Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Autisme adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan gangguan
perkembangan pervasive pada anak, yang mengakibatkan gangguan pada bidang bahasa,
perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.1
Dewasa ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus-kasus autisme pada anak
(autisme infantil). Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah
keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah anaknya tuli.2
Mencoba memahami anak yang mengidap autisme berarti harus membayangkan anak
yang terisolir dari dunianya. Anak yang tidak bisa membentuk ikatan emosional dengan
orang-orang disekitarnya, sehingga tampak beda, aneh dan seakan terasing. Walau gejala
autisme sangat beragam, namun kebanyakan dari mereka tidak mampu untuk mengerti apa
yang dipikirkan, dirasakan dan diinginkan orang lain. Bahkan seringkali karena kecerdasan
dan kemampuan bahasanya tidak berkembang sempurna, maka komunikasi dan hubungan
sosialnya menjadi semakin sulit. Disamping itu tanda yang cukup menonjol adalah umumnya
mereka melakukan aktivitas yang berulang-ulang (obsesif, stereotipik) seperti bicara dengan
kalimat yang diulang-ulang, gerakan seperti menepuk-nepuk, memukul-mukul, bahkan
kadang membenturkan kepalanya ke tembok.2
Gangguan ini ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Autisme terdapat pada
semua negara di dunia, serta tidak memandang ras, etnis, agama maupun latar belakang sosial
ekonomi.1,2 Secara global prevalensinya berkisar 4 per 10.000 penduduk, dan pengidap
autisme laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita ( 4 kalinya). Pada wanita seringkali
lebih berat dan ditemukan adanya riwayat keluarga dengan gangguan kognitif. Dalam
klasifikasi penyakit, gangguan ini termasuk kelompok PPD (Pervasive Developmental
Disorders) dan Autistic Spectum Disorders. Di Indonesia belum ada angka yang tepat
mengenai angka kejadian autisme.3 Banyak penyandang autisme terutama yang ringan tidak
terdiagnosis atau bahkan mendapat diagnosis yang salah. Hal ini tentu saja merugikan anak
tersebut. Di sisi lain, ada kekuatiran bahwa terjadi overdiagnosis dari autisme.4
Autisme bukanlah gangguan fungsional semata, namun didasari oleh gangguan
organik dalam perkembangan otak.2 Beberapa studi mengemukakan terjadi gangguan
neurobiologik yang meliputi tanda dan gejala neurologik yang samar, adanya perubahan
neurokimiawi, kelainan neuroanatomi, faktor genetik dan kemungkinan berhubungan dengan
beberapa penyakit atau keadaan seperti fenilketonuria, rubella, tuberosklerosis, sindroma
1
Fragile-X dan sindroma Rett. Namun penyebab spesifik dari autisme pada 90-95% adalah
tidak diketahui.1 Sehingga penanganan maupun riset autisme ini melibatkan banyak bidang,
baik kedokteran, pendidikan, psikologi, sosial dan sebagainya.2
BAB II
AUTISME
II.1. DEFINISI
Autisme berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri merupakan suatu
gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan afek, komunikasi
verbal dan non-verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi, ini
merupakan suatu kelainan dengan ciri perkembangan yang terlambat atau yang abnormal dari
hubungan sosial dan bahasa.1,2
Autisme secara tipikal ditandai sebagai bagian dari kelompok gangguan yang terdiri
dari sindrom Asperger (AS) dan gangguan menetap / pervasive developmental disorders
(PDD) lainnya. AS dibedakan dari gangguan autistik oleh keterlambatan yang bermakna
secara klinik dalam perkembangan bahasa (1 kata pada umur 2 tahun), selain gejala-gejala
kegagalan interaksi sosial dan tingkah laku, perhatian/aktifitas yang terbatas dan berulang
yang
menandai
autism-spectrum
disorders
(ASDs).
