Vous êtes sur la page 1sur 209

Mamoh Ranub

Kesembuhan Mulia

Mufida Afreni
Titan Amaliani
Rizaldi
Sugeng Rahanto

Mamoh Ranub, Kesembuhan Mulia


2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan
dan Pemberdayaan Masyarakat
Penulis
Mufida Afreni
Titan Amaliani
Rizaldi
Sugeng Rahanto
Editor
Tri Juni Angkasawati
Desain Cover
Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014


Buku ini diterbitkan atas kerjasama
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jl. Indrapura 17 Surabaya
Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749
dan
LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI)
Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta
Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933
e mail: penerbit@litbang.depkes.go.id

ISBN 978-602-1099-02-5
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis
dari penerbit.

ii

Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan
Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014,
dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina

: Kepala Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab

: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan


Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH)


Ketua Pelaksana

: dr. Tri Juni Angkasawati, MSc

Ketua Tim Teknis

: dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis

: drs. Setia Pranata, M.Si


Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes
drg. Made Asri Budisuari, M.Kes
Sugeng Rahanto, MPH., MPHM
dra.Rachmalina S.,MSc. PH
drs. Kasno Dihardjo
Aan Kurniawan, S.Ant
Yunita Fitrianti, S.Ant
Syarifah Nuraini, S.Sos
Sri Handayani, S.Sos

iii

Koordinator wilayah

1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel


dan Kab. Asmat
2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk
Wondama
3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep.
Mentawai
4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin
5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak
6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara,
Kab. Boalemo
7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab.
Mamuju Utara
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab.
Indragiri Hilir
9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur.
Kab. Rote Ndao
10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon

iv

KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?


Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan
masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan
pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan
menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah
mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu
dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu
cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk
itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait
kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasional dan
indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan
menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan caracara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga
dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa
kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan
masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.
Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku
seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di
berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna
menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun
agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya
pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan

RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora


untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga
dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014


Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

drg. Agus Suprapto, M.Kes

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

v
vii
x
xi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.
1.2.
1.3.

1
4
5

Latar Belakang Masalah


Tujuan Penelitian
Metode dan Cara Pengumpulan Data

BAB 2 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

13

2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
2.5.
2.5.1.
2.5.2.
2.5.3.
2.6.
2.7.
2.8.
2.9.
2.10.
2.11.
2.12.
2.13.
2.14.

13
18
26
30
33
34
35
36
37
41
43
44
46
48
49
50
51

Sejarah Gampong
Kondisi Alam Geografis Gampong
Kependudukan
Pola Perkampungan dan Bentuk Rumah
Religi
Memberikan Pendidikan Islami
Dalael Khairah dalam Budaya
Wirid Yasin dan Tahlilan
Nazar dan Rajah
Masjid Baitul Muqarammah
Kepercayaan Lokal
Pengetahuan terhadap Penyembuhan Penyakit
Tokoh Penyembuh
Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
Peran Tuha Peut
Bagan Organsasi Pemerintahan Gampong Baro Paya
Kegiatan Kepemudaan

vii

2.15.
2.16.
2.17.
2.18.
2.19.
2.20.
2.21.
2.22.
2.23.
2.24.

Sistem Kekerabatan Masyarakat Baro Paya


Perkawinan dan Hubungan Muda-Mudi
Mayam Simbol Penghargaan
Sistem Pengetahuan
Pengetahuan Obat Tradisional
Pengetahuan Masyarakat Mengenai Ranub
Sistem Bahasa
Sistem Kesenian
Sistem Mata Pencaharian
Sistem Teknologi dan Peralatan

53
55
58
59
64
64
65
68
71
73

BAB 3 POTRET KESEHATAN GAMPONG BARO PAYA

77

3.1. MaBlien dalam Sebuah Tradisi


3.2. Bidan Desa; Antara Ada dan Tiada
3.3. Tradisi 44 Hari Penghambat Pemberian Imunisasi
3.4. Apa manfaat Imunisasi, Jika Bayi harus Menjadi Sakit?
3.5. Posyandu
3.6. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
3.6.1. Air Sumur Bor yang Tidak Dimasak lagi
3.6.2. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
3.6.3. Mandi Cuci Kakus (MCK) dengan Air Sungai (Alue)
3.6.4. Membiasakan Anak Mandi dan Buang Air di Alue
3.7. Budaya Sehat Mengkonsumsi Ranub
3.8. Penyakit Menular
3.8.1. Tuberculosis
3.8.2. Malaria
3.8.3. Penyakit Kulit/ Gatal-Gatal
3.9. Penyakit Tidak Menular

79
80
82
83
84
86
86
88
89
89
93
94
95
95
96
97

BAB 4 KEMILAU MULIA PEREMPUAN ACEH

99

4.1. Kemilau Mulia Perempuan Aceh


4.2. Persembahan Ranub Linto Baro dan Dara Baro

viii

99
102

4.3. Menanti Kehamilan


4.4. Sembilan Bulan dalam Penantian
4.5. Empat Puluh Empat (44) Hari Menjadi Haram
4.6. Ie Mik dan Pisang Wak
4.7. Bayi (Sembo Pruet Aneuk Manyak)
4.8. Anak-anak Baro Paya

109
111
120
136
140
148

Bab 5 RANUB DAN PELAYANAN KESEHATAN

155

5.1. Mamoh Ranub


5.2. Rumah sakit, Pustu, atau Posyandu Plus
5.3. Mak Blien di Masyarakat Aceh

155
165
167

BAB 6 POTENSI DAN KENDALA

175

6.1. Pantangan Makanan


6.2. Bayi
6.3. Mak Blien
6.4. Ranub

175
178
180
181

BAB 7 KESIMPULAN

185

INDEKS
DAFTAR PUSTAKA

189
192

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Pemanfaatan Lahan di Gampong Baro Paya 2013


Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Gampong Baro Paya Menurut
Jurong/Dusun tahun 2013
Tabel 2.3. Jumlah Penduduk Gampong Baro Paya Menurut
Golongan Usia tahun 2013

25
27
28

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta Gampong Baro Paya


Gambar 2.2. Kondisi Jalan Utama Gampong
Gambar 2.3. Kawasan Hutan dan Perbukitan Gampong
Gambar 2.4. Jalan Menuju Perkebunan Mapoli Raya
Gambar 2.5. Banjir di Gampong Baro Paya
Gambar 2.6. Bentuk Rumah Panggung Baro Paya
Gambar 2.7. Fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) di Rumah
Panggung
Gambar 2.8. Nazar Memandikan Bayi di Makam Teuku
Umar
Gambar 2.9. Mengambil Air Untuk Nazar
Gambar 2.10. Masjid Baitul Muqaramah, Baro Paya
Gambar 2.11. Struktur Adat Masyarakat Gampong
Gambar 2.12. Struktur Organisasi Pemerintahan
Masyarakat Gampong
Gambar 2.13. Pohon Kekerabatan Masyarakat Aceh
Gambar 2.14. Pernikahan Pada Masyarakat Baro Paya
Gambar 2.15. Pemberian wali nikah antara orang tua dan
Bapak Tengku
Gambar 2.16. Ranub Meuh, yang berisi emas beberapa
mayam
Gambar 2.17. Penyerahan emas beberapa mayam kepada
calon mempelai wanita, pada saat lamaran
Gambar 2.18. Fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) umum milik
warga.
Gambar 2.19. Wadah Penyimpanan Air Minum.
Gambar 2.20. WC Umum di salah satu lokasi di Gampong
xi

19
21
22
24
24
32
33
39
39
42
49
51
54
57
57
58
59
61
62
63

Baro Paya
Gambar 2.21. Interaksi Sosial Masyarakat
Gambar 2.22. Interaksi Sosial Anak-Anak Gampong
(Bermain Bersama)
Gambar 2.23. Latihan Tari Anak (kiri), pertunjukkan pentas
tari (kanan)
Gambar 2.24. Seni Merangkai Ranub Meuh (Mas)
Gambar 2.25. Aktifitas membelah pinang
Gambar 2.26. Alat kukur kelapa yang ada di setiap rumah.
Gambar 3.1. MaBlin dan Ranub
Gambar 3.2. Ramuan 44 Hari
Gambar 3.3. Kegiatan Posyandu Gampong
Gambar 3.4. Kegiatan Posyandu Gampong
Gambar 3.5. Kader Melakukan Penimbangan
Gambar 3.6. Wadah Penyimpanan Air
Gambar 3.7. Ibu yang Mencuci di Sungai (Alue)
Gambar 3.8. Anak- Anak Mandi si Sungai (Alue)
Gambar 3.9. Wadah untuk Mencuci
Gambar 3.40. Tempat Mandi di Pinggir Alue
Gambar 3.41. Ranub Masak (kiri) dan Ranub Untuk Bayi
(kanan)
Gambar 4.1. Ranub Meuh (Untuk Meminang)
Gambar 4.2. Ranub untuk mengundang
Gambar 4.3. Ranub Lampuan (kiri), Menyambut Lintobaro
(kanan)
Gambar 4.4. Urut Naikkan Perut
Gambar 4.5. Kulit Kerbau yang telah di bakar
Gambar 4.6. Batee yang digunakan untuk mengompress ibu
Madeung
Gambar 4.7. Daun Daunan untuk Lampok
Gambar 4.8. Kapur yang disiapkan oleh Mak Blien
Gambar 4.9. Proses Urot Pasca Persalinan
xii

66
67
70
71
72
74
79
80
85
85
86
87
91
91
92
92
94
106
106
108
118
123
131
133
133
135

Gambar 4.10. Menggiling pisang untuk bayi (kiri), memberi


makan pisang pada bayi (kanan)
Gambar 4.11. Memberikan Air Kunyahan Sirih
Gambar 4.12. Penimbangan balita di posyandu (kiri), Balita
mengkonsumsi PMT dari Posyandu (kanan)
Gambar 4.13. Perlengkapan acara Peucicap
Gambar 4.14. Pemecahan Kelapa di acara Turun Mandi
Gambar 4.15. Kebiasaan Anak yang Tidak Memakai Baju
Gambar 4.16. Bayi yang Tidak Menggunakan Baju
Gambar 4.17. Anak Baro Paya memakai jimat
Gambar 5.1. Ranub untuk tahlilan
Gambar 5.2. Memotong Ranub untuk Seumapah
Gambar 5.3. Merajah Ranub untuk Seumapa
Gambar 5.4. Pak Teungku Mengunyah ranub yang sudah
dirajah
Gambar 5.5. Pak Teungku Mengoleskan kunyahan ranub ke
orang sakit
Gambar 5.6. Mengoleskan air kunyahan ranub di perut bayi
Gambar 5.7. Memakan Ranub sebagai selingan sehabis
makan
Gambar 5.8. Perlengkapan Mak Blien untuk menolong ibu
bersalin

xiii

137
143
144
146
147
151
152
153
156
158
158
162
163
164
164
169

xiv

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah salah satu indikator


IPKM yang memperlihatkan keberhasilan dari program prioritas
Kementerian Kesehatan. Upaya Penurunan angka kematian ibu
dan anak terus digencarkan baik dalam penelitian maupun
pelaksanaan program lapangan dari pusat sampai ke daerahdaerah di Indonesia. Namun sering kali pelaksanaan programprogram tersebut tidak berjalan maksimal karena berseberangan
(bahkan tidak jarang berbenturan) dengan pengetahuan lokal
dan budayayang hidup dalam masyarakat.
Konstruksi pengetahuan lokal yang hidup (tercipta dan
diwariskan) dalam masyarakat dapat digambarkan dari
ide/gagasan, aktifitasperilaku dan pengunaan benda dan alat-alat
yang secara keseluruhan hadir dan hidup di tengah-tengah
masyarakat1. Dalam konteks kesehatan ibu dan anak, wujud
kebudayaan tersebut hadir pada masa kehamilan hingga paska
persalinan kelak. Peran serta tokoh masyarakat dalam
menjalankan apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan
(pantangan-pantangan) sesuai dengan pengetahuan ataupun
aturan-aturan lokal, selalu menjadi hal yang krusial dalam
menyelasaikan masalah kesehatan ibu dan anak yang ada di
daerah-daerah tertentu.Selain peran tokoh-tokoh masyarakat
1

Tiga Wujud Kebudayaan (Koentjaraningrat, 2002:186-187)


1

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dengan pengetahuan lokal yang mereka miliki, permasalahan


kesehatan ibu dan anak juga berkaitan erat dengan ketersediaan
dan pemeliharaan fasilitas kesehatan, petugas pelaksana
kesehatan dari pemerintah yang ada di daerah, dan juga
lingkungan fisik tempat tinggal.
Perpaduan antara peran aktor kesehatan (dari pihak
masyarakat dan tenaga kesehatan pemerintah) terkait masalah
kesehatan ibu dan anak, masalahketersediaan fasilitas kesehatan
dan juga lingkungan fisik tersebut pada akhirnya memberikan
pilihan-pilihan sendiri bagi masyarakatuntuk menghadapi
permasalahan kesehatan ibu dan anak. Misalnya muncul pilihan
untuk menggunakan dukun kampung dalam proses persalinan,
pelaksanaan ritual paska persalinan berlanjut pada perawatan
bayi hingga bayi berada pada usia tertentu. Hadirnya pantangan
tersebut membatasi ruang gerak ibu dan anak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan pada masa
itu.
Kabupaten Aceh Barat merupakan salah satu kabupaten
yang ada di Provinsi Aceh. Kawasan pesisir yang indah serta
kawasan pegunanan yang tak kalah menawan memberikan
gambaran sendiri terhadap status kesehatan masyarakatnya.
Data dari Profil Kesehatan KabupatenAceh Barat Tahun 2013,
tercatat 21 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup, kematian
ibu 119 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan untuk angka
terkait penderita tuberculosis sebanyak 82 kasus baru TB dengan
BTA positif. Beberapa data tersebut memperlihatkan bahwa Aceh
Barat masih memiliki beragam permasalahan kesehatan yang
perlu digali.
Penggunaan dukun kampung sebagai tenaga penolong
persalinan terus berlangsung. Berbagai alasan diungkapkan
terkait pemilihan dukun kampung sebagai tenaga penolong
persalinan tersebut. Wilayah kerja dukun kampung yang tidak
2

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

terbatas mengakibatkan banyak para ibu melakukan pertolongan


persalinan dengan bantuannya. Kedekatan emosional yang
terbina antara dukun dan keluarga menjadi salah satu penentu
untuk menggunakan dukun kampung sebagi tenaga penolong
persalinan. Tak jarang dukun kampung menerapkan apa yang
menjadi pantangan dan anjuran untuk dilakukan oleh ibu, anak
dan keluarga selama masa kehamilan, persalinan hingga
perawatan paska persalinan untuk ibu dan bayi.
Anjuran dan perawatan paska persalinan menghadirkan
pantangan yang datang dari ranah pengetahuan lokal yang
tentunyatidak bisa diabaikan begitu saja. Pengetahuanlokal yang
bersumber dari dukun dan keluarga ibu bersalin hidup dan turut
mengambil peran di tengah-tengah permasalahan KIA. Tidak
dapat diabaikan jika pengetahuan lokal yang merupakan wujud
dari kebudayaan lokal tersebut masih sangat kuat dan melekat
dalam aktifitas masyarakat. Begitu juga dengan masalah
kesehatan, dalam konteks KIA hal ini menjadi sangat penting
untuk dikaji lebih jauh lagi.
Filosofis daun sirih (oen ranub) yang memiliki posisi mulia
di tengah masyarakat menyebabkan penggunaan sirih sebagai
penyembuh beberapa penyakit terus berlangsung. Sirih
digunakan hampir disemua sisi kehidupan masyarakat, misalnya
dalam hal meminang gadis, sirih digunakan sebagai lambang
penghormatan kepada si gadis dan keluarganya. Sirih pengantin
dirangkai dengan begitu indahnya dengan beragam bentuk, dan
dengan bentuk tersebut tersirat makna dan harapan kepada
mempelai. Sirih yang digunakan untuk mengundang dan sirih
yang digunakan sebagai makanan sehari-hari di sela-sela aktifitas
keseharian masyarakat.
Kajian dalam penelitian inimembahas budaya terkait
kesehatan ibu dan anak pada masyarakat Aceh di Kecamatan
Panton Reu,Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Dimana
3

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

penggunaan sirih (ranub) yang dikunyah atau dalam bahasa Aceh


disebut Mamohranub menjadi medium penyembuhan bagi
penyakit dan juga masalah KIA yang menjadi fokus dari penelitian
ini.
Berdasarkan latar belakang ini maka penelitian Riset
Etnografi Kesehatan menggali bagaimana peran mamoh ranub
tersebut dalam memberikan penyembuhan kepada ibu dan anak
serta beberapa penyakit lainnya. Kedudukan ranub yang sangat
mulia, menjadikan penggunaannya terus menerus berlangsung.
Bahkan bukan hanya digunakan oleh rakyat biasa tetapi juga para
tokoh-tokoh masyarakat dan juga tokoh pengobat yang ada di
lokasi penelitian ini.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 bertujuan
untuk mendapatkan gambaran secara holistik terkait
permasalahan ibu dan anak yang meliputi tujuh unsur
kebudayaan yang terdiri dari sistem religi, mata pencaharian,
bahasa, pengetahuan, alat dan teknologi, organisasi sosial dan
kemasyarakatan, dan kesenian pada Suku Aceh Kabupaten Aceh
Barat. Gambaran secara holistik ini memaparkan kondisi geografi
dan sosial budaya yang memiliki hubungan yang erat dengan
permasalahan kesehatan ibu dan anak.
Hadirnya tokoh-tokoh masyarakat yang lebih dikenal
dengan sebutan dukun sebagai tenaga kesehatan lokal dengan
paradigma-paradigma tradisional dalam penanganan kesehatan
yang mereka miliki 2 ,tentunya berpengaruh terhadap
permasalahan kesehatan ibu dan anak yang ada di kabupaten

Seperti hadirnya dukun kampung (dukun gampong) yang disebut Mablien


dalam bahasa lokal.

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

yang menduduki peringkat IPKM 404 (empat ratus empat)dari


494 (empat ratus sembilan puluh empat) Kabupaten/Kota ini.
Penanganan berbagai masalah kesehatan oleh dukun
tersebut menggunakan cara-cara tradisional menggunakan
jampi-jampi hingga media yang dipercaya membawa kebaikan
dan kemuliaan seperti sirih yang dikunyah (mamoh). Berangkat
dari medium sirih inilah fokus penelitian ini berawal, untuk
melihat gambaran yang lebih luas dan kompleks dari proses
penanganan kesehatan ibu dan anak pada masyarakat lokal.
1.3.

Metode

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Panton Reu,
Kabupaten Aceh Barat. Pemilihan kecamatan dilakukan
berdasarkan data profil kesehatan kabupaten terkait data
persalinan dengan bantuan tenaga non-kesehatan. Selain itu
wilayah kerja kecamatan yang meliputi 19 (sembilan belas)
gampong, dimana Baro Paya memiliki medan yang sulit, dengan
wilayah luas yang terbentang di atas perbukitan dan area
perkebunan kelapa sawit.
Dengan kondisi geografis yang tidak mudah tersebut,
mempengaruhi dan membentuk pola pertolongan persalinan
dengan menggunakan tenaga dukungampong (mablien).
Tingginya permintaan persalinan dengan dukun gampong
(mablien)3 yang melayani masyarakat di Kecamatan Panton Reu,
Kabupaten Aceh Barat 4 menjadi salah satu alasan pemilihan
lokasi penelitian ini. Selain itu penggunaan sirih sebagai media
3

Di beberapa kasus, pelayanan kesehatan tidak hanya khusus pada persalinan


saja, namun pelayanan-pelayanan lain seperti pijat (kusuk) dan
penyembuhan penyakit-penyakit umum juga dilakukan oleh dukungampong.
Sumber : Data Profil Dinas Kesehatan2013
5

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

penyembuh baik untuk masalah kesehatan umum ataupun KIA


juga menjadi alasan untuk memilih Gampong Baro Paya5 sebagai
lokasi penelitian.Sirih digunakan dalam berbagai aktifitas dan
tidak terkecuali dalam penanganan kesehatan ibu dan anak.
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode etnografi dengan
paradigma kualitatif
yang mengharuskan peneliti untuk
memasuki dunia informan dan melakukan interaksi yang terus
menerus, dan mencari sudut pandang dan arti informan
(Creswell, 2002:151). Dengan format penelitian deskriptif yang
menggunakan bentuk studi kasus, yang memusatkan diri pada
suatu unit tertentu dari berbagai fenomena (Bungin, 2007:68).
Dalam penelitian ini unit analisis individu dan kelompok
digunakan untuk melihat bagaimana interaksi-interaksi terjadi
dalam proses konstruksi dan transfer pengetahuan. Sehingga
proses tersebut tidak hanya dapat menggambarkan fokus
masalah yang dikaji namun juga dapat menjelaskan gambaran
yang menyeluruh (holistik) 6 dari kebudayaan yang hidup di
masyarakat terkait dengan masalah KIA.
Instrumen dan Cara Pengumpulan Data
Dengan menggunakan interview guide, peneliti sebagai
bagian dari instrumen penelitian memiliki arah dan batasan
ketika data dikumpulkan dengan metode wawancara.

Terdapat 19 (sembilan belas) gampong wilayah kerja puskesmas Meutulang,


Kecamatan Panton Reu, Aceh Barat.
6
Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses penyelidikan untuk
memahami masalah sosial atau masalah manusia, bedasarkan pada
penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata,
melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah
latar alamiah (Creswell, 2002:1).
6

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Cara pengumpulan data lainnya menggunakan metode


Observasi7 Partisipasi, dimana peneliti tidak hanya mengamati
namun juga ikut terlibat dalam kegiatan sehari-hari yang
dilakukan oleh informan, seperti menghadiri pertemuan ataupun
upacara-upacara adat yang berlangsung, kegiatan formal,
hiburan gampong, dan juga aktifitas sosial sehari-hari. Observasi
yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan selam 60
(enampuluh) hari terhitung dari bulan Mei-Juli 2014.
Wawancara Mendalam
Pertanyaan-pertanyaan awal menjadi kunci dalam
membina dan menggali informasi penting yang dibutuhkan untuk
memahami kondisi objektif penelitian ini. Selain itu metode
wawancara mendalam lebih mendekatkan diri secara emosional
dengan informan, selain itu data-data otentik dari sudut pandang
emic (emic view) juga dapat dimulai dengan wawancara.
Kedekatan yang erat terbina tetap tidak boleh menjadikan
hasil wawancara pada penelitian ini mengurangi subjektifitas
penelitian ini. Kedekatan yan terbina tetap harus dijaga hingga
keberlangusungan wawancara mendalam dengan berbagai
informan terlaksana dengan baik.
Wawancara mendalam dilakukan setelah terciptanya
raporbaik yang dibangun oleh peneliti. Pembinaan rapor baik
dilakukan pada awal-awal peneliti turun ke lapangan. Setelah
adanya kepercayaan dan rasa aman barulah upaya membuat janji
untuk wawancara mendalam dilakukan.
Tidak ada waktu khusus yang ditentukan saat hendak
melakukan
wawancara. 8 Keberlangsungan
wawancara
7

Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk


menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. (Bungin,
2007:115)
8
Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat bekerja sebagai buruh lepas
ataupun karyawan di dua perusahaan perkebunan yang ada di sekitar
7

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menggunakan metode bola salju (snow ball), dari satu informan


ke informan berikutnya, hingga sampai kepada informan kunci
yang mengetahui informasi lengkap akan kasus yang sedang
diteliti, terkadang informan kunci adalah subjek/individu-individu
yang menjadi bagian dari kasus itu sendiri seperti dukungampong
dan pasiennya.
Informan
Informan secara keseluruhan merupakan masyarakat
Panton Reu khususnya di Gampong Baro Paya. Secara lebih
khusus lagi informan yang ada dalam penelitian ini adalah iu dan
anak-anak remaja, pasangan usia subur, ibu hamil, ibu paska
persalinan dan juga tokoh-tokoh pengobat tradisional serta
tokoh adat(tuha peutt). Untuk melihat dari beragam sudut
pandang, maka informan yang ada dalam penelitian ini juga
melibatkan tenaga kesehatan terkait. Keberadaan tenaga
kesehatan terkait banyak memberikan gambaran tersendiri dari
topik yang diangkat dalam penelitian.
Jenis informan juga tidak bisa disamakan, ada yang
menjadi informan pangkal dan juga informan kunci. Informan
pangkal banyak membantu peneliti dalam hal penggalian data
awal sampai mendapatkan informan kunci nantinya. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya pemilihan informan dilakukan secara
bergulir seperti metode bola salju (snow ball). Dalam proses
penelitian dengan wawancara mendalam peneliti akan
menanyakan kemana lagi atau siapa lagi tokoh yang dapat
memberikan informasi terkait data yang dibutuhkan oleh
peneliti. Sehingga pada penelitian ini siapa yang akan menjadi
informan kunci akan terjaring dengan sendirinya.

gampong. Sehingga banyak janji bertemu dengan informan dilakukan pada


malam hari di rumah informan ataupun di pelataran mesjid seusai shalat
magrib.
8

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Proses penelitian yang berlangsung di Gampong Baro


Paya diawali dengan mendatangi aparatur gampong dan juga
adat. Selain untuk memperkenalkan diri secara langsung, hal ini
juga menjamin keselamatan peneliti selama berada di lapangan.
Karena biasanya untuk hal-hal terkait seperti ini, peneliti tidak
bisa hanya mengandalkan surat ijin penelitian yang telah
dikeluarkan oleh instansi terkait. Aparatur gampong memiliki
peran yang intens di masyarakat, seperti keucik (kepala
gampong) misalnya, apa yang menjadi istruksi dan arahan dari
kepala gampong ini selalu menjadi pedoman dan arahan di
tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Selain keucik , tengku
serta tuha peut juga menjadi panutan dalam kehidupan di
masyarakatnya.
Kehadiran tokoh yang menjadi aparatur gampong ini
sangat mendukung kelancaran penelitian, selain dapat
memperoleh informasi awal dalam mengumpulkan data, para
tokoh masyarakat tersebut juga memberikan informasi terkait
informan yang akan ditemui di lapangan kelak.
Begitu hal nya dengan para pemuda dan pemudi
gampong. Kedekatan yang dibina dengan pemuda dan pemudi
gampong sangat berati dalam penelitian ini. Pemuda dan pemudi
gampong banyak memberikan masukan terkait sarana transposrti
serta aturan adat secara singkat kepada tim peneliti, sehingga
meminimalisir kesalahan dalam memulai wawancara dengan
berbagai informan di lapangan.
Peran aktif dari seluruh informan dalam penelitian ini
banyak mendukung perolehan data yang didapatkan peneliti.
Bahkan tak jarang informan sambil lalu juga ikut menguatkan
informasi-informasi yang berasal dari informan kunci selama di
lapangan.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah profil kesehatan kabupaten, data kesehatan ibu dan anak
yang bersumber dari Dinas Kesehatan terkait, data dari Badan
Pusat Statistik (BPS) yang dibutukhan untuk menjelaskan
demografi wilayah penelitian. Selain itu penelusuran literatur
terkait buku, artikel dan juga jurnal yang menjelaskan terkait
kebudayaan dan kesehatan ibu dan anak di kabupaten Aceh
Barat tak luput dari perhatian peneliti. Sehingga trianggulasi data
yang dilakukan bisa lebih baik.
Penelusuran data sekunder berupa buku dan juga
literatur sejarah banyak dilakukan di perpustakaan daerah
kabupaten. Penelusuran data yang bersumber dari asrip
gampong juga dilakukan. Buku profil gampong dan qanun
(peraturan daerah) sangat membantu peneliti untuk dapat
melihat kondisi gampong. Keberadaan data-data tersebut
sebagai sebuah kesatuan yang utuh tak kala proses penelitian
untuk mencari data primer dilakukan di lapangan.
Data sekunder juga membantu peneliti dalam
menganalisis dan juga dalam proses trianggulasi data penelitian
yang telah dikumpulkan di lapangan. Trianggulasi dengan
menggunakan buku dan juga data dari profil kesehatan dan BPS
memberikan masukan yang sangat berati, terutama terkait
sejarah gampong yang sudah terjadi sejak lama. Selain
penjelasan tokoh masyarakat yang merupakan informan kunci
dalam penelitian ini, data yang bersumber dari profil gampong
juga sangat mendukung informasi yang dibutuhkan.
Data Visual
Data visual yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa
foto dan video. Foto dan video membantu peneliti untuk
mendokumentasikan informasi yang terkadang tidak akan
terulang lagi, misalnya pada ritual adat dan juga aktifitas spontan
10

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

yang dilakukan oleh informan. Pada proses pengumpulan data


visual tentunya peneliti akan meminta ijin ataupun kesediaan
informan untuk pendokumentasian tersebut. Tak jarang terjadi
penolakan yang dikarenakan ketidaknyaman informan.
Untuk hal-hal seperti ini biasanya dilakukan upaya
pendekatan lebih untuk dapat menjelakan maksud dari
pendokumentasian tersebut. Terkadang informan menjadi
canggung berhadapan dengan kamera ketika dilakukan
wawancara, bahkan untuk alat rekam suara pun terkadang harus
diselipkan agar tidak membuyarkan konsentrasi informan dalam
memberikan informasi. Penolakan terang-terangan juga tak
jarang terjadi, biasanya informan meminta peneliti untuk
mengatur letak kamera agar mereka tidak merasa masuk tv
pada saat proses wawancara berlangsung.
Berdasarkan pengalaman lapangan, informan yang telah
mendapatkan penjelasan menyeluruh terkait pendokumentasian
data visual, memberikan ijin kepada peneliti. Data visual yang
didapatkan oleh peneliti akan dikelompokkan untuk
memudahkan peneliti dalam melakukan triangulasi data.
Analisis Data
Analisa data penelitian ini merupakan bagian untuk
menemukan, ataupun mengelompokkan data dari hasil
wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisa data data
bukanlah bagian yang sederhana, karena peneliti harus
menyusun data yang tadinya dalam bentuk catatan lapanagan
(field note). Catatan lapangan yang didapatkan setiap harinya
selama proses pengumpulan data tak jarang juga menimbulkan
pertanyaan, maka dari itu peneliti mendiskusikan kembali
bersama dengan tim, apa-apa yang masih memerlukan
penggalian lebih lanjut. Setelah proses ini biasanya terlihat
bagian informasi yang masih dangkal dan perlu adanya tindak
lanjut penggalian informasi.
11

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Proses pengumpulan data dan


penganalisisan data
penelitian, berpedoman pada langkah-langkah analisis data
penelitian kualitatif yang dikemukakan oleh Hopkins dalam buku
seri etnografi kesehatan (2012), yaitu: reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan. Analisa data dilakukan untuk
memudahkan peneliti sebelum dilakukannya trianggulasi data
hasil penelitian.
Beberapa proses tersebut dilakukan dengan tujuan untuk
menyajikan data secara sistematis dan terstruktur. Sehingga
memudahkan peneliti untuk menarik kesimpulan. Penyajian data
penelitian ini dilakukan secara naratif yaitu bersifat
menceritakan. Bagian hasil wawancara juga akan dtampilkan
untuk dapat memaknai fenomena yang terjadi dari sudut
pandang informan.

12

BAB 2
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

2.1.

Sejarah Gampong

Seperti yang telah digambarkan sekilas dalam lokasi


penelitian, Baro Paya merupakan gampong yang terletak di
Kecamatan Panton Reu, Kabupaten Aceh Barat. Gampong Baro
Paya ditempuh dengan jarak 44 km dari ibu kota kabupaten,
dengan jarak tempuh yang tidak begitu jauh, Gampong Baro Paya
masih hidup dalam kepatuhan adat yang senantiasa menguatkan
masyarakatnya dalam aktifitas kehidupan sehari-hari.
Asal-usul sejarah berdirinya Gampong Baro Paya menurut
pengakuan saksi sejarah, didirikan pada saat Indonesia masih
dibawah penjajahan Belanda atau pada saat Sultan Iskandar
Muda memimpin kerajaan Aceh. Awalnya Gampong Baro Paya
merupakan Dusun dari Gampong Mugo, yang disebut Dusun Alue
Gajah yang pada saat itu pemimpinnya adalah Teuku Merah
sebagai ule balang sebutan dahulu kala.
Nama Baro Paya sendiri berasal dari bahasa Aceh, dimana
Baro berarti baru dan Paya berarti rawa-rawa. Berdasarkan
informasi dari aparat gampong, baro paya sudah terbentuk sejak
tahun 1960 dan sebagaian besar wilayah nya adalah rawa-rawa.
Tetapi secara administratif Baro Paya masih menjadi bagian dari
Kecamatan Kaway XVI. Kondisi alam gampong yang berada di
dataran tinggi, tetapi jika turun hujan selalu digenangi air.
Keadaan yang seperti ini mengharuskan masyarakat membangun

13

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

rumah dalam bentuk panggung ataupun di daerah perbukitan.


Pemekaran wilayah kecamatan menjadikan Gampong Baro Paya
masuk dalam wilayah Kecamatan Panton Reu. Baro Paya juga
merupakan gampong yang paling akhir dan berbatasan dengan
kecamatan lain.
Gampong Baro Paya terdiri dari tiga dusun, jarak antara
satu dusun dan dusun lainnya juga cukup berjauhan, sehingga
rumah penduduk yang ada di gampong ini berjauhan. Ketiga
dusun tersebut adalah:
Dusun Dusun Cot Meurebo (Ka.Dusun Abdur Rahman);
Dusun Alue Gajah ( Ka.Dusun Syahwani);
Dusun Lam Seupeung (Ka.Dusun Suryadi)
Ketiga dusun tersebut memiliki arti khusus sesuai dengan
kekhasan yang aa di dusun tersebut, seperti Dusun Cot Meurebo,
nama cot meurebo diberikan karena banyaknya pohon meurebo
yang tumbuh di sekitar dusun. Alue Gajah berdasarkan berita
rakyat gampong, dahulu di kawasan ini ada seekor gajah yang
mati. Konon katanya banyak gajah yang mendatangi dan tinggal
di kawasan ini. Begitu juga dengan dusun Cot Lamsepeng, nama
ini diberikan karena banyaknya batang sepeng yang tumbuh di
sekitar kawasan dusun ini.
Seperti halnya wilayah pedesaan Gampong Baro Paya
memiliki keterikatan kuat dengan atas istiadat dan budaya yang
terus dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakatnya. Suku
Aceh, Jawa transmigran, dan juga para
pendatang dari
Subulusalam mendiami beberapa dusun yang ada di gampong ini
mempengaruhi pola interaksi yang berlangsung dan berkembang
di masyarakat. Secara keseluruhan aktifitas yang berlangsung
menggunakan aturan dan adat istiadat masyarakat suku Aceh
pada umumnya. Begitu juga dengan penggunaan bahasa, bahasa
Aceh menjadi bahasa dominan yang digunakan dalam interaksi
keseharian masyarakatnya.

14

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Keberadaan gampong berdasarkan sejarah juga


diceritakan sebagai wilayah yang memilki kekuatan mistis,
dimana pada masa dahulu di wilayah ini sering terjadi serangan
penyakit gaib. Penyakit gaib tersebut menyerang para pendatang
dan menyebabkan kematian. Banyak orang yang takut memasuki
wilayah ini. Jalan utama yang pada masa itu juga hanya
merupakan jalan setapak, semakin menjadikan wilayah ini sangat
terisolir.
Masyarakat Baro Paya adalah masyarakat yang bersahaja,
memakan sirih sudah menjadi keharusan yang diyakini. Asal
muasal sirih berdasarkan informasi yang didapatkan berasal dari
jaman nabi dan menurut masyarakat Baro Paya, sirih juga
dikonsumis oleh nabi, maka baiklah bagi mereka (masyarakat)
untuk tetap memakan sirih di segala aktifitas mereka. Menyirih
dilakukan dengan campuran pinang, dan juga kapur. Tidak
menggunakan tembakau, karena kebiasaan terdahulu, tembakau
digunakan terpisah dengan daun lainnya yang dijadikan rokok.
Kebersahajaan masyarakat pada masa itu terus terjadi hingg saat
ini. Seperti penggunaan sirih yang tidak dapat ditinggalkan dalam
bagian kehidupan masyarakat pada masa dahulu hingga saat ini.
Mata pencaharian utama masyarakat pada waktu itu
hanya memanfaatkan hasil hutan, seperti menebang kayu dan
mengambil rotan serta berburu hewan. Tidak banyak pilihan
mata pencaharian. Sedangkan kaum ibu/perempuan hanya
mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Karena kondisi yang
seperti ini, banyak menyebabkan kaum lelaki untuk pergi ke
wilayah lain mencari pekerjaan9.

Berdasarkan penjelasan informan yang menghabiskan masa remaja di


gampong, kondisi gampong dahulu dan sekarang banyak mengalami
perubahan yang sangat berarti, sejarah pembentukan gampong memang
bukan merukan hal yang mudah, mulai dari sulitnya mata pencarian

15

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Perubahan Gampong Baro Paya mulai terjadi di awal tahun


1990-an. Pada waktu ini telah mulai dibuka area perkebunan
kelapa sawit dengan mulai membuka lahan milik masyarakat.
Sebagian besar masyarakat menjual lahan miliknya kepada para
pengusaha perkebunan. Selain menjual ada juga yang
menyewakan lahan miliknya kepada pengusaha perkebunan
dengan sistem pembagian hasil. Tetapi lambat laun, hampir
semua masyarakat gampong menjula lahan miliknya.
Area perkebunan terus menerus di diperluas hingga
perkebunan tersebut melewati beberapa batas administatif
gampong. Semakin banyak tenaga kerja yang terserap, baik yang
berasal dari dalam gampong sendiri, sampai orang yang berada di
luar gampong. Lambat laun perkebunan kepala sawit tersebut
berubah menjadi PT, yang dikelola oleh beberapa orang.
Keberadaan PT tersebut banyak membawa perubahan
itulah yang dirasakan oleh masyarakat. Mulai ada yang menjadi
karyawan tetap perusahaan namun tak sedikit juga yang menjadi
buruh harian lepas perusahaan. Kondisi ini menurut masyarakat
sangat menguntungkan. Karena kaum ibu mulai dapat melakukan
pekerjaan di luar rumah dan menambah penghasilan keluarga.
Bahkan anak-anak yang telah selesai menyelesaikan masa
sekolahnya juga ikut bekerja ke perusahaan perkebunan tersebut
untuk mebantu keluarga dengan bekerja sebagai penjaga malam
di area perkebunan.
Selain perusahaan perkebunan ada juga PT.Horas yang
didirikan di kawasan gampong. Keberdaan PT.Horas merupakan
PT yang bergerak di bahan-bahan bangunan dengan jumlah yang
besar, seperti pasir, batu gunung, dan juga batu-batu sungai.
PT.Horas juga banyak menyerap tenaga kerja yang berasal dari

masyarakat sampai kepada terciptanya lapangan pekerjaan hingga sarana dan


prasarana gampong.

