta. 2003: 61-66.
26

13. Setiyono A. Terapi Sensori Terintegrasi. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme.


Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Jakarta. 2003: 35-41.
14. Gunadi T. Snoezelen. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional
Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
2003: 43-51.
15. Setyowatie FFS. Olah Musik Bagi Anak Dengan Kebutuhan Khusus (Autisme).
Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional Autisme Indonesia
Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2003: 185-203.
16. Wahyuni

LK. Penatalaksanaan

Problem

Oromotor

Pada Autisme.

Dalam:

Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama.


Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2003: 43-51.
17. Bryson SE, Rogers SJ, Fombonne E. Autism : Early Detection, Intervention,
Education, and Psychopharmacological Management. Can J Psychiatry, Vol 48, No 8,
September 2003 : 506-514.
18. Supargo A. Farmakoterapi Pada Autisme. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme.
Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Jakarta. 2003: 43-51.

27

Vous aimerez peut-être aussi