PDD
digunakan
untuk
mengkategorikan anak-anak yang kriterianya kurang sesuai untuk autisme tetapi mereka
sangat mendekati diagnosis autisme dengan 2-3 gejala autisme. Autisme infantil (autisme
pada masa anak-anak) adalah PDD yang awitannya muncul sebelum umur 30-36 bulan dan
kegagalan pada interaksi sosial dan komunikasi berhubungan dengan pola tingkah laku yang
terbatas, berulang (repetisi) dan stereotipi.5
Adapun gangguan-gangguan yang timbul pada penderita autisme dapat meliputi
berbagai bidang, diantaranya:4
1.
Mengeluarkan kata-kata yang tak dapat dimengerti oleh orang lain yang sering
disebut sebagai bahasa planet.
Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai.
Meniru (ekolalia) tanpa mengerti artinya.
Kadang bicaranya monoton seperti robot dan mimik datar.
2.
Anak dapat terlihat hiperaktif (tidak bisa diam, melompat, berputar), sehingga
sering salah diagnosis dengan ADHD (attention deficit hyperactivity disorder).
4.
Kadang anak terlalu diam (duduk diam dengan tatapan mata yang kosong).
Gangguan dalam bidang perasaan/emosi.
Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak bisa
mendapatkan apa yang diinginkan, bahkan bisa menjadi agresif dan destruktif.
5.
Tidak menyukai rabaan atau pelukan. Bila digendong cenderung merosot untuk
melepaskan diri dari pelukan.
Merasa sangat tidak nyaman bila memakai pakaian dari bahan tertentu.
II.2. PREVALENSI
Autisme terdapat pada semua negara di dunia, serta tidak memandang ras, etnis,
agama, maupun latar belakang sosial ekonomi.2 Secara global prevalensinya berkisar 4 per
10.000 penduduk, dan pengidap autisme laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita (lebih
kurang 4 kalinya). Pada wanita seringkali lebih berat dan ditemukan adanya riwayat keluarga
dengan gangguan kognitif. Di Indonesia belum ada angka yang tepat mengenai angka
kejadian autisme.3
II.3. ETIOLOGI
2.
Kelainan organik-neurologik-biologik.
3.
Faktor genetik.
4.
Faktor imunologik.
5.
Faktor perinatal.
6.
Faktor neuroanatomi.
7.
Faktor biokimia.
Secara umum autisme disebabkan adanya gangguan perkembangan neurobiologik
yang mengakibatkan adanya gangguan struktur maupun fungsi otak. Beberapa bagian otak
yang diduga terlibat dalam autisme adalah amigdala, yaitu pusat pengendalian emosional
terhadap rangsangan dari luar dan hipokampus yang penting dalam fungsi memori. sel-sel
saraf yang terdapat di amigdala ditemukan bentuknya kecil, abnormal dan tampak lebih padat
dibanding sel normal. Dari hasil penelitian juga ditemukan adanya sirkulasi darah yang lebih
lambat pada beberapa bagian lapisan luar otak (korteks), dan menurunnya jumlah sel yang
bertugas meneruskan sinyal-sinyal penghambat gerakan tubuh yang berpusat di otak kecil
(serebelum) ke korteks. Dengan foto MRI didapat gambaran pengisutan (hipoplasi)
serebelum dan sisterna limbik. Tanda-tanda ini mengarahkan para ahli pada suatu hipotesis,
bahwa awal terjadinya autisme infantil adalah sebelum lahir.7
Akhir-akhir ini ditemukan bahwa pada otak penderita autisme, secara makroskopis
ukuran otaknya lebih besar dibanding normal. Dicurigai pembesaran ini karena kegagalan
proses perampingan/pemangkasan sel-sel saraf (apoptosis) yang tidak diperlukan lagi pada
saat perkembangan otak berlangsung. Jawaban yang lebih pasti dan rinci atas pertanyaan
dimana dan bagaimana bentuk gangguan otak anak autisme sampai sekarang belumlah
diketahui secara pasti.7
Sumber : http://www.wsusignpost.com/category/sciencetech/health/
Pada pemeriksaan menggunakan PET ditemukan penurunan sintesis 5-HT di korteks
dan thalamus. Namun di plasma maupun di platelet ditemukan peningkatan kadar serotonin
yang bisa mencapai 25%. Diperkirakan bahwa gangguan metabolisme serotonin sangat
berperan dalam patologi autisme. Menurunkan triptofan dengan menginhibisi pengambilan
kembali 5-HT adalah salah satu usaha untuk memperbaiki simptom autisme.3
Peningkatan opioid endogen ada kaitannya dengan perilaku melukai sendiri dan ini
akan berkontribusi ke simptom lain dari autisme melalui serotoninergik dan aksis
hypothalamicpituitary adrenal (HPA) secara tidak langsung sehingga terjadi sekresi
proopiomelanokortin,kortisol dan oksitosin. Defisiensi melatonin menyebabkan gangguan
tidur.3
II.4 DIAGNOSIS AUTISME.