16

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

masyarakat sekitar. Tetapi sedikit perbedaannya PT ini tidak


banyak melibatkan para ibu-ibu.
Keberadaan dua PT besar tersebut juga membawa
perubahan bagi kondisi alam gampong. Berdasarkan informasi
yang didapatkan sungai kecil yang ada di gampong inisudah
dalam keadaan tidak bersih lagi. Hal ini dikarenakan air pupuk
dari PTPerkebunan mengalir ke sungai-sungai di sekitar tempat
tinggal masyarakat.
Dengan kondisi sungai yang sudah tidak bersih lagi
penggunaanya masih terus berlangsung di masyarakat. Kondisi
sungai yang tidak bersih juga disadari masyarakat, tetapi karena
tidak adanya MCK yang dimiliki warga sungai masih terus
digunakan sampai saat ini. Perubahan kondisi alam gampong juga
menjadi perhatian khusus yang banyak diceritakan oleh
masyarakat sebagai asal sejarah gampong sampai pada kondisi
saa ini.
Masyarakat Baro Paya dahulunya juga banyak
mempercayai tempat-tempat yang memiliki kekuatan gaib, dan
juga tempat tempat yang dipercaya dapat dijadikan wujud rasa
syukur dengan bernazar. Nazar dilakukan dengan untuk
mewujudkan rasa syukur apa bila sembuh dari sakit,
mendapatkan pekerjaan dan hal-hal lain yang sifatnya
memberikan kebaikan kepada orang yang bernazar.
Tempat yang dijadikan lokasi untuk bernazar adalah,
rumoh quran, dan makam Teuku Umar. Kedua tempat ini selalu
ramai didatangi masyarakat yang melakukan nazar. Bahkan
dahulu ceritanya di makan Teuku Umar memilki penjaga berupa
harimau putih. Keberadaan harimau tersebut menjaga makam
agar tetap dalam keadaan yang besih dan suci. Biasanya siapa
yang melakukan pelanggaran akan melihat sosok harimau putih.
Kepercyaan lokal tersebut masih tetap diyakini sebagai
suatu kebenaran, sehingga segala tindakan masyarakat sangat

17

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan lokal tersebut.


Karena kepercayaan lokal tidak hanya membentuk sistem
pengetahuna tetapi juga pola dan berinteraksi. Baik itu interaksi
dalam kehidupan sehari-hari yang berdampak kepada sikap dan
tindakan yang digunakan.
Tsunami Aceh yang terjadi di tahun 2004 berdasarkan
informasi terkait sejarah desa juga mendapatkan perhatian
khusus. Paska tsunami Aceh di banjiri bantuan yang datang dari
luar dan dalam negeri dengan jumlah yang banyak. Pada saat ini
bantuan terus bergulir. Baik dalam bantuan fisik ataupun
bantuan non fisik. Bantuan fisik dirasakan paling efektif oleh
masyarakat, misalnya pembangunan jalan, dan fasilitas
kesehatan. Setelah keberadaan jalan utama gampong telah
dalam kondisi baik, aktifitas masyarakat juga semakin meningkat,
banyak anak-anak yang bersekolah di luar gampong dengan
mengendarai sepeda motor.
Aktifitas ekonomi seperti usaha kecil yang dibuat
masyarakat, banyak membatu usaha pemenuhan kebutuhan
sehari-hari masyarakat. Sejarah Gampong Baro Paya banyak
mengalami perubahan dari masa ke masa, tetapi walaupun
demikian Gampong Baro Paya merupakan satu kesatuan
masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat istiadat mereka
dalam menjalani kehidupan.
2.2.

Kondisi Alam Geografis Gampong

Baro Paya merupakan wilayah perbukitan yang ada di


Kabupaten Aceh Barat. Jarak tempuh 44 km2 dari ibu kota
kabupaten hanya memakan waktu 1 jam perjalanan dari kota
Meulaboh. Angkutan umum untuk masuk ke gampong hampir
tidak ada. Mobil jenis mini bus tertentu saja yang mau masuk ke
gampong ini, dengan konsekuaensi penambahan tarif.

18

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Sepanjang perjalanan dapat dilihat hutan kecil yang


diselingi dengan rumah penduduk. Hewan seperti sapi dan juga
kambing banyak berkeliaran di jalan lintas utama. Tidak ada
larangan yang tegas terkait keberadaan hewan-hewan tersebut.
Puskesmas Kecamatan terdapat di gampong Meutulang.

Gambar2.1.
Peta Gampong Baro Paya
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Gampong Meutulang merupakan ibu kota kecamatan


Panton Reu. Setelah melewati Meutulang 6 km kemudian tiba di
Gampong Baro Paya. Begitu memasuki gampong di bagian kanan
dan kiri jalan hanya terlihat hamparan hutan kecil dan juga rawarawa yang terbentang luas. Tidak ada pintu masuk yang berupa
gapura besar sebagai penanda, hanya ada papan bertiang kecil
yang diletakkan di bagian kanan jalan dan bertulisan selamat
datang di Gampong Baro Paya. Penanda lainnya adalah adanya
replika besar topi Teuku Umar dan Rumoh Quran yang ada di

19

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

akhir gampong sebelumnya. Jika sudah melewati dua tempat ini


tak lama akan segera masuk di Gampong Baro Paya.
Kondisi fisik jalan yang mulus membuat perjalanan tidak
terasa melelahkan. Mulai memasuki gampong, tidak ada
perumahan warga terlihat. Hutan dan rawa lah yang mewarnai
sekeliling pandang. Selain itu keberadaan PT.Horas yang
merupakan salah satu perusahaan yang ada digampong, terlihat
jelas dari pinggir jalan. Tidak terlihat rumah penduduk, ternyata
rumah penduduk baru akan terlihat setelah melewati jarak 500
meter dari pintu masuk gampong ini.
Rumah terbuat dari kayu dan papan serta berbentuk
panggung terlihat di bagian kanan dan kiri jalan. Kondisi tanah
yang dahulunya pernah digunakan untuk area pertanian sudah
tidak lagi dimanfaatkan, berdasarkan informasi yang didapatkan
dahulunya baro paya pernah menggiatkan aktifitas pertanian,
tetapi setelah hadirnya dua PT besar yang ada di gampong ini
aktifitas pertanian pun dengan sendirinya tidak dilakukan lagi.
Tidak ada lagi upaya bercocok tanam, curah hujan yang tidak
pasti dan dari segi penghailan, masyarakat yang bekerja di
perkebunan juga memiliki penghasilan yang tidak kalah besar
dengan aktifitas ekonomi seperti bercocok tanam tersebut.
Dusun Cot Lamseupung merupakan dusun awal ketika
memasuki gampong, sebagai dusun terdepan beberapa aktifitas
dan fasilitas umum ada di gampong ini, seperti masjid, posyandu
plus dan juga balai desa yang merupakan bantuan dari Unicef
paska tsunami menerjang Aceh 9 tahun silam. Selain itu ada juga
meunasah dan lumbung penyimpan padi yang terlihat sudah tua
dan tidak berfungsi ini. Sejak mulai ditinggalkannya upaya
bercocok tanam oleh masyarakat, lumbung padi tidak berfungsi
lagi.

20

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Gambar2.2.
Kondisi Jalan Utama Gampong
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Batas Desa/Gampong Baro Paya adalah sebagai berikut:


Sebelah Timur berbatasan dengan Gampong Si Bintang;
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Weyla Timur;
Sebelah Selatan berbatasan dengan Gampong Mogo Rayeuk;
Sebelah Utara berbatasan dengan : Gampong Alue Kuyun.
Hutan hutan kecil yang ada di bagian kiri dan kanan jalan
ternyata tidak dibiarkan begitu saja. Sebagian hutan kecil
tersebut dimanfaatkan sebagai area pemakaman umum. Setiap
ada warga yang meninggal akan dikubur di hutan kecil tersebut.
Maka jika main ke area hutan gampong harus sangat hati-hati,
karena tidak jarang itu merupakan area perkuburan yang tidak
dilengkapi dengan batu nisan. Upaya memanfaatkan hutan kecil
sebagai area pemakaman sudah lama terjadi.

21

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2.3.
Kawasan Hutan dan Perbukitan Gampong
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Rumah pak Keucik dan juga beberapa kaur gampong juga


terdapat di dusun ini. Memasuki bagian tengah dusun terdapat
sungai kecil yang disebut Alue (anak sungai), sungai kecil ini
sangat erat dengan aktifitas sehari-hari masyarakat seperti MCK
yang terus berlangsung hingga saat ini. Semakin dibagian
penghujung dusun Cot Meurebo, kondisi tanah berbukit dapat
terlihat, dan diselingi dengan pepohonan kelapa sawit. Disinilah
batas kasawan dusun Cot Merebo, kawasan selanjutnya adalah
dusun cot Lamsepeng, disini kawasan tanah berbukit-lah yang
akan ditemui, banyak rumah permanen yang dibangun di atas
bukit. Pemandangan yang terlihat di sekitar rumah adalah wc dan
tempat mandi yang dibangun seadanya. Seperti letak tempat
MCK yang berada di luar rumah, dibangun dekat dengan sumber

22

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

air yang dimanfaatkan sehari-hari dan hanya terbuat dari terpal


yang tidak menutupi seluruh bagian dari tempat MCK tersebut.
Selain MCK, banyak hewan ternak seperti kambing yang
berkeliaran disekitar tempat tinggal penduduk. Memasuki
pertengahan dan akhir kawasan Cot Lamsepeng, pohon sawit
semakin banyak didapati. Kawasan Dusun Alue Gajah memilki
pemandangan dan kondisi alam yang benar-benar berbeda dari
dua dusun sebelumnya.
Alue Gajah benar-benar wilayah dusun yang secara
keseluruhan merupakan kawasan perkebunan. Kawasan Dusun
Alue Gajah berjarak lebih kurang 4 km dari dusun Cot Meurebo.
Keberadaan PT.Mapoli Raya sebagai sebuah perusahaan
perkebunan yang memilki luas lahan cukup besar. Kondisi lain
dari yang dari dusun ini adalah hadirnya masyarakat pendatang
yang berprofesi sebagai pekerja tetap ataupun pekerja lepas
yang menggantungkan nasibnya dari keberadaan PT. Mapoli
Raya. Aktifitas di perkebunan ini berlangsung dari pagi hingga
sore hari. Para pekerja lepas memulai aktifitasnya di beberapa
afdeling yang ada di perkebunan. Ada yang bekerja memotong
rumput, mengambil buah sawit yang telah siap panen, meracun
tanaman liar di sekitar pohon sawit, dan mengurus administrasi
di perkebunan.
Kondisi secara keseluruhan Gampong Baro Paya dari apa
yang telah dipaparkan di atas sangatlah beragam, dari mulai
kawasan rawa, tanah berbukit, hutan kecil, hingga perkebunan
yang terhampar luas. Kondisi geografi memberikan sumbangan
bagi kondisi kesehatan masyarakatnya, sehingga pengetahuanpengetahuan dan konsep sehat dan sakit hidup dan berkembang
di masyarakat.

23

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2.4.
Jalan Menuju Perkebunan Mapoli Raya
Sumber: Dokumen Peneliti 2014

Gambar 2.5.
Banjir di Gampong Baro Paya
Sumber: Dokumen Peneliti 2014

24

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Berdasarkan data yang di tersaji dalam tabel berikut area


yang difungsikan untuk kegiatan ataupun aktifitas sosial
gampong tidak begitu luas. Hanya beberapa hektar saja yang
baru termanfaatkan. Seperti area pusat kesehatan yang hanya
0,25 Ha. Di Gampong Baro Paya memang hanya satu fasilitas
kesehatan berupa bangunan posyandu plus, secara fisik
bangunan tersebut memang lebih terlihat seperti pustu.
Posyandu dibangun oleh Unicef sebagai bantuan hibah dan
diserhkan kepada masyarakat gampong. Bangunan posyandu
plus d terdiri dari dua bangunan. Bangunan pertama digunakan
untuk tempat tinggal bidan desa, dan satunya lagi digunakan
untuk pelayanan persalinan.
Tabel 2.1. Pemanfaatan Lahan di Gampong Baro Paya 2013
Luas
(Ha)
5

Aktif

24

Aktif

Area pertanian

100

Aktif

Area perkebunan

100

Sebagian Aktif

Pemanfaatan Lahan
Area pusat gampong
Area permukiman Penduduk

Keterangan

Area pendidikan

Berfungsi

Area perkuburan

Berfungsi

20

Berfungsi

Area industri
Area perdagangan
Area pusat pelayanan
kesehatan
Area rekreasi dan olah raga

0,25

Aktif

0,25

Aktif

Aktif

Sumber: Profil Gampong 2013

Tetapi karena SK Bupati menjelaskan bahwa gampong ini


bukanlah gampong terpencil, maka sesuai peraturan tidak ada
bidan desa yang ditempatkan untuk tinggal menetap di gampong
ini. Hanya di bangunan inilah aktifitas pelayanan
25

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

kesehatanberlangsung. Baik posyandu rutin maupun pengobatan


umum lainnya.
Area yang dimanfaatkan untuk pendidikan juga tidak
besar yaitu hanya 1 Ha. Di Gampong Baro Payahanya terdapat
satu sekolah dasar yang didirikan oleh pemerintah. Untuk tingkat
SMP dan SMA berada di gampong lain dengan jarak lebih kurang
5 km dari Gampong Baro Paya. Kondisi seperti ini mengharuskan
anak anak usia sekolah yang tidak memilki transportasi ptibadi,
harus menaiki tumpangan truk ataupun bus sekolah milik
PT.Mapoli Raya.
Untuk Area industri sebesar 20 Ha merupakan bagian dari
PT.Horas, PT yang bergerak di bidang material bangunan dalam
jumlah besar. Dan sisanya merupakan area industri yang dimilki
ole PT.Mapoli Raya. Luasnya area lahan perkebunan yang dimiliki
PT.Mapoli Raya dikarenakan banyaknya warga yang mulai
menjual lahan kosong miliknya kepada perusahaan.
Untuk area perdangan juga cukup kecil yaitu hanya 0,25
Ha, hal ini dikarenakan tidak adanya area perdagangan yang
dibangun secara khusus. Untuk aktifitas jual beli di lakukan di ibu
kota kecamatan yaitu Meutulang, sedangkan untuk kebutuhan
sayur mayur pedagang yang menjajakan barang dagangannya
dengan menggunakan sepeda motor dan bukan merupakan
penduduk asli gampong. Aktifitas perdagangan berlangsung
dengan sistem pekan yang berlangsung 2 kali sebulan setiap hari
kamis. Pada saat ini lah pertemuan antara pedagang dan pembeli
yang berasal dari gampong yang berbeda berlangsung.
2.3. Kependudukan
Berdasarkan profil gampongtahun 2013, total penduduk
Baro Paya sebanyak 502 jiwa yang tersebar di tiga dusun. Total
penduduk paling banyak terdapat di dusun Cot Lamseupeung.

26

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Berdasarkan informasi yang diberikan oleh Keucik gampong,


persebaran penduduk yang tidak merata dikarenakan kondisi
lahan yang ada di gampong. Sebagian besar masyarakatnya suka
tinggal di daerah yang berbukit dan sebagian lainnya tinggal
disepanjang jalan utama gampong.
Tabel2.2. Jumlah Penduduk Gampong Baro Paya Menurut
Jurong/Dusun tahun 2013
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki
Perempuan (jiwa)

Jurong/Dusun

Jumlah
KK

Cot Meureubo

29

50

41

91

Cot Lamseupeung

59

113

111

224

Alue Gajah

47

95

92

187

Jumlah (jiwa)

135

258

244

502

Sumber Data : Profil Gampong Baro PayaTahun 2013

Jumlah penduduk di tiga dusun ini tidaklah sama, dusun


yang paling banyak jumlah penduduknya adalah dusun Cot
Lamsepeung. Rumah penduduk banyak didirikan di Dusun Cot
Lamsepeng, berdasarkan kondisi geografis, Cot Lamsepeng
berada di area perbukitan. Tanahnya jauh lebih tinggi dari jalan
utama gampong. Sehingga ketika hujan, rumah yang didirikan di
Cot Lamsepeung tidak terkena banjir.
Dusun Alue Gajah banyak kepala keluarga yang hanya
tercatat sebagai penduduk namun tidak tinggal di dusun
tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah para pendatang dari
pulau Jawa, Sumatera Utara dan Sinabang. Kepemilikan kartu
identitas gampong hanya untuk memudahkan mereka melakukan
aktifitas rutin sebagai pekerja di PT.Mapoli Raya.

27

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Tabel 2.3. Jumlah Penduduk Gampong Baro Paya Menurut


Golongan Usia tahun 2013
Golongan usia
0 Bulan 12 Bulan
13 Bulan 4 Tahun
5 Tahun 6 Tahun
7 Tahun 12 Tahun
13 Tahun 15 Tahun
16 Tahun 18 Tahun
19 Tahun 25 Tahun
26 Tahun 35 Tahun
36 Tahun 45 Tahun
46 Tahun 50 Tahun
51 Tahun 60 Tahun
61 Tahun 75 Tahun
Diatas 75 Tahun
Jumlah

Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
2
4
16
14
9
18
17
26
12
21
22
16
40
38
46
25
47
42
21
18
14
17
9
4
3
1
258
244

Jumlah
6
30
27
43
33
38
78
71
89
39
31
13
4
502

Sumber Data: Profil Gampong Baro PayaTahun 2013

Berdasarkan tabel tersebut pasangan usia subur masih


mendominasi jumlah penduduk Gampong Baro Paya. Banyaknya
pasangan usia subur terlihat dari jumlah anak yang ada di satu
keluarga. Rata-rata dalam satu keluarga memilki anak 4 sampai 5
orang. Usia pernikahan tergolong muda, rata-rata usia
pernikahan antara 17-23 tahun untuk anak perempuan dan untuk
anak laki-laki juga berkisar antara usia 20-25 tahun10.
Usia pernikahan yang masih tergolong muda juga
dikarenakan adanya pengetahuan tentang peran anak laki-laki
dan perempuan dalam keluarga. Anak perempuan dianggap tidak
10

Informan menjelaskan bahwa usia pernikahan para remaja gampong terjadi


di usia 17-25 tahun untuk pria dan wanita. Pernikahan akan berlangsung
apabila seluruh keluarga sepakat dengan penentuan mas kawin yang
ditetapkan oleh keluarga perempuan.

28

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

terlalu penting untuk mengenyam pendidikan yang tinggi,


dikarenakan pemahaman akan kodrat perempuan yang harus
menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan domestik.11 Pembatasan
pergaulan muda mudi pun juga diatur ketat dalam qanun. Tidak
ada yang diperbolehkan melakukan pacaran secara terangterangan. Jika ada dan kedapatan maka akan diberlakukan sanksi
gampong yang telah disepakati bersama12. Sehingga untuk saling
mengenal muda mudi yang ada di gampong ini menggunakan
media komunikasi via telepon seluler. Itupun sangat dijaga baik
baik agar kelurga terutama dari pihak perempuan untuk tidak
mengetahui hubungan tersebut, karena dianggap dapat
membuat malu keluarga, dan akan terjadi penurunan mayam13
pada saat lamaran nanti.
Untuk data pendidikan masyarakat, Gampong Baro Paya
tergolong baik. Dari data profil menjelaskan bahwa hampir
semua mendapatkan tingkat pendidikan hingga bangku SMA.
Anak-anak usia wajib sekolah menyelesaikan pendidikan mereka
hingga tingkat SMA walaupun jarak tempuh sekolah mereka yang
tidak dekat. Selain itu keberadaan dua PT besar yang ada di
gampong ini juga memicu semangat mereka untuk
menyelesaikan pendidikan hingga bangku SMA, dengan harapan
11

Tokoh masyarakat mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki


peran dan tugas yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itulah
perempuan tidak diharuskan mengecam pendidikan tinggi. Karena akan
bekerja di rumah dan mengurus anak-anak.
12
Salah satu bunyi qanun yang ketat menjelasakan hubungan antara muda
mudi, bahwa tidak diperboleh kan berpacaran ataupun berdua-duaan apabila
kedapatan akan dikenakan hukuman untuk langusng dinikahkan dinikahkan,
dan bagi pihak lelaki akan dikenakan denda untuk menyumbangkan hewan
kurban untuk pembersihan gampong. Perbuatan yang tidak sewajarnya
tersebut harus diselesaikan dengan pembersihan, agar gampong tidak
mendapatkan penilaian yang jelek, (Sumber:Kaur Pemerintahan Gampong).
13
Mayam merupakan satuan gram emas yang akan diberikan kepada pihak
perempuan oleh pihak lelaki pada saat pernikahan berlangsung, 1 mayam
berjumlah 3 gram emas,(Sumber:Tokoh Masyarakat Gampng).

29

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

jika bekerja di PT nanti akan mendapatkan posisi yang baik, dan


tidak hanya sebagai buruh lepas saja.
Walaupun sebagian besar tingkat pendidikan masyarakat
ada pada bangku SMA, bukan berarti Gampong Baro Paya tidak
memilki putra daerah yang menyelesaikan pendidikan hingga
tingkat diploma 3 dan strata 1. Untuk menempuh pendidikan
hingga diploma dan strata 1, harus dilakukan di ibukota
kabupaten yaitu Meulaboh.
Pada tahun 2013 terjadi pertambahan jumlah penduduk
dengan kelahiran sebanyak 10 jiwa. Pada tahun 2013-2014 tidak
terdapat kematian di Gampong Baro Paya, sedangkan untuk
pertambahan penduduk dari hadirnya pendatang tercatat
sebanyak 7 jiwa, yang meninggalkan gampong 3 jiwa. Penjelasan
yang sedikit berbeda di sampaikan oleh kepala gampong, bahwa
terkadang banyak juga penduduk yang datang tidak melapor
kepada kepala gampong, begitu juga sebaliknya dengan para
penduduk yang melakukan perpindahan. Untuk kondisi seperti
ini, kepala gampong biasanya akan melakukan kunjungan ke
masing-masing dusun untuk melakukan validasi jumlah
penduduk. Salah satu alasan yang disampaikan oleh Keucik, kasus
pertambahan jumlah penduduk disebabkan oleh keberadaan
PT.Perkebunan yang ada di gampong ini.
Agama islam adalah agama yang 100 % dipeluk oleh
masyarakat gampong. Seperti yang diketahui bersama bahwa
Aceh dikenal dengan serambi mekkahnya, maka tidak dapat
dipungkiri bahwa islam adalah agama mayoritas yang dipeluk
oleh masyarakatnya.
2.4. Pola Perkampungan dan Bentuk Rumah
Pengetahuan masyarakat terkait dengan kondisi alam
gampong menciptakan pola dalam membentuk perkampungan.

30

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Dari tiga dusun yang ada di gampong ini tidak ada yang memilki
pola yang sama. Begitu juga dengan bentuk rumah yang
dibangun berdasarkan kondisi tanah.
Pola perkampungan yang ada di dusun cot meurebo
merupakan pola perkampungan yang berkelompok, dengan
bentuk rumah panggung yang da di pinggir jalan utama
gampong. Sedangkan cot lampsepeng rumah didirikan di
kawasan tanah yang berbukit dengan pola perkampungan
mengikuti bentuk bukit yang ada. Lain hal dengan dusun Alue
Gajah, pola perkampungan yang terbentuk di adalah terpusat
yang dibangun sejenis dan bangunan berasal dari bahan yang
sama, atau masyarakat menyebutnya sebagai rumah PT.
Rumah panggung merupakan jenis rumah yang dibangun
masyarakat berdasarkan kondisi alam yang sering dilanda banjir.
Rumah panggung tidak dilengkapi dengan mck (mandi, cuci,
kakus). Jika ingin melakukan ketiga aktifitas tersebut, maka akan
menggunakan alue, ataupun MCK umum yang ada di dusun.
Selain itu pengetahuan untuk mendirikan rumah panggung
didasari oleh oleh kebiasaan masyarakat yang suka meletakkan
sampah di bawah rumah, beberapa informan menjelaskan bahwa
dengan meletakkan sampah dibawah rumah tidak perlu
menyiapkan tempat khusus untuk membuang sampah. Selain itu
jika hujan datang maka sampah tersebut akan langsung di bawa
air, dan bersih dengan seketika. Alasan lainnya adalah rumah
panggung juga memudahkan jika salah satu anggota keluarga ada
dalam keadaan sakit.
Tidak perlu membawa ke alue, buka saja papannya
satu, bisa toek (buang air besar) di situ langsung tinggal
tarok ember air di sampingnya, biasanya kami begitu.

31

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2.6.
Bentuk Rumah Panggung Baro Paya
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014.

Pemahaman seperti ini mewarnai informasi wawancara


yang didapatkan terkait alasan membuat rumah dalam bentuk
panggung. Beberapa alasan lainnya juga mengatakan bahwa
rumah panggung sebenarnya bukanlah rumah yang mereka
harapkan, tetapi karena kondisi alam yang sering banjir maka
mereka harus memilih rumah panggung. Biaya untuk membuat
rumah panggung yang tidak terlalu mahal juga menjadi alasan
mengapa rumah panggung masih menjadi primadona untuk
dibuat.
Bentuk rumah mempengaruhi kebiasaan dari pemilkinya.
Misalnya saja penggunaan MCK dan juga sanitasi yang
seharusnya dimiliki oleh sebuah rumah. Beradasarkan hasil
wawancara dengan informan, tidak adanya MCK dan sanitasi
wajar dalam rumah yang mereka bangun dan tempati bukanlah

32

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

sebagai suatu permasalahan. Misalnya mereka dengan


tenangnya menjelaskan bahwa mereka memanfaatkan area
disekitar rumah untuk membuang kotoran anak-anak, dan juga
sampah basah dan kering dalam jumlah yang tidak sedikit setiap
harinya.

Gambar 2.7.
Fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) di Rumah Panggung
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014.

2.5. Religi
Sistem kepercayaan masyarakat Gampong Baro Paya
adalah muslim. Semua aktifitas keagamaan yang berlangsung di
tengah-tengah kehidupan mereka tak lepas dari pengaruh
budaya Islam yang berkembang di kasawan ini. Seperti misalnya
masih kentalnya aktifititas keagamaan yang berlangsung.
Aktifitas keagamaan yang berlangsung dipimpin dan
dipercayakan oleh tengku (orang yang dipercayai memiliki
kemampuan lebih dalam syiar agama), sama hal dengan keucik,
tengku juga memiliki peranan yang dominan dalam masyarakat.

33

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pelaksanaan kegiatan keagamaan juga dilakukan berdasarkan


instruksi ataupun arahan yang diberikan oleh tengku.Masyarakat
Baro Paya memiliki dua orang tengku.Kedua tengku tersebut
dengan sendirinya melakukan pembagian tugas yang tanpa
tertulis tetapi dapat saling memberi pembagian yang jelas.
Tengku Junit misalnya, beliau dipercaya untuk melakukan
kegiatan-kegiatan rutin keagamaan, misalnya shalat lima waktu
yang dilaksanakan di masjid, peringatan hari besar keagamaan,
acara pernikahan, peusejuk (pemberkatan), kematian dan juga
pengobatan. Sedangkan Tengku Abdul Hamid, melakukan
peusejuk, pencatat pernikahan, dan juga pengobatan.
Selain dari pembagian tugas di atas ada juga kegiatan
pengajian muda mudi,pengajian anak (TPA), wirid yasin, dalael
hairat (pembacaan senandung lagu-lagu islam), dan tahlilan
(kunjungan ke rumah duka). Kegiatan keagamaan tersebut rutin
dilakukan, misalnya saja kegiatan yang dilaksanakan seminggu
sekali.
2.5.1. Memberikan Pendidikan Islami
Para orang tua yang ada di Gampong Baro Paya
menganggap pengetahuan Islam yang dimilki seorang anak
haruslah cukup, Karena menentukan bagaimana kualitas
kehidupan anak ke depannya. Selain mendapatkan pendidikan
formal di bangku sekolah, anak-anak juga diwajibkan untuk
mengikuti pengajian di dayah-dayah yang ada di
gampongtetangga14.Dayah sebagai sebuah lembaga keagamaan

14

Gampong Baro Paya tidak memiliki Dayah yang dijadikan sebagai tempat
anak-anak menimba ilmu agama, hanya terdapat dua TPA yang didirikan oleh
tengku. Biasanya anak-anak yang masuk ke Dayah adalah mereka yang telah
beranjak remaja, dengan harapan dari orang tua anak tersebut akan
mempelajari ilmu agama lebih baik lagi dalam wujud mengaji dan pelaksaan

34

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

yang mendidik anak-anak untuk dapat membaca Alquran dengan


baik, dan juga berlatih melakukan dakwah merupakan nilai lebih
yang orang tua inginkan untuk anak-anaknya.
Pendidikan islami juga ditanamkan ke anak dengan
harapan anak tersebut akan menjaga martabat keluarga. Hal ini
lebih ditekankan kepada anak perempuan, karena anak
perempuan lebih mudah tersorot jika melakukan penyimpangan
dalam pergaulan.Kuatnya kontrol sosial yang diberikan kepada
anak perempuan menggambarkan bagaimana budayaperan
sosial yang hidup dan pegang masyarakat. Ayah selaku kepala
keluarga akan mewanti-wanti si anak jika dirasakan melakukan
pelanggaran dalam adat pergaulan yang berlaku di gampong. Hal
ini menyebabkan anak perempuan lebih banyak melakukan
kegiatan keagamaan dari pada kegiatan yang sifatnya umum,
seperti olah raga dan kegiatan antar gampong.
2.5.2. Dalael Khairah dalam Budaya
Dalam aktifitas keagamaan Gampong Baro Paya, muda
mudi tidak pernah dipertemukan. Seperti dalam bahasan sub
judul sebelumnya, bahwa aktifitas keagamaan yang sifat nya
untuk memperkuat kualitas moral anak lebih ditekankan untuk
dilakukan oleh anak perempuan. Anak perempuan diupayakan
untuk dapat mengikuti pengajian di dayah (pesantren), dengan
harapan meningkatkan kualitas keimanan anak, sedangkan anak
laki-laki lebih banyak diwajibkan untuk melakukan kegiatan
keagamaan yang sifatnya untuk umum. Dalail Khairah misalnya,
kegiatan ini mirip dengan kelompok nasid, namun nyanyian
islami yang dilakukan lebih pada lantunan shalawat yang
ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW.
sunah lainnya. Sedangkan TPA (Taman Pendidikan AlQuran), biasanya anakanak yang duduk di bangku sekolah dasar. (Informan)

35

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Kegiatan ini dilakukan pada malam hari, di balai pengajian


yang dimiliki oleh tengku, beranggotakan remaja pria gampong
dan beberapa kaum bapak yang mempunyai ketertarikan khusus
pada kegiatan ini.Tengku tetap menjadi pimpinan dalam kegiatan
ini, biasanya dalam perayaan hari-hari besar keagamaan dan juga
hajatan besar, kelompok ini biasanya akan selalu dilibatkan untuk
memeriahkan acara.
2.5.3. Wirid Yasin dan Tahlilan
Wirid yasin dan tahlilan bukanlah hal baru dalam aktifitas
keagamaan yang ada di nusantara. Hampir di beberapa daerah
wirid yasin (pengajian), tetap dijalankan sebagai salah satu
aktifitas keagamaan. Begitu juga halnya dengan masyarakat Baro
Paya yang tetap menjalankan kegiatan wirid yasin sebagai salah
satu aktifitas keagamaan yang dapat mempererat tali silaturahmi
antara warga yang tinggal di satu dusun dengan dusun lainnya.
Wirid yasin biasanya dilakukan oleh kaum ibu dan para gadis
remaja, dilakukan setiap jumat sore, dan waktu pelaksanaanya
setelah shalat dzuhur hingga menjelang waktu ashar15. Tahtim,
tahlil, tahmid merupakan bacaan yang selalu dilantunkan dalam
acara wirid yasin, dipimpin oleh seorang tengkuperempuan yang
usianya sudah tua. Para ibu dan remaja puteri mengikuti ayat
demi ayat yang terlebih dahulu di bacakan oleh tengku, dengan
lirik lagu film india yang dilantunkan lebih mendayu.
Tahlilan merupakan kunjungan ke rumah duka, biasanya
lelaki dan perempuan ikut melakukan tahlilan jika ada anggota
masyarakat yang meninggal. Selain dari anggota masyarakat yang
ada di gampong, masyarakat dari Gampong Baro Paya pun tidak
15

Tidak ada kewajiban waktu yang tertulis dalam pelaksanaan wirid yasin
tersebut, tetapi masyarakat khususnya ibu dan para remaja puteri lebih suka
melakukannya setiap selesai dzuhur hingga menjelasng ashar. (Informan)

36

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

segan-segan untuk mengunjungi gampong tetangga jika ada yang


meninggal dunia, begitu juga sebaliknya.
2.6. Ber-Nazar dan Melakukan Rajah
Segala sesuatu yang diniatkan secara baik, dilakukan di
tempat yang baik dan berjanji akan melakukan yang baik jika
yang diniatkan itu tercapai, merupakan rangkaian sistem
pengetahuan yang dimiliki masyarakat terkait pelaksanan nazar.
Masyarakat muslim Baro Paya selain memilki keyakinan untuk
melaksanakan segala kewajiban sebagai umat muslim, juga
melakukan beberapa akulturasi budaya dalam menjalankan
kehidupan. Kondisi manusia yang tidak terlepas dari kesehatan,
kesakitan, impian dan harapan terwujud dengan istilah Nazar di
masyarakat. Ber-nazar sendiri penuh dengan ketentuan,
pelaksanaannya tidak bisa dianggap sederhana. Karena akan
menggmbarkan keberhasilan dari apa yang telah diinginkan dan
terlafaskan dalam doa.
Beberapa kasus yang terjadi di gampong, memperlihatkan
bahwa nazar masing terus berlangsung di masyarakat. Keinginan
untuk ber-nazar biasanya diniatkan dalam hati, dan jika keinginan
tersebut telah terwujud maka akan dilaksanakan di dua tempat
(Rumoh Quran dan Makam Teuku Umar), yang selalu menjadi
pilihan untuk melepaskannya. Aktifitas pelepasan nazar seperti
apa yang dijelaskan abon16, tidak sederhana, hal ini dikarenakan
ada beberapa ritual yang wajib dilakukan oleh orang yang
melepaskan nazar tersebut. Pelepasan nazar dilakukan apabila
keinginan yang terangkai dalam doa kesembuhan ataupun cita16

Abon merupakan seorang tokoh yang diberi kepercayaan oleh masyarakat


adat untuk menjaga makan Teuku Umar. Kedudukan dan keberadaan abon
dipercayai banyak memberi pengaruh dari masih tingginya aktifitas ber-nazar
tersebut.

37

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

cita lainnya tercapai. Jika tidak tercapai maka tidak harus


melakukan pelepasan nazar. Seseorang yang mempunyai
keinginan akan suatu hal, harus menyesuaikan dengan apa yang
akan dilakukannya nanti jika keinginannya tersebut tercapai17.
Sehingga dengan sendirinya orang yang akan melakukan nazar
ketika keinginan nya tercapai sudah memperkirakan apa yang
akan dinazarkan nanti. Prosesi nazar sendiri dipimpin oleh
abon/tengku dimulai dengan pembacaan doa dan dilanjutkan
dengan penyembelihan hewan qurban. Hewan qurban akan
disembelih di makam, di sekitar makam ada tempat yang telah
ditata sebagai spot ritual nazar tersebut. Daging qurban di masak
di dapur yang ada di makam tersebut, daging yang telah di masak
dibagikan kepada para pengunjung makam, dan juga warga
gampong sekitar, sebagai harapan keberkahan tersebut. Biasanya
pada hari libur makam didatangi orang yang akan melakukan
pelepasan nazar dari sekitar gampong dan juga orang yang
berasal dari luar gampong, bahkan luar kabupaten.
Selain bernazar, juga ada sistem kepercayaan terkait
penyakit-penyakit gaib yang berhubungan dengan mistis
datangnya dari makhluk gaib. Yaitu penyakit kerasukan, gunaguna, dan juga penyakit yang disebabkan oleh SERBUK 18 ,
Konon katanya SERBUK ini di puja19, selain itu ada juga anggapan
bahwa serbuk juga merupakan ajang uji coba ilmu hitam
17

Abon menjelaskan jika ingin doa dari apa yang diharapkan tercapai, maka
nazar yang akan dikerjakan juga harus sesuai. Misalnya ingin sembuh dari
penyakit parah,ataupun lulus menjadi PNS, maka idealnya menyembelih
kambing atau sapi bukan menyembelih ayam. Tetapi jika keinginanya tidak
begitu besar, atau biasa-biasa saja, cukup dengan menyembelih ayam.
18
Serbuk, merupakan jenis penyakit yang sifatnya mendadak langsung
membuat orang yang terkena mengalami perdarahan dan meninggal seketika
(Informan).
19
Di puja maksudnya adalah masih dilakukan dan banyak yang masih
mempercayainya sebagai suatu hal yang dapat menguatkan dan menambah
rasa takut orang lain, bahkan sampai kepada kematian. (Informan)

38

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

seseorang, jika tidak dicobakan kepada orang lain maka dia yang
terkena.

Gambar 2.8.
Nazar Memandikan Bayi Di Makam TEUKU Umar
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Gambar 2.9.
Mengambil Air Untuk Nazar
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

39

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Kandungan
serbuk
yang
disampaikan
dengan
menggunakan media angin dan air, akan membuat orang yang
terkena muntah darah dan meninggal di tempat karena
kehabisan darah.
Selain dari penyakit yang disebabkan oleh SERBUK yang
disampaikan dengan media air dan angin, ada juga penyakit yang
disebut warga dengan kesurupan20.Kesurupan merupakan salah
satu penyakit yang juga diderita oleh beberapa warga yang mata
pencariannya sebagai pemotong kayu di hutan. Ada anggapan
bahwa kayu yang besar dan letak nya di hutan rimba tidak boleh
dipotong sembarangan, karena akan mengakibatkan sakit, dan
menjerit-jerit seperti orang kesurupan.
Ada juga penyakit yang disebabkan guna-guna yang
diberikan oleh orang lain. Gejalanya seperti sakit tulang dan nyeri
di tangan, warga beranggapan jika rasa dengki dan iri dapat
dibalas dengan memberikan guna-guna kepada orang yang tidak
disukai tersebut.
Beberapa penyakit yang diyakini datangnya dari makhluk
tersebut dipercayai dan melahirkan pantangan-pantangan yang
mengarah kepada kebaikan agar ada perasaan tanggung jawab
untuk saling menjaga. Agar keberadaan makluk gaib dan manusia
dapat hidup secara berdampingan di alam semesta ini.

20

Beberapa kasusu kesurupan atau kemasukan roh gaib yang berasal dari
hutan terjadi di gampong. Kesurupan bukanlah ssalah satu jenis penyakit yang
dipercaya di datangkan oleh makhluk gaib. Biasanya orang yang kesurupan
akan berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Suara yang dikeluarkan juga
berbeda dengan suara asli orang tersebut ketika dalam kondisi sehat. Penyakit
ini juga dipercaya karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh orang
tersebut, sehingga menyebabkan roh gaib tersebut marah dan masuk ke
dalam tubuhnya.

