Vous êtes sur la page 1sur 365

Mata Rantai Tak Kunjung Putus

Kakambah

Cati Martiyana
Tri Darma
Ambo Sakka
Lestari Handayani

Mata Rantai Tak Kunjung Putus, Kakambah


2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan
dan Pemberdayaan Masyarakat
Penulis
Cati Martiyana
Tri Darma
Ambo Sakka
Lestari Handayani
Editor
Lestari Handayani
Desain Cover
Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014


Buku ini diterbitkan atas kerjasama
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jl. Indrapura 17 Surabaya
Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749
dan
LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI)
Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta
Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933
e mail: penerbit@litbang.depkes.go.id

ISBN 978-602-1099-12-4
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis
dari penerbit.

ii

Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan
Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014,
dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina

: Kepala Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab

: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan


Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH)


Ketua Pelaksana

: dr. Tri Juni Angkasawati, MSc

Ketua Tim Teknis

: dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis

: drs. Setia Pranata, M.Si


Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes
drg. Made Asri Budisuari, M.Kes
Sugeng Rahanto, MPH., MPHM
dra.Rachmalina S.,MSc. PH
drs. Kasno Dihardjo
Aan Kurniawan, S.Ant
Yunita Fitrianti, S.Ant
Syarifah Nuraini, S.Sos
Sri Handayani, S.Sos

iii

Koordinator wilayah

1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel


dan Kab. Asmat
2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk
Wondama
3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep.
Mentawai
4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin
5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak
6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara,
Kab. Boalemo
7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab.
Mamuju Utara
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab.
Indragiri Hilir
9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur.
Kab. Rote Ndao
10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon

iv

KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?


Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan
masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan
pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan
menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah
mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu
dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu
cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk
itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait
kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasional dan
indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan
menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan caracara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga
dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa
kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan
masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.
Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku
seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di
berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna
menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun
agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya
pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan

RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora


untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga
dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014


Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

drg. Agus Suprapto, M.Kes

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GRAFIK
DAFTAR GAMBAR

v
vii
x
xi
xii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


1.2. Penentuan Lokasi Penelitian
1.3. Metode Pengumpulan Data

1
9
10

BAB 2 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

13

2.1. Sejarah Desa


2.1.1. Cerita Nenek Sawerigading
2.1.2. Jejak Manusia Suku Bajo di Sulaho: Dahulu Hingga Kini
2.2. Geografi dan Kependudukan
2.2.1. Bentang Alam Sulaho
2.2.2. Kependudukan Suku Bajo di Sulaho
2.2.3 Pemukiman Penduduk di Sulaho
2.3. Religi
2.3.1. Kosmologi
2.3.2. Siklus Perjalanan Kehidupan Manusia Suku Bajo di
Sulaho
2.3.3. Praktik Keagamaan
2.3.4. Praktik Kepercayaan Tradisional
2.3.5. Pantangan Sehari-hari Masyarakat Sulaho
2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
2.4.1. Keluarga Inti

16
16
17
26
26
33
38
42
42
45

vii

48
52
60
62
62

2.4.2. Sistem Kekerabatan


2.4.3. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal
2.5. Pengetahuan tentang Kesehatan
2.5.1. Konsepsi mengenai Sehat dan Sakit
2.5.2. Air Jappi-jappi: Daya Tarik Penyembuhan Tradisional
2.5.3. Pengetahuan tentang Makanan dan Minuman
2.5.4. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan
2.6. Bahasa
2.7. Kesenian
2.7.1. Lagu Pengantar Tidur Anak
2.7.2. Menari Lulo
2.7.3. Ula-ula (Bendera)
2.8. Mata Pencaharian
2.9. Teknologi dan Peralatan
2.9.1. Cerita Memasak hingga Makan

65
67
71
71
77
91
92
93
94
94
96
97
98
104
107

BAB 3 POTRET KESEHATAN

113

3.1. Budaya Kesehatan Ibu dan Anak


3.1.1. Remaja usia 10 sampai 24 tahun
3.1.2. Pasangan Suami Istri Belum Pernah hamil
3.1.3. Masa Kehamilan
3.1.4. Persalinan dan Nifas
3.1.5. Menyusui
3.1.6. Neonatus dan Bayi
3.1.7. Anak Balita
3.1.8. Permainan Tradisional Anak
3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Orang Bajo di Sulaho
3.2.1. Pertolongan Persalinan
3.2.2. Penimbangan Balita
3.2.3. ASI Eksklusif
3.2.4. Cuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun
3.2.5. Menggunakan Kakus Sehat

113
113
123
126
137
158
162
167
168
173
175
179
181
183
185

viii

3.2.6. Aktifitas Fisik Setiap Hari


3.2.7. Konsumsi Buah dan Sayur Setiap Hari
3.2.8. Tidak Merokok dalam Rumah
3.2.9. Menggunakan Air Bersih
3.2.10. Memberantas Jentik Nyamuk
3.3. Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular
3.3.1. Penyakit Menular
3.3.2. Penyakit Tidak Menular
3.4. Sistem Pelayanan Kesehatan Formal versus Tradisional

187
188
190
192
193
195
196
208
226

BAB 4 MATA RANTAI TAK KUNJUNG PUTUS: KAKAMBAH

233

4. 1. Asal Muasal dan Perkembangan Kakambah di Tanah


Sulaho
4.2. Istilah Lokal Kusta
4.3. Tanda Kusta, Terpaksa Berobat
4.4. Penyebab Kakambah
4.5. Lingkaran PenularanKusta
4.6. Gambaran Kondisi Fisik Rumah Penderita Kakambah
4.7. Kebiasaan Pemenuhan Gizi Keluarga
4.8. Dansihitang: Kedekatan Orang Sulaho
4.9. Health Seeking Behaviour Kakambah
4.10. Dampak Kakambah: Stigma
4.11. Tahun 2014, Lagi Kakambah Baru
4.12. Kendala Penanganan Kakambah

233

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

305

5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi

305
310

INDEKS
GLOSARIUM
DAFTAR PUSTAKA

315
321
329

ix

244
246
255
261
272
279
280
283
292
297
301

DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1. Tanda Utama Kusta PB dan MB


Tabel 2. 1. Klasifikasi Warga Dusun 1-3 Desa Sulaho
berdasarkan Suku
Tabel 2. 2. Jumlah Penduduk Desa Sulaho berdasarkan Umur
dan Jenis Kelamin
Tabel 2. 3 Sapaan Kekerabatan di Desa Sulaho
Tabel 2. 4. Pendapatan Keluarga Pak Dm

2
33
35
64
103

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. 1 Tren Angka Prevalensi Kusta di Indonesia 2007


2011
Grafik 1. 2 Kasus Kusta Baru Desa Sulaho 2005-2013
Grafik 3. 1 10 Penyakit terbesar di Puskesmas Lasusua tahun
2013

xi

4
8
195

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta Kabupaten Kolaka Utara


Gambar 2.2. Peta Kecamatan Lasusua
Gambar 2.3. Rumah PKSMT
Gambar 2.4. Kakus Umum dengan Sumber Dana CSR
Gambar 2.5. Perkampungan desa Sulaho
Gambar 2.6. Peta Desa Sulaho
Gambar 2.7. Rumah Bedah P2-WKSS
Gambar 2.8. Pohon Ketapang dan Pekuburan Desa
Gambar 2.9. Botol Berisi Garam Mattoana telah Digantung
sejak Setahun yang Lalu
Gambar 2.10. Sanro Mendoakan Makanan ketika Turun
Perahu
Gambar 2.11. Mendorong Perahu saat Upacara Turun
Perahu
Gambar 2.12. Tandan Pisang dan daun Pakecce pada rumah
baru
Gambar 2.13. Hubungan Kekerabatan
Gambar 2.14. Struktur Organisasi Desa Sulaho Tahun 19972014
Gambar 2.15. Musyawarah di Balai Desa Pasca Demonstrasi
Gambar 2.16. Ranjang dan Kayu Representasi Buaya
Gambar 2.17. Pohon Kayu Jawa
Gambar 2.18. Tanaman Cangak Duri
Gambar 2.19. Tanaman Srikaya/Sirsak
Gambar 2.20. Tanaman Daun Pakkece
Gambar 2.21. Tanaman Jarak
Gambar 2.22. Menari Lulo

xii

15
15
20
23
27
29
41
43
54
56
56
58
63
68
70
80
87
88
89
90
90
96

Gambar 2.23. Pendapatan Nelayan Menggunakan Bom Ikan


Gambar 2.24. Perahu Jolor, Jarangkah dan Sampan
Gambar 2.25. Wadah Tungku, Mulut Tungku dengan Batu
dan Mulut Tungku dengan Rangka Besi
Gambar 2.26. Membakar Ikan di Luar Rumah
Gambar 2.27. Memakan Cacing Laut
Gambar 3.1. Ariango dan Gelang Hitam yang Dipakai Balita
Gambar 3.2. Air Jappi-jappi dan Air Lelehan Sabun Mandi
Dicampur Daun Sirsak
Gambar 3.3. Sanro Mengikat Tali Pusat Bayi
Gambar 3.4. Sarung Tujuh Lapis untuk Bayi Baru Lahir
Gambar 3.5. Ari-ari yang Digantung pada Bagian Rumah
Gambar 3.6. Ari-ari Bayi yang Sudah Kering
Gambar 3.7. Area Permainan Danda
Gambar 3.8. Pembesaran Gondok
Gambar 3.9. Dagor dan Kompresor untuk Menyelam
Gambar 3.10. Obat-obatan yang Dijual di Warung Desa
Gambar 4. 1. Pemetaan Kusta pada Rumah Tangga di Desa
Sulaho
Gambar 4. 2 Telunjuk Tangan Kiri Mati Rasa
Gambar 4. 3. Bercak Kulit pada Reaksi Kusta
Gambar 4. 4. Penderita yang Mengalami Cacat
Gambar 4. 5. Bercak Kusta
Gambar 4. 6. Denah Ruang Rumah Keluarga Mr
Gambar 4. 7. Kondisi Rumah Seorang Warga
Gambar 4. 8. Bekas Luka Mantan Penderita Kusta

xiii

104
106
108
108
112
127
147
150
163
166
168
179
210
220
230
243
246
254
256
263
276
278
293

xiv

Mata Rantai Tak Kunjung Putus


Kakambah

Cati Martiyana
Tri Darma
Ambo Saka
Lestari Handayani

Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan


dan Pemberdayaan Masyarakat
i

Mata Rantai Tak Kunjung Putus, Kakambah

Penulis
Cati Martiyana
Tri Darma
Ambo Saka
Lestari Handayani
Editor
Lestari Handayani
Desain Cover
Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014


Diterbitkan oleh
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jl. Indrapura 17 Surabaya
Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis
dari penerbit.

ii

Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan
Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014,
dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina

: Kepala Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab

: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan


Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH)


Ketua Pelaksana

: dr. Tri Juni Angkasawati, MSc

Ketua Tim Teknis

: dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis

: drs. Setia Pranata, M.Si


Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes
drg. Made Asri Budisuari, M.Kes
Sugeng Rahanto, MPH., MPHM
dra.Rachmalina S.,MSc. PH
drs. Kasno Dihardjo
Aan Kurniawan, S.Ant
Yunita Fitrianti, S.Ant
Syarifah Nuraini, S.Sos
Sri Handayani, S.Sos

iii

Koordinator wilayah

1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel


dan Kab. Asmat
2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk
Wondama
3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep.
Mentawai
4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin
5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak
6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara,
Kab. Boalemo
7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab.
Mamuju Utara
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab.
Indragiri Hilir
9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur.
Kab. Rote Ndao
10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon

iv

KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?


Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan
masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan
pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan
menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah
mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu
dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu
cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk
itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait
kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasional dan
indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan
menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan caracara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga
dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa
kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan
masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.
Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku
seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di
berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna
menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun
agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya
pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan

RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora


untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga
dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014


Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

drg. Agus Suprapto, M.Kes

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GRAFIK
DAFTAR GAMBAR

v
vii
x
xi
xii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


1.2. Penentuan Lokasi Penelitian
1.3. Metode Pengumpulan Data

1
9
10

BAB 2 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

13

2.1. Sejarah Desa


2.1.1. Cerita Nenek Sawerigading
2.1.2. Jejak Manusia Suku Bajo di Sulaho: Dahulu Hingga Kini
2.2. Geografi dan Kependudukan
2.2.1. Bentang Alam Sulaho
2.2.2. Kependudukan Suku Bajo di Sulaho
2.2.3 Pemukiman Penduduk di Sulaho
2.3. Religi
2.3.1. Kosmologi
2.3.2. Siklus Perjalanan Kehidupan Manusia Suku Bajo di
Sulaho
2.3.3. Praktik Keagamaan
2.3.4. Praktik Kepercayaan Tradisional
2.3.5. Pantangan Sehari-hari Masyarakat Sulaho
2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
2.4.1. Keluarga Inti

16
16
17
26
26
33
38
42
42
45

vii

48
52
60
62
62

2.4.2. Sistem Kekerabatan


2.4.3. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal
2.5. Pengetahuan tentang Kesehatan
2.5.1. Konsepsi mengenai Sehat dan Sakit
2.5.2. Air Jappi-jappi: Daya Tarik Penyembuhan Tradisional
2.5.3. Pengetahuan tentang Makanan dan Minuman
2.5.4. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan
2.6. Bahasa
2.7. Kesenian
2.7.1. Lagu Pengantar Tidur Anak
2.7.2. Menari Lulo
2.7.3. Ula-ula (Bendera)
2.8. Mata Pencaharian
2.9. Teknologi dan Peralatan
2.9.1. Cerita Memasak hingga Makan

65
67
71
71
77
91
92
93
94
94
96
97
98
104
107

BAB 3 POTRET KESEHATAN

113

3.1. Budaya Kesehatan Ibu dan Anak


3.1.1. Remaja usia 10 sampai 24 tahun
3.1.2. Pasangan Suami Istri Belum Pernah hamil
3.1.3. Masa Kehamilan
3.1.4. Persalinan dan Nifas
3.1.5. Menyusui
3.1.6. Neonatus dan Bayi
3.1.7. Anak Balita
3.1.8. Permainan Tradisional Anak
3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Orang Bajo di Sulaho
3.2.1. Pertolongan Persalinan
3.2.2. Penimbangan Balita
3.2.3. ASI Eksklusif
3.2.4. Cuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun
3.2.5. Menggunakan Kakus Sehat

113
113
123
126
137
158
162
167
168
173
175
179
181
183
185

viii

3.2.6. Aktifitas Fisik Setiap Hari


3.2.7. Konsumsi Buah dan Sayur Setiap Hari
3.2.8. Tidak Merokok dalam Rumah
3.2.9. Menggunakan Air Bersih
3.2.10. Memberantas Jentik Nyamuk
3.3. Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular
3.3.1. Penyakit Menular
3.3.2. Penyakit Tidak Menular
3.4. Sistem Pelayanan Kesehatan Formal versus Tradisional

187
188
190
192
193
195
196
208
226

BAB 4 MATA RANTAI TAK KUNJUNG PUTUS: KAKAMBAH

233

4. 1. Asal Muasal dan Perkembangan Kakambah di Tanah


Sulaho
4.2. Istilah Lokal Kusta
4.3. Tanda Kusta, Terpaksa Berobat
4.4. Penyebab Kakambah
4.5. Lingkaran PenularanKusta
4.6. Gambaran Kondisi Fisik Rumah Penderita Kakambah
4.7. Kebiasaan Pemenuhan Gizi Keluarga
4.8. Dansihitang: Kedekatan Orang Sulaho
4.9. Health Seeking Behaviour Kakambah
4.10. Dampak Kakambah: Stigma
4.11. Tahun 2014, Lagi Kakambah Baru
4.12. Kendala Penanganan Kakambah

233

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

305

5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi

305
310

INDEKS
GLOSARIUM
DAFTAR PUSTAKA

315
321
329

ix

244
246
255
261
272
279
280
283
292
297
301

DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1. Tanda Utama Kusta PB dan MB


Tabel 2. 1. Klasifikasi Warga Dusun 1-3 Desa Sulaho
berdasarkan Suku
Tabel 2. 2. Jumlah Penduduk Desa Sulaho berdasarkan Umur
dan Jenis Kelamin
Tabel 2. 3 Sapaan Kekerabatan di Desa Sulaho
Tabel 2. 4. Pendapatan Keluarga Pak Dm

2
33
35
64
103

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. 1 Tren Angka Prevalensi Kusta di Indonesia 2007


2011
Grafik 1. 2 Kasus Kusta Baru Desa Sulaho 2005-2013
Grafik 3. 1 10 Penyakit terbesar di Puskesmas Lasusua tahun
2013

xi

4
8
195

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta Kabupaten Kolaka Utara


Gambar 2.2. Peta Kecamatan Lasusua
Gambar 2.3. Rumah PKSMT
Gambar 2.4. Kakus Umum dengan Sumber Dana CSR
Gambar 2.5. Perkampungan desa Sulaho
Gambar 2.6. Peta Desa Sulaho
Gambar 2.7. Rumah Bedah P2-WKSS
Gambar 2.8. Pohon Ketapang dan Pekuburan Desa
Gambar 2.9. Botol Berisi Garam Mattoana telah Digantung
sejak Setahun yang Lalu
Gambar 2.10. Sanro Mendoakan Makanan ketika Turun
Perahu
Gambar 2.11. Mendorong Perahu saat Upacara Turun
Perahu
Gambar 2.12. Tandan Pisang dan daun Pakecce pada rumah
baru
Gambar 2.13. Hubungan Kekerabatan
Gambar 2.14. Struktur Organisasi Desa Sulaho Tahun 19972014
Gambar 2.15. Musyawarah di Balai Desa Pasca Demonstrasi
Gambar 2.16. Ranjang dan Kayu Representasi Buaya
Gambar 2.17. Pohon Kayu Jawa
Gambar 2.18. Tanaman Cangak Duri
Gambar 2.19. Tanaman Srikaya/Sirsak
Gambar 2.20. Tanaman Daun Pakkece
Gambar 2.21. Tanaman Jarak
Gambar 2.22. Menari Lulo

xii

15
15
20
23
27
29
41
43
54
56
56
58
63
68
70
80
87
88
89
90
90
96

Gambar 2.23. Pendapatan Nelayan Menggunakan Bom Ikan


Gambar 2.24. Perahu Jolor, Jarangkah dan Sampan
Gambar 2.25. Wadah Tungku, Mulut Tungku dengan Batu
dan Mulut Tungku dengan Rangka Besi
Gambar 2.26. Membakar Ikan di Luar Rumah
Gambar 2.27. Memakan Cacing Laut
Gambar 3.1. Ariango dan Gelang Hitam yang Dipakai Balita
Gambar 3.2. Air Jappi-jappi dan Air Lelehan Sabun Mandi
Dicampur Daun Sirsak
Gambar 3.3. Sanro Mengikat Tali Pusat Bayi
Gambar 3.4. Sarung Tujuh Lapis untuk Bayi Baru Lahir
Gambar 3.5. Ari-ari yang Digantung pada Bagian Rumah
Gambar 3.6. Ari-ari Bayi yang Sudah Kering
Gambar 3.7. Area Permainan Danda
Gambar 3.8. Pembesaran Gondok
Gambar 3.9. Dagor dan Kompresor untuk Menyelam
Gambar 3.10. Obat-obatan yang Dijual di Warung Desa
Gambar 4. 1. Pemetaan Kusta pada Rumah Tangga di Desa
Sulaho
Gambar 4. 2 Telunjuk Tangan Kiri Mati Rasa
Gambar 4. 3. Bercak Kulit pada Reaksi Kusta
Gambar 4. 4. Penderita yang Mengalami Cacat
Gambar 4. 5. Bercak Kusta
Gambar 4. 6. Denah Ruang Rumah Keluarga Mr
Gambar 4. 7. Kondisi Rumah Seorang Warga
Gambar 4. 8. Bekas Luka Mantan Penderita Kusta

xiii

104
106
108
108
112
127
147
150
163
166
168
179
210
220
230
243
246
254
256
263
276
278
293

xiv

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang


bersifat menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
Leprae dan penyakit jenis ini terdapat hampir di seluruh wilayah
Indonesia. Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah
yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk
seperti tempat tinggal dan fasilitas pendukung yang tidak bersih,
perilaku tidak higienis dan asupan gizi yang buruk karena dapat
berpengaruh pada daya tahan tubuh seseorang (Dirjen P2PL,
Kemenkes, 2012)
Kusta memiliki dua macam tipe gejala klinis yaitu
Pausibasilar (PB) dan Multibasilar (MB). Kusta tipe PB adalah tipe
kusta yang tidak menular dan biasa disebut juga sebagai kusta
kering, sedangkan kusta tipe MB atau kusta basah adalah kusta
yang sangat mudah menular. Pedoman utama untuk
menentukan klasifikasi penyakit kusta menurut WHO tampak
pada tabel 1.1. (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012).
Cara penularan terjadi dengan cara kontak yang lama
dengan pasien melalui saluran pernafasan bagian atas dan
melalui kontak kulit. Penyakit kusta ini bersifat intraselular
obligat, dimana saraf tepi/perifer sebagai afinitas pertama, lalu
kulit dan mukosa saluran nafas bagian atas, kemudian dapat ke
organ tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat (Dirjen P2PL,
Kemenkes, 2012)

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Tabel 1.1. Tanda Utama Kusta PB dan MB


Tanda Utama

Pausibasilar
(PB)

Multibasilar
(MB)

Penebalan saraf tepi


disertai gangguan fungsi
(mati rasa dan atau
kelemahan otot di
daerah yang dipersarafi
saraf yang bersangkutan)

Jumlah 1-5

Jumlah > 5

Kerokan jaringan kulit

BTA negative

BTA positif

Distribusi

Unilateral atau
bilateral asimetris

Bilateral Simetris

Permukaan bercak

Kering, kasar

Halus, mengkilap

Batas bercak

Tegas

Kurang Tegas

Mati rasa pada bercak

Jelas

Biasanya kurang jelas

Deformitas

Proses terjadi
lebih cepat

Terjadi pada tahap


lanjut

Bercak Kusta

Ciri-ciri khas

Madarosis, hidung
pelana, wajah singa
(facies leonina),
ginekomastia pada
laki-laki

Sumber: Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012

Pelaporan kasus sangat penting untuk memastikan bahwa


upaya pemberantasan ditargetkan di wilayah terinfeksi terhadap
jenis penyakit yang dianggap bisa dihilangkan seperti kusta.
Puskesmas sebagai salah satu fasilitas rujukan pelayanan
kesehatan memiliki peran (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012), 1)

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Menemukan dan mengobati pasien; 2) Melakukan pemeriksaan


fungsi saraf dan memberikan pengobatan bila terjadi infeksi;3)
Merawat luka, dan melatih pasien untuk melakukan perawatan
diri di rumah sesuai tingkat dan bagian tubuh yang cacat; 4) Bila
diperlukan dan memungkinkan, Puskesmas program Kelompok
Perawatan Diri (KPD/self care group);5) Memberikan konseling
kepada pasien dalam pengobatan maupun yang sudah Released
From Treatment (RFT); 6) Memberikan penyuluhan kepada
keluarga pasien dan masyarakat; 7) Merujuk pasien tepat waktu
ke RSU Kabupaten, rumah sakit kusta dan atau rumah sakit lain
yang mempunyai pelayanan untuk kusta.
Sejak tahun 2005 sampai dengan 2012, telah terjadi
penurunan jumlah kasus baru kusta yang ditemukan di Indonesia.
Berdasarkan data WHO, Indonesia menduduki peringkat ketiga
dengan jumlah kasus kusta terbesar pada tahun 2011 dengan
jumlah kasus sebanyak 20.023, setelah India dengan kasus
sebanyak 127.295 dan Brazil dengan kasus sebanyak 33.955
(WHO, 2013). Pada Tahun 2012, penemuan kasus baru di
Indonesia kembali turun menjadi 18.994 kasus (WHO, 2013).
Berikut ini trend penemuan kasus baru kusta di Indonesia (Dirjen
P2PL, Kemenkes, 2011).
Pada Tahun 2000, penyakit kusta telah mencapai status
eliminasi yang berarti jumlah penderita terdaftar kurang dari 1
kasus per 10.000 penduduk. Dengan demikian, dunia termasuk
Indonesia telah menyatakan kusta bukan lagi masalah bagi
kesehatan masyarakat (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2011). Namun
demikian, menurut catatan WHO, Indonesia masih menjadi
negara penyumbang kasus terbesar di dunia.

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Grafik 1.1.
Tren Angka Prevalensi Kusta di Indonesia 2007 2011
Sumber: Dirjen P2PL, Kemenkes, 2011

Total kasus baru pada tahun 2011 di propinsi Sulawesi


Tenggara 322 (14.1%) dengan rate 8.3/100.000 (Dirjen P2PL,
Kemenkes, 2012). Ada 1 (100%) penderita Kusta PB di Kabupaten
Kolaka Utara yang menyelesaikan pengobatan (RFT) sampai
tahun 2013 sebanyak 1 kasus (100%), sementara dari 9 penderita
kusta MB yang telah menyelesaikan pengobatan sampai tahun
2013 sebanyak 7 kasus (78%) (Dinkes Kabupaten Kolaka Utara,
2013). Penyakit kusta ini juga seperti fenomena gunung es, yang
nampak di permukaan, yang terdeteksi hanya kecil, tetapi
kenyataan di lapangan dapat jauh lebih besar. Hal ini
mengindikasikan bahwa permasalahan kusta masih menjadi
permasalahan kesehatan yang layak untuk dikaji.
Kusta menyerang semua umur dari anak-anak sampai
dewasa. Kusta banyak terdapat pada negara berkembang atau
negara miskin. Dengan kondisi lingkungan yang tidak bersih,
fasilitas kebersihan yang tidak memadai dan asupan gizi yang
buruk sehingga menyebabkan daya tahan tubuh rendah dan
rentan terhadap penyakit infeksi seperti kusta. Penelitian yang

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dilakukan oleh Anselmo Alves Lustosa dkk tahun 2011,


menunjukkan bahwa profil sosial demografi konsisten dengan
studi-studi lain yang dilakukan di berbagai daerah di Brazil bahwa
kondisi sosial ekonomi yang buruk menjadi faktor yang
berkontribusi terhadap penyebaran infeksi Kusta, disamping
faktor-faktor penentu biologis.
Dalam sejarahnya, pengobatan kusta telah dikenal dari
zaman dahulu kala bahkan hampir 2000 tahun SM yang dapat
diketahui dari peninggalan sejarah Mesir, India, Tiongkok dan
Mesopotamia. Dengan ditemukannya kuman kusta oleh G.H.
Hansen pada Tahun 1873, maka dimulailah era perkembangan
baru pengobatan kusta dan penanggulangannya. Penggunaan
diamino-diphenyl-sulphone (DDS) dimulai tahun 1951. Sejak
tahun 1982 pengobatan kusta dilakukan dengan Multi Drug
Therapy (MDT) sesuai rekomendasi WHO (Dirjen P2PL,
Kemenkes, 1998).
Adapun pengobatan dan upaya pemberantasan kusta di
Indonesia dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Pada tahun
1655, Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan leprozerie di
Kepulauan Seribu (Teluk Jakarta), sebagai tempat penampungan
para penderita kusta. Sampai dengan pertengahan abad 19,
Pemerintah Hindia Belanda telah mengembangkan leprozerie di
berbagai daerah, seperti Ambon, Banda, Ternate, Manado,
Gorontalo, Riau, Bangka, dan Bengkulu. Belanda menetapkan
peraturan pengasingan bagi penderita kusta di wilayah koloninya,
peraturan pengasingan paksa di leprozerie dihapus oleh Dr. J. B.
Sitanala, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas
Pemberantasan kusta, kemudian menggantinya dengan sistem
tiga langkah sebagai upaya pemberantasan kusta, yaitu
ekplorasi, pengobatan, dan pemisahan (Dirjen P2PL, Kemenkes,
2007).

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Meski penyakit kusta tidak menyebabkan kematian,


namun penyakit ini cukup menimbulkan dampak sosial, karena
menimbulkan leprofobia di kalangan masyarakat. Suatu
kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adalah berasal
dari golongan ekonomi lemah. Perkembangan penyakit pada diri
penderita bila tidak ditangani maka akan menimbulkan cacat
pada diri penderita yang akan menghalanginya untuk memenuhi
kebutuhan sosial ekonominya (Dirjen P2PL, Kemenkes, 1998).
Untuk mengatasinya, maka didirikan rumah sakit khusus kusta,
sebagai upaya pemberantasan dengan pola perawatan penderita.
Penelitian Fitriah Ulfah (2010), kondisi fisik rumah yang
tidak memenuhi syarat dan kepadatan penghuni yang tinggi
berhubungan terhadap peningkatan kejadian kusta. K Pontes
(2006), menemukan bahwa tingkat pendidikan rendah , riwayat
kekurangan pangan, kebiasaan mandi di danau 10 tahun terakhir,
jarang mengganti sprei dan kepadatan penghuni berhubungan
dengan kejadian kusta. Andy Muharry (2014), menemukan
bahwa kebersihan perorangan yang buruk mempengaruhi
kejadian kusta.
Persentase jumlah keluarga berperilaku hidup bersih dan
sehat (ber-PHBS) di Desa Sulaho masih rendah, yaitu sebesar
37.20% dan persentase rumah sehat baru mencapai 15.75%
(Puskesmas Lasusua, 2013). Penduduk dengan akses terhadap
fasilitas sanitasi yang layak (kakus sehat) masih rendah, yaitu
19.5% dan akses berkelanjutan terhadap air minum berkualitas
(layak) sebesar 46.05% (Puskesmas Lasusua, 2013).
Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering
mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang
baik, sehingga penyakit kusta menjadi ancaman. Penelitian yang
dilakukan kusta menimbulkan masalah yang sangat kompleks,
bukan hanya aspek medis tetapi meluas sampai masalah sosial,
ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga


termasuk sebagian petugas kesehatan karena kurangnya
pengetahuan/ pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap
kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Dirjen P2PL, Kemenkes,
2012).
Kebanyakan penderita kusta yang mengalami kecacatan
disebabkan karena keterlambatan untuk memeriksakan diri ke
pusat pelayanan kesehatan, meminum obat dengan tidak
sempurna atau pengobatan tidak tuntas. Temuan Alam Fajar
(2010), kusta selalu dipandang sebagai momok yang harus
disingkirkan oleh masyarakat karena dianggap sebagai penyakit
karena kutukan Tuhan, akibat dari dosa-dosa yang dilakukan oleh
penderita dan keluarganya di masa lalu serta tidak dapat
disembuhkan sehingga penderita kusta diberikan stigma tertentu
melalui penyakitnya.
Desa Sulaho merupakan sebuah wilayah yang cukup
terisolir, diapit pegunungan pada bagian utara, timur dan barat
dan lautan lepas pada bagian selatan. Kondisi geografis ini
menyebabkan akses ke pelayanan kesehatan menjadi lebih sulit
dibandingkan masyarakat yang hidup dalam wilayah yang mudah
dijangkau. Kegiatan promosi kesehatan yang dilakukan melalui
kegiatan penyuluhan kesehatan dan kunjungan rumah penduduk
ke desa, masing-masing dilakukan sebanyak 4 kali dan 2 kali di
Sulaho, berbeda dengan desa lain di wilayah kerja Puskesmas
Lasusua pada wilayah yang lebih mudah dijangkau, kegiatan
dilakukan masing-masing sebanyak 12 kali dan 4-6 kali
(Puskesmas Lasusua, 2013).
Kusta adalah salah satu penyakit yang ditemukan di Desa
Sulaho. Berdasarkan register kohort program P2 Kusta
Puskesmas Lasusua, Kusta di Desa ini selalu ditemukan dari tahun
ke tahun sejak tahun 2005 sampai dengan 2013 (selama 8 tahun
terakhir) (Puskesmas Lasusua, 2013). Pada akhir tahun 2013,

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

ditemukan dua penderita kasus baru kusta di Desa Sulaho


(Puskesmas Lasusua, 2013). Satu diantaranya diakui terjaring
melalui pemeriksaan kontak terhadap salah seorang penderita
kusta yang ditemukan dengan kondisi bengkak pada bagian
wajah dan satu lainnya berobat secara sukarela ke Puskesmas
dengan kondisi mengalami bengkak dan cacat tingkat 1 di bagian
kaki. Munculnya kasus-kasus baru menunjukkan bahwa masih
terjadi proses penularan yang diakibatkan keterlambatan untuk
melakukan pengobatan ke pusat pelayanan kesehatan terdekat.

Grafik 1.1.
Kasus Kusta Baru Desa Sulaho 2005-2013
Sumber: Data Puskesmas Lasusua 2013

Sebagian besar merupakan kusta jenis MB yaitu sebanyak


23 (76.67%) dari 27 kasus yang muncul. Berdasarkan jenis
kelamin, maka sebanyak 20 perempuan (74.07%) menjadi
penderita kusta, lebih banyak daripada laki-laki sebanyak 7 orang
(25.93%). Semua penderita merupakan usia produktif, sebagian
besar berada pada usia 10-20 tahun (59.26%). Masih adanya
kasus baru kusta di Desa Sulaho dari tahun ke tahun menggugah
rasa ingin tahu tentang sejarah kasus Kusta di masa lalu dan
perkembangan penyakit kusta di Sulaho pada masa selanjutnya;
menjadi pertanyaan pula tentang pengetahuan masyarakat
8

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

mengenai sebab, akibat dan dampak yang ditimbulkan oleh


penyakit kusta serta ingin diketahui faktor yang berperan dalam
mendukung langgengnya keberadaan penyakit kusta di Sulaho.
1.2.

Penentuan Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi pada penelitian riset etnografi kesehatan


ini berdasarkan prioritas permasalahan pada salah satu
komponen atau indikator IPKM yang rendah. Kabupaten Kolaka
Utara adalah kabupaten yang memiliki IPKM rendah dengan
peringkat 397 pada tahun 2007 dan termasuk kategori
Kabupaten bermasalah berat kesehatan miskin (KaA). Sasaran
etnis adalah Etnik Bajo. Awalnya, tim peneliti memperoleh
informasi bahwa ada dua desa yang didiami oleh Etnik Bajo di
Kabupaten Kolaka Utara yaitu Desa Sulaho dan Desa Lawata.
Pemilihan Desa Sulaho sebagai lokasi penelitian setelah
melalui proses diskusi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka
Utara dengan memperhatikan besaran masalah kesehatan dalam
lingkup KIA, PHBS, penyakit menular dan penyakit tidak menular.
Desa Lawata memiliki akses transportasi yang baik karena dapat
dicapai melalui perjalanan darat dengan medan yang baik,
disamping tidak terdapat permasalahan kesehatan yang
menonjol. Desa Sulaho adalah wilayah yang terisolasi karena
desa dilingkupi oleh perbukitan dan laut, sehingga transportasi
utama masyarakat Bajo di desa ini menggunakan perahu.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Desa Sulaho
masih rendah dan masih ditemukan penyakit kusta baru dari
tahun ke tahun yang mengindikasikan bahwa mata rantai
penyakit tersebut masih sustain. Berdasarkan data profil
Puskesmas Lasusua tahun 2013 rumah tangga berperilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) di desa Sulaho sebesar 37.2%
(Puskesmas Lasusua, 2013). Selain itu hampir selalu ditemukan

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kasus kusta dari tahun ke tahun selama kurun waktu 8 tahun


terakhir, dan ditemukan 2 kasus baru pada akhir tahun 2013.
Pertimbangan terhadap kesadaran masyarakat yang diduga
masih rendah salah satunya karena faktor geografis menjadi
alasan kuat mengapa penelitian riset etnografi kesehatan ini
dilakukan di Desa Sulaho, Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka
Utara.
1.3.

Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan


metode etnografi. Pengamatan lapangan dilakukan untuk
memperoleh gambaran utuh dan menyeluruh tentang budaya
perilaku kesehatan masyarakat. Teknik yang digunakan adalah
observasi partisipasi selama dua bulan. Peneliti ikut berperan
serta secara langsung dalam rangkaian kegiatan sehari-hari
subyek penelitian. Kegiatan ini didukung dengan penggunaan
media video dan foto.
Wawancara mendalam digunakan untuk memperoleh data
yang kaya dan mendalam terhadap tema ataupun permasalahan
yang digali. Wawancara dilakukan dengan menggunakan
pedoman wawancara. Peneliti menelusuri, mencatat, dan
mempelajari kepustakaan-kepustakaan yang relevan dengan
objek kajian untuk memperkaya dan memperluas wawasan dan
pengetahuan peneliti tentang objek atau masalah yang akan
dikaji. Penelusuran dokumen meliputi jurnal online dan buku
yang berkaitan dengan objek kajian. Selain itu, studi kepustakaan
dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang digunakan
sebagai pendukung data.
Analisis dilakukan dengan menelaah dan mengorganisasikan data yang telah diperoleh melalui wawancara
mendalam, observasi partisipasi dan catatan lapangan ke dalam

10

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

pola, kategori dan satuan uraian sehingga dihasilkan kesimpulan


sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis data dilakukan dengan
menerapkan metode deskripsi interpretatif yang didukung
dengan triangulasi sumber (subyek penelitian yang terdiri atas
anggota masyarakat, tokoh masyarakat dan tenaga kesehatan)
dan metode pengumpulan data (wawancara mendalam dan
observasi partisipasi).
Jenis data pada penelitian ini adalah kualitatif dengan
sumber data 1) Sumber data primer, merupakan data yang
diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi
partisipasi; 2) Sumber data sekunder, merupakan data dukung
yang diperoleh dari profil kesehatan/demografi kabupaten/
kecamatan/desa penelitian) sebagai dukungan kuantitatif atas
kondisi demografi ataupun permasalahan kesehatan yang
muncul. Data sekunder lainnya adalah penelusuran literatur
berbagai sumber (buku, jurnal, yang dikumpulkan, dibaca dan
disitasi untuk memperkaya wawasan dan pengkayaan dalam
melakukan analisis data.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran secara
holistik aspek sejarah, geografi dan sosial budaya terkait
kesehatan dalam lingkup kesehatan ibu dan anak, PHBS, penyakit
tidak menular dan penyakit menular secara spesifik penyakit
kusta pada etnis Bajo di Kabupaten Kolaka Utara.

11

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

12

BAB 2
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Kabupaten Kolaka Utara merupakan pemekaran dari


Kabupaten Kolaka sejak 7 Januari 2004 (Yahya Mustafa, 2008).
Kabupaten Kolaka Utara berada di daratan tenggara Pulau
Sulawesi dan secara geografis terletak pada bagian barat
merupakan bagian dari propinsi Sulawesi Tenggara. Menuju ke
Kabupaten Kolaka Utara dapat ditempuh melalui tiga jalur, yaitu
jalur laut melalui pelabuhan Siwa (Kabupaten Wajo, Sulawesi
Selatan) menyeberang dengan kapal cepat selama 1,5 jam atau
kapal ferry selama 2,5 jam, jalur darat melalui Malili (Kabupaten
Luwu Timur, Sulawesi Selatan) dengan menempuh perjalanan
selama kurang lebih 20 jam dan jalur udara via Pomalaa, Kolaka
dilanjutkan dengan perjalanan darat selama kurang lebih 4 jam
ke Kolaka Utara.
Kabupaten Kolaka Utara memanjang dari utara ke selatan
berada di antara 2o 46 45 3o 50 50 Lintang Selatan dan
membentang dari barat ke timur di antara 120o 41 16 121o
26 31 Bujur Timur. Keadaan permukaan wilayah di Kabupaten
ini pada umumnya terdiri atas lembah, perbukitan, pegunungan
dan laut yang memanjang dari utara ke selatan. Kondisi geografis
tersebut menyebabkan perbedaan jarak dari setiap Kecamatan
ke Ibu Kota Kabupaten, Lasusua. Keadaan musim di Kabupaten
Kolaka Utara seperti halnya dengan daerah lain di Indonesia,
yaitu musim hujan dan kemarau dengan suhu udara minimum
sekitar 10oc dan maksimum 31oc atau rata-rata 24oc-28oc serta

13

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

curah hujan yang cukup tinggi dibandingkan dengan kabupaten


lain di Sulawesi Tenggara dengan batas wilayah sebagai berikut
(Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara, 2013):
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur
Sulawesi Selatan;
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Uluwoi
Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara;
Sebelah Barat berbatasan dengan Pantai Timur Teluk Bone;
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Wolo,
Kabupaten Kolaka.
Kabupaten Kolaka Utara terbagi menjadi 15 kecamatan,
yaitu: Kecamatan Porehu seluas 647,23 km (19.08%), Kecamatan
Batu Putih seluas 374,95 km (16.47%), Kecamatan Pakue seluas
313.25 km (9.24%) dan selebihnya Kecamatan lainnya adalah
Ranteangin, Wawo, Lambai, Lasusua, Katoi, Kodeoha, Tiwu,
Ngapa, Watunohu, Pakue Tengah, Pakue Utara dan Tolala.
Kabupaten Kolaka Utara memiliki luas wilayah daratan sekitar
3.391.62 Km2 dan wilayah perairan laut membentang sepanjang
Teluk Bone seluas 12.376 Km2.
Wilayah Kecamatan Lasusua mencakup wilayah daratan
dan Lautan karena terletak di pesisir Pantai Teluk Bone. Luas
daratan Kecamatan Lasusua sebesar 287.67 km. Relief
permukaan daratan Kecamatan Lasusua terdiri dari daerah
pegunungan di bagian Timur dan Selatan, sedangkan di bagian
Utara dan Barat adalah berupa dataran yang sebagian merata di
sepanjang bibir pantai, sisanya adalah dataran yang landai dan
terjal yang berada di wilayah bagian utara. Ketinggian wilayahnya
mencapai 15 m dari permukan Laut.

14

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Gambar 2.1.
Peta Kabupaten Kolaka Utara
Sumber: longhairpictures.biz/peta/peta-infrastruktur-kabupaten-kolaka2008.html

KODEOHA

LASUSUA

RANTE ANGIN
Gambar 2.2.
Peta Kecamatan Lasusua
Sumber: Data Penelitian Tahun 2014

15

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

2.1. Sejarah Desa


2.1.1. Cerita Nenek Sawerigading
Masyarakat Etnik Bajo yang berdiam di Desa Sulaho
meyakini bahwa mereka merupakan keturunan Sawerigading
yang berasal dari Kampung Usu, Cengrekang, Malili, Tanah Luwu.
Kini daerah tersebut merupakan bagian dari Kabupaten Luwu
Timur. Cerita mengenai asal muasal Etnik Bajo yang tinggal di
Desa Sulaho tersebut telah dipercaya dari generasi ke generasi
secara turun temurun. Terdapat cerita bahwa dahulu istri raja
Etnik Bajo melahirkan seorang anak perempuan.
Pada waktu itu jika anak yang dilahirkan perempuan maka
harus dibunuh, sementara jika laki-laki yang dilahirkan maka akan
dirawat dan dibesarkan. Raja menyembunyikan anak perempuan
tersebut hingga akhirnya ia menjadi perempuan dewasa nan
cantik. Setelah kelahiran anak pertama, istri raja kembali
melahirkan anak kedua yang berjenis kelamin laki-laki. Waktu
terus berjalan, suatu hari anak laki-laki yang telah tumbuh
dewasa itu melihat kakak perempuannya yang sengaja
disembunyikan oleh orang tuanya. Iapun terpikat pada Codaik, si
perempuan cantik tersebut. Ia menyampaikan keinginan untuk
menikahi perempuan tersebut kepada orang tuanya.
Sang ibupun membuka rahasia yang telah sekian lama
disimpan rapat bahwa perempuan itu adalah saudara
kandungnya, maka jika ia menginginkan istri sepertinya, ia harus
pergi ke negeri Cina untuk menemukan saudara sepupu yang
memiliki wajah tiada beda dengan Codaik. Ia membawa sebuah
cincin dan sesampai ke negeri Cina bila dapat menemukan
seorang gadis yang dapat memakai cincin tersebut dengan pas,
maka dia itulah saudara sepupu yang dimaksud.
Sebuah pohon besar berdaun tujuh lembar yang disebut
pohon walenrang ditebang untuk dijadikan perahu menuju

16

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

negeri Cina oleh Sawerigading. Pohon tersebut diyakini sebagai


tempat bersarang dan bertelur seluruh burung. Pohon walenrang
itu berkali-kali dikapak, namun tak seorangpun mampu
merobohkan kokohnya batang pohon walenrang itu. Codaik
akhirnya dapat merobohkan pohon walenrang itu dengan satu
tebasan saja. Tumbangnya pohon ini menyebabkan terjadinya
banjir telur yang membuat orang-orang hanyut dan terbajo-bajo
(terbayang-bayang). Banjir inilah yang menyebabkan Etnik Bajo
tersebar ke berbagai tempat/wilayah.
Etnik Bajo sangat identik dengan kehidupan laut, sehingga
mereka mencari tempat tinggal di laut dan dalam kehidupan
sehari-hari berdamai dengan laut. Tim peneliti seringkali
mendengar warga Sulaho mengatakan bahwa mereka akan
merasa pusing atau sakit kepala jika tidak bisa melihat laut. Pada
suatu ketika ada nenek moyang Etnik Bajo yang tiba di Desa
Sulaho. Nenek moyang Etnik Bajo tersebut mencari tempat
tinggal yang disebut Alo-alo. Dahulu mereka menyebut kampung
yang didiami dengan sebutan Alo-alo yang berarti danau di luar
kampung. Danau yang dimaksud merupakan sebuah cekungan
besar seperti sumur yang luas dan dalam berada di laut sekitar 10
km dari perkampungan Desa Sulaho, sehingga jika laut di sekitar
danau tersebut surut, maka cekungan berisi air tersebut dengan
jelas dapat terlihat.
2.1.2. Jejak Manusia Etnik Bajo di Sulaho: Dahulu Hingga Kini
Sekitar 1870-an kampung Sulaho merupakan hutan primer
yang tidak berpenghuni, hanya sebagai tempat berlindung dan
beristirahat untuk nelayan saat ombak besar, tempat singgah
mengambil kayu bakar, air tawar dan berbagai kebutuhan lain
yang digunakan di laut. Selanjutnya datang orang Tolaki
Mekongga
yang
disebut
membangun
rumah
dan

17

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

mengembangkan usaha bercocok tanam (N. Suyuti, 2011). Kata


Sulaho merupakan bahasa Tolaki Mekongga yang artinya ada
suatu benda yang paling disukai ternyata menghilang. Kata Sula
dalam bahasa Tolaki Mekongga berarti pergi meninggalkan.
Seorang Tolaki Mekongga pergi menyuluh di laut dan ia kembali
menemukan benda yang hilang itu. Orang tersebut berkata
HokOhok yang memiliki arti benar. Kata yang diucapkan
terdengar juga oleh orang Bajo di atas perahu yang berada tak
jauh di sampingnya. Orang Tolaki tersebut mendengar orang Bajo
berkata Ohok, artinya membenarkan. Itulah artinya Sula
tambah Ho (Ohok), menjadi Sulaho.
Pada umumnya desa di sekitar Sulaho memiliki nama desa
yang cenderung merepresentasikan bahasa Tolaki seperti
Batulaki, Rante Angin, Watunahu dan Onohu sebagai petanda
bahwa Orang Tolaki Mekongga pernah berdiam di wilayahwilayah tersebut. Etnik Tolaki pada akhirnya lebih memilih
meninggalkan perkampungan Desa Sulaho. Tidak ada yang
mengetahui kapan tepatnya desa yang semula disebut Alo-alo
oleh orang Bajo berubah menjadi Sulaho. Menurut beberapa
informan, penyebutan Sulaho relatif lebih mudah daripada Aloalo, sehingga dalam perkembangannya Sulaho menjadi sebutan
yang umum dan lazim dan sebutan Alo-alo menghilang
bersamaan dengan ketenaran Sulaho.
Kata Sulaho disebut-sebut juga merupakan bahasa Bugis
yang memiliki arti sama dengan alo-alo, sehingga hanya
persoalan istilah saja tetapi memiliki makna yang sama. Hal ini
dikarenakan masuk pula orang Bugis pada masa selanjutnya
setelah orang Tolaki Mekongga meninggalkan perkampungan
Sulaho. Pada tahun 1923, terdapat gelombang kedua hadirnya
manusia di wilayah tersebut. Jumlah rumah yang ada saat itu
sekitar 10 unit, dibangun di atas permukaan laut dengan kondisi
rumah sangat sederhana dengan fungsi rumah sebagai tempat

18

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

berlindung dan setiap saat dapat ditinggalkan (N. Suyuti, 2011).