Diagnostic and Statistical Manual IV atau DSM-IV merupakan suatu system diagnosis yang
dibuat oleh perhimpunan psikiater Amerika, sedangkan International Classification of
Diseases-10 atau ICD-10 merupakan suatu sistem diagnosis yang dibuat oleh WHO. Kedua
sistem ini menyebutkan tentang Pervasive Developmental Disorder. Seorang anak dapat
disebut mengalami Gangguan Autistik harus memenuhi kriteria dibawah ini :
A.
Klasifikasi Autisme
Enam atau Lebih Gejala dari (1),(2),dan (3) dengan paling sedikit 2 dari (1) dan 1 dari
6
Gangguan kualitatif interaksi sosial, yang terlihat sebagai paling sedikit 2 dari gejala
berikut :
(1) Gangguan yang jelas dalam perilaku non-verbal (perilaku yang dilakukan
tanpa
bicara) misalnya kontak mata, ekspresi wajah, posisi tubuh, dan mimik untuk
mengatur interaksi sosial
(2) Tidak bermain dengan teman seumurnya, dengan cara yang sesuai
(3) Tidak berbagi kesenangan, minat, atau kemampuan mencapai sesuatu hal
dengan
orang lain, misalnya tidak memperlihatkan mainan pada orang tua, tidak menunjuk ke
suatu benda yang menarik, tidak berbagi kesenangan dengan orang tua.
(4) Kurangnya interaksi social timbal balik, misalnya tidak berpartisipasi aktif dalam
bermain, lebih senang bermain sendiri
2.
Gangguan kualitatif komunikasi yang terlihat sebagai paling tidak satu dari gejala berikut :
(1) Keterlambatan atau belum dapat mengucapkan kata-kata berbicara, tanpa disertai
usaha kompensasi dengan cara lain, misalnya mimik dan bahasa tubuh
(2) Bila dapat berbicara, terlihat gangguan kesanggupan memulai atau mempertahankan
komunikasi dengan orang lain
(3) Penggunaan bahasa yang stereotipik dan berulang, atau bahasa yang tidak dapat
dimengerti
(4) Tidak adanya cara bermain yang bervariasi dan spontan, atau bermain meniru secara
sosial yang sesuai dengan umur perkembangannya
3.
Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, berulang, dan tidak berubah (stereotipik),
(4)
fleksibel
Gerakan motorik yang stereotipik dan berulang, misalnya flapping tangan dan jari,
gerakan tubuh yang kompleks
Preokupasi terhadap bagian dari benda.8
Gejala
Anak terlalu tenang/baik
Mudah terangsang (irritable)
Banyak menangis terutama
7
Jarang menyodorkan
kedua
Jarang mengoceh
Jarang
mata
menunjukkan
kontak
tampak normal
Usia 6 bulan 2 tahun
Tidak
mau
dipeluk,
atau
Tidak
mau
mengikuti
Seperti
tidak
tertarik
pada
tangnnya sendiri
Mungkin
menolak
makanan
Mungkin
mencium
atau
menjilati benda-benda
menjadi lemas)
Kontak
terbatas,
mata
walaupun
perbaikan\
Tantrum
berkelanjutan
masih
sangat
bisa
terjadi
dan
tetapi
agresi
bisa
juga
berangsur-angsur berkurang
berulang.8
Biasanya tidak jelas ada perkembangan yang normal sebelumny, tetapi bila ada,
kelainan perkembangan
emosional, yang tampak sebagai kurangnya respon terhadap emosi orang lain
dan/atau kurangnya modulasi trhadap perlaku dalam konteks sosial, buruk dalam
menggunakan isyarat sosial dan integritas yang lemah dalam perilaku sosial,
emosional dan komunikatif, dan khususnya, kurangnya respons timbal balik sosio
emosional.8
Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini berbentuk