40

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

2.7. Masjid Baitul Muqarammah


Masjid merupakan sentra aktifitas keagamaan yang selalu
dimanfaatkan. Selain menggunakan masjid untuk tempat sholat,
masjid juga dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan hari-hari
besar keagamaan, semisal maulid Nabi Muhammad SAW,
IaraMiraj dan juga perayaan hari besar islam lainnya. Asal
muasal keberadaan masjid diawali jauhnya aktifitas shalat jumat
berjamaah yang harus dilakukan di Gampong Mogo (sekitar 3-4
km), dari Baro Paya,selain itu jumlah jamaah yang terus
bertambah mempercepat proses perembukan antara beberang
tengku terkait pembuatan masjid di Baro Paya.
Sebelum masjid gampong di bangun, masyarakat
memanfaatkan meunasah (surau) gampong yang ukurannya jauh
lebih kecil dari masjid. Segala aktifitas keagaamaan berawal dari
meunasah ini, kecuali shalat jumat yang dikarenakan masih
sedikitnya jamaah pada waktu itu. Tetapi setelah jamaah
bertambah dan jarak tempuh di rasakan berat, tengku gampong
yang menjabat pada waktu itu, mengambil inisiatif
untukmelakukan pertemuan dengan tengku lainnya, terkait baik
tidaknya pembangunan masjid di Gampong Baro Paya. Akhirnya
setelah melakukan rembukan dengan tokoh agama pada waktu,
diijinkanlah sebuah masjid didirikan di Gampong Baro Paya.
Bangunan masjid tersebut di bangun bertahap dengan
bantuan dan sumbangan dari masyarakat sekitar. Mulai saat itu
hingga sekarang masjid menjadi pusat aktifitas keagaaman
masyarakat gampong.
Walaupun masyarakat Baro Paya mayoritas beragama
islam, aktifitas masjid tidak begitu ramai, hal ini dijelaskan oleh
Tengku masjid yang telah mengurus masjid lebih dari 20 tahun.
Pak tengku mengatakan susahnya mencari regenerasi remaja
yang mau menggantikan perannya di masjid. Pernyataan itu
terlihat dari aktifitas shalat lima waktu yang hanya terjadi pada
41

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

waktu magrib. Salah satu penyebab yang disadari tengku


penyebab minimnya aktifitas shalat berjamaah adalah karena
jarak antara satu dusun dengan dusun yang lainnya yang jauh.
Tidak bisa hanya ditempuh dengan berjalan kaki, harus dengan
sepeda motor. Dan juga aktifitas sebagian masyarakat yang
banyak di habiskan di luar rumah untuk bekerja.

Gambar 2.10.
Masjid Baitul Muqaramah, Baro Paya
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Alasan lainnya yang membuat susahnya regenerasi untuk


menggantikan pak tengku menjalankan aktifitas keagamaan
adalah rasa hormat masyarakat kepada tengku. Masyarakat
merasa tidak memiliki tingkat keimanan yang baik seperti tengku.
Karena posisi tengku di masyarakat cukup istimewa. Tengku
merupakan seorang tokoh yang memberikan banyak pengaruh
dalam kehidupan bermasyarakat. Apa yang menjadi anjuran
tengku biasanya akan dilakukan untuk mendapatkan kebaikan

42

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

dalam menjalani kehidupan. Untuk itulah banyak masyarakat


yang tidak berani menggantikan posisi tengku jika mereka
merasa belum mampu cakap dalam bersikap dan beragama.
2.8. Kepercayaan Lokal
Kepercayaan ataupun keyakinan terhadap hal gaib yang
dipercayaai masyarakat tetap ada. Seperti yan dijelaskan pada
bagian sebelumnya, bahwa kehidupan religi yang ada di
masyarakat tidak hanya pada perlaksanaan kewajiban dan sunah
dalam agama islam. Tetapi juga dalam wujud kepercayaan akan
adanya roh-roh halus/gaib , serta kekuatan gaib yang dapat
mendatangkan penyakit ataupun kematian.
Selain berberapa kepercayaan di atas ada juga
kepercayaan lokal berupa burong, jin yang membawa penyakit
bagi masyarakat. Masyarakat meyakini letak burong adalah hutan
dan pohon-pohon besar yang ada di hutan.
Berdasarkan sejarah cerita burong yang berkembang di
masyarakat burong merupakan jelmaan seorang wanita yang
meninggal tidak dalam kondisi wajar. Lalu hantu tersebut terbang
mencari kekasihnya yang tinggal di Aceh Bata. Maka, istilah
burong menjadi makhluk gaib yang ada di kawasan Aceh Barat.
Kisah ini yang diyakini masyarakat sebagi suatu kebenaran.
Selain burong yang berasal dari makhluk gaib, ada juga
serbukyang merupakan kekuatan gaib yang dipuja dan diyakini
masyarakat sebagai suatu kekuatan yang dapat menyakiti
ataupun menyerang orang lain. Berdasarkan informasi yang kami
dapatkan Serbukdibuat dari bahan duri-duri ikan yang dihaluskan,
dan juga ampas padi yang juga dihaluskan. Kemudian, serbukini
akan di terbangkan melaui udara dan juga ada yang di taburkan
ke dalam minuman. Serbukbiasanya diberikan kepada para
pendatang yang dianggap bersikap tidak sesuai dengan adat
istiadat di gampong tersebut.
43

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Selain serbukdan burong ada juga kepercayaan untuk


melepas nazar, yang dilakukan oleh masyarakat gampong di
makan Teuku Umar dan Rumoh Quran yang terletak 4 km dari
gampong Baro Paya. Nazar yang dilakukan biasanya ketika apa
yang dicita-citakan tercapai, ataupun sembuh dari penyakit.
Secara singkat dapat diceritakan apa yang dicita-citakan tercapai,
atau sembuh dari penyakit yang diderita, maka nazar harus
dilakukan segera sesuai dengan nazar yang dilafaskan. Biasanya
nazar yang dilafaskan sesuai dengan cita-cita ataupun
kesembuhan yang ingin dicapai. Semakin besar cita-cita ataupun
kesembuhan yang diinginkan, maka akan semakin besar pula
nazar yang akan dilaksanakan. Seperti misalnya menyembelih
domba, kambing, kerbau. Uniknya prosesi nazar tersebut
dilakukan secara keseluruhan di makam Teuku Umar dan Rumoh
Quran. Masyarakat meyakini jika nazar yang dilafaskan tidak
sesuai dengan cita-cita ataupun kesembuhan yang diinginkan
maka akan sulit tercapai.
Sistem religi yang berkembang di masyarakat Gampong
Baro Paya, memberikan pengaruh terhadap alternatif pemilihan
kesehatan. Dikarenakan kuatnya keyakinan masyarakat terkait
budaya nazar, kemalon (meramal) dan juga merajah.
2.9. Pengetahuan terhadap Penyembuhan Penyakit
Metode penyembuhan penyakit yang berkembang di
masyarakat tidak lepas dari pengetahuan masyarakat tentang
penyakit dan sebab-sebab datangnya penyakit tersebut. Dalam
uraian sebelumnya dijelaskan tentang berbagai penyakit yang
datang dari makhluk gaib dan juga kekuatan gaib.
Selain itu metode penyembuhan dengan berdoa dan
melepas nazar juga ikut memberikan pengaruh. Pengetahuan
yang bersumber dari penyakit yang datang dari gangguan

44

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

makhluk halus, menimbulkan keyakinan untuk penyembuhan


penyakit dengan cara tradisional ditambahkan dengan mantramantra. Perpaduan mantra dalam bahasa Aceh dan Arab
ditambah dengan penggunaan daun sirih sebagai media
penyembuhnya, merupakan pemahaman yang diyakini efektif
untuk menyembuhkan penyakit yang datangnya dari gangguan
makhluk halus.
Pengetahuan yang berlangsung terus menerus
menghadirkan beberapa cara alternatif yang diyakni masyarakat
sangat efektif untuk menyembuhkan penyakit. Antara lain,
merajah, peusijuk, kemalon dan merampet.
Merajah merupakan cara yang dilakukan dengan
membaca doa-doa kesembuhan untuk orang yang menderita
sakit. Bacaan doa berasal dari ayat suci al quran membaca doa
untuk kesembuhan dengan
Beberapa cara alternatif tersebut terus dilakukan dan
dilaksnakan jika ada anggota keluarga yang ada di amsyarakat
tersebut terserang suatu penyakit. Biasanya jika salah seorang
terserang
penyakit,
maka
akan
diawali
dengan
meramal(kemalon), setelah melakukan kemalon dengan
menggunakan on ranubatau daun sirih maka akan dipilih tahapan
selanjutnya untuk menggunakan pengobatan tradisional ataupun
dengan menggunakan pengobatan modern (obat-obatan dan
mengunjungi fasilitas kesehatan ) yang ada di lingkungan tempat
tinggal mereka.
Peusijuk, merupakan rangkaian doa keselamatan yang
hampir dilakukan masyarakat di aceh, tak terkecuali masyarakat
Baro Paya. Peusijuk berupa doa keselamatan dilakukan dalam
berbagai keadaan. Misalnya saja bagi mereka yang akan masuk k
tempat baru, pergi melakukan ibadah haji, pernihakan, sunatan,
turun tanah dan juga sebagai media doa ketika ingin
mendapatkan kesembuhan dan keselamatan. Prosesinya tetap

45

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menggunakan daun sirih (on ranub) sebagai komponen utama


pada ritual peusijuk tersebut.
Selain kemalon/merampet,pengetahuan lain untuk
mengobati penyakit adalah merajah, cara ini paling sering
dilakukan karena seringnya penyakit-penyakit yang datang dari
gangguan makhluk halus diyakini dan dipercayai oleh
masyarakat. Merajah juga menggunakan daun sirih, ada
beberapa cara yang digunakan dengan metode penyembuhan
merajah.
Pertama dengan mengunyah(memamoh) daun sirih oleh
tengku sambil membaca mantra/doa. Yang mengunyah harus
orang yang diyakini dapat menyembuhkan penyakit. Ada juga
merajah dengan menggunakan daun sirih yang dicampur dengan
air putih dan meminumkan air putih tersebut ke orang yang sakit.
Untuk jenis penyembuhan ini, penyakit yang disembuhkan adalah
penyakit yang sifatnya dadakan, seperti sakit perut yang
datangnya tiba-tiba, sakit kepala dan demam. Anak-anak paling
sering mendapatkan metode penyembuhan dengan cara ini.
2.10. Tokoh Penyembuh
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa
hadirnya cara-cara yang diyakini sebagai penyembuhan beragam
penyakit yang ada di tengah-tengah masyarakat. Tidak terlepas
dari tokoh yang berperan dari cara-cara penyembuhan yang
berlangsung di masyarakat.
Beberapa tokoh yang dianggap dapat memberikan
penyembuhan bagi masyarakat adalah, tengku, tabib,
mabliendan juga orang yang dituakan.
Tengkumisalnya, selain perannya dalam aktifitas
keagamaan gampong, tengku juga diyakini dapat memberikan
penyembuhan terhadap beberapa jenis penyakit. Tengku juga

46

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

dapat memberikan masukan kepada keluarga terkait pilihan


untuk menyembuhkan suatu jenis penyakit. Biasa tengku terlebih
dahulu akan membaca kan doa-doa islami untuk mengurangi
adanya pengaruh jahat yang ada di tubuh si sakit. Pengaruh jahat
bukan hanya berupa gangguan yang datang dari makhluk halus,
tetapi juga dari kondisi lingkungan yang tidak baik, ataupun
adanya serangan penyakit yang datang tiba-tiba.
Tabib,sedikit berbeda dengan tengku, tabib melakukan
aktifitas penyembuhan dengan menggunakan keahlian
supranatural yang dimilkinya. Berdasarkan informasi yang
didapatkan kekuatan ilmu supranatural yang dimilki tabib pun
ada jenisnya. Masyarakat menyebutnya dengan menggunakan
ilmu hitam dan ilmu putih. Tetapi walaupun demikian, tetap
diguanakan untuk kebaikan, ataupun penyembuhan pasienpasiennya.
Orang tua atau yang dituakan di masyarakat,untuk
kategori penyembuh jenis ini ada beberapa di gampong. Tidak
hanya satu, orang tua yang bisa membaca doa-doa kebaikan
biasanya dapat juga memberikan pertolongan penyembuhan di
tengah-tengah masyarakat. Tetapi untuk jenis penyakit tertentu
seperti kerasukan dan penyakit yang sebabnya tidak diketahui,
masyarakat dengan sendirinya akan dapat membedakan, dan
langsung kepada tokoh penyembuh yang dapat mengatasinya.
Penggunaan ranub/ sirih juga tidak terlepas dari metode
penyembuhan yang digunakan. Bisanya diawali dengan meramal
(kemalon) dan dilanjutkan dengan mengunyah dan
menyemburkan ataupun mengoleskan air kunyahan kepada si
sakit.
MaBlien, berbeda dengan beberapa tokoh penyembuh
lainnya, mablien biasanya terfokus pada pengobatan kehamilan,
persalinan dan paska persalinan. Mablien biasanya bisa
memberikan pelayanan urut perut ibu, membantu persalinan,

47

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

membuat pengobatan tradisional untuk ibu dan anak paska


persalinan, hingga memberikan pantangan dan anjuran selama
kehamilan hingga persalinan. Masyarakat Baro Paya masih
memilih dukun bayi/mablien sebagai tenaga penolong
persalinan, walaupun tidak ada lagi mablien yang tinggal di
sekitar lokasi tempat tinggal, pergi ke kecamatan tetangga pun
dilakukan untuk menjemput mablien, yang mereka percayai
dapat membantu proses persalinan dengan baik. Hadirnya tokoh
penyembuh yang ada di masyarakat, hidup tidak terlepas dari
aktifitas keorganisasian yang ada di masyarakat.
2.11. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
Masyarakat Baro Paya merupakan masyarakat yang tak
lepas dari aktifitas gotong royong. Tidak berbatas dari dusun
yang mereka tempati, jika itu mengharuskan mereka untuk
berkumpul maka tiga dusun yang letaknya berjauhan ini pun
berkumpul untuk melakukan aktifitas bersama. Keucik21 sebagai
pemimpin gampong memiliki peran penting dalam pelaksanaan
aktifitas gotong royong dan organisasi sosial yang berlangsung di
masyarakat.
Selain peran keucik yang cukup kuat di masyarakat, tokoh
lainnya yang sangat mempengaruhi pola organisasi sosial pada
masyarakat adalah Tuha peut 22(pemangku adat).Berikut bagan
Struktur masyarakat Adat

21

Dalam sisitem pemerintahan gampong dipimpin oleh seorag kuecik, fungsi


keucik sama dengan kepala desa yang ada di daerah lain.
22
Tuha peut merupakan kelompok masyarakat adat yang mempunyai peran
fital dalam menjaga adat gampong.

48

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Gambar 2.11.
Struktur Adat Masyarakat Gampong
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

2.12. Peran Tuha Peut


Tuha Peut merupakan bagian dari masyarakat yang
mengontrol keberdaan qanun yang ada di gampong
tersebut.Tuha peut merupakan pejabata adat yang ada di
gampong, tuha peut dipilih oleh masyarakat, dan tuha peut juga
memilki keaanggotaan. Beberapa permasalahan gampong yang
diselesaikan oleh tuha peut adalah permasalahan terkait
pelanggaran moral, perkelahian yang melibatkan antar warga
dan juga beberapa permasalahan lain yang sifatnya pelanggaran
moral yang telah disepakati dalam peraturan gampong.
Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah pelanggaran
terkait norma yang mengatur hubungan muda mudi gampong.
Salah seorang gadis gampong dipergoki jalan berduan dengan
pemuda yang bukan muhrimnya. Beberapa warga yang telah
mengetahui hal tersebut mencoba melakukan penyergapan dan

49

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

setelah tertangkap masalah tersebut akan diselesaikan dengan


hukum adat yang secara lisan tulisan telah mengatur tentang hal
tersebut. Penyelesaian kasus tersebut juga akan melibatkan
beberapa warga yang memiliki kedudukan tertentu di
masyarakat, misalnya tengku, keucik dan beberapa aparat desa
lainnya. Kuatnya tuha peut memegang aturan adat yang tertuang
dalam qanun, dengan sendirinya menjadi benteng moral bagi
masyarakat untuk tidak berbuat sesuka hatinya.
2.13. Bagan Organisasi Pemerintahan Gampong Baro Paya
Dalam bagan organisasi dapat dilihat bahwa Baro Paya
merupakan sebuah gampong dengan struktur pemerintahan
gampong yang lengkap. Keucik merupakan pemimpin gampong
yang memilki tugas untuk memimpin gampong, dan memilki
masa jabatan lima tahun. Sekretaris gampong dipilih langsung
oleh keucik dan pada pelaksanaan tugas hariannya adalah
menjalankan kegiatan administrasi gampong.
Beberapa aparat desa lainnya yang terdiri dari kaur
pemerintahan, kaur pembangunan dan kaur kesra, dipilih oleh
masyarakat. Pelaksanaan tugas juga dijalankan selama lima
tahun. Pelaksanaan kegiatan rutin dimasyarakat selalu
melibatkan aparat pemerintahan yang ada di gampong. Kegiatan
yang menjadi kepentingan gampong akan dikoordinir oleh
masing-masing kaur yang ada. Secara keseluruhan kegiatan
pemerintahan di Baro Paya berjalan dengan baik, sebaik
hubungan masyarakat dengan kepala gampong mereka.

50

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Gambar 2.12.
Struktur Organisasi Pemerintahan Masyarakat Gampong
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

2.14. Kegiatan Kepemudaan


Gampong Baro Paya adalah gampong yang masih
memiliki kegiatan kepemudaan aktif. Salah satu aparatur
gampong yang dipilih oleh masyarakat adalah ketua pemuda.
Ketua pemuda juga memilki kekuatan untuk mengatur dan
mengontor aktifitas kepemudaan yang ada di gampong. Para
remaja laki-laki dan juga perempuan memilki penghormatan
khusus kepada ketua pemuda, biasanya rasa hormat tersebut
mereka tunjukkan dengan menjaga sikap dan tingkah laku. Ketua
pemuda juga biasanya merangkul para muda-mudi gampong
dalam kegiatan yang beragam, tetapi kegiatan tersebut lebih
banyak dilakukan oleh para pemuda.
Pemuda lebih banyak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan
yang sifatnya menjalin hubungan dengan wilayah luar, atau
mereka menyebutnya antar gampong. Sedangkan pemudi
gampong biasanya hanya dilibatkan dalam kegiatan yang sifatnya

51

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

domestik, pembatasan kegiatan ini dianggap wajar karena


perempuan lebih baik berada di dalam gampong dari pada harus
berada di luar gampong untuk berhubungan dengan orang lain.
Para pemuda aktif melakukan kegiatan olah raga. Olah
raga favorit yang selalu dilakukan serta dikompetisikan adalah
oleh raga voly. Voly cukup mendapatkan perhatian khusus bagi
pemuda gampong. Biasanya pemuda melakukan latihan olah
raga setiap hari setelah shalat ashar. Banyak pemuda yang
terlibat, dan biasanya latihan setiap hari ini memakan waktu 2
jam lebih hingga menjelang shalat maghrib.
Kegiatan tersebut dilakukan untuk membina hubungan
baik antara para pemuda dan meningkatkan kerjasama antara
pemuda. Selain merasa bangga dengan kegiatan oleh raga yang
mereka lakukan, biasanya cara ini juga dijadikan cara untuk
menarik perhatian para pemudi gampong yang biasanya hanya
bisa mendengar kepiawaian mereka untuk bermain voly.
Pembatasan hubungan anatara pemuda dan pemudi
gampong ketat terjadi. Pemuda dan pemudi apabila memiliki
ketertarikan khusus tidak bisa memperlihatkan secara langsung
rasa ketertarikan mereka. Jika sudah ada rasa suka, maka
hubungan biasanya akan berlangsung dengan media komunikasi
telepon genggam, cara ini dirasakan paling efektif untuk
membina hubungan. Tetapi cara ini pun harus dikemas secara
baik agar tidak ketahuan oleh orang tua dan juga saudara laki-laki
dari pihak perempuan.
Pembatasan hubungan tersebut wajib dilakukan untuk
menjaga para pemudi agar tetap mendapatkan posisi tinggi di
masyarakat. Karena biasanya ada sanksi sosial yang diberikan
kepada para pemudi yang melanggar aturan tersebut. Selain
sanksi sosial berupa penilaian jelek di masyarakat, ada juga yang
harus dinikahkan segera karena benar-benar telah melanggar
aturan tersebut.

52

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Selain olah raga, kegiatan kepemudaan lainnya adalah


penyambutan tamu dengan berpesta membakar ikan. Ini
merupakan cara yang luar biasa, karena biasanya setiap tamu
yang datang dan menginap di gampong akan mendapatkan pesta
gampong yang difasilitasi oleh pemuda gampong. Acara ini
melibatkan semua muda-mudi yang ada. Sajian dalam pesta ini
berupa ikan bakar dengan porsi yang banyak, disajikan dengan
nasi dan gulai nangka (bopanah). Penyambutan tamu yang
dilakukan dengan berpesta biasanya juga dihadiri oleh aparatur
desa lainnya. Disinilah ajang berkumpul, dan para pemuda
membagi tugas tugas dengan sangat baik, sehingga acara
penyambutan ini telihat baik dan sempurna.
Selain ola raga dan pemyambutan tamu tersebut ada lagi
kegiatan yang melibatkan muda mudi gampong adalah gotongroyong pada saat ada pernikahan dan juga sunatan, serta acara
turun mandi di gampong. Dua hari sebelum acara dimulai
biasanya para pemuda dan pemudi sudah sibuk mengambil peran
untuk membantu. Para pemuda biasanya mengambil bagian di
luar rumah, seperti memasang tenda untuk tempat memasak
dan juga kegiatan pembersihan tempat acara. Sedangkan para
pemudi biasanya mengambil bagian untuk membantu bagian
domestik. Seperti membantu memasak, membersihkan bagian
dalam rumah, dan juga merangkai ranub bersama. Tanpa adanya
aturan tertulis para pemuda pemudi sudah tau apa yang menjadi
tugasnya. Sehingga kegiatan muda-mudi di Gampong Baro Paya
cukup aktif untuk membangun pola interaksi diantara mereka.
2.15. Sistem Kekerabatan Masyarakat Baro Paya
Hubungan kekerabatan yang digambarkan dengan
bentuk-bentuk hubungan yang terbina dan interaksi yang
tercipta dimasyarakat.

53

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2.13.
Pohon Kekerabatan Masyarakat Aceh
Sumber: Meuketop, Aceh on History and Culture, 2011

Istilah nama/panggilan kekerabatan masyarakat:


ego = orang yang jadi pokok pembicaraan.
ac = bang, tumuda, pelem
a = lem, bang, adeun
b = pe, da, kak
c = uerung rum oh
c dan d = adek, adoi
la = ayah, du, abu, abah, bapak
l a l = ayahwe, teungkuwa
Ia2 = wa, makwa
Ia3 = makcut, teh, cut po
Ia4 = ayahcut, ayahlot, ayah eek, apa
lb = mak, nyak, ma
l b l = makwa, nyakwa, wa
1 b2 = ayahwa
54

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Ib3 = ayahcut, pacut, ayah lot


Ib4 = makcut, teih, maklot (A), mencut
2 a = nek gam, tu, ayah, nek, nek tu
2al = nek, nekwa (A)
2a2 = nekwa, wa
2a3 = nek lot, nek
2b - 2b 1 = nek
2al-2a5 = panggilan sama seperti dengan pihak ayah.
3a dan 3b = nek nyang
l y 1-1 y3 = aneuk keumun
g = meulintei
2zl-2z2 = cuco
3f 1 -3f3 = eet
Sistem kekerabatan masyarakat Gampong Baro Paya sama
dengan masyarakat Aceh pada umumnya. Tidak ada ketentuan
khusus dalam pernikahan, dan beberapa istilah untuk memanggil
orang-orang yang dituakan sama dengan beberapa daerah lain di
Aceh. Kekerabatan masyarakat gampong yang sangat erat,
terlihat dari bagaimana mereka membentuk pola perkawinan
yang akan dijelaskan dalam sub bagian berikutnya.
Panggilan yang digunakan untuk memanggil orang yang
lebih tua atau yang dituakan dalam keluarga tidak berlaku kaku.
Seperti misalnya panggilan untuk abang yang ada dalam
beberapa panggilan. Pemahaman yang sama juga diberlakukan
ketika akan memanggil anggota keluarga yang lainnya. Tidak ada
panggilan kaku ataupun tetap, biasanya satu panggilan yang
berbeda sering terdengar walaupun dengan maksud yang sama.
2.16. Perkawinan dan Hubungan Muda-Mudi
Secara keseluruhan, perkawinan ataupun pola pernikahan
yang terjadi di Gampong Baro Paya adalah pernikahan endogami.

55

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pernikahan endogami sendiri merupakan pernihanan yang


berlangsung dalam satu etnis/kelompok yang menempati satu
lokasi yang sama. Bahkan karena seringnya terjadi pernihakan
endogami ini. Hubungan kekerabatan antara satu sama lain
sangat dekat.
Pernikahan ataupun perkawinan yang berlangsung di
masyarakat terjadi pada umur 17 tahun ke atas. Rata-rata setelah
menyelesaikan pendidikan formal di bangku Sekolah Menengah
Atas. Prosesi lamaran di lakukan oleh Seulangke, atau yang
disebut sebagai mak comblang untuk datang melamar sang gadis.
Orang tua akan menyebutkan berapa mayam yang diinginkan
oleh keluarga untuk menyepati dengan pihak mempelai laki-laki.
Mayam yang dibayarkan pun ada yang langsung lunas dibayar,
dan ada juga yang dibayar dengan cara dicicil. Ada beberapa hal
yang menyebabkan turunnya mayam seorang gadis, yaitu apabila
gadis kepergok oleh masyarakat gampong sedang berduaan
dengan pasangannya. Biasanya kasus seperti ini biasanya akan
diselesaikan dengan peraturan qanun yang ditetapkan dan
disepakati bersama oleh masyarakat gampong. Hal ini biasanya
menjadi momok para orang tua yang memilki gadis. Seperti
penjelasan pada bagian yang sebelumnya, dimana orang tua
mencoba membentuk kepribadian anak perempuan mereka
dengan mengupayakan agar anak perempuan mereka ikut dalam
dayah yang afda di gampong, dengan harapan anak tersebut
tidak akan melakukan pelanggaran fatal terkait moral.
Anak lelaki dewasa biasanya akan terlibat dalam
pengawasan hubungan muda-mudi gampong. Bagi mereka yang
memilki adik ataupun kakak yang masih lajang, wajib menjaga
dan memperingatkan saudara perempuan mereka untuk tidak
melakukan pelanggaran moral. Kesepakatan yang mereka buat
adalah akan melakukan peringatan dengan membawa masalah

56

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

tersebut ke tangan keucik dan juga para pemuka gampong


seperti tengku dan juga tuha peut.

Gambar 2.14.
Pernikahan Pada Masyarakat Baro Paya
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Gambar 2.15.
Pemberian wali nikah antara orang tua dan Bapak Tengku
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

57

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

2.17. Mayam Simbol Penghargaan terhadap Gadis


Mayamatau dalam bahasa lainnya merupakan mas kawin
yang pembayarannya disepakati oleh kedua belah pihak kedua
mempelai. Mayam berwujud emas murni yang akan diberikan
kepada si gadis sebagai lambang cinta dan penghargaan. Mayam
bisa besar dan juga kecil. Hitungan satu mayam setara dengan 3
gram emas, bentuk emas yang diberikan adalah jenis perhiasan.

Gambar 2.16.
Ranub Meuh, yang berisi emas beberapa mayam
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Mayamakan semakin besar jika gadis tersebut adalah


gadis yang berasal dari keluarga terpandang dan juga gadis yang
memilki pendidikan tinggi. Cara untuk memberikan mayam juga
berbeda-beda, ada yang memberikan mayam secara kontan pada
saat pernikahan tetapi ada juga yang memberikan mayam dalam
bentuk hutang/ cicilan (emas tidak langsung diberikan), kedua
cara ini dilaksanakan tetap dengan kesepakatan. Pandangan
58

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

sosial dari pemberian mayam tersebut juga memberikan


pemahaman bagi kaum perempuan bahwa mereka akan dibayar
sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keluarga mereka.
Ketentuan adat dalam hal pernikahan ini tidak banyak
mengalami perubahan. Mayam tetap digunakan sebagai penentu
untuk melihat keberadaan seorang gadis yang akan disunting
oleh seorang pria.

Gambar 2.17.
Penyerahan emas beberapa mayam kepada calon mempelai wanita,
pada saat lamaran
Sumber: Dokumentasi Peneliti. 2014

2.18. Sistem Pengetahuan


Sistem
masyarakat,
pengetahuan
penggunaan

pengetahuan yang hidup dan berkembang di


tak terlepas meliputi seluruh aspek. Baik itu
dalam wujud nyata yang di tunjukkan dalam
alat untuk aktifitas sehari-hari, maupun

59

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

pengetahaun yang berbentuk ide ataupun gagasan yang


digunakan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Salah satu sistem pengetahuan masyarakat Gampong Baro
Paya mempercayai konsep sehat sakit. Misalnya sakit yang
diakibatkan oleh gangguan jin dan burong. Sakit seperti ini
biasanya hanya sembuh dengan melakukan pengobatan dengan
merajah. Ataupun melakukan kemalon (meramal dengan
menggunakan daun sirih), untuk mengetahui sumber sakit yang
diderita.
Sehat menurut masyarakat apabila tubuh dapat memakan
segala jenis makanan, dan masih bisa merokok (khusus untuk
merokok merupakan konsep sehat yang dianut oleh sebagian
besar kaum lelaki yang ada diGampong Baro Paya).
Sakit merupakan kondisi tubuh yang sudah tidak dapat lagi
melakukan aktifitas keseharian, tidak dapat memakan makanan
yang disukai, dan banyak mengalami kegelisahan. Sakit juga
diartikan dengan adanya gangguan dari makhluk halus yang
memilki tujuan jahat untuk orang yang bersangkutan, bisa dibuat
oleh orang lain, atau terjadi dengan sendirinya.
Konsep sehat dan sakit memperlihatkan bagaimana
masyarakat memandang kondisi sehat dan sakit yang ada pada
dirinya dan juga keluarganya. Konsep sehat sakit juga
memperlihatkan bagaimana efektifitas tenaga kesehatan yang
ada di lingkungan tempat tinggal mereka. Tak jarang tenaga
kesehatan menjadi alternatif pilihan ke 2 ataupun ke 3 setelah
mereka melakukan pertolongan kesehatan dengan menggunakan
tenaga dukun ataupun tengku untuk menyembuhkan sakit yang
diderita.
Konsep kotor yang dipahami masyarakat sangat beragam,
tak jarang pertanyaan ini mengundang rasa aneh dari informan
yang diwawancarai. Secara keseluruhan masyarakat memberikan
informasi jika konsep kotor yang mereka pahami adalah ketika

60

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

banyak sampah yang ada dipekarangan rumah, rumput yang


tumbuh liar, mencuci pakaian tidak menggunakan sabun dan
badan yang mengeluarkan bau tidak sedap juga merupakan
bagian dari konsep kotor yang banyak di jelaskan masyarakat.
Sedangkan untuk konsep bersih diartikan sebagai kondisi
rumah yang terta dengan baik, alat-alat masak yang dicuci
dengan menggunakan sabun dan tidak adanya debu yang
menempel di akca rumah. Pemahaman sederhana tersebut
sangat tergambar dari setiap jawaban yang diberikan.
Tidak ada pendidikan khusus yang diberiakn oleh orang
tua kepada anaknya terkait konsep bersih dan kotor. Larangan
tidak pernah diberikan untuk memperingatkan kepada anak apa
yang boleh dilakukan di sekitar lingkungan tempat tinggal
mereka. Cara buang air besar yang dibiasakan untuk dilakukan di
luar rumah, atau di pekarangan sekitar rumah mulai dilakukan
ketika anak berumur kurang lebih dua tahun.

Gambar 2.18.
Fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) umum milik warga.
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

61

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar di atas memperlihat keadaan yang secara nyata


terlihat kotor tetapi tidak masuk dalam konsep kotor dari
masyarakat. Perbedaan tersebut tidak bisa disalahkan karena apa
yang terlihat kotor tersebut sudah menjadi bagian dari rutinitas
masyarakat. Seperti misalnya mencuci di tempat terbuka dengan
menggunakan air dari alue yang berwarna kecoklatan,
meletakkan air untuk konsumsi dalam wadah yang tidak bersih.
Dan juga WC umum yang tidak dibersihkan.

Gambar 2.19.
Wadah Penyimpanan Air Minum.
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Sama dengan konsep kotor dan dingin yang dipercayai


masyarakat, konsep panas dan dingin juga memiliki beragam
pengertian yang berbeda-beda. Konsep panas merupakan
pemahaman jika tubuh terserang demam, dan pada saatitu pasti
tubuh sudah terserang suatu penyakit. Jenis penyakitnya
beragam, ada penyakit yang disebabkan karena sesuatu yang
gaib hingga penyakit yang dikarenakan kurangnya daya tahan
tubuh seseorang masyarakat menyebutnya sebagai barah.

62

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Gambar 2.20.
WC Umum di salah satu lokasi di Gampong Baro Paya
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Sedangkan untuk konsep dingin diartikan sebagai suatu


kondisi ketika tubuh merasakan menggil yang berlebihan hingga
lemas. Bisa dikarenakan cuaca ataupun penyakit yang menyerang
tubuh seseorang. Adanya anggapan jika sudah menggigil maka
orang tersebut terserang penyakit malaria. Penyakit malaria
merupakan jenis penyakit endemis yang sering menyerang
warga. Aktifitas sebagian warga yang masih sering mengunjungi
hutan, membuat jenis penyakit ini mudah menyerang warga.
Konsep panas dan dingin digambarkan dengan sangat jelas
dengan penyakit yang diderita. Sehingga jika masyarakat
menderita panas yang berlebih maka ia masuk dalam katagori
sakit, sedangkan jika ia mengalami dingin yang berlebihan juga
merupakan indikasi terjangkit penyakit malaria.

63

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

2.19. Pengetahuan Obat Tradisional


Penggunaan sirih sebagai penyembuh dari beberapa jenis
penyakit terus berlangsung dan telah menjadi suatu kebenaran.
Ternyata selain sirih perpaduan penggunaan daun-daun lainnya
untuk mengobati penyakit juga terjadi.
Obat tradisionalon ranub(sirih yang sudah dicampur
dengan kapur, gambir dan cengkeh ataupun tembakau)
dipercaya dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tetapi
tidak lupa dipadukan dengan mantra yang diucapkan dengan
menggunakan bahasa kitab arab yang dicampur dengan bahasa
Aceh .
Selain penggunaan sirih sebagai bahan penyembuh dari
beberapa jenis penyakit. Masyarakat juga mempercayai adanya
penggunaan daun sirsak (Annona Muricata,L). Dalam istilah
bahasa Aceh ini masyarakat menyebutnya sebagai daun buah
durian belanda. Khasiat daun ini dipercaya dapat menyembuhkan
penyakit panas bagi orang yang menderita panas. Daun ini juga
dipercaya dapat menjauhkan seseorang dari gangguan makhluk
halus yang akan menganggu. Penggunaan daun durian belanda
digunakan dengan metode meramasnya, dan disapukan pada
bagian tubuh yang panas.
Selain dua tanaman obat tradisional tersebut ada lagi
penggunaan obat tradisional dengan menggunakan daun pisang
idi. Daun pisang idi dimanfaatkan untuk menyembuhkan penyakit
perut, yang diderita anak-anak ataupun orang tua.
2.20. Pengetahuan Masyarakat Mengenai Ranub
Dalam bahasa Aceh, ranub berarti sirih (Piper betle,sp).
Sirih mendapatkan kedudukan yang tinggi sebagai lambang
kehidupan dalam masyarakat Aceh. Seperti pada falsafah hidup
masyarakat Aceh yang berarti Pemulia ware ranub lampuan,

64

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

mulia rakan mameh suara. Falsafah hidup yang dipegang kuat


oleh seluruh masyarakat Aceh berpengaruh terhadap apa yang
diyakini oleh masyarakat Aceh tersebut. Sehingga apa yang
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari sangat erat dalam
menggunakan ranub.
Dalam sejarah ranub sendiri di tanah Aceh, berdasarkan
informasi yang didapatkan sudah ada sejak jaman nabi, dan rajaraja yang ada di seluruh kawasan Aceh terutama yang ada di
Aceh Barat sudah mengunyah sirih sebagai lambang kemuliaan
yang sangat diyakini bersama.
Berdasarkan alasan ini masyarakat menganggap sirih
memiliki kemuliaan. Sehingga setiap aktifitas dalam kehidupan
mereka selalu menggunakan sirih sebagai lambang kemuliaan.
Beberapa kegunaan ranub yang sangat erat dalam
kehidupan masyarakat:
Lambang Kemuliaan;
Pemulya Jamee;
Pinangan (disertakan pada saat akan meminang gadis);
Ranub juga menempati peranan yang cukup penting dalam
sistem daur hidup (life cycle) masyarakat Aceh;
Ranub menjadi makanan wajib saat acara Adat siklus kehidupan;
Penyembuh dari sakit fisik maupun ghaib.
2.21. Sistem Bahasa
Bahasa Aceh menjadi bahasa keseharian yang digunakan
oleh masyarakat. Tidak banyak perbedaan bahasa Aceh yang
digunakan oleh masyarakat yang tinggal di Gampong Baro Paya,
dengan masyarakat Aceh yang tinggal di kawasan Aceh lainnya.
Perkenalan bahasa daerah sudah terjadi sejak anak berusia 2
tahun. Dalam observasi yang dilakukan, seorang ibumemberikan
perintaj kepada anaknya yang masih berusia balita dengan

65

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menggunakan bahasa Aceh, dan anak yang telah dapat berbicara


akan dengan mudah menjawab dan melaksanakan perintah yang
diberikan oleh orang tuanya.
Beberapa contoh bahasa:
Jeut : Bisa
Hana : Tida Ada
Na : Ada
Pakon : Kapan
Kiban : Bagaimana

Gambar 2.21.
Interaksi Sosial Masyarakat
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Penggunaan bahasa Aceh dalam aktifitas keseharian


masyarakat terjadi di ruang formal, seperti sekolah dan
pemerintahan. Komunikasi lebih berjalan baik ketika bahasa yang
digunakan adalag bahasa Aceh. Bahkan berdasarkan pengalaman
yang didapatkan, keternukaan informasi yang disampaikan
didapatkan ketika tim peneliti menggunakan bahasa Aceh.