Pada masa selanjutnya orang Bajo yang berdatangan semakin
bertambah dan terbentuk sebuah perkampungan karena orang
Bajo memilih hidup dengan cara menetap. Dalam
perkembangannya Sulaho menjadi tempat persembunyian
gerombolan pemberontak Darul Islam Tentara Islam Indonesia
(DI TII) pimpinan Kahar Muzakar. Perkampungan Sulaho dianggap
sebagai daerah rawan persembunyian pasukan DI TII, sehingga
dilakukan pemberantasan oleh Pemerintah yang disebut dengan
operasi tumpas.
Perkampungan dibakar dan rumah-rumah penduduk habis
dibakar untuk menghindarkan kemungkinan dijadikan sebagai
tempat persembunyian kembali atau dapat disinggahi sekedar
untuk makan oleh pasukan DI TII. Saat informan Rh ( 56 tahun)
masih kanak-kanak, salah satu yang membekas jelas dalam
ingatannya adalah rumah-rumah yang dibakar. Inilah yang
kemudian memaksa semua warga akhirnya menyingkir pada
tahun 1960-an. Warga terpencar ke Kolaka, Rante Angin,
Lasusua, Lawata dan Pakue. Setelah kondisi wilayah yang
ditinggalkan cukup aman dan pemerintahan dinilai stabil, maka
pada tahun 1978 mereka mulai berdatangan kembali ke
perkampungan Sulaho. Ada pula rombongan orang dari Sulawesi
Selatan mulai dari Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Wajo dan Luwu
untuk aktivitas penggergajian kayu yang dikelola oleh PT Hasil
Bumi Indonesia (PT HBI). Wilayah ini akhirnya menjelma menjadi
perkampungan tua ketika Departemen Sosial datang pada tahun
1995 untuk melakukan pembinaan terhadap Etnik masyarakat
terasing.
Secara historis, awal mula terbentuknya Desa Sulaho
dimulai dengan masuknya program Peningkatan Kesejahteraan
Etnik Masyarakat Terasing (PKSMT) yang dilakukan oleh
Departemen Sosial (Depsos) dalam kurun waktu 5 tahun, yaitu

19

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

sejak tahun 1995 sampai 2000. Perkampungan di wilayah ini


belum tertata dengan baik dari berbagai aspek saat itu, begitu
pula dengan kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat. Sebagian
rumah telah berada di darat dan sebagian lainnya masih berada
di atas laut. Rumah yang ditempati umumnya merupakan rumah
panggung dengan dominasi bahan rumah berupa kayu dan daun
nipa. Jenis rumah merupakan rumah kayu yang tiangnya diikat
dengan rotan, sedangkan jendela dan atap terbuat dari daun nipa
yang dijahit, pintu terbuat dari kayu, sementara lantai terbuat
dari kayu atau bambu. Warga memanfaatkan apa yang dapat
diperoleh dengan mudah dari lingkungan sekitar tempat tinggal
untuk membangun rumah, sementara kebiasaan hidup seperti
cara berpakaian dideskripsikan masyarakat layaknya kehidupan
Etnik terasing yang tertutup dari masyarakat luar.

Gambar 2.3.
Rumah PKSMT
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Saat itu, Sulaho merupakan sebuah dusun yang menjadi


bagian sebuah desa bernama Pitulua. Setelah proses pembinaan
20

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

selama sekitar 2 tahun diadakan pemekaran menjadi desa. Pada


tanggal 25 November tahun 1997, secara definitif Sulaho resmi
dimekarkan sebagai desa. Pemekaran desa dipandang perlu
waktu itu, bukan saja Sulaho, tetapi beberapa dusun bersamaan
dimekarkan menjadi desa. Pada tahun 2000, Depsos membangun
rumah sebanyak 85 unit yang diperuntukkan bagi 85 kepala
keluarga. Pembangunan rumah disertai dengan pembangunan
kakus cemplung pada beberapa titik strategis dalam kampung.
Berdasarkan hasil pembinaan Depsos, maka terbentuklah
satu wadah pemukiman Desa Sulaho yang apik. Tidak terdapat
rumput liar atau sampah, benih tanaman berupa bunga dan
sayur diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah. Segala
program yang dianjurkan pemerintah berjalan, seperti
pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) dan penanaman
tanaman obat keluarga (toga) di setiap rumah tangga. Saat itu,
terdapat jaminan hidup selama lima tahun (1995-2000) berupa
kebutuhan sandang seperti sarung, baju dan pangan seperti
beras, gula, mi instan, kopi, minyak dan ikan kering.
Awalnya, aspek kebersihan tidak menjadi perhatian
penting masyarakat. Masuknya pembinaan Depsos menjadi salah
satu wujud peningkatan kepedulian masyarakat untuk
membersihkan lingkungan sekitar tempat tinggal secara gotong
royong. Biasanya dilakukan kegiatan bersih desa, setiap hari
jumat (jumat bersih) sesuai dengan kebiasaan masyarakat yang
umumnya tidak melaut pada hari jumat.
Pada saat itu, warga memperoleh rumah dan lahan seluas
hektar, masing-masing bersertifikat. Lahan ditujukan untuk
kegiatan perkebunan dan berlokasi di pegunungan Sulaho. Lahan
ditanami jambu mete dan cengkeh, namun umumnya
masyarakat menyatakan tidak memperoleh hasil. Pemanfaatan
lahan tersebut saat ini tidak terkelola dengan baik dikarenakan
kondisi jalan rusak, selain itu menurut masyarakat jalanan ke

21

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

lokasi sampai sekarang juga menjadi perdebatan dengan


pemerintah setempat yang menganggap bahwa wilayah tersebut
merupakan kawasan hutan lindung.
Pasca pembinaan Depsos, kampung Sulaho telah
bermetamorfosis menjadi sebuah desa. Etnik Bajo di Sulaho tidak
lagi disebut sebagai komunitas masyarakat terasing (KMT) tetapi
disebut dengan komunitas adat terpencil (KAT). Andil Depsos kala
itu menjadi cikal bakal terbentuknya Desa Sulaho pada masa kini.
Terjadi beberapa pembangunan infrastruktur desa dalam
kurun waktu 5-10 tahun terakhir. Salah satu perwujudan
pengembangan aspek kesehatan adalah pembangunan Balai
Kesejahteraan Rakyat (Bakesra) yang berada di komplek Sekolah
Dasar (SD) Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) Satu Atap
Sulaho pada tahun 2008. Sejak itu mulai ada tenaga kesehatan
yang menjadi penanggung jawab dalam memberikan pelayanan
kehamilan, persalinan dan pelayanan kesehatan dasar
(pengobatan) untuk masyarakat Desa Sulaho, meskipun petugas
kesehatan tidak tinggal menetap di desa.
Berkaitan dengan perbaikan infrastruktur desa, maka
dibangun saluran air antara jalan desa dan rumah warga pada sisi
utara Desa Sulaho pada tahun 2007. Saluran mengalirkan air saat
musim hujan sehingga perkampungan tidak lagi digenangi air.
Fasilitas umum berupa kakus yang berada di dusun 1, tepat di
sebelah masjid dan satu lainnya di tengah pemukiman padat
penduduk di dusun 3 pada tahun 2013. Pembangunan kedua
kakus tersebut merupakan wujud Charity Social Responsibility
(CSR) perusahaan tambang di Potoa, wilayah Desa Sulaho. Satu
bangunan kakus lain telah ada sebelumnya di dusun 2 dan sudah
tidak digunakan sama sekali.

22

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Gambar 2. 4.
Kakus Umum dengan sumber dana CSR
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Program pemerintah Kabupaten Kolaka Utara yang


dikemas dalam peningkatan peranan wanita menuju keluarga
sehat sejahtera (P2-WKSS) mewajibkan setiap satuan kerja
perangkat daerah (SKPD) mengucurkan dana untuk melakukan
bedah rumah di Desa Sulaho pada tahun 2010. Masing-masing
SKPD bertanggung jawab untuk memberikan bantuan pada satu
rumah tangga. Kegiatan bedah rumah ditujukan untuk
memperbaiki rumah berdasarkan tingkat kerusakan. Rumah yang
dianggap masih memiliki kondisi bagus, cukup dibantu dengan
membelikan bahan bangunan tertentu seperti atap, cat, semen
dan sejenisnya. Ada dua rumah yang diperbaiki total, sehingga
seringkali menjadi buah bibir warga bahwa rumah tersebut
termasuk kategori rumah bagus yang saat ini ada di Sulaho.
Di desa ini terdapat dua jalan utama berukuran sekitar 2,53 meter pada sisi selatan dan utara desa membelah dari ujung
timur sampai ke ujung barat perkampungan. Saat ini, kondisi
jalan terlihat tidak terawat, banyak rumput liar tumbuh dan
menutup akses jalanan. Jalan utama desa sisi selatan terlihat
hijau karena banyak ditumbuhi rumput jepang, seperti halnya
rumah warga pada area tersebut banyak ditumbuhi rumput
sejenis. Rumput tersebut semula hanya ditanam di depan/dekat

23

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

rumah, tapi kemudian berkembang dan menjalar sampai ke jalan


utama desa. Tepat di tengah, antara jalan yang tertutup oleh
rumput-rumput jepang itu ada jalan tanah yang terbentuk secara
alami dan biasanya menjadi jalur melintas sepeda dan sepeda
motor.
Jalan utama desa sisi utara pada area tertentu tidak bisa
dilewati meskipun dengan berjalan kaki karena banyak rumput
liar yang tumbuh tinggi dan menutupi jalanan sehingga biasanya
warga memutar melalui jalan utama atau gang-gang di antara
rumah warga untuk sampai ke tujuan. Hampir separuh lapangan
desa terutama pada bagian barat dan utara ditumbuhi ilalang
tinggi karena sudah sejak lama tidak dilakukan pembersihan.
Kegiatan warga berupa kerja bakti setiap hari Jumat yang disebut
dengan Jumat bersih antara lain memotong rumput, sudah
tidak lagi dilakukan sejak setahun terakhir.
Pagar-pagar yang mengelilingi rumah warga rintisan
pembinaan Depsos, sudah lama tidak diperbaiki lagi. Pagar ini
dibuat agar babi liar yang turun ke wilayah pemukiman pada
malam hari tidak masuk ke halaman rumah warga. Beberapa
rumah yang masih memiliki pagar dan ada tanaman obat
maupun tanaman keras adalah rumah pendatang. Banyak rumah
yang sudah tidak memiliki pagar ataupun jika masih tersisa hanya
beberapa bilah kayu yang menunjukkan bahwa pernah ada pagar
pada rumah tersebut.
Lingkungan sekitar rumah warga tampak kotor, sampah
berupa plastik bekas bungkus makanan, kotoran kambing, kayu
dan dedaunan terhambur di halaman rumah dan jalanan desa.
Tidak ada lubang tanah ataupun tempat-tempat khusus yang
berfungsi sebagai tempat pembuangan atau penampungan
sampah. Kotoran kambing bahkan menjadi pemandangan yang
biasa ada di teras rumah warga, bahkan seringkali kambing
dengan mudah masuk ke dalam rumah meninggalkan kotoran

24

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

atau menghabiskan makanan yang ada di dapur seperti beras dan


nasi. Kaki-kaki penduduk yang menelusuri setiap jengkal tanah
desa ini sudah kebal dengan kotoran semacam itu, karena
umumnya mobilitas warga dilakukan dengan bertelanjang kaki.
Sampah juga banyak terlihat di sekitar bibir pantai, kadang kala
juga mudah ditemukan kotoran manusia di antaranya.
Setiap kehidupan komunitas/masyarakat manapun tidak
dipungkiri diwarnai dengan permasalahan-permasalahan yang
melekat sebagai imbas dari kebiasaan dan pola kehidupan yang
berjalan. Begitu pula dengan masyarakat Desa Sulaho, salah satu
permasalahan yang kini tengah benar-benar dirasakan oleh
masyarakat di desa ini adalah kehilangan pekerjaan sehari-hari
dikarenakan larangan menangkap ikan dengan menggunakan
bom ikan pasca tertangkapnya seorang warga. Mereka umumnya
menangkap ikan dengan bom ikan (pangada) secara sembunyisembunyi. Nelayan yang sebagian besar memanfaatkan pangada
kembali bekerja secara konvensional dengan memancing atau
menjaring ikan. Hal ini selalu dikeluhkan oleh masyarakat
dikarenakan hasil tangkapan yang diperoleh sehari-hari menjadi
sangat berkurang dan seringkali merugi. Banyak wanita yang
sebelumnya bekerja sebagai penjual ikan (palele) tidak lagi dapat
bekerja.
Selain itu sebagian warga yang bekerja di pertambangan
Potoa (bagian wilayah desa Sulaho), sudah tidak bekerja sejak
tambang dihentikan setengah tahun terakhir. Salah satu upaya
mengatasi krisis ekonomi yang dirasakan, masyarakat melakukan
demonstrasi kepada Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara dengan
menuntut Charity Social Responsibility (CSR) untuk kepentingan
pembangunan jalan, listrik dan alat penangkap ikan.
Permasalahan lain dalam kehidupan masyarakat Desa
Sulaho diantaranya adalah anak-anak usia sekolah yang
berkeliaran saat jam belajar menjadi pemandangan yang lumrah,

25

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

baik yang bersekolah tapi sedang di luar jam pengajaran atau


memang tidak bersekolah. Orang tua biasanya tidak
mempermasalahkan ketika anak mereka tidak bersekolah, jika
anak perempuan membantu pekerjaan rumah tangga sedangkan
anak lelaki pergi melaut.
Pergaulan bebas diantara remaja juga sering terjadi
sehingga ditemui beberapa kasus hamil di luar nikah sejak
beberapa tahun terakhir, namun tidak ada sanksi sosial terhadap
perbuatan mereka. Anak-anak memiliki keleluasaan bermain
sepanjang waktu tanpa adanya pengawasan orang tua. Rumah
sepi ketika ditinggal melaut oleh keluarga, dermaga dan lapangan
menjadi lokasi yang digunakan anak-anak remaja untuk saling
bertemu.
2.2. Geografi dan Kependudukan
2.2.1. Bentang Alam Sulaho
Salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Kolaka
Utara adalah Kecamatan Lasusua. Lasusua merupakan Ibukota
kecamatan sekaligus Ibukota kabupaten Kolaka Utara. Desa
Sulaho merupakan salah satu desa yang berada di wilayah
Kecamatan Lasusua dan wilayah kerja Puskesmas Lasusua. Desa
Sulaho terbagi atas 4 dusun, yaitu yang disebut dengan Dusun 1,
2, 3 dan 4. Masyarakat Desa Sulaho terbiasa menyebut nama
dusun dengan menyebut nomor meskipun setiap Dusun
sebenarnya memiliki nama. Dusun Satu (1) memiliki nama Nusa
Indah, Dusun 2 dengan nama Bunga Karang, Dusun 3 dengan
nama Pasir Putih, sedangkan Dusun 4 disebut dengan Lanipa-nipa
karena menurut historis dahulu banyak ditemukan pohon Nipa di
wilayah tersebut. Dusun Lanipa-nipa merupakan wilayah yang
terpisah secara geografis dari Desa Sulaho. Berbeda dengan tiga
dusun yang lain, tidak terdapat Etnik Bajo di Dusun Lanipa-nipa,

26

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

sebagian besar penduduk adalah Etnik Bugis yang berasal dari


Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka mulai datang ke Lanipanipa pada tahun 1970-an, saat banyak dilakukan penggergajian
kayu di Sulaho dan kemudian hidup menetap di tempat tersebut.
Meskipun secara geografis terpisah dari Desa Sulaho,
secara infrastruktur dusun Lanipa-nipa memiliki akses
transportasi darat yang lebih baik menuju ke jalan Poros Trans
Sulawesi. Hal ini merupakan imbas dari adanya pertambangan di
Potoa yang merupakan wilayah Dusun Lanipa-nipa, sehingga
terjadi peningkatan infrastruktur di sana. Proses kehidupan sosial
ekonomi yang terjadi juga lebih berkembang dibandingkan
dengan Desa Sulaho sebagai induknya.

Gambar 2. 5.
Perkampungan desa Sulaho
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Pertambangan yang pernah beroperasi di Desa Sulaho,


berada di wilayah Potoa yang secara geografis terpisah oleh
pegunungan dan tanjung. Akan tetapi proses eksplorasi tambang
pada lereng pegunungan yang sama menimbulkan dampak
27

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

terhadap lingkungan di Desa Sulaho. Jika proses kerja tambang


tengah berlangsung biasanya debu tambang akan beterbangan
mengarah ke Desa Sulaho terutama saat angin kencang. Selain itu
jika musim hujan turun, maka air di sekitar pantai di sepanjang
Desa Sulaho cenderung berwarna merah dikarenakan longsoran
tanah pada area eksplorasi lahan yang dengan mudah tergerus
oleh air hujan.
Desa Sulaho sebelah utara berbatasan dengan Desa
Totallang yang dapat menembus jalan Poros Trans Sulawesi
Kolaka-Kolaka Utara, sebelah timur berbatasan dengan
Kecamatan Lambai, sebelah selatan berbatasan dengan Teluk
Bone yang merupakan laut sepanjang mata menyapu pandangan
dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Pitulua. Desa Sulaho
berada di antara pegunungan yang memiliki derajat kemiringan
mulai dari 30o sampai 45o, mengelilingi belakang perkampungan
(barat, utara dan timur) membentuk setengah lingkaran.
Pegunungan yang mengitari Desa Sulaho tersebut oleh
masyarakat setempat disebut dengan pegunungan Sulaho.
Sementara depan perkampungan (selatan) sepenuhnya adalah
bibir pantai. Jarak tempuh Desa Sulaho ke Kecamatan Lasusua
adalah 20 km dengan waktu tempuh 30-45 menit, jarak ke
ibukota kabupaten adalah 25 km dan jarak ke ibukota propinsi
adalah 311 km.
Topografi desa cenderung didominasi oleh perbukitan dan
pegunungan seluas 300 ha dan dataran hanya seluas 50 ha yang
menjadi tempat tinggal masyarakat Desa Sulaho. Tinggi daratan
dari permukaan laut hanya sekitar 0,5 sampai dengan 2 meter.
Jarak rumah penduduk dari bibir pantai kurang dari dua meter.
Dalam kondisi surut, jarak rumah dengan air laut menjadi lebih
jauh sekitar 5-10 meter. Kondisi ini dimanfaatkan oleh warga
sekitar untuk mencari kerang laut yang disebut seya dan kebakeba yang dapat dikonsumsi sehari-hari. Luas Desa Sulaho

28

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

adalah 24.04 ha, yang peruntukkannya terbagi untuk


pemukiman, bangunan sekolah, perkantoran, tempat ibadah
berupa masjid, pemakaman, lapangan sepak bola dan volley dan
padang ilalang (Daftar Isian Profil Desa Sulaho, 2003).
PITULUA

TOTALLANG
SULAHO

TELUK BONE
LAMBAI

Gambar 2. 6.
Peta Desa Sulaho
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Desa Sulaho dapat dicapai melalui jalur laut dengan


menggunakan perahu dari Kecamatan Lasusua dengan waktu
tempuh sekitar 45 menit. Terdapat jalur darat yang dapat
ditempuh dari Desa Sulaho menembus jalan poros Trans
Sulawesi, akan tetapi jalan ini memiliki tingkat kemiringan yang
curam, kondisi tanah cenderung labil dan licin. Meskipun
demikian, ada warga desa yang menggunakan jalan tersebut
dengan mengendarai sepeda motor untuk mencapai Lasusua

29

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dengan alasan lebih cepat daripada naik perahu, yaitu sekitar 30


menit perjalanan. Selain itu, Desa Sulaho juga dapat diakses dari
Kecamatan Lambai, sekitar 30 menit dengan menggunakan
perahu.
Kondisi geografis yang ada menyebabkan perahu menjadi
transportasi yang paling sering digunakan oleh masyarakat.
Mereka memiliki mobilitas ke Lasusua atau ke Lambai terutama
untuk kepentingan berbelanja. Hari Senin, Rabu dan Jumat
adalah hari pasar di Lasusua, sementara hari Selasa, Kamis dan
Minggu adalah hari pasar di Lambai sehingga banyak warga
Sulaho yang pergi untuk menjual ikan dan atau membeli
kebutuhan sehari-hari.
Wilayah pantai Sulaho dipenuhi dengan sampah, mulai
dari sampah jenis plastik, kayu, kain dan sampah rumah tangga
lainnya. Sebuah pemandangan yang sudah biasa dan lumrah,
melihat penduduk membuang sebagian sampah ke pantai
dengan alasan sampah akan pergi terbawa ombak laut. Sampah
biasanya dibuang begitu saja di sekitar rumah, sehingga
terhambur di sekitar lingkungan rumah. Sampah ditumpuk di
sekitar lingkungan rumah dengan menggunakan pembatas kayu
ala kadarnya pada keempat sisi, sehingga dengan mudah sampah
berserakan kembali. Beberapa sumur warga yang dibiarkan
terbengkalai/tidak digunakan menjadi tempat pembuangan
sampah sehari-hari.
Tidak ada warga yang memiliki tempat penampungan atau
lokasi khusus sebagai tempat pembuangan sampah di lingkungan
sekitar tempat tinggal. Sebagian warga membakar sampah yang
telah menumpuk di sekitar rumah. Sampah yang banyak
terhambur hampir di semua tempat di desa Sulaho mulai terjadi
sejak pembinaan Depsos berhenti pada tahun 2000. Aroma tajam
yang bersumber dari kotoran manusia seringkali dijumpai saat
berjalan di pantai, karena kebiasaan warga melakukan aktivitas

30

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

buang air besar di pinggir laut. Menurut warga biasanya mereka


buang air besar dengan cara menggali pasir terlebih dahulu dan
kemudian menimbun tinja setelah buang air besar selesai
dilakukan.
Lapangan yang ada di tengah pemukiman biasanya
dimanfaatkan sebagai tempat bermain sepak bola setiap sore
hari oleh anak-anak lelaki maupun lelaki dewasa. Biasanya
mereka bermain sepak bola tanpa mempedulikan hujan. Dalam
lingkungan kompleks SD SMP satu atap Desa Sulaho terdapat
lapangan bola volley, sehingga kadang kala mereka juga bermain
bola volley pada sore hari. Aktivitas olah raga berupa sepak bola
dan bolla volley ini juga diikuti oleh lelaki usia muda yang sedang
tidak memiliki tanggungan pekerjaan. Selain itu tepat di sebelah
lapangan, terdapat sebuah Balai Kesejahteraan Rakyat (Bakesra)
yang merupakan pelayanan fasilitas kesehatan di desa tersebut.
Bakesra di desa ini merupakan bantuan dari Depsos.
Kebutuhan listrik di Desa Sulaho diperoleh dari sumber
listrik non PLN. Sumber listrik yang digunakan oleh masyarakat
setempat diantaranya adalah sumber listrik tenaga surya, genset,
mesin diesel dan pelita. Listrik tenaga surya yang dimiliki desa
merupakan bantuan Dinas Pertambangan dan telah
dimanfaatkan oleh 32 rumah tangga awalnya. Pemanfaatan listrik
tenaga surya digunakan untuk bermacam kebutuhan seperti
menyalakan lampu dan menonton televisi, tetapi kini dengan
berjalannya waktu dan tidak adanya perawatan sumber tenaga
surya, maka banyak aki pada sumber tenaga surya yang rusak
sehingga mengurangi kemampuan untuk men-supply sumber
listrik ke rumah-rumah penduduk.
Sebagian perangkat tenaga surya (berupa payung tenaga
surya dan aki) yang ada di rumah warga dijual dengan alasan
rusak. Mereka menjual dengan harga sekitar Rp. 500.000,- , atau
ditukar dengan sekarung beras atau dibelanjakan kebutuhan

31

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

pokok. Genset biasanya digunakan di setiap rumah tangga,


sementara satu mesin diesel dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan listrik sekitar 3 4 rumah tangga secara bersamaan.
Pada umumnya hewan yang menjadi peliharaan warga
adalah kambing dan unggas seperti ayam (jenis potong maupun
kampung) dan itik. Sebagian besar kambing tidak dimasukkan
kandang setiap harinya sehingga berkeliaran bebas di lingkungan
rumah bahkan masuk ke dalam rumah. Banyak cerita yang
menyatakan bahwa kambing yang masuk ke dalam rumah
memakan nasi atau beras dan cerita semacam itu merupakan
kejadian yang dianggap wajar terjadi dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Meski terdapat sebagian pemilik yang
menyediakan kandang, biasanya kambing hanya dikandangkan
pada malam hari saja. Menurut cerita masyarakat, seringkali ada
kambing yang masuk ke dalam rumah kemudian dipukul, dilukai
atau ditombak oleh pemilik rumah dan dibuang begitu saja di
sekitar pantai atau jalanan desa.
Pemeliharaan hewan yang membiarkan hidup liar di
pemukiman menyebabkan kotoran kambing berceceran di setiap
tempat, mulai dari jalan, teras rumah, bahkan di dalam rumah.
Kambing menjadi aset ekonomi sementara ayam biasanya selain
sebagai aset ekonomi juga dimanfaatkan ketika rumah tangga
mengadakan maccera (potong) ayam untuk acara tertentu.
Masyarakat tidak menanam sayuran di sekitar lingkungan rumah
tempat tinggal. Ada dua rumah tangga yang menanam sayur
berupa ubi, kacang tanah, tomat maupun cabai untuk kebutuhan
sendiri di pekarangan rumah mereka.
Beberapa halaman rumah dan sekitar pantai, khususnya di
dusun 3 tumbuh banyak pohon kelapa. Tanah perkebunan di
pegunungan Sulaho yang umumnya ditanami cengkeh maupun
jambu mete tetapi tidak dirawat dengan baik oleh warga, ada
yang membiarkannya begitu saja dikarenakan akses yang sulit

32

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

menuju lokasi sehingga dinilai tidak memberikan hasil, namun


ada juga yang sesekali memanen hasil kebunnya.
2.2.2. Kependudukan Etnik Bajo di Sulaho
Pada tahun 2011 jumlah penduduk Kabupaten Kolaka
Utara sebanyak 127.015 jiwa dan pada tahun 2012 bertambah
menjadi 130.531 jiwa atau meningkat 2,77 % (Pemerintah
Kabupaten Kolaka Utara, 2013). Jumlah penduduk kecamatan
Lasusua pada tahun 2012 sebesar 24,855 jiwa, dengan jumlah
penduduk terkecil adalah Desa Sulaho sebesar 621 jiwa dengan
persebaran sekitar 2,50% dari total jumlah penduduk Kecamatan
Lasusua (BPS, 2013). Hampir seluruh penduduk Desa Sulaho
merupakan Etnik Bajo.
Penelusuran terhadap data kependudukan Desa Sulaho
tidak dapat diperoleh, sehingga tim peneliti melakukan
pendataan secara langsung per Juli 2014. Jumlah penduduk Desa
Sulaho sebanyak 682 jiwa, dengan rincian 456 jiwa tersebar di
dusun 1-3 yang sebagian besar merupakan Etnik Bajo, sementara
sebanyak 226 jiwa Etnik bugis berdiam di dusun 4 yang secara
geografis terpisah dari dusun 1-3. Berikut jumlah penduduk Desa
Sulaho di dusun 1-3 berdasarkan kategori Etnik;
Tabel 2. 1. Klasifikasi Warga Dusun 1-3 Desa Sulaho berdasarkan
Etnik
Etnik
Bajo
Bugis
Campuran Bajo Bugis
Lain-lain
Jumlah

Jumlah
313
39
42
62
456

Sumber : Data primer penelitian 2014

33

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pada umumnya masyarakat Desa Sulaho tidak hafal


dengan baik tahun kelahiran mereka. Tim peneliti harus melihat
kartu keluarga (KK) untuk mengetahui umur informan, bahkan
ditemukan pasangan suami istri yang tidak memiliki kartu tanda
penduduk (KTP) maupun Kartu Keluarga. Seringkali pula dijumpai
ketidaksesuaian data dalam KK atau KTP dengan umur riil
seseorang, sehingga umur diketahui berdasarkan pengakuan
informan maupun perkiraan orang sekitarnya. Ada pula mereka
yang tidak dapat mengingat dengan baik kejadian di masa
lampau yang dialami untuk dijadikan patokan menghitung umur
sehingga akhirnya mengandalkan perkiraan saja.
Sebanyak 171 jiwa merupakan usia 5-18 tahun yang masuk
pada usia sekolah taman kanak-kanak (TK) sampai dengan
sekolah menengah atas (SMA). Sebanyak 128 jiwa berada pada
rentang usia 19-50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak
65.57% penduduk Desa Sulaho merupakan usia produktif. Data
penduduk Desa Sulaho (dusun 1-3) berdasarkan umur dan jenis
kelamin dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Sekolah Dasar (SD) di desa ini telah berdiri sejak tahun
1982, Sekolah Menengah Pertama (SMP) berdiri pada tahun 2007
dan diikuti dengan Taman Kanak-Kanak pada tahun 2012. Tidak
banyak anak yang mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di
TK ini. Menurut banyak orang tua, anak-anak merasa bosan
karena hanya diajarkan menyanyi saja sehingga anak enggan
untuk melanjutkan KBM dan orang tuapun memaklumi hal
tersebut. Biasanya anak-anak di Desa Sulaho masuk SD pada usia
6 atau 7 tahun.

34

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Tabel 2. 2. Jumlah Penduduk Desa Sulaho berdasarkan Umur dan


Jenis Kelamin
Golongan Umur
0 - 12 bulan
13 bulan 4 tahun
5-6 tahun
7-12 tahun
13-15 tahun
16-18 tahun
19-25 tahun
26-35 tahun
36-45 tahun
46-50 tahun
51-60 tahun
61-75 tahun
>75 tahun

Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
8
6
21
12
18
11
46
37
15
22
10
12
35
26
44
37
27
24
10
5
11
8
4
6
1
250
206

Jumlah
14
33
29
83
37
22
61
81
51
15
19
10
1
456

Sumber: Data primer penelitian 2014

Banyak anak yang seringkali tidak masuk sekolah dan


orang tua membiarkan mereka ikut melaut pada waktu-waktu
sekolah. Ada pula orang tua yang membawa anak-anak mereka
pergi ke sebuah pulau tertentu untuk mencari sumber rezeki,
seperti mencari ikan sunu atau teripang. Biasanya mereka pergi
selama berbulan-bulan bahkan lebih dari satu tahun. Hal ini
membuat anak berada pada jenjang kelas yang sama seperti saat
dia pergi meninggalkan kampung, karena selama pergi biasanya
tidak bersekolah. Banyak anak-anak yang seharusnya sudah
duduk di bangku SMP atau SMA, masih duduk di bangku SD atau
SMP. Kurangnya dorongan orang tua terhadap pendidikan anak
menyebabkan angka putus sekolah di Desa Sulaho tinggi. Hal ini
seperti diungkapkan oleh salah seorang guru di SDN Sulaho
sebagai berikut:

35

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Nah itulah kekurangannya anak-anak di sini, kelalaian


orang tua sebenarnya, walaupun dia orang sekolah,
anaknya
tinggal
main,
begitu,
kurang
doronganbegitulah orang tuanya kurang dalam
masalah pendidikan, makanya selalu bawa anaknya
kesana-kemari, akhirnya tidak sekolah, sekolah sudah
lama, ada muridnya, namun begitulah tidak nampak,
karena tidak ada yang lanjut, begitu tamat SD sudah
melaut lagi (Sw, 56 tahun).

Pihak sekolah menyatakan telah memberikan pemahaman


kepada orang tua untuk menyekolahkan anaknya, tetapi hal
tersebut biasanya kurang mendapatkan respon yang baik. Orang
tua membiarkan anak mereka bersahabat dengan laut seperti
halnya kehidupan mereka pada masa lalu, sekaligus memupuk
kemauan dan kemampuan anak untuk mencari uang (sumber
penghidupan) menopang ekonomi keluarga, khususnya bagi anak
laki-laki. Namun demikian, ada alumni SD dan SMP Sulaho yang
kini tengah menempuh pendidikan tinggi pada jenjang S1
sebanyak empat orang dan D3 sebanyak tiga orang dan satu
diantaranya kini telah bekerja.
Pergaulan anak-anak yang berbeda jenis kelamin pada
bangku Sekolah Dasar (SD) dengan dukungan kebiasaan pacaran
pada masa tersebut, menjadi salah satu penyebab munculnya
kasus hamil di luar nikah. Anak-anak di desa ini sudah mulai
berpacaran sejak SD dan pada beberapa kasus terjadi kasus
kehamilan saat menempuh pendidikan pada jenjang Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Sebenarnya, usia pernikahan yang
dianggap ideal oleh masyarakat adalah seorang laki-laki dan
perempuan yang berusia 17 tahun karena sudah dianggap
mampu mengurus rumah tangga. Namun realitanya banyak
pernikahan yang terjadi pada usia 14 sampai dengan 15 tahun,
sehingga seringkali dapat muncul percecokkan karena usia masih

36

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

relatif muda. Seorang perempuan berusia 15 tahun dinilai


memiliki kondisi kandungan yang masih bagus untuk dapat
melahirkan dan memiliki banyak anak. Sementara masuk pada
usia 30 tahun sudah tidak baik bagi seorang perempuan untuk
melahirkan, meskipun faktanya banyak perempuan di desa ini
yang masih melahirkan pada usia di atas 30 tahun karena
umumnya mereka memiliki banyak anak dengan jarak kelahiran
yang relatif dekat, sekitar 1 sampai 2 tahun. Pendapat lain dari
generasi yang lebih tua, menganggap bahwa perempuan
sebaiknya menikah tidak lebih dari 25 tahun karena kondisi fisik
di masa yang akan datang sudah tidak kuat untuk dapat
mengurus anak-anaknya.
Anak-anak muda biasanya berkumpul di dermaga pada
sore hari. Kegiatan memancing ikan atau cumi atau anak-anak
kecil yang berenang di sekitar dermaga, mencari cacing atau
kerang ketika laut surut menjadi aktivitas rutin yang dilakukan.
Anak-anak perempuan biasanya mengobrol di dermaga, rumah
warga, atau pinggir pantai dan seringkali juga terjadi obrolan
antara muda-mudi. Siang hari seringkali terlihat anak-anak muda
bermain kartu yang mereka sebut dengan permainan song. Ada
orang tua yang terlibat juga dalam permainan tersebut.
Ada kebiasaan anak muda yaitu minum air tuak yang
diambil dari pohon sagu yang disebut oleh masyarakat setempat
dengan balok. Mereka mendapatkan minuman tersebut dengan
cara membeli di Totallang yang tak jauh dari Sulaho. Kebiasaan
ini tidak hanya dilakukan oleh anak muda saja, tetapi juga oleh
orang tua sehingga kemungkinan kebiasaan itu merupakan
perilaku duplikasi dari orang tua. Selain balok, biasanya air yang
digunakan untuk minum adalah alkohol, atau minuman bersoda
yang dicampur dengan minuman kemasan Kuku Bima. Orang tua
umumnya telah mengetahui kebiasaan tersebut dan sepertinya

37

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

hal itu menjadi kebiasaan lumrah dan ditolerir dalam bagian


kehidupan sehari-hari masyarakat Sulaho.
Ketika kegiatan melaut sedang tidak dilakukan biasanya
beberapa orang laki-laki berkumpul di depan rumah sekedar
bercerita atau bercengkrama sambil memperbaiki jaring, pancing
dan sebagainya. Berbeda dengan kaum perempuan yang dapat
berkumpul setiap saat di rumah-rumah warga setelah selesai
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, salah satunya dengan
mencari kutu secara bergiliran. Setelah penggunaan bom ikan
dilarang, ibu rumah tangga yang sebelumnya berjualan ikan kini
tak lagi bekerja. Mereka hanya menjalankan aktivitas rumah
tangga saja dalam kesehariannya karena perempuan di Desa
Sulaho umumnya tidak ikut pergi melaut, jikapun ada yang ikut
melaut tidak setiap waktu. Ibu-ibu mempunyai kebiasaan
mencuci atau mandi di sumur bersama-sama, sambil mandi dan
mencuci terdengar suara-suara perempuan sedang bercerita
dengan canda yang saling mereka lontarkan.
2.2.3. Pemukiman Penduduk di Sulaho
Penataan pemukiman penduduk yang sekarang terus
berkembang tidak terlepas dari campur tangan Depsos pada
tahun 1995-2000. Pola pemukiman yang ada cenderung
menggerombol mengikuti jalan utama desa. Rumah-rumah
berjajar di sebelah utara dan selatan desa. Pada umumnya
merupakan rumah yang berada di pinggir pantai sebelum adanya
pembangunan rumah oleh Depsos.
Pasca kehadiran Depsos rumah warga dipindahkan ke kaki
pegunungan Sulaho memanjang dari arah barat ke timur. Dalam
perkembangannya, banyak warga yang memindahkan rumahnya
dekat pantai. Hal ini dilakukan karena alasan akses ke laut lebih
mudah dibandingkan sebelumnya. Dusun satu terdiri atas 30 KK,

38

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dengan kondisi rumah warga bergerombol. Antara beberapa


rumah di dusun satu ini terpisah oleh jalan dan sebuah sungai
yang membelah sepanjang desa dari barat ke timur. Dusun satu
ini berada di ujung barat desa.
Wilayah sebelahnya adalah dusun dua yang dibatasi oleh
jembatan kayu antara dusun 1 dan dusun 2. Rumah di dusun 2 ini
terdiri atas 25 KK, letak rumah berdekatan antara satu dengan
lainnya dengan letak berjajar. Deretan rumah terbagi menjadi
dua yang terpisah oleh jalan utama desa dan fasilitas umum desa
berupa lapangan, kompleks sekolah dan Bakesra.
Dusun 3 memiliki jumlah KK terbanyak yaitu 41 KK. Serupa
dengan tata ruang dusun 2, rumah-rumah di dusun 3 berderet
terbagi atas 4 kelompok deretan yang terpisah oleh dua jalan
utama. Terdapat rumah pada masing-masing sisi jalan utama
desa, sehingga deretan rumah itu saling berhadapan. Ada
beberapa rumah yang memiliki pagar kayu mengelilingi rumah,
sementara sebagian besar hanya tersisa bekas-bekas pagar di
sekeliling rumah dan lainnya sudah tidak lagi berpagar.
Sebagian besar rumah warga merupakan rumah kayu,
sebagian kecil lainnya merupakan rumah semi permanen dengan
dinding separoh tembok di bagian bawah dan bagian atas kayu.
Selain itu, ada 6 buah rumah berdinding tembok/batu
(permanen) dan terdapat dua buah rumah panggung. Sebagian
besar rumah adalah rumah berukuran 7x5 M yang merupakan
rumah pemberian Depsos. Dalam perkembangannya, luas rumah
di Desa Sulaho cukup bervariasi, seperti penambahan bangunan
rumah untuk keperluan dapur. Ada pula rumah bertipe kecil 4x5
M untuk keluarga yang baru pindah dari rumah orang tua setelah
menikah atau memang membangun rumah sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki. Rumah lainnya yang lebih besar
berukuran sekitar 9x6 M.

39

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Umumnya setiap rumah memiliki jendela pada bagian


depan rumah dan kamar. Meskipun ada rumah yang tidak
memiliki jendela, tetapi lubang udara antara dinding-dinding
papan memberikan keleluasaan terjadinya proses sirkulasi udara
dalam rumah. Setiap rumah batu juga telah memiliki jendela
pada bagian depan rumah dan setiap kamar.
Dahulu sebelum Depsos memberikan bantuan, pada
umumnya rumah warga merupakan rumah jenis panggung yang
berbahan kayu pada tiang, pintu dan lantai dengan ukuran 4x5
m. Penyangga rumah merupakan kayu gelondong yang terdiri
atas 9 buah kayu secara berurutan menopang bagian depan,
tengah dan belakang masing-masing tiga buah berjajar. Dinding
terbuat dari daun nipa, begitu juga dengan atapnya. Lantai
tersusun dari bahan yang terbuat dari papan. Seringkali bambu
yang dibelah juga dimanfaatkan untuk lantai. Terdapat pula
rumah dengan lantai pasir. Daun nipa dimanfaatkan sebagai
dinding dan jendela. Sebagian diantaranya tidak terdapat
pembagian fungsi ruangan dalam rumah yang ditandai dengan
adanya penyekatan ruangan dalam rumah, jikapun ada
penyekatan yang tidak sempurna dengan memanfaatkan daun
nipa yang dijahit dengan rotan atau bahan seadanya yang mudah
didapatkan di sekitar tempat tinggal.
Pasca pembinaan Depsos, maka rumah-rumah di desa
Sulaho mengalami perubahan yang cukup signifikan. Rumah yang
dibangun merupakan rumah dengan dinding yang terbuat dari
kayu. Papan kayu tersusun secara horizontal sedemikian rupa
sebagai dinding, atap terbuat dari seng dan lantai adalah tanah.
Terdapat dua kamar pada setiap petak rumah dan kakus
cemplung dibangun untuk digunakan oleh beberapa rumah
tangga secara komunal. Kini hanya tersisa satu kakus cemplung
saja di Sulaho. Adanya penyekatan kamar menunjukkan bahwa
telah dilakukan edukasi tentang fungsi ruangan dalam rumah.

40

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Saat ini, masih terdapat sebagian rumah yang


memanfaatkan daun nipa sebagai atap. Daun nipa juga
digunakan sebagai penutup bagian atas samping rumah pada sisi
depan dan belakang rumah. Sebagian rumah telah dipasang
plafon dengan menggunakan karung plastik yang dijahit. Rumah
yang tidak memiliki plafon biasanya tampak atap rumah berupa
seng dan jarak dinding papan teratas dengan kerangka atap
cukup longgar, sehingga udara sangat mudah masuk ke dalam
rumah. Selain itu umumnya terdapat jendela berukuran 70 x 35
cm pada setiap rumah yang terdapat di bagian depan rumah dan
setiap kamar. Bagian atas rumah pada bagian depan dan
belakang rumah terdapat rangka segitiga yang biasanya ditutup
dengan nipa, papan atau terpal plastik yang tidak tertutup
sepenuhnya.

Gambar 2. 7.
Rumah Bedah P2-WKSS
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

41

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pada tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara


memberikan bantuan berupa bedah dan renovasi rumah
penduduk berdasarkan tingkat kerusakan. Kala itu rumah Pak
Dm merupakan salah satu rumah yang dibedah total, sehingga
kini rumahnya tampak kokoh dibanding rumah lainnya. Dahulu
rumah yang ditempatinya hampir roboh dan kini menjadi salah
satu rumah yang dianggap kokoh dan bagus di antara rumahrumah yang ada di Desa Sulaho.
2.3. Religi
2.3.1. Kosmologi
Masyarakat bajo di Desa Sulaho beragama Islam, tetapi
dalam kehidupan mereka sehari-hari masih mempraktekkan
kepercayaan lokal seperti memberikan sesaji terhadap penjaga
rumah. Berkaitan dengan kehidupan manusia yang hidup dalam
lingkungan alam, maka dalam kehidupan masyarakat setempat
juga masih terdapat kepercayaan adanya mahkluk halus di
sekeliling kehidupan mereka. Mereka percaya adanya penunggu
dalam setiap rumah yang biasanya dihormati dengan pemberian
sesaji berupa doa dan makanan pada pusat rumah (possi bola).
Hal ini dilakukan dalam setiap jenis acara yang digelar oleh
sebuah rumah tangga.
Makanan biasanya ditempatkan dalam sebuah baki
(kappara) dan diletakkan tepat di tengah rumah kemudian
didoakan oleh sanro kampong sembari dibakarkan dupa-dupa
(bisa dengan dupa atau bara api yang diberikan gula pasir).
Peranan upacara (baik ritual maupun seremonial) adalah untuk
mengingatkan manusia dalam hubungannya dengan lingkungan.
Dikenal beberapa tempat yang dianggap angker atau
memiliki penunggu, yaitu dua pekuburan di bagian ujung desa
juga pohon ketapang yang terdapat di dua lokasi, yaitu yang

42

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tumbuh berseberangan dengan kuburan dan sebuah lagi yang


tumbuh di pinggir sungai tepat sebelah jembatan desa di dusun 1

Gambar 2. 8.
Pohon Ketapang dan Pekuburan Desa
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Generasi tua di Sulaho pada umumnya mengetahui persis


adanya mahkluk halus yang dipercaya dapat memberikan
bermacam pertolongan untuk mereka yang disebut dengan Putri
Tujuh dan Tuan Sayye. Putri Tujuh (merupakan tujuh putri cantik
jelita) dan Tuan Sayye (merupakan sosok lelaki yang selalu
bersama dengan Putri Tujuh, ada pula warga yang
mendeskripsikan sebagai biksu). Tujuh putri ini diketahui tinggal
di sebuah pulau bernama Lambasina, kawasan perairan Kolaka.
Sebuah pulau yang memiliki tujuh sumur dengan ukuran berbeda
secara berurutan dari ukuran besar sampai terkecil. Tuan Sayye
diakui memiliki posisi lebih tinggi dari Tujuh Putri, dan keduanya
merupakan perantara yang dipercaya dapat menyampaikan doa
mereka kepada Tuhan. Sebuah Ritual mattoana biasanya digelar
sebagai upaya permintaan atau wujud syukur atas pertolongan
yang diberikan oleh Putri Tujuh dan Tuan Sayye.
Mereka percaya adanya mahkluk halus dalam lingkungan
hidup manusia. Salah satu di antaranya adalah kepercayaan
adanya kandole (kuntilanak). Mahkluk tersebut dideskripsikan
sebagai perempuan dengan balutan kain putih, berlubang pada

43

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

bagian punggung, beberapa menyebut pada bagian punggungnya


terdapat bola api dan biasanya terbang pada malam hari.
Mahkluk halus jenis ini dipercaya sebagai penjelmaan dari orang
yang meninggal saat masa hamil atau dalam proses melahirkan.
Bambu (buloh) diakui sebagai senjata yang ampuh untuk
mencegah orang yang telah meninggal menjadi kandole. Begitu
diketahui terdapat perempuan meninggal karena hamil atau
melahirkan maka seseorang dengan diam-diam harus
menempatkan buloh pada kedua bagian ketiak masing-masing
satu buah dan pada bagian vagina satu buah sebelum dibungkus
dengan kain kafan. Selain itu, bambu dapat ditajamkan terlebih
dahulu pada bagian ujung dan kemudian ditancapkan di atas
tanah kuburan seseorang yang diyakini menjadi kandole.
Terdapat dua macam kandole, yaitu kandole yang berasal dari
orang mati dan kandole dikarenakan ilmu (jadi-jadian).
Dikenal adanya manusia jadi-jadian karena memiliki ilmu
tinggi yang disebut dengan poppok dan parakang. Poppok
biasanya mencuri bahan makanan seperti ikan, nangka dan
pisang. Poppok ini bisa merubah diri menjadi benda-benda yang
berada di sekitar tempat tinggal, seperti keranjang atau drum
dan lain sebagainya. Menurut masyarakat, poppok yang
berkeliaran merupakan roh seorang manusia.
Parakang adalah makhluk jadi-jadian yang memiliki
kemampuan untuk menghilang, sehingga tidak dapat terlihat
secara kasat mata. Apabila menampakkan diri pada manusia,
matanya terlihat merah dan lidahnya panjang menjulur keluar.
Parakang dipercaya dapat menyebabkan orang meninggal.
Petanda bahwa seseorang terkena parakang adalah biasanya
merasa sakit pada bagian perut dan mengalami mencret dengan
warna kotoran hitam. Tanda seseorang yang meninggal karena
dimakan parakang, diantaranya lubang anus terlihat lebar
sebesar kepalan tangan orang dewasa. Entah bagaimana caranya,

44

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

parakang diyakini telah memakan bagian isi perut orang yang


meninggal.
2.3.2. Siklus Perjalanan Kehidupan Manusia Etnik Bajo di Sulaho
Setiap masyarakat memiliki falsafah hidup yang dianggap
sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. Salah satunya
adalah arti keberadaan anak dalam sebuah keluarga. Biasanya
anak laki-laki dan perempuan memiliki arti yang berbeda pula
dalam pandangan masyarakat, termasuk di Desa Sulaho. Anak
lelaki usia 8 tahun di Desa Sulaho sudah mulai ikut melaut
bersama orang tua atau kerabatnya. Hal ini menyebabkan anak
laki-laki pada usia muda telah piawai dan berkontribusi dalam
pekerjaan melaut sehari-hari. Laki-laki dipandang sebagai sumber
kekayaan atau modal karena dapat membantu menopang
ekonomi keluarga sebelum menikah. Sementara anak
perempuan juga memiliki arti tersendiri. Ibu Rs (43 tahun), ia
memiliki 11 anak, dan 3 anak yang lain meninggal, sehingga jika
semua anaknya hidup ia mempunyai 14 anak. Jumlah anak
banyak ini dipengaruhi oleh keinginannya untuk memiliki anak
perempuan. Anak perempuan umumnya dianggap sebagai sosok
yang tepat untuk merawat orang tua ketika telah memasuki usia
lanjut.
Dalam tahapan tertentu perjalanan kehidupan manusia
biasanya selalu diperingati dengan kegiatan/acara sebagai tanda
atau babak baru yang telah terlewati sejak manusia terlahir
hingga akhirnya seorang manusia meninggal. Kelahiran anak
dalam sebuah rumah tangga selalu menjadi momentum penting
dalam semua konteks kehidupan, salah satunya dalam dimensi
keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam penyelenggaraan aqiqah.
Aqiqah merupakan sebuah ritual dalam agama Islam yang berarti
menyembelih kambing pada hari ketujuh dari kelahiran seorang

45

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

bayi sebagai ungkapan syukur atas rahmat Tuhan berupa


kelahiran seorang anak. Dua ekor kambing yang disembelih untuk
bayi lelaki dan satu ekor kambing untuk bayi perempuan. Aqiqah
biasanya disertai dengan acara cukur rambut bayi dan memberi
nama.
Kegiatan aqiqah di Desa Sulaho tidak selalu dilakukan pada
hari ketujuh pasca kelahiran, dikarenakan aqiqah biasanya
dilakukan ketika orang tua telah memiliki cukup uang untuk
membeli kambing dan bahan-bahan untuk penyelenggaraan
acara tersebut. Imam Desa biasanya bertugas untuk memotong
hewan aqiqah dan pencukuran rambut bayi. Beberapa
diantaranya melakukan kegiatan berdoa (Barasanji) yang
dilakukan dengan menyertakan makanan tertentu, seperti
masakan beras ketan (sokko) dan ayam sebagai syarat ketika
mendoa. Makanan ditempatkan di tengah dikelilingi oleh orangorang yang berdoa. Namun demikian barasanji biasanya dipimpin
oleh pemuka agama berasal dari luar Desa Sulaho karena tidak
terdapat orang di Desa tersebut yang pintar dengan praktek
barasanji selain barasanji merupakan kebiasaan masyarakat
Bugis.
Proses adat yang dilakukan pada kehidupan selanjutnya
adalah sunat, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Proses
adat pada tahapan laki-laki dan perempuan yang dewasa adalah
menikah. Pada acara ini, dilakukan beberapa rangkaian sebelum
perkawinan terjadi. Tahapan acara tersebut diantaranya adalah:
1. Mammanu-manu, yaitu menanyakan kepada pihak
perempuan apakah bersedia untuk menikah, membicarakan
jumlah uang panaik/mahar dan proses ini akan dilanjutkan
pada proses pelamaran;
2. Madduta resmi, yaitu menentukan kapan uang panaik akan
diberikan kepada calon mempelai perempuan. Uang tersebut
biasanya digunakan untuk mengadakan pesta;