kurangnya pengguanaan keterampilan bahasa yang dimiliki di dalam hubungan sosial,
hendaya dalam permainan imaginative dan imitasi sosial, keserasian yang buruk dan
kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan, buruknya keluwesan dalam
bahasa ekspresif dan kreativitas dan fantsai dalam proses pikir yang relatif kurang,
kurangnya respon emosional terhadap ungkapan verbal dan non-verbal orang lain,
hendaya dalam mengguanakan variasi iramaatau penekanan sebagai modulasi
komunikatif, dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau memberi arti
Gangguan perkembangan pervasif yang berbeda dari autism dalam hal onset maupun
tidak terpenuhinya ketiga kriteria diagnostik. Jadi kelainan dan atau hendaya
perkembangan menjadi jelas untuk pertama kalinya pada usia setelah 3 tahun,
dan/atau tidak cukup menunjukkan kelainan dalam satu atau dua dari tiga bidang
psikopatologi yang dibutuhkan untuk diagnosis autism (interaksi sosial timbal-balik,
komunikasi, dan perilaku terbatas, streotipik, dan berulang) meskipun terdapat
C.
Pemeriksaan Penunjang
10
Tidak ada pemeriksaan medis yang dapat memastikan suatu diagnosis autism pada
anak. Tetapi terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis yang dapat
digunakan sebagai dasar intervensi.
Elektroensefalogram (EEG)
EEG untuk memeriksa gelombang otak yang mennujukkan gangguan kejang, diindikasikan
pada kelainan tumor dan gangguan otak.
Skrening Metabolik
Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan urine untuk melihat metabolisme
makanan di dalam tubuh dan pengaruhnya pada tumbuh kembang anak. Beberapa spectrum
autism dapat disembuhkan dengan diet khusus.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computer Assited Axial Tomography (CT
Scan)
MRI atau CAT Scans sangat menolong untuk mendiagnosis kelainan struktur otak, karena
dapat melihat struktur otak secara lebih detail.
Pemeriksaan Genetik
Pemeriksaan darah untuk melihat kelainan genetik, yang dapat menyebabkan gangguan
perkembangan. Beberapa penelitian menunjukkkan bahwa penderita autism telah dapat
ditemukan pola DNA dalam tubuhnya.
II.5 DIAGNOSIS BANDING.9
A.
halusinasi atau waham, dengan insidensi kejang dan retardasi mental yang lebih rendah dan
dengan I.Q yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak autistik.9
Kriteria
Usia onset
Insidensi
Gangguan Autistik
<38 bulan
2-5 dalam 10.000
masa anak-anak
>5 tahun
Tidak diketahui,
kemungkinan sama atau
3-4:1
(L:P)
Riwayat keluarga
Skizofrenia
Status sosioekonomi
tidak naik
Terlalu mewakili kelompok Lebih sering pada SSE
perinatal dan
autistic
skizofrenia
disfungsi otak
karakteristik perilaku
Gagal untuk
mengembangkan hubungan
gangguan pikiran
Pemburukan fungsi
Dalam rentang normal,
parah (70%)
Jelas tidak rata
4-32%
(15%-70%)
Lebih rata
Tidak ada atau insidensi
Rendah
B.
anak yang teretardasi mungkin memiliki gejala perilaku yang termasuk ciri autistik. Ciri
utama yang membedakan antara gangguan autistik dan retardasi mental adalah :9
1.
Anak teretardasi mental biasanya berhubungan dengan orang tua atau anak-anak lain
2.
3.