66

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Gambar 2.22.
Interaksi Sosial Anak-Anak Gampong (Bermain Bersama)
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Bahasa Konflik
Pada tahun 1998 hingga masa konflik berlangsung di Aceh
secara keseluruhan. Masyarakat yang tinggal di Gampong Baro
Paya pun tidak lepas dari pengaruh konflik yang terjadi. Misalnya
masyarakat Aceh Barat secara umumnya dan masyarakat
Gampong Baro Paya pada khususnya. Sebagian besar masyarakat
yang tinggal di Baro Paya harus mengungsi ke daerah pedalaman
agar tidak mendapatkan terror dari pihak-pihak yang bertikai
pada masa itu.Perpindahan masal pun terjadi di tahun 19981999, banyak anak-anak yang meninggalkan bangku sekolahnya,
dan banyak orang tua yang meninggalkan lahan pertanian yang
mereka miliki karena merasa jiwanya terancam. Perpindahan ini
bukan hanya mengubah sikap dan kondisi mental masyarakat
pada masa itu, tetapi juga mengubah cara mereka untuk
menggunakan bahasa-bahasa yang dapat menimbulkan
pertikaian. Penggunaan bahasa daerah yang benar-benar harus

67

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dijaga, karena bagi sebagian kelompok yang bertikai itu akan


menimbulkan kematian.
Hadirnya bahasa konflik di tengah-tengah mereka
memberi pengaruh dalam proses komunikasi yang berlangsung.
Kata Gam misalnya tidak akan digunakan lagi untuk memanggil
anak laki-laki, karena akan mengakibatkan salah pemahaman dan
jika itu di dengar oleh para aparat yang sedang beroperasi di desa
tersebut, maka akan menimbulkan makna ganda. Yaitu Gerakan
Acah Merdeka, dan dapat menyebabkan kecurigaan.
Bahasa konflik ini sedikit banyak menjadi perhatian khusus
di masyarakat pada saat itu. Perhatian khusus dari masyarakat
terkait penggunaan bahasa konflik yang digunakan.
2.22. Sistem Kesenian
Kesenian merupakan wujud dari sisitem pengetahuan yang
terlihat jelas di gampong ini. Aktifitas menari merupakan salah
satu dari sistem kesenian yang ada. Anak-anak merupakan aktor
yang berperan besar dalam melestarikan seluruh wujud dari
sistem kesenian yang berupa tarian khas Suku Aceh. Sebuah
sanggar sederhana yang didirikan oleh istri dari bapak sekretaris
desa, terus memfasilitasi keinginan anak-anak remaja puteri
tersebut untuk melestarikan sistem kesenian berupa tarian
daerah tersebut.
Tarian Ranub Lampuan
Beberapa tarian khas yang masih terus dilaksanakan untuk
menyambut tamu dan pengantin adalah tarian Ranub Lampuan
Tarian Ranub Lampuan merupakan tarian yang
melambangkan penghormatan. Biasanya tarian ini dibawakan
untuk menyambut tamu kehormatan, pada saat pesta
pernikahan, dan juga acara-acara adat lainnya yang

68

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

memperlihatkan besarnya apresiasi terhadap tamu. Tarian ini di


bawakan dengan menggunakan sajian ranub (sirih) yang telah
dibalut dengan pinang, kapur dan juga gambir. Dibawakan oleh 57 orang anak, tarian ini memperlihatkan gerakan yang sangat
lembut dan lemah gemulai.
Tarian Seudati
Selain dari tarian ranub lampuan, tarian lainnya yang juga
dipelajari di sanggar sederhana binaan istri bapak sekretaris
gampong ini adalah tarian seudati. Tarian seudati memiliki makna
sebagai tarian mufakat, dimana masyarakat Aceh lebih suka
menyelesaikan masalah dengan bermufakat.
Tarian seudati berbeda dengan tarian ranub lampuan.
Tarian yang menampilkan gerakan penuh semangat ini, diyakini
berasal dari kawasan pidie, dan pada awal perkembangannnya
banyak di tampilkan di Aceh Utara dan juga Aceh Timur, namun
sekarang tarian seudati banyak ditampilkan dan dipelajari seluruh
daerah di Aceh.
Tarian Seudati tidak menggunakan musik, tetapi syarir
yang langsung dibawakan dengan irama tertentu. Tarian seudati
biasanya dibawakan oleh 5-7 orang penari, yang secara
keseluruhan merupakan laki-laki. Tetapi di gampong Baro Paya,
tarian seudati juga dipelajari oleh anak perempuan. Tarian
seudati juga sering ditampilkan pada acara adat yang
dilaksanakan. Tetapi kelompok tari anak yang ada di gampong
lebih banyak menampilkan tarian Ranub Lampuan di setiap
kegiatan yang mereka hadiri.
Tari Keuneubah Endatu
Tarian keneubah endatu merupakan salah satu tarian yang
diajarkan kepada anak-anak di Gampong Baro Paya. Tarian jenis
ini tidak sering di bawakan oleh anak-anak. Biasanya anak-anak

69

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

hanya melakukan latihan saja di rumah isitri bapak sekretaris


desa, tetapi untuk menampilkan tarian jenis ini tidak sesering
tarian Ranub Lampuan.
Filosofi tarian ini merupakan
berdasarkan informasi yang didapatkan merupakan tarian yang
berawal dari perlawanan akan suatu hal yang dianggap tidak
sesuai dengan apa yang diinginkan khalayak ramai. Tarian ini
tidak ditampilakan sebagai wujud kritik budaya yang disampaikan
dengan tarian. Tujuan tarian ini adalah untuk mencapai kata
sepakat, agar dapat menjalankan kehidupan sehari-hari dengan
aman sentosa.
Sistem kesenian yang ada di Gampong Baro Payatidak
hanya berupa aktifitas tari-tarian. Tetapi juga teknik merangkai
ranub untuk upacara-upacara tertentu, misalnya pernikahan,
pinangan/lamaran. Kesenian merangkai bunga ranub sebagai
wujud dari budaya, bukan hanya dihadirkan sebagai pelengkap
dalam prosesi lamaran, pernikahan ataupun kematian yang ada
di masyarakat. Tetapi lebih kepada nilai keutamaan ranub
sebagai lambang kemuliaan yang sangat dijunjung tinggi oleh
masyarakat.

Gambar 2.23.
Latihan Tari Anak (kiri), pertunjukkan pentas tari (kanan)
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014.

70

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Kesenian Merangkai Sirih/ Ranub


Sirih/Ranub yang memiliki nilai keistimewaan yang tinggi
di masyarakat Baro Paya, juga terlihat dari seni merangkai sirih
yang mereka pertahankan dan lestarikan. Sirih ataupun ranub
dibentuk dengan desain yang berbeda-beda. Misalnyanya saja
ranub yang berbentuk seperti ikan, naga, tak terlepas dari makna
yang terdapat didalamnya.
Ranub yang berbentuk seperti naga misalnya,
melambangkan ikatan suami dan istri yang tidak akan terlepas
oleh apapun kecuali kematian. Sedangkan ranub yang berbentuk
ikan diyakini dapat memberikan ketenangan dan kemakmuran,
seperti ikan.

Gambar 2.24.
Seni Merangkai Ranub Meuh (Mas)
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014.

2.23. Sistem Mata Pencaharian


Sebelum munculnya perkebunan kelapa sawit besar di
gampong ini, masyarakat masih menggantungkan hidupnya
dengan mencari hasil hutan dan membuka area pertanian.
Kehidupan pada masa ini dirasakan sangat sulit oleh masyarakat.
Bahkan sebagain besar kaum lelaki pada masa itu pergi mencari

71

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

rezeki hingga ke luar gampong untuk memenuhi kebutuhan


hidup sehari hari.
Sedangkan untuk kaum perempuan tidak banyak yang
melakukan pekerjaan untuk membantu para suami mencari
nafkah. Perempuan ataupun kaum ibu banyak melibatkan diri
untuk kegiatan domestik rumah tangga. Mencuci, memasak, dan
melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kebutuhan rumah
tangga. Kondisi ini berangsur mengalami perubahan sejak di awal
tahun 1990-an, dimana dua PT besar masuk dan beroperasi di
wilayah gampong.
Masyarakat berpendapat bahwa keberadaan PT tersebut
cukup membantu kondisi ekonomi di banyak rumah tangga. Para
suami yang dahulu hanya memanfaatkan hasil hutan untuk dijual,
kini mulai dapat meningkatkan taraf hidup dengan bekerja di dua
PT tersebut. Bahkan banyak yang menjadi pegawai tetap di PT
sebagai pengelola afdeling yang ada di PT.Perkebunan Mapoli
Raya.

Gambar 2.25.
Aktifitas membelah pinang.
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

72

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Berdasarkan informasi yang didapatkan terjadi pergeseran


sistem mata pencaharian masyarakat yang tinggal di Baro Paya.
Dimana dahulunya mata pencaharaian masyarakat hanya
melibatkan kaum lelaki, dan kaum perempuan hanya mengurusi
hal domestik saja, seperti memasak,mencuci dan mengurus anakanak. Tetapi setelah hadirnya PT. Mapoli Raya di sekitar tempat
tinggal mereka sekitar tahun 1990 an. Setelah hadirnya PT.
Mapoli Raya, kaum perempuan pun memilki rutinitas yang tidak
kalah padat dengan kaum lelaki. Misalnya dengan bekerja di
PT.Mapoli sebagai buruh lepas pembabat rumput dengan upah
30.000 s/d 50.000 per hari.
Selain itu remaja yang telah menyelesaikan pendidikan
formal di bangku SMA juga ikut bekerja sebagai karyawan lepas
di PT.Mapoli Raya sebagai penjaga malam. Luasnya area
perkebunan mengakibatkan tingginya permintaan kerja.
Selain PT.Mapoli Raya, di kawasan Gampong Baro Paya
juga terdapat PT.Horas yang berkecimpung pada penyaluran
bahan material bangunan, seperti batu alam, pasir dan juga batu
kerikil. Keberadaan PT.Horas ini juga menarik jumlah pekerja
yang berasal dari lingkungan masyarakat Gampong Baro Paya.
2.24. Sistem Teknologi dan Peralatan
Sistem teknologi dan peralatan merupakan rangkaian dari
tujuh unsur kebudaayan yang memperlihatkan benda ataupun
cara yang digunakan ataupun diciptakan untuk memudahkan
masyarakat dalam menjalankan aktifitas kehidupan sehari-hari.
Teknologi dan peralatan yang digunakan oleh masyarakat
Baro Paya, dapat dilihat dari beberapa peralatan memasak yang
mereka gunakan. Penggunaan alat-alat memasak tersebut
memperlihatkan pola konsumsi yang terbentuk di masyarakat.

73

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Misalnya saja, belanga dengan ukuran besar yang


tergantung di bagian luar rumah, memperlihatkan aktifitas masak
memasak dalam jumlah besar terjadi di rumah tangga tersebut.
Menurut penjelasan masyarakat, mereka sering melaksanakan
kenduri sepanjang tahun. Memasak makanan kenduri juga tidak
bisa dalam porsi yang sedikit, karena banyak yang akan diundang
dalam acara kenduri tersebut.
Selain belanga dengan ukuran yang besar, ada juga alat
kukuran kelapa yang banyak dijumpai di rumah masyarakat. Alat
kukur kelapa ini dimanfaatkan untuk mengukur kelapa yang
digunakan sebagai bahan campuran untuk memasak. Setiap
menu makanan yang disajikan sering bercampaur santan, baik itu
sayuran dan juga ikan. Masyarakat menyebutnya sebagai kuah
peulemak . Makanan jenis ini merupakan makanan yang bisa
dikatakan cukup favorit di masyarakat.

Gambar 2.26.
Alat kukur kelapa yang ada di setiap rumah.
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Untuk pola konsumsi yang berkembang di masyarakat,


masih memperlihatkan adanya budaya patriaki, dimana makanan
yang dihidangkan harus diutamakan diberi untuk ayah. Misalnya

74

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

saja jika memasak ikan, maka bagian yang utama di berikan


kepada ayah. Sedangkan sisanya baru diberikan kepada ibu dan
anak-anak nya. Cara seperti ini diyakini sebagai wujud
penghormatan kepada ayah sebagai kepala keluarga yang telah
bersusah payah mencari rejeki untuk keluarga, maka wajarlah
ayah mendapatkan bagian yang paling banyak dan paling besar di
bandingkan dengan anggota keluarga lainnya.
Pada saat memakan porsi yang disajikan lebih banyak nasi
dari pada sayuran dan jenis ikan-ikanan lainnya. Nasi dipercayai
dapat membuat perut terasa kenyang lebih lama dibandingkan
dengan tidak memakan nasi.
Hadirnya kukuran kelapa yang hampir digunakan seluruh
rumah tangga. Terciptalah modal sosial dan juga trust. Keduanya
tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan yang ada
di gampong. Seperti misalnya modal sosial juga terbentuk dari
aturan menyumbang kelapa.Seorang yang akan menikahkan
anaknya, akan mengumumkan kepada para kerabat tentang niat
untuk mengadakan hajatan tersebut. Maka keluarga/kerabat
yang memiliki batang kelapa dengan sendirinya menyumbangkan
kepala yang ada di kebunnya untuk acara hajatan tersebut. Ini
berlangsung lama dan sudah menjadi suatu pola dalam prosesi
hajatan yang ada di Baro Paya.
Lonceng Pertanda Kematian
Sistem informasi untuk menyampaikan pesan kematian
yang ada di masyarakat Baro Paya adalah sebuah lonceng.
Lonceng yang berukuran tidak terlalu besar ini, ditempatkan di
samping masjid. Fungsi lonceng ini adalah untuk memberikan
informasi kematian. Biasanya pesan kematian akan lebih cepat
sampai jika lonceng ini dibunyikan. Pertanda kematian akan
berbunyi sebanyak 7 kali jika yang meniggal adalah orang

75

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tua/dewasa, sedangkan jika berbunyi tiga kali maka itu suatu


pertanda jika yang meninggal adalah anak-anak.
Dahulunya lonceng ini juga digunakan untuk memberitahu
jika ada kegiatan gotong royong yang akan dilaksanakan. Tetapi
karena kemajuan teknologi ada pergeseran fungsi alat yang
digunakan untuk penyampaian informasi terkait gotong royong
dan juga informasi-informasi penting lainnya. Sehingga jika yang
berbunyi hanya lonceng maka jelaslah bahwa itu merupakan
pertanda kematian.

76

BAB 3
POTRET KESEHATAN GAMPONG BARO PAYA

Konsep sehat dan sakit yang berkembang di masyarakat


memberikan gambaran bagaimana pandangan masyarakat
terhadap kondisi kesehatan yang mereka yakini. Masih tingginya
kepercayaan terhadap penyakit yang sifatnya gaib turut
mempengaruhi bagaimana cara masyarakat menyikapi sakit yang
deritanya.
Kondisi kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu
gambaran dari masih tingginya kepercayaan terhadap hal gaib
ataupun pola pertolongan kesehatan paska persalinan yang
diturunkan secara adat. Selain itu pengaruh sosial budaya
terbukti dari adanya penggunaan dukun dan juga tanaman obat
untuk menyembuhkan paska melahirkan.
Masyarakat Baro Paya adalah masyarakat yag masih
menjunjung nilai-nilai adat dan budaya dalam kehidupan seharihari. Upaya meliputi kesehatan ibu dan anak berlangsung tanpa
terlepas dari kepatuhan terhadap adat dan budaya yang ada.
Peran aktor yang merupakan bagian dari anggota keluarga ibu
memilki peran penting guna mendukung terciptanya kesehatan
ibu dan anak di masyarakat.
Pantangan yang hadir sebagai wujud dari keberadaan adat
istiadat di tengah masyarakat juga tetap dilaksanakan dan terus
berlangsung sebagai sebuah kepatuhan yang dijalankan guna
mendapat keberkahan selama menjalani masa kehamilan hingga
persalinan kelak. Pemanfaatan obat tradisional yang berupa

77

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

ranub (sirih ) di tengah-tengah masyarakat berawal bukan hanya


dari penggunaannya untuk membantu pengobatan pada saat
kehamilan hingga pada proses persalinan berlangsung, tetapi
juga digunakan untuk makanan dan jamuan yang diberikan
kepada orang lain.
Penggunaan ranub sebagai obat yang digunakan untuk
meramal kondisi sakit seseorang pada akhirnya membentuk pola
pertolongan yang yang akan digunakan untuk menyembuhkan
beberapa jenis penyakit yang ada di masyarakat. Mulai dari
penyakit yang ringan sampai kepada penyakit yang diyakini
bersumber dari kekuatan mistis.
Keberadaan fasilitas kesehatan ditengah masyarakat tidak
serta merta menarik minat untuk melakukan pengobatan
ataupun mengikuti anjuran dari petugas kesehatan yang ada.
Pilihan pertolongan tenaga kesehatan yang diyakini oleh
masyarakat untuk selalu digunakan agar dapat membantu jika
masyarakat dalam kondisi yang tidak sehat, bukan lah menjadi
satu-satunya pilihan yang digunakan. Mengingat hubungan yang
terbina antara masyarakat dengan para pengobat tradisional
yang ada di gampong. Sehingga keefektifan fasilitas kesehatan
yang ada di gampong akan kembali dipertanyakan karena
masyarakat ternyata tidak serta merta mendukung keberadaan
fasilitas kesehatan yang ada di sekitar tempat tinggal mereka
dengan berbagai macam alasan yang menurut mereka benar.
Disisi lain peran tenaga kesehatan yang hidup
berdampingan dengan masyarakat diharapkan dapat membawa
pengaruh baik guna menciptakan kondisi kesehatan yang
kondusif bagi ibu dan anak yang di lingkungan Baro Paya.
Keberadaan fasilitas pendukung juga menjadi bagian yang tidak
terpisahkan untuk menciptakan kondisi sehat dan kondusif di
masyarakat.

78

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

3.1. Mablien dalam Sebuah Tradisi


Bidan gampong hingga saat ini masih terus digunakan
sebagai tenaga penolong persalinan yang lebih banyak digunakan
dari pada bidan desa. Alasan-alasan klasik yang diutarakan atas
pilihan penggunaan dukun gampong masih menjadi jawaban
mayoritas dari kaum ibu dan orang tua yang ada di gampong ini.
Tradisi ataupun apa yang telah menjadi kebiasaan adat
cukup memperkuat alasan klasik yang disampaikan oleh kaum
ibu tersebut. Ritual yang dilakukan oleh bidan gampongdirasakan
mempunyai nilai lebih untuk memberikan keselamatan bagi calon
ibu dan anaknya kelak.

Gambar 3.1.
MaBlin dan Ranub
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Ritual tersebut sudah berlangsung di awal kehamilan,


bukan hanya ibu yang akan bersalin saja yang berhubungan
dengan bidan gampong tetapi juga suami, orang tua dan mertua
yang terlebih dahulu ikut dalam tradisi tersebut. Eratnya
hubungan yang terbina terus berlangsung dari setiap generasi.

79

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Hubungan yang terbina bukan hanya sekedar hubungan antara


pasien dan dan pemberi pelayanan, tetapi lebih kompleks lagi
hingga melibatkan nilai-nilai dan pandangan agama di dalamnya,
maka wajarlah keberadan mablien seperti sebuah mata rantai
kepercayaan adat dan kepercayaan yang tidak tumbuh begitu
saja.

Gambar 3.2.
Ramuan 44 Hari
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Tidak ada alasan untuk tidak meggunakan, karena apa


yang menjadi tanggung jawab keluarga akan dirasakan sempurna
jika telah menggunakan mablien sebagai tenaga penolong
persalinan yang paling pas untuk digunakan. Mablien menjadi
penolong persalinan dipilih sejak kandungan ibu berusia 7 bulan.
3.2. Bidan Desa antara Ada dan Tiada
Pada penjelasan ini tidak ada keinginan dari peneliti untuk
menyudutkan ataupun menilai jelek apa yang telah dan dilakukan
oleh bidan desa sebagai tenaga penolong kesehatan yang
seharusnya digunakan sebagai penolong persalinan yang resmi.
80

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Tidak ada tradisi di dalamnya, tidak ada kedekatan secara


emosional di dalamnya dan nila-nilai agama terasa dingin berlaku
disana. Rasa enggan untuk menggunakan juga menjadi alasan
mengapa
terkadang
alasan-asalan
penolakan
untuk
menggunakan tenaga bidan desa pun disampaikan.
Upaya kemitraan antara dukungampong (mablien) dan
juga bidan desa yang secara teknis sudah dimulai dan terlaksana
namun masih sangat minim ketika akan melihat
implementasinya. Pembagian tugas yang menjadi strategi untuk
dapat lebih mendekatan hubungan kedua penolong persalinan ini
sulit terbina. Bukan hanya itu, tidak adanya dukungan dari
keluarga dan suami untuk menggunakan tenaga penolong lain
selain mablien semakin mengaburkan peran bidan desa.
Tentunya ini masukan yang sangat berarti bagi para tenaga
kesehatan yang ada di daerah, bagaimana alasan-alasan yang
sifatnya lebih kepada tradisi lebih banyak diutarakan sebagai
sebuah keinginan yang harus dipenuhi oleh para penolong
persalinan jika mereka ingin dilibatkan untuk membantu ibu
dalam memberikan pelayanan kesehatan pada saat hamil hingga
persalian tiba.
Mablien menjelaskan: kami pernah datang ke rumah
sakit (puskesmas) disana cuma dikasi sarung tangan dan
gunting, ya kami pakek saja, tapi sarung tangan jarang
kami pakai karena bayi tidak perlu menggunakan sarung
tangan.

Penjelasan dari hasil wawancara ini terlihat jelas bahwa


mablien tidak begitu mendukung mekanisme kerja yang
digunakan oleh bidan desa guna menolong ibu dan bayi pada
proses persalinan. Mereka menolak kemitraan karena menurut
dukun gampong tidak ada yang salah dari apa yang telah mereka
gunakan untuk menolong ibu dan anak pada proses persalianan.
Sehingga apa yang telah diajarkan ataupun mekanisme
81

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

komunikasi yang diupayakan oleh tenaga kesehatan tidak


terlaksana dengan maksimal. Media komunikasi yang dipilih oleh
bidan desa adalah telepon genggam, sedangkan sebagian besar
dukun gampong (mablien) yang ada tidak dapat menggunakan
telepon genggam untuk berkomunikasi dengan para petugas
kesehatan yang ada. Selain keterbatasan penggunaan alat
komunikasi yang dipilih, banyak juga dukun gampong yang tidak
bisa
membaca
ataupun
menulis.
Sehingga
untuk
mengkomunikasikan apa yang dianggap perlu berjalan dengan
tidak efektif.
3.3. Tradis 44 hari Penghambat Pemberian Imunisasi pada Bayi
Tradisi kembali memberikan dan memperlihatkan apa
yang menjadi kekuatannya untuk melindungi dan menjaga ibu
paska persalinan. Pembatasan ruang gerak ibu dan bayi sebelum
mamasuki usia 44 hari masih terus dijalankan. Bayi dan ibu tidak
boleh melakukan aktifitas di luar rumah, karena masih dalam
kondisi kotor (ber-najis), sangat diharamkan, bahkan bumi akan
menangis apabila ini dilanggar, maka tidak ada yang berani untuk
melanggarnya.
Kami tidak boleh keluar rumah,kalau keluar haramlah di
bumi, hanya boleh keluar di dekat-dekat rumah saja,
itupun hanya untuk buang air saja, belum bisa kemanamana, sebelum selesai 44 hari.

Kepatuhan untuk menjalankan tradisi ini akan membawa


banyak manfaat baik bagi ibu dan anak kelak. Mablien dan orang
tua merupakan aktor yang paling menekankan untuk
pelaksanaan ritual ini. Dukungan yang kuat juga diberikan oleh
suami karena suami akan memberikan kekuatan bagi ibu dan
anak untuk dapat menjalankan ritual ini dengan baik dan
sempurna.

82

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Para ibu banyak menjelaskan bahwa tidak ada pemberian


imunisasi pada saat kondisi ini berlangsung, bidan desa pun tidak
akan berani untuk melakukannya. Keyakinan dan pandangan
untuk menjalankan adat dan tradisi sebaik mungkin masih
menjadi kebanggan.
3.4. Apa manfaat imunisasi, jika bayi harus menjadi sakit?
Bagian ini menjadi sangat menarik karena alasan
penolakan terhadap imunisasi masih menjadi hal utama yang
banyak dikeluhkan oleh para bidan desa yang akan melakukan
imunisasi di gampong. Menolak untuk melakukan imunisasi
karena dapat mengakibatkan bayi sakit dan menjadi rewel. Jika
imunisasi menyehatkan mengapa sampai membuat bayi sakit.
Penjelasan untuk hal seperti ini memerlukan pendekatan yang
intensif, karena upaya yang dilakukan oleh para bidan desa
adalah upaya untuk mengubah cara pandang dari para orang tua
dan ayah terhadap pentingnya imunisasi bayi anak dan cucu
mereka. Keluhan berupa sakit demam tidak hanya dapat
diselesaikan dengan memberikan obat penghilang sakit yang
diberikan, karena sakit bukan hanya sekedar meminum obat bagi
para ibu dan orang tua yang memiliki anak. Informan
menjelaskan bahwa ketidakinginan para orang tua untuk
memberikan imunisasi tidak terlepas dari rasa percaya yang
mereka miliki terhadap bidan desa ataupun petugas kesehatan
yang memberikan pelayanan imunisasi bagi anak-anak mereka.
Minimnya kepercayaan yang terbina berdampak pada
kedekatan emosional yang tidak dapat dihindari, antara
masyarakat dan juga petugas kesehatan yang ada di gampong.
Minimnya interaksi yang terbina, menjadikan kekakuan
hubungan antara keduanya. Keterbukaan sebenarnya sulit
diungkapkan. Beragam alasan disampaikan sebagai wujud

83

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

pembelaan yang disampaikan oleh masyarakat terkait minimnya


peran serta mereka untuk terlibat dalam pemberian imunisasi
kepada anak.
Peran kader sebagai perpanjangan tangan dari tenga
kesehatan yang beranggotakan masyarakat gampong sendiri
tidak dapat banyak merubah dalam hal membujuk orang tua
agar mau memberikan imunisasi bagi bayi mereka. Kondisi
seperti inilah yang mengakibatkan cakupan imunisasi tidak
berjalan sesuai dengan target yang direncanakan.
3.5. Posyandu
Pelaksanaan posyandu juga masih menjadi kendala.
Berdasarkan informasi yang didapatkan,wilayah gampong yang
terbagidari tiga dusun yang jaraknya saling berjauhan.
Mengakibatkan salah satu dusun tidak pernah berpartisipasi
dalam kegiatan posyandu yang dilakukan setiap bulannya.
Masyarakat dusun yang berada jauh tersebut sangat
menyayankan kondisi ini, karena keinginan mereka untuk
berpartisipasi terhalang dengan jarak. Sebagaian besar
masyarakat yang tinggal di dusun Alue Gajah tersebut merupakan
para ibu yang aktifitasnya juga banyak dihabiskan di perkebunan.
Mereka akan pulang pada siang hari, sehingga selain faktor jarak,
waktu pelaksanaan posyandu yang juga menjadi kendala bagi
mereka.
Jika posyandu dapat menjangkau wilayah tempat tinggal
maka akan sangat membantu untuk memberikan informasi
kesehatan anak mereka. Kondisi ini masih belum mendapatkan
penanganan khusus dari pihak terkait. Apakah akan ada solusi
untuk dapat menjangkau kegiatan posyandu di dusun yang
jaraknya jauh dari pusat aktifitas gampong tersebut. Tentunya ini

84

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

akan menjadi masukan yang sangat berarti bagi para


penyelenggara kesehatan yang ada di gampong.

Gambar 3.3.
Kegiatan Posyandu Gampong
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Gambar 3.4.
Kegiatan Posyandu Gampong
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

85

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3.5.
Kader Melakukan Penimbangan
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

3.6. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


Penjelasan pada bab sebelumnya banyak menjelaskan
bagaimana kondisi rumah dan penggunaan MCK serta sanitasi
yang ada di Gampong Baro Paya. Penggunaan jamban yang
masih minim, juga ketersediaan air bersih untuk konsumsi
banyak yang belum dimasak bahkan untuk anak, menjadi
gambaran tersendiri terkait kondisi perilaku hidup bersih dan
sehat bagi masyarakat. Perilaku merokok di dalam rumah juga
ditemui dalam penelitian ini.
3.6.1. Air Sumur Bor yang Tidak Dimasak lagi
Air Sumur bor (ie mon, merupakan air yang paling banyak
dikonsumsi oleh masyarakat gampong. Selain PDAM yang

86

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

memang tidak menjangkau, kondisi air tanah yang tidak baik juga
menjadikan air sumur bor menjadi sumber air utama yang
dimanfaatkan untuk masak dan minum sehari-hari. Ada 11 titik
sumur bor yang ada di gampong, 8 diantaranya merupakan milik
bersama, yang pemanfaatannya untuk masyarakat. Kondisi fisik
air sumur bor memang baik, tidak berwarna, berbau ataupun
mengeluarkan busa. Hasil observasi memperlihatkan bahwa
masyarakat beranggapan air tersebut memang benar-benar baik
untuk dikonsumsi. Setiap rumah tangga akan mengambil air
sumur bor untuk konsumsi sehari-hari dengan jumlah yang tidak
sedikit. Tergantung dari jumlah anggota keluarga tersebut.
Setelah mengambil air dari sumur dengan menggunakan ember
ataupun drum berukuran 10 s/d 20 liter, air akan disimpan di
dapur. Wadah penyimpanan air yang beragam terlihat di rumah
tangga. Ada yang menyimpan air dalam ember terbuka, baskom
dan beberapa tempat lainnya yang terbuka. Disekitar tempat
penyimpanan air tersebut tidak jarang ditemukan hewan ternak
berkeliaran, seperti ayam, itik, dan juga kambing yang keluar
masuk rumah bagian belakang.

Gambar 3.6.
Wadah Penyimpanan Air
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

87

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Air yang disimpan dalam wadah ini biasanya akan


dimasukkan kembali ke dalam teko untuk konsumsi sehari-hari.
Air tidak dimasak karena akan membuat rasa air tidak manis
(mameh) lagi.
Air sudah bersih, gak perlu dimasak, nanti jadi gak
manis, kalo dimasak malah sakit perut kami nanti.

3.6.2. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga


Sampahrumah tangga tidak dapat dihindari masih terlihat
di bagian belakang, depan, dan juga bawah rumah (rumah
panggung). Aktifitas membakar sampah jarang terlihat. Selain itu
wadah tempat menyimpan sampah tidak ditemukan di rumah
tangga. Sampah biasanya langsung di buang ke belakang, ke
bawah atau di campakkan ke depan rumah.
Penanganan sampah diserahkan kepada alam, itu yang
dijelakan oleh salah seorang informan.
Biasanya nanti datang petugas kebersihan alam (hujan),
kalau sudah hujan, besoknya pasti sampah akan hilang,
hanyut di bawa air.

Masyarakat tidak pernah mengkhawatirkan jumlah


sampah yang tertumpuk di sekitar tempat tinggal mereka.
Keberadaan sampah juga bukan merupakan masalah besar,
sehingga
tidak
perlu
penanganan
khusus
untuk
membersihkannya. Hanya dengan memanfaatkan air hujan maka
sampah akan hilang dari sekitar tempat tinggal. Upaya
pembakaran sampah dilakukan jika hujan tidak kunjung turun,
tetapi itupun tidak menjadi suatu permasalahan yang berarti,
karena sampah tidak mengganggu karena berada di luar rumah.

88

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

3.6.3. Mandi Cuci Kakus (MCK) dengan Air Sungai (Alue)


Alue atau sungai kecil merupakan sumber air utama yang
tidak kalah pentingnya dengan air sumur bor yang dimanfaatkan
masyarakat. Air sungai dimanfaatkan untuk mencuci baju, piring,
mandi dan juga buang air besar. Kondisi ini sudah berlangsung
sejak dahulu, bahkan informan menceritakan, bahwa air sungai
(Alue) juga merupakan sumber air yang juga digunakan untuk
memasak dan minum. Namun karena keberadaan PT.Perkebunan
yang banyak mengubah kondisi alam gampong, pemanfaatan air
sungai untuk minum dan masak tidak lagi terjadi.
Kondisi fisik air yang berubah membuat masyarakat takut
dan khawatir untuk mengkonsumsinya.
Aktifitas MCK dengan menggunakan air air sungai tetap
berlangsung karena sebagian besar masyarakat gampong tidak
memiliki MCK pribadi di dalam rumah. Membangun MCK tidak
dapat dilakukan karena rumah yang dimiliki masih dalam bentuk
rumah panggung. Selain itu anggaran yang harus dikeluarkan
untuk membangun MCK pribadi di rumah dirasakan mahal,
berkisar 4-7 juta rupiah tergantung dari besar yang diinginkan.
Maka jika ingin membangun MCK lebih baik membangun rumah
terlebih dahulu di atas tanah, baru membangun MCK.
Pendapat lain dari informan menjelaskan bahwa
menggunakan alue untuk buang air besar merupakan sebuah
tradisi tersendiri yang dirasakan sulit untuk dihilangkan. Tua,
muda, dan juga anak-anak sudah terbiasa menmbuang hajat di
alue. Karena jika membuang hajat di alue memiliki kenikmatan
tersendiri dan tidak perlu repot untuk menganggkat air ke WC.
3.6.4. Membiasakan Anak Mandi dan Buang Air di Alue
Anak diajarkan untuk mandi dan buang air besar di alue.
Jika anak usia balita ingin buang air besar, maka orang tua

89

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

mengajarkan anaknya untuk bersama-sama pergi ke bagian


belakang rumah. Orang tua kemudian menyuruh anaknya untuk
buang air besar langsung di atas tanah, dan jika telah selesai
orang tua hanya akan menggali tanah sedikit di sekitar kotoran si
anak dan menutup kotoran tersebut dengan tanah. Cara ini
dirasakan efektif karena tidak perlu mengajak anak yang masih
berusia balita untuk buang air besar di alue. Tetapi membuang
kotoran di sembarang tempat telah diajarkan ketika anak
tersebut berusia balita.
Setelah anak beranjak besar dan memiliki teman
sepermainan, orang tua membiarkan anak-anaknya untuk mandi
di alue bersama dengan teman-temannya.
Anak-anak biasanya akan merasa sangat senang ketika
telah mandi di alue bersama dengan teman-temannya. Tak
jarang juga terlihat kondisi kulit yang tidak sehat seperti gatalgatal dan juga luka. Penyakit kulit atau dalam bahasa lokal
disebut sebagai glase dianggap sebagai penyakit yang tidak
dalam katagori membahayakan. Cukup dengan menggunakan
daun sirih (ranub) untuk menyembuhkan penyakit ini.
Daun sirih (ranub) selalu digunakan untuk menyembuhkan
penyakit gatal-gatal yang sering diderita anak-anak dan juga
orang dewasa. Kondisi seperti ini sudah lama diamali masyarakat.
Semenjak air mulai tercemar dengan pupuk dan juga pembasmi
hama yang digunakan di perkebunan, keluhan gatal-gatal di kulit
apabila mandi dengan air sungai sering terjadi.

90

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Gambar 3.7.
Ibu yang Mencuci di Sungai (Alue)
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Gambar 3.8.
Anak- Anak Mandi si Sungai (Alue)
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

91

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3.9.
Wadah untuk Mencuci
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Gambar 3.40.
Tempat Mandi di Pinggir Alue
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

92

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

3.7. Budaya Sehat Mengkonsumsi Ranub


Ranub (sirih) merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari aktifitas keseharian masyarakat gampong. Penggunaan sirih
disetiap kegiatan yang dilakukan memperlihatkan bahwa sirih
sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat. Sirih bukan hanya
digunakan sebagai lambang kemuliaan, tetapi sirih juga
dikonsumsi tak beda halnya dengan makanan selingan.
Orang yang mengkonsumi sirih tidak terbatas usia. Jika
dahulu sirih hanya milik orang tua, tetapi sirih yang digunakan
sekarang sudah menjadi trend untuk dikonsumsi di kalangan
muda mudi. Sirih dimodifikasi dengan campuran kacang tanah
yang ditumbuk hingga halus. Salah satu gampong yang ada di
kecamatan lain menjadi tempat penjualan sirih terkenal. Banyak
masyarakat yang menyukai sirih yang diraciknya.
Selain sirih yang dimakan sebagai lambang pergaulan,
sirih juga selalu digunakan untuk upaya penyembuhan oleh
masyarakat. Kunyahan sirih merupakan cara paling mulia
menggunakan sirih sebagai upaya penyembuhan. Air kunyahan
dianggap memilki khasiat khusus yang dapat memberikan
penyembuhan bagi bermacam penyakit yang ada. Sehingga
kemuliaan sirih terus mewarnai kehidupan masyarakat dalam
balutan tradisi yang sangat kental dan mengikat.
Sirih (Ranub) sebagai Makanan Jajanan
Sirih yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit juga
digunakan sebagai makanan jajanan yang digemari. Ranub masak
masyarakat menyebutnya. Ranub masak merupakan jenis ranub
yang dijual dengan mencampurkan kacang tumbuk, pinang,
gambir dan juga kapur. Ranub jenis ini paling digemari muda
mudi karena rasanya yang enak dan juga gurih.
Ranub masak juga disebut sebagai ranub pergaulan.
Apabila anak muda duduk-duduk dan berkumpul maka ranub

93

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

jenis ini dibeli dan di makan beramai-ramai. Selain ranub yang


dijual dan dengan campuran lainnya, para orang tua (nenekkakek) juga mengunyah sirih yang diracik sendiri. Ranub yang
dikonsumsi dengan jenis ini akan dipadukan sesuai dengan selera
orang yang akan memakannya. Ada yang suka jika ranub jenis ini
dicampur dengan pinang dan kapur saja, tanpa mencampurkan
dengan bahan campuran lainnya. Tetapi ada juga yang
mencampurkan ranub dengan dengan tembakau ataupun hanya
menggunakan kapur sirih dan pinang saja. Mengkonsumsi ranub
dengan cara di kunyah (mamoh) dirasakan banyak memilki
manfaat karena banyak khasiat kesehatan yang didaptkan
dengan mengkonsumsi ranub.

Gambar 3.41.
Ranub Masak (kiri) dan Ranub Untuk Bayi (kanan)
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

3.8. Penyakit Menular


Kasus penyakit menular yang ada di Gampong Baro
Payaberdasarkan informasi yang sampaikan oleh puskesmas
adalah TB dan Malaria, dan penyakit kulit yang disebabkan oleh
pemakaian air yang tidak bersih.