46

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

3. Perkawinan. Sebelum hari perkawinan, telah dilakukan


pembentukan panitia oleh kerabat dekat, misalnya untuk
konsumsi, transportasi dan lainnya, masing-masing ada
penanggung jawabnya. Umumnya acara perkawinan
diselenggarakan dengan mengundang hiburan berupa
electone (band). Tidak ada alunan musik tradisional. Setiap
pesta perkawinan yang mengundang electone memberikan
kesempatan bagi muda-mudi untuk melakukan tarian lulo.
Kehidupan setiap manusia akan berakhir saat datangnya
kematian. Adanya informasi atau berita tentang seseorang yang
meninggal diperoleh warga desa dari mulut ke mulut saja. Tidak
ada pengumuman resmi misalnya melalui masjid. Mekanisme ini
dianggap sudah dapat menyebarkan informasi secara cepat.
Banyak anak-anak yang biasanya dengan sigap menyampaikan
kabar kepada orang tua masing-masing atau orang yang ditemui
di jalan sehingga berita duka tersebut dengan cepat diketahui.
Biasanya orang yang meninggal di desa ini segera
dikuburkan, kecuali jika harus menunggu keluarga jauh yang
menginginkan melihat jenazah sebelum dikuburkan. Terdapat
kepercayaan sejak nenek moyang bahwa roh seseorang yang
telah meninggal masih berkeliaran di sekitar rumah selama 40
hari pasca meninggal, sehingga tempat-tempat yang biasanya
digunakan oleh orang yang mati sehari-hari harus dirapikan
dengan baik karena akan ditempati, hanya saja manusia tidak
bisa melihat atau mendengar kedatangan dan keberadaannya.
Saat seseorang meninggal diberikan sesaji yang terdiri atas
nasi, telur rebus dan segelas air putih yang ditempatkan dalam
sebuah kappara/baki sebagai bekal yang akan dibawa oleh orang
mati tersebut. Sehingga pada hari selanjutnya sudah tidak
dibuatkan sesaji semacam itu. Orang yang melayat umumnya
menyumbang uang seikhlasnya, biasanya dimanfaatkan untuk

47

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

membiayai keperluan menjamu orang yang berdatangan ke


rumah duka.
Pada saat keranda hendak diberangkatkan ke kuburan,
keranda berisi jenazah dinaik turunkan sebanyak tiga kali sembari
diucapkan kalimat Allahu Akbar sebagai simbol memohon izin
untuk pergi selamanya. Sebelum proses menggali liang kubur,
terdapat istilah buka tanah yang dilakukan oleh orang-orang tua
tertentu dengan cara mengambil segenggam tanah sebelum
digali, kemudian barulah liang kubur digali. Setelah jenazah
dikuburkan segenggam tanah kembali diambil dan diletakkan di
atas gundukan tanah kubur sebagai penutup prosesi buka tanah.
Ada kegiatan untuk mendoakan orang meninggal yang
disebut dengan mattasia yang diawali dengan kegiatan ceramah
oleh salah seorang pemuka agama setempat, dilanjutkan dengan
mengaji yang dipimpin oleh seseorang dan diikuti oleh semua
orang yang hadir baik laki-laki maupun perempuan. Kegiatan
mattasia ini biasanya dilakukan sampai dengan hari ketiga atau
sampai dengan hari ketujuh pasca kematian. Peringatan
kematian dilakukan kembali pada hari ke 40 dengan melakukan
mattasia dan penyembelihan seekor kambing yang diyakini
sebagai kendaraan orang mati di alamnya. Peringatan kematian
terakhir dilakukan pada hari ke 100 pasca kematian seseorang.
2.3.3. Praktek Keagamaan
Seluruh penduduk di Sulaho beragama Islam. Tidak banyak
kegiatan di masjid yang dilakukan oleh orang dewasa di Sulaho.
Hal ini turut dipengaruhi oleh faktor pekerjaan yang
mengharuskan sebagian besar laki-laki dewasa pergi melaut
menjelang sore hingga dini hari atau bahkan bermalam di laut,
sementara ibu-ibu tinggal di rumah untuk menjaga anak atau
mengerjakan pekerjaan domestik. Kegiatan keagamaan yang

48

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dilakukan berupa kegiatan dalam rangka pelaksanaan peringatan


hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Isra Miraj. Tim peneliti
mengikuti penyelenggaraan peringatan Isra Miraj di desa ini.
Setiap rumah tangga memiliki kewajiban untuk mengumpulkan
kue, makanan ringan atau minuman sesuai dengan kemampuan
untuk dikumpulkan di masjid. Kue yang dikumpulkan sebagian
besar adalah kue bolu yang dibuat sendiri atau diperoleh dengan
cara memesan kepada tetangga.
Peringatan semacam ini rupanya kurang diminati oleh
kelompok orang dewasa. Anak-anak mengantarkan kue sekaligus
mengikuti acara tersebut, sehingga sebagian besar jamaah yang
hadir adalah anak-anak. Kaum ibu tampak duduk menyandar di
dinding masjid, jumlahnya tak lebih dari 30 orang ditambah anakanak perempuan yang berkerumun di sekitar mereka. Banyak
pula ibu-ibu yang memangku anak-anak mereka yang masih kecil.
Tampak beberapa ibu tengah sibuk menyusun makanan yang
dibawa oleh warga dan memasukkan makanan tersebut dalam
kardus-kardus kecil. Tak jauh dari mimbar berderet kaum lelaki
yang didominasi oleh anak-anak pula. Remaja dan orang tua tak
lebih dari 20 orang di antara anak kecil yang hadir dalam acara
tersebut.
Pada acara seperti ini orang tua telah terbiasa
mendelegasikan anak-anaknya yang masih kecil untuk mengikuti
peringatan Isra Miraj dan acara sejenis. Acara dimulai dengan
pembukaan, pembacaan ayat suci Al Quran, sambutan Kepala
Desa, tausiyah dan diakhiri dengan makan bersama. Anak-anak
mulai berebut makanan yang ada, sementara ibu-ibu berusaha
membuat anak-anak tenang dengan berucap untuk tidak berebut
karena setiap anak akan mendapatkan bagian. Beberapa bapak
dan ibu menikmati makan mereka di masjid sementara yang
lainnya bergegas pulang setelah mendapatkan bagian. Beberapa
ibu tampak menyapu pandangan mencari wadah yang tadinya

49

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

digunakan sebagai tempat kue. Semua anak membawa makanan


yang di dapatnya menuju luar masjid.
Gambaran pelaksanaan acara tersebut, berlaku pula untuk
peringatan acara keagamaan sejenis, seperti peringatan Maulid
Nabi. Dalam rangka memasuki hari puasa, tepatnya sehari
sebelum puasa dan hari raya idul fitri biasanya dilakukan kegiatan
membaca (mabbaca) doa oleh salah satu sanro kampung yang
ditujukan untuk anggota keluarga yang sudah meninggal. Sanro
biasanya diundang oleh rumah tangga tertentu untuk
mengirimkan doa. Ritual dilakukan dengan membakar dupa/
kemenyan, membaca doa, mantra serta membaca surat tertentu
dalam Al Quran.
Disediakan makanan yang dibuat sebagai syarat seperti
sokko, leppe-leppe, buras dan kue lainnya tergantung kemauan
pemilik hajat. Jika yang meninggal laki-laki maka ada korek api
dan rokok di antara makanan yang disajikan karena semasa
hidupnya mereka biasanya merokok. Sanro membacakan doa
dari rumah ke rumah sesuai dengan panggilan orang yang
membutuhkan jasanya sebagai perantara pengirim doa untuk
orang mati. Sedekah yang dapat diperoleh sanro sebesar Rp.
15.000,- s.d Rp. 400.000,- dari semua rumah tangga yang
didatanginya.
Kegiatan keagamaan yang dilakukan anak-anak adalah
kegiatan mengaji yang dirintis secara intensif oleh salah seorang
penggerak keagamaan sekaligus guru pendidikan agama Islam di
SDN Sulaho sejak tahun 1996. Ia seorang Etnik Sinjai, pendatang
yang telah berdomisili di Desa Sulaho sejak tahun 1995. Berawal
dari peran sebagai petugas pendamping kesehatan dalam
pengembangan program PKSMT akhirnya menetap dan menjadi
warga Desa Sulaho. Bersama istrinya ia memberikan pelajaran
mengaji dan keagamaan kepada anak-anak. Pada tahun 1997
berdiri TK TPA yang menginduk di Kecamatan Lasusua, namun TK

50

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

TPA ini ternyata tidak dapat bertahan lama dan berhenti tahun
1998.
Kegiatan keagamaan untuk anak-anak lainnya adalah
membimbing tuntunan sholat, hafalan doa-doa, dan kini tengah
dirintis upaya untuk meningkatkan kemampuan anak memahami
terjemahan Al Quran, seperti surat Al Fatihah. Sebenarnya sejak
lama ada guru mengaji sukarela sebanyak dua orang, satu
diantaranya karena usianya sudah tua dan sibuk dengan
pekerjaan mapalele, ia tidak lagi mengajar karena tidak ada
cukup waktu dan tenaga, satu lainnya memilih berhenti karena
mengakui bahwa bacaan tajwid-nya belum sempurna. Sebuah
gambaran bahwa ritme kehidupan agama telah dipondasi sejak
dini.
Kegiatan mengaji dilakukan dua kali setiap hari yaitu pagi
hari, sekitar jam 06.00 WITA sebelum berangkat sekolah dan
siang hari sekitar jam 12.00 WITA atau sore hari, setelah sholat
ashar. Pada jam 6 pagi biasanya guru mengaji mengajari anakanak selama 20-30 menit sebelum anak-anak berangkat sekolah.
Biasanya anak telah mengenakan seragam sekolah. Ada sekitar
30 anak yang mengaji dan tersebar pada 4 guru mengaji. Ada
pula pembinaan remaja masjid oleh guru mengaji.
Selain itu terdapat maccera ayam ketika seorang anak
dapat menamatkan bacaan Al Quran (khatam) yang disebut
dengan cera baca. Acara biasanya dilakukan di rumah santri
dengan mengundang guru mengaji. Bermacam makanan dibuat
oleh empunya rumah seperti sokko hitam dan putih serta opor
ayam. Ruangan sebagai tempat berlangsungnya cera baca telah
ditata sedemikian rupa lengkap dengan makanan tersebut lalu
sebuah Al Quran dan mukena diletakkan di atas bantal. Anak
yang hendak melakukan cera baca mengenakan mukena dan
duduk berhadapan dengan guru mengaji. Anak menirukan suratsurat tertentu dalam Al Quran yang dibaca oleh guru mengaji

51

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dan selanjutnya guru mengaji menyimak ayat demi ayat tertentu


dalam Al Quran yang dibaca oleh anak tersebut.
2.3.4. Praktek Kepercayaan Tradisional
2.3.4.1. Mattoana
Selain peringatan keagamaan Islam, ada pula praktek
upacara lokal yang dipercaya dapat menghindarkan dari bahaya.
Salah satunya adalah mattoana. Berdasarkan arti katanya,
mattoana berarti menjamu tamu, namun demikian masyarakat
mengartikan mattoana sebagai sebuah ritual agar terhindar dari
bencana. Mattoana adalah salah satu acara yang dilakukan oleh
nenek moyang Etnik bajo, secara turun temurun dipercaya
sebagai upaya tolak bala terhadap bencana, penyakit dan
meluluskan permintaan tertentu.
Kalo dia susah rejeki anaknya turun di laut, na bilang
kasih rejeki anakku baru ada rejeki saya menghadap
sama kita, namanya mattoana, meminta-minta (Ec,41
tahun)

Mattoana juga dapat dilakukan sebagai wujud syukur


dengan berniat akan melakukan mattoana jika apa yang
diinginkan atau diharapkan tercapai. Saat ini tidak banyak lagi
orang di Sulaho yang melaksanakan acara tersebut, karena
orang-orang tua yang dahulu terbiasa untuk melakukan acara
tersebut sudah meninggal dan tidak terjadi proses regenerasi
memimpin pelaksanaan ritual tersebut. Kini tinggal satu orang di
Sulaho yang bisa memimpin mattoana. Pada umumnya sebagian
warga Sulaho hanya mengumpulkan air dan garam untuk
didoakan dalam ritual mattoana. Sebagian orang memilih
melakukan mattoana di luar wilayah Sulaho dengan meminta

52

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

bantuan pada orang yang telah terbiasa menyelenggarakan ritual


tersebut, seperti di Pomalaa, Kolaka.
Mattoana ini ditujukan untuk Putri Tujuh dan Tuan Sayye,
yaitu mahkluk halus yang dipercaya dapat mewujudkan keinginan
mereka. Putri Tujuh dan Tuan Sayye dianggap sebagai perantara
doa kepada Tuhan. Persiapan yang dilakukan untuk melakukan
mattoana cukup banyak, salah satunya membuat bermacam kue
dengan jumlah yang cukup banyak.
Makanan yang diantaranya adalah ketupat, yang terdiri
atas ketupat bawang, ketupat nabi, ketupat lalo, ketupat biasa,
masing masing 47 buah; kelapa muda dan telur ayam masingmasing 7 buah; onde-onde dengan taburan kelapa, cucur toli-toli
dan buah sepang masing-masing 7 buah dalam 7 piring; leppeleppe 47 buah disimpan dalam loyang; sokko dan cangkuli.
Makanan ditutup dengan kain putih/kaci selama acara
berlangsung. Persyaratan lain adalah perlengkapan badan seperti
sarung, kerudung, perlengkapan mandi dan berdandan seperti
sabun cuci, pemulas alis (celak), bedak, minyak wangi merek
fanbo masing-masing sebanyak 7 buah.
Orang yang sedang haid tidak boleh ikut membuat
makanan untuk acara mattoana, karena mereka (Putri Tujuh)
tidak menyukai hal kotor. Proses membuat makanan harus
dilakukan dengan tenang dan tidak banyak bicara, karena
mereka juga tidak suka mendengar ribut/berisik. Selain itu
orang yang ikut mempersiapkan makanan harus berpakaian
bersih dan rapi karena mereka menyukai kondisi bersih. Biaya
untuk mattoana cukup banyak karena menghabiskan biaya
sekitar Rp. 1.000.000,.
Prosesi mattoana melibatkan dua orang yang berperan
sebagai orang yang saling berkomunikasi. Salah satunya akan
dirasuki oleh Putri Tujuh dan Tuan Sayye secara bergantian.
Pintu harus dibuka dan tidak boleh ada orang yang menutupi

53

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

pintu tersebut karena dapat menghalangi Putri Tujuh dan Tuan


Sayye yang akan masuk ke dalam rumah. Sesaji khusus untuk
Tuan Sayye adalah sebuah buah kelapa muda yang dibelah pada
bagian atas ditambah sokko hitam dan putih, telur ayam, rokok
dan korek masing-masing satu bungkus dan diletakkan dalam
kappara. Kemenyan dibakar sebagai tanda datangnya Putri Tujuh
dan Tuan Sayye, begitu seterusnya beberapa kali kemenyan
dibakar agar tubuh berganti dirasuki oleh yang lainnya.
Dalam proses ini, Putri Tujuh dan Tuan Sayye dapat
memberitahukan jika akan terjadi malapetaka di Sulaho.
Bersamaan dengan penyelenggaraan mattoana ini, seseorang
dapat meminta bantuan apapun kepada Putri Tujuh dan Tuan
Sayye, termasuk bila menginginkan segera bersuami. Selesai
proses mattoana, garam dan air diambil kembali oleh orangorang untuk kemudian sebagian garam ada yang ditempatkan
dalam botol kecil untuk digantung di muka rumah, sementara
sebagian garam lainnya dibakar dan air ditebarkan di sekitar
rumah dan bagian dapur sebagai bentuk tolak bala rumah
beserta penghuni terhadap hal yang tidak baik.

Gambar 2. 9.
Botol Berisi Garam Mattoana Telah Digantung
Sejak Setahun yang Lalu

54

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Setelah proses mattoana dalam rumah selesai, makanan


dibagikan kepada orang-orang sekitar rumah atau yang
memberikan sumbangan untuk acara tersebut. Hari berikutnya
biasanya orang yang terlibat dalam mattoana dan siapapun yang
mau, dapat ikut ke pulau Lambasina, sebuah tempat kramat yang
dianggap sebagai rumah Putri Tujuh dan Tuan Sayye. Terdapat
tujuh sumur bundar dengan berbagai ukuran secara berurutan.
Orang yang datang ke tempat ini membawa persembahan untuk
Putri Tujuh dan Tuan sayye, masing-masing terdiri atas tujuh
macam berupa sabun cuci, sabun mandi, pemulas alis mata
(celak), bedak, sisir rambut, cermin dan minyak wangi merek
fanbo. Orang-orang yang datang ke tempat ini dapat mandi dan
makan bersama di tempat ini sebagai bentuk syukur atas
pertolongan Putri Tujuh dan Tuan Sayye.
2.3.4.2 Turun Perahu (Nonno Lopi)
Masyarakat setempat memiliki kebiasaan berdoa dan
makan bersama untuk perahu yang baru dibuat atau diperbaiki
(perbaikan besar). Turun perahu merupakan sebuah ritual yang
dimaksudkan untuk mendoakan perahu yang pertama kali turun
ke laut, baik perahu baru ataupun perahu yang dilakukan
perbaikan agar mudah untuk mendapatkan rezeki di lautan.
Terdapat makanan yang biasanya dipersiapkan dalam
rangka turun perahu tersebut diantaranya yaitu bubur kacang
hijau/ketan hitam dan onde-onde ketan yang dibalut dengan
parutan kelapa. Makanan tersebut bukan syarat yang harus
dipenuhi, jenis makanan dapat diganti dengan jenis makanan
lain sesuai kemampuan, akan tetapi umumnya ada makanan
yang terbuat dari beras ketan.

55

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2. 10.
Sanro Mendoakan Makanan ketika Turun Perahu
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Gambar 2. 11
Mendorong Perahu saat Upacara Turun Perahu
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Makanan yang telah dibuat diletakkan di lantai kemudian


didoakan oleh sanro kampong. Sebelum berdoa, membuat dupa56

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dupa terlebih dahulu dilanjutkan dengan pembakaran


gula/kemenyan, kemudian do mulai dipanjatkan. Sanro kampong
duduk bersila di depan dupa-dupa kemudian mulutnya komatkamit, cukup lama hingga akhirnya sanro membuka mata dan
menaruh tangannya tepat di atas asap dupa-dupa lalu
menggiring asap yang menempel pada tangannya mengenai
makanan yang ada di sebelah kanan dan kirinya. Semua makanan
yang telah didoakan diletakkan di atas perahu.
Ritual turun perahu biasanya melibatkan laki-laki dewasa
sekitar rumah pemilik perahu untuk mendorong perahu dari bibir
pantai sampai terapung di air laut. Orang-orang yang akan
membantu mendorong perahu dipersilahkan makan terlebih
dahulu. Anak-anak pun seringkali ikut makan dalam acara
semacam ini.
Selesai makan, orang-orang mendekati perahu, mengambil
posisi di samping kanan dan kiri perahu selanjutnya bersamasama mendorong perahu dengan sekuat tenaga menuju ke laut.
Ketika seluruh badan perahu menyentuh air, orang-orangpun
kembali ke darat, kecuali pemilik perahu. Perahu yang telah
didorong diputar 360o menghadap ke arah desa menghadap
gunung tertinggi. Sanro berdiri berdekatan dengan pemilik
perahu, tepat di samping perahu untuk berdoa. Perahu kembali
diputar 360o dan perahu siap digunakan untuk mengarungi
lautan saat itu juga.
2.3.4.3. Masuk Rumah (Tama Bola)
Rumah digunakan tidak hanya sebagai tempat bernaung
dari hujan dan panas, tetapi memiliki arti yang mendalam
sehingga dalam kegiatan pindah rumah atau menempati rumah
baru biasanya terdapat ritual yang disebut naik rumah.
Kegiatan ini dipimpin oleh sanro untuk membacakan doa.

57

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Sebelum doa dibaca, disiapkan makanan untuk didoakan di pusat


rumah (possi bola) karena di tempat itu dipercaya ada penjaga
rumah yang harus diberikan sesaji dan doa. Sebelum rumah
ditempati umumnya orang Bajo di Desa Sulaho menggantung
satu tandan buah pisang manurung, kelapa dan buah-buahan
lainnya. Terdapat pula bahan lain yang digunakan seperti daun
cocor bebek/pakkece, buah pinang dan bunga yang dipasang
pada tiang rumah dengan memberikan kain kaci/kafan terlebih
dahulu oleh salah satu tukang asal Bulukuma yang telah menjadi
penduduk di Desa Sulaho.

Gambar 2. 12.
Tandan Pisang dan daun Pakecce pada rumah baru
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

2.3.4.4. Melepas Nadzar (Mattinja)


Selain turun perahu dan memasuki rumah baru, terdapat
kebiasaan masyarakat melakukan lepas tinja/nadzar. Masyarakat
desa Sulaho memiliki kebiasaan untuk mattinja dalam kehidupan
sehari-hari. Pada masa dahulu, pernah Pak Dm (46 tahun)
bernadzar dalam hati bahwa bila suatu saat dapat membeli
mesin dan emas 5 gram untuk istrinya, ia akan memotong ayam
dan memberikan uang Rp. 3000,- di sebuah tempat yang
dianggap kramat berupa sumur di daerah Kolaka. Harapan pak
Dm tercapai, tetapi ia lupa tentang nadzar/tinja yang diniatkan
58

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

sehingga tidak melaksanakannya. Kelalaian tersebut dipercaya


telah menyebabkan kedua anak kembarnya meninggal secara
berurutan dalam waktu 2 bulan.
Tersadar melalui ucapan seorang dukun, Pak Dm akhirnya
melaksanakan niatnya, menaruh uang koin sebesar Rp. 3000- dan
memotong ayam lalu meninggalkannya di bibir sumur yang
dianggap kramat tersebut. Kejadian itu menjadikan mereka hatihati ketika hendak ber-mattinja dan biasanya lebih memilih
berpuasa, seperti ketika anaknya sakit gigi hingga bagian pipi
bengkak luar biasa, ibu Dm ber-mattinja jika anaknya sembuh
maka ia akan melakukan puasa selama satu hari.
Kegiatan melepas tinja biasanya juga dilakukan oleh
orang-orang di Desa Sulaho. Sebut saja Bapak Am (64 tahun)
yang berniat memotong ayam dan membuat kapurung yang
dimakan bersama anaknya ketika pulang ke rumah dengan
selamat setelah mencari teripang selama beberapa minggu.
Sanro berperan untuk mendoakan dalam acara semacam ini. Istri
pemilik rumah duduk berdampingan dengan sanro kampung, lalu
mereka tampak melakukan perbincangan kecil, sebuah
pertanyaan atas tujuan mattinja yang dilakukan.
Sanro menyalakan dupa yang menancap pada segenggam
beras dalam sebuah gelas kaca putih. Terlihat asap mengepul
ringan dan mulai terdengar lantunan doa dalam bahasa Bugis dan
Arab. Tak lama ia mengambil air dalam gelas lalu mengusap
sebuah pintu kamar tepat di sebelah sanro duduk, kemudian air
dialirkannya dari gelas tersebut pada pintu yang sama. Ternyata
itulah pusat rumah yang selalu menjadi lokasi untuk melakukan
ritual apapun. Tak lama kemudian, sanro mengisyaratkan kepada
ibu untuk memanggil suaminya yang memiliki niat. Suaminya
mendekat, menggantikan posisi duduk istrinya. Sanro bersalaman
dengan empunya hajat, bersalaman dan terjadi proses tanya
jawab kembali atas tujuan mattinja.

59

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Proses ini menjadi sebuah bukti bahwa mattinja sungguh


telah dilaksanakan dan berarti tidak memiliki hutang niat.
Selesai itu sanro kembali mengucap doa sembari
menengadahkan kedua tangannya. Selesai berdoa, sanro
menaruh tangannya tepat di atas dupa hingga membuat asapasap dupa mengenai tangannya. Merasa tangannya terkena
kepulan kecil asap itu, sanro membalik tangan dan memindahkan
tangannya ke atas makanan yang ada di dekatnya. Selanjutnya,
ia mengambil segelas air yang tersisa lalu mendekatkan mulut
gelas tepat di bawah mulutnya dan kembali mendoa. Ia
memberikan segelas air itu kepada Bapak yang tenang duduk
khidmat bersila di sebelahnya.
Tanpa berlama-lama bapak meneguk habis minuman yang
tentu saja sarat dengan makna. Prosesi mendoakan makanan
sebagai pelaksanaan lepas tinja selesai dan ditutup dengan
makan bersama. Tidak semua makanan dihidangkan, tetapi
sebagian lainnya diantarkan dengan menggunakan panci ke
rumah-rumah saudara yang masih dianggap dekat dan sanro.
2.3.5. Pantangan Sehari-hari Masyarakat Sulaho
Kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat yang dilakukan
merupakan hasil interaksi antar manusia didalamnya. Tidak
hanya kebiasaan baik yang tumbuh dalam kehidupan
masyarakat, tetapi di dalamnya juga terdapat nilai-nilai yang
diyakini tidak baik untuk dilakukan yang disebut pantangan. Tim
peneliti mengiventarisir pantangan-pantangan yang dipercaya
oleh masyarakat Sulaho untuk dihindari atau tidak dilakukan.
Pantangan yang ada dalam kehidupan sehari-hari tersebut dapat
diklasifikasikan dalam beberapa dimensi kehidupan, diantaranya:
Pantangan ketika bekerja di laut

60

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Tidak boleh menggunakan periuk untuk menimba air atau


menjatuhkan bara api yang digunakan memasak ketika
melaut. Apabila dilakukan maka dapat mendatangkan
musibah angin kencang. Pada masa lalu, seorang
informan pernah menimba air dengan periuk ketika
tengah melaut dengan salah satu anaknya yang kecil.
Menurutnya itu adalah kejadian di laut yang paling
mengerikan yang pernah dialaminya. Tiba-tiba saja angin
kencang datang dan perahu yang dikemudikannya
tenggelam, ia memasukkan anaknya dalam gabus lalu
mengikatnya kuat pada perahu sementara ia berpegangan
pada perahu. Mulai dari jam 03.00 WITA sampai akhirnya
pada pagi hari barulah ada seseorang yang menolong
mereka.
Tidak boleh mengganggu hewan di laut seperti ular, yang
biasanya berwarna hitam putih atau merah kuning,
karena jika diganggu dapat berbalik mengganggu
manusia. Selain itu tidak boleh mengganggu ikan paus
karena ikan paus dianggap sebagai penolong ketika
nelayan berada di tengah laut.
Biasanya orang tidak melaut pada malam Jumat dan
waktu sholat Jumat. Sebelum atau selepas sholat Jumat
diperbolehkan bepergian, termasuk ke laut. Apabila
memaksa pergi di waktu tersebut biasanya seseorang
dapat terkena musibah.
Pantangan dalam perilaku sehari-hari
Tidak boleh melangkahi bagian dari tanaman kelor, baik
berupa daun maupun rantingnya. Jika seseorang
melakukannya, maka orang tersebut akan merasa sakit
ketika buang air kecil.
Tidak boleh buang air besar di pinggir laut saat maghrib.
Hal ini dikarenakan pada waktu tersebut ada mahkluk
61

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

halus yang tidak bisa dilihat secara kasat mata dan jika
tersenggol atau tersentuh maka dapat mengakibatkan
seseorang meninggal seketika, namun ada yang menyebut
wujudnya adalah nenek yang sedang menjala ikan.
Sisa makanan/bekal dari laut tidak boleh dimakan oleh
perempuan yang belum menikah karena menyebabkan
sulit mendapatkan jodoh.
Pantangan membangun rumah
Kamar tidur harus berada di sebelah kanan karena jika
kamar tidur berada di sebelah kiri dapat menyebabkan
rezeki yang diperoleh sehari-hari tidak baik.
2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
2.4.1. Keluarga Inti
Pada umumnya keluarga yang tinggal dalam satu rumah di
Sulaho adalah keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu dan anak.
Meski demikian, terdapat beberapa keluarga lainnya yang tinggal
bersama dalam satu rumah, baik dari pihak keluarga laki-laki atau
perempuan. Pasangan yang baru menikah biasanya masih tinggal
bersama orang tuanya. Kehidupan pada awal pernikahan
umumnya dijalani dengan cara tinggal bergantian di rumah orang
tua lelaki dan orang tua perempuan selama belum mampu
membangun rumah sendiri. Mereka mengumpulkan uang
terlebih dahulu untuk kemudian bisa membangun rumah, tinggal
sendiri secara mandiri dan menetap.
Namun demikian sebagian rumah tangga memiliki
kebiasaan mencari sumber penghidupan ke pulau-pulau tertentu
di sekitar wilayah perairan Kolaka dengan mencari teripang atau
ikan sunu, sehingga satu keluarga tersebut dapat pergi selama
berbulan-bulan dan hanya pulang ketika ada kegiatan atau acara

62

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tertentu di desa seperti hari raya idul fitri dan pemilihan kepala
desa (Pilkades). Mereka biasanya juga meninggalkan salah satu
anaknya yang dititipkan pada saudara, sehingga ada keluarga
yang tinggal bersama cucu, sepupu atau keponakan.
Penyebutan seseorang yang sudah menikah dan memiliki
anak biasanya berubah dengan menambahkan nama anak
pertama di belakang sebutan Bapak atau Ibu, misalnya Mamaknya/Mak-nya A, Bapak-nya/Pak-nya A, meskipun sebenarnya
nama mamak adalah B, dan nama bapak adalah D. Panggilan
nenek biasanya tidak hanya ditujukan untuk nenek perempuan
tetapi kakek seringkali dipanggil juga dengan sebutan nenek,
lebih lengkapnya nenek laki-laki. Seorang suami atau isteri akan
memanggil pasangannya dengan sebutan Pak-nya/Mak-nya
disambung dengan nama anak pertama. Penggunaan bahasa
untuk percakapan sehari-hari adalah bahasa Bugis bercampur
dengan bahasa Indonesia, sehingga penyebutan kerabat
umumnya menggunakan bahasa Bugis dan tidak menggunakan
bahasa Bajo lagi. Berikut salah satu contoh hubungan
kekerabatan pada salah satu keluarga dapat digambarkan
sebagai berikut:
Ket:
Laki-Laki Perempuan
Meninggal

Ego

Gambar 2. 13.
Hubungan Kekerabatan
Sumber: Data Penelitian Tahun 2014

63

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Berdasarkan gambaran hubungan kekerabatan keluarga di


atas, kini sapaan yang digunakan umumnya tidak lagi
menggunakan bahasa Bajo yang merupakan sebutan ideal bagi
kehidupan komunitas Etnik Bajo di Desa Sulaho. Sebutan atau
sapaan kekerabatan tersebut digunakan secara umum oleh
masyarakat setempat sebagai berikut:
Tabel 2.3. Sapaan Kekerabatan di Desa Sulaho
Subjek

Sebutan sekarang

Sebutan Ideal

Ibu

Ibu

Emmak

Ayah

Bapak

Uwa

Suami

Bapaknya ditambah
nama anak pertama

Lile

Isteri

Ibunya ditambah nama


anak pertama

Dinde

Adik/kakak laki-laki

Adik/Kakak

Lile

Adik/kakak
perempuan

Adik/Kakak

Dinde

Kakek

Kakek/nenek laki-laki

Embo

Nenek

Nenek/nenek
perempuan

Embo

Paman

Kakak/Adik

Kakak/Adik Lile

Bibi

Kakak/Adik

Kakak/Adik Dinde

Bapak Mertua

Bapak

Uwa/ Matoa Lile

Ibu Metua

Mamak

Emmak/ Matoa
dinde

Menantu Laki-Laki

Bapaknya ditambah
nama anak pertama

Kapetukite lile

Menantu Perempuan

Bapaknya ditambah
nama anak pertama

Kapetukite Dinde

Cucu

Nak

Empu

Anak Cucu

Nak

Empu

64

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Pekerjaan yang bersifat domestik umumnya dikerjakan


oleh ibu dibantu dengan anak perempuan. Laki-laki dewasa
biasanya membantu mencari kayu bakar dan mengambil air
untuk keperluan rumah tangga. Anak-anak usia SD biasanya telah
membantu orang tua. Laki-laki dewasa memiliki tanggung jawab
mencari uang dengan cara melaut, sementara sebagian
perempuan bekerja sebagai palele saat bom ikan masih
digunakan. Anak laki-laki yang putus sekolah sudah mulai
membantu orang tua melaut atau ikut melaut orang lain untuk
mendapatkan upah. Sementara itu pengambilan keputusan
terkait kehamilan hingga proses kelahiran menjadi pertimbangan
suami dan istri. Urusan di luar lingkup keluarga biasanya menjadi
tanggung jawab orang tua didukung dengan peran anak yang
sudah dewasa.
2.4.2. Sistem Kekerabatan
Prinsip keturunan warga di Desa Sulaho bersifat bilateral.
Garis keturunan ditarik melalui pihak laki-laki maupun
perempuan. Terdapat istilah dansihitang yang berarti saudaraku
yaitu ikatan persaudaraan dengan hubungan darah tujuh turunan
ke atas dan tujuh turunan ke bawah dari ego. Selain itu terdapat
istilah satu keluarga yang disebut dengan merapu-rapu, yang
diibaratkan seperti pohon pisang yang selalu bertumbuh lagi
ketika telah berbuah begitu seterusnya tanpa mengenal musim,
menggambarkan perjalanan keturunan nenek moyang pertama
sampai dengan generasi-generasi berikutnya.
Pada dasarnya semua warga di Desa Sulaho menganggap
bahwa di desa ini tidak ada orang lain apabila dirunut
berdasarkan nenek moyang maka semua orang di Desa Sulaho
adalah saudara. Paling jauh sepupu, kemenakan, cucu, sepupu
tiga kali, empat kali, salah satu informan, Pak Th (69 tahun)

65

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

menegaskan. Mereka tinggal dalam satu wilayah dan menyebut


diri mereka semua sebagai satu rumpun. Tidak ada sistem
kekerabatan yang memuat aturan tertentu seperti struktur klan.
Perkawinan yang dahulu terjadi pada nenek moyang merupakan
pekawinan endogami sehingga menyebabkan antara satu rumah
tangga dengan rumah tangga lainnya memiliki kedekatan dalam
hubungan kekerabatan.
Pernikahan pada generasi tua merupakan pernikahan yang
dilakukan melalui proses perjodohan. Pada umumnya ada
anggapan bahwa pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang
terjadi antara sepupu, mulai dari sepupu satu kali hingga dua kali.
Terdapat anggapan bahwa pernikahan yang dilakukan dengan
orang yang masih memiliki hubungan persaudaraan tidak akan
mudah goyah jika muncul pertengkaran. Hal ini seperti
diungkapkan oleh Bp Ny (52 tahun):
Bagusnya sepupu satu kali bertengkar sedikit, kalo
misalnya apa keluhannya sakit hati ribut-ribut, hanya
sebentar saja ji, kalo orang lain pergi, kalau sepupu
hanya begitu tidak parah, hanya berkelahi mulut atau
apalah, kalo orang lain pergi mi ko (Ny, 52 tahun)

Dalam perkembangannya, pernikahan yang terjadi adalah


pernikahan eksogami yang dilakukan dengan orang dari Etnik
yang berbeda. Beberapa Etnik yang menikah dengan warga
setempat diantaranya adalah Etnik Tolaki, Bugis dan Bulukumba.
Terdapat pula pernikahan antara sesama Etnik Bajo dari luar
kampung desa Sulaho yang umumnya berasal dari Palopo atau
Bone.
Kasus-kasus perceraian yang ada umumnya cukup
diselesaikan secara informal antara kedua belah pihak dan
bantuan tokoh masyarakat setempat jika diperlukan. Mereka
menganggap bahwa ucapan lisan yang keluar antara keduanya
yang menyatakan bahwa mereka telah berpisah menjadi bukti
66

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kuat bahwa mereka tidak lagi berstatus suami isteri. Tidak


terdapat proses hukum untuk menyelesaikan permasalahan
perceraian di desa ini. Beberapa pelaku perceraian diketahui
menikah kembali dengan orang berbeda berasal dari desa
tersebut.
2.4.3. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal
Kerja sama yang dilakukan oleh masyarakat diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi, yaitu bekerja (melaut) secara berkelompok karena
tidak setiap RT memiliki perahu. Kerja sama lainnya tampak
dalam kegiatan saling membantu seperti hajatan perkawinan
atau terkena musibah seperti kematian, maka semua kerabat
dekat maupun jauh serta tetangga akan membantu.
Pada masa lampau terdapat istilah punggawa yang
menjadi pemimpin komunitas Etnik Bajo. Punggawa memiliki
anak buah banyak tersebar di berbagai penjuru. Konsep
punggawa dalam perkembangannya secara perlahan hilang dan
kini tinggal cerita. Sebelum terbentuk menjadi desa, Sulaho
dipimpin oleh kepala dusun karena menginduk pada Desa
Pitulua. Pemekaran Sulaho menjadi sebuah desa menyebabkan
wilayah ini dipimpin oleh kepala desa. Telah terjadi pergantian
kepala desa sebanyak 5 kali dalam kurun waktu 17 tahun terakhir
(1997-2014). Struktur organisasi pemerintahan Desa Sulaho tidak
mengalami perubahan yang signifikan sejak berdiri pada tahun
1997 hingga saat ini. Ketua RT/RW masuk dalam struktur
organisasi hingga tahun 2006, masa selanjutnya Ketua RT/RW
tidak lagi tersurat dalam struktur organisasi dikarenakan tidak
tercantum dalam alokasi dana desa (ADD).

67

LMD

LKMD
Kepala Desa

BPD

LPMD
1997-2006

Sekretaris
2006-sekarang

Kaur
Pemerintahan

Kepala
Dusun

Kaur
Pembangunan

Kaur Umum

Imam Desa

Ketua
RT/RW

Gambar 2. 14.
Struktur Organisasi Desa Sulaho Tahun 1997-2014
Sumber: Data Penelitian Tahun 2014
68

Masalah yang timbul dalam masyarakat antara lain adalah


sengketa tanah dan ihwal pemerintahan. Permasalahan biasanya
diselesaikan secara kekeluargaan melibatkan pihak bertikai
dengan bantuan orang yang dituakan (tokoh masyarakat). Jalur
hukum ditempuh jika permasalahan yang dihadapi dirasa tidak
dapat terselesaikan. Beberapa permasalahan pemerintahan dan
sengketa tanah pernah diselesaikan melalui jalur hukum.
Pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat Desa
Sulaho biasanya dilakukan dengan melibatkan masyarakat
melalui perwakilan kepala dusun dan tokoh masyarakat yang
kemudian diteruskan kepada perangkat desa setempat.
Pada awal kedatangan tim peneliti, masyarakat tengah
resah berkaitan dengan sumber mata pencaharian sehari-hari
(melaut) yang terhenti. Umumnya mereka berkeluh kesah bahwa
sekarang sudah tidak banyak ikan lagi, tidak seperti dahulu.
Banyak janda yang tidak bisa mendapatkan uang karena tidak
bisa menjadi palele (penjual ikan). Ekonomi Sulaho mereka nilai
berada pada titik kritis. Bagaimana tidak, perusahaan tambang
yang telah beroperasi beberapa tahun di Desa Sulaho dan dapat
menyerap tenaga-tenaga muda dari desa tersebut berhenti
beroperasi sejak sekitar lima bulan lalu. Pada bulan April 2014,
ada seorang nelayan Sulaho yang ditangkap dengan tuduhan
pengeboman ikan dan hingga kini masih menjalani proses
hukum. Hal ini berimbas pada tidak adanya nelayan Sulaho yang
berani melaut dengan menggunakan bom ikan (pangada)
sementara melaut dengan cara konvensional biasanya merugi
karena tidak sesuai antara modal yang dikeluarkan dengan hasil
tangkapan yang diperoleh.
Mereka mengetahui persis bahwa menangkap ikan dengan
cara mengebom dilarang sejak dahulu sehingga selama ini
mereka bermain kucing-kucingan dengan petugas polisi air ketika
bekerja mencari ikan. Titik kulminasi dari rentetan peristiwa

69

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

tersebut adalah melakukan aksi demonstrasi ke DPRD meminta


dana CSR perusahaan tambang melalui perwakilan masyarakat
dibantu mahasiswa. Selang beberapa waktu pasca aksi tersebut,
perwakilan pemerintah Kabupaten Kolaka Utara melalui Dinas
Pertambangan datang ke Desa Sulaho.

Gambar 2. 15.
Musyawarah di Balai Desa Pasca Demonstrasi
Sumber: Dokumentasi Penelitian 2014

Semua warga berkumpul di aula desa menyampaikan


aspirasi tentang apa yang mereka butuhkan. Umumnya
masyarakat menyampaikan kebutuhan atas akses jalan darat dan
sumber penerangan PLN selain meminta beberapa jenis
peralatan untuk mendukung kegiatan melaut seperti senter
khusus dalam air, mesin atau jaring. Forum ini dimaksudkan
untuk menentukan skala prioritas kebutuhan mereka. Diskusi
sesama warga berjalan alot. Dalam rangka mengakomodir
kebutuhan masyarakat maka permintaan diakomodir melalui
kepala dusun dan tokoh masyarakat. Hingga kepulangan tim

70

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

peneliti belum ada tindak lanjut atas permintaan dana CSR oleh
masyarakat. Demonstrasi serupa telah dilakukan oleh warga Desa
Sulaho ke perusahaan tambang sebanyak dua kali pada tahun
2011 dan 2012, salah satu hasilnya dibangun fasilitas kakus
umum di dua lokasi.
Pemimpin informal memiliki peran yang besar dalam
kehidupan masyarakat. Orang yang dituakan seringkali
menyelesaikan permasalahan yang muncul. Kepala desa lebih
banyak berperan dalam acara-acara formal desa sekaligus
merupakan perpanjangan tangan dari pemerintahan tingkat
Kabupaten dan Kecamatan.
2.5. Pengetahuan tentang Kesehatan
2.5.1. Konsepsi mengenai Sehat dan Sakit
Masyarakat desa Sulaho memiliki keyakinan bahwa sehat
adalah sebuah kondisi dimana seseorang masih bisa bekerja dan
beraktivitas seperti biasanya. Sepanjang seseorang belum
terbaring di tempat tidur secara terus menerus, badan masih bisa
bergerak dan masih dapat melakukan kebutuhan diri sendiri
secara mandiri masih dikategorikan sebagai kondisi sehat. Tandatanda klinis sakit yang muncul pada tubuhnya dianggap bukan
merujuk pada sebuah kondisi yang disebut sakit. Mereka
mengakui bahwa ada rasa sakit tertentu yang kadang mereka
alami, seperti sakit kepala, sakit perut, bahkan pada beberapa
kasus, rasa sakit terus menerus atau terjadi secara menahun yang
dirasakan bukan menjadi penghalang untuk dapat melakukan
aktivitas sehari-hari.
Jika seseorang sudah berada dalam kondisi terbaring,
tergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan pribadi
dan tidak bisa bekerja, maka seseorang dikatakan mengalami
sakit keras atau sakit kategori berat. Sakit semacam itu

71

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dikarenakan pengaruh pekerjaan berat yang dilakukan. Secara


historis, ada beberapa orang di Desa Sulaho yang kini mengalami
cacat dan atau tidak normal ketika berjalan dikarenakan
mengalami kejang otot/kram saat menyelam mencari teripang
atau memasang bom ikan (pangada) pada kedalaman puluhan
hingga ratusan meter.
Salah satu informan, sebut saja Bs (30 tahun) mengaku
saat ini badannya dipaksakan untuk bekerja meski terasa sakit.
Dahulu ia pernah menyelam saat memasang pangada pada
kedalaman 10 meter pada tahun 1995 dan ia baru bisa berjalan
dua tahun setelahnya dengan cara berjalan masih terpincangpincang hingga kini dan kaki terasa sakit untuk berjalan. Ia tetap
bekerja seperti biasanya.
Saya begini juga menyelam, sudah 4 kali mungkin kena
begini terus-begini terus, tapi yang pertama itu begini
setahun dua tahun bisa jalan, tapi kena lagi dua hari tiga
hari paling bisa jalan lagi (Bs, 30 tahun).

Meski demikian pada kali pertama sakit saja ia periksa ke


tenaga kesehatan dengan pertolongan dukun sebelumnya. Sakit
yang dirasakan pada waktu selanjutnya cukup diobati sendiri
dengan jahe yang ditumbuk kemudian diambil airnya untuk
diminum dan sebagian dicampur dengan beras ditumbuk untuk
dijadikan bedak yang dioleskan pada bagian yang dirasakan sakit.
Tak beda dengan dirinya, keponakan yang terkena kram
serupa, kini berjalan dengan menggunakan tongkat dan tetap
menjalankan aktivitas menyelam. Kejadian tersebut bukan
menjadi ancaman berarti bagi mereka untuk bekerja mencari
uang. Gejala kram atau kejang otot ini terjadi karena seseorang
berada pada lapisan air laut yang memiliki tekanan dan suhu air
berbeda sehingga menyebabkan kondisi tubuh tidak stabil.
Pandangan lain menyatakan bahwa seseorang yang sakit atau
meninggal di laut disebabkan karena pengaruh penunggu laut.
72

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Cuma menyelam saja di laut, terus dia meninggal, itu saja,


bilangnya mereka kena hantu-hantu laut papar seorang istri
yang suaminya telah meninggal sekitar tiga tahun lalu saat
menyelam.
Kala itu almarhum suaminya melihat seekor udang
sepanjang 3 meter lebih dan berusaha menarik udang tersebut.
Adik iparnya telah mengingatkan untuk tidak menangkap udang
tersebut dikarenakan udang itu diduga penunggu laut atau hantu
laut. Terbukti begitu naik ke permukaan laut, semua badannya
menghitam seperti periuk yang biasa digunakan untuk memasak
ditungku dan meninggal dalam perjalanan pulang. Sakit yang
disebabkan oleh pengaruh penunggu laut ini disebut dengan
patikkeng.
Sakit yang biasa dialami oleh anggota rumah tangga
diantaranya adalah sakit gigi dan sakit kepala, seperti yang
dialami keluarga Sr (26 tahun). Biasanya ia pergi ke Balai
Kesejahteraan Rakyat (Bakesra) untuk meminta obat kepada
Bidan Desa. Namun demikian, keberadaan Bidan desa yang tidak
tinggal menetap di Sulaho, membuat Ibu Sr memilih membeli
obat di warung yang dianggap memiliki khasiat baik, selain lokasi
Puskesmas yang cukup sulit dijangkau. Ia terbiasa membeli asam
mefenamat dipadukan dengan amoxicillin untuk sakit gigi,
sementara ia membeli paramex untuk sakit kepala atau
inzana untuk anaknya. Obat yang dibelinya di warung diminum
dua kali sehari pada pagi dan malam hari. Setelah merasa
sembuh, obat tidak akan lagi diminum. Jika dirasa belum ada
perkembangan atas kesehatan anak, maka dibelikan obat di
apotek secara mandiri, tanpa periksa kepada tenaga kesehatan
terlebih dahulu. Perilaku tersebut meniru saudara ipar yang
berprofesi sebagai bidan.
Ada penyakit yang dianggap parah atau berat dan dialami
oleh beberapa orang di Sulaho. Sebagian informan diantaranya

73

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

menyebut sebagai kakambah; kasuwiang tanah dan seorang


informan tidak dapat menyebutkan nama penyakit tersebut,
namun tanda-tanda penyakit yang diungkap merujuk pada
penyakit kakambah/kusta. Keparahan ditunjukkan dengan
adanya benjolan yang muncul pada muka dan badan yang
cenderung memiliki warna kemerahan. Benjolan tersebut
mengeluarkan air dan membuat badan lengket pada kain yang
dipakai. Selain itu juga terjadi pembengkakan pada bagian tubuh
tertentu.
Beberapa orang di Sulaho diketahui mengidap penyakit
jenis tersebut. Orang yang memiliki penyakit tersebut
disembunyikan oleh anggota keluarga karena malu dan awalnya
tidak mau berobat. Penyakit tersebut telah lama muncul, dan
beberapa penderita dikatakan sembuh setelah berobat ke
Puskesmas. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya penularan adalah dengan membatasi pergaulan
dengan penderita karena diyakini penyakit tersebut bisa menular
dengan sangat mudah, diantaranya melalui kontaminasi bekas
tempat duduk penderita atau bersentuhan. Berkaitan dengan
adanya penyakit parah yang dimaksud, muncul rasa tidak aman
di lingkungan tempat tinggal.
Karena orang sekeliling sakit, itu yang membuat kita
merasa tidak aman juga, termasuk jika di sekeliling ada
kena penyakit begitu ta, merasa orang-orang di
sekelilingnya tidak aman juga, ungkap Ibu Sr (26 tahun).