C.
autistik.9
Kriteria
Gangguan autistik
Gangguan bahasa
reseptif/ekspresif
campuran
12
Insidensi
Ratio jenis kelamin (L:P)
Riwayat keluarga adanya
5 dalam 10.000
sama atau hampir sama
25 % kasus
sangat jarang
tidak jarang
keterlambatan bicara /
gangguan bahasa
Ketulian yang
Berhubungan
Komunikasi
Ada
lebih sering
lebih jarang
lebih jarang
sering terganggu parah
lebih sering
Walaupun mungkin
terganggu, seringkali
tidak rata, rendah pada
kurang parah
lebih rata, walaupun IQ
Perilaku autistik,
IQ kinerja
tidak ada atau jika ada,
gangguan kehuidupan
parah
kurang parah
tidak ada/rudimenter
biasanya ada
Pola test IQ
sosial, aktivitas
stereotipik dan ritualistik
Permainan imaginatif
D.
dari gangguan autistik dan gangguan disintegratif masa anak-anak. Anak-anak dengan
kondisi ini normal untuk beberapa tahun sebelum kehilangan bahasa reseptif dan
ekspresifnya selama periode beberapa minggu atau beberapa bulan. Sebagian akan
mengalami kejang dan kelainan EEG menyeluruh pada saat onset, tetapi tanda tersebut
biasanya tidak menetap. Suatu gangguan yang jelas dalam pemahaman bahasa yang terjadi
kemudian, ditandai oleh pola berbicara yang menyimpang dan gangguan bicara. Beberapa
anak pulih tetapi dengan gangguan bahasa residual yang cukup besar.9
E.
Anak-anak autistik sering kali dianggap tuli oleh karena anak-anak tersebut sering
membisu atau menunjukkan tidak adanya minat secara selektif terhadap bahasa ucapan. Ciriciri yang membedakan yaitu bayi autistik mungkin jarang berceloteh sedangkan bayi yang
tuli memiliki riwayat celoteh yang relatif normal dan selanjutnya secara bertahap menghilang
dan berhenti pada usia 6 bulan 1 tahun. Anak yang tuli berespon hanya terhadap suara yang
keras, sedangkan anak autistik mungkin mengabaikan suara keras atau normal dan berespon
hanya terhadap suara lunak atau lemah. Hal yang terpenting, audiogram atau potensial
cetusan auditorik menyatakan kehilangan yang bermakna pada anak yang tuli. Tidak seperti
anak-anak autistik, anak-anak tuli biasanya dekat dengan orang tuanya, mencari kasih sayang
orang tua dan sebagai bayi senang digendong.9
F.
Pemutusan psikososial
Gangguan parah dalam lingkungan fisik dan emosional (seperti pemisahan dari ibu,
kekerdilan psikososial, perawatan di rumah sakit, dan gagal tumbuh) dapat menyebabkan
anak tampak apatis, menarik diri, dan terasing. Keterampilan bahasa dan motorik dapat
terlambat. Anak-anak dengan tanda tersebut hamper selalu membaik dengan cepat jika
ditempatkan dalam lingkungan psikososial yang menyenangkan dan diperkaya, yang tidak
terjadi pada anak autistik.9
Gangguan perilaku pada autisme biasanya merupakan satu gejala yang membuat
orangtua menyadari bahwa anaknya berbeda perkembangannya dengan anak lain seusianya.
Selain hiperaktivitas, impulsivitas, gerakan stereotipik, cara bermain yang tidak sama dengan
anak lain, juga adanya agresivitas, temper tantrum dan perilaku yang cenderung melukai diri
sendiri. Kondisi ini sangat menguras tenaga maupun psikis orang-orang disekitarnya. 12
Pendekatan perilaku bertujuan untuk mengurangi stereotipi, kekakuan, agresifitas dan self
injury behaviour. Terapi perilaku ini juga disesuaikan untuk masing-masing anak sesuai
dengan gangguannya.1 Apapun metodenya sebaiknya sesegera dan seintensif mungkin,
Sebaiknya memang dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain, apabila terdapat perilaku
yang sulit dikendalikan, mungkin intervensi medikamentosa diperlukan terlebih dahulu, agar
anak dapat diberi terapi yang lain.12
Bila seseorang mendapat reward yang menyenangkan atas apa yang dilakukannya
(aktifitas atau perilaku tertentu), maka akan cenderung untuk mengulangi atau melanjutkan
perilaku / aktifitas tersebut. Dasar inilah yang dikembangkan menjadi suatu metode terapi
oleh Dr. O. Ivar Lovaas sejak 28 tahun silam. Metode tersebut bercirikan sangat intensif
dalam waktu, terstruktur dan melalui tahap-tahap ulangan dimana anak diberikan suatu
perintah dan senantiasa mendapat reward bila mengerjakannya dengan benar. Metode ini
dapat diterapkan dalam toilet training pada anak dengan autisme.2
Untuk mencapai tujuan yang telah disebutkan diatas, kita harus mencapai tujuan
antara, yaitu berbagai kemampuan perilaku yang terdiri dari:11
Komunikasi dua arah secara aktif, artinya anak harus mampu memulai suatu topik
pembicaraan lebih dahulu secara aktif.