94

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

3.8.1. Tuberculosis
Seseorang yang mengalami batuk panjang yang juga
disertai dengan darah bagi masyarakat merupakan salah satu
penyakit yang terjadi karena hadirnya pengaruh jahat (serbuk).
Penyakit serbuk tersebut memiliki ciri yang sama dengan
penyakit TBC, tetapi ada informasi yang didapatkan, jika orang
yang memberikan penyakit serbuk tersebut benar-benar tidak
menyukai musuhnya, maka orang yang menjadi musuhnya
tersebut akan mati dalam waktu yang singkat dengan terus batuk
dan mengeluarkan darah segar.
Jika sudah sampai mengeluarkan darah segar ketika batuk
maka orang tersebut akan langsung meninggal. Masih kentalnya
kepercayaan masyarakat akan pengaruh serbuk, berpengaruh
kepada peran aktif masyarakat untuk langsung memeriksakan
kondisi batuk yang mereka derita ke petugas kesehatan.
Masyarakat langsung memilih tenaga pengobat tradisional untuk
menyembuhkan penyakitnya yang diyakini karena adanya
gangguan dari makhluk gaib, ataupun kekuatan mistis lainnya.
3.8.2. Malaria
Malaria merupakan jenis penyakit yang pernah menjadi
endemis di kawasan Gampong Baro Paya. Kondisi geografi yang
berawa dan juga masih banyaknya kawasan hutan yang terdapat
di sekeliling gampong hingga mengakibatkan nyamuk dari spesies
ini gampang untuk menyerang manusia. Selain itu pola mata
pencarian masyarakat yang kala itu juga masih banyak di hutan
mengakibat malaria semankin merajalela.
Penyakit Malaria pernah menyerang gampong ini, hingga
mengakibatkan kejadian luar biasa pada tahun 2002. Banyak
warga yang menajadi korban, dan hingga saat ini masih ada saja
warga yang menderita malaria. Berdarkan informasi yang

95

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

disampaikan oleh petugas kesehatan, masyarakat sering datang


ke pusksmas dengan keluhan panas menggil di malam hari.
Sebagian masyarakat biasa datang mengunjungi puskesmas jika
pengobatan tradisonal yang mereka lakukan tidak berhasil.
Masyarakat biasanya terlebih dahulu telah melakukan
pengobatan alternatif seperti merajah dan juga kamalon
(meramal). Metode ini dilakukan untuk mengetahui sumber
penyakit yang berasal apakah berasal dari gangguan manusia
ataupun gangguan makhluk halus. Sirih yang digunakan untuk
meramal juga biasanya akan dimakan bersamaan, setelah proses
meramal selesai dilakukan.
Peran tokoh pengobat tradisional yang ada di gampong
turut mempengaruhi metode pemilihan penolong kesehatan
yang dilakuakan oleh masyarakat. Tak jarang puskesmas dipilih
sebagai alternatif terakhir jika metode pengobatan tradisional
yang mereka lakukan tidak kunjung berhasil.Untuk kasus malaria
yang selain dipengeruhi masih tingginya aktifitas masyarakat di
kawasan hutan dan kawasan perladangan, kondisi lain seperti
Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL) dan tempat pembuangan
sampah yang tidak baik juga menjadi salah satu penyebab.
Banyaknya air kotor tergenang di sekitar rawa-rawa rumah
penduduk dan tumpukan sampah yang tidak dibuang pada
tempatnya bagaikan bom waktu yang nantinya dapat
mempercepat pertumbuhan nyamuk penyebab penyakit malaria
tersebut.
3.8.3. Penyakit Kulit/ Gatal-Gatal
Penyakit kulit yang sering menyerang masyarakat di
Gampong Baro Paya merupakan jenis penyakit musiman.
Masayarakat menyebutnya dengan istilah Bungong Nek Ni.
Penyakit ini menyebabkan kulit bentol-bentol dan terasa sangat

96

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

gatal. Penyakit ini sering menyerang anak-anak balita.


Berdasarkan informasi yang sampaikan, penyakit ini mirip dengan
penyakit cacar air/Varicella. Metode penyembuhan yang
digunakan masyarakat adalah dengan membakar kemenyan,
kemudian asap kemenyan akan dikipaskan ke arah orang yang
sakit dengan mantra Ambek Bungong Mu Ini Nek Ni. Mantra
ini wajib disebutkan karena dengan anggapan akan mempercepat
penyembuhan orang yang menderita bungong tersebut.
Kuatnya keyakinan ataupun kognitif masyarakat terhadap
jenis penyakit yang bersumber dari gangguan makhluk gaib,
benar-benar mempengaruhi metode yang digunakan untuk
proses penyembuhan. Selain itu peran orang-orang yang ada di
dalam keluarga juga kembali ikut dalam menentukan mana
metode penyembuhan yang akan digunakan.
3.9. Penyakit Tidak Menular
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh masyarakat,
jenis penyakit tidak menular yang ada di Gampong Baro Paya
adalah penyakit tekanan darah tinggi, kolesterol, rematik dan
asam urat. Beberapa pengakuan tentang penyakit Diabetes
Mellitus juga terdengar dari masyarakat. Berdasarkan data yang
diberikan oleh petugas gizi yang bekerja di Kecamatan
Meutulang. Ada pola konsumsi yang menjelaskan bahwa budaya
patriakat masih sangat kental mendarah di masyarakat. Hal ini
ditandai dengan harus diutamakannya ayah pada saat makan.
Selain itu menu makanan yang selalu menyanyikan santan
kental, dan banyak nya jumlah nasi setiap kali konsumsi
membuat beberapa penyakit yang disebutkan tersebut diderita
oleh masyarakat.
Tetapi kembali lagi metode pengobatan tradisional
menjadi salah satu alternatif yang terlebih dahulu digunakan oleh

97

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

masyarakat yang mengaku pernah mengidam beberapa penyakit


tidak menular tersebut.

98

BAB 4
KESEHATAN IBU DAN ANAK
DALAM BALUTAN BUDAYA

4.1. Kemilau Mulia Perempuan Aceh


Aceh, serambi Mekkah yang berada di Indonesia salah satu
daerah yang sangat kuat melaksanakan syariat Islam. Hampir
disetiap sendi kehidupan selalu dipengaruhi oleh syariat islam
termasuk norma normanya. Norma yang berlaku di masyarakat
sangat menjaga perempuan. Menurut Hoesin (1970) para pria di
Aceh harus selalu menghormati kaum wanita. Adat Aceh tidak
membolehkan pula seorang pria mengobrol terlalu lama dengan
seorang wanita.
Di Aceh, memiliki anak perempuan sama berharganya
dengan memiliki anak laki laki. Tugas anak perempuan adalah
bagian dalam rumah, seperti memasak dan membersihkan
rumah sedangkan untuk anak laki laki bagian luar rumah seperti
berladang ke hutan dll. Seiring dengan perkembangan zaman,
pemuda dan pemudi di Baro Paya sudah bersekolah ke ibukota
kecamatan. Beberapa diantara pemudi gampong ada yang
bekerja di luar rumah. Namun tanggung jawab di dalam rumah
baik sebelum menikah maupun setelah menikah adalah tanggung
jawab anak perempuan.
Pemudi di Gampong Baro Paya di haruskan untuk
memakai pakaian tertutup. Memakai jilbab dan mengenakan rok.

99

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Hampir tidak ditemui pemudi Baro Paya yang mengenakan


celana panjang ketIka pergi ke pertemuan seperti wirid, pesta dll
Contoh lainnya, remaja lelaki tidak boleh bertandang ke
rumah remaja perempuan. Hal ini menjadi norma tidak tertulis di
masyarakat. Jika seorang remaja laki-laki bertandang atau
berdua-duaan dengan remaja perempuan, maka remaja
kampung lainnya akan menggrebek mereka berdua untuk
kemudian di bawa ke Pak Keucik untuk di selesaikan.
Anak perempuan di Gampong Baro Paya biasanya
berteman dengan teman sebaya remaja perempuan lainnya.
Beranjak SMP, anak perempuan mulai malu untuk bermain
dengan teman laki lakinya. Di Gampong Baro Paya, jika
perempuan atau gadis yang masih remaja berduaan dengan
seorang pria akan mendapat gunjingan. Jika ketahuan berduaan
atau berpacaran akan digrebek oleh remaja setempat dan
dibawa ke Pak Keucik untuk diselesaikan secara adat. Sekarang
penggerebekan tidak langsung dipukuli oleh pemuda setempat
menurut E, remaja putri gampong Baro Paya setelah di grebek,
korban langsung dibawa ke Pak Keucik atau Pak Teungku untuk di
sidang. Hal ini dikarenakan hampir seluruh pemuda gampong
Baro Paya memiliki saudara perempuan baik kakak maupun adik.
Hal ini dilakukan untuk menjaga perasaannya maupun
kehormatannya. Berkelahi dengan seorang wanita dilarang keras
oleh Adat Aceh. Pria yang melanggarnya wajib dikenakan
hukuman Adat yang mengaibkan (Hoesin, 1970).
Pernikahan dapat dilakukan karena telah digerebek atau
dengan pinangan. Jika seorang perempuan sudah digerebek,
maka mahar yang diberikan tidak akan sebanyak perempuan
yang di pinang secara adat. Hal ini dilakukan sebagai sanksi atas
norma yang berlku di masyarakat.
Tidak banyak pantangan bagi seorang anak perempuan.
Salah satunya adalah anak perempuan tidak boleh duduk di

100

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

depan pintu hal itu di percaya menyebabkan anak perempuan


tersebut berjodoh dengan lelaki tua.Pantangan perempuan
tidak boleh duduk di depan pinu nanti dapat suami tua. ujar Bu
Keuchik.
Menurut Hoesin (1970) pemuda pemuda yang dianggap
dewasa di Aceh adalah pemuda yang telah berusia antara 18-22
tahun biasanya pada umur tersebut pemuda menikah. Remaja
BaroPaya tidak ada patokan usia untuk menikah. Biasanya,
setelah tamat SMA sudah boleh menikah. Seperti di ungkapkan
oleh Kak N, biasanya menikah usia laki biasanya 22-25, kalau
perempuan tergantung, tamat SMA, umur 16-18 tahun.
Pemilihan jodoh pada zaman dulu di sesuaikan dengan
Praja.Praja adalah lambang hewan yang mewakili sifat seseorag
yang disesuaikan dengan huruf akhir dari nama mempelai pria
dan mempelai wanita.Praja akan memengaruhi watak pemilik
nama, sehingga jika sifat dari calon mempelai pria dan sifat dari
calon mempelai wanita bertolak belakang atau tidak sesuai,
pernikahan dinilai tidak akan bertahan lama dan biasaya dilarang
oleh keluarga. Namun saat ini hal itu tidak lagi menjadi hal yang
utama. Pernikahan tetap dapat dilangsungkan jika sudah ada rasa
ketertarikan satu sama lain.
Jaman dahulu untuk kehormatan dan pertimbangan politik
ada juga diantara Uleebalang yang mengusahakan supaya anak
laki-lakinya kawin dengan wanita yang sederajat. Seiring dengan
perkembangan zaman, hal ini mengalami perubahan terkait
degan pendidikan modern. Wanita yang bukan bangsawan
dinikahi oleh Uleebalang (bangsawan) karena pendidikannya
yang modern. Wanita seperti ini biasanya diberi gelar Tjut atau
Tjut-Niak (Hoesin, 1970). Namun, saat ini dengan perkebangan
zaman dan teknologi proses pernikahan seperti yang disebutkan
di atas tidak berlangsung.

101

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Salah satu kebiasaan remaja Baro Paya adalah


mengkonsumsi ranub. Menurut kepercayaan masyarakat
setempat, bagi perempuan yang mengkonsumsi ranub terlihat
keluar auranya. Remaja Baro Paya mengkonsumsi ranub sebagai
makanan ringan atau selingan makan. Sepeti layaknya rokok,
konsumsi ranub juga sebagai alah satu media mengakrabkan diri
diantara remaja Baro Paya. Ranub yang biasa dikonsumsi oleh
remaja sebagai selingan adalah ranub kacang. Ranub kacang
adalah ranub masak (siap saji) berupa sirih yang di oles dengan
kapur, diberi satu sendok kacang gilig dan di gulung kemudian
disisipi oleh sepotong kecil buah pinang. Pinang yang baik adalah
pinang yang besar hatinya (bagian tengah pinang yang berwarna
putih). Penjual ranub kacang biasanya terdapat di warung
warung kecil sepanjang jalan Tutut. Penjual ranub yang paling
terkenal adalah warung kecil di gampong Keramat, Panton Reu.
Ranub kacang memiliki rasa lebih lemak dari ranub biasa.
4.2. Persembahan Ranub Linto Baro dan Dara Baro
Linto Baro adalah sebutan bagi mempelai pria pada
masyarakat suku Aceh, Dara Baro adalah sebutan bagi mempelai
wanita. Sebutan ini digunakan sejak proses lamaran berlangsung
hingga pernikahan.
Meskipun kemajuan teknologi menyebabkan pergeseran
kebiasaan, namun sebutan linto baro dan dara baro masih
digunakan. Seperti diceritakan oleh Yah D. bahwa dahulu untuk
melamar seorang gadis, dengan tidak mengetahui wajah gadis
tersebut. Namun dengan adanya handphone, banyak remaja
yang maen (pacaran) pakai Hp.
Proses perjodohan pun semakin sedikit. Beberapa kasus
perjodohan berakhir pada perceraian sehingga perjodohan
sangat sedikit dilakukan. Di Sekolah pemuda dan pemudi sudah

102

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

saling mengenal sehingga kedekatan dan ketertarikan telah


muncul dan dapat menentukan pilihan dalam membangun
pernikahan.
Masyarakat suku Aceh boleh menikah jika masih memiliki
hubungan saudara satu kakek Namun hal ini jarang terjadi
dikarenakan malu. Menurut Yah D, selain karena malu biasanya
penikahan antar keluarga lebih disarankan karena akan
menambah saudara.
Seorang gadis Aceh akan di pinang dengan emas, yang
diletakkan di atas wadah bertingkat sejumlah mayam (1mayam=
3 gram lebih) emas yang ditentukan oleh bapak dari anak gadis
tersebut.Terdapat beberapa hal yang menyebabkan perbedaan
jumlah mayam antara lain tingkat pendidikan dan status
sosialnya.
Meskipun demikian, mahar seorang perempuan dapat
berkurang nilainya jika gadis tersebut telah di grebek(ditangkap)
berduaan dengan seorang pria. Pria tersebut harus menikahi
gadis tersebut. Mahar untuk perempuan tersebut pun tidak
sebanyak jika perempuan tersebut di pinang secara adat. Jika
pinangan adat jumlah mahar dalam kisaran 30-45 mayam,
pernikahan
dikarenakan
proses
penangkapan
hanya
menyerahkan sekitar 2-3 mayam, jika tidak memiliki sebanyak 2
mayam, menikah dengan mahar 1 mayam juga di bolehkan. Hal
ini dilakukan guna menjaga nama baik Gampong dan keluarga
yang tertangkap tersebut.
Ada sanksi yang harus di bayar oleh seorang laki laki yang
telah di grebek kepada Gampong yaitu sebesar 2 mayam emas.
Selain sanksi yang dibayarkan berupa emas, pria tersebut juga
harus melakukan kenduri guna membersihkan dan menjaga
nama baik gampong. Jika ternyata pemuda tersebut berasal dari
keluarga kurang mampu, maka biaya kenduri ditanggung oleh
gampong dengan cara gotong royong.

103

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Proses pernikahan ini harus segera dilakukan juga untuk


menghindari sanksi adat yang lebih berat lagi seperti diutarakan
Husain (1970) bahwa kawin paksa terjadi manakala telah
disangka keras bahwa seorang laki-laki telah berbuat serong
dengan seorang perempuan, terlebih lagi jika ada bukti. Lebih
baik dikawinkan daripada mendapat hukuman berat yang
memalukan.
Untuk melamar seorang gadis, secara resmi orang tua dari
pria akan meminta kepada seorang laki laki yang agak tua
umurnya, mengetahui adat, sebagai seorang perantara yang
dinamai orang Seulangke (Hoesin, 1970). Pada saat akan
melamar keluarga pria harus menyiapkan sebuah wadah sebagai
tempat mahar yang akan dibawa oleh Seulangke. Wadah
tersebut di sebut Ranub Meh atau Ranub Mas. Ranub Meh
adalah rangkaian ranub dalam suatu wadah. Ranub yang
merupakan lambing kemuliaan bagi masyarakat Aceh digunakan
dalam proses pernikahan mulai dari proses lamaran berlangsung.
Penggunaan sirih dalam hal ini bertujuan untuk memuliakan
perempuan yang akan di pinang beserta keluarganya. Pihak
keluarga Dara Baro yang menyambut pihak Linto Baro yang
diwakili oleh Seulangke akan mempersiapkan ranub dan
tembakau sebagai sajian yang akan disajikan saat pihak Linto Bao
tiba.
Rangkaian ranub pada ranub Meh dapat berupa bunga,
ikan dan naga. Bentuk Naga ini diharapkan ikatan calon
mempelai perempuan dan laki laki sekuat naga. Sehingga tidak
mudah terlepas. Selain Ranub (sirih) dalam wadah tersebut akan
diisi dengan kapur, pinang, tembakau, gambir kemudian
diatasnya diletakkan beberapa mayam emas. Mayam yang
diberikan tidak langsung seluruhnya biasanya emas yang
diberikan dibagi menjadi beberapa bagian. Emas yang diberikan
diletakkan dalam sebuah wadah. Wadah tersebut di pagari

104

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

dengan rangkaian ranub yang disusun cantik dan dijahit dengan


benang. Selain itu, di sekitar wadah emas tersebut akan di
letakkan beberapa jenis bumbu dapur seperti cabai, bawang,
merica, kunyit, jahe, gula, kopi, teh, dll. Hal ini bertujuan agar
mempelai wanita mengenal bumbu bumbu dapur tersebut,
sehingga diharapkan pintar memasak. Rangkaian Ranub Meh ini
akan di buat oleh perempuan yang sudah tua yang biasa di
panggil Mak Ah (Nenek).
Rangkaian Ranub Meh ini disesuaikan dengan jumlah
mayam yang dihantarkan pada saat itu, jika pada proses lamaran
emas yang dihantarkan pada saat lamaran hanya 3 mayam maka
rangkaian ranub haruslah sebanyak 4 tingkat.
Ranub Meh , yang dibawa oleh pihak laki laki harus di balas
oleh pihak perempuan dengan rangkaian Ranub meh yang baru.
Ranub Meh Ini akan dibawakan ketika pihak laki laki pulang dari
rumah perempuan setelah acara pinangan berlangsung. Hal ini
sudah menjadi adat masyarakat, sehingga jika pihak dara baro
tidak memberikan balasan akan sangat malu sekali karena
dianggap tidak mengetahui adat istiadat. Proses balas membalas
hantaran ini akan berhenti ketika ada kesepakatan diantara dua
belah pihak untuk mencukupkan hantarannya.
Proses mengundang saudara untuk hadir dalam suatu
upacara adat tertentu menggunakan ranub. Ranub digunakan
sebagai wujud penghormatan kepada orang yang diundang.
Menurut Bang A, penggunaan ranub dalam proses mengundang
di sebebkan pengaruh syiar-syiar islam Proses mengundang
dengan menggunakan ranub seperti berikut ini:
Beberapa helai ranub diletakkan ke dalam suatu wadah
yang terbuat dari logam biasa disebut puan. Disertakan pula
kapur, gambir dan potongan pinang. Pihak yang mengundang
datang kerumah salah satu saudara kemudian menyerahkan
puan tersebut. Setelah tuan rumah mengunyah ranub, barulah

105

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tuan rumah menanyakan maksud dan tujuan kedatanga tamu


tersebut.

Gambar 4.1.
Ranub Meuh (untuk Meminang)
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Gambar 4.2.
Ranub untuk Mengundang
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

106

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Proses akad nikah dilakukan sesuai dengan syariat Islam.


Proses akad nikah di pimpin oleh Tengku, selaku tokoh agama. Di
Baro Paya di pimpin oleh Tengku Junid. Saksi akad nikah adalah
Tuha Peut Gampong Baro Paya. Seperti prosesi akad nikah
msyarakat PT Mopoli, dusun Alue Gajah yang dilaksanakan di
Masjid Baro Paya.
Acara akad nikah berlangsung sederhana hanya ada
beberapa orang dari dara baro dan beberapa orang dari linto
baro. Sebelum acara pak keucik mengurus berkas administrasi
untuk mempelai. Setelah berkas administrasi selesai, pak kecik
pamit pergi karena ada urusan yang harus segera diselesaikan.
Sebelum pergi pak keucik menyerahkan beberapa uang ke 3
orang di sebelahnya. Pak tengku junid berada di tengah, dan dua
saksi yang berasal dari tuhapeut duduk di samping tengku Junid.
Mempelai wanita berada di sebelah kiri bersama keluarga
perempuan lainnya, mempelai pria bersama keluarga pria lainnya
di seblah kanan. Ketika datang, keluarga mempelai membawa
serta talam berisi Blekatan dan seceret kopi, tak lupa pseujeuk.
Acara dimulai dengan menyerahkan linto kepada tengku.
Ternyata wali dari pihak linto adalah abangnya. Setelah itu, linto
baro dipanggil menghadap tengku Junid untuk membaca ijab
kabul dengan mas kawin sebesar 2 mayam. Setelah membaca
ijab kabul, dan dinyatakan sah, Tengku Junid memimpin doa dan
diikuti seluruh yang hadir. Setelah selesai membaca doa, tengku
junid memberi wejangan kepada mempelai pria, mengenai
tugasnya sebagai pemimpin rumah tangga yang harus memberi
istri nafkah lahir bathin, serta menjadi penanggung jawab bagi
istrinya. Mempelai wanita, atau dara baro juga diberi wejangan
oleh pak tengku, mengenai bagaimana Menjadi isteri yang baik
dan menghadapi suami. Setelah itu, para hadirin di hidagkan
blekatan, sambil menikmati manisnya kelapa dengan lemaknya
pulut, pseujeuk dilakukan oleh orangtua mempelai. Sambil

107

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

memberikan wejangan kepada Lintobaro, Ayah Linto Baro


memercikkan santan dengan menggunakan ikatan ranub sebagai
wujud pemberkatan.
Pada saat akad nikah Teungku J mendapat Rp 100.000, dan
saksi masing masing mendapat Rp. 50.000. Walaupun Tengku
Meunasah adalah orang yang menikahkan, tetapi upah (hadiah)
ditetapkan untuk Keuchik dan Teungku. Upah ini dinamai
HakGatib, Hak nikah, atau Hak Tjupang. Hak Gatib itu adalah
sebanyak satu mas (siamaih). Keucik dan Teungku Meunasah
membagi bagikan hak Gatib. Teungku sendiri mendapat 2 kali
lebih banyak dari yang diperoleh saksi (Hoesin, 1970).

Gambar 4.3.
Ranub Lampuan (kiri), Menyambut Lintobaro (kanan)
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Setelah akad nikah, prosesi akan berlangsung dengan


melaksanakan resepsi pernikahan. Pada acara resepsi,
kedatangan Lintobaro akan disambut dengan tarian ranub
lampuan. Ranub Lampuan adalah sebuah tarian tradisional yang
dilakukan untuk menyambut tamu tamu penting. Taria Ranub
Lampuan dilakukn oleh beberapa perempuan membawa Ranub
yang diletakkan di dalam tempat (lam Puan).

108

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

4.3.

Menanti Kehamilan

Kehamilan merupakan hal yang diinginkan oleh setiap


pasangan yang baru menikah. Namun beberapa pasangan bisa
saja kesulitan memiliki anak. Bagi masyarakat suku Aceh di Baro
Paya, kesulitan memiliki anak bisa di therapi dengan kusuk atau
Urut. Urut dilakukan oleh Dukun Beranak atau disebut Mak Blien.
Selain itu, beberapa pasangan juga melakukan nazar. Nazar
biasanya di ucapkan oleh yang memiliki keinginan atau orang
orang terdekatnya. Seperti yang dilakukan oleh kak N yang
melakukan Nazar untuk memperoleh anak perempuan. Kak N
bernazar jika memiliki anak perempuan maka yang melakukan
prosesi turun mandi anak tersebut haruslah seorang ustadzah di
gampong tersebut.
Nazar adalah melakukan ritual tertentu jika keinginannya
memiliki anak tercapai. Nazar masyarakat Baro Paya biasanya
mengunjungi makan Teuku Umar atau Rumoh Quran,
mengundang Dalail Khairat.
Sebagian besar masyarakat Baro Paya melakukan nazar
untuk pergi ke Makan Teuku Umar baik untuk berziarah maupun
melakukan kenduri potong kambing di lingkungan makan
tersebut untuk disedekahkan.
Kesemua masyarakat adatAceh mempercayaibahwa pada
kuburan-kuburan orang keramat atau ulama yangalim akan dapat
dilepaskan nazar, yaitu dengan memintaberkat melalui arwah si
empunya kubur. seperti kuburanTgk. Syiah Kuala, Kuburan Tgk.
Di Timur, Kuburan Tgk.HM Wali, Kuburan Putro Meureuhom
Daya, bahkan jugapada kuburan-kuburan orang yang mati syahid
seperti pahlawan.
Lain halnya dengan Yah D, yang ketika bertemu dengan
salah satu family nya yang sedang hamil beliau bernzar jika anak
tersebut laki laki maka Yah D yang akan melakukan prosesi turun
mandi. Ketika bayi tersebut ternyata laki laki, Yah D
109

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menggendong bayi tersebut keluar rumah dan membawanya ke


mesjid sambil membabat rumput untuk memenuhi nazar.
Selain diinginkan, kehamilan juga perlu diatur untuk
memberikan jarak antara kakak dan adik sehingga gizi dan
perhatian orang tua pada anaknya tercukupi. Untuk
menjarangkan kehamilan, masyarakat dapat menggunakan obat
tradisional maupun KB yang disediakan oleh layanan kesehatan.
Mayoritas masyarakat Baro Paya menggunakan KB suntik per tiga
bulan. Hal ini dikarenakan menggunakan Pil KB sering lupa.
Seorang Kader N, mengatakan:
Banyak pake KB suntik, kalau suntik kan lama. Gak
memberatkan. Kalau pil kan, klau gak dimakan satu hari
kan fatal.

Kader di Baro Paya kurang mengetahui KB untuk pria.


Seperti ungkapan Kak N yang terkejut mengetahui adanya KB
untuk pria. Kak N menganjurkan untuk tidak menyebarkan
informasi mengenai adanya alat kontrasepsi untuk pria karena
dianggap berbahaya bagi para remaja.
Secara tradisional untuk menjarangkan
kehamilan
digunakan ramuan tradisional berupa air kunyit. Air kunyit
dipercaya dapat mengecilkan rahim ibu yang baru melahirkan
sehingga dapat menjarangkan kehamilan. Selain itu ramuan
lainnya yang wajib diminum selama masa nifas adalah ramuan
44, ramuan ini dapat di beli di pasaran dengan harga 10.000
rupiah. Menurut Nyak E, salah satu teungku perempuan di
Gampong Baro Paya, terapi pasca melahirkan zamn dulu oleh
masyarakat Aceh sangat banyak yang dapat menjarangkan
kehamilan selain kunyet dan ramuan 44 terdapat juga Batee.
Jumlah Anak dalam satu keluarga merupakan keputusan
suami isteri. Menurut Yah D, tidak boleh orang tua melaranglarang untuk memiliki anak banyak. Dari hasil observasi, Suku

110

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Aceh di Baro Paya memiliki anak lebih dari tiga orang. Kak Di
mengungkapkan bahwa jika anaknya rame (banyak), jika salah
satu anak tidak menyukai kita (orang tua) bisa dengan anak lain.
Selain itu menurut Kak Di jika orang tua telah lanjut usia dan
tidak bisa kerja, anak-anak yang pulang akan membawakan orang
tua sesuatu. Jika orang tua telah sakit-sakitan, akan ada yang
merawat. Hal inilah yang menjadikan Kak Di yang saat ini hanya
memilki tiga orang anak ingin memiliki enam orang anak.
4.4. Sembilan Bulan dalam Penantian
Perempuan Aceh yang hamil ada yang pinggangnya
terdapat benang yang sudah dijampi (diRadja) terhadap setan,
bur ng. Perempuan yang hamil memiliki banyak pantangan
(Hoesin, 1970).
Masyarakat Baro Paya masih mempercayai jimat,
terutama untuk ibu hamil. Jimat dipercaya dapat menjauhkan ibu
hamil dari gangguan Burong yang biasanya mengganggu ibu
hamil. Seorang Kader A berujar:
Kemenyan dibalut kain putih diikat tali tujuh warna
diikat di pinggang.

Seunangkai atau ajimat (jampi) dipakai oleh wanita hamil


agar tidak mudah diganggu oleh syaitan. Seunangkai atau ajimat
itu terdiri dari benang tujuh warna, sepotong kemenyan, dan tiga
buah putik limau, kemudian benda benda ini di bungkus dengan
kain putih serta dirajah oleh Mak blien untuk diikat di perut
pinggang wanita hamil itu (Syamsyudin, T. Dkk, 1978)
Selain jimat, masyarakat Aceh mempercayai beberapa
pantangan bagi ibu hamil. Pantangan pada setiap suku adalah
suatu bentuk penjagaan akan suatu kondisi dari hal hal yang tidak
diinginkan. Terdapat beberapa pantangan bagi ketika ibu hamil di
masyarakat Aceh. Pantangan ini tidak hanya diberikan ke Ibunya,
111

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

namun di berikan juga ke suami. Pantangan tersebuat berupa


pantangan makanan dan pantangan perilaku. Pantangan perilaku
seperti tidak boleh melewati tali jemuran, tidak boleh mandi saat
magrib. Perempuan perempuan Aceh dulu yang hamil, sebelum
matahari terbenam, telah masuk ke rumah karena takut
mendapat gangguan burong (Hoesin, 1970). Pantangan perilaku
lainnya adalah tidak boleh melilitkan kain di leher, karena
dipercaya dapat berpengaruh pada tali pusar bayi yang akan
melilit bayi .
Tidak boleh melilitkan kain di leher nanti tali pusar
anaknya belillit.. Suaminya juga jangan gitu.

Selain itu Ibu yang sedang hamil tidak boleh duduk di


tangga, hal ini dipercaya dapat memperlama proses persalinan.
Pantangan ini sangat keras berlaku pada ibu yang mengalami
kehamilan pertama, disarankan jika akan masuk ke dalam rumah
langsung saja jika akan keluar langsung keluar. Selain itu ibu
hamil tidak boleh bersuara keras, membuat keributan atau
berteriak saat magrib. Jika ibu hamil bersuara keras atau
berteriak pada saat magrib, masyarakat percaya anak yang
dikandungnya, setelah lahir akan terkena penyakitRahoadalah
sejenis kudis seperti digigit nyamuk, merah merah. Pantanganpantangan ini di sampaikan secara turun temurun oleh orang tua.
Tempat yang tidak boleh di kunjungi oleh ibu hamil antara
lain Alue (Anak Sungai) dan hutan. Masyarakat Aceh percaya
bahwa di Alue terdapat iblis yang dapat menyebabkan penyakit
gatal gatal (Glause) yang dipercaya masyarakat disebabkan
karena dicolek oleh jin.
Sementara itu, hutan juga merupakan salah satu tempat
yang dilarang untuk di kunjungi. Masyarakat percaya banyak
ritangan di dalam hutan yang sulit untuk dilalui ibu hamil, seperti
kayu kayu besar atau bukit bukit yang sedikit tinggi. Selain itu,

112

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

harimau yang dapat mengenali bau ibu yag sedang hamil


sehingga dianggap berbahaya. Pun demikian dengan suami,
masyarakat juga percaya bahwa harimau dapat mencium bau
suami ibu hamil tersebut. Sehingga suami dilarang pergi ke hutan
sendirian.
Pantangan lainnya yang harus dipatuhi oleh ibu hamil
adalah tidak boleh duduk di atas tanah langsung dan tidak boleh
duduk di atas karung beras. Kepercayaan masyarakt Baro Paya
jika seorang ibu hamil duduk diatas tanah langsung tanpa alas
apapun maka akan muncul kudis di atas kepala anaknya. Selain
itu, duduk di atas karung beras juga merupakan larangan bagi ibu
hamil. Hal ini dapat menyebabkan ari ari bayi tersebut menjadi
lebih besar sehingga akan sulit melahirkan.
Pantangan pantangan perilaku tersebut disampaikan oleh
orang tua kepada anaknya atau menantunya. Selain pantangan
perilaku bagi istri, suami juga harus mematuhi pantanganpantangan. Beberapa pantangan tersebut sama dengan
pantangan istri. Saat seorang istri hamil, suami dilarang
memotong ayam, ular atau membunuh hewan lain karena di
percaya kan berpengaruh pada leher anaknya. Seorang informan
D berkata:
Kalau saya punya perempuan hamil, kalau potong
potong ayam (saya) ndak bisa.

Seorang suami yang memiliki isteri yang sedang hamil


dilarang keluar malam, Sebab dipercaya ada jin atau burng yang
akan mengikutinya. Hal ini berlaku bagi semua anggota keluarga
jika mereka kembali malam, hendaklah mereka menunggu
sebentar di tempat lain tidak boleh terus naik kerumah, takut
kalau kalau burong bersama dia. Tetapi jika ia sudah berhenti
sebentar di tempat lain, maka, burong jika ada telah merayap ke
tempat lain (Hoesin, 1970). Burong adalah sejenis mahluk halus

113

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

yang mengganggu ibu hamil dan melahirkan. Konon burong


adalah roh perempuan yang meninggal saat sedang hamil.
Kalau (suami) pulang dari hutan gak boleh langsung
masuk, harus nunggu di luar dulu.

Meskipun banyak pantangan perilaku yang harus di patuh


oleh suami ketika isterinya hamil, namun suami tidak memiliki
pantangan makanan seperti yang di pantangkan untuk isterinya.
Beberapa makanan yang dipantangkan untuk seorang ibu hamil
adalah jenis makanan yang bersifat tajam seperti nenas, nangka,
buah kulu, buah kelapa menurut masyarakat Aceh, makanan
tersebut dapat menyebabkan keguguran. Selain makanan,
minuman yang bersifat keras seperti Es dan minuman bersoda
juga dilarang karena dianggap dapat menyebabkan keguguran
pula. Informan A, seorang kader berujar:
Gak boleh makan yang tajam-tajam seperti nenas,
nangka, buah kulu.

Pantangan makanan bagi ibu hamil sangat banyak


termasuk ikan. Menurut salah satu kader, makanan yang di
perboleh kan hanya ikan Bolo sejenis ikan teri. Selain pantangan
makanan, ibu hamil disarankan untuk tidak banyak minum air
putih. Hal ini di percaya membuat perut kembung dan
menjadikan perut ibu hamil menjadi lebih besar.
Gejala Sick Morning Syndrome pada ibu hamil hampir
dirasakan oleh seluruh perempuan yang hamil, termasuk
perempuan etnis Aceh. Namun perempuan Aceh khususnya di
Baro Paya memiliki cara tersendiri untuk mengatasi mual saat
hamil. Untuk mengurangi mual ketika hamil, ibu hamil dapat
mengkonsumsi sirih. YD, petugas Gizi di Puskesmas, mengatakan:
Kalo hamil, kan mual, kalo pake sirih mulut kita lebih
nyaman gak mual, enak.

114

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Beberapa hal penting yang dapat dilakukan untuk


mempermudah proses persalinan menurut masyarakat Aceh
antara lain, tidak melilitkan kain di leher, Usia 3 bulan kehamilan
harus menggosok atau membersihkan dagu, dahi, dan tulang
qolbi (daerah sekitar tulang ekor) setiap kali mandi. Selain itu, Ibu
hamil sebaiknya tidak boleh banyak tidur, harus beraktivitas
seperti biasa, dan tidak boleh banyak makan bubur yang di berika
di Posyandu. Bubur bagi ibu hamil yang berasal dari posyandu
dipercaya dapat membuat bayi menjadi besar sehingga
menyebabkan kesulitan saat ibu melahirkan. Informan, Mak WM
menjelaskan:
Kalau 3 bulan udah tau (hamil) disuruh gosok dagu, dahi
dan tulang qolbi, setiap mandi , biar mudah lahirannya..

Selain itu, Menurut Umi Sa, jika seorang ibu hamil


menginginkan sesuatu harus segera disampaikan kepada suami
atau orang tuanya agar dapat segera dipenuhi. Sebab, jika tidak
dipenuhi maka anak yang di dalam kandungan akan ileran
(ngiler). Menurut cerita Umi Sa pernah ada seorang ibu yang
mengingankan kerang ketika hamil, namun keinginan itu tidak
disampaikannya kepada orang tuanya hingga anaknya lahir. Ibu
tersebut merasa tidak ingin merepotkan orang tua maupun
suaminya kaerena mencari kerang di sekitar daerah ini sangat
sulit. Hingga akhirnya ketika anak nya lahir, bayi tersebut terus
menerus mengeluarkan air liu hingga ujung ujung bibirnya luka.
Meskipun tidak ada perbedaan tradisi yang dilakukan oleh
masyarakat Aceh terhadap anak perempuan dan laki laki, namun
kehamilan dan kelahiran anak pertama pada masyarakat Aceh
lebih diutamakan. Seperti ketika acara Jok Mak blien. Jok Mak
blienadalah tradisi masyarakat suku Aceh khususnya di Baro Paya
untuk meminta bantuan secara hormat kepada Mak blien untuk
membantu proses persalinan Ibu yang sedang hamil. Pada acara

115

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Jok Mak blien anak pertama, keluaga akan mengadakan kendui


yang luar biasa. Orang tua laki laki akan membawa idang atau
talam yang berisi berbagai makanan bagi ibu hamil tersebut.
Talam pertama berisi makanan berupa Bu Kulah (nasi dibungkus
daun pisang) beserta lauk pauk ayam, daging kerbau dan kue kue
tradisional. Selain itu, mertua juga membawa Ranubbeserta
pinang, kapur dan gambiryang dimasukkan kedalam talam kedua.
Selain membawa makanan dalam idang, akan diadakan
juga kenduri. Namun, untuk anak kedua dan seterusnya, kenduru
hanya di adakan sekedarnya saja.
Setelah masa kehamilan tujuh atau delapan bulan, Ibu
sudah mengusahakan seorang Mak blien (bidan) untuk
menyambut kelahiran bayi. Pihak orang tua (Mak tuan) bersama
ibunya biasanya mempersiapkan juga hadiah yang akan di
berikan kepada Mak blien, pada saat mengantar nasi, sebagai
tanda persetujuan. Tanda ini disebut Peunulang, artinya hidup
atau mati orang hamil itu diserahkan kepada Mak blien selama
masa kelahiran. Maka Mak blien setelah menerima Peunulang itu
telah menjadi kewajiban baginya, menjenguk setiap saat, bahkan
kadang kadang ia harus menetap sampai tujuh hai atau selama
belum jatuh pusat bayi sambil mencuci kain kain tiumpe (kain
balut bayi) (Syamsudin, T, dkk. 1978). Untuk gampong Baro Paya
hal ini disebut JokMak blienatau Jok Mak bidan.
Jok bu bidan itu menyerahkan dia (si ibu)kala
persalinan oleh buk bidan (Mak blien). Memberikan
sejenis pejamee bidan.

Ketika Jok Mak blien dilaksanakan, keluarga membuat


sebuah acara kenduri dan secara khusus meminta Pak Teungku
dan Mak Blien untk hadir. Keluarga akan masak masakan yang
enak dan memberikannya kepada Mak blien dan Tengku masing

116

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

masing satu talam. Selain itu Tengku juga mendoakan


keselamatan dan kesembuhan ibu hamil dan bayinya.
7 bulan (hamil) jok bu bidan. Kenduri rayeuk (besar).