Penyakit yang ada dalam masyarakat biasanya dikaitkan


dengan kondisi lingkungan tempat tinggal. Konsep bersih dan
kotor dipersepsikan secara berbeda oleh seseorang. Umumnya
konsep kotor yang diungkap oleh masyarakat adalah berkaitan
dengan sampah di lingkungan tempat tinggal. Namun demikian
mereka merasa telah terbiasa dengan kondisi tersebut meski
mengetahui sampah dapat menimbulkan penyakit.
74

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Bau busuk ini juga bau dari sampah yang terdampar di


pantai, binatang mati dan terumbu juga. Biasanya
terumbu itu sampai masuk ke sini kalau musim barat itu.
Orang di sini itu akhirnya kebal. Dibiarkan saja. Kalau
orang kota kan dibenahi kalau ada di sampahnya.
Memang penyakit ada di mana-mana. Ada penyakit yang
muncul tumbuh sendiri. Dibuat-buat manusia sendiri.
Kaya kotoran ini kan bisa membawa penyakit sendiri.
Ada juga penyakit dari Tuhan.Banyak yang buang
kotoran manusia di jembatan saja. Jadi bau tidak ilang
itu. Itu kotor (Sd, 37 tahun)

Mereka sudah terbiasa dengan lingkungan yang kotor,


yaitu banyak sampah di sekitar tempat tinggal. Ada anggapan
bahwa dengan terpapar, maka mereka akan memiliki kekebalan
atau menganggap sampah bukan sebagai sumber penyakit.
Sementara itu bersih dianggap berkaitan dengan keselamatan.
Kebersihan menjadi sumber keselamatan agar dapat terhindar
dari penyakit.
Karena orang di sini sudah kebal. Mereka tidak bisa
kena penyakit karena sudah terbiasa. Baru setelah dia
mati, baru dibilang penyakit. Mereka sudah biasa jdi
tidak menganggap penyakit (Sd, 37 tahun)
Selamat itu berasal dari kebersihan. Jadi asal kita
bersih itu kita bisa selamat dari penyakit. Kesehatan itu
berasal dari kebersihan (Sd, 37 tahun).

Tenaga kesehatan dinilai telah melayani dengan baik oleh


orang yang sering berkunjung ke Puskesmas. Namun demikian,
masyarakat umumnya memanfaatkan dukun kampung/sanro
kampong terlebih dahulu untuk berobat. Sanro melahirkan
dianggap pintar mengobati anak sakit seperti ketika anak-anak
terkena penyakit di pinggir laut yang disebabkan oleh
setan/mahkluk halus atau disebut dengan patikkeng. Dalam

75

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

pandangan masyarakat terdapat perbedaan antara penyakit yang


harus disembuhkan oleh sanro atau tenaga kesehatan. Penyakit
yang bersumber dari mahkluk halus memiliki metode
pengobatan yang berbeda dan harus disembuhkan oleh sanro.
Ada sebagian informan yang menilai tidak baik terhadap tenaga
dan fasilitas kesehatan, karena mereka memiliki pengalaman
mendapat penanganan medis yang mereka anggap tidak tepat
dan perlakuan berbeda dengan pasien berkemampuan ekonomi
atas di tempat yang sama.
Obat berlogo keras seperti antibiotik dijual secara bebas di
warung desa, seperti amoxicillin, ampicillin, antalgin dan asam
mefenamat. Obat-obat semacam itu telah dijual di warung desa
sejak tahun 2010. Mereka merasa telah mengetahui khasiat obatobatan tersebut karena mendapat pengetahuan setelah sering
mendapat obat yang sama saat berobat ke Puskesmas. Dapat
ditemukan pula obat sisa resep dokter dijual oleh pemilik
warung. Penjualan obat tersebut didukung permintaan warga,
dengan alasan mereka mengetahui penyakit tertentu dapat
diobati dengan obat-obatan jenis itu. Pembelian obat semacam
itu menjadi pilihan dikarenakan jangkauan ke Puskesmas Lasusua
(ibukota Kecamatan) jauh. Pemanfaatan obat-obatan tersebut
antara lain untuk mengobati sakit gigi, sakit kepala, bisul dan
sejenisnya bahkan beberapa ibu menggunakannya saat proses
persalinan untuk mengurangi rasa sakit.
Mereka biasa memadupadankan sendiri dua diantara
keempat jenis obat itu untuk diminum. Penggunaan obat ini
menggunakan prosedur/ukuran pribadi dan tidak mengikuti
aturan khusus sesuai petunjuk dokter. Dosis penggunaan obat
sesuai keyakinan, pemahaman dan kebutuhan masing-masing
individu. Ada obat yang digunakan sebagai obat luar untuk
mengobati sakit seperti bisul dan sakit gigi dengan cara
diencerkan terlebih dahulu dan dioleskan pada bagian yang sakit.

76

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Bakesra sebagai fasilitas kesehatan dirasakan memberikan


manfaat akan tetapi kendala yang dirasakan masyarakat adalah
petugas atau tenaga kesehatan yang tidak selalu berada di
tempat saat ada orang yang membutuhkan pengobatan. Tidak
pelak lagi, peran sanro menjadi dominan dan sentral dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Selama
30 tahun saya di sini tidak pernah saya dengar ada orang
meninggal karena penyakit apa penyakit apa, seperti penyakit
yang dibilang para dokter itu, dinamakan jin kafir atau kena di
laut papar Bs (30 tahun) meyakinkan. Terdapat pula anggapan
warga bahwa tenaga kesehatan memberikan obat-obatan yang
sama untuk menyembuhkan berbagai penyakit berbeda. Hal ini
mengindikasikan bahwa semua obat yang ada dianggap memiliki
khasiat yang sama.
2.5.2. Air Jappi-jappi: Daya Tarik Penyembuhan Tradisional
Dalam aspek kesehatan manusia, penyembuhan
tradisional menjadi salah satu cara yang dilakukan oleh orang
untuk mendapatkan kesembuhan atas penyakit yang dialami.
Terdapat penyembuhan penyakit oleh sanro, baik laki-laki
maupun perempuan dalam masyarakat setempat. Sebagian besar
masyarakat di Sulaho memilih pergi ke sanro kampung sebagai
tujuan pertama pencarian pengobatan atau penyembuhan
terhadap penyakit yang dirasakan.
Bentuk pertolongan dari mahkluk halus dapat terjadi
melalui tenrita mata yaitu penampakan tiba-tiba mahkluk halus
yang tidak bisa dilihat oleh kasat mata dan melalui mimpi untuk
memberikan petunjuk pengobatan. Saat ini masih mudah
ditemukan sanro yang dipercaya dapat mengobati penyakit
seseorang. Hal ini menyebabkan kedudukan sanro kampong

77

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

menjadi orang yang dianggap penting, pintar sekaligus menjadi


orang yang dituakan dalam kehidupan masyarakat setempat.
Sanro kampong tersebut biasanya dipanggil oleh keluarga
yang memiliki anggota keluarga yang sakit. Setidaknya terdapat
empat sanro yang dikenal baik oleh warga desa dan seringkali
melakukan pengobatan, salah satunya merangkap sebagai dukun
melahirkan. Kepercayaan terhadap pengobatan tradisional yang
tinggi menyebabkan orang-orang tertentu selain ke empat sanro
tersebut juga dipercaya dapat memberikan pengobatan. Hal ini
didasarkan atas pengalaman orang tersebut dalam memberikan
pengobatan kepada keluarga maupun orang-orang di sekitarnya.
Sanro di Desa Sulaho umumnya mencoba menyembuhkan
segala jenis penyakit. Mereka tidak mau disebut sebagai sanro,
tetapi sekedar membantu orang lain. Terdapat sanro yang belajar
dan dipanggil oleh orang-orang di sekitarnya serta mendapatkan
petunjuk dari mimpi yang dianggap sebagai wahyu. Pengobatan
yang dilakukan umumnya menggunakan air jappi-jappi disertai
dengan doa (mantra) tertentu. Terdapat sanro yang tidak mau
mengobati penyakit jenis ini dikarenakan penyakit yang diobati
dapat menyerang dirinya.
Pada dasarnya terdapat persyaratan yang harus dipenuhi
oleh seseorang yang membutuhkan pertolongan seorang sanro
yaitu berupa satu bugkus rokok, korek api, dan uang biasanya
dengan besaran Rp 5.000,- s.d Rp 10.000,- ditaruh dalam sebuah
piring dan dibungkus dengan kain. Persyaratan tersebut disusun
sebagai berikut: uang, rokok, korek api dalam bungkusan kain
putih.
Persyaratan tersebut disimpan terlebih dahulu, tidak boleh
dibuka dan ditempatkan pada lantai tepat di tengah rumah sanro
untuk mendapatkan petunjuk tentang penyakit dan pengobatan
yang harus dilakukan (biasanya diperoleh pada malam hari).
Persyaratan tersebut untuk memberikan penghormatan kepada

78

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

penunggu rumah dengan tujuan agar pengobatan yang dilakukan


dapat memberikan hasil maksimal. Pemenuhan persyaratan
tersebut dapat memberikan jaminan kesembuhan lebih besar
(pengobatan yang dilakukan menjadi tajam).
Kalo datang berobat bawa rokok, simpan dipiring to,
rokok dengan korek api, dengan uang juga isinya 5000
10000kah isinya sembaranglah, bukan isinya yang
penting dibawakan kik untuk mengobat karena orang
bilang kalo tidak dikasih begitu tidak mempan itu
penyakit, biar diobat tidak mempan karena tidak
dibawakan anu to supaya tajam (Nj, 56 tahun)

Masyarakat percaya bahwa penyakit yang diobati tidak


akan sembuh jika tidak menyediakan persyaratan tersebut.
Biasanya orang yang datang membawa persyaratan adalah orang
yang sakit parah, sementara penyakit yang dianggap ringan
cukup memberikan sedekah seikhlasnya kepada sanro. Kini,
syarat tersebut seringkali tidak dipenuhi meski syarat yang
diutarakan tersebut menjadi syarat untuk sanro yang akan
bekerja menyembuhkan orang sakit.
Salah satu sanro mengaku terbiasa mendapatkan petunjuk
pengobatan dari putranya yang dipercaya terlahir dalam wujud
buaya sekaligus merupakan kembaran putri keduanya. Sebuah
kayu yang diperoleh di sungai dan dianggap mirip buaya sekitar 3
tahun lalu dipercaya sebagai jelmaan putranya. Ranjang kecil
dengan kelambu berwarna kuning ditempatkan dalam sebuah
kamar yang menjadi tempat tinggal buaya ketika pulang ke
rumah. Orang yang sedang sakit dan meminta pertolongan sanro
tersebut akan bernadzar untuk memberikan baju baru berwarna
merah atau kuning untuk buaya tersebut ketika telah sembuh
dari penyakitnya. Hal ini telah menjadi sebuah kepercayaan dan
kebiasaan untuk sebagian orang di Sulaho.

79

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2. 16.
Ranjang dan Kayu Representasi Buaya
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Penyakit yang dianggap berbahaya oleh masyarakat, salah


satunya adalah cacar. Mereka menyebutnya dengan istilah
kasuwiang. Tanda penyakit tersebut adalah mata memerah,
dapat tumbuh pada semua badan termasuk mata, badan terlihat
kemerahan, panas dan terdapat bintik-bintik. Sanro Nj (56 tahun)
menyebutkan bahwa penentuan sakit cacar dengan cara
memeriksa persendian pada pergelangan tangan dengan
memastikan kecepatan denyut nadi. Jika urat nadi yang bergerak
dirasa kuat maka kemungkinan demam yang muncul juga tinggi
sehingga penderita merasakan panas dalam.
Tubuh penderita penyakit jenis ini tidak boleh terkena air
dikarenakan penyakit cacar tersebut dapat dengan mudah masuk
dalam tubuh hingga tulang. Cacar dianggap sebagai sebuah
penyakit yang berasal dari Tuhan dan telah ada dalam tubuh
setiap manusia sejak pertama kali terlahir di dunia. Ada

80

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kepercayaan bahwa cacar ini dapat keluar atau muncul sewaktuwaktu pada tubuh manusia sesuai kehendaknya. Jika cacar tidak
ditangani dengan baik atau disebut dengan ungkapan salah
obat/salah jemput maka dapat menimbulkan dampak pada
keluarnya cacar di semua badan.
Cacar itu kita punya, dari dalam itu, kita punya sodara
juga di dalam, ada memang di dalam badan (Nj, 56
tahun).

Terdapat pantangan yang dipercaya oleh sanro maupun


masyarakat terhadap penyakit kasuwiang (bahasa Bugis);
kasubiah/sagala (bahasa Bajo). Pantangan tersebut diantaranya
adalah:
Tidak boleh mengonsumsi makanan seperti jeruk, lombok,
minyak kelapa;
Tidak boleh tertusuk jarum suntik karena dapat menyebabkan
kematian;
Tidak boleh mandi sebelum cacar keluar karena dapat
menyebabkan sakit bertambah parah;
Beberapa jenis pekerjaan RT tidak boleh dikerjakan dalam
rumah seperti menggoreng, karena dapat menyebabkan orang
yang sakit cacar menangis atau marah atau terasa panas
seperti digoreng. Terdapat pula yang menyatakan tidak boleh
menjahit dalam rumah karena penderita dapat merasa badan
nyeri seperti dijahit. Jika hal ini terjadi maka orang yang
mengalami cacar diminta memakai sarung putih polos karena
cacar menyukainya;
Orang yang sedang dalam masa haid tidak dapat masuk dalam
rumah penderita karena menyebabkan gatal pada badan
semua orang yang menderita cacar;
Tidak mengeluarkan barang-barang yang ada dalam rumah,
karena dapat menimbulkan kemarahan si cacar yang sedang

81

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

menguasai badan sehingga dapat menyebabkan penyakit


bertambah parah.
Ketika sudah terlanjur menginap di rumah orang yang terkena
cacar, maka tidak boleh langsung pulang jika kondisi orang
yang sakit belum menunjukkan perbaikan;
Penyakit cacar harus diobati oleh orang yang tinggal di tempat
yang sama, tidak boleh diobati oleh orang yang tinggal jauh
dari rumah.
Obat kasuwiang biasanya adalah air yang diberi doa
(mantra) oleh sanro untuk diminum, selanjutnya dibuatkan air
minum berupa daun peria (pare) dan kunyit dengan tambahan
sedikit air kemudian diminum. Alternatif lain dapat diberikan
madu dengan 1 kuning telur ayam kampung atau cukup air
kelapa dicampur dengan bunga kasumba ugi warna merah
yang dipanaskan. Minuman tersebut diberikan sebelum cacar
muncul pada kulit. Selain itu, kunyit, kemiri dan beras yang
ditumbuk dan dibalurkan pada seluruh tubuh secara merata.
Seorang dukun atau orang pintar yang ingin
menghilangkan atau menyembuhkan penyakit misalnya,
membacakan mantra yang disebutnya sebagai doa untuk
kesembuhan atau penangkal penyakit. Berbagai kegiatan yang
dilakukan individu atau masyarakat terutama yang berhubungan
dengan adat biasanya disertai dengan pembacaan mantra. Ada
kepercayaan bahwa pembacaan mantra merupakan wujud
sebuah usaha untuk mencapai keselamatan.
Pada masyarakat tertentu, mantra dan masyarakat
mempunyai hubungan yang erat. Kepercayaan terhadap adanya
kekuatan di luar kemampuan manusia, yaitu adanya kekuatan
gaib yang mendorong mereka untuk merealisasikan kekuatan
tersebut ke dalam wujud nyata untuk memenuhi kebutuhan.
Mereka menganggap sekumpulan mahkluk halus/gaib ada yang
jahat dan dapat mengganggu kehidupan manusia, tetapi ada pula

82

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

yang memiliki sifat baik dan dianggap dapat memberikan


bantuan terutama dalam hal memberikan petunjuk yang
diinginkan, misalnya pengobatan untuk orang sakit.
Dukun yang memberikan pengobatan memang memiliki
kebiasaan membaca doa tertentu. Salah satunya, Nj (56 tahun)
yang mengaku memperoleh kumpulan mantra dari saudara
sepupunya yang menjadi sanro di Kolaka. Ia mencatat mantramantra untuk penyakit tertentu dalam sebuah buku tulis. Mantra
untuk mengobati penyakit cacar/kasuwiang/sagala atau yang
disebutnya doa, tercatat dalam lembaran buku tulis. Mantra
tersebut seperti yang terlihat dalam kotak di bawah.
Kasubiah
Wadidu waddi manna ka manni na mancaji sagala. Rewekku ri
wewangemmu. Raddekko ri onrong araddekemmu. Wae ri doko. Wae
paodokona.oh ajiburaelu alai pellana alai keccenna urai gangka
pajama
(artinya: Wadidu waddi manna ka manni (kalimat tanpa arti, lafazh
mantra) yang menjadi cacar. Kembalilah ke peraduanmu. Tetaplah
tinggal dengan tenang di tempatmu bersemayam. Air dibungkus air.
Wahai tempat meminta, angkat panasnya angkat dinginnya, obati
sampai sembuh).

Mantra tersebut adalah mantra dalam bahasa bugis, meski


sanro kampong adalah Etnik Bajo. Selain itu dalam mengobati
penyakit serupa tim peneliti menemukan seorang ibu yang
menyatakan memiliki doa-doa khusus untuk mengobati penyakit.
Ia menunjukkan doa-doa yang dicatatnya dalam sebuah buku
tulis. Ia menyatakan bahwa doa-doa tersebut diperoleh dari
ibunya. Ia meyakini dapat menyembuhkan anaknya yang sakit
dengan doa-doa tersebut, termasuk ketika anaknya sakit
kasuwiang ia mencoba menyembuhkan anaknya dengan doa
yang dimiliki. Doa yang dibaca diyakini dapat memberikan

83

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kesembuhan, meskipun ia tidak memahami arti doa yang sering


dibacanya. Doa kasuwiang yang dimiliki ibu Ec berbeda dengan
yang dimiliki oleh sanro kampong Nj. Doa kasuwiang (Ibu Ec)
seperti dikatakan sebagai berikut:
Rajamamuna Rajapatimang, Satimana Kapotong Rajak Gaebu
Sabu Sagala
(mantra menyebutkan nama-nama raja gunung yang dianggap
menguasai gunung).

Jika cacar belum sembuh, dilakukan pemeriksaan dengan


melihat tangan dan kaki, jika terdapat warna kemerahan maka
cacar itu sudah akan menghilang/pergi. Jika telapak tangan sudah
berwarna kemerahan maka artinya cacar sudah berhenti. Jika
cacar sudah keluar/muncul pada kulit, maka sudah boleh mandi.
Mandi dengan cara tangan kanan memegang 3 lembar daun sirih
yang masing-masing dilipat secara khusus dan daun sirih dibuang
begitu saja selesai mandi.
Sakit lain yang diobati adalah penyakit umum seperti sakit
kepala, sakit pinggang dan bermacam sakit pada badan
seseorang. Pengobatan dilakukan dengan cara membuatkan air
minum yang didoakan dan meniup-niup bagian yang sakit.
Terdapat sakit haid yang disebut bacici atau baciciken. Tanda
seseorang yang mengalami sakit ini adalah terdapat tanda
memar kebiru-biruan pada bagian paha. Obat yang diminum
adalah temu hitam, temu merah dan jahe yang diparut lalu
diperas, ditambahkan kuning telur ayam kampung, dibacakan
doa.
Ada penyakit yang disebabkan karena guna-guna
(pangatonang) seperti soke (menyebabkan kaki lumpuh), yaitu
guna-guna yang ditempatkan di jalanan/tempat tertentu dengan
tujuan untuk menyakiti seseorang dengan menggunakan jahe

84

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

yang ditusuk jarum kemudian ditanam dalam tanah. Orang yang


menginjak benda tersebut akan merasa sakit seperti ditusuktusuk jarum. Guna-guna jenis lain adalah yang disebut dengan
doti yang dapat menyebabkan batok kepala menjadi lembek dan
muntah darah. Media perantara yang digunakan adalah jarum,
benang atau bambu yang diterbangkan untuk tujuan
diarahkan/dikenakan pada seseorang. Pemakaian guna-guna
jenis ini dapat menyebabkan kematian. Salah satu penyakit kulit
yang dapat merusak kulit disebut dengan kakambah/kasuwiang
tanah/colak jampu/lasauli dan dapat disebabkan karena gunaguna, hukuman Tuhan dan disebut juga bibit penyakit telah
dibawa sejak bayi. Terdapat satu sanro yang biasa mengobati
penyakit jenis ini.
Dikenal pula penyakit yang bersumber dari mahkluk halus,
seperti kandole dan muntianak (angin, tanah, air) atau manusia
jadi-jadian yang memiliki ilmu tinggi seperti parakang. Penyakit
yang dikarenakan kandole dapat masuk di perut dan dapat
menghancurkan jantung di dalam tubuh. Ia masuk ke sembarang
bagian tubuh tanpa pilih-pilih. Kandole dipercaya sebagai orang
hamil yang meninggal dan tidak cukup mendapatkan doa
sebelum dikuburkan. Penyakit yang disebabkan oleh muntianak
membuat seseorang menjadi tidak bisa tenang dan bergerak
terus menerus dalam kesehariannya.
Contoh kasus yang nyata pernah dialami adalah salah satu
warga Desa Sulaho yang mengendarai motor pada jalanan terjal
di tengah hutan menempuh perjalanan dari Lasusua ke Sulaho.
Tiba-tiba saja di antara ban depan dan belakang muncul ular
bermahkota. Mereka percaya bahwa penampakan berwujud ular
merupakan penjaga kampung yang bermukim di jalanan
tersebut.
Pengobatan dilakukan dengan cara berdoa dengan air
yang diberi mantra, meniup tiga kali pada bagian yang sakit dan

85

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

mattinja (berniat) untuk melakukan hal tertentu sesuai saran


sanro agar penyakit yang dialami sembuh, misalnya melepaskan
ayam di tempat yang dianggap menjadi sumber penyakit. Air
yang digunakan untuk mengobati harus menggunakan air sumur
atau air mentah yang belum direbus karena dianggap doa yang
diberikan manjur.
Mata pencaharian di laut menyebabkan orang rentan
terkena penyakit yang disebabkan karena pengaruh tekanan air
laut pada tubuh seseorang ketika menyelam yang disebut oleh
masyarakat setempat sebagai kerang/kram, dengan tanda
kaki mati rasa, tidak dapat buang air kecil dengan lancar dan
beberapa orang di antaranya mengalami kelumpuhan sehingga
jika berjalan tidak lagi normal/cacat. Akan tetapi kejadian
tersebut juga didukung oleh pengaruh adanya mahkluk halus
dalam laut. Bagaimanapun juga terdapat hal-hal yang dianggap
memiliki nilai magis dalam laut seperti apa yang pernah dilihat
oleh Informan Th ( 69 tahun) dahulu saat menyelam ketika masih
muda. Ia pernah melihat tempat/subyek seperti yang dapat
dilihat di darat berupa kuburan dan bermacam binatang yang
dapat ditemui di darat.
Waktu saya masih muda belum ada saya anak sama
mamaknya, lihat kuburan di bawah air, seperti di
kampong, setelah naik nanti nak bilang mungkin kramat
di sini, liat kuburan atau liat macan, itu saya selalu pesan
kalo ada liat di bawah seperti itu salaman (Th, 69 tahun)

Pasca sembuh dari sakit, maka dilakukan ritual dengan


cara mandi di laut, menyembelih (maccera) ayam, dan
membuat makanan berupa sokko (makanan dari beras ketan),
katupa (ketupat) dan leppe-leppe. Ritual tersebut kini sudah
tidak dilakukan, pelaksanaan tergantung pada kemauan dan
kemampuan keluarga orang yang sakit.

86

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

2.5.2.1. Pengetahuan Penyembuhan Tradisional dan Biomedikal


Banyak warga di desa ini yang memanfaatkan tanaman
yang tumbuh di sekitar tempat tinggal sebagai sumber
pengobatan. Bahan-bahan bersumber alam yang dimanfaatkan
sebagai cara mengobati penyakit secara tradisional pada
umumnya diberikan dengan doa tertentu agar manjur.Kayu
Jawa merupakan salah satu sumber obat yang paling populer di
kalangan masyarakat. Umumnya orang di desa ini mengenal
dengan baik kegunaan kayu jawa untuk pengobatan sehingga
sudah menjadi kebiasaan menggunakan kayu Jawa untuk
pengobatan individu atau pada tingkat keluarga tanpa harus
memeriksakan diri kepada sanro kampong.
Jenis kayu yang dimanfaatkan kulit batang pohonnya ini
dipercaya memberikan manfaat yang sangat banyak untuk
mengobati berbagai macam sakit, diantaranya adalah luka luar
dan sakit dalam. Kayu Jawa dapat digunakan sebagai obat luar
seperti luka yang terbuka dengan memanfaatkan getah kulit
batang pohon dengan cara diteteskan pada luka,tetapi jika luka
cukup lebar maka kulit batang pohon tersebut diparut dan
dioleskan pada bagian yang mengalami luka.

Gambar 2. 17
Pohon Kayu Jawa
Sumber : Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

87

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Selain itu Kayu Jawa juga dapat dimanfaatkan untuk


mengobati sakit dalam, seperti muntah darah. Cara pengobatan
sangat sederhana yaitu dengan mengambil kulit batang kayu
jawa, dibersihkan bagian kulit terluar. Ada pula orang yang
meminumnya tanpa direbus (mentah) dengan cara diparut,
ditambahkan sedikit air kemudian disaring dengan maksud agar
lebih berkhasiat karena kandungan getah lebih banyak dan
bersifat pekat. Pengobatan semacam ini merupakan terapi yang
dilakukan secara kontinyu sesuai kebutuhan.
Banyak warga yang mengaku telah merasakan dan
membuktikan khasiat dari Kayu Jawa ini. Salah satu informan
yang memiliki pengalaman luar biasa memanfaatkan Kayu Jawa
adalah Pak Sd (37 tahun). Pada tahun 2001, ia pernah mengalami
luka terbuka pada perutnya akibat sabetan samurai saat
kerusuhan Poso terjadi. Ia merawat luka tersebut salah satunya
dengan mengoleskan Kayu Jawa pada luka pasca operasi dalam
jangka waktu yang lama dan ia meyakini Kayu Jawa tersebut
membantu kulit bekas jahitan dapat merapat dengan baik.

Gambar 2. 18.
Tanaman Cangak Duri
Sumber: Dokumentasi
Penelitian 2014

Jenis obat tradisional lain yang biasa digunakan adalah


daun Cangak Duri, Tumbuhan ini dapat dijumpai di sekitar rumah
warga terutama dekat dengan rerumputan karena tumbuh liar.
88

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Daun ini diramu dengan kemiri, bawang merah, dan kunyit.


Bahan-bahan tersebut ditumbuk halus terlebih dahulu kemudian
dioleskan pada bagian yang sakit. Ramuan ini sangat bermanfaat
untuk mengobati bisul. Pengolesan dilakukan pada bagian pinggir
bisul saja, dan tidak menutupi mata bisul sehingga panas akan
membuat bisul naik dan keluar. Daun ini dapat mengobati
bengkak dengan cara dicampur jamur merah yang biasa tumbuh
pada kayu lapuk kemudian ditumbuk halus dan dioleskan pada
bagian yang bengkak. Jika ramuan yang ditempelkan telah
mengering maka diganti dan ditempel dengan ramuan yang baru
kembali, begitu seterusnya berulang-ulang sampai kondisi
membaik.

Gambar 2. 19
Tanaman Srikaya/Sirsak
Sumber: Dokumentasi Penelitian 2014

Jenis tanaman lain yang dimanfaatkan adalah sirsak


(srikaya). Sakit nyeri pada pinggang dan badan diobati dengan
daun srikaya muda dan ditempel begitu saja atau diremas-remas
terlebih dahulu baru kemudian ditempelkan pada bagian yang
sakit. Masyarakat setempat menyebut pohon sirsak dengan
sebutan srikaya. Daun srikaya ini juga dapat digunakan untuk
mengobati sakit kepala dan sakit pada semua bagian badan.
Caranya dengan menempelkan daun muda pada bagian yang
sakit. Daun akan melengket pada kulit jika orang tersebut
memang benar sakit.

89

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Daun Cocor Bebek atau dalam


istilah lokal disebut daun dingindingin atau Pakkece, merupakan
sejenis
tanaman
bunga
yang
digunakan untuk mengobati sakit
kepala dan sakit gigi. Daun ditumbuk
sampai agak hancur dan keluar airnya
kemudian ditempelkan pada bagian
jidat untuk sakit kepala atau pipi
Gambar 2.20.
Tanaman Daun Pakkece
pada bagian gigi yang sakit. Jika daun
Sumber: Dokumentasi
tersebut sudah kering, maka dapat
Penelitian 2014
diganti dengan ramuan yang baru.
Daun Jarak yang disebut
dengan
Kalikepeling
oleh
masyarakat
dipercaya
dapat
menghindarkan orang sakit dari
gangguan manusia yang memiliki
ilmu dengan kemampuan memakan
bagian tubuh manusia yang disebut
dengan parakang. Selain itu
disebutkan oleh salah seorang
Gambar 2. 21.
Tanaman Jarak
informan bahwa penyakit parakang
Sumber: Dokumentasi
juga dapat disembuhkan dengan
Penelitian 2014
mantra tertentu. Mantra tersebut
sebagai berikut (dibaca tiga kali):
Lataliu asen tobotojammu monromu ri lagig munono rilinnoe
muniasen parakangg barakkum payakum
(artinya: tinggal di langit, turun di bumi, dibilang parakang,
berberkah maka terjadilah).

90

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Sakit perut atau cacingan dapat diobati dengan rumput


datuk yang dicampur dengan sejenis kapur, yang disebut hualik.
Ramuan tersebut dioleskan pada bagian perut yang sakit.
Ada sakit yang disebut bacici. Orang yang terserang
penyakit bacici biasanya tidak dapat mempunyai anak. Sakit
ditandai dengan sakit perut pada saat menstruasi bahkan
menjalar sampai sakit punggung/bagian belakang tubuh sehingga
tidak bisa bangun dari tempat tidur, keluar gumpalan darah
setiap kali menstruasi. Jika saat menstruasi keluar darah
berwarna hitam, berarti seorang perempuan terkena bacici.
Tanda lain adalah munculnya memar/lebam pada bagian paha.
Penyakit bacici bisa menyerang laki-laki dengan tanda seperti
lemah syahwat sehingga tidak bisa memiliki anak jika belum
diobati. Doa penyakit bacici dibaca sebanyak tiga kali pada air
jappi-jappi kemudian diminum dan dicampurkan pada bedak
tetapi terlebih dahulu diaduk dengan menggunakan jari tengah
supaya doa merata pada air. Temu hitam, temu merah dan jahe
diparut lalu diperas, disaring dan ditambahkan kuning telur ayam
kampung, dibacakan doa dan diminum.
Luka bakar dapat diobati dengan mengoleskan odol/pasta
gigi sebagai pertolongan pertama. Alternatif lain dengan garam
yang dikunyah lalu disemburkan. Pengobatan selanjutnya
memanfaatkan putih telur dicampur kopi kemudian dioleskan
menggunakan bulu ayam pada luka, tidak boleh menggunakan
tangan karena kulit dapat terkelupas.
2.5.3. Pengetahuan tentang Makanan dan Minuman
Lokasi pemukiman yang berada di daerah pantai
menyebabkan makanan sehari-hari yang dikonsumsi adalah ikan
dan hasil laut dengan variasi yang cukup beragam. Pengolahan
makanan tersebut biasanya dengan cara digoreng, dibakar
ataupun dimasak dengan kuah/sup. Selain ikan terdapat udang
91

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

karang/lobster, sejenis kerang yaitu joi dan seya, keba-keba,


kima (tiram). Ikan yang kini biasa dikonsumsi di desa ini
diantaranya adalah cakalang (oppo) dan bolu (bandeng).
Masyarakat setempat juga biasa membuat sambal yang
dibuat dari cabai, tomat, garam dan vetsin sebagai penambah
selera. Umumnya sayur tidak dikonsumsi setiap hari oleh
masyarakat karena masyarakat hanya dapat membeli sayur
ketika pergi ke pasar di Lasusua atau Lambai. Dahulu saat ikan
masih mudah didapatkan (dengan bom ikan), banyak warga yang
pergi ke pasar setiap hari sehingga warga sering mengonsumsi
sayur. Pada hari Senin, Rabu dan Jumat warga bisa pergi ke pasar
di Lasusua, sementara untuk hari Selasa, Kamis dan Minggu
warga bisa pergi ke Pasar Lambai. Saat ini tidak banyak lagi hasil
tangkapan ikan, tidak banyak pula ibu yang pergi ke pasar untuk
menjual ikan setiap hari. Buah menjadi sumber makanan yang
jarang dikonsumsi di Sulaho.
2.5.4. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan
Pos obat dahulu difungsikan sebagai upaya pertolongan
pertama yang didirikan oleh Depsos selama lima tahun saat
dilakukan pembinaan terhadap Etnik masyarakat terasing.
Penanggung jawab diberikan pelatihan terlebih dahulu sebagai
petugas kesehatan. Obat disediakan oleh Dinas Kesehatan.
Menurut penanggung jawab pos obat tersebut, sakit yang biasa
dikeluhkan masyarakat dahulu adalah sakit kepala, mencret dan
sakit perut. Dalam perkembangannya, muncul Bakesra pada
tahun 2008.
Masyarakat mengakui senang dengan adanya Bakesra
ketika pertama kali dibangun. Petugas kesehatan (bidan desa)
tinggal selama 2-3 hari setiap minggunya. Sebagian masyarakat
yang sudah familiar dengan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan
biasanya akan datang ke Bakesra segera setelah mengetahui
92

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

petugas kesehatan datang. Setiap 3 bulan dilakukan kegiatan


Posyandu dan pengobatan umum oleh Puskesmas. Tidak banyak
yang datang ke Bakesra ketika ada tenaga kesehatan yang
datang. Pemeriksaan terhadap ibu hamil dan imunisasi seringkali
dilakukan petugas kesehatan dengan berkunjung dari rumah ke
rumah.
2.6. Bahasa
Bahasa dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh
masyarakat adalah bahasa Bugis. Sebagian diantaranya
menggunakan bahasa Bugis dengan campuran bahasa Luwu, atau
bahasa Bugis dengan campuran bahasa Indonesia. Hal ini
dipengaruhi oleh sebagian pendatang Bugis yang menikah
dengan orang lokal berasal dari Palopo dan sekitarnya yang
kental dengan dialek Luwu. Salah satu faktor penggunaan bahasa
Bugis tersebut adalah pengaruh interaksi dengan orang Bugis di
pasar atau orang dari luar Sulaho yang umumnya menggunakan
bahasa Bugis. Bahasa Bajo kurang dipahami oleh orang sekitar
tempat tinggal yang menggunakan bahasa Bugis. Anak-anak dan
remaja tidak ada lagi yang menggunakan bahasa Bajo. Bahasa
daerah sebagai pelajaran muatan lokal dahulu yang diajarkan
adalah Tolaki. Kemudian dalam perkembangannya bahasa daerah
ini tidak lagi menjadi bahan ajar di Sulaho, tetapi diganti dengan
bahasa Inggris.
Bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari
adalah bahasa Bugis bercampur dengan bahasa Indonesia.
Banyak alasan yang diungkapkan oleh masyarakat berkaitan
dengan penggunaan bahasa tersebut. Bahasa Bugis tersebut
diakui telah lama digunakan sejak pertama kali mereka tinggal di
desa Sulaho karena sejak dahulu mereka telah hidup
berdampingan dengan Etnik Bugis. Tim peneliti seringkali

93

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

mendengar obrolan sesama orang tua yang menggunakan


bahasa Bajo. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Bajo di Sulaho
belum punah karena masih ada orang tua yang menggunakan
bahasa tersebut.
2.7. Kesenian
2.7.1. Lagu Pengantar Tidur Anak
Banyak orang tua yang mengaku dahulu menyanyikan lagu
ketika hendak menidurkan anaknya atau sekedar bernyanyi dan
mengusap-usap anaknya agar segera tertidur dengan nyaman.
Salah satu lagu yang sering disebut oleh orang-orang generasi tua
di desa ini adalah sebuah lagu berjudul Yabelale yang
merupakan lagu berbahasa Bugis. Meski mengetahui judulnya
tidak semua orang dapat menyanyikan lagu tersebut dengan
sempurna/utuh. Banyak ibu muda yang tidak mengenal lagu ini
ketika ditanya. Lirik lagu tersebut adalah sebagai berikut:
Yabelale
Cakkaruddu atinronu (mata yang mengantuk,
tertidurlah)
Cakkaruddu atinronu (mata yang mengantuk,
tertidurlah)
Matinro tudang ammo (jangan hanya tertidur dalam
duduk)
Allae nasala nippimu (sampai tidurmu sekedar saja)
Nippi mage mumalewe (mimpi, mengapa kau datang
berulang kali)
Rewego makkawaru (kembalilah bersemayam)
Alla toddongiku peddi (payungi semua kesedihan)
Peddi
tegana
mutaru
(sedih,
dimana
kau
menempatkanku)
Peddi
tegana
mutaru
(sedih,
dimana
kau
menempatkanku)

94

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Tegani mupallinrung (dimana aku harus berlindung)


Alla to massalleanno (agar aku bisa merasa aman
berjalan)
Lolangno
musalleanggi
(keberpura-puraanmu,
tinggalkanlah)
Lolangno
musalleanggi
(keberpura-puraanmu,
tinggalkanlah)
Sarai ri atimmu (resahi didalam hatimu)
Alla aja mumadoko (jangan sampai membuatmu sakit)
Madoko dokoni laoe (sakit perlahan lahan menghampiri)
Makkale rojong rojong (sakit yang membuat rasa
hampa)
Alla toriwelaie (pada orang yang ditinggalkan)
Toriwelaimu gare gare (orang yang kau tinggalkan
katanya)
Tudang ritengga lao (kini terduduk di tengah jalan)
Alla to mappaseng nateri (mengirimimu pesan sambil
menangis)
To ripaseng tea mette (orang yang dikirimi pesan tidak
mau menjawab)
To napolei paseng (tidak mau bertanya)
Alla tea makkutana (orang yang padanya pesan sampai)
Pekkogana makkutana (orang yang padanya pesan
sampai)
Rilalenga mutama (tidak mau bertanya)
Alla napole pasangta (ketika pesanmu datang)
Cakkaruddu atinronu (mata yang mengantuk,
tertidurlah)
Cakkaruddu atinronu (mata yang mengantuk, teridurlah)
Matinro tudang ammo (jangan hanya tertidur dalam
duduk)
Allae nasala nippimu (sampai tidurmu sekedar saja)

95

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

2.7.2 Menari Lulo


Pada setiap acara pernikahan, biasa dilakukan tarian Lulo.
Selain acara pernikahan, tari tersebut juga dilakukan setiap ada
alunan musik di Sulaho, seperti acara tahun baru. Tari Lulo
sebenarnya merupakan tarian Etnik Tolaki yang biasanya
dilakukan dalam acara hajatan seperti perkawinan. Pada tahun
2010 merupakan awal dermaga dibangun di Sulaho, maka banyak
remaja yang menari Lulo (malulo) di atas dermaga. Cara
melakukan tarian Lulo cukup sederhana karena gerakan yang
dilakukan tidak variatif.

Gambar 2. 22.
Menari Lulo
Sumber: http://www.beritakendari.com/lulo-tari-keakraban-masyarakatsulawesi-tenggara.html

Penari Lulo tidak terbatas pada jumlah. Penari saling


bergandeng tangan dan biasanya tangan anak perempuan berada
pada posisi atas jika harus bergandeng tangan dengan seorang
laki-laki. Menari dengan bergerak ke arah kanan sebanyak dua

96

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

langkah, lalu bergeser ke kiri sebanyak dua langkah juga dengan


gerakan gemulai, tangan dan kaki dimainkan sesuai dengan irama
musik. Menurut salah seorang informan, Rh (56 tahun) tari Lulo
ini memiliki filosofi persahabatan.
2.7.3. Ula-ula (Bendera)
Etnik Bajo memiliki adat yang sangat kental dalam acara
perkawinan yaitu dengan cara menaikkan bendera yang disebut
Ula-ula. Salah satu pesta pernikahan di Sulaho yang
menggunakan Ula-ula adalah Pak Ny (52 tahun) dan Ibu Ec (41
tahun). Masa selanjutnya tak pernah lagi dijumpai Ula-ula dalam
proses adat perkawinan. Ula-ula berbentuk boneka menyerupai
manusia yang terdiri atas 2 macam warna, yaitu merah sebagai
penggambaran sosok laki-laki dan hitam sebagai penggambaran
sosok perempuan. Ula-ula dilengkapi dengan accessories anting
yang terbuat dari kain yang dipasang pada kedua telinga Ula-ula
tersebut. Bagian muka dilengkapi dengan guratan mata, hidung
dan mulut dengan tinta. Kaki Ula-ula hanya memiliki satu kaki
saja.
Ula-ula berwarna merah dipasang tepat di depan rumah,
sementara Ula-ula berwarna hitam dipasang di belakang rumah
satu garis lurus dengan Ula-ula berwarna merah yang dipasang.
Panjang tiang penarik sekitar 7 meter untuk Ula-ula merah dan 5
meter untuk Ula-ula berwarna hitam. Di tengah rumah, satu garis
lurus dengan Ula-ula merah dan hitam dipasang bendera merah
putih. Etnik Bajo di Desa Sulaho ini sudah tidak lagi menggunakan
tradisi tersebut. Kini pesta perkawinan umumnya diramaikan
dengan organ tunggal atau disebut dengan electon yang
didatangkan dari Kecamatan Lambai atau Lasusua. Penggunaan
Ula-ula ini tidak bisa digunakan oleh sembarang orang. Mereka
yang berhak menggunakan Ula-ula dalam pesta pernikahan

97

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

adalah yang masih memiliki keturunan Arung atau biasa disebut


pula dengan Lolo Bajo yang merupakan bangsawan Etnik Bajo.
Ula-ula ini merupakan benda pusaka Etnik Bajo yang disimpan
dan dirawat secara turun temurun dan digunakan dalam pesta
pernikahan. Penarikan Ula-ula dilakukan seperti halnya menarik
bendera merah putih diiringi dengan orang yang memainkan
gendang dan sepasang penari lelaki dan perempuan.
Menurut cerita, gerakan tari yang dilakukan oleh penari
tersebut bukan keinginan dari penari tersebut tetapi keinginan
mahkluk halus yang merasuki tubuh penari. Tarian yang
dilakukan biasanya menjadi tarian yang apik dan luwes untuk
dilihat. Dalam proses pemasangan hingga selesainya proses
penarikan Ula-ula, orang-orang yang terlibat adalah orang
pintar yang biasanya mengerjakan kegiatan serupa.
Ula-ula biasanya dipasang selama 3 hari selama masa
pagelaran pesta perkawinan. Tidak ada lagi orang tua di Sulaho
yang pintar dalam mengerjakan hal demikian. Menurut
kepercayaan, jika terdapat kesalahan dalam penyelenggaraan
pemasangan Ula-ula, maka dapat menimbulkan terjadinya
kesakitan karena kerasukan yang dalam istilah setempat disebut
dengan ampamparangeng atau bahkan dapat menimbulkan
kematian.
2.8. Mata Pencaharian
Etnik Bajo umumnya menetap di daerah pesisir laut karena
mata pencaharian mereka sebagai nelayan. Ada larangan
penggunaan bom ikan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Kabupaten setempat. Etnik Bajo mengakui memanfaatkan bom
ikan untuk mencari ikan. Nelayan mengatur strategi untuk
memperoleh ikan banyak dengan mengebom tanpa diketahui
oleh pihak berwajib. Per tanggal 1 April 2014, seorang warga
ditangkap oleh pihak kepolisian karena kasus penggunaan bom
98

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

ikan. Kasus masih bergulir ketika tim peneliti meninggalkan lokasi


penelitian.
Sebelum kejadian tersebut pemerintah Kabupaten Kolaka
Utara telah memberikan peringatan terkait larangan untuk
menggunakan bom dalam menangkap ikan karena dampaknya
terhadap kerusakan karang laut. Kini, penangkapan ikan sebagai
mata pencaharian utama cenderung menjadi stagnan. Kegiatan
penangkapan ikan secara manual, seperti menjaring atau
memancing dirasakan tidak dapat memberikan hasil yang baik.
Kini lebih banyak warga yang mencari teripang.
Kegiatan melaut biasanya dilakukan sendiri maupun
bersama-sama/berkelompok. Hasil tangkapan ikan sangat variatif
seperti ikan kacalang (oppo), ekor kuning, putih, sunu dan
berbagai jenis ikan tangkapan lainnya. Selain ikan, masyarakat
juga mencari teripang. Mereka dikenal sebagai penyelam ulung,
tahan berjam-jam di kedalaman air 10-20 meter untuk berburu
ikan dengan tombaknya yang berkait. Mereka juga mencari
kerang mutiara, rumput laut, teripang atau sirip ikan hiu yang
harganya cukup bagus (Z. Hidayah, 1997). Teripang biasanya
diperoleh di karang-karang tak jauh dari pantai Desa Sulaho
sampai di wilayah perairan Kolaka.
Jenis teripang yang diperoleh beraneka ragam. Pertama,
teripang game. Teripang jenis ini berbentuk panjang, berwarna
gelap, kulit keras dan memiliki tekstur tubuh yang berduri dan
teripang jenis ini relatif mahal yaitu sekitar 100.000,-/kg. Kedua,
teripang jenis polos, merupakan teripang dengan warna terang
dan kulit luar cenderung lembek. Jenis teripang ini biasanya
didapat sekitar 3 bulan sebelum datangnya angin barat yang
berlangsung selama 6 bulan dan akan dapat diperoleh lagi
setelah angin barat tersebut berakhir, yaitu sekitar bulan April
sampai dengan Juni. Teripang jenis ini merupakan teripang yang
murah dengan harga di bawah Rp. 100.000,-/kg. Ketiga adalah

99

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

teripang koro. Teripang jenis ini memiliki bentuk oval dan tekstur
tubuh memiliki benjolan teratur. Teripang jenis ini merupakan
teripang paling mahal, yaitu mencapai Rp. 400.000,- per kg atau
Rp. 100.000,- per buah.
Pencari teripang yang beruntung dapat memperoleh
sekitar 50 ekor dalam 1 malam, sementara jika sedang tidak
beruntung maka hanya diperoleh sekitar 10 ekor saja. Terdapat
dua pengepul teripang kering di desa ini yang selanjutnya dijual
langsung ke Kolaka, Kendari atau Makassar. Kegiatan mencari
ikan tidak lagi dapat dengan mudah dilakukan di daerah pantai
Sulaho dikarenakan terdapat pencemaran lingkungan oleh
beberapa perusahaan Tambang yang ada di Sulaho , tepatnya di
balik pegunungan Sulaho yang berhadapan dengan dusun 4 atau
Lanipa-nipa. Kini perusahaan tambang telah berhenti beroperasi
sejak 5 bulan yang lalu (bulan Februari).
Kini sebagian besar warga Desa Sulaho dalam
kesehariannya bekerja mencari teripang. Kegiatan melaut pada
umumnya dilakukan oleh laki-laki dewasa, beberapa diantaranya
mengajak pula anak usia sekolah sekitar umur 10 tahun lebih.
Sementara sebagian besar ibu menjadi penjual ikan (mapalele).
Mereka membeli ikan dari nelayan setempat dan kemudian
menjualnya kepada langganan di Lasusua atau Lambai atau
dijajakan secara langsung kepada konsumen.
Menurut cerita dahulu, anak-anak memiliki kebiasaan
mengambil beberapa ekor ikan dari setiap perahu yang datang
membawa ikan dan menjualnya kepada pembeli, yang disebut
dengan kegiatan matila. Kegiatan matila ini merupakan sebuah
kegiatan yang dipercaya sebagai bentuk pengeluaran zakat oleh
pemilik ikan.
Sebut saja keluarga ibu Rs (43 tahun) dan Pak Dm (46
tahun), keluarga dengan jumlah anak yang relatif banyak yaitu 11
anak. Dua diantara anaknya telah berumah tangga dan satu anak

100

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

lelakinya tinggal bersama saudaranya di Kalimantan. Jika satu


anak laki-laki dan anak kembar perempuannya tidak meninggal
ketika masih usia SD, maka ia memiliki 14 anak. Pak Dm dan Ibu
RS memiliki lahan seluas 1 Ha yang ditanami jambu mete, akan
tetapi mereka pernah panen dikarenakan sulit untuk mencapai
lokasi kebun yang berada di daerah pegunungan. Pak Dm
mengaku mencari rejeki dengan cara memancing
menggunakan kail. Pak Dm dan keluarganya takut menggunakan
bom ikan (pangada) seperti yang digunakan oleh sebagian orang
di Sulaho.
Ibu Rs mengalami trauma dengan kejadian tragis yang
menimpa adiknya yaitu meninggal karena terkena bom ikan. Ia
hanyut dalam cerita sedih, matanya berkaca-kaca dan
meneteskan air mata ketika menceritakan kehidupannya dahulu
saat harus tinggal dalam sebuah rumah reot, bocor bila hujan,
dan bangunan rumah sudah hampir roboh. Saat itu anak-anaknya
masih kecil dengan jarak kelahiran dekat, sementara penghasilan
setiap hari tak seberapa, bahkan kadang-kadang tidak
memperoleh hasil tangkapan.
Keluarga ini memiliki satu perahu jolor yang biasa
digunakan untuk mencari nafkah dengan mencari ikan. Perahu
bekas tersebut dibeli seharga Rp. 7.500.000,- dari orang Sulaho,
karena harga perahu baru cukup mahal yaitu sekitar Rp.
20.000.000,- lebih, sehingga merasa tidak mampu untuk
membelinya. Pak Dm biasa dibantu oleh salah satu anaknya
untuk melaut. Tiga anak yang lain Ha (28 tahun), Hi (27 tahun),
Rd (26 tahun) biasanya bekerja bersama dengan orang lain,
kecuali anaknya Aj (29 tahun) yang badannya lemah dan tidak
bisa bekerja berat sejak pulang dari bekerja di perkebunan kelapa
sawit Malaysia.
Sementara Ja (8 tahun), salah satu anaknya terbiasa ikut
ke laut jika hari libur sekolah, Ro (12 tahun), tidak pernah ikut ke