Kemampuan bantu diri (bina diri) yang memadai, sehingga mampu merawat diri
sendiri secara mandiri.
Untuk mencapai tujuan antara ini, dengan sendirinya setiap anak harus mampu menguasai
kemampuan-kemampuan perilaku dasar, seperti: kepatuhan, kontak mata, menirukan, bahasa
reseptif (kognitif) dan bahasa ekspresif. Dengan memiliki kemampuan-kemampuan dasar dari
16
perilaku ini, diharapkan anak akan lebih mudah dan lancar menerima pelatihan perilaku yang
semakin kompleks.11
III.1.3. TERAPI WICARA
Keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa dan berbicara merupakan keluhan
yang sering diajukan para orangtua, hampir 100% mengalami hal ini. Komunikasi non verbal
juga mengalami gangguan, sering tidak dapat menggunakan gerakan tubuh dalam
berkomunikasi, seperti menggeleng, mengangguk, menunjuk, melambai dan mengangkat
alis.12
Intervensi dalam bentuk terapi wicara perlu dilakukan, seperti diketahui bahwa tidak
semua individu dengan autisme akan dapat berkomunikasi dengan cara verbal, sekitar 2510% kemungkinan tetap non verbal. Terapi wicara yang diberikan pada individu dengan
autisme berbeda dengan gangguan lain, sehingga diperlukan pengetahuan yang baik
mengenai ciri-ciri bicara dan berbahasa anak autistik. Terapi ini harus diberikan sejak dini
dan dengan intensif, bersama dengan terapi-terapi yang lain.12
III.1.4. TERAPI EDUKASI
Hambatan pada individu dengan autisme terutama pada interaksi sosialnya. Hal ini
akan berlanjut bila tidak segera ditangani pada usia sekolah, anak akan mengalami kesulitan
dalam berkomunikasi, bersosialisasi dengan lingkungan barunya (teman, guru). Oleh karena
itu sebaiknya anak sesegera mungkin dikenalkan dengan lingkungannya.12
Intervensi dalam berbagai bentuk pelatihan ketrampilan sosial, ketrampilan seharihari agar anak jadi mandiri (self care). Berbagai metode pengajaran telah diuji cobakan pada
gangguan ini. Antara lain metode TEACCH (Treatment and Education of Autistic and
Related Communication Handicapped Children). Dikembangkan oleh Eric Schopler pada
awal tahun 1970an, merupakan suatu sistem pendidikan khusus untuk anak dengan autisme,
di School of Psychiatry at the University of North Carolina in Chapel Hill. Metode ini
merupakan suatu program yang sangat terstruktur yang mengintegrasikan metode klasikal
yang individual, metode pengajaran yang sistematik, terjadwal dan dalam ruang kelas yang
ditata secara khusus.12
III.1.5. TERAPI OKUPASI
Ketrampilan motorik pada individu dengan autisme sering terganggu, baik motorik
kasar maupun halus. Diperlukan intervensi terapi okupasi / fisik agar individu dengan
17
18
detoks berikutnya baru dikeluarkan logam berat dari otak. Menurut laporan di Amerika,
detoks mempunyai efek yang sangat dramatis, terutama pada anak-anak yang timbulnya
gejala autisme dipacu oleh keracunan logam berat.10
III.1.11. TERAPI SENSORI INTEGRASI
Terapi sensori integrasi adalah pengorganisasian informasi melalui sensori-sensori
(sentuhan, gerakan, kesadaran tubuh dan gravitasinya, penciuman, pengecapan, penglihatan
dan pendengaran) yang sangat berguna untuk menghasilkan respons yang bermakna.13
Terapi sensori integrasi seperti yang dianjurkan oleh DR. Ayres, dilakukan dalam
ruang terapi khusus. Dalam ruangan tersebut tersedia berbagai alat yang dapat
memfasilitasikan aktifitas-aktifitas yang akan memberi masukan input-input sensorik,
mendukung terjadinya respons adaptif dan memperbaiki fungsi batang otak dan talamus.12
Setiap anak memiliki masalah yang berbeda sehingga aktivitas yang diberikan pun
berbeda dari anak yang satu dengan lainnya. Pemberian aktivitas disesuaikan dengan kondisi
anak yang bersangkutan. Pada pendekatan sensori integrasi, okupasi terapi harus bekerja
berdasarkan urutan perkembangan, stabilitas digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan
mobilitas. Urutan yang harus diikuti adalah:13
1.