Namun, jika keluarga tidak mampu ada keringanan untuk


melakukan Jok Mak blienyaitu dengan cara memberi bahan
masakan ke Mak blien untuk kemudian di masak dan
disedekahkan ke anak yatim. Selain itu, keluarga yang melakukan
Jok Mak blienhanya menyerahkan makanan kepada Mak blien
dan Pak Tengku.
Jok Mak blientu buat jaga jaga, kan dia yang nolong
nanti. Jok bu bidan di undang Mak blien, tengku, kalau
gak ada uang tetangga aja, kalau ada uang semua orang
kampong.

Jika kurang mampu mertua akan mengantar bu kulah


dengan beberapa macam lauk saja. Kemudian, saat akan pulang
ke rumah, mertua mendapat hadiah seperti tembakau atau kain
sebagai balasan dari nasi yang dibawanya itu (Hoesin, 1970)
Selain meminta secara hormat kepada Mak Blien,
masyarakat etnis Acehjuga memeriksakan kehamilannya.
Pemeriksaan kehamilan tidak dilakukan di Puskesmas atau Bidan
Desa melainkan dengan Mak blien. Periksa kehamilan biasanya
usia kandungan tujuh bulan.
Periksa 7 bulan di Mak Bidan, jadi bidannya (Mak blien)
di panggil ke sini untuk periksa. Kak Di.

Pemeriksaan kehamilan dilakukan lagi ketika kandungan


berusia 9 bulan. Selain di periksa, Mak blien juga mengurut Ibu
hamil dengan tujuan agar memudahkan proses persalinan. Selain
itu, pada saat pemeriksaan kehamilan 9 bulan, Mak blien akan
memeriksa apakah bayi yang ada di dalam kandungan sungsang
atau tidak. Jika sungsang, Mak blien akan menggeser bayi ke

117

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

posisi yang benar. Kemampuan pemeriksan kehamilan Mak Blien


yang sangat tradisional tidak bisa memastikan apakah bayi yang
ada di dalam kandungan laki laki (agam) atau perempuan (inong)
Bidan kampong di ajak ke rumah bulan 7 dan bulan 9
(kehamilan) diurot, diperiksa lah.

Hal ini adalah salah satu kelebihan dukun kampung.


Masyarakat masih memilih melahirkan dengan Mak blien karena
Mak blien dapat meluruskan kembali bayi yang sungsang.
Menurut masyarakat Baro Paya, jika ibu yang mengandung bayi
sungsang dibawa ke rumah sakit akan di operasi, namun jika
dibawa pada Mak Blien dapat melahirkan normal.
Selain Urut sungsang, Mak blien juga sering diminta untuk
mengurut perut ibu hamil yang mengeluh turun. Seperti Kak In
yang usia kehamilannya memasuki bulan ke enam merasakan
turun perut akibat perutnya yang sudah mulai membesar. Maka
Mak blien melakukan Urut Naikkan Perut. Prosesmengurut ini
tidak dikenakan biaya.

Gambar 4.4.
Urut Naikkan Perut.
Sumber: Dokumentasi peneliti 2014

118

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Keputusan memeriksakan kehamilan juga di pengaruhi


oleh emosi dari Ibu hamil tersebut. Ketakutan akan pelayanan
kesehatan menyebabkan pemeriksaan kehamilan hanya
dilakukan oleh Mak blien. Kak D berujar:
Begitu hamil tidak periksa kehamilan, takut anaknya
kenapa kenapa

Selain itu, kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan


kesehatan masih rendah dalam hal pemeriksaan kehamilan. Hal
ini disebabkan oleh pemeriksaan kehamilan di puskesmas kurang
memuaskan, karena dinilai tidak dapat mengetahui apakah bayi
berada pada posisi yang tepat atau sungsang. Jika memeriksakan
kepada Mak blien, Mak blien akan memegang perut ibu hamil
tersebut untuk meraba apakah kepala bayi berada pada posisi
yang tepat atau tidak.Kak Ni yang memeriksakan kehamilan anak
terakhirnya ke Mak blien menjelaskan:
Kalau periksa ke Bidan Kampong, kalau ke rumah sakit
tidak pernah pegang perut, kecuali USG

Dengan adanya Jok Mak blienpada usia kehamilan 7 bulan,


maka keputusan penggunan penolong persalinan sudah di
tentukan sejak usia kehamilan 7 bulan. Keputusan penolong
persalinan ini berbeda pada anak pertama dan anak berikutnya.
Pada anak pertama, keputusan penolong persalinan akan di
putuskan oleh orang tua pihak ibu hamil. Sementara keputusan
penolong persalinan anak berikutnya sudah menjadi keputusan
suami yang di rembukkan terlebih dahulu dengan keluarga.
Peran Mak blien di lingkungan Baro Paya tidak hanya
membantu menolong persalinan. Di luar proses persalinan, Mak
blien memiliki ikatan emosional yang baik dengan masyarakat
Baro Paya. Kak In yang sedang mengandung lima bulan merasa
perutnya turun. Dengan nada manja, seperti kepada Mak nya
sendiri, Kak In meminta Mak blienuntuk mengurut perutnya agar

119

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dinaikkan kembali. Meskipun Mak Blien berasal dari Kecamatan


tetangga, namun di Baro Paya Mak Blien seperti keluarga sendiri.
Kak A bahkan meminta diajari doa doa sederhana untuk merajah
ranub. Mak Blien menyapa masyarakat Baro Paya seperti
menyapa saudara yang sudah lama tidak bertemu. Hampir tidak
ada masyarakat yang tidak mengenal Mak Blien tersebut.
4.5.

Empat Puluh Empat (44) Hari Menjadi Haram

Selama empat puluh empat hari ibu bayi banyak


menjalanipantangan-pantangan. Ia harus tetap berada dalam
kamarnya, tidak boleh berjalan-jalan, apalagi keluar dari rumah.
Tidak boleh banyak minum, nasi dimakan tanpa gulai atau laukpauk. Hanya cukup dengan garam dan ikan teri gonseng. Begitu
pula dengan makanan yang pedas-pedas sangat dilarang. Selama
pantang tersebut, disebut dengan masa pantangan atau du dapu.
Karena selama pantangan ibu bayi selalu dipanasi dengan bara
api yang terus menerus disampingnya atau dibawah tempat
tidurnya. Maka masa pantangan ini sering juga disebut dengan
masa madeung. Setelah masa madeung ini selesai yaitu pada hari
keempatpuluh empat, ibu bayi dimandikan oleh mablien dengan
air yang telah dicampur dengan irisan limau parut yang telah
disediakan terlebih dahulu. (Syamsudin, 1978)
Masyarakat suku Aceh di Baro Paya biasanya melahirkan di
Mak blien atau dukun Kampung yang berasal dari Kecamatan
Alue Kuyun. Pada saat ibu sudah merasa kesakitan dengan
kehamilannya, dan sudah mendekati hari kelahiran, di jemputlah
Mak blien di kampong sebelah oleh suami ibu tersebut. Jarak
Baro Paya dan Alue Kuyun sekitar 20 Menit menggunakan sepeda
motor.
Proses melahirkan yang ditolong olah Mak blien tidak
menggunakan sarung tangan dan hanya menggunakan sarung

120

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

sebagai penutup kemaluan si Ibu, sehingga si Ibu tidak merasa


malu. Informan WM menjelaskan:
Kalau melahirkan sama saya, begini (sambil
menutupkan sarung hingga kaki) tangan saya saja yang
masuk (mengambil Bayi). Kalau di Puskesmaskan harus
begini (mengangkat kaki lebar lebar ke atas) jadi malu.

Menurut Mak Blien Kulit bayi sangat lembut, sehingga


bersentuhan dengan sarung tangan karet masih terasa keras dan
harus di sambut dengan kulit juga. Karena alasan tersebut maka
Mak WM tidak pernah menggunakan sarung tangan karet yang
diberikan padanya sejak ia mendapat pelatihan. Mak blienberucap
sambil menunjukkan sarung tangan yang telah di berikan oleh Bidan
Desa.
Kulit bayi masih lembut. Jadi harus di sambut dengan
kulit juga. Tidak bisa dengan peralatan lain (sarung
tangan). Tidak pernah saya pakai.

Kelebihan Mak blien lainnya adalah bersedia di panggil 24


jam. Seperti cerita Kak A yang seorang ketua kader di Gampong
Baro Paya. Kak A melahirkan anak keduanya di Mak WM.
Malam itu, lewat tengah malam, Kak A masih
menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Masih ada
beberapa helai pakaian yang harus di setrika. Seperti
kata orang tua, seorang ibu hamil harus banyak
bergerak. Usia kandungan yang sudah cukup tua
menimbulkan rasa sakit malam itu. Sebagai seorang
guru, dari kalanganberpendidikan, Kak A berinisiatif
manggil bidan So selaku bidan yang bertugas di daerah
Baro Paya. Dini hari, Kak A menelepon bidan So yang
rumahnya berada di kecamatan tetangga, Kaway XVI.
So, gak bisa datang kak. Pigi (pergi) aja ke Puskesmas
kak. Jawab Bidan So melalui telepon. Ngapain ke
puskesmas, kan tidak ada orang. Jawab Kak A. Pukul

121

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

2.30 dini hari rasa sakit yang di rasakan oleh Kak A


semakin kuat. Kak A meminta suaminya memanggil
bidan Kampong WM di Alue Kuyun. Dijemputlah Mak
WM, akhirnya proses persalinan di bantu oleh Mak WM.
Gak bisa bawa rumah sakit padahal saya mau kerumah
sakit ujar Kak A menyayangkan.

Pertolongan persalinan yang terjadi di malam hari akan di


tolong oleh Mak blien. Sebab persalinan tidak mungkin di tunda
hingga besok pagi. Kak La berucap:
Kalau bidan desa gak mau datang, datangnya besok
pagi.

Menurut kak Nurhayati, banyak kasus persalinan yang


harus di rujuk langsung ke Meulaboh dikarenakan bidan
kampungnya gak sanggup untuk menolon persalinan.
Sebagian besar penduduk Baro Paya adalah orang
Sinabang, yang bekeja di PT MR. Selain di rujuk ke Meulaboh,
meskipun mendapat biaya kesehatan, beberapa orang Sinabang
yang tinggal dan bekerja di PT. Mopoli Raya masih melakukan
persalinan di dukun. Ja, masyarakat Sinabang di PT MR
mengtakan:
Melahirkan panggil dukun yang di Meulaboh, karena
orang Sinabang juga. Udah kami sepakati ke dukun,
dukun itu tau kapan bayi mau keluar

Saat menyambut bayi, Mak blien membaca doa berupa


shalawat. Nyak Elok:
Kalau menolong persalinan sama makbidan membaca
sholawat kepada nabi . Allahumma sholi ala
Muhammad wa ala ali Muhammad.

Jika ibu bersalin mengalami susah melahirkan dikarenakan


rahimnya sempit dengan membaca doa Khatijah, Ainsyah dan
umisalamah bukalah pinto tujuh pintu.
122

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Tidak semua kehamilan melalui persalinan yang mudah,


beberapa ibu hamil yang sudah cukup umur kehamilannya, jika
sudah cukup usia kehailannya, namun belum merasakan sakit
akan melahirkan, Ibu hamil disarankan mengkonsumsi Ie U (air
kelapa muda). Jika ibu hamil sudah merasakan sakit, namun bayi
tidak kunjung keluar, Mak blien akan memberikan rendaman
kulit kerbau yang telah di bakar. Hal ini, di percaya dapat
melancarkan persalinan.

Gambar 4.5.
Kulit Kerbau yang telah di bakar.
Sumber: Dokumentasi peneliti 2014

Salah satu kelebihan Mak blien adalah meluruskan bayi


sungsang. Untuk meluruskan bayi sungsang menggunakan
metode urut dengan memakai kain batik. Kain batik di lilitkan di
perut ibu hamil, kemudian posisi kelapa bayi di geser dengan
bantuan kain batik tersebut dengan cara ditarik tarik. .
Pada saat bayi lahir, disambut oleh makblien. Pusat bayi
dipotong dengan sebilah sembilu. Sebelum pusat tadi dipotong,
terlebih dahulu pangkal pusatnya diikat. Kalau bayi laki-laki diikat
dengan tujuh ikatan, dan kalau bayi perempuan dengan lima
ikatan. Setelah itu bayi dibersihkan oleh mablien.r, kemudian

123

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

diobati dengan obat tradisional seperti dengan arang, kunyit dan


air ludah sirih. Kesemuanya ini diaduk dengan menjadi satu untuk
ditempelkan pada pusat bayi. (Syamsuddin, T dkk, 1978). Namun,
Mak blien Sawami lebih memilih mencampurkan sirih, kunyit dan
pinang kemudian mengunyahnya dan meludahkannya ke pusar
bayi. kemudian memandikan si Ibu Madeung. Ibu yang baru saja
melahirkan akan dimandikan oleh Mak Blien. Ketika memandikan
Ibu tersebut, Mak Blien akan membaca doa sebagai berikut:
nawaitu wiladah, Fatimah manoe buangkan hada.h
(Nawaitu wiladah fatimah mandi membuangkan hadas)

Kasus persalinan yang sulit juga terdapat di Baro Paya. Kak


Su, Seorang ibu yang tinggal di PT Mopoli Raya menyayangkan
proses pengangkatan rahim yang dialaminya dua bulan sebelum
acara turun mandi anak laki-laki dan anak nya yang terkahir.
Sebab setelah melahirkan bayi laki laki nya yang pertama , rahim
ibu muda itu diangkat. Cerita kak Suterkait pengangkatan
rahimnya:
Waktu itu kan kakak udah sakit perut. Terus kakak
bawak ke Puskesmas. Kan lama, belum mau keluar
bayinya. Bidan nya kasi obat perangsang 3 kali. Kakak
dengar dia pake bahasa Aceh bilangnya Kasi lagi, biar
cepat. Udah lemas kakak, di bawa ke Meulaboh.
Dimarahin dokernya dia. Bukan, bukan So bidan
puskesmasnya.

Pasca melahirkan, Ari-ari atau biasa disebut Kakak si bayi


akan di tanam di belakang rumah atau di bawah tangga. Keluarga
harus menghidupkan api selama 7 hari 7 malam untuk
menghindari Ari ari di makan oleh binatang buas. Masyarakat
Aceh percaya bahwa Ari-Ari masih berhubungan dengan si bayi.
Ibu Nifas atau biasa di sebut ibu Madeung memiliki banyak
pantangan. Pantangan setelah melahirkan dibagi menjadi dua

124

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

yaitu pantangan perilaku dan pantangan berupa makanan.


Pantangan perilaku antara lain tidak boleh berteriak dan
bersuara keras di rumah selama 7 hari pasca persalinan hal ini di
percaya membuat bayi menjadi rewel. Pantangan pantangan ini
disampaikan secar turun termurun tanpa tahu pasti
penyebabnya.
Selama masa nifas, Ibu Madeung tidak di perbolehkan
keluar rumah dan menginjak tanah. Karena dianggap ibu
madeung tidak suci, belum bersih sehingga dianggap haram
menginjak tanah. Hal ini akan menyebabkan bumi menangis.
Masyarakat percaya jika saat nifas keluar rumah menginjak tanah
(pergi jauh) akan menyebabkan terkena malapetaka atau
bencana.
Kalau belum suci tidak boleh keluar rumah. Itu haram.
Nanti bumi menangis.

Selama 40 hari ibu madeung tidak diizinkan keluar rumah


atau menginjak tanah, maka seluruh kegiatan dilakukan di dal
rumah. Termasuk BAB. Keluarga menyediakan kamarmandi kecil
di samping rumah dikarenakan ibu Madeung tidak diperbolehkan
ke Alue.
40 hari baru turun dari rumah, mandi dirumah, berak
dirumah, nggak turun dari rumah

Selain keluar rumah, Ibu madeung juga tidak diizinkan


mengerjakan pekerjaan rumah lainnya termasuk memasak untuk
keluarga, Ibu Madeung hanya diizinkan memasak untuk dirinya
sendiri. Karena hal ini lah keberadaan Mak Blien sangat
membantu Ibu Madeung. Mak Blien lah yang akan memasakkan
untuk keluarga dan memandikan bayi.
Setelah 40-44 hari setelah masa nifas, Ibu Madeung
diharuskan mandi untuk mensucikan diri agar diizinkan keluar
rumah. Pada saat mensucikan diri ibu Madeung juga dibantu

125

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

oleh Mak Blien, Mak Blien akan membacakan doa Manoe


Wiladah.
Pantangan berupa perilaku juga harus di patuhi oleh
suami. Menurut Mak blienWM, setelah melahirkan suami tidak
boleh pulang terlalu malam, hal ini dapat menyebabkan anak
menangis, jika anak menangis akan menyulitkan si Ibu.
Kepercayaan masyarakat, jika suami pulang terlampau malam,
ada jin atau Burng yang mengikuti suami tersebut yang bisa
mengganggu si bayi. Mak WM
Setelah melahirkan suaminya tidak boleh pulang malam
malam nanti anaknya nangis mamaknya sengsara.
Karena kalau masuk rumah ada jin mengikuti, bisa
ngganggu anaknya

Oleh sebab itu, jika suami terpaksa pulang malam,


disarankan untuk duduk di depan pintu atau di dapur selama
beberapa menit agar Burng (jin) yang mengikutinya segera pergi
dan tidak menggangu bayi.
...kalau pulang magrib duduk dulu barang setengah jam
di luar. Biar pergi jinnya Dapur itu, siang malam ndak
boleh buka pintu

Dalam masa madeueng, istimewa 10 hari pertama,


perempuan-perempuan takut kepada burong. Selama 44 hari itu,
orang-orang tidak mempertjakapkan hal-hal mengenai burong
dimuka perempuan-perempuan madeueng. Orang selalu
berikhtiar untuk menjauhinya. Jikalau seorang perempuan
kemasukan burong, maka segera orang mentjari tukang
jampinya. Oleh karena disangka bahwa hal itu berbahaja,
biasanya ibu dari perempuan yang kemasukan burong ber nazar
(meukaj), akan menziarahi kuburan burong itu, djika anaknja
sembuh. (Hoesin, 1970)

126

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Menurut masyarakat Aceh, burong adalah perempuanperempuan yang mati dalam masa perzinaan atau yang meti
dalam masa bersalin (Madeung). Burong dapat dilihat pada senja
atau tengah malam di atas kuburan seorang wanita yang mati
Madeung. Yang hendak mlihatnya harus bertelanjang.
(Syamsudin, T dkk, 1978) . Burong biasanya mengganggu ibu
hamil, atau yang baru saja melahirkan, Burong ingin agar ibu
madeung ikut dengannya, dengan kata lain burong menginginkan
ibu madeung mati. Oleh sebab itu, masyarakat Aceh sangat
menjaga ibu madeung dari gangguan burong.
Selain pantangan perilaku Ibu madeng sanga banyak
pantangan makanan Pantangan makanan ibu Madeung sangat
banyak. Hamper semua makanan tidak boleh dikonsumsi oleh ibu
Madeung. Pantangan makanan bagi ibu pasca Madeung antara
lain tidak boleh memakan makanan yang sifatnya tajam. Selain
itu Ibu Madeung hanya di perbolehkan makan nasi dengan
sambal lada dan kunyit yang di campur dengan buah Munthu
(Lemon), Sambal ini disebut dengan Sambal Buah Munthu .
Makanan ini dipercaya mempercepat proses penyembuhan. Mak
Bu berujar:
Tidak boleh makan yang tajam-tajam, tidak boleh
minum air putih banyak banyak karena kita lagi sakit,
lemah gak bertenaga. Boleh makan nasi tapi tidak
pakai kuah, boleh pakai kunyit sama lada, diulek, di
campur dengan buah kuyun (jeruk nipis)campur
dengan nasi. Sehingga badan lebih tegap, kuat dan ada
tenaga. Gak lemas kita

Sambal Buah Munthu di percaya dapat mempercepat


proses peyembuhan luka. Meskipun sedikit peas, namun sambal
buah munthu disarankan untuk sering di konsumsi selama masa
nifas.

127

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Harus banyak kunyah sambal buah munthu dan lada


supaya bisa cepat sembuh luka di perut kat orang
orang tua. Kak Wa

Ibu Madeung juga tidak boleh banyak minum air putih di


karenakan sedang sakit, masyarakat percaya bahwa banyak
minum air putih saat sakit akan mempersulit proses
penyembuhan.
Tidak boleh banyak minum, kalau banyak minum
nanti perut kembung. Hanya boleh minum 1 gelas
kecil

Larangan minum air putih ini disampaikan oleh Mak blien.


Hal ini, menurut Mak WM berpengaruh kepada bayi yang
menyusu kepada ibunya sehingga timbul ruam ruam merah pada
kulit bayi seperti alergi.
Air hanya boleh setengah gelas kecil sebelum 44 hari.
Kalau banyak minum nanti di kaki anaknya ada merah
merah (ruam)

Meskipun hampir semua makanan di larang untuk di


konsumsi pasca melahirkan, namun ada beberapa pantangan
yang tidak boleh dilanggar. Salah satunya ikan besar. Seorang Ibu
Madeung tidak boleh makan ikan besar, hanya di perbolehkan
makan ikan teri. Makanan yang dianjurkan untuk ibu hamil hanya
nasi dan sambal lada yang dicampur dengan kunyte dan buah
kuyun. Sambal lada di konsumsi untuk memberi rasa pada
makanan. Dikarenakan ibu Madeung tidak boleh mengkonsumsi
cabe. Cabe tidak di perbolehkan kaarena menurut Umi Sa, cabe
membuat luka dalam ibunya menjadi tidak sembuh. Sambal lada
juga di percaya untuk memberi stamina setelah melahirkan dan
mempercepat proses penyembuhan luka ibu.
Pantangan makanan lainnya adalah minyak. Ibu yang baru
melahirkan tidak disarankan untuk mengkonsumsi minyak

128

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

termasuk makanan yang di goreng. Lauk yang biasa menjadi


makanan Ibu Madeung adalah ikan teri di gongseng. Hal ini
dikarenakan menurut kepercayaan masuyarakat bahwa Minyak
akan menyebabkan ibu cepat haus dan akhirnya mengkonsumsi
banyak air. Mengkonsumsi banyak air menurut Umi Sa,
menyebabka ibu menjadi gemuk dan tembem.
Makannya teri putih di gongseng, tidak boleh yang
digoreng, goreng. Karena kalau ada minyak cepat haus
jadi minum banyak nanti gemuk, muka kita tembem.

Ibu Madeung juga dilarang makan sayur. Masyarakat Baro


Paya percaya bahwa sayur memiliki sifat bayak mengandung air.
Hal ini dipercaya oleh masyarakat menyebabkan perut si ibu akan
membesar setelah melahirkan. Selain itu, ibu madeung yang
menyusui anaknya, jika makan sayur dapat menyebabkan
anaknya diare.
Gak boleh makan sayur berpengaruh ke ibunya ke
anaknya nanti anaknya cirit (mencret)

Kak Nmenambahkan, bahwa ada juga ibu Madeung yang


mengkonsumsi air inai, kunyit asam, buah munthe, telur ayam
kampung, di campur madu. Ramuan ini di konsumsi selama 40
hari atau lebih. Untuk menambah tenaga bagi ibu yang baru saja
bersalin, masyarakat Aceh biasanya embeli ramuan ada juga
ramuan pheut ploh pheut atau ramuan 44. Ramuan ini dapat di
beli di pasar sehingga keluarga tidak perlu meramunya sendiri.
...Untuk menambah tenaga (nak tiga) ramuannya di
rebus dan airnya di minum

Pasca melahirkan perut si ibu akan di olesi air kunyahan


sirih guna menghangatkan perut si ibu yang sedang luka agar
cepat sembuh dan tidak masuk angin.

129

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pasca melahirkan, dibuat Dapuu atau perapian baru di


rumahnya. Biasanya ibu Madeung ditempatkan di bagian dapur
agar dekat dengan perapian. Selain untuk menghangatkan tubuh
si ibu. Perapian akan digunakan untuk membakar Batee (batu)
yang digunakan untuk mengkompres perut ibu melahirkan. Hal
ini dilakukan selama 40-44 hari.
Kalau orang lahir bikin dapur lagi di atas (rumah). Kalau
ada batu taruh di atas api, udah panas taruh sini
(menunjuk perut bagian bawah). 44 hari di kasi batu, di
balut kain, ndak berhenti itu udah dingin di panasin lagi
sampai 3-4 batu ganti gantian . Ditaruh daun kayu di
perut sampai seelum cukup 40 hari nggak boleh turun
(keluar rumah) itu perempuan.

Penggunaan Batee di percaya dapat mengeluarkan darah


kotor dari perut si ibu. Selain itu, dapat mempercepat porses
penyembuhan luka dalam si ibu. Sehingga ibu dapat lebih kuat
dan sehat. Pembakaran Batee menggunakan Pokok maneh yang
telah di kupas, di jemur, kemudian digunakan untuk membakar
batu.Umi Sa mengatakan:
Proses pembakaran batu, di bakar dengan kayu aja, di
keluarkan dari bara, di balut dengan kain, di letakkan di
bawah pusat dari dari pinggir (pinggang) di jalankan
pelan-pean di bawa sampai ke pinggag satunya, semana
kita tahan. Untuk menyembuhkan luka dalam. Lamanya
bisa 30-40 hari tergantng dari yang melahirkan. Buat
dapur (perapian)
di samping yang Madeung
(melahirkan). Kita tidur meng hadap api, api dibakar
dengan kayu laban/ maneh karena kayunya keras, lama
abis. Sampe tipis kulit kulit kaki karena di panaskan
terus. Kalau di lawan, kata orang tua nanti ibunya gak
sanggup melewati batas batas seperti kayu besar.

130

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Gambar 4.6.
Batee yang digunakan untuk mengompress ibu Madeung
Sumber: Dokumentasi peneliti 2014

Untuk membakar Batee biasanya kayu yang digunakan


adalah kayu Maneh, hal ini dikarenakan, kayu Maneh merupakan
kayu yang kuat dan bagus dijadikan Arnag sehingga tidak mudah
habis jika digunakan untuk membakar Batee.
Pokok maneh dikupas, di jemur, begitu kering dijadikan
bahan bakar untuk bakar batu setelah melahirkan . jadi
arang juga bisa karena kayunya kuat

Selain manggunakan Batee, Ibu Madeung juga


menggunakan Lampok.Lampok adalah metode pengobatan
untuk mengembalikan kesehatan ibu nifas yang di pakai selama
40 hari untuk membantu mengeluarkan darah kotor dari dalam
rahim ibu nifas. Lampok menggunakan berbagai macam tumbuh
tumbuhan yang kemudian di bakar dan di kompres ke perut ibu
nifas .

131

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Lampok adalah kumpulan beberapa daun daunan yang


disiapkan oleh Mak blien. Daun daunan tersebut disebut daun
lapan, di balut dengan daun pisang kemudian dibakar sampai
masak dan di tempel di perut. Selama 3 hari sekali daun daunan
yang di bakar akan diganti. Daun yang digunakan antara lain eun
(daun) kedondong, eun (daun) maneh, eun (daun) pungki, boh
pineng nyen ( buah pinang muda). Hari hari pertama melahirkan
daun kedongdong muda direbus dengan air mendidih dan
daunnya diambil di tempelkan di kulit perut untuk memperlancar
peredaran darah beku (darah kotor) dalam perut lalu selama 3
hari kemudian dilanjutkan dengan daun kandis 3 hari lalu pinang
muda ( Pineung nyet) selama 3 hari. Kemudian dilanjutkan
dengan Daun kandis (Kandeh), pinang muda (pineung nyet), pala
muda, majakani, kunyit, rebung bamboo (dibersihkan dan di
bakar dalam api baru dibalut dengan kain dan diletakkan di atas
perut) tiap 3 malam sekali unutuk menyembuhkan luka dalam
pasca melahirkan. Selain itu untuk perawaan yang dioleskan
kunyet, gambir, boh pala (buah pala), boh manjakani, di ulek
(digiling), boh ruk purut dioleskan di perut di bawah pusat.
Lampok , eun kedondong, eun maneh, eu pungki, boh
pineng nyen (pinang muda) , kunyet, gambir, boh pala,
boh manjakani, di ulek, boh ruk purut dioleskan di perut
di bawah pusat. Agar luka dalam sembuh, biar gak
kembung, lebih kecil (rahim) yang di dalam

Selain Lampok, perut ibu juga diolesi dengan Kapur yang


dicampur air sirih dan buah kuyun. Hal ini bertujuan agar perut
Ibu kempes.
Ada juga obat minum seperti air kunyit dicampur madu
dan kuning telur ayam kampung ( setengah gelas) selama 44 hari
untuk mengobati luka dalam. Ibu Madeung disarankan untuk
meminum air kunyit untuk menguatkan badan ibu Madeung.
Sehingga badan Ibu masih tetap kuat hingga tua.
132

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Gambar 4.7.
Daun Daunan untuk Lampok
Sumber: Dokumentasi peneliti 2014

Gambar 4.8.
Kapur yang disiapkan oleh Mak Blien
Sumber: Dokumentasi peneliti 2014

133

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Air kunyit itu diminum tiap hari pakai asam dikit, pakai
gula. Untuk obat biar kuat badan, kalau nggak nanti
masih nak 2 atau 3 sudah nggak ada tenaga lagi.

Setelah 30 hari lalu di buat bedak kunyit (bedak kunyet)


yaitu air kunyit dicampur dengan lemon (munthei) lalu di campur
dengan minyak goreng yang di panaskan begitu dingin di gosok
keseluruh tubuh untuk mengembalikan pori-pori dan membuat
kulit kita putih kuning ( lebih indah) dan ini menjadi tradisi yang
harus dilakukan kalau tidak memakan bedak kunyit berarti belum
melahirkan.
Selain Batee dan Lampok, Ibu melahirkan juga diasapi.
Pengasapan ini disebut Teumangeh yaitu proses pengasapan ibu
baru melahirkan dengan di tutupi tikar pandan, untuk
mengeluarkan keringat. Teumangehbertujuan menyembuhkan
luka dalam dan mengeluarkan kotoran kotoran dari dalam tubuh
ibu. Namun, tidak banyak lagi Ibu Madeng yang melakukan hal
ini. Terapi ini mirip dengan sauna, karena bertujuan agar keringat
ibu keluar dan juga menggunakan rempah rempah.
Setelah melahirkan biasanya ibu diasapi. Ditutupi pakai
kain/tika sehingga asapnya mengeluarkan keringat si
ibu.

Perawatan pasca persalinan yang begitu kompleks pada


masyarakat etnis Aceh dapat diperoleh dengan mudah jika
melahirka oleh Mak Blien. Selain mnyediaka Lampok, bedak
kunyit, kapur, Mak blien juga melakukan urot pasca persalinan.
(bidan kampong) na diurut badan kita, di gideng (di
tekan/ diinjak sama mak bidan) biar badangnya lebih
keka, lebih kuat, di mandikan, di naikkan perutnya,
dimandikan dengan air panas, di lampok. bidan desa
Hana (tidak ada).

134

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Ada juga Temangeh yaitu proses pengasapan ibu baru


melahirkan dengan di tutupi tikar pandan, untuk mengeluarkan
keringat.

Gambar 4.9.
Proses Urot Pasca Persalinan
Sumber: Dokumentasi peneliti 2014

Pada hari ke 44 perempuan yang Madeung bersuci dengan


cara mandi menurut ajaran Islam yang disebut Manoe 44 (Hoesin
1970). Setelah 44 hari pasca persalinan, ibu bersalin akan mandi
untuk bersuci. Ritual ini biasa dibantu oleh Mak blien. Ritual ini
dinamakan Manoe Wiladah. Mak blien akan memandikan ibu
dngan membca niat :nawaitu nifah Fatimah meukeulua bedak
karena Allahu ta ala. (Nawaitu nifas Fatimah mengeluarkan bayi
karena Allahu taala). Setelah manoe Wiladah seorang ibu baru
dapat pergi keluar rumah dikarenakan sudah suci kembali.

135

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

4.6. Ie Mik dan Pisang Wak


Meskipun ibu menyusui membutuhkan asupan makanan
yang banyak, namun banyak pula pantangan makanan untuk ibu
menyusui.Mereka dilarang makan ikan yang bersifat buas seperti
belut, lele dan gabus. Hal ini di percaya masyarakat dapat
menurunkan sifat sifat kebuasan ikan tersebut pada bayi. Ibu
Madeung juga dilarang mengkonsumsi daging kambing.
Mengkonsumsi daging kambing pada masa ibu menyusui dapat
menyebabkan bayi terkena step.
Habis melahirkan tidak boleh makan sayur, tidak boleh
minum air dingin, telur rebus, kambing. Kalau makan
kambing nanti anaknya step.

Step yang dialami oleh bayi yang meminum ASI ibu yang
mengkonsumsi kambing adalah sakit dengan gejala bola mata
tidak terlihat dan dari mulut bayi keluar busa. Informan Mak Le
menjelaskan:
Iya, tak boleh makan kambing, nanti kenak sakit
matanya putih semua, mulutnya keluar busa. Bisa sampe
8x setiap hari kayak gitu turun ke anaknya dari imiknya

Inisiasi Menyusu Dini sangat jarang terjadi, meski sudah


mulai di galakkan oleh pihak puskesmas Meutulang. Jika setelah
melahirkan, Ibu Madeung masih kuat, Mak blien akan langsung
memandikan Ibunya kemudian mengrutnya. Urut atau pijat yang
dilakukan pasca Madeung bertujuan agar ASI dapat keluar
dengan lancar. Namun demikian Kolostrum dibuang terlebih
dahulu dengan anggapan susu basi dan mengandung penyakit.
Asi pertama dibuang, selanjutnya di kasi, karena ada
penyakit

Namun menurut Mk Blin, Imik pertma di buang jika anak


pertama masih kecil dan sudah memiliki adik lagi. Iie mik tersebut

136

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

di buak dengan anggapan bahwa ie mik tersebut masih hak dari


anak pertama.
Kalau anak pertama masih kecil , udah ada adeknya itu
(kolostrum) dibuang. Karena itu masih hak anak
pertama. Kalau sudah besaar tidak dibuang.

Kader Baro Paya telah melakukan upaya promosi kesehata


terkaitpemberian ASI. Kalau gak kasi nenen sama anak, nanti
ditangkap. Ucap kader N. Namun demikian Cakupan ASI
Eksklusif di Baro Paya hampir tidak ada. Meskipun semua bayi
mendapatkan ASI, namun bayi tetap di beri pisang Wak (pisang
Monyet) atau pisang ayam.
satu pisang kadang kalao bau lahir satu pun gak abis
(pisangnya). Sekitar 1- 2 bulan baru dikasi nasi.

Pemberian pisang pada beberapa bayi di mulai sejak bayi


baru lahir. Beberapa anggapan msyarkat bahwa ketika baru saja
melahirkan ASI belum ada.
Hari lahir (pertama kali lahir ) dikasi pisang tapi gak
papa. Istri Pak Keuchik

Gambar 4.10.
Menggiling pisang untuk bayi (kiri),
memberi makan pisang pada bayi (kanan)
Sumber: Dokumentasi Penelitii 2014

137

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pisang dianggap makanan wajib bagi bayi. Pisang dianggap


makanan yang lembek sehingga baik untuk bayi. Beberapa bayi di
beri pisang sejak lahir. Pisang yang dihaluskan, dianggap dapat
mengenyangkan bayi yang rewel karena lapar. Biasanya bayi di
beri pisang yang dihaluskan saja hingga berumur 1 bulan.
Pemberian makanan pisang pada bayi baik yang bau lahir
maupun berumur beberapa hari diakui oleh beberapa
masyarakat baropaya adlah saran dari orang tua atau mertua.
itu (pemberian makan pisang) disuruh mertua. Gak bisa
diapa-apain.

Pisang yang diberikan sebaiknya pisang yang masak di


pohon, tidak disarankan memberikan pisang dari hasil karbitan
sepeti penjelasan Mak Wami.
Kalau pisang dikasih ke bayi banyak macamnya seperti
pisang karbit tidak boleh makan kecuali pisang yang
masak di pohonnya bisa segera dikasih.

Kader di Baro Paya sudah berusaha menyampaikan


informasi terkait pemberian ASI saja selama 6 bulan kepada
masyarakat. Namun masyarakat masih belum bisa menerima
untuk meninggalkan kebiasaan yang dilakukan secara turun
temurun. Pernah satu kali, salah satu kader menyampaikan
kepada masyarakat untuk tidak memberi pisang kepada anaknya,
Gak boleh memberikan pisang untuk anak karna dia
masih kecil, perutnya kan masih halus gak sanggup
digiling.
Kamu aja udah gede dulunya pisang juga kamu makan,
udah jadi guru kayak gitu dibilangnya. Kan beda dulu
dengan sekarang, sekarang makanan di kedai itu
bermacam macam campuran atau bahan pengawet kan,
nanti anak anak setelah umurnya mungkin masa kanak
kanak nya udah mendapat penyakit macam macam

138

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

penyakit gitu kan. Tu lah tanggapannya, kek gitu


membantah Kak A.

Jika ASI ibu bayi tersebut tidak keluar Mak blien akan
mengurut si Ibu atau memakan rebusan jantung pisang dan
daun pepaya yang setengah muda di campur dengan garam dan
abu dapur.
Kalau Asi ibunya sedikit akan jantung pisang di rebus,
daun pepaya setengah muda setengah tua di rebus pakai
garam dapur sama abu dapur. Umi Salamah

Agar ASI dapat keluar lebih banyak, Ibu disarakan untuk


tidak banyak bergerak. Untuk pelancar ASI dapat juga digunakan
Halba (biji anak kacang hijau) untuk obat pelancar ASI. Halba
direbus dan diminum airnya.
Halba (biji anak kacang hijau) untuk obat pelancar asi.
Di rebus, diminum airnya. Laini

Sebagian besar ibu di Baro Paya adalah pekerja PT,


sehingga jika ibu bekerja akan memberi ASI kepada bayinya
sepulang dari bekerja maka ASI tersebut harus di buang terlebih
dahulu karena dianggap ASI basi.
Kalo mamaknya kerja, pulang, asinya harus dibuang
dulu kan itu basi. Istri sekdes

Begitu eratnya bayi dengan budaya pemberian pisang,


berdasarkan informasi dari bidan koordinator puskesmas
Meutulang, pernah terjadi kematian bayi akibat pemberian
pisang. Di Baro Paya sendiri, kasus konstipasi akibat pemberian
pisang di alami oleh anak salah seorang kader.

139

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

4.7. Bayi (Sembo Pruet Aneuk Manyak)


Sesudah bayi bersih ia dipangku oleh ayah atau kakeknya,
dengan mengucapkan azan ke telinga bayi, kalau bayi itu laki-laki.
Kalau bayi itu perempuan cukup dengan qamat saja di
telinganya. Kedua macam perkataan ini dilakukan, sebagai
simbolik untuk menyambut kedatangan seorang muslim atau
muslimat (Syamsuddin, T dkk, 1978).
Bayi yang baru lahir akan dimandikan oleh Mak blien,
menurut Mak blien, sebelum abayi di azan, atau di Iqamatkan
oleh ayahnya atau Teungku, bayi harus dalam keadaan bersih
dan suci.
Kalau di rumah sakit abu tidak boleh, dimandiin juga
hanya diseka saja, kalau sama wami dimandiin karena
mau diazankan untuk suci.