101

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

laut karena sering mabuk laut dan Sa (7 tahun), satu-satunya


anak perempuan biasanya tinggal di rumah. Ro (12 tahun)
merupakan pengecualian dibanding anak seusianya di Sulaho
yang telah ikut pergi orang tua atau saudaranya melaut. Mereka
harus menahan terik matahari, menantang kerasnya ombak,
merasakan berada di tengah lautan lepas dan akhirnya menjadi
sebuah daya tarik dan menggantungkan seragam dan tas sekolah
begitu saja.
Ibu Rs mengaku pendapatan yang diperoleh setiap hari
tidak seberapa. Ketiga anaknya Ha (28 tahun), Hi (27 tahun) dan
Rd (26 tahun) yang tidak tamat SD sering membantu ekonomi
keluarga. Sejak meninggalkan bangku sekolah, sejak itu pulalah
mereka berperan menopang ekonomi keluarga. Mereka lebih
suka mencari uang daripada duduk mengikuti pelajaran sekolah.
Belajar dan bermain di sekolah rupanya bukan lagi menjadi
kegiatan yang menarik untuk mereka.
Saat ini ikan yang diperoleh Pak Dm dan Ibu Rs hanya
cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari saja karena tidak
banyak yang diperoleh, kalaupun memperoleh tangkapan
beberapa ekor lebih banyak, ikan tersebut dijual untuk membeli
kebutuhan sehari-hari. Biasanya dapat menjual ikan hasil
memancing sebesar Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 50.000,sebanyak dua kali dalam seminggu, selain menjual teripang
setiap minggunya sekitar Rp. 200.000,-. Penghasilan Ha dan Hi
sekitar Rp. 200.000 per bulan, sementara Rd sekitar 120.000 per
bulan karena tidak setiap hari mereka turun melaut. Jika musim
ikan tiba sekitar bulan September sampai dengan Februari,
maka pendapatan yang diperoleh biasanya lebih banyak yaitu
berkisar antara Rp.300.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- yang
diperoleh dua kali seminggu tergantung jenis dan kualitas ikan.
Kebutuhan bahan makanan cukup besar yaitu biasanya
sekitar Rp. 700.000,- per bulan karena anak Pak Dm dan Ibu Rs

102

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

yang cukup banyak. Makanan yang dimaksud diantaranya adalah


beras, sayur, gula, kopi, teh dsb. Sementara untuk keperluan
membeli obat di warung sebesar Rp. 50.000,-. Jika terdapat
sebuah hajatan di kampung dan harus memberikan sumbangan,
maka dibutuhkan uang sebesar Rp. 50.000,- akan tetapi jika
keluarga atau kerabat dekat maka sumbangan yang diberikan
biasanya lebih besar yaitu berupa sekarung beras. Pengeluaran
jenis ini memang diakuinya sebagai kebutuhan insidental.
Kebutuhan sabun cuci dan kebutuhan sejenis sebesar Rp.
300.000,- setiap bulannya. Sisa penghasilan digunakan untuk
kebutuhan seperti rokok dan kebutuhan yang bersifat mendadak.
Uang untuk ditabung sangat sedikit, biasa tersisa uang sekitar Rp.
20.000,- selama, disimpan dalam lemari. Pendapatan dan
pengeluaran keluarga pak Dm saat hari biasa/tidak musim ikan,
sebagai berikut:
Tabel 2. 4 Pendapatan Keluarga Pak Dm
Keterangan
Pendapatan
Bahan bakar minyak
Pengeluaran:
Makanan
Sekolah/ Jajan
Sabun
Obat-obatan
Dana sosial
Tabungan
Sisa pendapatan

Jumlah
Rp. 1.720.000,Rp. 320.000,Rp. 1.070.000,Rp. 700.000,Rp. 180.000,Rp. 300.000,Rp. 50.000,Rp. 50.000,Rp. 20.000,Rp. 150.000,-

Sumber: Data Primer

Berbeda dengan Pak Dm, yang bekerja bersama anggota


keluarga,nelayan di Sulaho yang menggunakan bom ikan bekerja
sama dengan nelayan lain (anggota) untuk menangkap ikan.
Biasanya seorang bos yang perahunya digunakan menanggung

103

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

semua bahan makanan dan perlengkapan lain yang harus dibawa


saat melaut.
Bahan makanan terdiri atas beras, garam, gula, susu,
asam, rokok dan bahan lain yang diperlukan sesuai kebutuhan,
sementara bahan atau perlengkapan penangkapan ikan
(pengeboman) adalah pupuk kelapa sawit, minyak tanah, sumbu
(dopis) dan botol/jerigen. Satu kelompok terdiri atas 3-4 orang.
Dalam waktu dua hari, biasanya satu kelompok pengebom ikan
dapat memperoleh ikan sebanyak empat gabus, yang dihargai
sebesar Rp. 800.000,- s.d Rp. 1.000.000,-, tergantung jenis ikan
yang diperoleh. Jika ikan putih mendominasi isi gabus, maka satu
gabus bisa dibeli oleh palele sebesar Rp. 1.000.000,-. Sebagai
gambaran, pendapatan yang diperoleh salah satu kelompok
nelayan yang menggunakan bom ikan sekali melaut sebagai
berikut:

Gambar 2. 23.
Pendapatan Nelayan Menggunakan Bom Ikan
Sumber: Data Penelitian Tahun 2014

2.9. Teknologi dan Peralatan


Perahu menjadi alat transportasi utama di desa ini. Jenis
perahu yang biasa dipergunakan adalah yang disebut jolor. Jenis

104

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

perahu ini belum lama digunakan, yaitu sejak sekitar 3 tahun


yang lalu. Perahu sebelumnya yang umum digunakan adalah
jarangkah/bingkak dengan ciri khas adanya sayap yang terbuat
dari kayu atau bambu atau pipa pralon yang berfungsi sebagai
penyeimbang perahu. Perahu jarangkah/bingkak seringkali
disebut juga dengan katinting, meskipun katinting sebenarnya
merupakan sebutan untuk mesin diesel. Jolor adalah jenis perahu
yang tidak menggunakan sayap pada kedua sisi perahu. Ukuran
perahu jenis jolor maupun jarangkah/bingkak paling besar
berukuran 12 x 2 m dan paling kecil adalah sekitar 9 x 1 m.
Selain itu, jarangkah/bingkak ada yang berukuran lebih kecil yaitu
sekitar 5 x 1 m. Ukuran perahu tergantung dari kebutuhan
penggunaan. Perahu besar digunakan untuk memuat barangbarang dari pasar, untuk mencari ikan di laut yang relatif dalam.
Perahu untuk memancing di lokasi yang tidak jauh
memanfaatkan perahu berukuran kecil.
Jolor lebih unggul, perahu yang tidak bersayap ini, cukup
gagah menghadapi ombak karena tidak bisa terbalik dan tidak
mudah tenggelam, sementara jarangkah/bingkak mudah terbalik
jika sayap perahu terlepas terutama jika angin dan ombak besar.
Sayap jarangkah/bingkak dahulunya terbuat dari bambu dan
dalam perkembangannya dibuat dari kayu dan pipa paralon.
Kekuatan perahu juga berbeda-beda dipertimbangkan dengan
beban yang dibawa oleh perahu dan besar kecilnya perahu, yaitu
dengan menggunakan mesin diesel mulai dari 28 PK hingga 56 PK
sebagai tenaga penggerak perahu. Semakin besar perahu maka
digunakan mesin diesel dengan kapasitas yang lebih besar. Ada
perahu-perahu kecil berukuran sekitar 2 x 80 cm yang disebut
dengan sampan dan biasanya digunakan untuk memancing tidak
jauh dari pantai.
Perahu biasanya dibuat dari kayu jenis ponto. Salah
satunya adalah ponto kandole yang merupakan kayu yang dinilai

105

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

tahan terhadap air. Perahu yang dimiliki pada umumnya dibuat


dengan menyiapkan bahan sendiri yaitu membeli kayu dari
tukang kayu (pa senso) dengan mengambil kayu di pegunungan
Sulaho dan untuk membuat perahu menyewa tukang. Kayu yang
dibutuhkan untuk membuat perahu dengan ukuran 12 m adalah
Rp. 4.000.000,- s.d Rp. 5.000.000,-/kubik, sementara kayu yang
dibutuhkan sekitar 2 kubik (kayu besar); sewa tukang sekitar Rp.
5.000.000,- belum termasuk bahan keperluan pembuatan perahu
selain kayu dan biaya makan pembuat perahu. Ada beberapa
orang yang pandai membuat perahu di Sulaho, meski demikian
perahu juga bisa dibeli di Lambai atau Lasusua dengan kisaran
harga Rp. 20.000.000,- ke atas.

Gambar 2. 24.
Perahu Jolor, Jarangkah dan Sampan
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Alat transportasi pedesaan yang digunakan oleh warga


adalah sepeda motor dan sepeda. Tidak banyak warga yang
memiliki sepeda motor. Umumnya warga berjalan kaki untuk
berinteraksi dengan warga lain, karena desa Sulaho tidak terlalu
luas sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki tanpa merasa
lelah.
Peralatan yang biasa digunakan untuk menangkap ikan
oleh warga diantaranya adalah bom ikan, bubu (perangkap ikan),
jaring dan rompong (sebuah rumah gubug yang di bawahnya
terdapat perangkap ikan). Peralatan lain yang digunakan dalam
mendukung mata pencaharian sehari-hari untuk menangkap
teripang adalah dagor yang disambungkan pada selang dan

106

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kompresor sebagai alat bantu pernafasan, dipakai secara


bergantian ketika nelayan menyelam.
Pada masa lalu terdapat kakus jenis cemplung bantuan
Depsos bersamaan dengan pembanguan rumah. Pada
perkembangannya, Pemerintah kabupaten Kolaka Utara
memberi bantuan berupa pembagian kloset sementara biaya
pembangunan menjadi tanggung jawab setiap RT. Kegiatan ini
tidak berjalan dengan baik karena tidak semua RT mau
memasang kloset dengan alasan tidak memiliki biaya selain
kemudahan buang air besar di pantai. Pada tahun 2013 dibangun
kakus umum yang berada di sebelah barat desa, tepat di sebelah
masjid dan kakus lainnya dibangun di tengah pemukiman warga.
2.9.1. Cerita Memasak hingga Makan
Kegiatan memasak dilakukan dengan menggunakan
kompor gas, tungku kayu atau menggunakan keduanya. Wadah
tungku seperti layaknya meja, biasanya dibuat dari kayu,
sementara mulut tungku dibuat dari batu, rangka besi atau
semen. Jenis peralatan masak yang digunakan bervariasi berupa
panci-panci dengan bahan stainless, peralatan dari bahan plastik
seperti gelas, mangkok, dan wadah-wadah yang juga biasa
dipakai untuk mencuci sayur atau melakukan kegiatan lain dalam
proses memasak. Kegiatan memasak bisa dikatakan melalui
proses yang relatif sederhana.
Makanan sehari-hari masyarakat adalah nasi dengan menu
pelengkap ikan, umumnya dimasak dengan kuah, dibakar dengan
kayu atau digoreng. Banyak jenis ikan yang dikonsumsi
masyarakat tergantung hasil yang diperoleh ketika memancing
atau sembari mencari teripang. Ikan seperti kacalang atau dalam
bahasa setempat disebut oppo relatif lebih mudah didapatkan
daripada ikan lainnya. Lauk selain ikan dan telor, seperti daging
atau ayam hampir tidak pernah tim peneliti jumpai.
107

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2. 25
Wadah Tungku, Mulut Tungku dengan Batu dan
Mulut Tungku dengan Rangka Besi
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Makanan pokok adalah nasi, namun ada makanan


pengganti nasi seperti kapurung dan sinole yang terbuat dari
tepung sagu. Kapurung dan sinole ada yang menganggap sebagai
pendamping nasi sehingga dimakan bersamaan. Setiap RT tidak
memiliki jadwal makan rutin. Tim peneliti menemukan bahwa
banyak keluarga memiliki kebiasaan tidak makan pada pagi hari.
Sebut saja keluarga Pak Dr (25 tahun) bersama istrinya Rn (19
tahun). Pak Dr mengaku terbiasa sarapan pagi ketika masih
bujang dan tinggal bersama orang tuanya, bahkan jam 06.30
WITA biasanya sudah makan. Pola makan secara drastis berubah
ketika menikah. Istri memiliki kebiasaan tidak sarapan sehingga
tidak pernah memasak pagi hari.

Gambar 2. 26.
Membakar Ikan di
Luar Rumah
Sumber: Dokumentasi
Penelitian Tahun 2014

108

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Pernah suatu hari tim peneliti berkunjung, pagi itu Pak Dr


(25 tahun) mengambil dua buah pisang dari rumah orang tuanya
yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Ia mengiris buah pisang
menjadi potongan kecil dan menggorengnya lalu dimakan
bersama istri dan anaknya. Saat merasa tidak dapat menahan
rasa lapar atau berkeinginan untuk sarapan maka akan pergi ke
rumah orang tua, sekalipun terkadang hanya makan nasi
dicampur gula pasir. Pak Dr (25 tahun) bercerita bahwa pagi hari
isteri dan kedua anaknya, Dn (4 tahun) dan Hl (3 tahun) makan mi
rebus instan yang dikonsumsi dalam keadaan kering tanpa
dimasak terlebih dahulu. Pak Dr (25 tahun) bercerita bahwa
isterinya sangat menyukai jenis makanan tersebut. Mi instan
tanpa diolah tersebut cukup sebagai pengganti makanan bila
tidak memasak nasi.
Tim peneliti mengunjungi rumah lain dengan kebiasaan
yang sama. Rumah berukuran 7x5 m pada rumah induk dan
bangunan tambahan berupa dapur, kamar mandi dan kakus,
berukuran sekitar 2x5 m dihuni oleh 13 orang. Pak Th dan ke
tujuh anaknya, Ibu Sh (30 tahun) mantan isteri, juga tinggal di
rumah ini dengan 2 anak dari suami kedua. Ia tinggal di rumah
tersebut semenjak suami pergi merantau ke Jakarta beberapa
bulan lalu, selain ia adalah sepupu satu kali Pak Th. Adik ibu Sh
serta kedua anaknya yang masih kecil juga tinggal di rumah itu
terutama malam hari karena suaminya bekerja di Malaysia.
Suatu hari, sekitar jam 11.00 WITA, sebagian besar
anggota rumah tangga ini belum makan. Pagi sebelumnya Wt (17
tahun) telah menggoreng nasi sisa semalam dengan
menambahkan bumbu nasi goreng instan, dan 5 orang anak yang
lebih kecil darinya memakan nasi goreng tersebut. Tim peneliti
dapati ibu Sh di tengah jalan kampung hendak meminta air ke
seorang sanro kampong sekaligus mengambil dua ekor ikan
berukuran cukup besar dan membawa sekantong plastik jajanan,

109

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

yang dikirim saudaranya dari Desa Lawata. Ikan pun dibersihkan


oleh anak perempuan tertua. Ibu Nh (28 tahun) tengah memasak
nasi.
Api di tungku menyala-menyala dan dengan cepat
membakar setiap bagian kayu. Ikan diletakkan dalam panci,
namun tak ada garam dan asam sebagai rempah utama untuk
memasak ikan. Wt (17 tahun) pergi ke warung membeli garam,
sementara tak lama ibu muncul dengan membawa segenggam
asam yang diminta dari rumah sebelah. Ikan, asam, garam dan
vetsin dimasukkan dalam panci ditambah air dan diletakkan di
atas mulut tungku. Anak sulung Pak Th (69 tahun) pulang, Ibu Nh
(28 tahun) membuatkan satu teko kopi manis, lalu menyuruh
anak itu untuk membawanya ke pinggir laut tempat Pak Th dan
adiknya tengah memperbaiki perahu. Tak ada makanan yang
dibawa serta, hanya dua gelas kaca yang menjadi teman teko itu.
Ibu Sh (30 tahun) menyatakan bahwa jika tidak memiliki
lauk maka biasanya memasak nasi dengan menambahkan bumbu
penyedap seperti masako sehingga nasi memiliki rasa gurih dan
dapat ditambahkan air pada saat dimakan. Sayur tidak lagi
menjadi menu yang dapat diperoleh dengan mudah bagi keluarga
ini. Meskipun setiap hari adalah hari pasar, kecuali pada hari
sabtu, tetapi keluarga ini mengaku tidak dapat pergi ke pasar
sekedar untuk membeli sayur karena tidak ada uang. Dahulu
ketika penggunaan bom ikan masih bisa dilakukan, ada
pendapatan lebih sehingga mampu membeli sayur meski tidak
setiap hari. Tepat pukul 12.30 WITA, makanan disiapkan di lantai
dapur, satu ceting nasi, satu wadah ikan berkuah dan piring
ditata mengelilingi nasi dan lauk.
Pak Th dan kedua anak lelakinya pulang. Pak Th (69 tahun)
dan anak-anaknya: Wt (17 tahun), Sr (6 tahun), St (19 tahun), Sm
(18 tahun) serta ibu Nh (28 tahun) dan kedua anaknya makan di
lantai dapur. Sementara dua anak pak Th yang lain tidak terlihat.

110

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Ibu Sh (30 tahun) tidak makan nasi bersama mereka karena


merasa tidak enak badan dan tidak bisa makan dengan baik
sehingga hanya mengonsumsi kopi. Anak yang tak ada di rumah
tidak dicari untuk diajak makan.
Orang di Sulaho, termasuk anak-anak umumnya memiliki
kebiasaan untuk tidak makan pagi. Ibu-ibu biasanya mulai
memasak setelah matahari terbit, antara pukul 07.00-11.00 WITA
untuk makan siang. Anak yang sudah bermain sendiri dengan
teman-temannya tidak menjadi prioritas untuk mendapatkan
jatah makan. Anak biasanya bermain setelah bangun tidur dan
orang tua tidak menghiraukan anak-anaknya yang sedang
bermain. Anak biasanya pulang ke rumah dengan sendirinya dan
ketika merasa lapar mereka akan meminta makan kepada orang
tua. Sementara anak-anak balita mengikuti jadwal dan menu
makan ibu. Sebut saja HI yang masih berusia 3 tahun, terbiasa
memakan mi instan sesuai kegemaran ibunya sewaktu-waktu dan
kadang kala tanpa diolah.
Terdapat minuman yang biasa dibuat dari air kelapa dan
daging buah kelapa ditambahkan sirup, remahan roti dan es,
menjadi minuman yang disebut simbole. Tidak setiap keluarga
dapat mengonsumsi sayur setiap hari karena tidak setiap hari
pergi ke pasar. Sayur yang biasa dikonsumsi warga diantaranya
adalah kubis, terong, sawi, daun kelor, kacang panjang, bayam,
labu, daun katuk, daun kacang, kangkung dan daun pakis.
Umumnya sayur dimasak dengan kuah atau dibuat lawak, yaitu
sayur yang direbus dicampur dengan parutan kelapa yang
disangrai, cabai, bawang putih dan perasan jeruk nipis.
Anak-anak memiliki kebiasaan jajan bermacam kudapan
(snack) di warung desa. Hal ini sebagai salah satu dampak matila
yang dahulu menjadi budaya di Sulaho ketika bom ikan masih
digunakan. Seorang anak bisa memegang uang jajan sebesar Rp.
20.000,- sampai dengan Rp. 50.000,- dari hasil menjual ikan yang

111

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

diambil secara gratis dari nelayan. Salah satu makanan yang


menjadi favorit anak-anak, termasuk anak balita adalah mi instan
yang biasanya diremas, dicampur bumbu dan dimakan mentah.
Cara lain adalah dengan kuah berupa mi siram (mi instan di siram
begitu saja dengan air panas). Ada beberapa penjual mi siram di
desa ini. Tidak hanya anak-anak yang biasa membeli mi siram,
orang tua juga kerap terlihat memakan mi siram. Makanan
pabrikan menjadi makanan camilan favorit anak-anak sehari-hari.
Cacing laut biasanya dicari oleh orang dewasa maupun
anak-anak di desa Sulaho ketika laut surut. Mereka membawa
semacam parang atau benda tajam lain untuk menggali pasir
pantai di lautan yang surut. Cacing laut dipercaya menjadi obat
untuk penyakit tertentu, seperti obat sakit perut, obat sakit
pinggang dan penyakit kuning yang dapat dikonsumsi secara
mentah/dimasak dengan cara digoreng, ditumis atau dibakar
sesuai selera dan menjadi lauk untuk dimakan bersama dengan
nasi.

Gambar 2. 27.
Memakan Cacing Laut
Sumber: Dokumen
Penelitian 2014

112

BAB 3
POTRET KESEHATAN

3.1.

Budaya Kesehatan Ibu dan Anak

Perempuan memiliki peran reproduksi yang sangat vital


dalam menjaga kelangsungan kehidupan manusia. Peran
reproduksi ini berkorelasi dengan peran sosialnya, setiap remaja
perempuan akan mengalami menstruasi sebagai pertanda akil
balik lalu akan menjalani pernikahan menjadi istri, hamil,
melahirkan mengalami masa nifas dan menyusui serta
memelihara anak-anaknya. Peran reproduksi ini akan dilanjutkan
oleh anak perempuanya yang tumbuh menjadi remaja,
mengalami menstruasi, pernikahan, hamil, melahirkan, menyusui
dan menopause (masa berhentinya menstruasi) begitulah
seterusnya siklus kehidupan akan terus berlanjut.
3.1.1. Remaja usia 10 sampai 24 tahun
Menstruasi atau haid atau datang bulan adalah perubahan
fisiologis dalam tubuh wanita yang terjadi secara berkala dan
dipengaruhi oleh hormon reproduksi, periode ini penting dalam
fungsi reproduksi, menstruasi terjadi setiap bulan antara usia
remaja sampai berhentinya masa menstruasi (menopause).
Remaja perempuan Etnik bajo di Sulaho mengalami
menstruasi pertama kali saat usia 9 tahun hingga 13 tahun saat
mereka duduk di bangku SD/SMP. Seorang informan mengaku
telah mengetahui tentang menstruasi dan cara menghadapi
menstruasi pertamanya. Pengetahuan tersebut diketahui
113

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

informan dari ibu, bibi, saudara perempuan dan teman sebaya


yang menstruasi terlebih dahulu. Berikut penuturan informan:
Saya haid pertama kali waktu itu masih sekolah di SD
kelas 6, waktu pertama kali dapat, saya tau memang
bilang ini haid namanya, baru waktu saya tau saya pake
soffes (pembalut) supaya tidak tembus karena kalau
tembus maluki dia tau semua orang, untung saya tau
dari mamaku sama tante biasa juga saya liat kaka
dengan temanku yang lebih dulu haid. Waktu dikenaka
itu hari baru pulang sekolah, langsung mandi selesai
mandi eh ada keluar astaga, ternyata darah haidtapi
ada juga temanku si D anaknya mama S masih anak-anak
baru kelas 4 SD tapi sudah mulai haid, ketahuan haid
karena sementara pungut rumput disekolah diliat
tembus tidak pake soffes (pembalut) jadi tembus
dicelananya, saya bilang astaga haid ini anak, nda ganti
celananya, haidko to? Dia jawab Bilang ia haidka (Is,14
tahun)

Remaja Etnik Bajo mengetahui bahwa peristiwa


menstruasi yang dialami merupakan pertanda kedewasaan bagi
anak perempuan, dan memberi tahu orang tua saat pertama kali
mereka menstruasi. Biasanya orang tua khususnya ibu memberi
nasehat agar anak perempuan berhati-hati, tidak terjebak dalam
pergaulan bebas. Berikut ini penuturan informan Rn (14 tahun):
Waktu dapat haid biasa-biasa tidak ada dia bilang
mamaku anuji Cuma dia bilang, jaga dirimu baik-baik
karena kau sudah besar jangan terlalu sering bergaul
dengan laki-lakinanti hamil kalau sering bergaul
dengan laki-laki(Rina, 14 tahun)

Masyarakat Etnik Bajo di Sulaho juga beranggapan bahwa


remaja perempuan yang mengalami masa haid lebih dini yaitu
saat mereka masih berstatus siswa sekolah dasar (SD) dianggap

114

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dipicu oleh sikap genit yang dalam istilah masyarakat lokal di


sebut dengan istilah majija, karena mereka terlalu sering bergaul
dengan laki-laki sehingga memicu terjadinya menstruasi lebih
awal. Seperti lazimnya remaja perempuan yang mengalami
menstruasi, mereka mengalami rasa nyeri pada perut dan sakit
pada bagian pinggang tetapi mereka tidak mengonsumsi obat
penghilang nyeri yang biasanya di jual secara bebas. Rasa nyeri
tersebut dibiarkan saja sampai hilang dengan sendirinya. Mereka
sudah paham penggunaan pembalut sejak pertama kali
menstruasi.
Umumnya remaja laki-laki di Sulaho mengaku mengalami
mimpi basah dan sudah mengerti tentang mimpi basah seperti
informan Rd (17 tahun) yang mengaku mengalami mimpi basah
pada umur 10 tahun. Informan mengaku mimpi melakukan
hubungan seksual dengan teman sebaya berusia 10 tahun yang
merupakan pacar Rd. Pengalaman pertama mimpi basah awalnya
membuat bingung dan kaget karena dalam pemahaman Rd,
mimpi basah pada anak laki-laki usia 10 tahun terlalu dini. Lebih
jauh informan Rd mengaku saat hasrat seksual datang informan
membayangkan pacar dan menelpon pacarnya yang berada di
ibu kota kabupaten atau mengunjungi pacarnya tersebut untuk
melakukan ciuman dan pelukan namun berusaha untuk
mengontrol hasrat agar tidak melakukan hubungan seksual
karena bertentangan dengan nila-nilai yang yakini oleh
masyarakat, sedangkan hubungan sebatas ciuman dan pelukan
masih dianggap boleh. Upaya yang dilakukan untuk menekan
nafsu seksual adalah pergi melaut atau berkumpul dengan teman
sebaya. Informan mengaku tidak biasa melakukan masturbasi
untuk melampiaskan hasrat seksual.
Itu dulu tidak kurasa tiba-tiba bangun pagi ada yang
basah di celanaku baruka sadar kalau inimi di bilang
mimpi basah..umurku waktu itu 10 tahun terlalu cepat

115

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

saya mimpi basah padahal tidak biasaji nonton filim


porno tapi adami pacarku umur 10 tahun juga itumi yang
saya temani berhubungan dalam mimpikusetelah
mimpi basah pertama sampai sekarang kalau datang itu
perasaan mauka seperti waktu mimpiku, saya melamun
ingat pacar di lasusua (ibu kota kabupaten) biasa kalo
mau sekalika saya telponmi pacarku itu atau saya
ketemu langsungkalau ciuman sama peluk-peluk baisaji
tapi tidak sampai berzinah karena tidak boleh di
larangselain itu seringka ke laut atau main-main gitar
dengan teman-temanku(Rd, 17 tahun)

Terkait dengan pengetahuan remaja mengenai


permasalahan kesehatan reproduksi, remaja Etnik Bajo di Sulaho
memiliki pengetahuan mengenai hubungan seks dan upaya
pencegahan kehamilan dan aborsi. Mereka tidak memiliki
pengetahuan mengenai risiko penyakit menular seksual (PMS)
akibat hubungan seks bebas pra nikah.
Para remaja mengetahui cara agar tidak hamil ketika
melakukan hubungan suami isteri, salah satunya dengan
penggunaan kondom yang biasa mereka dapatkan dengan
membeli di kota kabupaten atau mereka dapatkan dengan ilegal
(mencuri) di fasilitas kesehatan yang ada di desa. Selain itu
remaja juga biasa meminum obat untuk mencegah atau
menggugurkan kehamilan dengan merek dagang yang dijual
bebas di warung desa. Mereka meracik beberapa jenis obat flu
dengan minuman berenergi atau bersoda yang dengan mudah
dibeli di warung desa. Informasi mengenai obat pencegah
kehamilan yang mudah diracik sendiri diketahui dari beberapa
ibu rumah tangga yang mempraktekkan cara tersebut sebagai
pengganti alat kontrasepsi.
Tapi setahuku jarang mi yang begitu duluji kecuali
kalo ada pesta seperti pestanya mama wandi..baru tidak

116

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

bisa hamil karena minum anu itu minuman sprite di


campur bodrex tak berapa biji baru dia minum
perempuan supaya tidak tinggal kayaknknya anak-anak
tau karena biasa diliat ibu-ibu minum supaya tidak
hamilada juga itu kondom biasa dia curi di BAKESRA
atau di beli di Lasusua (Kota kabupaten) kakaku juga
pernah ambil itu(Rn, 14 tahun)

Sunat atau khitan atau sirkumsisi telah dilakukan sejak


dahulu kala, menjadi sebuah tradisi yang berlaku untuk anak lakilaki dan perempuan di Sulaho. Sunat pada anak laki-laki
dilakukan oleh petugas kesehatan (perawat, bidan dan dokter) di
pelayanan kesehatan, Bakesra atau Puskesmas atau di rumah
penduduk. Selain itu kondisi geografis Sulaho yang cukup sulit
dijangkau maka sunat terkadang dilakukan secara massal. Sunat
pada laki-laki adalah tindakan memotong atau menghilangkan
sebagian atau seluruh kulit penutup depan pada penis.
Pelaksanan sunat pada anak perempuan Etnik bajo di
Sulaho merupakan tradisi yang telah lama dilakukan. Namun dari
waktu ke waktu sudah mulai mengalami pergeseran. Jika dahulu
sunat disertai ritual perayaan dimana disediakan aneka makanan
berbahan beras ketan putih dan hitam serta 2 ekor ayam jantan
dan betina berwarna hitam dan putih. Ayam tersebut akan
menjadi media pelaksanaan ritual sunat oleh sanro sekaligus
sebagai persembahan pada sanro. Anak yang akan disunat
dimandikan terlebih dahulu oleh sanro, selanjutnya duduk di atas
bantal yang berada di pangkuan ibu atau kerabat yang
mendampingi. Praktek sunat dilakukan dengan melukai bagian
klitoris sehingga keluar sedikit darah, tetapi tidak jarang hingga
memisahkan sedikit dari bagian klitoris tersebut seperti
pernyataan informan berikut:
Kalau mauki di sunat toh, syaratnya itu ayam tapi
terserah berapa-berapa mau di kasih tapi biasanya 2

117

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

ekor ayam 1 jantan sama betina baru 1 warna hitam satu


juga warna putih nanti itu kalau di sunat di potong di
kasih berdarah baru di kasihmi sanro (dukun) waktu
disunat maka saya di kasih mandiki baru berwudhuki
dulu sama sanro (dukun) baru tidak pake bajuki Cuma
pake sarung di kasih duduk di atas bantal dia pangkuki
mamabaru di potongmi ituta (kiltoris) sedikit sekaliji
sampai berdarah sedikit baru di kasih ayam dia patok
sudah itu di potongmi itu ayam yang di kasihki sanro
(dukun) baru darahnya di kasih sedikit di anuta yang
sudah di iris, baru itu potongan anuta yang sudah diiris
di taruh di tempat yang berwarna putih(Is, 14 tahun)

Tidak ada ketentuan dalam masyarakat tentang usia paling


tepat dilakukan sunat. Tradisi sunat perempuan pada masyarakat
Etnik Bajo di Sulaho dapat dilakukan segera setelah lahir sampai
sekitar usia 15 tahun, tetapi paling sering dilakukan adalah
sekitar usia enam sampai tujuh tahun. Sunat anak perempuan
dilakukan di rumah dukun, biasanya anak diantar oleh ibu
mereka ke rumah dukun dan tak jarang datang sendiri atau
berkelompok tanpa didampingi oleh ibu. Ada pula yang
melakukan ritual sunat di rumah dan dukun yang berkunjung.
Namun dalam perkembangannya, kini ritual sunat yang disertai
perayaan hanya dilakukan jika keluarga tersebut memiliki
kemampuan ekonomi untuk menyelenggarakan ritual perayaan
tersebut.
Saya anakku yang laki-laki disunat di bidan kalo yang
perempuan disunat di sanro (dukun) tidak pake adat
biasa pergi sendiriji di rumah sanro nenek S tidak
kuantar karena biasa cukupi 3 atau 4 orang baru pergi
sama-sama ke rumahnya sanro nenek Sbiasa kalau ada
uang di kasih Rp. 50 000 di kasih juga ayam kalau ada
tapi kalau tidak biasa juga gratisjikalau umurnya

118

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tergantungji
tahun)

biasa 7 tahun biasa 10 tahun(Ne, 30

Remaja Etnik Bajo cukup terbuka dan dinamis dalam


pergaulan dengan lawan jenis.Tinggal di desa dengan akses ke
kota kabupaten yang agak sulit dijangkau tidak menghalangi
proses interaksi sesama remaja. Remaja laki-laki dan perempuan
biasanya berkumpul di dermaga pada setiap sore hingga malam
hari, ada yang berkelompok, ada yang berduaan dan sebagian
remaja laki-laki ke laut mataripang (mencari teripang) dan ikan.
Remaja perempuan berkumpul dengan teman sebaya dan
menceritakan pacar termasuk saat berada di lingkungan sekolah.
Malam minggu menjadi waktu favorit untuk berkumpul.
Beberapa remaja sudah mulai berpacaran sejak SD dan
SMP. Mereka umumnya berpacaran dengan sesama remaja di
desa, walaupun ada pula remaja yang berpacaran dengan remaja
dari desa lain yang kebetulan berkunjung atau datang untuk
bekerja. Informan Rn (15 tahun) mengaku sudah 2 kali
berpacaran. Pertama berpacaran dengan teman remaja
sekampung, sedang lainnya adalah remaja desa lain yang datang
bekerja di desa sebagai buruh bangunan.
Perilaku pacaran mereka juga bervariasi dari sekedar
mengobrol melalui telepon, mengobrol di sekolah, jalan-jalan
bersama ke dermaga, melakukan ciuman, pelukan hingga
hubungan seksual. Dermaga menjadi tempat favorit bagi remaja
untuk berpacaran.
Saya umur 15 tahun saya pacaran duami pacarku satu
orang sini satu orang dari lapai (desa lain)jarangka
saya ketemu tadi malamji di dermagakalau si D baru
kelas empat SD majijami (genit) banyakmi
pacarnyabanyak disini anak muda sering kedermaga
pacar-pacaran, biasa dia kasih liat-liatka baku skumed
(ciuman), peluk-pelukan ada juga yang sudah biasa

119

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

melakukan hubungan suami istri karena di dermaga


kalau malam gelap sekali biasaka intip-intip kalau lagi
lending (pacaran) atau biasa juga dia sendiri cerita
begitunya(Rn, 15 tahun)

Perilaku seks bebas menyebabkan beberapa remaja hamil


di luar nikah, remaja yang hamil sebelum menikah biasanya oleh
orang tua langsung dinikahkan namun ada juga yang memilih
untuk menggugurkan agar keluarga terhindar dari rasa malu
seperti yang dialami oleh seorang informan yang menggugurkan
kandungan ketika kehamilan menginjak usia 6 bulan tepat satu
minggu sebelum informan Jm (25 tahun) tersebut
melangsungkan pernikahan.
Waktu hamilka seringka di pukul karena malu, waktu
itu satu minggu mau kawin hamil, sudah hamil enam
bulan, empat hari mau duduk pengantin keluar ada itu
aji(haji) kasih obat baru sudah itu sakit-sakit perutku
dia bilang bapak sakit perut biasaji waktu sakit sekali
perutku menangiska datang nenek sami aji (haji) dia
bilang mau melahirkan ini baru dia kasih air untuk
diminum keluarmi, pas empat hari sudahnya duduk
pengantingmi bengkak teteku (payudara)

Pada momen perayaan pernikahan dilangsungkan dengan


menggelar pesta besar dilengkapi hiburan electone (organ
tunggal). Remaja laki-laki biasanya mencari tempat untuk
meminum minuman keras yang kerap memicu perselisihan antar
remaja, ataupun hubungan bebas dengan lawan jenis. Masa
remaja merupakan sebuah masa yang rentan untuk melakukan
penyimpangan, namun tidak ada sanksi bagi pelaku pelanggaran
nilai dan norma, termasuk sanksi bagi remaja yang hamil di luar
nikah. Tidak adanya pengawasan orang tua menyebabkan
munculnya kejadian hamil di luar nikah. Selain itu, fasilitas untuk

120

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

mengakses film porno telah dimiliki oleh remaja melalui


handphone.
Banyak juga yang biasa mabok disini, anak laki-laki itu
S, Hn, banyak lagi, biasa mabok di dermaga, di lapangan
atau biasa juga di pesta orang kawin. itu waktu kawain
anak mama w yang dia minum bir, brendi, atau ballo
dengan tuak (minuman keras tradisonal) tapi tidak saya
tau dimana dia ambilkalau paca-pacaran dulu itu cuma
kis kis (ciuman) tapi semenjak adami handpon biasami
anak-anak nonton film porno temanku anak perempuan
juga biasa seperti F, RS kalau cowok banyak hampir
semuami biasa, dia nonton pake Hp yang besar layar
sentuh, itu punyanya Aw bagus ki karena besar diliat
gambarnya dilapangan biasa berkumpul nonton (Rn, 15
tahun)

Terkait pola makan, informan In (14 tahun) menuturkan


biasanya mengonsumsi nasi dengan lauk ikan. Ikan asin menjadi
ikan favorit informan. Waktu makan 3 kali sehari yakni pada
waktu siang hari, sore, dan malam hari. Pagi hari informan tidak
mengonsumsi nasi karena sering tidak ada persediaan lauk (ikan)
di rumah sehingga menjadi kebiasaan tidak makan pagi, kecuali
anak balita yang masih mengonsumsi bubur.
Sayuran biasanya hanya tersedia satu kali seminggu,
Sayuran yang biasa dimasak yaitu kol (kubis), terong dan kacang
panjang. Terkadang saat tidak ada sama sekali persediaan ikan,
mereka hanya mengonsumsi nasi satu kali atau mengganti nasi
dengan bubur yang dimasak dengan gula pasir. Tak jarang
keluarga informan kehabisan persediaan ikan. Selain nasi,
kebiasaan informan dan keluarganya mengonsumsi mi instan. Mi
instan sekaligus menjadi cemilan favoritnya. Jika berkunjung ke
rumah saudara atau teman dekat maka biasanya ia dengan
mudah dapat ikut makan. Informan terkadang mengonsumsi

121

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

buah apel, mangga, rambutan dan buah rambe (buah khas


masyarakat sejenis langsat).
Biasa makan 3 kali atau biasa satu kaliji,
waktunya biasa siang, magrib dengan malam yang
dimakan nasi dengan ikanjarangki makan pagi dirumah
cuma Sb (ade informan) yang makan bubur kalau pagi,
karena tidak ada ikan kalau pagi kalau tidak ada ikan lagi
biasa bubur dimakansering juga makan intermie
disiram kalausaya saya suka makan mentahki kayak
garoppo (kerupuk) Cuma bapak yang tidak suka, kalau
ada uang biasa beli sayur di pasar kayak kol (kubis)
terong, kacang panjang satu kaliji biasa satu
minggukalau buah-buahan biasaji makan kayak apel,
mangga, rambutan, rambe (buah khas masyarakat lokal
sejenis langsat) tapi jarang karena mahal ndk bisa beli
biasa dikasihji) (In, 14 tahun).

Mi instan tidak hanya menjadi makanan pokok remaja


namun juga menjadi makanan cemilan favorit bagi remaja di desa
ini. Camilan ini biasanya dinikmati sendiri atau bersama dengan
teman lainnya, baik di sekolah atau tempat dimana remaja
biasanya berkumpul. Kebiasan makan camilan mi instan tanpa
diseduh dilakukan hampir setiap hari oleh remaja.
Kalau disini biasa orang sebut intermie, biasa dimakan
kalau kumpul-kumpl disekolah khan seribu satu bungkus
biasa di beli tak sepulu ribu di makanmi rame-rame enak
sekali di pakekan itu bumbunya..apa lagi saya kuatka
juga makan intermie, biasa dalam satu minggu tak dua
hariji tidak makan intermie tapi biasa juga tiap hari
dalam satu minggu, biasa pergiki jalan-jalan atau pergi
sholat ada teman makan intermie gabungki lagi makan
intermie.

122

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

3.1.2. Pasangan Suami Istri Belum Pernah Hamil


Anak memiliki nilai yang sangat berarti bagi Etnik Bajo.
Umumnya masyarakat Sulaho memiliki banyak anak. Ketika tim
peneliti melakukan penelusuran informasi, ditemukan 1
pasangan suami istri yang belum mempunyai anak setelah
menikah selama 8 tahun. Informan mengaku berusia 19 tahun
namun tercatat berusia 27 tahun di kartu tanda penduduk (KTP).
Perbedaan umur yang tercatat di KTP dengan kenyataan
sebenarnya disebabkan saat informan menikah 8 tahun silam
masih berusia 11 tahun, masih duduk di kelas 4 sekolah dasar
(SD).
Usia pernikahan untuk perempuan yang memenuhi
persyaratan hukum dan administrasi adalah 16 tahun, sehingga
orang tua informan membuatkan kartu tanda penduduk (KTP)
dengan umur jauh lebih tua dari umur informan yang
sesungguhnya, dalam istilah informan disebut curi umur. Lebih
jauh informan mengaku saat pernikahan dilangsungkan sudah
mengalami menstruasi satu kali.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh informan untuk
segera hamil, salah satunya mengonsumsi pil KB sejak 3 tahun
lalu atas saran beberapa kerabatnya bahwa dengan meminum pil
KB dapat merangsang kehamilan. Upaya minum pil KB sempat
dihentikan setelah informan mendapatkan informasi baru dari
kerabat lain bahwa pil KB dapat mengeringkan rahim sehingga
sulit memiliki anak. Upaya lain yang dilakukan adalah
mengonsumsi jamu penyubur kandungan yang dibeli di pasar.
Jamu tersebut berbentuk pil dikemas dalam 1 bungkus berisi 100
pil, dengan aturan minum 3 kali sehari. Selain itu informan juga
mendapatkan ramuan penyubur kandungan dari sanro (dukun)
berupa ramuan minum berisi temulawak dicampur dengan
bawang putih.

123

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Upaya lain yang dilakukan adalah mengunjungi sanro


(dukun) untuk diurut (pijat). Menurut pengakuan informan, 4
dukun telah mengurut (memijat) tetapi belum ada hasil.
Pemijatan terakhir dilakukan oleh dukun Sn, dipijat satu kali
sehari dan diberi air ramuan yang sudah dijappi-jappi.
Berdasarkan saran kerabat, informan pernah mengambil anak
angkat yang dianggap dapat memancing pasangan yang belum
mempunyai anak agar segera memiliki anak. Anggota keluarga
seperti orang tua, mertua, dan kerabat yang lain berperan aktif
agar informan segera mendapatkan keturunan baik dalam bentuk
informasi mengenai obat yang ampuh atau menyarankan ke
dukun yang tepat serta mengantar informan ke dukun.
Bagi masyarakat Etnik Bajo anak memiliki arti yang sangat
penting bagi kelangsungan garis keturunan. Anak laki-laki adalah
penopang keluarga, tulang punggung keluarga atau
menggantikan orang tua pergi ke laut untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-sehari. Anak perempuan biasanya
membantu tugas domestik ibu seperti memasak, mencuci,
membersihkan rumah dan mengangkat air dari sumur.
Berdasarkan wawancara diketahui bahwa informan
mengalami nyeri perut, mual dan muntah hingga tidak dapat
bangun dari tempat tidur setiap kali menstruasi. Darah
menstruasi yang keluar kerap kali menggumpal sebesar jempol
kaki orang dewasa. Lama menstruasi 15 hari dan lancar pada hari
pertama hingga ketiga. Kondisi yang dialami informan menurut
kepercayaan masyarakat disebut dengan istilah lokal sebagai
bacici (sakit yang berlebihan pada saat menstruasi). Informan
mengonsumsi penghilang rasa nyeri (analgetik) dengan merek
dagang yang banyak dijual bebas di warung untuk mengatasi
nyeri menstruasi berlebihan. Obat tersebut mampu mengurangi
nyeri dan darah menstruasi menjadi lancar.

124

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Informan juga mengaku belum pernah melakukan upaya


pengobatan secara medis. Setiap kali menstruasi dan merasakan
nyeri hebat tidak pernah memeriksakan diri ke tenaga kesehatan
karena informan merasa takut jika mengetahui dirinya menderita
penyakit berbahaya seperti yang dialami seorang kerabatnya Ha
(45 tahun) memeriksakan diri ke tenaga medis dan didiagnosa
menderita penyakit berat sehingga harus dioperasi jika ingin
mempunyai anak.
Nama saya M umur 27 tahun tapi umur curian yang
sebenarnya 19 tahun lahir 1996 karena waktu mau
pengantin tidak boleh kalau mudah umur baru kelas 4
SD, kalau suami kelahiran 1987, sudah 8 tahun
pengantin belum punya anak, pernah KB dari
pengantingku 6 tahun saya mulai ber KB. KB anadalan
kupake, dia bilang keluargaku, ada keluarga yang pernah
bilang bagus untuk memancing anak tapi ada lagi yang
bilang tidak boleh karena nanti kering peranakanmu
(rahim) dia bilang hentikan dulu nanti tidak bisaku punya
anakpernahmi juga saya coba minum jamu penyubur
kandungan yang saya beli di pasar selatang isinya 100 biji
diminum 1 kapsul 3 kali 1 hari, sudah juga saya minum
ramuan dari sanro (dukun) temu lawak di campur
bawang putih tapi berhentika tidak bisaka tahan baunya
bawang putih, berapa kali juga di urut perutku sama
sanro empatmi urutka sanro, nenek SN, nenek T, nenek
M dengan ada satu laki-laki, kalau di nenek S urut 1 kali
satu hari selama 3 hari berturut-turut di urut pake
minyak tambah irisan bawang merah, diurut supaya
lebar-lebar peranakan (rahim), mauka punya banyak
anak bagus kalau banyak bisa di suruh suruh, kalau
mauku empat 2 laki-laki 2 perempuan yang laki pergi
temani bapaknya di laut menyelam ikan yang
perempuan bantuka bersih-bersih dirumah dengan
angkat air karena disini pake sumur jauh sumurnya di

125

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

junjung (di naikkan di atas kepala) kalau mau dibawah ke


rumah itu saya pekerjaanku kalau dirumah menyapu,
mencuci, memasak, membersihkan halaman, angkat air
dari sumur kadang juga temani suami ke laut
mattaripang biasa untuk berobat ke dukun orang tua
sama mertua kasih tau kadang juga saya sendiri yang
antarka kedukun sepupu kalau di dukun dia kasihki obat
jappi-jappi biar cepat punya anak, (mencari teripang)
kalau haidka sakit sekali perut dengan belakangku kata
orang bugis bacici (nyeri menstruasi yang hebat) banyak
darah mengumpal warna hitam yang keluar, biasa lancar
Cuma 3 hari saya kalau haisd 15 hari baru berhenti biasa
ada darah mengumpal sebesar jempol kaki biasa keluar
di hari ke 3 atau 4, saya kalau haid mengidamka.
Muntah-muntah tidak bisa bangun dari tempat tidur,
kalau hadika minumka obat bintang tujuh, kalau saya
minum langsung keluar semua darah yang besar-besar
saya biasa minum hari ke 4 atau ke 5 saya minum setiap
haid satu kali sehari kalau sakit kalau tidak
tidakjipernahka juga angkat anak, anaknyaji keluargaku
masih bayi masih merah tapi waktu saya ke selatang
saya titip sama neneknya jadi diambilmi mamanya
kembali, dia bilang orang angkat anak itu pemancing
supaya bisa punya anak jugahanya obat dokter yang
saya belum coba kalau obat dukun saya coba semuami
takutka ada dulu tante Hj. N pergi periksa katanya di
dapat di rahimnya darah menumpang jadi di operasi
baru punya anak.

3.1.3. Masa Kehamilan


Kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin,
lazimnya masa kehamilan adalah 280 hari (40 minggu atau 9
bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan
menjadi momen berharga dan membahagiakan yang ditunggu
126

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

setiap rumah tangga hingga seorang manusia baru terlahir ke


dunia. Bagi masyarakat Etnik Bajo memiliki anak adalah anugerah
Tuhan karena anak akan menjadi penerus garis keturunan dan
penopang ekonomi keluarga.
Terdapat benda yang wajib dipakai oleh ibu hamil untuk
tujuan menghindarkan ibu dan janin dari gangguan mahkluk
halus. Benda-benda yang dimaksud diantaranya adalah bawang
merah yang harus disematkan pada kain sarung atau baju ibu
hamil saat bepergian ke luar rumah dan boleh dilepas ketika
sudah berada dalam rumah karena dianggap sudah aman.
Bawang putih dan jahe (pesse layya) juga sering digunakan untuk
mengusir mahluk halus pada saat hamil sampai setelah
melahirkan dengan cara disematkan pada baju menggunakan
peniti. Ariango (bengle) biasanya digunakan oleh ibu hamil dan
bayi dengan cara diikatkan pada benang yang dipakai pada
tangan ibu, dan tangan bayi dan atau melingkari perut bayi.