2.
3.
4.
Terapi sensori integrasi dapat memperbaiki fungsi otak anak-anak dengan autisme, sehingga
perilaku anak-anak tersebut jadi membaik dan lebih adaptif. Setelah terapi sensori integrasi
ini berhasil, anak dapat memproses berbagai informasi sensorik yang kompleks dengan lebih
baik. Maka anak akan mampu menyimak dan merespons usaha orang tua atau pengasuhnya
untuk melakukan interaksi sosial dan selanjutnya membantu perkembangan emosi dan
kognitifnya. Tentu saja hal-hal tersebut akan memberikan pengaruh yang besar bagi
kemampuan anak untuk melakukan berbagai aktifitas sehari-hari.12
Masalah regulasi seperti pola tidur, pola makan dan eliminasi, biasanya paling dahulu
berkurang pada bulan-bulan pertama terapi. Perbaikan dalam fungsi yang mendasar ini
seringkali diikuti dengan perbaikan kesahatan anak secara keseluruhan dan anak tampil lebih
cerah, nada ekspresi muka jadi lebih bervariasi dan anak lebih terbuka untuk diajak
berinteraksi; meskipun pada mulanya hanya berupa interaksi singkat pada tahap non verbal.
Kemajuan dalam dorogan untuk melakukan interaksi ini biasanya mulai terlihat pada
20
munculnya joint attention. Maka anak jadi lebih mudah diajari, karena menarik perhatian si
anak menjadi lebih mudah.12
III.1.12. SNOEZELEN
Snoezelen adalah sebuah aktivitas yang dirancang untuk mempengaruhi sistem saraf
pusat (SSP) melalui pemberian stimuli yang cukup pada sistem sensori primer seperti
penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah dan pembau, juga pada sistem sensori internal
seperti vestibular dan proprioseptif dalam rangka mencapai maksud relaksasi atau aktivasi
pada seseorang dengan tujuan memperbaiki kualitas hidupnya. Kondisi untuk mencapai sesi
snozolen yang optimum:14
Repetition.
Diperbolehkan bagi anak mengulang aktivitas dengan objek yang sama.
21
non obat dikombinasikan dengan obat, diharapkan intervensinya dapat maksimal. 7 Obat-obat
yang sering dipakai adalah:
III.2.1. STIMULAN17,18
Inatensi mungkin merupakan satu gejala yang mengganggu proses belajar. Harus dibedakan
antara inatensi yang merupakan bagian dari gejala autisme dengan inatensi sebagai gejala
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).
Metilfenidat.
Fluoxetine.
Fluvoksamin.
23
III.2.6. NEUROLEPTIK7,12,17,18
Neuroleptik tipikal potensi rendah (Thioridazine).
Dapat menurunkan agreivitas dan agitasi. Dosis: 0,5-3 mh/kg/hari, dibagi dalam 2-3 kali/hari.
Neuroleptik tipikal potensi tinggi (Haloperidol dan Pimozide).
Dalam dosis kecil: 0,25-3 mg/hari, dapat menurunkan agresivitas, hiperaktivitas, iritabilitas
dan stereotipik.
Neuroleptik atipikal (Risperidon).