Setelah bayi dimandikan bayi akan dipakaikan gurita. Bayi


yang baru lahir hanya di balut dengan kain gurita. Hal ini
dikarenakan jika bayi tersebut memakai baju akan timbul gatal
gatal karena panas.
Masyarakat percaya jika bayi mengenakan baju, ia akan
kaget kaget dan badannya memerah karena kepanasan. Oleh
sebab itu, bayi tidak menggunakan baju. Salah satu bayi yangbaru
saja lahir hanya ditutupi selembar kain sehingga kaki bayi
tersebut sangat dingin.
Pada beberapa bayi yang di tolong Mak blien, proses
pemotongan tali pusarnya menggunakan Buluh (bambu). Bambu
tersebut dipersiapkan sejak isteri hamil. Bambu harus terlebih
dahulu di bentuk menjadi seruling. Seblu digunakan untuk
memotong tali pusar, seuling tersebut terlebih dahulu dimainkan.
Dulu,anak laki-laki potong tali pusat istimewa . potong
tali pusat menggunakan bambu yang dibelah dan di
tajamkan. Sebelum di belah, seruling dimainkan dulu.

140

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Setelah itu digunakan untuk memotong tali pusar. Hal


ini agar suara anak laki laki nya suaranya bagus. Nah,
seruling tersebut disiapkan oleh keluarga. Pak Z

Masyarakat percaya bahwa pemotongan tali pusar


menggunakan bambu yang telah dibuat menjadi seruling akan
menjadikan suara anak tersebut bagus ketika mengaji dan Azan.
Pemotongan tali pusat dengan sembilu dan seruling ada
juga supaya bisa azan, ngaji, suaranya bagus. Mertua
Pak Keucik

Namun, Mak blien Wami yang berasal dari Alue Kuyun


telah menjalin kemitraan dengan bidan desa sehingga proses
pemotongan tali pusar sekarang menggunakan dua buah gunting,
kunyit, benang dan uang logam.
Ini benang untuk mengikat tali pusat sedangkan uang
koin untuk alas tali pusat dan kunyit untuk saksi besok
di hari kiamat (Uroe Kemudian) kalau tidak ada doa,
kelak bayi itu akan mencari saksi di hari kiamat
kemudian potong tali pusat dengan gunting, dulu
dengan bamboo sekarang sudah ada gunting tidak
dipakai lagi bambu, Mak WM.

Pada saat bayi lahir, disambut oleh mablien. Pusat bayi


dipotong dengan sebilah sembilu, kemudian diobati dengan obat
tradisional seperti dengan arang, kunyit dan air ludah sirih.
Kesemuanya ini diaduk dengan menjadi satu untuk ditempelkan
pada pusat bayi. Sebelum pusat tadi dipotong, terlebih dahulu
pangkal pusatnya diikat. Kalau bayi laki-laki dkat dengan tujuh
ikatan, dan kalau bayi perempuan dengan lima ikatan. Setelah itu
bayi dibersihkan oleh mablien. Proses pemotongan tali pusar di
lakukan sesegeram mungkin oleh Mak blien. Karena jika
pemotongan tali pusar di perlama akan membahayakan si bayi.
Pada Saat pemotongan tali pusar, Mak Blien membaca doa :

141

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Nenen naik haji peusun cereumen keuhati ken lon koh


pusatkah seumeulu koh saksi ku tuhan tamah yang koh
tuan fatimah nyang yue koh rasulullah yang koh
bismillahirahmanirrahim.

Bidan mengunjah sirih, kunjit, pinang, gambir dan kapur.


Sesudah hantjur, maka kunjahan itu disemburnja atas baji itu
untuk menghindarkan pengaruh setan jang tidak baik (Hoesin,
1970). Proses penyembuhan luka tali pusar pada bayi yang
ditolong oleh Mak blien menggunakan kunyahan Ranub (sirih
pinang, gambir, kapur) dan di taburi abu dapur.
Setelah pemotongan tali pusar dikasi sirih pinang,
gambir, kapur. Biar anak gak sakit perut, nggak
cacingan. Mak Blien

Pada saat memberikan air sirih yang pertama ke tali pusar


harus dikunyah (Mamoh) oleh mak bidan karena ada ie bobah
mak bidan (air liur) yang menjadi obat (Peuja) bisa mendidih
sehingga talipusar cepat kering. Mak blien mengunyah ranub
dengan membaca bismillah dan dalam hati beuseulamat
aneuk manyaknyoe dan beupanyang umue beumudah razeki.
Kalau dirumah sakit abu tidak boleh, dimandiin juga
hanya di seka saja, kalau sama wami dimaindian karena
mau di azankan untuk suci. Ujar Mak WM yang
mengetahui larangan pemberian abu dapur.

Selain Mak blien, tamu yang berkunjung juga dapat


mengunyah sirih untuk tali pusat bayi. Oleh karena itu, jika
disalah satu kelurga ada yang melahirkan maka anggota keluarga
lainnya akan mempersiapkan ranub untk tamu.
Kalau setelah melahirkan sudah ada sirih, nanti yang
datang (tamu) yang kunyah air sirih untuk si bayi. Kak
La

142

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Gambar 4.11.
Memberikan Air Kunyahan Sirih

Sumber: Dokumentasi Penelitii 2014

Pemberian kunyahan ranub pada tali pusar bayi dipercaya


lebih baik daripada pemberian betadine atau sejenisnya. Hal ini
dikarenakan pemberian kunyahan ranub tidak menyebabkan tali
pusar mengeluarkan bau yang tidak sedap.
Lebih cepat kering air sirih. Kalo betadin 7 hari baru
kering . sebagian kalo pakai betadin itu bau pusarnya
kalo pake ranub gak bau... Kak N.

Pemberian air kunyahan sirih pada tali pusar bayi


menyebabkan tali pusar lebih cepat sembuh dan lebih cepat
tanggal. Masyarakat Baro Paya percaya bahwa semakin cepat tali
pusar anaknya tanggal anak tersebut semakin suka memberi
(tidak pelit). Semakin lama tali pusar tanggal anak tersebut akan
semakin pelit.
Kalau pakai sirih gak bau, 3 hari sudah kering. Sebelum
lepas tali pusat Cuma 2 kali mandiin anak, biar cepat
kering. Isteri Pak Keuchik

143

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Imunisasi di Baro Paya tidak pernah terpenuhi 100%.


Banyak faktor yang memengaruhi tidak tercapainya imunisasi.
Posyandu di Baro Paya hanya dilaksanakan di Dusun Cot
Meureubo dimana Posyandu Plus berada. Jika Bidan Desa tidak
dapat hadir, kader akan melakukan Posyandu dirumah salah satu
kader. Lokasi Posyandu ini yang sering jadi kendala bagi
masyarakat Alue Gajah untuk ikut berpartisipasi membawa
anaknya ke Posyandu Plus Baro Paya. Letak yang cukup jauh dan
kondisi jalan di PT Mopoli yang buruk menjadikan cakupan
Posyandu di Alue Gajah sangat rendah. Selain jarak yang cukup
jauh untuk cakupan posyandu yang hanya di lakasanakan di
dusun Cot Meureubo, Peran ayah juga sangat berperan terhadap
pemberian imunisasi. Seperti diceritakan Kak A bahwa beberapa
ibu tidak mengizinkan anaknya diimunisasi karena dilarang oleh
ayahnya karena akan menyebabka anak tersebut demam dan
rewel setelah diimunisasi.

Gambar 4.12.
Penimbangan balita di posyandu (kiri), Balita mengkonsumsi PMT dari
Posyandu (kanan)

Sumber: Dokumentasi Penelitii 2014

Tradisi Turun Mandi yang harus dilalui oleh setiap bayi


menghambat Imunisasi. Bayi yang belum melaksanakan Turun
Mandi atau Peucicap tidak boleh keluar rumah karena dianggap
belum suci. Hal ini menyebabkan bayi tersebut tidak dapat di

144

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

bawa ke Posyandu sebelum melakukan Turun Mandi. Sementara


itu Turun Mandi dilakukan jika orangtua bayi sudah memiliki
rezeki.
Meskipun dalam beberapa hal anak pertama dibedakan
dengan anak berikutnya, namun dalam hal ritual turun mandi
tidak ada perbedaan tersebut. Acara turun mandi juga tidak
dibedakan baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan.
Turun mandi tidak ada beda laki-laki dengan
perempuan kecuali kalau ada nazar ( hajatnya) Kak N,
Kader

Kalau ada rejeki, kenduri besar besar. Kalau tidak ada 1


talam aja kenduri untuk Pak Tengku dan Bu Bidan (Mak blien),
Istri Pak Keucik
Pada saat pecicap, Mak blien meletakkan bayi meletakkan
bayi yang bersangkutan di atas kasur kecil yang ditutup dengan
kain cantik. Ia menyerahkan pertama kali kepada tengku
Meunasah. Kemudian Teungku melakukan pecicap dengan
membaca Bismillahirrohmannirrohim (Hoesinn, 1970).
Pecicap harus tengku. Bidan yang menyerahkan kepada
tengku Pak Z
Ritual turun mandi Rasya dihadiri oleh Mak blien dan 2
orang pak tengku. Salah satu adalah tengku Ju.

145

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar4.13.
Perlengkapan acara Peucicap
Sumber: Dokumentasi Penelitii 2014

Mak Wami, Mak blien yang membantu proses persalinan


Kak May datang dengan baju berwarna merah, dengan ramah ia
menyapa beberapa tetangga Kak Maimunah. Mak Wami seperti
berada di kampungnya sendiri. Menyapa sanak saudaranya
sendiri. Begitu memasuki rumah kak Maimunah, Mak Wami
menyalami seluruh tamu termasuk pak Tengku yang lebih dulu
hadir di tempat tersebut. Mak Wami langsung menuju kamar Kak
Maimunah, memeriksa kelengkapan Turun Mandi yang telah
disiapkan dalam sebuah talam besar. Dalam talam tersebut

146

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

terdapat Sisir, gunting, cermin, kelapa Muda, beras, dan blekat,


hati Manoo, bedak, semangkuk abu untuk membakar kemenyan.
Kemudian Mak blien mengeluarkan beberapa tumbuhan dari
tasnya, salah satunya sirih, ia menggulung beberapa helai sirih,
meminjam cincin si empunya rumah untuk mengikat sirih
sehingga membentuk gulungan yang cantik, sementara itu,
beberapa tumbuhan rumput, ia ikat dengan karet dan ia
celupkan di air putih. Mak wami juga menyiapkan sepiring ranub
dan temabakau yang dilengkapi beberapa potongan pinang di
bagian atasnya. Mak Wami mengangkat perlengkapan turun
mandi tersebut ke hadapan pak tengku, setelah itu ia
menggendong bayi Rasya, dan menyerahkannya pada Teungku
Junid. Teungku mulai menyapa rasya, bayi mungil itu bermain
main di atas pangkuan Teungku. Teungku mulai membaca doa.

Gambar 4.14.
Pemecahan Kelapa di acara Turun Mandi
Sumber: Dokumentasi Penelitii 2014

Perbedaan ritual turun mandi pada anak laki laki dan anak
perempuan adalah penanaman nilai yang akan dianutnya hingga

147

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dewasa nanti. Untuk Turun Mandi anak perempuan, Pak Teungku


akan menggendongnya sambil menyapu masjid. Jika turun mandi
anak laki-laki, pak Teungku kan menggendongnya dan membabat
sedikit rumput di sekitar masjid dengan harapan hal tersebut
akan turun ke anak tesebut.
Kalau perempuan nyapu mesjid, kalau laki laki babat
biar turun (ke anaknya ) dia nanti. Isteri Pak Keuchik

Sebelum Turun mandi seorang bayi tidak boleh dibawa


keluar rumah. Hal ini dipecaya masyarakat dapat menyebabkan
anak bayi tersebut diganggu oleh jin. Hal ini yang menjadi
kendala imunisasi di Baro Paya
Imunisasi itu baik. Kalau imunisasi disini sempat, atau
kalau bidan kesini bisa. Kalau ini belum turun tanah itu
menginjek pasir aja dia gak bisa. Kalau belum turun
tanah di bawa keluar akan fatal akibatnya sakit sakit,
kesurupan. Nyak E

4.8. Anak-anak Baro Paya


Khitan bagi anak anak suku Aceh di Baro Paya sedikit
berbeda pada anak perempuan. Anak perempuan Baro Paya di
khitan pada usia 5-12 tahun. Penyunatan/pengchatanan
dilakukan oleh seorang ahli jang dinamai "mudem". (Hoesin,
1970) Khitan di Baro Paya masih dibantu oleh Mudem. Hal ini
dikarenakan masyarakat Baro Paya lebih memilih menggunakan
obat obatan alami. Menurut mereka, jika menggunakan obat
obatan kimiawi dapat menyebabkan lemah syahwat.
Kalau khitan disini rata-rata umur 12 tahun tamat SD
dulu kami ke mudem (tukang khitan tradisonal) dan
lebih bagus karena tidak di bius dan tidak menggunakan
obat-obatan kimiawi takut efeknya setelah usia kita akan

148

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

lemah syawat kata orang tua dulu Ad. Pemuda Baro


Paya

Menurut Mertua Pak Keucik dilakukan acara syukuran atau


Pseujeuk ketika khitan anak laki laki, namun tidak ada acara
untuk khitan anak perempuan. Tetapi sunat rasul bagi anak
perempuan, tidak diadakan upacara seperti anak laki-laki.
Kadang-kadang sunat rasul anak perempuan ini dilakukan secara
diam-diam, hanya diketahui oleh keluarganya saja (Syamsuddin
T, 1978)
Biasanya sebelum seorang anak laki-laki di khitan akan di
adakan acara syukuran. Hal ini dilakukan sebelum anak tersebut
dikhitan karena terdapat beberapa pantangan makanan setelah
khitan disebabkan adanya luka. Anak yang disunat itu dahulu kala
dipantangkan. Kepadanya diberikan nasi kering, tidak bersayur
dengan ikan tjuet yang dipanggang atau ikan kayu (keumamah)
yang dimasak atau dibasahi saja. Emping diberikan juga
pengganti nasi. Kesemuanya dimaksudkan supaya luka si anak itu
lekas sembuh (Hoesin, 1970).
Ada Pseujiuk biasanya 3 hari sebelum khitan. Agar si
anak juga bisa makan. Setelah khitan gak boleh makan
nasi dan ikan, Cuma ikan teri. Minum tidak boleh banyak
biar cepat kering lukanya, telur juga tidak boleh sampai
sembuh. Buah buahan boleh Mak Bu

Menurut masyarakat Aceh, jika saat luka mengkonsumsi


kelapa luka akan menimbulkan bekas putih, namun masih
diizinkan untuk mengkonsumsi satan. Lingkungan Aceh yang
sangat terkenal dengan kenikmatan kopinya yang disajikan setiap
acara juga berpengaruh terhadap luka. Menurut masyarakat,
kopi menyebabkan luka berdenyut denyut selain itu
menyebabkan resisten terhadap antibiotik.

149

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Kalau luka gak boleh makan kelapa nanti (lukanya)


berbekas putih. Santannya boleh . Kalau minum kopi
lukanya berdenyut-denyut (bukan hitam). Antibiotik gak
mempan kalau kenak kopi Jelas Mertua Pak Keucik
tersebut.

Penyakit cacar menurut kepercayaan orang Aceh dulu,


berasal dari seorang perempuan tua yang diberi nama Ni. Ia
menularkan penyakit ini kepada manusia, dengan jalan
menyebarkan bibit-bibitnya. Dahulu penyakit ini diobati dengan
bunga yang disiram airnya ke atas orang sakit, sementara orang
ini diletakkan di daun pisang (Hoesin, 1970). Salah satu penyakit
yang paling sering diderita oleh anak anak Baro Paya adalah
Bungong Nek Ni. Menurut kepercayaan masyarakat, penyakit ini
disebabkan oleh Seorang perempuan tua bernama Ni. Ia
menyebarkan penyakit melalui udara. Gejala penyakit Bungong
adalah seperti cacar yaitu muncul benjolan benjolan kecil di
tubuh anak tersebut. Masyarakat baro paya sebagian membawa
anak mereka ke Puskesmas jika terkena Bungong namun
beberapa diantaranya melakukan pengobatan tradisional.
Penyembuhan untuk peyakit bungong ini adalah dengan
membakar kemenyan pada sore hari kemudian asap dari
kemenyan tersebut dikibasakan dengan menggunakan mukena
ke lingkungan rumah dengan mengucapkan mantra,
Ambillah bungongmu ini Nek Ni, Ambillah Bungongmu
ini Nek Ni.

Balita di Baro Paya lebih sering tidak mengenakan pakaian.


Hanya mengenakan celana saja. Maya, balita berusia 3 tahun
terlihat hanya mengenakan celana pendek yang menyerupai
celana dalam anak anak. Padahal, diluar, cuaca mendung
menyebabkan dingin. Satu satu tetes halus air yang turun
menambah dingin itu menjadi basah.

150

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Gambar 4.15.
Kebiasaan Anak yang Tidak Memakai Baju
Sumber: Dokumentasi Penelitii 2014

Pun demikian dengan Raga, adik Maya yang baru 10 hari


merasakan udara dunia. Hanya ditutupi oleh selembar kain
panjang dan kelambu bayi.
Disino leupi di eh disino bubong on menyo han
disideh suum that maka jih di beudoh berteh bertes
jih. jelas Mak Le, nenek dari Maya dan Raga.
(bayinya disini dingin enak tidurnya karena atap
rumbia lebih dingin di ruang depan atapnya seng
jadi kulit nya bintik-bintik merah kalau tidur disana).
Pun demikian dengan Rasya Ananda, adik Mona yang baru
10 hari merasakan udara dunia. Hanya ditutupi oleh selembar
kain panjang dan kelambu bayi. Mak N, menjelaskan:
Disino leupi di eh disino bubong on menyo han
disideh suum that maka jih di beudoh berteh bertes
jih.

151

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

(bayinya disini dingin enak tidurnya karena atap


rumbia lebih dingin di ruang depan atapnya seng
jadi kulit nya bintik-bintik merah kalau tidur disana).

Gambar 4.16.
Bayi yang Tidak Menggunakan Baju
Sumber: Dokumentasi Penelitii 2014

Hal ini menyebabkan banyak anak anak di Baro Paya


masuk angin. Pengobatan tradisional yang dilakukan oleh Etnis
Aceh biasanya menggunakan daun sirih atau Ranub. Ranub dipilih
karena kepercayaan masyarakat bahwa ranub memiliki sifat
menghangatkan. Ranub juga digunakan Etnis Aceh sebagai
pengganti minyak kayu putih. Ranub akan di kunyah kemudian
air hasil kunyahan akan di balurkan ketubuh anak untuk di
gunakan sebagai pengganti minyak kayu putih.
Beberapa balita akan diberi Jimat di lehernya. Hal ini di
percaya menjauhkan anaknya dari gangguan jin dan penyakit.
Penyakit yang sering di derita oleh anak anak dan orang tua salah
satunya Geulase. Geulase adalah sejenis penyakit gatal gatal,
beberapa masyarakat memercayai penyebab Geulase adalah
mandi di sungai atau di colek jin sungai, beberapa lainnya alergi

152

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

terhadap sesuatu termasuk air sungai. Geulase ini dapat


disembuhkan dengan kunyahan Ranub.

Gambar 4.17.
Anak Baro Paya memakai jimat
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Kalau alergi (geulase) bisa disembuhkan dengan


sembur air sirih (pinang, kapur, gambir dan sirih) dan
sebahagian ada dengan air lalu di baca doa. Lalu tgk
mempraktekkan cara mengunyah pinang, sirih dioles
kapur untuk dijadikan obat gatal lalu dioleskan dari
tangan, kaki dan dahi lalu membaca doa, lalu di sembur
ke orang yang sakit lalu dilanjutkan bismillahirahmanirrahim. lalu disembur 3 x ke muka orang yang
sakit. Ucap Tgk Ha.

153

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

154

BAB 5
RANUB DAN PELAYANAN KESEHATAN

5.1. Mamoh Ranub


Ranub atau yang dikenal secara umum oleh masyarakat
Indonesia dengan Sirih sangat dimuliakan di Aceh. Hal ini lah yang
menyebabkan seluruh upacara adat dalam siklus kehidupan
masyarakat Aceh selalu menyertakan Sirih. Selain itu sirih juga
digunakan untuk menghormati dan memuliakan orang lain. Pada
zaman dahulu, untuk menyambut raja raja akan di persembahkan
ranub.
Ranub bagi masyarakat Aceh tidak hanya sekedar
tumbuhan yang memiliki manfaat secara fisik semata. Namun di
balik itu ada berbagai penafsiran poli-interpretasi, karena di
dalam memahaminya ranub menjadi simbol yang multi rupa.
Sehingga adat dan ranub menjadi dua hal yang tidak dapat
dipisahkan di Aceh.
Itu namanya kemuliaan dan sirih itu sangat dimuliakan
disini. Misalnya ada acara pesta, itu disediakan ranub
sebagai lambang kemuliaan Yusna Dewi,

Ranub digunakan dan disajikan mulai dari melamar anak


gadis, Pernikahan, menyambut tamu penting, sebagai pemulya
Jamee, hamil, melahirkan, turun mandi, peucicap hingga
kematian. Pada saat kenduri kematian, tuan rumah akan
mengeluarkan ranub, air, dan beberapa uang yang diletakkan di
dalam talam.

155

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 5.1.
Ranub untuk tahlilan
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Selain dalam tradisi kebudayaan dan upacara-upacara


kehidupan masyarakat Aceh, Ranub juga digunakan sebagai salah
satu pengobatan, baik itu dikonsumsi sebagai obat, atau
digunakan sebagai media berkomunikasi dengan mahluk halus
dan roh-roh leluhur. Ranub juga digunakan sebagai media
katalisator doa doa yang dianggap dapat menyembuhkan
penyakit.
Ada kegiatan-kegiatan yang mengunakan sirih istilah
Acehranub ada yang untuk dimakan, ada untuk kenduri
(Pesta), melihat penyakit karena roh halus (seumapa),
berdoa (meurajah) pengobatan tali pusar pada bayi, ada
juga pada meninggal (sirih atam) untuk samadiah
(tahllilan) ada ditaruk tembakau, sirih, uang
semampunya.. Pak Keuchik

Jikalau seorang baru kembali dari menziarahi suatu


kuburan, tiba-tiba mendapat sakit perut atau terduduk dan
bingung, maka ia itu sudah "seumapa" kata orang Aceh yakni
orang yang telah mati bicara dengan dia (Hoesin, 1970). Penyakit
156

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Seumapah adalah penyakit yang diduga disebabkan oleh


gangguan roh leluhur. Beberapa sakit perut diduga disebabkan
oleh gangguan roh leluhur.
Kalau anak sakit perut biasanya melihat seumapah
misalnya sakit perut di rajah di daun sirih. Kak Atun

Seumapah dilakukan dengan cara memotong daun sirih


menjadi potongan potongan kecil. Sekitar lima lembar daun sirih
di persiapkan, dua diantaranya dipotong menjadi persegi kecil
sebanyak delapa potongan. Kemudian sebgai alasnya di letakkan
selembar kain. Sebelum melakukan seumapah, sirih dirajah
terlebih dahulu dengan membaca doa:
Auzubillahminashaitan nirajeem,
Bismillahirahmanirrahim
Qul Huw-Allahu Ahad
Allah-us-Samad
Lam yalid wa lam yulad
Wa lam yakul lahu kufuwan ahad

Kemudian dihembuskan nafas ke dalam genggaman


ranubyang telah di potong tersebut. Kemudian diniatkan dalm
hati menyebut nama roh leluhur yang dicurigai mengunjungi
dan menjadi penyebab penyakit. Setelah itu ranub yang ada di
tangan di jatuhkan ke atas kain. Jika ranub terbuka (bagian atas
menghadap ke atas) artinya benar arwah tersebut yang
mengunjungi jika tertutup artinya bukan arwah tersebut yang
menjadi penyebab penyakit. Jika tidak ada potongan ranub yang
terbuka diharuskan menyebut dalam hati nama roh leluhur
lainnya yang diduga menjadi penyebab penyakit. Begitu berulang
ulang hingga terdapat beberapa ranub yang terbuka.

157

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar5.2.
Memotong Ranub untuk Seumapah
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Gambar 5.3.
Merajah Ranub untuk Seumapa
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

158

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Ranub yang terbuka di kumpulkan, sedangkan potongan


ranub yang tertutup dibuang. Kumpulan ranub yang terbuka di
kumpulkan, di letakkan di atas selembar ranub yang masih utuh
kemudian di baca doa yang sama seperti di awal sebanyak 3 kali.
Setelah itu ranub di oleskan kapur dan di makan oleh yang sakit.
Jika yang sakit adalah anak-anak, maka yang mengunyah sirih
(mamoh ranub) adalah ibunya kemudian ampas dari Mamoh
ranub tersebut diletakkan di perut dan kepala anak yang sakit
tersebut.
Untuk melihat kenapa banyi nangis (Seumapa) lalu
dikunyah dan di oles di kening, perut dan di kaki, Laini

Penggunaan ranub lainnya adalah sebagai obat gatal.


Masyarakat percaya, jika setelah pergi ke Alue masyarakat sakit,
atau sakitya bertambah parah, itu berarti ia telah dicolek oleh jin
Alue.
Seperti saya ini, luka kaki saya. Ke alue. Tambah besar
lukanya, itu di colek jin. Bisa saya kunyah sirih saya
taruh disini. Sembuh dia. Yah Cot Dheng.

Selain dioleskan langsung, ranub juga digunakan sebagai


media peramal (Keumalon), biasanya untuk beberapa penyakit
berat yang tidak diketahui sebabnya. Keluarga akan membawa
ranub ke tabib atau dukun kampung. Kemudin dukun akan
membaca mantra (jampi) dan membaca dari ranub tersebut apa
dan siapa yang menyebabkan penyakit tersebut. Kemudian
keluarga akan membawa pulang ranub tersebut, mengunyah nya
dan menyemburkan ranub tersebut ke orang yang sakit.
Biasanya, dukun yang dapat melakukan hal ini adalah yang
memiliki ilmu hitam.
Eun Ranub (daun sirih) dan uang 10.000 dibawa oleh
kita kalau keluarga sakit kita yang kesana dengan
membawa daun sirih dan menjelaskan, sampaikan

159

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

keluhan sakit dan cara sakitnya dan yang datang


kesana keluarga yang sehat kesana untuk mencari tahu
kenapa sakitnya apakah meurampot (diganggu jin)
Umi Salamah

Jika penyebab sakit sudah diketahui, misalnya diganggu


oleh jin yang berada di sungai maka proses pengobatan
selanjutnya dapat dilakukan oleh keluarga yang sakit sendiri.
Bilamana seseorang dengan tiba-tiba mendapat sakit perut,
muntah-muntah, dikatakan bahwa ia sudah tersapa
(meurampot). Supaya sembuh, maka perempuan-perempuan tua
merampotnya (mengipasnya) (Hoesin, 1970).
Kalau kena gangguan jin atau di colek sama iblis/ di
cukeh lee iblis (meurampot) di sungai kita datang
kesungai dengan membawa gayung (mok) , api dan
kemenyan di bakar. Kita ambil air dan bawa pulang.
Minta sama air sungai tersebut untuk kesembuhan
yang sakit geu jak jok ubat ureung saket bek saket lee
beu puleh (mau kasih obat untuk orang sakit semoga
cepat sembuh) lalu air tersebut di percikkan (direutek)
di tubuh orang sakit. Umi Salamah

Pada beberapa kasus, penyakit ada yang berasal dari guna


guna manusia. Artinya penyakit tersebut dikirimkan oleh orang
lain. Biasaya untuk penyembuhan penyakit ini, dibawa kepada
tabib atau tengku.
Ada yang kena penyakit serbuk (didatangkan dari
orang), kerasukan iblis (meurampot) dan akhirnya
datang sama (ustad) teungku atau tabib dengan
membawa sirih (untuk Keumalon) dan ditulis didaun
sirih bolak balik biasanya demamnya jam 3 besoknya jam
3 lagi berulang-ulang dan datang kesungai membawa
muk ( gayung) mengambil air dan meminta kepada

160

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

tuhan untuk obat lalu di minumkan kepda orang sakit.


Cot dheng

Pada masyarakat Aceh Baro Paya pengobatan bisa juga


dibantu oleh Teungku. Penyakit yang disebabkan mahluk gaib,
jin, iblis dan lain lain akan di obati oleh teungku dengan cara
merajah.
Sakit parah adalah sakit kena demam tidak sadarkan
diri lalu tidak sanggup bangun, tidak sangup makan,
tidak sangup minum dan di bawa ke orang pintar untuk
di radjah, bisanya pulang dari kebun sudah demam, ada
juga di rumah makin lama makin parah. Yah Jamil,
Mertua Pak Keuchik.

Rajah adalah membacakan beberapa doa dengan tujuan


untuk menyembuhkan seseorang. Media untuk merajah antara
lain air dan ranub. Ranub yang digunakan untuk merdjah sama
seperti ranub lainnya, hanya saja sebelum di kunyah ranub
tersebut harus terebih dahulu di beri doa doa.
Auzubillah minashaitan nirajeem, bismillahirahmanirrahim, Astagfirullahal azim 3 X al lazi laa ilaha illa huwal
hayyul qayyum wa atubu ilaih lahaula wala kuta
illabillahilalim azim, Ashaduallah ilahaillallah wa
ashaduanna muhammadurrosullah, Allahumma shalli
ala sayyidina Muhammad wa'ala ali wa sah bihi wasalim
3x
Auzubillah
minashaitan
nirajeem,
bismillahirahmanirrahim neutulong ya allah neutulong
ya rasullullah neutulong ya habillulah neutulong ya
malaikatullah neutulang yaa jibrail, neutulong mikail,
malaikit atib, ya ali neutulong abubakar rahmah
pepimpin awalun shalihin cahaya baginda wali ya
rasullullah sijuk ban ie leupi bantimah berkat kalimah
lailahaillah lalu di sembur keorang yang sakit lalu

161

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dilanjutkan bismillahirahmanirrahim. lalu disembur 3 x


ke muka orang yang sakit.

Kemudian sisa dari ranub akan dioleskan ke seluruh tubuh


yang sakit mulai dari kepala hidung tangan kanan, tangan kiri,
kaki kanan, kaki kiri. Hal ini bertujuan agar penyakit yang diderita
di cabut dari kepala dan di keluarkan melalui kaki.

Gambar 5.4.
Pak Teungku Mengunyah ranub yang sudah dirajah
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Proses merajah dilakukan oleh Teungku sore hari saat


matahari mulai turun. Proses Merajah tidak boleh dilakukan pada
saat pagi dan siang hari, sebab pada saat pagi dan siang hari
maahari sedang beranjak naik dan berada pada puncak tertinggi,
jika merajah pada saat tersebut, penyakit yang di derita juga akan
meningkat keparahannya. Jika meradjah pada saat sore hari,
matahari sedang dalam posisi turun untuk terbenam, penyakit
akan turun juga.
Sebagai obat sehari hari, ranub digunakan dengan cara di
kunyah (Mamoh) pula. Sebagai obat mencret dan masuk angin,

162

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

ranub di kunyah dan di semburkan airnya ke perut yang sakit.


Menurut masyarakat, ranub berkhasiat jika di kunyah (mamoh).

Gambar 5.5.
Pak Teungku Mengoleskan kunyahan ranub ke orang sakit
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Kalau ada anak-anak yang sakit mencret kunyah sirih


dan pinang muda taruk di perutnya ( yang ada
getahnya), hanya yang di kunyah yang berfungsi. Umi
Sa.

Penggunaan Ranub yang paling penting adalah sebagai


penyembuh tali pusar bayi. Setelah Mak blien mengunyah ranub,
air kunyahannya di semburkan di pusar bayi dan ampasnya di
letakkan di pusat bayi tersebut. Selain untuk Bayi, air kunyahan
ranub juga dioleskan ke perut ibu yang baru bersalin.
Makblin sering menggunakan sirih sambil cerita-cerita
dalam membantu persalinan melalui kunyahan apakah
mengandung kuman-atau tidak dan langsung dipakai di
perut bayi, perawatan tali pusar dan di perut si ibu,
malah ada juga yang dibalut kita lihat ketika dilapangan.
Pak Ha, Kepala Puskesmas Meutulang.

163

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 5.6.
Mengoleskan air kunyahan ranub di perut bayi
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Gambar 5.7.
Memakan Ranub sebagai selingan sehabis makan
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

164

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Masyarakat Baro Paya memliki kebiasaan mengkonsumsi


ranub sehabis makan. Jika ada jamua makan akan disediakan satu
piring ranub beserrta kapur dan pinangnya.
5.2. Rumah sakit, Pustu, atau Posyandu Plus
Gampong Baro Paya merupakan salah satu gampong yang
letaknya berada di pinggir jalan lintas. Selain itu, Baro Paya
merupakan salah satu dari dua gampong yang memiliki Posyandu
Plus. Namun sebagian besar masyarakat menganggap Posyandu
Plus tersebut adalah Puskesmas Pembantu yang dapat melayani
masyarakat seperti puskesmas induk. Beberapa warga
mengeluhkan tidak adanya tenaga kesehatan yang menjaga
Posyandu Plus tersebut.
Masyarakat senang dengan adanya Posyandu Plus di baro
Paya, seperti ungkapan Yah Cut Dheng, Namun masyarakat
berharap lebih pada Posyandu Plus. Masyarakat baro Paya
berpendapat dengan adanya fasilitas kesehatan di daerah
tersebut, sehrusnya dilengkapi dengan pelayanan kesehatan yang
siap sedia setiap hari.
Pandangan masyarakat kalau rumahnya (bangunan
pustu) bagus, suka masyarakat. Tapi doktornya gak ada,
bidannya gak ada. Itulah rugi rumah itu. Buat apa
pemerintah bikin gak ada orang duduk. Ini kalau ada
orang lahir pergi ke meutulang. Dulu ada disitu gak
berhenti, ndak pulang pulang, dia lakinya kerja di PT. Dia
ada terus jam 1 pun ada dia Sekrang nggak. Pulang dia.
Padahal pil sirop-sirop ada disitu kan sayang. Kan kalau
demam demam ada mentri disitu kan dekat. Yah Cot
Dheng

Sebelum Bidan Sofi yang bertugas di Posyandu Plus Baro


Paya, ada Bidan Atun yang tinggal di Posyandu Plus. Karena

165

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

suami Bidan Atun bekerja di PT. Mopoli, bidan Atun dapat tinggal
di Posyandu Plus. Namun, Bidan Atun meninggal beberapa tahun
lalu dikarenakan penyakit seperti stress. Saat ini, masyarakat
mengharapkan adanya tenaga kesehatan yang dapat
menggantikan Bidan Atun.
Bidan Sofi yang hanya di notadinaskan untu membantu
Posyandu Plus di Baro Paya hanya datang beberapa hari sekali.
Selain itu masyarakat juga mengeluhkan waktu kehadiran bidan
desa. Hal lainnya yang menyebabkan masyarakat enggan
mengunjungi Posyandu Plus adalah obat yang tidak bervariasi.
Seperti diungkapkan oleh Bang Husein,
Masyarakat sudah malas ke situ (Pustu) sakit kepala,
sakit perut, luka obatnya dikasi itu juga. Tugasnya kan
melayani pasien-pasien, malas dia duduk duduk disini.
Gak ada juga obat disini , disuruh ke puskesmas.
Harapan saya ada yang disini kalau gak 24 jam pagi
sampe sore aja.

Kurangnya minat masyarakat menggunakan fasilitas


kesehatan sebagai rujukan jika masyarakat sakit. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain masyarakat masih
lebih percaya dengan dukun, tabib dan tengku, selain itu
masyarakat juga memiliki ketakutan terhadap pelayanan
kesehatan, seperti diungkapkan oleh Kak Aca.
Jaman dulu kayak gitu kan kalo udah datang ke
puskesmas dimasukkan pipet ke dalam mulutlah katanya
takut. Dulu kayak gitu, tapi sekarang sudah banyak
berubah

Masyarakat sangat beharap posyandu Plus di manfaatkan


dengan baik. Anggapan masyarakat yang menganggap bangunan
posyandu Plus sebagai bangunan Puskesmas Pembantu

166

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

menjadikan masyarakat mengharapkan suatu pelayanan


kesehatan lebih yang seharusnya ada di posyandu plus tersebut.
Sering-sering ke sini. Jangan ke puskesmas aja. Pigilah
ke pustu. Seminggu Cuma sekali, padahal jatahnya dia 4
hari disini, jumat sabtu aja yang tidak disini harusnya, ini
Cuma seminggu sekali.Mardiati

Menurut warga, bidan yang diperbantukan belum banyak


membantu dalam hal pelayanan kesehatan.
Ndak banyak membantu bidan yang kesitu karena tidak
disitu dia Kak M, Kader.

5.3. Mak Blien di Masyarakat Aceh


Mak blien adalah sebutan untuk dukun beranak bagi
masyarakat Aceh. Mak Blien memiliki sebutan lain yaitu Mak
Bidan dan Bidan Kampong. Sebutan ini dikarenakan tugas yang
dilaksanakan oleh Mak blien seperti yang dilakukan oleh Bidan
Desa atau bidan puskesmas, yaitu menolong persalinan.
Mak blien yang berarti yang menyambut bayi. Gampong
Baro Paya sendiri tidak memiliki Mak blien. Jo Maneh, Mak blien
Baro Paya baru beberapa tahun yang lalu meninggal.
Untuk menjadi seorang Mak blien ada yang berguru ada
juga yang keturunan. Mak blien terdekat dari Gampong tetangga
yang masih berada dalam satu mukim, yaitu gampong Mugo Cut.
Namun Mak blien Mugo Cut jarang di pakai ketika melahirkan.
Hal ini di karenakan Mak blien Mugo Cut masih mudah.
Masyarakat menilai, beliau belum banyak pengalaman mengenai
persalinan. Selain itu, Mak blien Mugo cut juga tidak sabar
seperti Mak blien Alue Kuyun. Tidak mau menunggu kelahiran
bayi yang tidak dapat di prediksi dengan pasti.
Mak-blien Alue Kuyun memiliki cakupan wilayah kerja yang
luas dan tidak dibatasi oleh batas batas administratif. Mak blien

167

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Sawami menyebutkan beberapa daerah yang biasanya ia bantu


persalianan nya yaitu Gampong Baro, Baro Paya, Alue Kuyun,
Gampong Keramat, Meutulang dll.
Cakupan wilayah kerja yang melampaui batas batas
administrasi ini menjadikan puskesmas sulit menjalin kemitraan
dengan Mak blien. Mak blien Sawami yang tinggal di Alue Kuyun
yang termasuk kecamatan Woyla Timur tidak menjadi cakupan
kemitraan oleh bidan d Puskesmas Meutulang. Sementara,
sebagian besar persalinan di Gampong Baro Paya di tolong oleh
bidan Sawami.
Posisi Mak blien di Masyarakat Aceh dianggap sebagai
penolong. Seperti halnya disampaikan oleh Pak Zainal (Tuha
Peut) bahwa Mak blien mendapatkan rejeki dan pahala. Sadar
dengan posisinya itu, Mak blien Sawami tidak pernah mencari
orang hamil dikarenakan takut dianggap mencari uang.
Mereka suruh saya cari yang hamil, kan saya gak tau.
Siapa yang datang ke sini, saya tolong, kalau tidak ya
saya tidak tau, kita kan menolong. Mak blien.