Gambar 3. 1
Ariango dan Gelang Hitam yang Dipakai Balita
Sumber: Dokumentasi Penelitian 2014

127

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Etnik Bajo di Sulaho mengenal pantangan yang diyakini


berpengaruh pada kehamilan ibu, diantaranya adalah duduk di
depan pintu rumah diyakini menyebabkan persalinan mengalami
kesulitan atau bayi akan susah keluar. Keluar malam hari juga
pantang dilakukan karena banyak mahluk halus berkeliaran yang
dapat mengganggu janin. Suami tidak boleh menyembelih ayam
dan semua macam binatang tidak boleh dibunuh saat istrinya
hamil karena dapat mengakibatkan bayi yang terlahir mengalami
cacat atau salah satu anggota tubuhnya hilang. Selain pantangan
tersebut, ada pantangan memakan jenis makanan tertentu. Salah
satunya adalah air es karena dapat menyebabkan anak cepat
berkembang dalam kandungan sehingga janin menjadi terlalu
besar dan susah dilahirkan. Mengonsumsi susu atau jagung dapat
menyebabkan anak dalam kandungan menjadi gemuk sehingga
susah dilahirkan. Kerak nasi diyakini dapat membuat ari-ari
(plasenta) sulit lepas saat melahirkan karena lengket di dinding
rahim.
Ia, ada, biasa itu kalau bicara masalah
pantangannya, banyak. Ndak boleh orang keluar malam
terlalu toh. Kalau sudah larut malam tidak boleh kah
banyak ditakut takuti, begitu, selama hamil sampai
melahirkan. Umur 1 bulan anak tidak boleh jalan kemana
mana toh Takut ada katanya setang, Itu kalau makanan
yang katanya ndak bisa dimakan kita orang hamil,
dilarangki minum susu, minum es, jagung, karena takut
itu anakka katanya besar karena makanan bergizi
semua(Ms, tahun)
Banyak sebenarnya, dilarang keluar malam karena
banyak parakangg (manusia jadi-jadian) kalau persoalan
makanan apa di ndk ada kayaknya oh dilarang makan
keraknya nasi karena nanti lengkat ari-ari tidak bisa
keluar kalau nanti melahirkan ki kalau makan kerak nasi
waktu hamil (Nh, 31 tahun)

128

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Namun beberapa ibu hamil saat ini sudah mulai


mengabaikan pantangan tersebut meskipun orang tua masih
meyakini pantangan tersebut. Informan Rsm (31 tahun) yang
sedang hamil anak kelima mengaku masih mengikuti pantangan
tersebut pada kehamilan anak pertama sampai anak keempat
tetapi pada kehamilan kali ini sudah mulai mengabaikan
pantangan tersebut karena alasan merepotkan.
Dulu waktu hamil anak pertama sampai anak keempat
pakeki bawang merah di kasi peniti di taro di baju
sebelah kanan. Tapi sekarang tidak lagi, dulu saya pake
karena takut tapi sekarang tidak lagi karena bikin
repot(Rsm, 31 tahun)

Sementara Informan lain ibu Sh (30 tahun) yang baru


melahirkan anak kesepuluh mengatakan bahwa ibu hamil
sekarang mulai jarang memperhatikan pantangan-pantangan
tersebut sehingga dianggap menjadi penyebab terjadinya
gangguan kehamilan. Proses melahirkan anak pertama sampai ke
9, dilakukan sendiri tanpa masalah, baru memanggil dukun untuk
memotong tali pusat sekaligus merawat bayi dan dirinya.
Informan mengaku kehamilan anak ke sepuluh telah
mengabaikan beberapa pantangan sehingga saat melahirkan
mengalami kesulitan, terjadi pendarahan dan ari-ari atau
plasenta sulit keluar. Informan meyakini masalah tersebut terjadi
akibat mengabaikan pantangan selama masa kehamilan.
Peran suami dalam perawatan kehamilan berdasarkan
penelusuran pada beberapa informan diketahui kurang berperan
terutama saat mendampingi istri melakukan pemeriksaan
kehamilan atau Antenatal care (ANC) demikian pula saat periksa
ke dukun. Suami membantu kegiatan domestik isteri seperti
mengangkut air untuk kebutuhan rumah tangga karena air
biasanya diambil dari sumur tetangga. Minimnya peran yang

129

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

diberikan oleh suami karena suami sibuk melaut sehingga


terkadang bermalam di laut.
Gizi dan nutrisi yang cukup pada ibu hamil penting
diperhatikan dan harus dipenuhi selama kehamilan berlangsung.
Risiko kesehatan janin dan ibu hamil akan berkurang jika
mendapatkan nutrisi yang seimbang. Terkait pola makan ibu
hamil pada Etnik Bajo di Sulaho, tidak ada makanan khusus atau
tambahan saat kehamilan. Jenis makanan yang dikonsumsi
adalah makanan yang biasa dikonsumsi sehari-hari seperti nasi
dan ikan sementara untuk sayur dan buah dikonsumsi jika ada
persediaan, biasanya hanya pada hari pasar atau jika ada
kemampuan untuk membeli sehingga tidak setiap hari ibu hamil
mengonsumsi sayur.
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh
tenaga kesehatan professional (dokter spesialis kebidanan,
dokter umum, bidan, perawat) untuk ibu selama masa kehamilan
sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan.
Pelayanan antenatal juga diberikan pada waktu pelaksanaan
Posyandu, bakesra atau di Puskesmas. Standar pelayanan
antenatal (antenatal care/ANC) adalah memberikan pelayanan
kepada ibu hamil minimal empat kali, satu kali pada trimester I,
satu kali pada trimester II, dan dua kali pada trimester III serta
melakukan penimbangan berat badan ibu hamil dan pengukuran
lingkar lengan atas (LILA).
Pola pemeriksaan kehamilan yang biasa dilakukan oleh ibu
hamil (bumil) di desa ini adalah memeriksakan kehamilan ke
dukun (sanro) dan beberapa ibu hamil melakukan pemeriksaan
kombinasi antara pemeriksaan kehamilan ke bidan desa dan
pemeriksaan kehamilan pada sanro. Ibu hamil yang
memeriksakan kehamilan pada bidan desa melakukan
pemeriksaan untuk memastikan kehamilan dan usia kehamilan

130

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dan beberapa ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan


karena mengalami masalah/keluhan tertentu.
Saya selau periksa sama sanro (dukun) tapi biasa
periksa juga sama bidan U di bakesra untuk tau
kepastian hamil dengan berapa mi umurnya perutku
atau untuk tensi tapi pertama-pertama saja, kalau sudah
lewat mi masuk mi 5 atau 6 bulan ke dukun saja untuk
urut(Sh, 30 tahun)

Bakesra adalah satu-satunya fasilitas kesehatan di Desa


Sulaho namun ibu hamil tidak banyak memanfaatkan fasilitas
tersebut untuk pemeriksaan kehamilan. Rendahnya kunjungan
ibu hamil ke Bakesra, membuat bidan desa biasanya melakukan
kunjungan ke rumah ibu hamil. Bila ibu hamil membutuhkan
penanganan lebih lanjut, mereka akan dirujuk oleh bidan desa ke
Puskesmas Lasusua yang terletak di kota kabupaten atau rumah
sakit daerah (RSUD) Djafar Harun untuk mendapatkan perawatan
sesuai mekanisme rujukan. Selain itu juga ada informan yang
biasanya memeriksakan kehamilan ke Puskesmas karena
bertepatan dengan waktu berbelanja di pasar yang ada di kota
kabupaten.
Saya jarang ke bakaesra tapi Ada itu bidan U yang
biasa tinggal disini dia biasa datang dirumah untuk tensi
dengan periksa-periksa perutbiasa juga itu kalau sering
sakit-sakit perut atau ditakutkan sunsang di suruhki
sama bidan ke rumah sakit untuk di komputer perut
kalau parah sekali bidan langsung anatar sendiri sampai
rumah sakit tapi saya malaska apa lagi kalau tidak
banyakji saya rasa masalah apa lagi jauh sekali rumah
sakit itu saja kalau saya kebetulan ke pasar Lasusua
belanja sekalian perigi periksa juga di puskesman
Lasusua (ibu kota kabupaten) kalau kebetulan hari pasar

131

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

jadi sekalian periksa dan belaja tapi hari pasar juga cuma
3 kali seminggu (Ms, 31 tahun)

Ibu hamil melakukan kunjungan pertama (K1) biasanya


pada awal trimester pertama kehamilan untuk mendapatkan
kepastian kehamilan serta usia kehamilan. Pemeriksaan
kehamilan selanjutnya hanya dilakukan jika merasa ada masalah
pada kehamilan. Informan Ns melakukan kunjungan saat usia
kehamilan 3 bulan karena mengalami masa rasa mual yang
berlebihan di pagi hari (morning sickness) dan tidak memiliki
selera makan sehingga melakukan pemeriksaan ke bidan desa
untuk mendapatkan perawatan. Setelah melewati masa ngidam
informan melanjutkan kunjungan kedua (K2) ke dukun hingga
melahirkan.
Waktu 3 bulan perutku saya periksa di Puskesmas
lasusua karena itu tidak bisa makan nasi, makan ikan,
selalu mau muntah muntah (mual) kalau pagi makanya
saya pergi periksa karena tidak tahan sekali, di sana
dikasih obat saya minum kalau tidak enak lagi
perasaanku kalau sudah bagus saya berhenti minum tapi
sudah itu tidak pernah lagi pergi periksa ke dokter baru 1
kali itu saja waktu 3 bulan perutku, saya periksa sama
dokter di lasusua, sudah sembuh ngidamku saya periksa
sama nenek S saja, nenek S itu dukun di sulaho, dia yang
urut sampai nanti mau melahirkan(Ns,30 tahun)

Selain kunjungan ke fasilitas kesehatan, beberapa ibu


hamil melakukan kunjungan pertama (K1) pada dukun sejak
trimester pertama, selanjutnya, ibu hamil memeriksakan
kehamilan secara rutin setelah trimester 3 (usia kehamilan 5 -9
bulan) di sanro makkiana (dukun beranak) untuk diurut dengan
tujuan memperbaiki posisi bayi dalam kandungan. Peneliti
menemukan informan yang sama sekali tidak melakukan

132

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

pemeriksaan kehamilan ke bidan desa. Kunjungan kehamilan


baru dilakukan ke dukun pada trimester akhir kehamilan.
Saya dulu-dulu mulai anak pertama sampai anak ke
Sembilan tidak periksa nanti mau melahirkan umur 7
bulan perutku saya pergi sama sanro (dukun) untuk
masaula (mengurut) nanti lagi ini anak ke sepuluh baru
saya periksa di bakesra waktu 2 bulan umurnya perutku,
mau cek saja, pernah juga ke Puskesmas waktu Masuk 5
bulan karena sakit belakangku tapi sekarang tidak
pernah lagi di pegang bidan dukun saja yang pegang ini
juga 7 bulan baru dia pegang sanro nenek S..(Sh, 30
tahun)

Masalah kesehatan yang sering dialami ibu hamil adalah


mual yang berlebihan pada pagi hari (morning sickness), sakit
perut karena kontraksi yang berlebihan, nafsu makan yang
menurun drastis dan berbagai keluhan lain yang dirasakan
mengurangi kenyamanan dan aktifitas sehari-hari. Keluhan ibu
hamil saat periksa di dukun bersalin (sanro makkiana)
diantaranya adalah sakit pada bagian tulang ekor (potto), sakit
pinggang, atau sakit saat buang air kecil (BAK).
Pernah datang petugas kesehatan banyak waktu
Posyandu disini sempat periksa disitu umur 1 bulan
mengidam saya pergi terus kontrol disitu selama tidak
bisa makan sampai hilang itu rasa mengidam tapi kalau
masalah sakit banyak ini sakit anuku sering sakit disini
tapi sama dukun untuk urut 1 kali, biasa 3 atau 2
kalijaka periksa sama dukun Diurut naik ,diperbaiki
posisinya itu anak didalam toh. Kalau lamanya
tergantung dari kita, kalau dibilang berhenti,
berhentimi(Sh, 31 tahun)
Itu ji kalau sakit potto (bagian tulang ekor), sakit
pinggang, sakit pada saat buang air kecil keras perut

133

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kaya sakit mau melahirkan, pergi ke dukun di pegang


kaya dokter baru di urut pakai minyak caplang minyak
kayu putih sekitar 5 menit Setelah selesai di urut di
obat di tiup-tiup perut 3 kali(My, 27 tahun)

Perawatan dan tindakan yang biasanya dilakukan oleh


tenaga kesehatan pada ibu hamil antara lain wawancara
mengenai riwayat kehamilan (anamnesa), pemeriksaan fisik
meliputi pengukuran tekanan darah, pemeriksaan denyut
jantung janin (DJJ), pemberian pil besi atau sulfas ferrosus (Fe),
pengukuran lingkar lengan atas (LILA). Penimbangan berat
badan tidak dilakukan baik di Bakesra maupun pada kunjungan
rumah karena tidak tersedianya timbangan ibu hamil.
Penimbangan ibu hamil biasanya dilakukan saat pelaksanaan
Posyandu terpadu oleh tim kesehatan Puskesmas Lasusua
setiap 3 bulan. Meskipun beberapa ibu hamil melakukan
pemeriksaan kehamilan pada bidan desa namun pil besi atau
sulfas ferrosus (Fe) yang diberikan belum tentu diminum
dengan alasan lupa karena sibuk bekerja. Umumya ibu hamil di
Sulaho mengaku malas memeriksakan kehamilan ke Bakesra
karena bidan desa tidak tinggal menetap di desa tersebut, yaitu
biasanya 2-3 kali dalam seminggu, sementara untuk kegiatan
Posyandu dilakukan 3 bulan sekali oleh petugas Puskesmas.
...Kalau periksa sama bidan U disini biasa ditensi,
dipegang-pegang perut, biasa juga ada alat di taroh
diperut baru ditaroh di telinganya bidan katanya mau
dengar suara jantung janin terus ditanya-tanyajuga,
seperti anak keberapa, kapan terakhir haid macammacam dia tanyakan kalau obat tidak ada obat obatan
kumakan, cuma itu karena waktunya hamil ditensi
darahku dia bilang lebih seratus darahku baru
dakasihka ini obat untuk diminum anu katanya Pil besi

134

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

katanya tapi tidak kumakan itu obat biasa kulupa kalau


sibuka kerja (Sh, 30 tahun)

Sementara untuk kunjungan, informan mengaku sulit


menjangkau Puskesmas atau rumah sakit yang disediakan
pemerintah karena alat transportasi menuju ibukota kabupaten
sulit dijumpai. Masyarakat Sulaho harus menempuh jalur laut
untuk menjangkau kedua fasilitas kesehatan (faskes) tersebut
dengan alat transportasi lokal berupa perahu bermesin yang
biasanya hanya beroperasi pada hari pasar. Sementara jalur
darat sangat sulit untuk ditempuh karena kondisi jalanan cukup
sulit dan berbahaya serta hanya dapat diakses dengan
kendaraan roda dua.
Kalau masalah obat, nanti ada resep dari bidan atau,
dokter, masih ada obatnya dakasihka itu kalau sudah
baikan tidak diminum lagi, tapi kalau sakit diminum
lagidisinikan susah juga transportasi. Kadang tiba tiba
kita sakit perut baru tidak ada perahu biasa kandas
jugabaru hari pasarji ada perahu(Ms, 30 tahun)

Perawatan yang diberikan oleh dukun biasanya adalah


urut perut (masaula). Menurut sanro Sn (dukun bersalin) ibu
hamil harus diurut agar posisi janin sesuai dengan usia kehamilan
sehingga saat melahirkan kepala janin tepat berada di panggul,
selain itu ketika melahirkan tidak mengalami kesusahan
mengeluarkan ari-ari atau plasenta (aerung). Jika ibu hamil malas
melakukan masaula (mengurut) saat hamil, maka posisi bayi
dapat sungsang (melintang) atau ari-ari lengket dalam perut dan
susah keluar. Lebih jauh informan mengatakan bahwa ibu hamil
dapat mengurut perut saat trimester akhir yakni usia kehamilan 5
bulan hingga menjelang persalinan. Pada trimester pertama
hingga kedua yakni usia kehamilan 1 hingga 4 bulan belum
diperbolehkan untuk melakukan urut karena kondisi janin masih
lemah. Bahan yang digunakan untuk mengurut adalah minyak
135

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kelapa (boka) atau minyak tawon. Air jappi-jappi (air yang sudah
dibacakan mantra) diyakini berkhasiat untuk menghilangkan sakit
pada bagian tubuh ibu hamil jika dioleskan di perut atau
diminum untuk memudahkan bayi keluar saat bersalin. Selain itu
informan menganjurkan pada ibu hamil agar melakukan aktifitas
fisik lebih banyak menjelang persalinan karena diyakini dapat
membantu kelancaran dalam proses persalinan.
Ibu hamil itu harus di urut kalau sudah masukmi 5
bulanya supaya nanti tidak sungsang anaknya, tidak
melengket juga aerungnya (Ari-ari atau placenta) tapi
tidak boleh di urut kalau masih hamil muda 1 sampai 5
bulan karena masih lemah sekali kandungan anaknya
juga masih lemah, di buatkan juga air jappi-japi(air yang
di bacakan mantra tertentu) bisa di oles di perut bisa
juga di minum supaya tidak saki-sakit perut mudah juga
nanti keluar anaknya, baru kalau sudah menjelang
bulannya bagus kalau kerja berat bisa memudahkan
nanti pada saat proses menjelang melahirkan justru
kalau tidak kerja berat badan sakit semua dan susah
melahirkan nantinya (Ms, 30 tahun)

Pada masa kehamilan, Ibu hamil tetap menjalankan


aktifitas seperti ketika belum hamil: memasak, menyapu,
mengepel lantai dan mengangkat air dari sumur. Selain itu, isteri
memiliki peran ganda yaitu tugas domestik dan membantu suami
mencari nafkah. Sebut saja ibu Ms, yang bekerja mapalele
(penjual ikan yang membeli ikan dari nelayan atau penjual ikan
lain untuk di jual kembali) saat awal kehamilan (trimester I)
hingga menjelang persalinan informan masih bekerja
mengangkat 3-4 gabus besar berisi ikan bersama suaminya,
informan yang telah mengalami kehamilan sebanyak 5 kali sudah
mengalami keguguran sebanyak 2 kali dan tidak melakukan
upaya pengobatan dan perawatan ketika mengalami keguguran

136

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

baik di sanro maupun petugas kesehatan, tetapi membiarkan


pendarahan yang terjadi bersih dengan sendirinya.
3.1.4. Persalinan dan Nifas
Persalinan adalah peristiwa yang sangat luar biasa bagi
setiap ibu bersalin (Bulin) dan keluarganya, dimana pada fase ini
calon ibu akan menuju peran baru sebagai ibu dan bagi ibu yang
telah memiliki anak akan bersiap dengan kedatangan anggota
keluarga baru, selain itu persalinan juga mengandung risiko tinggi
yang bisa membahayakan jiwa ibu bersalin sehingga
membutuhkan kesiapan fisik dan mental serta dukungan moril
maupun materil dari orang-orang terdekat khususnya suami.
Pada kondisi normal proses persalinan akan terjadi secara
alami dengan adanya kontraksi rahim ibu dan diikuti dengan
pembukaan jalan lahir untuk mengeluarkan bayi. Pada saat
persalinan normal, bayi dilahirkan melalui vagina. Jika Persalinan
normal tidak memungkinkan karena masalah posisi bayi atau
persalinan berisiko maka harus dilakukan bedah sesar (sectio
caesar). Dalam proses persalinan, ibu biasanya menempuh upaya
medis namun tidak sedikit pula yang melakukan upaya non
medis.
3.1.4.1. Menjelang Persalinan
Kebiasaan masyarakat Etnik Bajo di desa Sulaho
menjelang persalinan adalah menyediakan perlengkapan bayi
berupa kain sarung sebanyak mungkin yang akan dipakai oleh
calon bayi nantinya. Bayi baru lahir belum boleh mengenakan
pakaian bayi seperti baju bayi, popok, gurita maupun celana bayi.
Bayi baru lahir hanya boleh mengenakan kain sarung sampai

137

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dengan tali pusat mengering dan terlepas. Pemakaian baju


dikhawatirkan menyebabkan perdarahan pada tali pusat.
Kebiasaan lain menjelang persalinan adalah calon
ibu berusaha menyembunyikan proses persalinan dari khalayak
banyak bila tanda-tanda persalinan sudah mulai nampak. Tabu
bagi mereka bila saat proses persalinan berlangsung banyak
orang yang berdatangan sehingga lazimnya keluarga dekat,
termasuk dukun tidak diberitahu terlebih dahulu sampai bayi
lahir.
3.1.4.2. Proses persalinan
Masyarakat Etnik Bajo di Sulaho memilih melahirkan
sendiri atau menggunakan jasa sanro makkiana (dukun
beranak) sebagai penolong persalinan. Jasa bidan desa
digunakan bila perawatan tidak dapat ditangani oleh dukun.
Kalau kita orang bajo kalau mau melahirkan pasti
sama sanro makiana (dukun beranak) 10 anakku sama
dukun semua tapi 9 yang hidup karena yang satu
meninggal yang anak ke 7 waktu itu keguguran. Saya
jatuh baru 3 bulan itu waktu jatuh duduk karena tinggi
itu rumah dapur saya sementara mapel (ngepel lantai)
lecet kakiku terus jatuh duduk, pas satu minggu itu
haidka sedikit-sedikit , pas satu minggu itu pendarahann
di bawa pergi rumah sakit di Lasusua sama dokter S,
karena tidak adami darah kuningmi badanku apa
keringmi kulitku. Di opname 2 hari baru keluar dari
rumah sakit(Sh, 30 tahun)

Masalah yang sering terjadi dalam proses persalinan


yang mendapatkan penanganan medis adalah ari-ari atau
plasenta (aerung) susah keluar, ibu mengalami perdarahan
atau mengalami keguguran spontan (abortus). Berdasarkan

138

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

wawancara dengan seorang informan diketahui bahwa masalah


yang paling sering ditemukan adalah ari-ari yang susah keluar
saat persalinan. Meskipun mengalami masalah tersebut
masyarakat tidak serta merta membawa ibu yang mengalami
masalah persalinan ke fasilitas kesehatan. Mereka memilih
tetap bertahan di rumah dan mengandalkan kemampuan
dukun, tetapi setelah beberapa waktu bertahan dan dukun
tidak berhasil mengatasi masalah tersebut baru kemudian
dirujuk melalui kesepakatan keluarga yang didahului dengan
perdebatan yang cukup alot tentang perlu tidaknya mendapat
penanganan medis atau pasrah atas ketentuan Tuhan. Lebih
jauh informan mengatakan bahwa pada tahun 2011 terdapat 4
ibu bersalin yang dirujuk karena ari-ari susah keluar, seperti
penuturan informan ibu My (21 tahun) dan Ibu Nh (31 tahun):
Itu ji kalau ada yang susah keluar anaknya atau
aerungnya (ari-ari) baru di bawah ke rumah sakit (My,
27 tahun)
Itu juga betul-betul tidak bisa sekalipi dukun kasih
keluar ditunggu dulu sampai bermalam baru di bawah
setuju semua pi keluarga karena tidak semua biasanya
langsung mau bisa ribut-ribut dulu keluarga ada yang
bilang pasrah saja sudah diatur tuhan tapi ada juga yang
bilang bawami saja ke rumah sakit karena bisa ji
mungkin di kasih selamatkan, tapi banyak kejadian
begitu gampang melahirkan tapi susah keluar ari-arinya,
tapi tidak semua dikirim ke rumah sakit yang saya ingat
itu tahun 2011 4 di bawah ke rumah sakit gara-gara tidak
bisa keluar ari-arinya (Nh, 31 tahun)

Ada pula informan melahirkan bayinya seorang diri dan


menggunakan jasa tenaga dukun ketika bayinya telah lahir
dengan pertimbangan informan lebih nyaman melahirkan sendiri.
Informan merasa lebih tenang dan nyaman melakukan proses

139

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

persalinan sendiri karena merasa malu dan tidak nyaman jika


terdapat orang di dekatnya. Walaupun dari hasil observasi dan
wawancara yang dilakukan tim peneliti, dukun selalu menjaga
privacy ibu bersalin dengan tetap menutup bagian tubuh ibu
terutama anggota tubuh yang intim untuk menjaga kenyamanan
dan perasaan malu ibu.
Saya berapami anakku semua sama dukun biasa apa
lahirpi anakku baru saya panggil dukun biasa adami satu
jam lahirnya, tapi yang terakhir susahi keluar jadi cepat
di panggil dukun baru ada juga bidan U datang potong
pusatnya jadi ituji saya panggil bidan karena takut ada
apa-apa jadi dipanggil, kalau saya suka memang saya
melahirkan sendiri enak dirasa tidak lain-lain tidak
maluki karena rahasia sekali itu kalau kejadian
melahirkan tidak boleh sembarang diliat family (Ft, 26
tahun)

Tempat yang dipilih oleh masyarakat Etnik Bajo di Sulaho


untuk melangsungkan proses persalinan adalah rumah karena
umumnya ibu merasa malu jika anggota tubuh yang sangat intim
dilihat oleh orang lain selain keluarga terdekat seperti suami dan
ibu (orang tua/mertua perempuan). Ibu akan bersalin di fasilitas
kesehatan jika dirujuk oleh dukun atau bila memiliki masalah di
awal kehamilan sehingga membutuhkan penangan medis.
Kebiasaan bersalin di rumah terus berlangsung karena
rasa nyaman dan terlindungi hak privasinya. Menurut pendapat
masyarakat, proses persalinan adalah proses yang sangat sakral
dan sangat personal sehingga harus dijaga dari pandangan publik.
Beberapa ibu bersalin mengalami kejadian-kejadian seperti
buang air kecil dan buang air besar pada saat proses persalinan
berlangsung yang menurut pemahaman informan merupakan hal
memalukan yang harus dihindarkan dari pandangan orang lain.
Ada kekhawatiran bahwa kejadian-kejadian yang dianggap

140

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

memalukan tersebut kemudian menjadi bahan pembicaraan


publik. Selain karena alasan kenyamanan pribadi dan keamanan
hak privasi ibu bersalin seorang informan juga mengaku bahwa
jika disaksikan oleh banyak orang konon akan membuat bayi
susah untuk lahir.
Di rumah terus saya melahirkan tidak pernah di
rumah sakit,(My, 27 tahun)
Di rumah terus saya melahirkan tidak pernah di
rumah sakit, dukun saja yang datangiki bagus kalau
dirumah sendiri tidak banyak orang tidak jauh-jauh juga
pergi baru tidak banyak yang liat karena rumah sendiri
paling suami sama anak-anak ada dirumah bukanji orang
lain itumi malaska saya kalu bidan kalau dukun iya tidak
ada memang dia liat itu apa-apata (anggota tubuh yang
intim) karena ditutup pake sarung karena tidak boleh
diliat itu apa lagi itu tempatnya anak-anak lahir (jalan
lahir) we tidak bisa sekali diliat orang lain pantangan
sekali saya itu(Ft, 26 tahun)
Karena itu biasa kalau melahirkan orang banyak orang
biasa tidak keluar anak anak, biasa itu juga kalau
melahirkan orang biar tidak bilang begini begini
kebanyakan itu orang melahirkan berakmi (buang air
besar) kencingmi (buang air kecil) tapi saya insaallah
tidak begitu tapi Saya malu kurasa karena kalau keluarmi
nanti orang na paraktekmi caranya orang bilang begini
melahirkan bilang begini itu melahirkan kencing (BAK)
sama berak (BAB), dia ceritami tapi saya insya allah
tidakji kasiang kalau saya(My, 27 tahun)

Seorang informan menyatakan memiliki kebiasaan


mengonsumsi obat tertentu untuk menghilangkan rasa sakit
akibat kontraksi rahim atau dalam istilah medis disebut His pada
saat menjelang proses persalinan. Obat yang diminum biasanya

141

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

analgetik (penghilang nyeri) bermerek dagang ataupun generik


dianggap dapat memperlancar proses melahirkan. Bagi informan
tersebut, kontraksi rahim (His) tidak dipahami sebagai kejadian
alamiah yang diperlukan untuk membantu proses keluarnya bayi
dari rahim melainkan mengganggu kenyamanan sehingga rasa
nyeri harus dihilangkan.
Itu biasa itu kalau mau melahirkan perempuan sakit
belakangta sakit perut kalau pas mau melahirkan, kalau
saya supaya tidak menganggu waktu melahirkan, saya
minum obat Antalgin dengan trisulfat tidak ada di
rasakan kalau sudah diminum. Kalau mau melahirkan
saya selalu minum obat, kalau sakitmi perutku kalau
mual mualmi cepat saya suruh anak-ank belikan itu obat
di warung saya minum dua biji satu antalgin satu
trisulfat biasa juga bintang tujuh di minum biar tidak
sakit badan, Itu minumnya sebelum lahir yang penting
sakit perut di rasa langsung minum(Rn, 19 tahun)

Adapun bahan yang disediakan saat proses persalinan


adalah diantaranya gunting, atau bambu gurisat, pisau untuk
memotong tali pusat, benang jahit untuk mengikat tali pusat.
Mereka juga menyediakan baskom kecil berisi air yang diberi
sabun mandi yang dilelehkan, daun srikaya yang telah
dihilangkan ruasnya, diremas-remas untuk pelicin jalan lahir dan
dioles diperut sebagai obat.
Tidak ada yang disiapkan tidak sama bidan paling
untuk potong tali pusatnya biasa pake bambu, biasa juga
pake gunting, pisauka atau apa saja yang tersedia
dirumah karena jarang dukun siapkan biasa apa yang
ada dirumah saja kalau dulu waktu pake bambu
bapaknya anak-anak (suami) yang pergi cari kalau
melahirkanmiki tapi biasa juga apa yang ada bisa juga
silet dibeli di warung, yang alain paling air yang di kasih

142

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

sabun mandi di campur daun srikaya (sirsak) ditaroh di


baskom yang ada airnya ituji (Sh, 30 tahun)

Posisi melahirkan sendiri biasanya dilakukan sesuai dengan


kenyamanan yang dirasakan ibu. Ada yang menggunakan kain
sarung digulung kecil kemudian diduduki dengan setengah
berbaring sambil berpegangan pada dinding ketika sudah mulai
proses mengejan atau dalam posisi berbaring terlentang seperti
pada observasi yang dilakukan peneliti dalam proses persalinan.
Tata cara yang dilakukan dukun saat menolong persalinan
sebagai berikut:
Posisi ibu berbaring mengenakan kain sarung untuk
menutup anggota tubuh termasuk perut dan jalan lahir
dengan posisi kaki mengangkang, perut bagian atas
terlebih dahulu diikat dengan kain selendang atau kain
sarung. Posisi dukun dalam menolong persalinan, duduk
di dekat ibu tepatnya di depan jalan lahir ibu yang
tertutup dengan sarung yang dikenakkan, tangan dukun
dibasuh dengan air ramuan yang sudah dibuat,
selanjutnya tangan dibasuh dengan ramuan, tangan yg
sudah di basuh disapukan ke perut dan jalan lahir tanpa
melepas mengangkat kain sarung hanya mengangkat
sedikit untuk memasukkan tangan yang dikenakan ibu
selanjutnya ke dua tangan dukun menopang bagian
bokong dan menekanya setiap ibu mengejang atau
berkuat. Karena bayinya belum keluar maka paha kanan
diinjak dilanjutkan dengan paha kiri masing-masing tiga
kali, tindakan ini di maksudkan untuk memudahkan
bayinya keluar dan tidak melengket. Setelah selesai
melakukan tindakan tersebut dukun kembali ke posisi
awal dan menuntun ibu hamil untuk mengejan sambil
kedua tangan menunggu bayi di jalan lahir dan saat
sebagian anggota tubuh telah keluar dukun menopang

143

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

anggota tubuh sampai seluruh anggota tubuh bayi


keluar dari jalan lahir.

Terdapat istilah bongkar balango yaitu sebuah ritual


yang dilakukan oleh seorang sanro kampung ketika seorang
bayi yang akan dilahirkan susah keluar dan diyakini telah
meninggal dalam rahim ibu. Selain itu bongkar balango juga
dilakukan untuk mengeluarkan ari-ari yang tidak kunjung
keluar setelah bayi lahir. Hal ini dilakukan untuk mengeluarkan
bayi sekaligus menyelamatkan nyawa ibu yang sedang
melahirkan. Desa Sulaho yang merupakan daerah terisolir
untuk menjangkau sarana pelayanan kesehatan membuat
bongkar balango menjadi cara pilihan untuk memberikan
pertolongan agar nyawa ibu dapat tertolong. Berikut
keterangan dari informan Tg:
Itu saya lakukan pa karena keadaan terpaksa, keadaan
terpaksa itu waktu daripada ee tidak ada mi juga ini
anak-anak baru orang tuanya lagi. terpaksa sa lakukan
sedangkan itu bilang ee anunya suaminya tahu apa
anumu, sa bilang jangan mi anu daripada. Iya toh.
Sedangkan disini kan tidak ada doktor, kita mau bawa
dimana, tidak ada ee anu di sini, sedangkan desa
terpencil bukan pi desa pa ee daerah terpencil kita ini,
jadi kita mau pergi mana, mungkin-mungkin kita mau
bawa lari ke lasusua mungkin-mungkin na nda riki sana
sudah mati (Tg, 60 tahun)

Masyarakat sangat familiar dengan istilah bongkar


balango. Beberapa kasus melahirkan dengan anak hidup
maupun mati melakukan ritual ini. Bongkar balango dilakukan
dengan memanfaatkan air mani sisa berhubungan intim sanro
dengan istri. Sanro dalam kegiatan bongkar balango adalah
laki-laki. Air mani tersebut disimpan dalam kapas dan dapat
digunakan sewaktu-waktu ketika terdapat orang yang

144

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

membutuhkan pertolongan. Air mani dalam kapas tersebut


dicampur dengan air, didoakan dan diminumkan pada ibu
yang mengalami kesulitan dalam melahirkan. Campuran mani
yang diminumkan kepada ibu tidak diketahui oleh masyarakat.
Tidak membutuhkan waktu lama, sekitar satu menit setelah
meminum air jappi-jappi tersebut biasanya bayi dapat keluar.
Pengalaman tersebut diceritakan sebagai berikut,
Kalo sudah makan seumpama sama istri ta baru ada
ketinggalan sama kitaItu mi yang diambil, baruu ee
dianu diteteskan di air ee di kapas. Kemudian di situ mi
di kapas disimpan, disimpan terus mi itu kapas
tempatnya anu diteteskan itu. Itu mi kalo mau dipakai na
bongkara balango pa kita rendam saja, rendam di air.
Iya, suruh minum yang mau dibongkar balango (Tg, 60
tahun)
Ndak lama pa, ndak cukup satu menit langsung keluar.
Itu mi na bilang orang bongkara balango. Bongkar
apapun disitu na tolong i tuhan (Tg, 60 tahun)

Tubuh bayi yang lunak sesaat keluar dari rahim ibu


dipercaya akibat pengaruh prosesi bongkar balango. Tubuh bayi
akan kembali memiliki tulang yang keras dan cenderung tidak
melunak ketika telah disiram dengan menggunakan air yang
sudah dijappi-jappi.
Tidak ada tulangnya pa pokoknya kayak papaeda itu.
Ada tulangnya tapi lembek. iyee sudah pengaruh ilmu itu
pa. Jadi nanti pi itu dibikinkan air. Na bilang orang anu
itu air penawar toh, ee disiramkan itu anak tubuhnya
baru bisa pulih kembali (Tg, 60 tahun)

145

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

3.1.4.2.1. Sepenggal Kisah Kelahiran Anak Etnik Bajo Sulaho


Kelahiran salah seorang warga desa Sulaho (ibu M)
berhasil diikuti oleh tim peneliti. Merunut cerita dari ibu My (27
tahun), ia mulai merasakan sakit pada bagian perut beberapa
hari sebelum proses persalinan berlangsung, tetapi pada pagi
hari ia masih sempat beraktifitas dengan bekerja memasak
teripang di rumah salah satu tetangganya. Merasa sakit, ibu My
kembali ke rumahnya dan meminta suaminya untuk memanggil
dukun bersalin.
Dukun Sn tiba bersama ibu Nu yang juga biasa membantu
proses persalinan, selain itu hadir pula seorang tetangga ibu My.
Ibu My saat itu sudah mulai merasa mulas pada bagian perut,
tetapi merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang tersebut.
Ibu My memutuskan pergi ke rumah orang tuanya yang
bersebelahan dengan rumahnya, ketika itu rumah orang tua ibu
My sedang kosong karena orang tua ibu My sedang berkunjung
ke desa lain. Sekitar jam 12.00 WITA, ibu My masuk kamar, tidur
di rosbang (ranjang) dengan niat melahirkan sendiri dan setelah
bayi lahir akan memanggil dukun untuk merawat bayi dan
dirinya.
Di luar dugaan, ibu My merasakan air ketuban sudah mulai
keluar namun belum ada tanda bayi akan segera lahir. Setelah
menunggu beberapa saat, ibu My menjadi panik dan berteriak
memanggil dukun karena merasa takut terjadi hal yang tidak
diinginkan. Berbeda dengan proses kelahiran anak pertama dan
kedua yang dirasakan mudah dan berjalan lancar, begitu keluar
air ketuban bayinya pun ikut keluar, paparnya. Mendengar
suara teriakan ibu My dukun menghampiri ibu My di rumah
orang tuanya bersama suami ibu My dan ibu Nu serta seorang
tetangga. Dukun memindahkannya ke kamar sebelah.
Peneliti tiba ke rumah orang tua ibu My. Kondisi rumah
sepi, pintu rumah tertutup rapat. Tim peneliti selanjutnya masuk
146

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

ke dalam kamar tempat proses persalinan berlangsung. Saat itu,


ibu My telah berada pada posisi berbaring di lantai semen
beralaskan tikar. Ada dukun bersalin, ibu Nu dan seorang
tetangga dalam kamar, sedangkan suami ibu My berada di luar
kamar tidak mendampingi istri selama proses persalinan.
Kedatangan tim peneliti awalnya mendapat respon yang kurang
bersahabat meskipun sebelumnya telah meminta izin dan
membuat kesepakatan dengan Ibu My dan dukun untuk
melakukan observasi pada proses persalinan tersebut, tetapi
akhirnya bisa diterima.
Proses persalinan mulai dilakukan oleh dukun, sementara
ibu Nu dan tetangganya membantu saat dibutuhkan oleh dukun.
Selama proses persalinan suami tetap berada di luar kamar, dan
pintu rumah tetap dalam keadaan tertutup agar tidak banyak
orang yang datang. Selama proses persalinan ibu My tidak mau
makan karena khawatir pada saat mengejan atau berkuat, nanti
keluar kotoran (faeces), ibu hanya minum air putih yang sudah
dijappi-jappi oleh dukun. Peralatan yang disediakan dukun,
sebuah wadah berupa baskom kecil berisi air dan sebuah sabun
mandi
yang dibiarkan meleleh di dalam air. Selain itu
dimasukkan pula beberapa helai daun sirsak yang diremas dan
dibuang ruasnya.

Gambar 3. 2.
Air Jappi-jappi dan Air
Lelehan Sabun Mandi
Dicampur Daun Sirsak
Sumber: Dokumentasi
Penelitian Tahun 2014

147

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Ibu berbaring mengenakan kain sarung untuk menutup


anggota tubuh: perut dan jalan lahir dengan posisi kedua kaki
membuka lebar, perut bagian atas terlebih dahulu diikat dengan
kain selendang atau kain sarung. Dukun duduk tepat di depan
jalan lahir ibu yang ditutup dengan kain sarung, tangan dukun
dibasuh dengan air ramuan yang sudah disiapkan, selanjutnya
tangan yang basah tersebut disapukan ke perut dan jalan lahir
tanpa menyingkirkan kain sarung (kain hanya diangkat sedikit
untuk memasukkan tangan).
Dukun menopang bagian pantat dengan kedua tangan
setiap kali ibu mengejan atau berkuat. Setiap kali ibu My
mengejan, kedua lututnya beradu dengan lutut dukun bersalin.
Selain itu, lutut ibu My ditekan kembali dengan mengunakan
kedua tangan dukun. Selama proses persalinan dukun meminta
ibu My mengejan dengan kuat sekali saja ketika kontraksi terasa,
karena bila berulang-ulang tanpa mengejan kuat posisi bayi akan
kembali lagi seperti semula dan akan lebih susah bayi lahir. Setiap
kali ibu mengejan maka perut pada batas ulu hati ditekan. Dukun
menginjak paha kanan ibu dilanjutkan dengan paha kiri masingmasing tiga kali karena bayi belum juga keluar. Tindakan ini untuk
memudahkan bayi keluar dan plasenta tidak lengket di dinding
rahim.
Sesaat menunggu, dukun merasakan belum ada kemajuan
persalinan maka dukun kembali menekan paha atas kiri dan
kanan dengan kaki dukun dalam posisi dukun berdiri masing 3
kali dimulai pada paha kanan disusul paha kiri. Selesai melakukan
tindakan tersebut, dukun kembali ke posisi awal dan menuntun
ibu hamil untuk mengejan sambil kedua tangan menunggu bayi
di jalan lahir. Saat bagian kepala telah keluar disusul badan bayi,
dukun menopang seluruh anggota tubuh bayi yang telah keluar
dari jalan lahir.

148

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Setelah bayi lahir ibu dibangunkan setengah tegak


meminum air jappi-jappi, ujung rambutnya dimasukkan dalam
mulutnya sampai timbul rasa mual dan ingin muntah (peneliti:
untuk meningkatkan tekanan dalam rongga perut sehingga
mendorong plasenta lepas). Tak lama keluar ari-ari atau plasenta
tersebut. Ibu Nu kemudian mengambilkan baki (kappara) yang
diberi alas kain sarung dan bayi diletakkan di atasnya (sebagai
tempat bayi pertama kali lahir), seperti kelahiran lain di desa
tersebut. Ari-ari atau plasenta diletakkan di bawah sarung bayi
kemudian tali pusat di urut dengan menggunakan air, mulai dari
pusat sampai ari-ari atau plasenta agar bersih.
Benang hitam dan bambu dalam sebuah piring telah
disiapkan. Dukun bersalin mengikat tali pusat bayi baru lahir
sebanyak 3 bagian, mulai diikat dari pusat. Jarak ikatan pertama
dengan pusat bayi dan ikatan lainnya masing-masing adalah 3
ruas jari. Dukun bersalin menggunakan tiga ruas jari tengah
sebagai pengukur untuk menandai setiap ikatan. Bagian yang
dipotong adalah antara ikatan kedua dan ikatan ketiga (terluar).
Sesaat sebelum tali pusat dipotong, bidan desa datang dan
mengambil alih tindakan pemotongan tali pusat yang sudah
diikat dengan benang oleh dukun. Bidan memasang jepit tali
pusat (klem) pada tali pusat diantara ikatan pertama dan kedua
yang telah dibuat oleh dukun, selanjutnya bidan memotong tali
pusat beberapa sentimeter dari ikatan pertama yang dibuat oleh
dukun kemudian tali pusat bayi ditutup dengan kasa dan bayi
dibungkus kain sarung, tanpa baju dan celana.
Sehari setelah bayi lahir terjadi pendarahan pada tali pusat
maka dipanggil bidan untuk melakukan tindakan mengatasi
perdarahan. Bidan mengikat kembali tali pusat yang sebelumnya
telah diikat oleh dukun dan membungkus tali pusat dengan kain
kasa steril yang terlebih dahulu diberi betadine. Sebelum
meninggalkan rumah ibu My, bidan memberikan beberapa helai

149

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kain kasa dan betadine pada keluarga untuk merawat tali pusat.
Setelah dilakukan tindakan oleh bidan, perdarahan sempat
berhenti namun menjelang sore darah masih terus keluar dari tali
pusat bayi. Malam hari, kembali keluar banyak darah dari tali
pusat. Bapak memanggil dukun untuk mengobati agar
perdarahan berhenti, tetapi darah terus keluar dari tali pusat.

Gambar 3. 3.
Sanro Mengikat Tali Pusat Bayi
Sumber: Dokumentasi Penelitian 2014

Hari berikutnya, warna kulit bayi berubah menguning,


pucat dan timbul warna biru pada dahi bayi. Suara tangisan bayi
terdengar menahan rasa sakit. Kedua orang tua tidak berniat
untuk membawa bayinya ke rumah sakit karena dalam keyakinan
Etnik Bajo, bayi belum boleh keluar rumah sebelum 3 hari pasca
melahirkan. Akhirnya setelah melalui perdebatan dengan pihak
keluarga, mereka memutuskan untuk membawa bayi ke rumah
sakit. Ibu-ibu yang berkerumun dan berkumpul di sekitar rumah
ibu My menyalahkan bidan karena tali pusat bayi dipotong terlalu
pendek. Menurut ibu Ec pemotongan tali pusat bayi seharusnya

150

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

diukur dengan menggunakan jari tengah untuk menghindari


terjadinya perdarahan pada tali pusat, namun menurut bidan
pemotongan tali pusat yang dilakukan sudah memenuhi standar
operasional (SOP) kebidanan.
3.1.4.3. Pasca Persalinan
Perawatan pasca persalinan adalah ibu dibersihkan, dukun
membuatkan satu gelas air putih yang telah dibacakan doa atau
mantra. Air yang dibacakan mantra tersebut dalam istilah lokal
disebut air tawe (air penawar) yang
berfungsi untuk
mengembalikan posisi rahim seperti semula. Masyarakat
menyakini bahwa ibu yang telah melahirkan, saraf-saraf pada alat
reproduksi (rahim, panggul vagina) banyak yang terputus.
Menurut informan (Sn, 73 tahun) ada 40 syaraf pada bagian
tersebut terputus.
Itu perempuan kalau habis melahirkan banyak putus
urat-uratnya bagaimana itu besarnya anak yang keluar
baru mengejan juga lama jadi banyak yang putus ada itu
sekitar 40 uratnya perempuan yang putus, urat-urat
bagian rahim dengan jalan lahir vagina itu mengendormi
jadi lebar jadi harus di parape pake air tawe (air
penawar) supaya kembali itu urat-urat yang kendor (Sn,
73 tahun)

Berdasarkan observasi dan wawancara dengan informan


Sh terdapat ritual lain yang dilakukan oleh dukun sesaat setelah
bayi lahir yakni, merapatkan kembali jalan lahir (vagina) dalam
istilah lokal disebut parape (merapatkan) agar jalan lahir kembali
rapat seperti semula, kandungan tidak turun dan melebar. Ritual
merapatkan jalan lahir dilakukan dengan cara dukun menekan
jalan lahir dengan menggunakan tumit kaki dukun sambil
menarik tangan ibu. Dilakukan terlebih dahulu menggunakan kaki

151

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kanan dilanjutkan dengan kaki kiri. Merapatkan jalan lahir selain


dilakukan oleh dukun pada hari pertama kelahiran, juga dapat
dilakukan oleh suami beberapa hari setelah melahirkan, dalam
jangka waktu hingga tiga hari pasca persalinan. Tindakan ini
dilakukan sebanyak 2 kali sehari pada pagi dan sore hari.
Kalau sudah di kasih minum air tawe (air penawar)
perempuan yang baru melahirkan bisa juga di kasih
rapat itunya
(jalan lahir) pake cara
parape
(merapatkan) cara-caranya gampang pake tumit sambil
di tarik tangan ibu, yang pertama dilakukan pada kaki
kanan dilanjutkan dengan kaki kiri. Parape (merapatkan)
bisa juga suaminya kerja kalau mau bagus biasa dikerja
selam 3 hari berturut 2 kali sehari pagi dengan sore (Sn,
73 tahun)

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan Sn,


peralatan yang biasa digunakan untuk memotong tali pusat
diantaranya adalah bulo tajam (bambu gurisat). Alat ini masih
sering digunakan oleh dukun bersalin hingga saat ini. Selain itu
dukun bersalin juga sering menggunakan silet yang dibeli di
warung sekitar rumah. Silet dicuci dengan air hangat untuk
melunakkan silet tersebut saat pemotongan tali pusat. Alat lain
yang digunakan adalah gunting apabila tidak ada bambu gurisat
atau silet.
Informan Sn (73 tahun) menceritakan tentang tata cara
pemotongan tali pusat, yaitu terlebih dahulu tali pusat diikat
dengan benang putih atau benang hitam menjadi 3 bagian
dengan jarak dari tali pusat sekitar 3 ruas jari, begitu seterusnya
hingga ikatan ketiga. Menurut informan pemotongan tidak boleh
terlalu pendek karena tempat tersebut adalah tempat bayi
bernafas. Pemotongan dilakukan antara ikatan kedua dengan
ikatan ketiga dengan tujuan agar tidak keluar darah dari tali pusat
bayi.