Bila digunakan dalam dosis yang direkomendasikan: 0,5-3 mg/hari dibagi dalam 2-3
kali/hari, dapat dinaikkan 0,25 mg setiap 3-5 hari sampai dosis inisial tercapai 1-2 mg/hari
dalam 4-6 minggu, akan tampak perbaikan pada hubungan sosial, atensi dan gejala obsesif.
III.2.7. ANTI EPILEPSI7
Anti epilepsi (Asam valproat) digunakan bila penderita autisme mengalami epilepsi (1/3
kasus autisme mengidap epilepsi).
III.2.8. NOOTROPIK7
Nootropik (Pirasetam) digunakan untuk
karena terbukti obat ini mampu memperbaiki fungsi hemisfer kiri otak.
24
BAB IV
PENUTUP
Pemahaman mengenai etiologi, diagnosis dan penatalaksanaan autisme pada anakanak selalu berubah secara dramatis sejak 2 dekade terakhir. Dari berbagai penelitian yang
telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa diagnosis dini autisme merupakan hal
penting yang akan mempengaruhi outcome dari penatalaksanaan autisme.
Pada individu dengan autisme diperlukan bantuan manajemen terapi yang
komprehensif dan terpadu antar disiplin ilmu yang terkait, agar dapat tercapai target terapi
seperti yang diharapkan. Mengingat masing-masing individu dengan autisme adalah unik,
tidak ada yang sama satu dengan yang lain (kembar sekalipun), maka pendekatan manajemen
terapi yang diberikan juga sebaiknya disesuaikan dengan masing-masing kondisi anak.
Dukungan keluarga sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan terapi.
Sebaiknya tidak menunda pemberian terapi, sedini mungkin, agar anak dapat
menerima yang sesuai dan adekuat sehingga dapat berkembang seoptimal mungkin. Tidak
ada kata terlambat, lebih baik terlambat daripada tidak diterapi sama sekali.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahmawati D. Gangguan Berbahasa dan Bicara Pada Anak Dengan Autisme Infantil:
Kumpulan Makalah Simposium Neuropediatri The Child Who Does Not Speak.
Penerbit FK Undip Semarang, 2002: 15-23.
2. Hartono B. Aspek Medik Autisme Infantil. Media Medika Indonesiana, Vol.33, No.4,
Penerbit FK Undip Semarang, 1998: 209-213.
3. Purba JS. Patogenesis Autisme Menuju Tatalaksana Holistik dan Terintegrasi. Dalam:
Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta. 2000: 321-325.
4. Hardiono P. Autisme: Bagaimana Mengenal dan Menegakkan Diagnosis. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. 2002: 47-62.
5. Faradz SMH. Genetic Evaluation of Autism with Special Reference to Fragile-X
Syndrome. Dalam: Konferensi Nasional Autisme I. Jakarta. 2003: 8-14.
6. Edi TMSO. Diagnosis Dini Autisme. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme.
Jakarta. 2000: 9-12.
7. Hartono B, Rahmawati D, Muhartomo H. Masalah-Masalah Neurobehaviour pada
Infantil. Dalam: Seminar dan Workshop on Fragile-X, Mental Retardation, Autism
and Related Disorders. Semarang. 2002: 104-112.
8. American Psychiatric Association. (2000) Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders Fourth Edition Text Revision, DSM-IV-TR. Arlington,VA:
American Psychiatric Association.
9. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott.2007. Kaplan & Sadock's Synopsis
of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New york; p
1192-99.
10. Budhiman M. Penanganan Autisme Secara Komprehensif. Dalam: Seminar dan
Workshop on Fragile-X, Mental Retardation, Autism and Related disorders.
Semarang. 2002: 46-60.
11. Handojo Y. Manajemen Tata Laksana Terapi Perilaku Anak Dengan Kebutuhan
Khusus (Autisme). Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional
Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
2003: 153-163.
12. Widyawati I. Manajemen Multidisplin Pada Individu Autisme. Dalam: Konferensi
Nasional Autisme I. Jakarta. 2003: 61-66.
26
LK. Penatalaksanaan
Problem
Oromotor
Pada Autisme.
Dalam:
27