Beberapa alasan masyarakat masih menggunakan Mak


blien sebagai penolong persalinan beberapa dikarenakan saran
orang tua atau mertua, beberapa lainnya karena lebih percaya
dan menganggap Mak blien lebih berpengalaman
Nenek nenek kami juga dulu ke bidan kampung kalau
anak kami sungsang ke bidan kampung bisa, bidan
puskesmas kan gak bisa. Bidan kampung dikasi mandi 7
hari. Biaya bidan kampung Cuma 300 ribu 1 orang.
Mardiati, Kader.

Selain kepercayaan masyarakat, fasilitas pelayanan yang


diberikan Mak blien sangat baik. Mak Blien merawat ibu
Madeung hingga 10 hari pasca persalinan

168

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

3 hari (dikusuk), seminggunya itu datang lagi dia, atau


10 hari dimandiin kita sama dia, ada dikasi (Lampok)
obat-obat itu diperut. Ada mamk kita yang cari dirumah,
dia (Ma Blin) yang kasi. Kalau dia gak sempat dibantu
mamak nanti.

Selain Obat obatan untuk mengecilkan perut, Mak blien


juga melakukan pijat untuk mengeluarkan ASI ibu. Hal ini
diketahui Mak Blien karena mak Blien mengurusi ibu tersebut
selama beberapa hari.
Kayak gitu lah.. kalau dikampung kita diberikan obat
tradisional dah itu dikusuk biar keluar air asinya biar
badan kita normal kembali.

Gambar 5.8.
Perlengkapan Mak Blien untuk menolong ibu bersalin
Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Metode pembayaran dengan Mak blien di nilai tidak


memberatkan masyarakat. Hal ini disebabkan, masyarakat dapat
membayar dengan cara di angsur. Batas angsuran juga tidak
ditetapkan secaa pasti oleh Mak blien.

169

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Persalinan yang ditolong oleh bidan desa tidak


membutuhkan biaya, sementara persalinan yang ditolong oleh
Mak blien membutuhkan biaya sebesar Rp. 350.000 - Rp 450.000
setiap persalinan. Namun tidak semua uang itu dimiliki oleh Mak
blien, sebagian akan diberikan Mak blien kepada ibu yang baru
saja bersalin sebagai sedekah.
Kalau saya biasanya RP. 450.000 yaitu untuk saya Rp.
400.000 Rp.25.000 untuk bayi dan Rp.25.000 untuk
ibunya itu sedekah saya ibadah saya ke allah dan ini
syarat yang harus saya lakukan.

Masyarakat lebih memilih Mak blien daripada bidan desa


meskipun dari segi jarak, untuk menjemput Mak blien dan bidan
desa yang keduanya berada di kecamatan yang berbeda
membutuhkan waktu yang hampir sama.
Kalau menurut kakak disini lebih suka sama bidan
kampung karena kan kalau bidan dari puskesmas pun
kan jauh kan. Agak terasa jauh ke meutulang. Di
Meutulang pun gak ada disitu, pulang ke kapung sophie
kan, di Kaway kan. Kak Aca, Ketua Kader

Ada banyak pilihan penolong pesalinan, menurut kak


Dede, Mak Blien gampong tetangga selain masih muda juga agak
sombong. Dikatakan agak sombong karena beliau tidak mau
menunggui ibu yang proses melahirkannya cukup lama. Jika
keluarga meminta Mak blien tersebut untuk menunggu, maka
beliau akan meminta uang pengganti gaji selama menunggu ibu
melahrkan, karena beliau juga bekerja di PT. Mopoli Raya.
Mugo Maboo (agak sombong) tidak mau menginap di
rumah. Bidan Alue kuyun sabar , udah tua, mau ngurut.
Sudah tradisi disini pake bidan kampung alue kuyun. Jadi
dikasi tau masyarakat. Dede Sanawiyah.

170

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Pihak puskesmas telah menyiapkan pos jaga untuk


ditempati bidan agar bidan Puskesmas lebih mudah di jemput
jika ada ibu melahirkan. Pos tersebut dijaga secara bergantian
oleh bidan bidan yang ada di puskesmas Meutulang. Meskipun
demikian, masyarakat tetap memilih Mak Blien.
Kalau sama kami tidak mungkin menunggu 24 jam
karena kami punya keluarga juga namun kami ada pos
siang malam di lek-lek yang bisa dipanggil namun
masyarakat merasa ketakutan tidak mau di rujuk
kerumah sakit sekarang ada peraturan tidak boleh
melahirkan dirumah kalau bidan di panggil kerumah
biayanya mahal lebih baik di panggil bidan kampung saja
padahal kalau di rujuk ke rumah sakit gratis. Ujar bidan
Sofi menjelaskan alasan masyarakat Gampong Baro
Paya.

Masyarakat Mengeluhkan lamanya pertolongan persalinan


yang diberikan oleh bidan puskesmas, seperti pengalaman kak
Aca. Bidan Puskesma baru tiba saat pagi hari.
Selama disini belum pernah menolong persalinan
karena kan Kak sopi misalnya kan malam lahir, pagi dia
baru datang. Mardiati.

Mak blien memiliki 7 orang anak yang hidup hanya 2


orang. Namun demikian masyarakat tetap mempercayakan
kehidupan ibu dan anak yang akan dilahirkan kepada Mak blien.
Puskesmas Meutulang sudah melakukan upaya kemitraan
dengan Mak blien. Untuk proses melahirkan dan pemotongan
pusat bayi di tolong oleh Bidan Desa. Hanya sedikit kelahiran
yang di tolong oleh Mak blien melibatkan bidan Puskesmas.
Kalau didalam persalinan lebih banyak tugas kami dari
proses pemeriksaan melahirkan K1 sampai K4 dan IMD
dan memotong tali pusatnya selanjutnya tugas bidan

171

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

kampung apakah mencuci baju ibu dan kusuk badan


ibunya.

Hal ini menyebabkan Mak blien cenderung enggan


menghubungi bidan desa jika menemukan kasus persalinan. Mak
blien si penyambut bayi harus berganti tugas menjadi mengurut
dan mencuci kain kain pasca persalinan. Dengan begitu, tugas inti
dari Mak blien yaitu menyambut bayi menjadi hilang. Meskipun
dari dana Jampersa, Mak Blien akan memperoleh 50.000 setiap
persalinan yang dilaporkannya kepada puskesmas seperti
Kemitraan yang sudah dilaksanakan oleh puskesmas Meutulang,
Jika mak blien membantu dapat uang 50 ribu.

Mak WM, bidan desa yang menangani sebagian besar


persalinan masyarakat Baro Paya adalah salah satu dukun
kampong yang sudah memperoleh pelatihan. Mak Wami pernah
mendapatkan pelatihan di Meulaboh, ibukota Aceh Barat.
Sekarang, berbekal kotak pinsil kaleng berarna biru bergambar
kartun, dua buah gunting yang salah satunya sudah berkarat,
benang uang logam limaratus rupiah, kunyit yang telah
mengering adalah perlengakapan yang di bawa Mak blien untuk
memotong tali pusar. Sebenarya Mak wami sudah dilengkapi
dengan masker dan sarung tangan, namun kedua hal itu tidak di
gunakan. Menurutnya, untuk menyambut bayi, kulit harus
menyentuh kulit sebab kulit bayi masih sangat tipis.
Pernah suatu kali Mak WM menolong persalinan, karena
terjadi komplikasi, mak wami meminta agar Ibu tersebut di rujuk
ke rumah sakit. Sesampainya dirumah sakit mak Wami dimarahin
oleh petugas rumah sakit.
Pernah saya rujuk ke Rumah sakit, dimarahin,
katanya, kalau mau ngajarin ngapain di bawa kesini,
saya bukan tidak bisa, saya kurang alatnya, makanya
saya bawa ke rumah sakit. Mak WM

172

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Anehnya, meskipun program Jaampersal telah sampai di


Baro Paya sehingga persalinan yang di tolong oleh bidan desa
tidak dikenakan biaya sama sekali. Namun, masyarakat tetap
memilih bersalin dengan Mak blien meskipun dengan Mak blien
dikenakan tarif.
Bidan desa gak ada bayar, kalau bidan kampung mau
kaya miskin bayar 300 ribu. Kak M (24 Tahun).

Selain menolong persalinan, Mak blien juga dapat


menyembuhkan beberapa penyakit seperti Kayap (sejeis
sariawan di kutit luar tubuh).
Kalau demam demam itu bisa suruh rajahrajah sama
Mak blien. Kayap kayap (kayak sariawan di luar) itu di
rajah sama mak blien itu bisa sembuh.

Tugas Mak blien tidak hanya menyambut bayi. Sejak Mak


blien di beri kepercayaan, pada saat Jok Mak blien, untuk
menolong persalinan. Tugas Mak blien pasca persalinan adalah
mengurut Ibu Madeung, Melampok, menyiapkan makanan ibu
madeung hingga persiapan turun mandi, pecicap, dan Manoe 44
(Memandikan ibu madeung pasca nifas)
Hubungan dengan mak blien ini sampai setelah 40
hari setelah melahirkan, turun mandi anak masih
tanggung jawab mak Bidan. Kalo bidan pemerintahan
kan nggak. Fitrah si anak itu, setahun pertama masih
hak Mak Bidan. Pak Z

Namun, bidan koordinator puskesmas Meutulang


menegaskan bahwa tidak ada pelatihan yang dilakukan oleh
Puskesmas untuk melatih Mak blien dengan alasan, jika Mak
blien sudah di latih, masyarakat akan memilih Mak blien sebagai
penolong persalinan karena dianggap sudah disekolahkan.

173

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Ada program kita jangan di latih dulu karena


masyarakat berpikir Mak blien itu boleh (menolong
persalinan) karena Sudah disekolahkan.

174

BAB 6
POTENSI DAN KENDALA

Salah satu faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan


masyarakat adalah lingkungan (Blum dalam Notoatmojo, 2003)
baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya. Sisi
budaya yang baik pada setiap etnis dapat meningkatkan derajat
kesehatan dan memiliki potensi yang bagus untuk dapat di
gunakan oleh masyarakat lainnya. Namun, tidak semua
kebudayaan baik bagi peningkatan derajat kesehatan. Beberapa
diantaranya bertentangan dengan prinsip-prinsip kesehatan.
Namun hal ini tidak serta merta dihilangkan dari kehidupan
masyarakat. Perlu kajian lebih dalam mengenai potensi dan
kendala yang ada pada setiap etnis.
Menurut Dunn (1976 dalam Foster 2013: 41) menjelaskan
bahwa kebudayaan adalah wujud adaptasi masyarakat yang
berupa pola dari suatu tatanan dan tradisi yang berlaku di
masyarakat, yang secara sengaja di terapkan dalam kehidupan
menyangkut perilaku kesehatan yang dilakukan masyarakat
untuk meningkatkan kesehatannya, meskipun hasil dari perilaku
tersebut belum tentu menghasilkan perilaku kesehatan yang
baik. Setiap kebudayaan memiliki bentuk bentuk perilaku yang
khas termasuk perilaku kesehatan. Demikian juga Etnis Aceh yang
bermukim di Baro Paya. Tidak semua perilaku kebudayaan baik,
namun tidak semua perilaku kebudayaan masyarakat Baro Paya
dapat dikatakan buruk atau berbahaya bagi kesehatan. Terdapat
beberapa perilaku yang memiliki potensi dalam dunia

175

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

pengobatan. Namun, perilaku lainnya perlu dikaji ulang


dampaknya bagi kesehatan.
6.1. Pantangan Makanan
Permasalahan kesehatan ibu dan anak tidak lepas dari
faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat
dimana mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor
kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi
mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara
makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan,
seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif
terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan, merupakan salah
satu bagian dari kehidupan dimana peran kebudayaan cukup
besar. Hal ini terlihat bahwa setiap budaya, suku dan daerah
mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu
hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan
pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan
tertentu.
Pantangan atau larangan selalu dimiliki dalam setiap
kebudayaan meskipun dalam beberapa kondisi alasan dari
pantangan tersebut sangat sulit untuk diterima secara umum.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat banyak
pantangan yang harus di lalui oleh ibu hamil dan melahirkan.
Pantangan- pantangan ini adalah suatu bentuk penjagaan bagi
ibu hamil dan melahirkan baik untuk keselamatan ibu dan bayi
secara fisik maupun dari gangguan roh halus.
Beberapa pantangan bagi ibu hamil tidak diketahui
penyebabnya oleh masyarakat. Para tetua hanya menyampaikan
pantangan tersebut.
Perbedaan pendapat sering kali terjadi antara suatu
masyarakat yang memiliki kebudayaan tertentu dengan

176

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

masyarakat diluar kelompok tersebut (outsider). Permasalahan


sering ditemukan tatkala ada beberapa pantangan yang kurang
baik menurut dunia kesehatan modern namun merupakan pola
kebudayaan disuatu daerah.
Demikian halnya dengan pantangan yang terdapat di
masyarakat Baro Paya.
Pantangan berupa makanan bagi ibu hamil seperti dilarang
makan ikan dan makanan tambahan bagi ibu hamil yang
diberikan oleh posyandu merupakan salah satu kendala dalam
perbaikan gizi ibu hamil. Seorang ibu hamil memerlukan asupan
gizi tidak hanya bagi dirinyasendiri namun juga bagi bayi yang
dikandungnya. Asupan gizi yang kurang dapat menghambat
pertumbuhan bayi dan mengganggu kesehatannya. Protein yang
di miliki ikan sangat baik bagi pertumbuhan janin. Selain itu,
makanan tambahan yang diberikan oleh Posyandu menurut Mak
Blien menyebabkan bayi menjadi besar sehingga sukar untuk
melahirkan.
Pasca melahirkan, ibu masih dalam kondisi sangat lemah
dan membutuhkan asupan makanan yang cukup untuk
mengembalikan kondisinya. Selain itu, ibu juga tetap
memberikan asupan makanan dan gizi kepada bayi nya. Pasca
melahirkan banyak pantangan makanan yang harus di patuhi
oleh ibu. Masyarakat Baro Paya percaya bahwa ibu yang baru
saja melahirkan hanya boleh makan nasi putih dan sambal Buah
Munthu yaitu campuran lada kunyit dan buah munthu (lemon).
Ibu hamil dilarang makan sayur dikarenakan sayur memiliki
kandungan air yang banyak yang menyebabkan perut ibu yang
baru melahirkan menjadi besar dan tidak dapat kembali ke
bentuknya yang semula. Makanan berprotein tinggi seperti ikan
lele dan gabus juga dilarang. Masyarakat percaya bahwa
kebuasan dari hewan tersebut akan menular kepada bayi
melalui ASI yang diminum anaknya. Tak hanya itu, untuk

177

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

mengkonsumsi air putih saja, ibu hanya diperbolehkan satu gelas


kecil.
Pantangan tersebut merupakan salah satu usaha yang
dilakukan untuk mengembalikan kesehatan ibu pasca melahirkan
dan melindungi bayi dari penyakit dan sifat sifat yang tidak baik.
Namun hal itu justru dapat meyebabkan kurangnya asupan gizi
kepada bayi dan ibunya sendiri.
Untuk mengatasi kendala tersebut terdapat 2 alternatif
penyelesaian untuk dapat meminimalisir dampak kendala
tersebut. 1) Melalui promosi kesehatan kepada masyarakat
secara umum dan kepada keluarga yang memiliki ibu hamil dan
pasca melahirkan secara khusus. 2) Menjalin hubungan yang
harmonis dengan Mak Blien sehingga pesan pesan kesehatan
dapat disampaikan langsung oleh Mak blien kepada ibu yang
hamil dan keluarganya.
Rosenstock (1982) Sarwono (2007) menyebutkanperilaku
Individu di tentukan oleh motif dan kepercayaannya, tanpa
mempedulikan apakah motif dan kepercyaan tersebut sesuai
atau tidak dengan realitas atau dengan pandangan orang lain
tentang apa yang baik untuk individu tersebut. Dalam hal ini yang
mempengaruhi motif ibu hamil dan pasca melahirkan adalah
orang orang yang memiliki pengaruh yang kuat bagi ibu tersebut.
Antara lain orang tua dan suami. Oleh karena itu, jika
pengetahuan suami dan orang tua yang baik mengenai
kebutuhan asupan makanan ibu hamil akan dapat memengaruhi
motif dalam perilaku mengkonsumsi makanan pada ibu hamil
dan menyusui.
6.2. Bayi
Cakupan imunisasi di Baro Paya tidak terlalu bagus. Masih
banyak bayi dan balita yang tidak mendapat imunisasi dasar

178

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

lengkap. Faktor yang paling dominan yang menjadi kendala


adalah larangan dari suami.
Gejala demam dan rewel pada bayi pasca operasi menjadi
alasan utama suami melarang anaknya utuk diimunisasi.
Masyarakat beranggapan bahwa tanpa imunisasi anak akan baik
baik saja. Jika diimunisasi menyebabkan demam itu akan menjadi
suatu masalah dan kekhawatiran bagi orang tuanya.
Selain peran suami yang cukup dominan, kebudayaan dan
tradisi lokal tidak lepas dari permasalahan rendahnya cakupan
imunisasi. Selama 44 hari seorang ibu yang baru melahirkan
dilarang untuk keluar dari rumahnya dikarenakan masih belum
suci seperti sebelumnya sehingga jika ia keluar rumah
menyebabkan bumi menangis. Demikian pula bayi. Bayi tidak
boleh keluar rumah jika belum melakukan upacara turun Mandi.
Seperti dijelaskan sebelumnya upacara turun mandi biasanya
dilaksanakan saat bayi berusia 1 bulan hingga 2 bulan tergantung
kemampuan keluarga, jika keluarga belum mampu melaksanakan
upacara turun mandi bayi tidak akan diizinkan untuk dibawa
keluar rumah, termasuk ke Posyandu. Sehingga bayi akan
melewatkan imunisasi Hb0, BCG, dan Polio1. Pada beberapa
persalinan yang diketahui oleh bidan desa namun di tolong oleh
Mak Blien, bidan desa akan segera datang ke lokasi untuk
memberikan imunisasi Hb0. Namun selanjutnya, diharapkan ibu
yang akan membawa bayinya untuk diberi imunisasi. Hal ini
menjadi kendala utama dalam pemberian imunisasi.
Menurut Widjaja (1986) dalam Sarwono (2007), reaksi
masyarakat terhadap perubahaan/ inovasi dipengaruhi olehbukti
kemanfaatan ide baru. Anggota masyarakat akan lebih mudah
menerima suatu inovasi yang dapat dibuktikan kemanfaatannya
secara nyata, daripada sesuatu yang abstrak. Oleh sebab itu
petugas kesehatan bersama dengan kader meningkatkan
promosi kesehatan kepada masyarakat mengenai pentingnya

179

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

imunisasi serta efek samping yang biasa meyertai imunisasi


tersebut dan bagaimana mengatasinya.
6.3. Mak Blien
Penolong persalinan pada masyarakat etnis Aceh yang
dikenal dengan Mak Blien sudah disetarakan dengan bidan
desa. Hal ini dilihat dari sebutan yang digunakan masyarakat
untuk memanggil Mak Blien dengan sebutan Mak Bidan atau
Bidan Kampong.
Posisi Mak Blien di mata masyarakat sangat tinggi. Hal
inilah yang mendasari adanya tradisi Jok Mak blien pada usia
kehamilan 7 bulan. Tradisi yang dilakukan sebagai wujud
permintaan secara hormat kepada Mak Blien ini menjadi penentu
siapa yang akan menolong persalinan. Oleh karenaitu penentuan
penolong persalinan sudah ditetapkan sejak kehamilan berusia
tujuh bulan.
Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, pada kehamilan
pertama, mamak/ibu dari pihak ibu hamil adalah yang paling
dominan dalam menentukan penolong persalinan. Sehingga
biasanya, pemilihan Mak Blien atau bidan puskesmas akan
ditentukan oleh Mamak si ibu. Berdasarkan kepercayaan dan
kedekatan emosional yang terjalin di masyarakat, Mak blien akan
tetap di pilih dengan alasan pelayanan dan perawatan yang
lengkap paska persalinan, sekalipun dengan memilih Mak Blien
berarti harus mengeluarkan uang cukup banyak.
Rasa percaya yang dijalin dari kedekatan emosional ibu
hamil dan kepercayaan akan pengalaman bertahun tahun
menolong persalinan menciptakan rasa aman pada saat proses
persalinan. Kondisi ibu yang lemah dam membutuhkan banyak
perawatan pasca melahirkan menjadikan perawatan pasca

180

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

persalinan yang ditawarkan oleh Mak Blien menjadi nilai ekstra


dalam penilaian masyarakat.
Tingginya nilai Mak Blien di masyarakat yang dapat
menjangkau wilayah yang luas menjadi salah satu potensi besar
bagi kesehatan. Hendaknya Mak Blien dirangkul sebagai rekan
kerja yang dapat memberikan banyak informasi mengenai
kehamilan dan persalinan sehingga tenaga kesehatan dapat
segera turun jika ada persalinan. Selain itu, Mak Blien juga dapat
menyampaikan pesan pesan kesehatan terkait Kesehatan Ibu
dan Anak. Sebab hal ini akan lebih dipahami dan diterima oleh
masyarakat.
Namun, Mak Blien masih menggunakan kunyahan
(Mamoh) ranub dalam proses penyembuhan tali pusar. Proses ini
yang tidak dapat dihilangkan pada persalinan yang ditolong oleh
Mak Blien.
Ranub atau sirih memang memiliki khasiat dalam menekan
jumlah bakteri namun saliva dari Mak Blien belum dapat di
pastikan keamanannya bagi tali pusar bayi yang masih luka.
Selain itu pemberian abu dapur yang dipercaya masyarakat dapat
mempercepat pengeringan tali pusar juga membutuhkan kajian
dan penelitian yang lebih dalam lagi. Meskipun masyarakat lebih
memilih untuk mengobati tali pusar anaknya dengan kunyahan
ranub dikarenakan lebih cepat kering dan tidak menimbulkan bau
pada tali pusar.
6.4. Ranub
Ranub yang dinilai mulia oleh masyarakat etnis Aceh
dipercaya juga dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Baik
penyakit yang berasal dari kuman maupun dari roh halus. Rivers
1942 dalam Foster (1986) mengemukakan ide bahwa sistem
pengobatanasli merupakan pranata sosial yang harus dipelajari

181

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dengan cara yang sama seperti mempelajari pranata sosial


lainnya. Selain itu rives juga menjelaskan bahwa praktek
pengobatan asli adalah rasional jika dilihat dari sudut kepecayaan
yang berlaku mengenai sebab-akibat.
Kepercayaan masyarakat akan kemuliaan ranub dapat
menghilangkan gangguan roh halus. Nilai ranub yang tinggi di
mata masyarakat bukan tanpa alasan. Banyak khasiat yang
dimiliki oleh daun berbentuk hati tersebut menjadikannya
berbeda dengan daun lainnya. Berdasarkan pengalaman dan
ajaran secara turun temurun sirih digunakan untuk
menghilangkan penyakitGlause, menyehatkan gigi, mengeringkan
tali pusar, mengurangi mual pada ibu hamil, dan menghangatkan
tubuh.
Salah satu penyakit yang sering diderita oleh masyarakat
Baro Paya adalah Gelause atau gata-gatal yang biasanya
disebabkan oleh dicolek jin di Alue. Masyarakat yang masih
menggunakan Alue atau sungai sebagai sarana MCK sangat
rentan dengan penyakit kulit, begitu juga masyarakat Baro Paya.
Kurangnya pengetahuan kesehatan (Health Knowledge)
masyarakat terkait faktor faktor yang memengaruhi kesehatan
menyebabkan masyarakat masih menggunakan Alue sebagai
sarana MCK dan menganggap penyakit gatal gatal yang diderita
disebabkan oleh mahluk halus. Masyarakat beranggapan,
kemulyaan yang ada pada ranub dapat mengobati penyakit yang
disebabkan oleh mahluk halus. Padahal, antibakteri yang
terdapat pada ranub atau sirih yang sebenarnya mengobati
penyakit Glause tersebut.
Perlu peningkatan pengetahuan kesehatan terkait PHBS.
Peningkatan pengetahuan ini dapat disampaikan melalui
ceramah agama, maupun anjuran dari Keuchik selaku pemimpin
desa. Pendekatan melalui tokoh agama yaitu Teungku dan pak
Keuchik di nilai sangat berpotensi untuk meningkatkan

182

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

pengetahuan mengenai kesehatan sehingga meminimalisir


penggunaan Alue sebagai sarana MCK.
Penggunaan ranub lainnya sebagai penghangat tubuh dan
mengurangi mual pada saat kehamilan juga merupakan potensi
besar dalam dunia kesehatan. Ranub yang juga dikenal oleh
masyarakat Jawa, Kalimantan hingga Papua memiliki rasa pedar
yang unik. Manfaat ranub untuk menghilangkan rasa mual pada
ibu hamil memiliki potensi yang baik dikarenakan akan
meningkatkan asupan makanan yang baik bagi ibu dan janin.
Selanjutnya, diperlukan penelitian mengenai khasiat
ranub lainnya untuk kemudian disosialisasikan keseluruh dunia
sehingga potensi lokal dapat bermanfaat bagi dunia kesehatan
khususnya kesehatan ibu dan anak.
Dari hasil pembahasan tersebut dapat diketahui bahwa
keluarga sangat memegang peranan penting dalam proses
pengambilan keputusan baik imunisasi, pengaturan pola maka,
penolong persalinan maupun pengobatan.
Tak dapat pungkiri bahwa peranan Mak Blien pada
masyarakat Baro Paya dan sekitarnya cukup dominan. Meskipun
sebagian besar masyarakat sudah dapat mengakses pelayanan
kesehatan, namun Mak Blien masih menjadi idola dalam
persalinan.
Penggunaan air ranub pada proses pengeringan tali pusat
perlu mendapat perhatian khusus. Perlu diuji coba khasiat ranub
pada proses pengeringan luka dengan metode di tumbuk. Jika
ternyata khasiat yang ditimbulkan sama sebaiknya dilakukan
perubahan metode tidak lagi dengan Mamoh (dikunyah) tetapi
dengan di tumbuk.
Perlunya pendekatan emosional untuk menjalin kerjasama
dengan Mak blien. Dengan menempatkan diri sebagai
masyarakat biasa, petugas kesehatan akan lebih mudah diterima
oleh Mak Blien. Sehingga kedekatan emosional akan memberi

183

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

peluang untuk mengetahui jumlah ibu yang akan bersalin dan ibu
yang baru saja melahirkan. Informasi ini akan sangat membantu
petugas puskesmas maupun kader posyandu untuk
meningkatkan cakupan Imunisasi.
Potensi lainnya yang dimiliki oleh baro Paya adalah fasilitas
Posyandu Plus yang dirasakan masyarakat kurang optimal dalam
hal pelayanan. Padahal, secara sikap, masyarakat sudah mulai
mau untuk memanfaatkan Posyandu Plus meskipun sebagian
besar memanfaatkan fasilitas tersebut untuk berobat. Jika
Posyandu Plus dimanfaatkan, pembangunan kesehatan
masyarakat dapat berjalan dengan baik.

184

BAB 7
KESIMPULAN

Masyarakat Aceh yang masih memegang teguh adat


istiadat dan kebudayaannya, yang terkadang kebudayaan
tersebut memiliki dampak positif dan negatif. Pada kemajuan
zaman di masa sekarang ini, beberapa unsur kebudayaan
dirasakan pelu melakukan penyesuaian terhadap lingkungan.
Kebudayaan yang lebih dinamis akan mewujudkan masyarakat
yang lebih baik. Beberapa kebudayaan lokal dapat pula diangkat
kedunia kesehatan modern untuk dikaji ulang dan dijadikan salah
satu potensi besar bagi peningkatan derajat kesehatan di
Indonesia.
Masyarakat Baro Paya yang secara geografis tidak begitu
jauh dari ibu Kota Kabupaten Meulaboh, namun hal ini tidak
lantas menghilangkan tradisi tradisi yang mereka anut, termasuk
dalam hal kesehatan dan penyembuhan tradisional. Penyembuh
tradisional seperti Teungku yang juga merupakan tokoh agama,
Mak Blien yang memiliki cakupan wilayah kerja yang luas, serta
tabib merupakan tokoh-tokoh yang sangat dihormati oleh Etnis
Aceh di Baro Paya. Ketiga penyembuh tradisional tersebut
menggunakan Ranub sebagai media pengobatannya.
Ranub yang dianggap sebagai lambang kemuliaan oleh
Etnis Aceh memang memiliki banyak khasiat. Khasiat Ranub bagi
masyarakat Baro Paya antara lain penyembuh tali pusar bayi,
obat masuk angin, menghilangkan mual saat hamil dan
mengobati gatal-gatal.
185

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Meskipun sebagian besar masyarakat Baro Paya memilih


pengobatan tradisional, namun untuk penyakit ringan dan
kekinian seperti kolesterol, diabetes, dan asam urat masyarakat
masih mengharapka tenaga kesehatan. Sudah ada keinginan dan
niat masyarakat untuk mencari pengobatan ke tenaga kesehatan
namun ketiadaan tenaga kesehatan menyebabkan masyarakat
mengurungkan niatnya untuk mencari pertolongan ke tenaga
kesehatan.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang
berperilaku antara lain faktor predisposing, enabling dan
reinforcing. Seperti yang sudah dijalaskan sebelumnya, yang
memberikan pengaruh dominan pada perilaku masyarakat etnis
Aceh di Baro Paya adalah faktor enabling yaitu faktor pemungkin
dan reinforcing atau penguat. Pada umumnya pengetahuan dan
sikap masyarakat terhadap pelayanan kesehatan termasuk
melahirkan ditolong oleh tenaga kesehatan sudah baik. Namun
hal ini tidak memungkinkan jika tenaga kesehatan tidak tersedia
untuk kelahiran pada saat malam hari.
Keputusan penolong persalinan masih di dominasi oleh
orang tua dari pihak perempuan. Hal ini yang cenderung
mengarahkan suami untuk meminta bantuan Mak Blien.
Komunikasi yang efektif dengan Mak Blien maupun para tetua
Gampong dinilai perlu dilakukan bidan yang bertanggung jawab
pada desa. Selain karena pengaruh para tetua Gampong pada
pemilihan penolong persalinan masih sangat tinggi, orang tua di
gampong tersebut berpengaruh pada pemberian imunisasi bayi
dan intervensi pemberian pisang pada bayi.
Perlu pendekatan secara emosional dan budaya untuk
menjalin kemitraan dengan Mak Blien. Karena Mak Blien
merupakan salah satu pengobat tradisional yang sangat
dihormati dan memiliki ikatan kuat dengan masyarakat Aceh.
Mak Blien yang dianggap penolong oleh masyarakat Aceh tidak

186

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

dapat begitu saja di perintah oleh tenaga kesehatan.


Keberhasilan program kemitraan oleh puskesmas akan lebih
mudah jika tenaga kesehatan menempatkan diri sebagai
masyarakat yang juga menghormati Mak Blien. Proses edukasi
dapat disampaikan sejalan dengan pendekatan emosional
sehingga Mak Blien merasa setara dengan tenaga kesehatan
dan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi
puskesmas maupun menyampaikan informasi kepada seluruh
pasien yang ditangani olehnya.
Selain faktor diatas, peningkatan derajat kesehatan di Baro
Paya dapat dilaksanakan melalui community development.
Pengetahuan dan sikap yang cenderung baik sangat membantu
proses tersebut. Penyediaan sarana dan prasarana MCK dan
Jamban untuk kepemilikan bersama dapat mengurangi
penggunaan Alue dan meminimalisir penyakit.
Petugas kesehatan yang aktif akan sangat membantu
dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat di Gampong
Baro Paya. Hal ini disebabkan Baro Paya memiliki potensi yang
besar baik dari segi infrastruktur karena telah dilengkapi oleh
Posyandu Plus, pengetahuan masyarakatnya yang cukup terbuka
akan informasi baru serta akses yang cukup baik.

187

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

188

INDEKS

A
adat 7, 8, 9, 10, 13, 14, 18, 35,
37, 43, 48, 49, 50, 59, 68, 69,
77, 79, 80, 83, 100, 103, 104,
105, 109, 155, 185
Alue 13, 14, 21, 22, 23, 27, 31,
84, 89, 91, 92, 107, 112, 120,
122, 125, 141, 144, 159, 167,
168, 170, 182, 183, 187
Alue Gajah 13, 14, 23, 27, 31,
84, 107, 144
anjuran 3, 42, 48, 78, 176, 182

B
budaya 1, 3, 4, 14, 33, 35, 37,
44, 70, 74, 77, 97, 139, 175,
176, 186
burong 43, 44, 60, 112, 113,
126, 127

D
daun sirih 3, 45, 46, 60, 90,
152, 157, 159, 192, 193

dukun 2, 3, 4, 5, 8, 48, 60, 77,


79, 81, 118, 120, 122, 159,
166, 167, 172

E
etnografi 6, 12

F
fasilitas kesehatan 2, 25, 78

G
Gampong Baro Paya 6, 9, 13,
14, 16, 18, 19, 21, 23, 24, 25,
26, 27, 28, 29, 30, 33, 34, 35,
36, 41, 44, 50, 51, 53, 55, 60,
63, 65, 67, 69, 70, 73, 86, 94,
95, 96, 97, 99, 100, 107, 110,
121, 165, 167, 168, 171, 187
geografis 5, 27, 185

I
imunisasi 83, 84, 144, 148,
178, 179, 180, 183, 186

189

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

K
Kehamilan 109
kepercayaan 7, 18, 33, 37, 38,
43, 44, 77, 80, 83, 95, 102,
119, 129, 150, 152, 168, 173,
176, 180
kesehatan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8,
10, 12, 18, 23, 25, 26, 37, 44,
45, 60, 77, 78, 80, 81, 82, 83,
84, 94, 95, 96, 110, 119, 122,
131, 165, 166, 167, 175, 176,
177, 178, 179, 181, 182, 183,
184, 185, 186, 187
Kesehatan Ibu dan Anak 1,
181
Kesenian 68, 70, 71
keucik 9, 33, 48, 50, 57, 107

M
mablien 5, 46, 47, 80, 81
MaBlien 47
madeueng 126
Mak blien 111, 115, 116, 117,
118, 119, 120, 121, 122, 123,
124, 126, 128, 132, 134, 135,
136, 139, 140, 141, 142, 145,
146, 163, 167, 168, 169, 170,
171, 172, 173, 174, 178, 180,
183
makanan 3, 60, 65, 74, 78, 93,
97, 102, 112, 114, 116, 117,

190

120, 125, 127, 128, 136, 138,


149, 173, 176, 177, 178, 183
Mamoh 4, 142, 155, 159, 162,
181, 183
masa nifas 110, 125, 127
Mayam 29, 56, 58, 59, 104

P
pantangan 1, 2, 3, 40, 48, 100,
111, 112, 113, 114, 120, 124,
127, 128, 136, 149, 176, 177
pengobatan 26, 34, 45, 47, 60,
78, 96, 97, 131, 150, 156,
160, 161, 176, 181, 183, 186,
192
penyakit 3, 4, 5, 15, 38, 40, 43,
44, 45, 46, 47, 62, 63, 64, 77,
78, 90, 93, 94, 95, 96, 97, 98,
112, 136, 138, 150, 152, 156,
157, 159, 160, 162, 166, 173,
178, 181, 182, 186, 187
persalinan 1, 2, 3, 5, 8, 25, 47,
77, 79, 80, 81, 82, 112, 115,
116, 117, 119, 122, 123, 124,
125, 134, 135, 146, 163, 167,
168, 170, 171, 172, 173, 174,
179, 180, 181, 183, 186
peusejuk 34
Peusijuk 45
posyandu 20, 25, 26, 84, 115,
144, 166, 177, 184

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Puskesmas 19, 114, 117, 121,


124, 150, 163, 165, 166, 168,
171, 173

ranub 3, 4, 45, 46, 47, 53, 64,


65, 69, 70, 71, 78, 90, 93,
102, 104, 105, 108, 120, 142,
143, 147, 152, 155, 156, 157,
158, 159, 161, 162, 163, 164,
165, 181, 182, 183
ritual 2, 10, 37, 46, 82, 109,
145, 147

Tabib 47
teknologi 4, 73, 76, 101
tengku 9, 33, 34, 36, 38, 41,
42, 46, 47, 50, 57, 60, 107,
117, 145, 147, 160, 166
tradisional 4, 5, 8, 45, 48, 64,
77, 78, 95, 96, 97, 108, 110,
116, 118, 124, 141, 150, 152,
169, 185, 186, 192, 193
tuha peut 9, 49, 50, 57

Suku Aceh 4, 14, 68, 111

191

DAFTAR PUSTAKA

Hoesin, Moehammad. 1970. Adat Atjeh. Dinas Pendidikan dan


Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Atjeh
Syamsyudin, T dkk. 1978. Adat Istiadat Daerah Profinsi Daerah
Istimewa Aceh. Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah. Epartemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Sarwono, Solita. 2007. Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep
Beserta Aplikasinya, cetakan keempat. Gadjah Mada
University Press : Jogjakarta
Setyolaksono, M.P. 2011. Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle Linn.)
Pengendali JamurPhytopthora Palmivora.
http://ditjenbun.deptan.go.id/bbp2tpbon/index.php?option=com
_content&view=article&id=107:ekstrak-daun-sirih-piperbetle-linn-pengendali-jamurphytopthora-palmivora&catid=
12:news. [02 Februaru 2012]
Kristio, D. 2007. Tanaman Obat Indonesia.toiusd.multiply.com/
journal. [5 November 2010].
Kharisma dan Lisa E.P. 2010. Khasiat Perasan Daun Sirih (Piper
Betle L.) TerhadapBakteri Aeromonas Hydrophylla yang
Menyerang Ikan Lele (ClariasBatrachus). Surabaya: Fakultas
Pertanian Universitas Airlangga.
Sari, Sisca H.P. 2012. Efek Pemberian Ekstrak Daun Sirih (Piper
Betle L.) Pada Laju Endap Darah (LED) Model Hewan Coba
Tikus Wistar Jantan yang Dipapar Candida Albicans Secara

192

Etnik Aceh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh

Intrakutan (Penelitian Eksperimental Laboratoris). Fakultas


Kedokteran Gigi Universitas Jember.

193

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

194

Vous aimerez peut-être aussi