152

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Dari dulu saya sudah jadi sanro (dukun) masih gadis


ka saya sudah jadi sanro, banyakmi yang sudah saya
kasih melahirkan, tidak ada alat-alat tersendiri saya pake
dari dulu begitu-begitu ji paling untuk potong rette
lolohna (potong tali pusat), itu yang di pake bulo
(bambu), goncing (gunting) biasa pisau biasa juga silet
yang di beli di warung dengan pitte pute (benang putih)
sama pitte lotong (benang hitam) kalau mau mi dikerja
dicuci pake air hangat supaya lembek itu silet dipake
memotong, kalau mau dipotong itu di sio (dikat) dulu
pake pitte (benang) jadi 3 bagian...sampai ikatan ketiga,
cara pemotongnya tidak boleh terlalu pendek dipotong
di tengah anara ikatan satu sama ikatan 3 karena itu
tempatnyat anak bayi bernafas. Nyawa-nyawanya disitu
(Sn, 73 tahun)

Seorang informan lain mengatakan bahwa biasanya


sebelum tali pusat dipotong terlebih dahulu diberikan alas
berupa emas atau uang logam kemudian dibacakan doa oleh
dukun bersalin (sanro makkiana). Berikut kutipan doanya:
Bismillah nabi salewe asengna bulue, nabi cella
asengna darae, nabi rummu asengna jukue, nabi getting
asengna urue, nabi ci gareppu asenna bukue artinya
Nabi Salewa namanya bambu, nabi merah namanya
darah, nabi rummu namanya ikan, nabi getting namanya
urat/ syaraf, nabi cigareppu namanya tulang (Sn, 73
tahun)

Berdasarkan penelusuran peneliti, diketahui bahwa pada


tahun 2009 ada 1 kematian ibu dan bayi. Ibu meninggal beberapa
hari setelah melahirkan. Ari-ari baru keluar tiga hari setelah ibu
melahirkan dan perutnya membesar seperti ibu hamil. Menurut
pengakuan informan, adik ibu meninggal yang sempat menyusui
bayinya, berdasarkan diagnosa dokter penyebab kematian bayi
adalah busung lapar. Bayi tersebut sempat mendapatkan
153

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

penangan medis di RSUD Djafar Harun (RSUD Kabupaten Kolaka


Utara) namun tidak tertolong.
Itu anak kasian meninggal mamanya waktu lahir ki
tahun 2009, anaknya saya punya ade masih muda dia
meninggal jadi kemanakanku itu anak sempat saya kasih
tetek (menyusui) tapi begitumi tidak ada kasiank
mamanya, sakit-sakitan tidak lama hidupnya, waktu sakit
perutnya besar baru kecil badanya waktunya parah
sakitnya sempat di bawah ke rumah sakit djafar Harun
dia bilang dokter SR busung lapar katanya(Nh, 31
tahun)

Selain itu, diketahui pula bahwa sekitar tahun 2011 ada 1


kematian bayi karena perdarahan tali pusat. Persalinan tersebut
dilakukan oleh dukun. Bayi baru lahir tersebut mengalami
perdarahan satu minggu setelah kelahiran dan terlambat dibawa
ke fasilitas kesehatan untuk mendapat penangan medis dengan
alasan sulit menemukan alat transportasi untuk merujuk bayi
tersebut.
Tahun 2012 eh buka tahun 2011 itu waktu dia
meninggal baru-baru lahir sama dukun itu anaknya
mama I anu berdarah tali pusarnya satu minggu itu
lahirnya baru di bawa juga ke rumah sakit tapi dia bilang
dokter lambatmi di bawah tidak selamat itu anak,
bagaimana itu waktu susah juga kapal apa lagi ada juga
tradisi disini tidak boleh itu anak-anak dibawah pergi
dari rumah kalau belum mabantang (ritual dimandikan)
(Nw, 29 tahun)

Terkait dengan kematian ibu maternal, dari penelusuran


yang dilakukan peneliti diketahui bahwa sekitar tahun 2006 ada
1 orang ibu meninggal dalam proses bersalin sebelum bayi
dilahirkan dengan penolong persalinan adalah dukun. Selain itu

154

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

pada tahun 2009, ada 1 kematian ibu. Ibu tersebut melahirkan


dengan bantuan dukun namun ari-ari/plasenta belum bisa
dikeluarkan oleh dukun.
Menurut cerita ibu Nh, (adik kandung ibu yang
meninggal) penyebab kematian ibu tersebut adalah ari-ari
(placenta) yang masih tertinggal dalam rahim atau placenta
lengket pada dinding rahim dalam waktu yang lebih lama dari
kebiasaan. Tiga hari setelah lahirnya bayi, placenta berhasil
dikelurkan oleh dukun melalui bongkar balango setelah
sebelumnya dilakukan upaya pengurutan perut oleh dukun
tersebut dalam kondisi berbau busuk. Setelah placenta
dikeluarkan perut dan jalan lahir (vagina) ibu membengkak,
karena khawatir dukun tidak bisa melakukan upaya perawatan
dan pengobatan, akhirnya keluarga memutuskan membawa ibu
tersebut ke rumah sakit daerah (RSUD) Djafar Harun. Fasilitas
medis di rumah sakit kabupaten belum memadai sehingga perlu
dirujuk ke RSU Kendari, tetapi pasien tidak mau karena sudah
pasrah menerima nasib bahwa dirinya akan meninggal.
Kalau di sini sebenarnya gampang-gampang orang
melahirkan jarang ada yang bermasalah paling biasa
kejadian ari-ari yang susah keluar atau lahir anaknya
tapi berdarah terus pusarnya, kalau bermasalah dikirim
ke rumah sakit baikmi di bawah pulangmi tapi kalau
sampai meninggal jarang tapi ada, pernah dulu ada
tahun 2006 meninggal tidak bisa keluar anaknya dia mati
juga kasiank dengan anak diperutnya dia bilang dukun
kering mi itu ketubannya jadi tidak bisami keluar jadi
mati di dalam kasian, terus kejadiannya juga itu saya
punya ade sendiri melahirkan tapi lahir mi anaknya tapi
tidak mau keluar ari-arinya setengah mati dikerja dukun
tapi tidak keluar-keluar nanti 3 hari baru keluar setengah
mati dia urut dukun baru keluar sampai busukmi itu ariari waktu keluar, sudahnya keluar itu ari-ari bengkak

155

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

perutnya sama tempat lahirnya (jalan lahir) anak-anak


jadi di bawa pergi rumah sakit Djafar Harun tapi tidak
bisa juga ditangani karena tidak lengkap juga alatnya jadi
disuruh bawa ke rumah sakit di Kendari tapi tidak mau
sekali mi saya punya ade dia pasrahmi kalau memang
sudah ajal (My, 27 tahun)

3.1.4.4. Masa Nifas


Pada masa nifas, aktifitas ibu kembali normal sehari atau
3 hari pasca bersalin. Ibu sudah mengerjakan pekerjaan rumah
tangga seperti mencuci, mengangkat air dari sumur atau menjual
ikan. Ibu tidak dapat beraktifitas normal pada kondisi tertentu
seperti mengalami ari-ari susah keluar. Umumnya ibu harus
istirahat 3 hari sampai 1 minggu untuk bisa beraktifitas kembali
seperti biasa.
Kalau sudah melahirkan biasa saja kembali kayak
biasa memasak, mencuci, angkat air urus anak-anak
yang lain, kalau saya anakku baru satu hari ke dapurmi
memasak saya kerja semua kembali pekerjaan rumah
tangga bisa malah baru 3 hari saya bantu bapaknya kerja
angkat ikan ituji biasa tinggal-tinggal tidak kerja kalau
waktu melahirkan susah keluar ari-ari jadi istrahat dulu
tapi paling juga 3 hari atau paling lama 1 minggu (My,
27 tahun)

Perawatan yang dilakukan pada masa nifas berdasarkan


hasil observasi dan wawancara mendalam adalah perawatan
payudara, perawatan ibu dan bayi dan perawatan jalan lahir
(vagina). Masyarakat Etnik Bajo di Sulaho merawat ibu pada masa
nifas dengan ritual masaula (mengurut), dilakukan oleh dukun
yang menolong persalinan ibu nifas tersebut. Ritual ini
berlangsung selama tiga hari setelah melahirkan, dilakukan pada

156

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

hari kedua pada pagi dan sore hari. Pengurutan dilakukan dengan
menggunakan minyak kelapa/boka.
Selama ini dari anak pertama sampai sekarang, kalau
habis melahirkan biasanya ma saula (mengurut) sama
dukun itu yang di urut mulai tetek (payudara), bagian
peranakan (rahim) sama tempat keluarnya anak-anak
(jalan lahir) dikerja sama dukun satu hari sampai hari ke
3 tiap hari dukun datang biasa waktu pagi sama
sore(Ft, 26 tahun)

Pengurutan payudara bertujuan untuk merangsang


produksi ASI dan melancarkan ASI sehingga ASI menjadi banyak.
Pijatan pada bagian seputar perut dan pinggul untuk
mengembalikan posisi rahim seperti semula karena pasca
bersalin posisi rahim bergeser atau turun sehingga dibutuhkan
pemijatan untuk mengembalikan posisi rahim ke tempat semula.
Kegiatan perawatan jalan lahir atau dalam istilah lokal disebut
dengan maparape (merapatkan) jalan lahir (vagina) dilakukan
untuk mengembalikan dan merapatkan jalan lahir karena diyakini
bahwa dalam proses persalinan banyak saraf dari organ
kewanitaan yang terputus.
Tidak ada yang disiapkan kalau mau masaula
(mengurut) cuma minyak boka (minyak kelapa) yang
ditaroh dia tas piring bisa juga di cangkir sembarang
yang penting terbuka, harus diurut supaya lancer air
tetek (ASI) keluar, baru banyak kalau di urut tidak
terputus putus, kalau perut diurut untuk kasih kembali
peranakan (rahim) kalau maparape (merapatkan)
supaya kembali bagus jalanya anak keluar (vagina) biar
tidak longgar juga he he...(My, 27 tahun)

Adapun tata cara masaula (mengurut) payudara


berdasarkan observasi pada ibu nifas adalah dukun berada dalam
posisi duduk dengan kaki menyilang, posisi tepat di belakang ibu

157

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

yang akan di urut, kemudian dukun mulai membasuh kedua


telapak tangan dengan menggunakan minyak kelapa dan mulai
melakukan pijatan pada daerah payudara secara perlahan sekitar
5 menit.
Selanjutnya ibu berbaring di lantai yang beralaskan tikar
dengan posisi kedua kaki ditekuk seperti posisi saat akan
melahirkan, posisi dukun berada di samping ibu dan mulai
melakukan pijatan di daerah perut bagian bawah, pinggul dan
selanjutnya pada perut bagian atas. Ibu masih dalam posisi yang
sama namun posisi kedua kaki lebih lebar dari sebelumnya dan
posisi dukun berada di depan jalan lahir, dukun mulai melakukan
perawatan jalan lahir atau dalam istilah lokal disebut dengan
maparape (merapatkan).
Berdasarkan observasi dan wawancara diketahui bahwa,
selain ritual masaula (mengurut) terdapat ritual lain yakni, ritual
siraman pertama kali oleh dukun dengan menggunakan air yang
sudah di baca mantra khusus atau dikenal dengan matawe
(penawar). Air yang dibacakan mantra (air tawe) bertujuan
mengembalikan alat reproduksi ibu bersalin seperti semula,
biasanya air tawe (penawar) diminum sesaat setelah melahirkan
dan dapat pula di campur pada air yang digunakan mandi pada
siraman pertama kali. Ritual ini merupakan rangkaian dari ritual
masaula (mengurut). Ritual siraman menjadi simbol bahwa ibu
telah kembali bersih dari kotoran setelah melahirkan.
Berdasarkan hasil observasi tata cara siraman yang
dilakukan oleh dukun adalah: mengambil air yang telah
dibacakan doa atau jappi-jappi (matawe) dengan gayung untuk
menyiram tubuh ibu yang baru bersalin. Air dalam satu gayung
digunakan untuk menyiram badan ibu dimulai dari menyiram
rambut dan anggota tubuh sebanyak 3 kali. Setelah ritual siraman
oleh dukun selesai, ibu melanjutkan mandi sendiri.

158

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Satu hari sudahku melahirkan di mandi sama dukun


tapi sebelumnya di saula (diurut) dulu sama dukun,
caranya dimandi dukun ambil air di timbah (gayung)
disiramkan ke badan tapi itu air dibacakan doa atau
jappi-jappi sama dukun (matawe) Air dalam satu satu
timba dipake untuk menyiram badanta dimulai dari
menyiram rambut terus badan sama yang lain. Air yang
sudah di tawe (dibacakan mantera) yang ada dalam 1
timbah tidak langsung disiram 1 kali tapi 3 kali, seperti
kalu berudhu supaya manjur, setelah ritual memandikan
(siraman) oleh dukun selesai ibu baru boleh mandi
sendiri (Sh, 30 tahun)

3.1.5. Menyusui
Menyusui adalah proses pemberian susu dari payudara ibu
kepada bayi atau anak kecil dengan air susu ibu (ASI). Bayi
menggunakan refleks menghisap untuk mendapatkan dan
menelan susu. Masyarakat Etnik Bajo di Sulaho beranggapan
bahwa menyusui bayi adalah hal yang sangat penting dan
menjadi hak yang harus didapatkan bayi dan sudah alamiah jika
seorang ibu harus menyusui bayinya.
Kalau di Sulaho ibu dia kasih tetek (menyusi) semua
anak-anak karena penting itu, cuma itu makanannya
anak bayi jadi harus dikasih minum air susu jadi wajar
sekali itu kalau ibu kasih tetek (menyusi) sudah
kodratnya ibu kasih tetek (menyusui) (Ne, 30 tahun)

Masa menyusui pada masyarakat Etnik Bajo adalah sejak


hari kelahiran, namun batas waktu menyusui tidak ada aturan
atau tradisi yang mengikat untuk berhenti memberi ASI
tergantung kondisi ibu dan lingkungan. Terkadang ibu berhenti
menyusui bila ibu hamil. ASI tidak serta merta dihentikan, ada
beberapa ibu meminta tolong untuk menyusui anaknya, baik
159

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kepada saudara atau tetangga yang masih menyusui anaknya.


Ada pula yang memberikan ASI dalam kondisi hamil, tak jarang
seorang ibu menyusui dua anak mereka sekaligus. Ada ibu yang
menyusui anaknya hingga usia 4 tahun.
Dikasih tetek (menyusui) dari lahir kalau adami airnya
tetek tapi kalu belum keluar biasa saya kasih saudara
kalau ada juga anak kecilnya nanti baru saya kasih tetek
(menyusui) kalau adami airnya, kalau lamnya tidak tentu
tergantung samapinya biasa hamilki lagi kalau satu
tahun hamilki biasa berhentimi tapi ada juga saya
anakku tetapji saya kasih tetek (menyusui) biar hamil
sampai lahir adenya masih saya kasih tetek (menyusui)
kakanya bersamaan, ada malah tetanggaku dia masih
kasih tetek (menyusui) anaknya sampai 4 tahun (Ft, 26
tahun)

Biasanya anak dihentikan menyusui ketika disubstitusi


dengan susu formula atau susu cair kaleng dan biasanya mereka
memberikan susu kaleng merek tertentu yang mudah diperoleh.
Alasan ibu memberikan ASI karena mudah diberikan, praktis,
murah dan gratis dibandingkan jika harus memberikan susu
formula yang harganya mahal.
Lebih saya suka kasih tetek (menyusui) anakku, lebih
gampang, tidak cape-cape dibikin di banding susu baru
murah tidak dibayar gratis, tapi saya ada anakku yang
cepat berhenti saya kasih tete (menyusui) karena hamil
jadi saya kasih susu cap enak (Rsm, 31 tahun)

Air susu ibu (ASI) yang keluar pertama kali berwarna


kuning dan kental (colostrum) dianggap kotor dan basi, sehingga
biasanya dibuang terlebih dahulu. ASI yang pertama kali keluar
diperas hingga keluar ASI yang mulai jernih dan tidak kental lagi
dengan tujuan untuk membersihkan puting susu. Seorang
informan menyikat puting payudara dengan sikat gigi sampai

160

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

menghilang semua bercak putih yang melengket pada puting


payudara ibu. Selanjutnya ASI yang sudah dianggap bersih baru
disusukan kepada bayi. Hal ini berbeda dengan anggapan medis
bahwa air susu yang pertama kali keluar berwarna kuning
(colostrum) bermanfaat untuk dikonsumsi bayi karena
mengandung zat pendukung imunitas untuk menjaga daya tahan
tubuh bayi dari serangan penyakit.
Pertama keluar air tetek (ASI) itu yang kental warna
agak kuning-kuning saya buang karena sudah ditau
semuami di kampong sini kalau itu susu basi, kotor jadi
di buang dulu sampai bersih jernih tidak kuning, biasa
saya bersihkan pake sikat gigiku saya sikat sampainya
bersih tidak adami sisanya di putingnya tetek
(payudara) (Rs, 31 tahun)

Aktor-aktor yang berperan dan berpengaruh dalam masa


menyusui adalah ibu, saudara kandung ibu dan bapak, atau
tetangga terdekat yang masih menyusui bayinya. Hal ini
dilakukan jika ASI ibu yang baru saja melahirkan belum keluar,
karena pada beberapa kasus terdapat ibu yang tidak langsung
mengeluarkan air susu sesaat setelah melahirkan ataupun ketika
ibu bayi sedang tidak di rumah sementara bayi membutuhkan
ASI. Pemberian ASI bisa dilakukan ibu dimana saja baik di rumah
sendiri, di rumah tetangga maupun tempat umum.
Di sini enak kalau kasih susu anak-anak kalau lagi
banyak anak bayi, apa lagi disini jarang tidak ada anak
kecil jadi saling mengerti, saling membantu kalau pergipergi tidak bisaki kasih tetek anak bayi dititip sama
saudara, neneknya tetangga yang ada anak kecil jadi dia
yang kasih susu saya mamaku biasa juga dia kasih susu
karena ada juga anak kecilnya (Ft, 26 tahun)

161

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Selama menyusui, makanan yang dianjurkan untuk


dikonsumsi ibu adalah kacang tanah dan pepaya yang dipercaya
dapat memperbanyak ASI selama masa menyusui. Umumnya
dalam satu minggu sekitar 1-2 kali mereka mengonsumsi sayur,
terutama jika ada yang pergi ke pasar. Makanan yang tidak boleh
dikonsumsi selama menyusui adalah makanan yang terbuat dari
beras ketan hitam dan cumi-cumi karena dapat berakibat buruk
pada bayi yaitu menimbulkan penyakit diare pada anak.
Kalau lagi kasih tetek (menyusui) begini mengenai
makanan biasa saja paling disuruhki makan kacang,
pepaya karena itu kacang sama papaya bisa katanya dia
bikin banyak sekali air tetek, kalau makanan yang tidak
boleh cumi sama makanan dibikin dari beras ketan hitam
karena katanya kalau itu dimakan dia bikin berak-berak
(diare) anak-anak (bayi) (My, 27 tahun)

3.1.6. Neonatus dan Bayi


Perawatan tali pusat pada neonatus sangat penting untuk
menghindari terjadinya infeksi atau perdarahan. Berdasarkan
observasi yang dilakukan, perawatan dilakukan dengan
membersihkan tali pusat setiap hari selesai bayi dimandikan.
Bahan yang digunakan untuk perawatan tali pusat adalah minyak
kelapa (boka), kunyit, kain kasa, ataupun kapas dan terkadang
ada pula yang menggunakan kain sarung ataupun handuk. Tali
pusat dibersihkan dengan kain kasa diberikan kunyit yang telah
dicampur dengan minyak kelapa dan dioleskan pada tali pusat.
Setelah itu bayi dibalut dengan kain sarung. Perawatan tali pusat
dengan cara seperti ini dilakukan hingga tali pusat terlepas, yaitu
3 hingga 7 hari setelah melahirkan.
Berdasarkan observasi dan wawancara dengan beberapa
informan diketahui bahwa bayi hanya memakai kain sarung

162

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

selama tali pusat belum kering dan terlepas karena


dikhawatirkan melukai tali pusat. Sarung yang digunakan
sebanyak 7 lembar disusun berurutan sebagai alas, dipakai terus
menerus hingga sarung lapisan terbawah ketika anak mengompol
dan sejenisnya. Perlakuan lain adalah bayi baru lahir tidak
diperkenankan untuk diurut (dipijat) sebelum tali pusat
mengering.

Gambar 3. 4.
Sarung Tujuh Lapis untuk Bayi Baru Lahir
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Anak bayi tidak bisa di kasih pake sarung dulu karena


bahaya nanti dikena tali pusatnya bisa berdarah jadi
susah kering, nanti lepas kalau sudah 3 hari atau 7 hari
lepas baru dikasih pake baju, baru tidak bisa juga diurut
nanti lepas tali pusat baru bisa diurut (Nj, 56 tahun)

Ada tradisi tertentu dalam perawatan ari-ari (placenta)


bayi. Plasenta dibersihkan oleh dukun, dengan cara dicuci hingga
sisa darah tidak lagi melekat. Ari-ari yang sudah bersih dari sisa
darah ditandai dengan air bekas cucian yang sudah tidak
163

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

berwarna merah. Ari-ari bersih dicampur dengan beras, tulang


ikan, asam dan garam kemudian dimasukkan dalam toples plastik
dan disimpan dalam kappara dekat tempat tidur bayi sampai tali
pusat bayi terlepas.
Ari-ari harus dicuci sampai bersih agar anak sehat dan
kulitnya tidak mengalami bentol-bentol (puru-puru). Pemberian
beras dan tulang ikan pada ari-ari sebagai penghormatan atau
perlakuan yang sama pada ari-ari yang diyakini sebagai saudara
kembar bayi sehingga apa yang akan dimakan oleh anak kelak
diberikan juga pada ari-ari tersebut. Sementara pemberian garam
dan asam bertujuan untuk menghindarkan bau. Pemberian
garam dan asam yang kurang dapat menyebabkan bau dan anak
memiliki sifat yang buruk.
Ari-ari di kasih bersih waktu di cuci supaya anak bayi
bersih kulitnya tidak puru-puru (bentol-bentol), kalau
garam sama asam supaya tidak bau itu ari-ari karena
masih mau disimpan lama baru biasa kalu banyak garam
sama asam tidak nakal nanti anak-anak kalau besar.
Kalau beras itu dengan tulang ikan untuk itu ari-ari
karena itu ari-ari kembarnya itu anak bayi jadi apa yang
dimakan sam kita harus juga dikasih itu ari-ari (Sn, 73
tahun)

Tali pusat yang terlepas biasanya disimpan oleh ibu dan


digunakan untuk mengobati bayi sampai balita kelak ketika sakit
perut. Setelah tali pusat terlepas, maka diadakan ritual yang
disebut mabantang yang berarti membedaki. Sebuah ritual yang
memiliki filosofi untuk melepaskan dukun (mappaleppe sanro),
yang berarti ibu dan bayi tidak terikat lagi dengan dukun. Ritual
dilakukan sebagai bukti lepasnya tanggung jawab dukun kepada
ibu dan bayi. Dalam keyakinan masyarakat ritual ini wajib
dilakukan karena jika tidak dilakukan dapat menyebabkan dukun
dapat mengalami lumpuh. Mabantang biasanya dilakukan

164

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

sebelum pelaksanaan selamatan bayi (aqiqah), namun


pelaksanaan aqiqah biasanya dilaksanakan sesuai kemampuan
keluarga, jika belum mampu biasanya hanya melakukan kegiatan
mabantang saja. Seorang informan melakukan aqiqah untuk
anak perempuannya pada usia 4 tahun bertepatan dengan
penyelenggaraan sunat karena pasca kelahiran belum memiliki
uang.
Kalau lepas mi tali pusatnya itu anak bayi
dilaksanakanmi acara ma bantang (membedaki) acara
ini dilakukan untuk menandakan lepasnya tanggung
jawab sanro (dukun) kepada ibu dan anak bayi karena
kalau tidak dilakukan nanti dukun lumpuh. Mabantang
biasanya sebelum aqiqah, saya dulu ada anakku tidak
aqiqah Cuma ma bantang nanti umur 4 tahun baru saya
aqiqah karena baru ada uang jadi saya aqiqah
bersamaan dengan sunnatnya (Ft, 26 tahun)

Bahan yang disediakan untuk keperluan mabantang


adalah buah kelapa, beras ketan dan gula merah. Gula merah dan
buah kelapa dibuat makanan yang disebut cangkuli (parutan
kelapa dicampur gulah merah). Beras ketan dibuat makanan yang
dalam istilah lokal dikenal dengan nama leppe-leppe, biasanya
dibuat sebanyak 40 biji, untuk persembahan dukun sebanyak 20
biji dan sisanya untuk bayi. Leppe-leppe untuk bayi disimpan
dalam ayunan, yang nantinya akan disantap tamu yang hadir.
Dukun membacakan mantra, dilanjutkan dengan prosesi
mabantang. Bedak dibuat dari beras dan kunyit yang ditumbuk
halus. Dukun membedaki ibu dengan cara menotol bedak
menggunakan sabut kelapa pada bagian pelipis kanan, kiri dan
dada, dilanjutkan pada bayi, bapak dan tamu. Biasanya semua
tamu harus dibedaki dalam ritual mabantang karena diyakini
akan sakit jika orang yang hadir tidak ikut dibedaki. Ibu yang tidak

165

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dapat membuat leppe-leppe dan cangkuli, dapat mengganti


dengan bahan mentah dan memberikannya kepada dukun.
Pasca mabantang, maka ari-ari atau plasenta akan
dikeluarkan dari rumah. Ari-ari umumnya digantung di pohon
sekitar rumah atau pada bagian rumah. Upaya ini diyakini akan
menjadikan anak memiliki jodoh yang tidak jauh dari kampung.
Ari-ari juga dapat dihanyutkan di laut, kelak anak akan mengikuti
jejak ayahnya sebagai nelayan dan ada pula yang meyakini bahwa
kelak anak akan memiliki jodoh jauh dari kampung. Cara lain
adalah ditanam dalam tanah, namun cara ini hampir tidak
pernah dilakukan karena diyakini dapat menyebabkan anak
menjadi bodoh.

Gambar 3. 5.
Ari-ari yang Digantung pada Bagian Rumah
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Cermin dan pisau yang ditempatkan di samping bayi


ditujukan agar bayi terhindar dari gangguan mahluk halus ketika
tidak ada orang yang menjaganya. Masyarakat memiliki
kebiasaan menggunakan tanaman ariango yang biasanya
dikeringkan untuk dibuat gelang ataupun diikatkan pada

166

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

pinggang bayi dengan menggunakan benang hitam agar


terhindar dari gangguan mahluk halus. Ariango yang telah
dikeringkan juga bisa dipasang pada baju bayi dengan
menggunakan peniti.
Biasanya saya anak bayiku kalau ditinggal dirumah
dikasih cermin di sampingnya dengan pisau supaya tidak
diganggu mahluk halus biar sendiri anak-bayi ada yang
jaga, tapi kalu besar-besarmi sedikit di pasangkan
ariango dibikin gelang baru dikasih kering dulu baru di
bikin gelang bisa juga dibikin ikat pinggang baru
dipasangkan sama bayi, kalau tidak di bikin gelang bisa
juga di tusuk dengan peniti di bajunya anak-anak (Hs,
36 tahun)

3.1.7. Anak Balita


Tidak ada perawatan khusus bagi anak balita pada Etnik
Bajo di Sulaho termasuk dalam pola makan. Anak balita boleh
makan tanpa ada batasan khusus, yang harus dan tidak boleh di
konsumsi. Sebagian anak balita yang dijumpai selama penelitian,
tampak mengonsumsi jajanan bahkan, tidak sedikit orang tua
dengan sengaja membelikan jajanan seperti permen, es lilin atau
mi instan.
Tim peneliti menjumpai banyak anak balita yang tidak
lengkap imunisasinya. Orang tua memberikan alasan kenapa
anak tidak diimunisasi ketika petugas kesehatan datang ke
rumah, diantaranya karena anak sedang sakit atau sedang tidur
dan tidak boleh dibangunkan karena biasanya bayi akan kaget
dan menyebabkan sakit.
Sakit perut yang diderita anak balita dapat diobati dengan
cara merendam ari-ari (aerung) yang biasanya masih disimpan
oleh ibu dalam air hangat untuk kemudian diminumkan pada

167

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

anak. Cara ini dipercaya dapat menjadi obat yang mujarab karena
ari-ari berasal dari bagian perut sehingga dapat menyembuhkan
sakit perut anak.

Gambar 3. 6.
Ari-ari Bayi yang Sudah Kering
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

3.1.8. Permainan Tradisional Anak


Setelah selesai dengan pekerjaan domestik, biasanya kaum
ibu berkumpul di depan rumah pada beberapa rumah tertentu
saling mengobrol dan membicarakan tentang kejadian seharihari. Anak-anak sudah bermain sejak pagi di sekitar lapangan dan
sepanjang jalan desa telah ramai dengan anak-anak yang
bermain. Menjadi keunikan di Sulaho adalah permainan seharihari anak-anak sebagian besar merupakan permainan tradisional.
Permainan dimainkan secara musiman, artinya saat ini bermain
dengan mainan tertentu, beberapa waktu kemudian bermain
dengan permainan jenis lainnya. Permainan tradisional

168

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

memanfaatkan bahan alam yang ada di sekitar lingkungan


tempat tinggal. Permainan tradisional yang ada di berbagai
belahan nusantara ini dapat menstimulasi berbagai aspek
perkembangan anak, seperti aspek motorik, aspek kognitif, aspek
emosi, aspek bahasa, aspek sosial, aspek spiritual, aspek ekologis
dan aspek nilai-nilai/moral (Misbach, 2006). Permainan yang
dimainkan di antaranya adalah tembak-tembakan, danda, binta,
gasing, kelereng, galacang/dakon dan perahu-perahuan.
Permainan tembak-tembakan
Pada sebuah pagi terlihat anak-anak yang tengah
menjelajah semak belukar tepat di depan rumah tempat tim
peneliti tinggal. Semua anak laki-laki tampak membawa mainan
kayu berupa tembak-tembakan yang dibuat sendiri, tanpa
membeli dan mereka merasa gagah bak tentara. Anak-anak pra
sekolahpun seolah tidak mau kalah dengan anak-anak yang lebih
tua dari mereka dengan menyelempangkan senjata mainannya
meski tidak ikut serta dalam peperangan. Sebuah basecamp
berada di pos ronda, beberapa orang telah bersatu menjadi
kawan di pos ronda ini, mereka memasang selembar seng
sebagai perisai melindungi diri dari tembakan lawan, sementara
satu kelompok lain berada tepat di depannya berhadapan di
bawah sebuah gubug beratap rumbia. Mereka saling tembak
menembak seperti perang sungguhan. Permainan ini umumnya
dimainkan oleh laki-laki, dilakukan dengan membuat dua kubu
yang memiliki basecamp dan saling melepaskan tembakan tanda
perang tengah berlangsung. Ada pula anak perempuan yang
memainkan permainan jenis ini.
Alat permainan jenis ini dapat dibuat oleh anak-anak usia
sekolah yang sudah besar, sementara anak-anak pada usia yang
lebih kecil dibuatkan orang tua atau saudara yang lebih besar.
Permainan tembak-tembakan ini dibuat dengan menggunakan
kayu papan yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai jenis
169

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

senapan atau tembakan tertentu. Pada bagian depan senapan


dipasangi dengan karet yang dapat ditarik ke belakang sehingga
dapat menyangkut pada sebuah kayu kecil yang dipasang pada
bagian tengah senapan dan berfungsi sebagai pelatuk. Peluru
adalah biji tanaman rambat yang oleh masyarakat setempat
disebut sebagai tanaman katak-katak/tarere tumbuh liar di
sekitar desa, seperti sekitar pantai, sekitar rumah tinggal dan
lapangan desa.
Danda
Debug, debug, debug, suara langkah kaki-kaki kecil yang
menumpukan satu kaki kanannya sambil berjalan. Kegiatan
tersebut adalah bagian sebuah permainan bernama danda.
Permainan dengan area bermain yang dilukis di atas permukaan
tanah sedemikian rupa menggunakan kayu atau benda runcing
sehingga dapat memunculkan garis membentuk geometri
sebagian besar berbentuk persegi mulai bagian pangkalnya
(awalan) dan setengah lingkaran sebagai bagian ujungnya
(penutup).
Awalan

Penutup

Gambar 3. 7.
Area Permainan Danda
Sumber: Data Penelitian Tahun 2014

170

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Selain area bermain tersebut, biasanya digunakan pecahan


tegel sebagai alat bermain untuk setiap pemain. Permainan
dilakukan secara bergiliran satu per satu hingga seseorang
dianggap gagal/mati, dilanjutkan bergantian dengan teman
lainnya, begitu seterusnya. Permainan ini umumnya dilakukan
oleh anak perempuan, akan tetapi anak lelaki juga biasa
memainkan permainan jenis ini.
Gasing
Sebuah kayu yang dibentuk seperti dua segitiga pada
bagian atas dan bawahnya. Anak-anak lelaki bergerombol dan
mengerumuni sebuah karung plastik kecil. Karung ini
dimaksudkan sebagai alas untuk memainkan gasing, sebagai
medan pertempuran gasing yang dimiliki oleh masing-masing
anak. Gasing dilempar tepat di atas karung, berputar dengan
cepat dan tak lama kemudian disusul pemain lain yang berusaha
melindas gasing yang sudah terlebih dahulu berputar di atas
karung plastik tersebut. Permainan jenis ini hanya dimainkan
oleh anak laki-laki saja.
Binta
Anak-anak secara alami bermain dengan membagi dirinya
dalam kelompok-kelompok tertentu. Dua orang sebagai
pemegang tali (binta) di kedua ujungnya sementara anak yang
lainnya bergantian untuk melompat pada tali yang diayun sambil
menyanyikan sebuah lagu atau dapat juga berhitung tergantung
kesepakatan dalam permainan. hom pim pa hom pim pa
menjadi sebuah penentu siapa yang akan bermain atau harus
mengayun tali. Jika anak yang bermain dapat menyanyi atau
berhitung dengan benar maka ia akan terus melompat. Tetapi
jika ia tersangkut ketika melompat, salah lirik atau tidak dapat
menyanyi atau salah berhitung maka ia akan menggantikan
temannya untuk mengayun tali. Begitu seterusnya siklus

171

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

permainan ini, tapi terkadang jika pengayun tali merasa capek,


teman yang bermain lompat talipun bersedia menggantikan
menjadi pengayun tali.
Kelereng
Anak-anak lelaki biasanya juga bermain kelereng. Dengan
cara bergiliran, anak-anak mencoba untuk membidik kelereng
lawan yang ada di tanah dengan kelerengnya yang disentak
dengan keras menggunakan jari-jarinya. Jika kelereng tersentuh
berarti ia menang.
Galacang/dakon
Permainan ini dilakukan dengan membuat lubang pada
tanah lalu mengisinya dengan kerikil. Permainan ini dilakukan
seperti halnya bermain dakon permainan anak Etnik Jawa.
Setiap anak yang bermain secara bergiliran mengisikan kerikil itu
pada setiap lubang sampai kerikil dalam genggaman yang diambil
dalam satu lubang habis diisikan. Ia akan berhenti ketika
menaruh kerikil pada lubang yang kosong. Selanjutnya
permainan berganti pada teman, begitu seterusnya. Pemenang
adalah anak yang mendapat jumlah kerikil terbanyak.
Perahu-perahuan (Lopi-lopian)
Perahu dibuat dari gabus atau kayu. Gabus yang digunakan
biasanya kotak gabus-gabus sisa atau rusak yang telah digunakan
sebagai tempat untuk menyimpan ikan. Perahu biasanya dapat
dibuat secara mandiri oleh anak-anak yang berusia relatif besar,
sementara anak-anak kecil biasanya dibuatkan oleh orang
tuanya. Kayupun merupakan kayu-kayu sisa pembuatan perahu
atau kayu-kayu yang dapat diperoleh dari hutan atau dengan
memungut sampah kayu di laut.
Seringkali tampak anak-anak berkerumun pada beberapa
tempat secara insidental. Satu diantaranya biasanya membawa
sebuah toples atau tempat bekal makan yang berisi potongan

172

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kertas-kertas kecil bergambar ukuran sekitar 2x3 cm. Beberapa di


antaranya tengah menggosok-gosok sebuah tanda hitam yang
berputar mengelilingi sebuah gambar pada kertas kecil itu.
Terdapat anak yang melempar begitu saja kertasnya, karena ia
baru saja mendapatkan gambar bom dibalik tanda hitam yang
digosoknya.
Seseorang dianggap berhasil adalah yang dapat
menggosok semua bagian bertanda hitam selain menyisakan satu
tanda hitam berupa gambar bom. Sebagai hadiah penggosok ini
akan mendapatkan uang sebesar Rp. 2000,- dari penjual. Satu
potongan kertas kecil dijual dengan harga Rp. 500,-. Permainan
jenis ini, biasa disebut dengan cabuk-cabuk merupakan
permainan yang sangat popular selama masa penelitian. Penjual
cabuk-cabuk biasanya anak-anak yang dibelikan oleh orang tua,
beberapa di antaranya adalah ibu-ibu muda. Satu papan cabukcabuk berisi 100 potongan kertas seharga Rp. 8000,-.
3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Orang Bajo di Sulaho
Suatu negara yang sehat berawal dari diri sendiri dan
keluarga yang sehat. Indonesia menganut prinsip kesehatan non
diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan. Dalam konstitusi di
Indonesia, kesehatan didefinisikan sebagai suatu keadaan sehat,
baik secara fisik, mental, spritual, maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial
dan ekonomis (UU No 36 tahun 2009). Sehat itu masih banyak
ditafsirkan bahwa harus memiliki peralatan penunjang kesehatan
yang lengkap dan memadai sehingga tetap butuh biaya yang
tidak sedikit untuk memenuhinya. Padahal tidak harus demikian.
Langkah yang paling mudah dan sederhana untuk mewujudkan
kesehatan dan menjaganya serta mencegah penyakit adalah

173

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

hanya dengan melakukan dan mengimplementasikan dalam


kehidupan sehari-hari Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
PHBS dapat dipahami sebagai sekumpulan perilaku yang
dipraktekkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran
yang menjadikan seseorang, keluarga, atau masyarakat mampu
menolong dirinya sendiri (mandiri) dalam bidang kesehatan dan
berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan (Kemenkes, 2011).
Dengan demikian, sangat banyak jenis PHBS yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari perilaku yang
berhubungan dengan diri sendiri, yang berkaitan dengan orang
lain, sampai dengan lingkungan sekitar. Misalnya perilaku
mengonsumsi makanan dan minuman sehat seperti sayur, buah,
multi vitamin dan sejenisnya, perilaku istirahat yang cukup dan
olahraga teratur, perilaku membuang sampah pada tempatnya
dan tidak mencemari sumber air bersih, perilaku pengendalian
diri dan mental, dan lain sebagainya.
Dalam lingkup rumah tangga, PHBS adalah upaya untuk
memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan
mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat serta
berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat.
Setidaknya ada 10 indikator PHBS di dalam rumah tangga yaitu
(Kemenkes, 2014):
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan,
2. Melakukan penimbangan bayi dan Balita (usia 0 - 59
bulan),
3. Memberikan ASI eksklusif,
4. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun,
5. Memakai kakus sehat,
6. Melakukan aktifitas fisik setiap hari,
7. Mengkonsumsi buah dan sayur setiap hari,
8. Tidak merokok dalam rumah,
9. Menggunakan air bersih, dan

174

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

10. Memberantas jentik nyamuk


3.2.1. Pertolongan Persalinan
Jumlah anak yang dimiliki setiap keluarga di Sulaho ratarata lebih dari 3 orang, bahkan bisa mencapai lebih dari 10 kali
melahirkan bahkan 13 kali. Hampir setiap keluarga memiliki anak
yang meninggal yang kebanyakannya saat masih bayi atau
keguguran. Salah satu informan, Nt (catatan penulis: sesuai KTP
usia 56 tahun, tapi nampaknya usia tersebut tidak sesuai,
berdasarkan informasi hasil wawancara dengan membandingkan
usianya saat pertama kali hamil dan usia anak pertamanya saat
ini seharusnya dia baru berusia sekitar empat puluhan tahun),
pernah 12 kali hamil dan melahirkan, tujuh diantaranya
meninggal dunia saat masih bayi usia kurang dari satu bulan,
termasuk tiga kali mengalami keguguran. Sebagaimana yang dia
sampaikan saat ditanya jumlah anak yang dimiliki,
...satu lusin, tinggal 5 yang hidup, 2 perempuan 3 lakilaki... yang meninggal laki-laki semua... (Nt, 56 tahun)

Informan yang lain Na (55 tahun, bukan usia yang


sebenarnya), menyebutkan memiliki tujuh orang anak dari dua
orang istri. Istri pertama memiliki 2 orang anak dan satunya
meninggal dunia saat bayi. Istri kedua memiliki lima orang anak
dan salah satunya meninggal dunia saat bayi. Istri pertama
dicerai hidup kemudian mantan istri menikah lagi dan memiliki 5
orang anak dari suami berikutnya. Sedangkan istri kedua (istri
yang sekarang) adalah seorang janda yang memiliki 3 orang anak
dari suami sebelumnya. Jadi jika di total anak Na keseluruhan
(anak kandung dan anak tiri dari dua orang sitri) adalah sebanyak
15 orang. Na sendiri mengaku memiliki saudara kandung lebih
sepuluh orang dan saat ini yang tersisa 3 orang yang hidup.
Sebagaimana yang dia tuturkan berikut:
175

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

...Saya tinggal bertiga bersaudara, sebenarnya lebih


sepuluh... yang lain mati karena sakit... saya dua kali
beristri, istri pertama ada dua orang anak mati satu,
yang mati laki-laki yang hidup perempuan... istri pertama
cerai hidup sekarang tinggal di Pomalaa... sudah
bersuami lagi... istri kedua ada lima orang anak mati
satu... anak saya mati kecil karena sakit, yang satu usia 1
bulan, yang satu usia 3 bulan... istri saya sudah punya
anak yang tinggal sama-sama... (Na, 55 tahun)

Lain lagi dengan informan Sb (50 tahun, bukan usia


sebenarnya), dia mengaku memiliki 12 orang anak dari 2 orang
suami. Suami pertama, sudah meninggal, memperoleh 4 orang
anak dan salah satunya meninggal saat bayi. Sb dengan suami
kedua (suami yang sekarang) memiliki 8 orang anak dan 2
diantaranya meninggal dunia saat masih bayi. Banyaknya
frekuensi kehamilan dan melahirkan ibu-ibu bajo di Sulaho
berkontribusi besar terhadap jumlah Angka Kematian Bayi (AKB)
desa ini.
Informan Nt, memiliki 7 orang anak yang meninggal dari
12 kali kehamilan dan bersalin. Semua anaknya yang meninggal
adalah kelahiran berturut-turut dari anak ke enam sampai
dengan anak ke duabelas dengan usia di bawah 1 bulan.
Persalinannya terakhir terjadi sekitar tiga tahun lalu yang
menyebabkan dia pendarahan dan terpaksa harus dirujuk ke
tenaga kesehatan di kecamatan yang akhirnya dia memutuskan
untuk tidak mau lagi hamil meskipun dia mengaku sampai
sekarang masih rutin datang bulan.
Faktor pernikahan usia dini bisa menjadi penyebab
banyaknya jumlah anak yang dilahirkan dan kerawanan pada
persalinan atau pasca persalinan baik bagi bayi atau pun ibu. Nt
mengaku dipaksa menikah saat baru lulus Sekolah Dasar, saat itu
dia belum pernah haid. Sebagiamana penuturannya berikut ini:

176

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

...bapakku sama mamaku meninggal waktu saya masih


kecil. Sepuluh hari ka tamat SD dia mati mamaku,
sepuluh hari lagi mati bapakku... setelah itu saya dipaksa
menikah sama Omku, tapi saya tidak mau karena belum
tahu apa-apa, saya bilang mau lanjut sekolah tapi Omku
bilang tidak ada uang, jadi saya tetap dikasi menikah,
waktu itu saya belum haid... waktu itu suamiku sudah
besar memang mi... ada lima bulan saya larikan suamiku,
saya pergi di Lawata, di Mala Mala, di Lambai, nanti
nenekku yang bujuk baru saya mau pulang (ke
Sulaho)... (Nt, 56 tahun)

Menurut Nt, di Sulaho banyak kejadian seperti itu, dipaksa


menikah saat masih kecil dengan alasan tidak ada uang untuk
biaya sekolah,
...banyak begitu yang dipaksa menikah... karena na
bilang siapa yang mau biayai ko... (Nt, 56 tahun)

Seluruh persalinan Nt tidak ada yang dilakukan atau


dibantu oleh tenaga kesehatan kecuali persalinannya yang ke dua
belas karena terjadi pendarahan. Itupun dia bersalin sendiri di
rumah, namun karena terjadi pendarahan, akhirnya dia diantar
ke kecamatan dan dirujuk ke Rumah Sakit Daerah di Lasusua.
Persalinan Nt sebagian besar dibantu oleh dukun beranak yang
merupakan neneknya sendiri dan sebagiannya bersalin sendiri,
setelah bayinya keluar baru dipanggil neneknya (dukun beranak).
Sebagaimana penuturannya berikut ini:
...semua anakku melahirkan di Sulaho... pernah tiga kali
pindah rumah... itu terus Nenek Saniba-ku yang bantu,
karena nenek sekaliku itu, mamanya bapakku... anakku
yang terakhir itu saya pendarahan... saya hampir mati
waktu itu saya melahirkan sendiri di rumah, nenekku
tidak bisa karena sedang sakit juga waktu itu... saya

177

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

sudah pucat jadi dibawa ke Rumah Sakit besar (Nt, 56


tahun)

Nenek Sn (73 tahun) adalah seorang dukun beranak satusatunya yang dimiliki Desa Sulaho saat ini dan dipercayai oleh
semua masyarakat Sulaho khususnya yang berdomisili di Dusun
1, 2 dan 3. Sebagaimana diketahui, Desa Sulaho terdiri atas
empat dusun dimana Dusun 1,2, dan 3 berada di Sulaho Induk
dan dusun ke empat, Dusun Lanipa nipa terletak terpisah dengan
jarak kurang lebih 6 km dari Sulaho Induk dan dengan waktu
tempuh kurang lebih 15 menit menggunakan transportasi laut
atau sekitar 30 menit dengan menggunakan jalur darat berputar
melalui pegunungan dengan medan yang sangat terjal dan
melalui daerah bekas pertambangan. Desa 4, hanya bisa
ditempuh dengan menggunakan perahu dari Sulaho Induk.
Semua persalinan di Desa Sulaho menggunakan jasa dukun
beranak. Meskipun di desa ini sudah ditempatkan seorang Bidan
Desa, namun hanya sesekali saja jasa Bidan Desa digunakan.
Kepercayaan yang tinggi pada dukun beranak merupakan salah
satu faktor utama alasan persalinan di Desa Sulaho tidak
menggunakan tenaga kesehatan. Disamping itu, kemudahan
pada saat bersalin juga menjadi alasan mereka memilih untuk
bersalin di rumah saja, baik sendiri maupun dibantu oleh suami
atau dukun beranak.
Informan Sb pernah 12 kali melahirkan dan semuanya
dilakukan di rumah tanpa menggunakan jasa tenaga kesehatan.
Bahkan empat kali diantaranya dia melahirkan sendiri.
Sebagaimana penuturan mereka berikut ini:
...Cuma itu tantenya yang namanya Saniba yang
bantu melahirkan, semua anaknya dibantu sama dia...
kalau sudah sakit dia rasa saya pergi panggilkan, biasa
juga bermalam di rumah... (At, 49Th)

178

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

...Saya melahirkan lancar (malomo), biasa saya


sendirian, kalau bapaknya (suami) tidak ada saya
melahirkan sendiri, ada empat anakku saya melahirkan
sendiri... nanti setelah lahir bayinya mau dipotong ariarinya baru dipanggilkan Saniba (dukun beranak)... (Sb,
50 tahun)

Menurut mereka, kemudahan persalinan juga diperoleh


karena tetap beraktifitas meskipun sedang hamil besar, dan itu
dianggap sebagai olahraga yang dapat memudahkan proses
melahirkan, sebagaimana diungkapkan berikut:
...Itu istri saya, memang tidak pernah berhenti bekerja
(meskipun sedang hamil), ada sebagian orang kalau
sudah 3 hari menjelang melahirkan sudah tinggal saja
dan tidak beraktifitas lagi, tapi istri saya tidak... termasuk
olahraga juga itu... (At, 49 tahun)
...Iya saya tetap bekerja, bahkan saya naik ke gunung
ambil kayu...(Sb, 50 tahun)

Faktor lainnya adalah Bidan Desa yang tidak tinggal di


sana, sehingga pada saat akan melahirkan, ibu bersalin tidak
mendapati tenaga kesehatan yang bisa membantunya, apalagi
jarak ke fasilitas kesehatan cukup jauh dan harus ditempuh lewat
laut.
...Kita tidak minta tolong sama bidan karena tidak susah
(melahirkan), kalau pun susah dan mau minta tolong,
tidak ada bidannya di kampung...(Sb, 50 tahun)

3.2.2. Penimbangan Balita


Penimbangan bayi dan balita dilakukan setiap bulan
dengan maksud untuk memantau pertumbuhan. Penimbangan
ini dapat dilakukan di Posyandu sejak usia 1 bulan sampai dengan

179

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

5 tahun. Dalam program Posyandu yang berlaku sampai saat ini,


setiap ibu yang memiliki bayi diberikan Kartu Menuju Sehat
(KMS), yang didalamnya tercatat hasil penimbangan dan
pengontrolan perkembangan anak (Kemenkes, 2014).
Berdasarkan pengamatan, pelaksanaan Posyandu di Desa Sulaho
tidak dilakukan setiap bulan melainkan 3 bulan sekali. Ketika
dikonfirmasi kepada petugas kesehatan Puskesmas mereka
beralasan faktor kesulitan transportasi dan medan yang menjadi
alasan. Namun demikian, masyarakat Sulaho mengaku tetap
menimbang anaknya jika ada kegiatan Posyandu.
...Iya, kalau mereka (petugas kesehatan) datang yah
ditimbang juga, bahkan kalau anak saya sudah agak
besar dan kebetulan saya ke Lasusua (kecamatan) saya
timbang di sana... semua anak saya seperti itu, ada buku
yang diberikan, buku bergambar orang (maksudnya
KMS)... (Sb, 50 tahun)

Menurut tenaga kesehatan, respon masyarakat Sulaho


terhadap program Posyandu sangat rendah. Meskipun ada
jadwal Posyandu yang dilakukan sekali dalam tiga bulan mereka
juga malas berkunjung ke tempat pelayanan dan terpaksa
petugas kesehatan yang berkunjung dari rumah ke rumah.
...Tidak pernah ada anak saya yang saya timbang... (Nt,
56 tahun)

Berdasarkan pengamatan ketika ada kegiatan Posyandu,


petugas mengunjungi rumah yang teregistrasi memiliki bayi dan
balita untuk ditimbang dan diimunisasi. Tidak semua rumah yang
memiliki bayi dapat dikunjungi karena keterbatasan waktu dan
tenaga. Sebenarnya di Desa Sulaho ada 4 orang kader kesehatan
khusus untuk Dusun 1,2,3,dan 1 orang kader kesehatan di Dusun
4, tapi nampaknya tidak maksimal peran aktif mereka. Saat
dilakukan kegiatan Posyandu yang dirangkaikan dengan

180

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

pelaksanaan beberapa program Puskesmas yang lain di Desa


Sulaho, hanya ada 2 kader kesehatan yang hadir dan itupun tidak
ikut kunjungan dari rumah ke rumah karena mereka mengikuti
pelatihan untuk program yang lain.
Desa Sulaho tidak memiliki gedung khusus untuk
pelaksanaan kegiatan Posyandu, yang ada hanya satu gedung
Bakesra yang merupakan bantuan dari Dinas Sosial yang sekaligus
juga menjadi Pos Kesehatan Desa dan tempat menginap jika
Bidan Desa sedang berkunjung ke Sulaho. Gedung Bakesra ini
terletak di kawasan sekolah Desa Sulaho. Menurut pengakuan
dari petugas kesehatan, biasanya mereka menyelenggarakan
pelayanan Posyandu di ruang kelas sekolah dan melakukan
kunjungan dari rumah ke rumah.
3.2.3. ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) merupakan asupan gizi terbaik yang
dibutuhkan oleh bayi. Pemberian ASI tanpa makanan dan
minuman tambahan yang lain dapat dilakukan saat usia bayi 0
sampai dengan 6 bulan, yang dikenal dengan ASI Eksklusif
(Kemenkes, 2014). Beberapa ibu yang diwawancarai tidak
memahami dengan jelas apa itu ASI Eksklusif, namun mereka
mengaku saat bayinya kecil mereka memberikan ASI tanpa
makanan dan minuman tambahan seperti susu kaleng dan
sejenisnya. Informasi tentang manfaat ASI didapatkan dari bidan,
dari orang tua atau dukun beranak.
...Air tetek (ASI) terus saya berikan, karena lancar
ji air tetekku, kalau pun tidak ada air tetekku satu hari
dua hari, saya tidak pernah kasih susu kaleng ... saya
sebentar saja sudah keluar air tetek kalau sudah makan
kacang, paya-paya (pepaya)... nenekku yang kasi tahu,
katanya kalo mau lancar air tetek makan kacang, pepaya,

181

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

di urut-urut juga...nenekku yang kasi tahu bilang air


tetek itu bagus, bidan juga baru-baru ini, tapi saya tidak
pernah lagi melahirkan, jadi saya bilangi saja sama
anakku (cucuku)... (Nt, 56 tahun)

Informan SB mengaku memberikan ASI Eksklusif kepada


anaknya namun hanya sampai usia 3 bulan dan setelah itu
dibantu dengan Dot. Alasannya karena dia juga bekerja menjual
ikan jadi ketika pergi berjualan anaknya dititip dan diberikan susu
botol (dot).
... Biasa tiga bulan saja, setelah itu di kasi dot sampai 2
tahun, karena dulu bekerja jadi kalau pergi menjual pagipagi ke pasar di kasih dot... (Sb, 50 tahun)

Berdasarkan pengamatan terhadap kebiasaan ibu-ibu,


pemberian ASI dilakukan di mana saja saat anak itu minta, tidak
begitu mempersoalkan tempat dan keadaan. Ketika anaknya
minta langsung disusukan, tidak ada mencuci tangan,
membersihkan payudara dan lain sebagainya. Informan Nt
mengaku memberikan ASI kepada anaknya dan tidak
memberikan susu tambahan. Menurutnya ibu yang menyusui
memiliki banyak pantangan diantaranya dilarang makan ikan
kering, sayur nangka, makan makan yang masih panas dan tidak
boleh mengangkat beban yang berat dengan tangan.
...Banyak pantangannya...dilarang makan ikan kering,
sayur nagka karena bisa putih mulutnya anak-anak...
kalau panas makanan tidak boleh dimakan, nanti setelah
dingin...tidak boleh angkat baskom atau ember, bisa
tassitta...kalau tassitta biasa ibunya meninggal... (Sb, 50
tahun)

Dia juga mengaku membiasakan mencuci payudaranya


sebelum menyusui bukan karena kebersihan tapi menurut
kebiasaan masyarakat jika ibu dari luar kemudian masuk rumah

182

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dan mau menyusui bayinya maka payudaranya harus dicuci


karena takut ada setan yang ikut dari luar dan mengganggu
anaknya sehingga bisa sakit perut atau perutnya bengkak.
...Dicuci dulu, karena biasa kalau dari keluar ada yang
ikut-ikuti kita (diikuti setan), biasa kalau langsung dikasi
tetek anak-anak bengka perutnya... nenekku yang kasi
tahu kalau dari mana-mana harus dicuci tetek baru pergi
ke dapur... (Sb, 50 tahun)

3.2.4. Cuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun


Mencuci tangan dengan air bersih terutama air mengalir
dan menggunakan sabun merupakan kebiasaan yang dapat
menghilangkan berbagai macam kuman dan kotoran yang
menempel ditangan sehingga tangan bersih dan bebas kuman.
Mencuci tangan hendaknya dilakukan setiap kali sebelum makan
atau memegang makanan dan menyusui dan setelah melakukan
aktifitas menggunakan tangan.
Berdasarkan pengamatan terhadap kebiasaan mencuci
tangan di rumah tangga oleh masyarakat Desa Sulaho sangat
rendah baik orang dewasa apalagi anak-anak. Kalaupun mereka
mencuci tangan ketika tangan kotor, cara mencuci tangannya
pun hanya sekedar menghilangkan kotoran tanpa meperhatikan
tatacara cuci tangan yang baik. Proses mencuci tangan biasanya
tidak menggunakan sabun. Anak balita biasanya langsung makan
begitu saja tanpa mencuci tangan terlebih dahulu.
Hampir semua anak balita yang ada di desa sulaho tidak di
ajarkan untuk cuci tangan sebelum makan bahkan mereka makan
dengan menggunakan ke dua tangan kiri dan kanannya. Jikapun
terdapat anak yang mencuci tangan tetapi tidak menggunakan
sabun bahkan langsung saja makan pada hal dari bermain tanah
dan pasir. Selain itu, anak tidak diajarkan anak untuk melakukan

183

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

cebok setelah BAB. Terdapat informan yang tidak mengetahui


kapan anaknya sudah mulai bisa cebo sendiri karena tidak tahu
kalau buang air besar di mana. Anak yang makan biasanya tidak
didampingi oleh orang tuanya kecuali mereka makan bersama
dengan orang tuanya.
Terdapat pula anak-anak yang mengalami cacingan.
Terdapat anggapan bahwa penyakit tersebut terjadi karena anak
senang duduk di pasir bermain tanpa mengenakan baju atau
celana. Pada awalnya orang tua marah, akan tetapi karena anak
tidak mau maka selanjutnya dibiarkan begitu saja. Ibu yang
memiliki bayi, tidak mencuci tangan setelah menceboki bayinya.
Bekas BAB dibersihkan dengan cara dilap menggunakan alas tidur
bayi dan air kencing biasanya dibiarkan begitu saja meski buang
air kecil (BAK). Terdapat kebiasaan bahwa anak bayi tidak
dipakaikan baju. Setelah mandi biasanya anak dilumuri bedak
bayi yang dicampur dengan minyak telon. Hal ini dapat
menghindarkan anak dari masuk angin meski tidak menggunakan
baju.
Namun demikian, ketika ditanyakan kepada masyarakat
tentang kebiasaan cuci tangan, mereka mengaku itu baik dan
untuk kebersihan. Sebagian mereka mengaku mencuci tangan
pakai sabun hanya untuk menghilangkan bau ditangan misalnya
ketika tangan bau amis setelah makan atau memegang ikan, tapi
tidak setiap mencuci tangan memakai sabun.
...Untuk kebersihan toh... (Nt, 56 tahun)
...Biasa kalau habis cebok, habis makan, habis makan
ikan biasanya tangan bau amis...pakai sabun supaya
tidak berbau lah pak... (At, 49 tahun)

184

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

3.2.5. Menggunakan Kakus Sehat


Kakus adalah ruangan yang memiliki fasilitas pembuangan
kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat
duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung)
yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk
membersihkannya. Ada beberapa syarat untuk kakus sehat yakni
tidak mencemari sumber air minum, tidak berbau, tidak dapat
dijamah oleh serangga dan tikus, tidak mencemari tanah
sekitarnya, mudah dibersihkan dan aman digunakan, dilengkapi
dinding dan atap pelindung, penerangan dan ventilasi udara yang
cukup, lantai kedap air, tersedia air, sabun, dan alat pembersih
(Kemenkes, 2014).
Lokasi pemukiman masyarakat Desa Sulaho terletak di
pinggir pantai sampai dengan kaki gunung yang jaraknya hanya
sekitar 100 meter dari pinggir pantai. Sebelum adanya bantuan
Departemen Sosial untuk pemukiman masyarakat dan Program
Bedah Rumah dari pemerintah kabupaten, semua masyarakat
membuang hajat di pantai. Setelah masuknya program tersebut,
sebagian masyarakat sudah memiliki kakus dalam rumah namun
sebagian yang lain masih juga menggunakan pantai atau saluran
air sebagai tempat buang hajat.
Berdasarkan pengamatan, kakus yang dimiliki adalah kakus
jongkok dengan bak air atau tanpa bak air di dalamnya. Mereka
harus mengangkat air menggunakan ember dari sumur. Setiap
rumah yang masuk dalam program bedah rumah sebenarnya
mendapatkan bantuan kloset jongkok, hanya saja ada yang
dipasang ada yang belum dipasang. Kloset yang dipasang pun ada
yang sudah tidak digunakan karena tersumbat, dan akhirnya
pantai, sungai dan saluran air menjadi alternatif tempat buang
hajat.
Selain kakus yang dimiliki oleh sebagian warga, terdapat
pula 3 bangunan kakus umum yang ada di Desa Sulaho, di Dusun
185

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

1 bergabung dengan masjid, Dusun 2 terletak di belakang rumah


salah seorang warga yang merupakan mantan Kepala Desa, dan
untuk dusun 3 di belakang rumah warga. Saat ini yang berfungsi
hanya 1 kakus umum. Berdasarkan pengamatan, kakus yang
terawat hanya satu yaitu yang terletak di samping masjid desa,
adapun yang lain sudah jarang digunakan karena rusak atau
tersumbat.
...dulu sebelum ada bantuan kakus, orang buang air
besar di pinggir pantai, aih tidak bisa orang duduk-duduk
santai begini di pinggir pantai, bau kotoran, tapi
alhamdulillah sekarang kurang mi... (At, 49 tahun)

Salah seorang informan menceritakan bahwa dia tidak


memiliki kakus di rumah, sebenarnya ada kloset bantuan tapi
tidak dipasang karena keluarga belum ada dana cukup untuk
membuat kakus tersebut. Selain itu dia beralasan tidak membuat
kakus karena cepat tersumbat, sehingga mereka sekeluarga
membuang hajat di pantai atau saluran air yang ada di depan
rumah.
...Aih sedangkan itu tersumbat anunya pak kalo berak
orang setengah mati orang, sedangkan itu orang dibawa
ta satu kali ji na dorong air sudah mi jadi itu anu
tersumbat berapa itu ndak na pake satu ji itu bisa na
pake orang... (Nt, 56 tahun)
...Sudah biasa mau di apa dilihat orang ... (caranya)
digali itu pasir baru ditutup kembali, kalau sudah berak
ditutup kembali sama pasir ... pake sarung, mau
telanjang malu dilihat orang, hahaha... kita
membersihkan di laut, kalau sudah membersihkan di
laut naik di rumah disepul lagi pakai air sumur...kalau
anak-anak biasa ditanggul karena mengalir air kalau
hujan... (Nt, 56 tahun)

186

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

3.2.6. Aktifitas Fisik Setiap Hari


Faktor lain yang dapat mewujudkan kondisi kesehatan
jasmani yang optimal adalah kebiasaan melakukan aktifitas fisik
secara rutin, beberapa menit setiap hari. Aktifitas fisik yang
dimaksud berupa olahraga maupun kegiatan lain yang
mengeluarkan tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan
kesehatan fisik, mental dan mempertahankan kualitas hidup agar
tetap sehat dan bugar sepanjang hari.
Aktifitas tersebut yang dimaksud dalam penelitian ini
dapat berupa menonton televisi, duduk-duduk dan sejenisnya,
aktifitas sedang seperti menyapu, mengepel dan sejenisnya
minimal 5 kali atau lebih dalam sepekan, serta aktifitas berat
seperti berupa kegiatan yang dilakukan secara terus menerus
minimal 10 menit sampai meningkatnya denyut nadi dan nafas
yang lebih cepat dari biasanya seperti menimba air, mendaki
gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul dan sejenisnya
minimal 3 hari dalam sepekan.
Secara umum masyarakat bajo mempunyai aktifitas fisik
yang mereka lakukan setiap hari, minimal menyapu atau mencuci
bagi ibu-ibu. Berjalan kaki merupakan aktifitas fisik hampir
seluruh warga desa karena kebanyakan masyarakat mengakses
tempat satu dengan tempat yang lain dengan berjalan kaki. Lakilaki dewasa melakukan aktifitas sedang dan berat karena setiap
hari harus bekerja melaut. Kegiatan tersebut membutuhkan
aktifitas fisik yang cukup berat seperti mendorong perahu dari
pantai sampai terapung, berenang, mengangkat pasir. Sebagian
masyarakat masih menggunakan kayu bakar untuk memasak
sehingga minimal sekali dalam sepekan mereka harus naik
gunung mencari dan menebang kayu untuk kayu bakar.

187

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

3.2.7. Konsumsi Buah dan Sayur Setiap Hari


Konsumsi buah dan sayur sangat dianjurkan karena banyak
mengandung berbagai vitamin, serat dan mineral yang
bermanfaat bagi tubuh. Kondisi topografi Desa Sulaho
sebenarnya cukup baik untuk ditanami sayuran dan buahbuahan. Namun tidak satupun masyarakat di Dusun 1, 2 dan 3
yang merupakan dusun yang dihuni oleh masyarakat bajo yang
memanfaatkan pekarangan untuk menanam sayur ataupun buah.
Tanaman yang dimiliki oleh sebagian kecil warga adalah pisang
manurung (pisang Bugis atau pisang kepok) dan hanya beberapa
rumah saja yang di pekarangannya ada pohon mangga.
Salah satu alasan mereka tidak menanam tanaman di
pekarangan karena banyaknya kambing yang berkeliaran dan
selalu merusak tanaman. Begitu juga dengan babi yang masih
banyak turun ke pemukiman warga pada malam hari untuk
mencari makan. Bahkan tampak semua pohon pisang yang
tumbuh harus dipagari kayu ditambah dengan jaring atau
seng/atap bekas agar tidak di rusak hewan liar.
Masyarakat di desa ini tidak setiap hari dapat
mengonsumsi sayur dan buah. Sayuran dan buah hanya dapat
diperoleh di pasar di kecamatan yang tidak setiap hari.
Berdasarkan pengamatan, ada dua orang ibu-ibu dari desa
tetangga yang rutin datang menjual sayur sekali seminggu. Ibu
tersebut harus menempuh perjalanan beberapa kilometer
berjalan kaki menuruni gunung yang terjal dan mendakinya saat
kembali ke rumahnya. Semua sayuran yang dibawa akan habis,
tapi meskipun demikian tidak semua sayur yang dibawa akan
dibayar kontan oleh pembelinya. Sebagian ada yang mengutang
dan akan membayar pada kedatangan berikutnya. Sayuran yang
biasa dibawa seperti kacang panjang, sayur pakis (paku-paku),
kangkung, terong, bayam, dan labu. Selain itu ada juga beberapa
warung yang menjual sayur yang diperoleh dari pasar.
188

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Berdasarkan pengamatan, perhatian masyarakat untuk


mengkonsumsi sayur masih kurang. Sebagian mereka
menganggap bahwa sayur dibutuhkan kuahnya sehingga jika
memasak ikan yang berkuah dirasa sudah cukup dan sudah
mewakili sayur. Sebagian lagi menggunakan mi siram sebagai
pengganti sayur.
Buah-buahan hanya diperoleh dari pasar pada hari pasar
di Lasusua atau di Lambai. Beberapa buah yang biasa dibeli dan
dikonsumsi adalah jeruk, salak, rambe, pisang burung, pepaya
dan semangka. Jenis buah-buahan tersebut juga tergantung pada
musim buah. Buah-buahan ini tidak setiap hari dapat dikonsumsi.
Pengolahan sayur seperti biasa, dicuci dan dimasak sampai
betul-betul matang. Terkadang sayur yang berupa daun-daunan
terlihat lembek karena dimasak terlalu matang. Sayur lebih sering
dimasak dengan kuah sebagai sayur bening, dan terkadang
menggunakan santan ataupun ditumis.
... Biasa ada yang tanam sayur di dekat gunung sana,
tapi sekarang tidak ada lagi gara-gara kambing... biasa
juga kita makan buah, kalau orang dari pasar...jeruk,
pisang kecil... (Sb, 50 tahun)
... Biasa pergi ke pasar kalau ada uang kita beli kalau
ndak ada tidak juga... biasa beli disitu kalau adai uang ...
terung, paling sering terung.... tidak ada yang menanam,
dibeli saja kalau ada uang... biasa ditumis-tumis, kalau
ada uang kalo tidak dimasak air saja... (Nt, 56 tahun)
... Biasa sayur kol atau terung... kalau ke pasar, kalau
tidak ke pasar, tidak makan lagi sayur... (Ni, 30 tahun)

Mereka mengonsumsi buah dan sayur hanya sekedar


mengkonsumsi dan tidak mengerti manfaatnya.
...Dimakan saja, tidak ditahu apa tujuannya, sekedar
melengkapi makanan... (At, 49 tahun)

189

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

3.2.8. Tidak Merokok dalam Rumah


Rumah adalah tempat berlindung bagi keluarga.
Selayaknya segala gangguan yang mengancam penghuni rumah
termasuk gangguan kesehatan harus disingkirkan atau dikurangi.
Merokok di dalam rumah sesungguhnya adalah gangguan yang
mengancam kesehatan penghuni rumah. Di dalam satu puntung
rokok yang diisap akan mengeluarkan lebih dari 4.000 jenis
bahan kimia berbahaya, diantaranya adalah nikotin, tar, dan
karbon monoksida (CO). Jika ada anggota keluarga yang merokok
(perokok aktif) di dalam rumah, maka asap yang dihasilkan dari
rokok tersebut akan membahayakan penghuni rumah yang
lainnya yang tidak merokok (perokok pasif), disamping tentu saja
membahayakan kesehatannya sendiri (Kemenkes, 2014).
Berdasarkan pengamatan, semua laki-laki dewasa di Desa
Sulaho adalah perokok, bahkan sebagian besar anak-anak lakilaki yang berusia di atas 10 tahun telah merokok. Merokok
menjadi kebiasaan lelaki di desa Sulaho, bahkan terdapat di
antaranya masih usia sekolah dasar sudah mulai merasakan
nikmatnya merokok. Orang tua lelaki yang menjaga anaknya pun
terbiasa sambil menghisap rokok. Ada pula dukun yang merokok
saat menolong proses persalinan. Rokok yang dihisap sebagian
besar adalah jenis rokok yang memakai filter dan ada juga yang
merokok jenis kretek, dan tidak ada yang menggunakan rokok
daun. Ketika ditanya alasan mereka merokok, sebagian
menjawab tidak tahan kalau habis makan kemudian tidak
merokok, seperti mau muntah.
... saya tidak bisa tahan kalo habis makan baru tidak
merokok, kayak mau muntah terus...pernah saya coba
berhenti dua hari saya tidak tahan saya merokok
kembali... (At, 49 tahun)

190

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Mereka mulai merokok sejak kecil dan penyebab awalnya


karena diajak teman, selanjutnya mereka beli sendiri. Biasanya
mereka menghabiskan 1 bungkus sehari isi 16 batang, ada yang
lebih atau kurang dari itu.
...Saya merokok sekitar beberapa puluh tahun yang
lalu, waktu itu masih susah uang, saya dikasi teman...
tidak sampai satu bungkus sehari, biasa satu bungkus
bisa sampai 24 jam, karena kalau dibeli pagi, pagi
berikutnya baru beli lagi...saya pake yang filter, tidak
bagus itu yang kretek... (At, 49 tahun)
...Sejak waktu SD..,pergaulan sama teman, pengaruh
lingkungan, jadi merokok, minum, akhirnya bergaulbergaul sama teman, bergaul begitu terpengaruh
lingkngn berhenti sekolah, satu minggu nggak masuk
sekolah gara-gara begitu... (Rd, 17 tahun)

Sebagian mengaku tahu bahwa merokok berbahaya bagi


kesehatan, biasa mendengar dari orang, tapi tetap tidak bisa
berhenti.
...Biasa saya dengar orang bilang katanya bahaya itu
merokok, saya yakin juga, katanya memang tidak
langsung terlihat akibatnya, kalau lanjut lanjut terus
baru terasa katanya, apakah betul atau tidak itu?... (At,
49 tahun)

Berdasarkan pengamatan, para perokok paling sering


merokok di ruang tamu dalam rumah, terutama ketika sedang
ada tamu yang berkunjung. Biasa juga di ruang tengah pada saat
menonton televisi, dan juga di dalam kamar tidur. Ketika
merokok, mereka tidak peduli dengan orang disekitarnya
termasuk jika ada anak bayi atau anak kecil yang lain mereka
tetap saja merokok. Ketika berbincang-bincang mereka tidak

191

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

sungkan menawarkan rokok kepada teman bicara tanpa bertanya


terlebih dahulu apakah dia merokok atau tidak.
3.2.9. Menggunakan Air Bersih
Air adalah kebutuhan utama manusia. Menggunakan air
bersih untuk segala kebutuhan adalah suatu kebiasaan yang baik
dan sehat. Banyak penyakit yang timbul akibat penggunaan air
yang tidak bersih seperti diare, penyakit kulit dan lain
sebagainya. Warga masyarakat Desa Sulaho semuanya
menggunakan sumber air dari sumur gali. Desa Sulaho terletak di
pinggir pantai, tapi air sumur yang mereka gali tetap jernih dan
tawar, tidak payau, meskipun jaraknya hanya beberapa meter
dari bibir pantai.
Berdasarkan pengamatan, beberapa sumur digali dengan
kedalaman hanya beberapa meter, yang berdekatan dengan
saluran pembuangan limbah ataupun selokan. Sebagian besar
menggunakan cincin (gorong-gorong), ada juga yang
menggunaka drum bekas yang ditanam sebagai dinding sumur.
Mereka biasa mencuci dan mandi dekat sumur tanpa
mempedulikan air cucian atau air mandi masuk kembali ke dalam
sumur.
Ada warga yang membuat sumur di dalam rumah atau di
samping rumah dengan atap yang menaungi, dan ada pula yang
membiarkan terbuka begitu saja. Sumber air minum dan
memasak, selain menggunakan air sumur, ada juga yang
menggunakan air isi ulang dalam galon. Galon biasa diisi ulang di
kecamatan atau di Lambai. Berdasarkan observasi air galon yang
digunakan juga tidak begitu diperhatikan kualitasnya.
... Biasa pakai air sumur..dan sama air gallon
sekarang... Galon isi ulang di Lasusua... dulu kan 5 ribu
sekarang 6 ribu pergalon... (Ni, 30 tahun)

192

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Berdasarkan pengamatan, air sumur untuk minum ada


yang dimasak ada juga yang diminum tanpa dimasak. Adapun air
galon tidak lagi dimasak, langsung disimpan di dispenser dan
diminum.
... Air minum ambil di sumur di atas dekat rumah Bu
Desa...kami pakai air sumur kemudian dimasak... di
rumah ada juga tempat air habis dimasak ada juga
tempat air biasa... anak-anak kalau habis main minum di
jumbo... (Sb, 50 tahun)
...Iyye dimasak tidak pernah
langsung diminum,
dimasak karena itu anak anak kujaga semua karena itu
anakku asdar bilang maa kalo bisa sakit perut kalo tidak
dipanas itu air e dari dulu begitu... (Nt, 56 tahun)

Beberapa warga ada yang menggunakan sumur tertentu


untuk air minum dan memasak dan ada juga yang khusus untuk
mencuci dan mandi. Tapi sebagian besar menggunakan untuk
semua kebutuhan.
3.2.10. Memberantas Jentik Nyamuk
Beberapa penyakit berbahaya yang diketahui saat ini
menjadikan vektor penularan dan penyebarannya adalah
nyamuk. Seperti Malaria dan Demam Berdarah. Tempat-tempat
penampungan air di dalam rumah seperti bak mandi, kakus, vas
bunga, tatakan kulkas, dan di luar rumah seperti talang air, dan
lain-lain merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk
berkembang biak. Perlu diperhatikan membersihkan secara
berkala tempat-tempat penyimpanan air tersebut. Melakukan
pemeriksaan jentik berkala (PJB) dan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) melalui kegiatan 3 M (menguras, mengubur, dan
menutup) adalah kabiasaan yang baik yang dapat menghentikan
pembiakan nyamuk sebagai perantara penyakit.

193

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Berdasarkan pengamatan di beberapa rumah, tempat


penyimpanan air yang umum digunakan adalah ember besar
dengan penutup, ember kecil, baskom, periuk besar dengan
penutup atau tanpa penutup dan ada juga yang menggunakan
bak dan galon bekas. Tidak ada rumah yang memiliki talang air
yang bisa digenangi air dan menjadi sarang nyamuk. Hasil
pemeriksaan di beberapa kamar mandi juga tidak ditemukan
adanya jentik nyamuk, hal ini disebabkan karena sirkulasi air
cepat habis dan tidak tinggal lama. Setelah habis mereka kembali
mengisi air dari sumur.
Menurut salah seorang informan yang memiliki bak kecil di
dalam kakus-nya menyebutkan bahwa paling lama 3 hari sekali
air bak dikuras dan disikat.
...Tidak pernah ada (jentik nyamuk), karena paling lama
tiga malam dua malam bak saya sikat dan airnya saya
buang... (Sb, 50 tahun)

Beberapa rumah di Sulaho terlihat meletakkan wadah dari


jerigen bekas atau semacamnya di depan pintu masuk yang
dipakai menampung air hujan atau dari sumur. Air tersebut yang
digunakan untuk mencuci kaki ketika akan memasuki rumah.
Masyarakat memiliki kebiasaan keluar rumah tidak menggunakan
alas kaki, dan ketika akan masuk rumah kakinya dicelup pada
wadah berisi air tersebut. Berdasarkan pengamatan, air dalam
wadah tersebut tidak diganti secara rutin dan beberapa nampak
jentik nyamuk di dalamnya. Selain itu, sumur-sumur di sekitar
rumah yang dimanfaatkan untuk penampungan sampah juga
terlihat adanya jentik nyamuk.
Pada saat penelitian, ada kejadian demam berdarah yang
sampai muntah darah dan dirujuk ke rumah sakit daerah dan
dirawat beberapa hari. Penderita adalah seorang gadis yang
menurut ibunya, anak tersebut pernah beberapa hari di Lasusua

194

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dan mulai sakit di sana sebelum kembali ke Sulaho. Ibu tersebut


tahu bahwa penyakit itu ada hubungannya dengan nyamuk, tapi
dia mengaku tidak ada penderita lain di dalam rumah.
Obat nyamuk bakar digunakan masyarakat menghindari
gigitan nyamuk terutama pada malam hari. Ada juga beberapa
keluarga yang menggunakan kelambu, namun tidak ada yang
menggunakan obat nyamuk semprot dan juga elektrik.
Penggunaan obat nyamuk elektrik memang agak sulit karena
listrik di Sulaho maksimal hanya sampai jam 10 malam.
3.3. Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular
Berdasarkan data Puskesmas Lasusua, jenis penyakit yang
umumnya diderita oleh masyarakat diantaranya adalah Infeksi
Saluran Pernafasan Atas (ISPA), diare, febris. Adapun jumlah 10
penyakit terbesar pada Puskesmas Lasusua tahun 2013 sebagai
berikut:

Grafik 3. 1.
Sepuluh Penyakit terbesar di Puskesmas Lasusua tahun 2013
Sumber: Profil Puskesmas Lasusua Tahun 2013

195

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

3.3.1. Penyakit Menular


Program pemberantasan penyakit menular bertujuan
untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka
kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih
lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah
kesehatan masyarakat. Terdapat beberapa kasus penyakit
menular yang dapat ditemukan di desa Sulaho seperti kusta,
diare dan TBC.
3.3.1.1. Sekelumit Cerita Kasus Kusta
Kusta diketahui telah lama muncul di Sulaho. Muncul
pertama kali sejak tahun 1970-an yang disinyalir dibawa oleh
orang Sulawesi Selatan. Masa selanjutnya mulai muncul kasus
serupa yang diderita oleh warga asli Desa Sulaho. Kasus demi
kasus Kusta terkena sejak tahun 2005 hingga sekarang.
Kasus kusta menyerang anak dan dewasa. Terdapat
beberapa rumah tangga yang memiliki penderita dan atau
mantan penderita Kusta lebih dari satu orang. Terdapat
bermacam anggapan terkait Kusta yang diderita seseorang
diantaranya disebabkan karena kepercayaan bahwa bibit
penyakit tersebut sudah ada dalam tubuh manusia sejak lahir
sehingga dapat muncul sewaktu-waktu, pengaruh guna-guna,
kutukan, mengkonsumsi ikan pari berkulit hitam dengan bintik
putih serta melakukan hubungan suami isteri saat menstruasi.
Mereka yang menderita kusta memiliki pantangan yaitu
makan jeruk, lombok, minyak kelapa (boka) dan ikan kering
dikarenakan dapat menyebabkan gatal-gatal. Pantangan lain
adalah melakukan hubungan suami istri dikarenakan dapat
memperparah kondisi penyakit. Terdapat anggapan dari
masyarakat bahwa penyakit Kusta berbahaya dan menular,

196

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

sementara keluarga penderita umumnya memiliki anggapan


sebaliknya.
Cara penularan yang dipercaya oleh masyarakat dapat
terjadi melalui nafas sehingga tidak dapat berdekatan dengan
penderita, menduduki bekas tempat duduk penderita,
menggunakan garam dari rumah penderita dan memakan
makanan yang dibuat penderita. Syarat terjadinya penularan
adalah adanya kecocokan golongan darah. Penderita dan mantan
penderita umumnya pergi ke dukun terlebih dahulu sebelum
akhirnya berobat ke pusat pelayanan kesehatan setelah muncul
tanda klinis pada tubuh seperti bengkak dan mati rasa.
3.3.1.2. Sekelumit Cerita Kasus Diare
Diare menjadi penyakit yang telah biasa dialami oleh
warga Sulaho. Penyakit ini disebut dengan joli atau cika. Pada
tingkatan lebih lanjut terdapat joli tangluwa/salibanang
(muntaber) yang disebut disebabkan oleh pengaruh dingin.
Sebut saja Dr (25 tahun), yang tim peneliti dapati
mengalami keluhan diare. Ia bercerita bahwa sudah 6 bulan
terakhir mengalami diare Buang Air Besar (BAB) cenderung
encer, disertai darah, berlendir seperti ingus dan merasakan sakit
pada bagian anus ketika BAB. Salah satu penyebab yang
diingatnya adalah mengkonsumsi mi instan merek intermie
disertai saos lombok. Rumah Tangga (RT) ini memang sengaja
menyediakan saus lombok kemasan botol yang dibeli di pasar
sebagai persediaan di rumah untuk pelengkap makan sehari-hari.
Kan saya suka dulu itu makan saus itu pertama kali
kenna itu sering makan saus ada munkin satu bulan itu
pas berhenti mulaimi mencret. begitu setelah berhenti
makan saus 3 hari berhenti pas
mencret keluar
darahmi. Begitu merah dulu kadang seperti darah to

197

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

kadang juga di belakang dia maksunya terakhir to.


pertama keluar darah. merah kaya darah luka. itu
berbusa warna kuning encer tapi itu kalau darahnya
yang keluar sakit perutnya beda dengan kotoranya to.
biasa juga kadang pas begitu pas sudah berak to kadang
mual paling 3 jam 2 jam lagi begitumi sakit lagi datang
lagi sakitnya terasa sakitnya baru turun lagi berak biasa
kutahan-tahan dulu biasa 5 kali 6 kali (Dr, 25 tahun)

Pertama kali informan berobat pada bulan pertengahan


bulan Mei 2014 ke Bakesra. Ia mendapatkan obat dan tidak
mengalami perubahan apapun. Pertengahan Juni, ia memperoleh
obat diare sisa dalam kemasan botol dan beberapa butir obat
yang disimpan dalam plastik putih yang diperoleh dari
kerabatnya ketika dahulu pernah sakit diare. Kemasan botol
tampak sudah berkarat dan petunjuk pemakaian yang tertempel
pada botolpun sudah berjamur dan rusak. Ia mengaku telah
meminum obat dalam kemasan botol selama beberapa hari yaitu
dua kali sehari sesuai petunjuk yang tertera dalam kemasan obat.
Semenjak itu ia berobat kembali pada akhir Juni 2014 ketika
dilaksanakan pengobatan umum dan Posyandu di Bakesra oleh
tenaga kesehatan Puskesmas Lasusua. Istrinya yang meminta
obat ke Bakesra sementara suami tengah bekerja ke laut. Pasca
minum obat, ia mengaku merasa banyak perubahan dan sudah
tidak diare lagi.
Anak kecil yang mencret biasanya diawali dengan demam,
sehingga orang tua membelikan obat di warung dekat rumah
seperti paracetamol. Dosis dan cara minum obat tergantung
kemauan orang tua. Sebut saja, Sm (40 tahun) seorang ibu yang
anaknya sakit diare meminumkan paracetamol sekali dalam
sehari selama sekitar 4 hari. Anaknya (Sl, 3 tahun) telah diobati
oleh dukun dengan air jappi-jappi karena anak mengalami
demam yang diduga sebagai penyakit kasuwiang. Saat dukun

198

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

mengatakan bahwa penyakit anaknya bukan kasuwiang, barulah


kemudian ibu memberikan obat yang dibeli dari warung.
Salah satu orang tua yang anaknya diare, awal
mulanya mengantarkan anak BAB ke pinggir laut. Pantauan ibu
melihat kotoran berupa cairan seperti nanah bercampur darah
dan tampak berlendir. Anak mengalami mencret selama sekitar 4
hari.
3 hari mi demam, baru sembuhmi itu panasnya beraberami bera-bera darahmi mulai itu malam, paginya
tu ku kasi minum obat mi paracetamol iya 4 kali na
minum, 2 biji 4 hari sebelumnya suruh saja nenek suri
bikinkan air bilang orang biknkan air diminum (Sm, 40
tahun)
Berhenti mi panasnya jadi kuliatmi bera na darah mi
campur nanah itu campur darah toch itu kalau orang
bisulan warna merah seperti ingus, kayak berlendir
keluar ingus yang kental yang campur darah kalu
penghabisan berami seperti biasmi kaya adami tapi
kalau penghabisan lagi darah lagi keluar..minggu senin
selasa rabu (Sm, 40 tahun)

Ibu tidak mengetahui secara pasti penyebab anaknya


mengalami diare. Sebagian besar rumah tangga di desa ini
memiliki kebiasaan untuk tidak merebus air sebelum dikonsumsi.
Air minum umumnya diperoleh dari sumur gali yang berada di
sekitar rumah tinggal, baik milik sendiri, kerabat maupun
tetangga. Air minum yang tidak direbus dirasakan lebih segar,
dingin dan enak. Air minum tersebut tidak hanya dikonsumsi oleh
orang tua, tetapi juga oleh anak-anak.
Selain itu, terjadi 6 kasus diare lain yang dialami oleh 6
orang warga yang rumahnya berdekatan. Dimulai dari seorang
pemuda yang pernah beberapa hari mencari teripang dan saat
kembali dia merasa mulas dan kemudian BAB di pantai dimana

199

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

pada saat larut malam. Awalnya, tinja biasa, tapi selanjutnya


encer (mencret) disertai rasa sakit dan mual yang sangat parah.
Perut terasa melilit.
...Perut seperti diputar berkumpul ditengah kemudian
terhambur. Rasanya sakit sekali, rasanya urat-uratnya itu
saling menarik. Begitu memang penyakitku, saya pernah
kena juga sebelumnya.. (Ka, 26 tahun)

Ibunya kemudian meminta tolong ke tetangga untuk


dibuatkan obat berupa air yang dijappi-jappi, namun belum
berhasil. Kemudian ibunya membuat ramuan kaloko pao
beberapa potong dicampur air dan gula merah. Kaloko pao
adalah mangga muda yang dikeringkan. Kaloko pao bisa diganti
juga dengan asam jawa atau istilah lokalnya disebut cempa.
Ramuan ini diyakini oleh masyarakat setempat sebagai obat
pertolongan bagi penderita cika dan muntaber.
Selain pemuda ini, ada juga beberapa orang tetangganya
yang mengalami diare dalam waktu yang hampir bersamaan. Ada
seorang anak sekolah yang juga terkena diare beberapa hari
sebelumnya setelah jajan di sekolah, menurut informasi dia
makan snack kerupuk, dan setelah itu dia mencret. Yang lain
seorang ibu guru mengalami mencret setelah makan cumi
(sotong, simampra) yang dimasak bersama dengan cairan
hitamnya (tinta cumi). Masakan ini sudah beberapa kali dipanasi.
Dan ketika dibagi ke tetangga sebelah rumahnya, suami istri yang
memakan masakan itu juga mengalami diare. Adapun tetangga
yang lainnya, 3 orang dalam satu rumah mengalami diare setelah
sore hari makan mangga muda. Peristiwa ini terjadi dalam kurun
waktu 3 hari berturut-turut.
Selain ramuan kaloko pao dan gula merah yang digunakan
untuk mengobati penyakit diare, masyarakat setempat juga
melakukan terapi kompres air hangat yang dimasukkan ke dalam
botol di mana air yang hangat dimasukkan ke dalam botol kaca
200

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kemudian diurutkan di bagian perut yang sakit. Namun terapi ini


kadang berhasil dan kadang juga tidak. Ibu Nh (31 tahun) pernah
mengalami sakit perut di ulu hati, kemudian dia melakukan terapi
kompres botol dan langsung sembuh.
...Malam jumat saya kena sakit ulu hati, kayak ada telur
itu di ulu hati saya, sampai-sam danpai saya pingsan.
...saya kompres air hangat yang dikasi masuk dibotol
langsung sembuh, tidak minum obat apa-apa... (NH, 32
tahun)

Warga lain yang mengalami diare juga melakukan terapi


yang sama tapi tidak berhasil. Selanjutnya dia minum ramuan
kaloko pao campur gula merah dan itu yang membuat diarenya
berangsur hilang dan akhirnya sembuh. Ada juga yang
menggunakan ramuan kapur campur jeruk nipis ditambah kunyit
kemudian diminumkan ke penderita cika.
Dalam pengobatan diare, sebagian warga juga sudah
mengenal oralit atau larutan gula garam. Oralit biasa mereka
peroleh dari bidan desa di Bakesra. Namun jika kehabisan,
sebagian mereka sudah tahu membuat larutan gula dicampur
dengan garam dan air hangat kemudian diminum. Meskipun
demikian, ada juga yang tidak suka minum ramuan ini karena
baunya yang tidak enak. Sehingga mengkombinasikan dengan
ramuan kaloko pao campur gula.
...Sudah dibikinkan sama istri saya (larutan gula garam),
tapi saya tidak minum karena baunya tidak enak,
tambah mau muntah... saya dikasi tetangga ramuan
kaloko pao campur gula, saya minum itu jadi agak reda
(sakitnya)... (Na, 35 tahun)

Perilaku pengobatan diare biasa diawali dengan


pengobatan tradisional, membeli obat dari warung dan terakhir
diperiksakan ke petugas kesehatan jika belum sembuh. Menurut

201

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

masyarakat, daun jambu biji muda juga dapat dimanfaatkan


sebagai obat yang mujarab untuk diare baik dengan cara dimakan
mentah atau direbus terlebih dahulu untuk diminum.
Warga menceritakan bahwa sumur mereka selalu
diberikan obat oleh tenaga kesehatan dari Puskesmas Lasusua.
Menurut warga, masyarakat juga biasanya diberitahukan untuk
merebus air terlebih dahulu sebelum diminum. Akan tetapi
umumnya, orang di desa ini telah terbiasa untuk tidak merebus
air minum mereka sehingga banyak yang tidak mengikuti
himbauan tersebut.
Berdasarkan pengamatan faktor sanitasi lingkungan sekitar
lokasi kejadian diare serta perilaku mencuci tangan sebelum
makan dapat dijadikan sebagai faktor penyebab kejadian diare
yang mereka sebut cika, joli tangluwa (muntaber) atau
salibanang. Selain itu dapat disebabkan karena kebiasaan
konsumsi air minum yang tidak dimasak atau konsumsi makanan
yang tidak bersih. Penyediaan air bersih dan dan sanitasi
lingkungan yang tidak memenuhi syarat menjadi faktor risiko
terhadap kejadian diare.
3.3.1.3. Sekelumit Cerita Kasus ISPA
Dalam masa penelitian, peneliti memperhatikan anak-anak
di Desa Sulaho, baik bayi, balita maupun anak usia sekolah
terlihat sering beringus. Menurut masyarakat setempat hal ini
terjadi karena pengaruh cuaca sekaligus anak yang terus bermain
di luar rumah tanpa mempedulikan kondisi cuaca panas atau
hujan. Orang tua umumnya memang tidak pernah melarang
anaknya untuk bermain di luar rumah dalam cuaca apapun. Anak
dengan leluasa bermain dalam kondisi hujan, telanjang kaki dan
baju basah. Hal demikian telah menjadi hal yang lumrah di Desa
Sulaho.

202

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Nggak diurus begitu, kita lihat saja anak-anak disini,


biar hujan-hujan mainudah biasa, karena asal hujan
sering panas sebentar sering anak sakit begitu (Dw, 34
tahun)
Biar panas, biar hujan pergi juga An (3 tahun), mandi air
hujan, mandi air asin (Pl, 21 tahun)

Tidak terdapat sebutan khusus bagi penyakit Infeksi


Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dengan tanda panas disertai
batuk dan pilek. Sakit panas seringkali diidentikkan dengan sakit
kasuwiang (cacar air), sementara batuk pilek dapat dianggap
sebagai penyerta atau pembawaan dari penyakit kasuwiang.
Pengobatan yang dilakukan adalah dengan membeli obat di
warung. Sebut saja ibu Dw (34 tahun) yang anaknya (11 tahun)
sakit panas dan batuk diobati dengan paracetamol, asam
mefenamat dan ampicillin. Menurutnya, asam mefenamat dan
ampicillin diberikan karena anak mengeluh badannya sakit. Batuk
yang dialami dipercaya akan sembuh dengan sendirinya ketika
panas sudah hilang. Setelah minum obat-obatan tersebut 3 kali
tablet dalam sehari selama 3 hari tapi belum benar-benar
sembuh, anak disuruh untuk bermain/beraktivitas seperti
biasanya dan sakit yang dialami berangsur-angsur akhirnya
membaik. Ibu tidak memberikan obat-obatan tersebut lebih lama
lagi kepada anaknya dikarenakan kekhawatiran bahwa anak
dapat ketergantungan terhadap obat-obatan tersebut.
Panas batuksaya kasih paracetamol, asam mefenamat
sama amphicillin, dua minggu yang lalu, saya pergi ke
pasar saya beli obat, nanti demam sekali mi nggak bisa
sekolah3 kali sehari saya potong dua, sepotong semua,
pagi siang malam. Sakit badan asam mefenamat kalo
habis kerja berat sama amphicilin, batuk sendiri asal
panas berhenti batuknya berhenti. 3 hari minum belum

203

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

sembuh, jangan kau tinggal terus pergi kau main


berangsur-angsur sembuh mi (Dw, 34 tahun)

Penyebab lain yang terjadi pada salah satu anak informan


adalah terkait dengan pola makan yang kurang baik. Sc yang kini
berusia 1 tahun, pada saat berusia 8 bulan ditinggal ibunya
selama 3 bulan sehingga tidak mendapatkan ASI dan hanya
mengonsumsi teh gelas sebagai pengganti ASI. Selain itu, menu
makan sehari-hari anak tersebut adalah bubur. Menurut kerabat
yang merawat, hal tersebut yang menyebabkan anak tersebut
sakit panas disertai dengan batuk.
Ditinggal mamaknya nggak netek selama 3 bulan,
minum teh gelas, kalo malam habis dua, kalo siang nggak
tahu, salah makan kapang, umur 8 bulan, makan bubur
dibikinkan (Dw, 34 tahun)

Selain itu obat-obatan yang biasa diberikan kepada anak


balita ketika mengalami panas, batuk dan pilek diantaranya
adalah obat bodrex atau inzana yang dibeli di warung. Selain
itu orang tua biasanya juga memanggil dukun untuk
menyembuhkan anaknya dengan cara dipijat dan ditiup-tiup oleh
dukun.
begitu ji b**rex i**ana, neneknya obat ji, dipijat, ditiuptiup (Pl, 21 tahun)

3.3.1.4. Sekumit Cerita Kasus TBC


Terdapat seorang ibu yang sudah lama menderita batuk
sekitar 1 tahun. Pada awalnya merupakan batuk biasa dan satu
bulan kemudian mulai muncul lendir (galaga) berwarna hijau.
Tak lama kemudian ketika batuk keluar lendir bercampur dengan
darah merah. Belum lama diketahui ibu Pl (21 tahun) batuk

204

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

disertai dengan darah tetapi ia tidak memeriksakan diri ke pusat


pelayanan kesehatan.
Batuknya kaya parah, batuk terus-batuk terus nggak
mau keluarludah, apa itu namanya galaga, warna hijau,
kalau batuk minta ampun (Pl, 21 tahun)
satu malam darahnya banyak keluar, ada dua sarung,
itu darah keluar terus nggak mau berhenti, merah sekali,
encer kaya lendir, ini baru-baru lagi keluar darah (Pl, 21
tahun)

Keluhan yang dirasakan diantaranya adalah sakit kepala,


sesak nafas, sakit pada bagian tulang belakang dan semua
anggota tubuh ikut terasa sakit saat batuk. Saat itu
memanfaatkan obat tradisional dengan meminum kayu jawa
berupa kulit batang pohonnya yang diparut dan diminum
sebanyak satu sendok. Ia juga berobat ke dukun. Saat itu pula di
antar oleh mertua berobat di sebuah klinik swasta dan
dinyatakan bahwa, penyakit yang diderita adalah TBC batuk
kering. Ia mendapatkan obat untuk dikonsumsi selama dua
minggu tetapi tidak ada perubahan, disamping masih
mengonsumsi air jappi-jappi. Setelah itu keluarga membawa ibu
Pl ke Puskesmas. Ia mengaku melakukan pemeriksaan darah,
mendapatkan
obat
tetapi
tidak
meminumnya
dan
direkomendasikan ke rumah sakit untuk dapat melakukan
rontgen tetapi tidak mau. Setelah itu ia berobat ke Bone dengan
bantuan keluarga, tetapi ia tidak meminum obat yang diberikan
dan tidak mendapatkan informasi tentang penyakit yang dialami.
Ibu Pl (21 tahun) menyatakan tidak suka minum obat, terutama
tidak dapat mengonsumsi obat berukuran besar bahkan
membuang obat-obatan yang dibelikan oleh saudaranya.
Biasa ji saya sering minum kayunya diambil saya parut,
saya minum pagi-pagi, berhenti batukku, sudah keluar

205

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

lender, sering dulu saya minum, diparut diambil airnya


diminum satu sendok, sama darah dulu mi itu, campur,
kaget dulu mi semua orang, darah merah darah luka,
kadang kalo meludah ada lagi, ada lagi (Pl, 21 tahun)

Menurut cerita, sebelumnya ia merawat mertuanya yang


waktu itu sakit TBC sebelum meninggal. Ia selalu minum sisa air
minum atau makanan mertuanya tersebut. Mereka mempercayai
tentang pantangan terhadap penyakit ini yaitu makan lombok
dan asam karena dapat merusak paru-paru penderita. Selain itu
terkena angin akan menyebabkan penyakit dapat bertambah
parah. Berbaring terus dapat menyebabkan sakit kepala ketika
bangun. Meskipun demikian pantangan tersebut tidak
diindahkan oleh ibu Pl (21 tahun).
Sering kuhabiskan minum air putih, teh, sering juga ku
makan sisa makanya, nggak bisa habis...dibilang makan
Lombok, asam rusak paru-parudilarang kena angin,
baring terus penyakit dapat bertambah parah, kalo
baring terus pusing orang, tapi saya nggak peduli karena
enak kalo baring terus, kalo kau mau mandi mandi air
panas atau air asin, ambil daun pakecce baru mandi, biar
batuk cepat sembuh (Pl, 21 tahun)

Belum lama, PI pernah tidak sadar dikarenakan merasa


sesak, bahkan orang-orang di sekitarnya menganggap dirinya
sudah meniggal tetapi dengan pengobatan dukun kampung
keadaannya dapat membaik. Tanggapan orang terhadap
penderita TBC diantaranya adalah menggunjing tentang kondisi
yang dialami oleh penderita, diantaranya dengan mengatakan
kondisi badan yang kurus sekali atau jijik.
Itu saya malu juga, kalo saya kesana-sana melihat-lihat
semua orang, pergi nanti dia baru cerita, bilang kurus
sekali apa, tapi ndak saya peduli, saya dengar dari
mulutnya, mamaknya T bilang begitu, tapi ndak ku

206

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

ambil hati, malu jijik nanti orang, meludah-meludah


begini (Pl, 21 tahun)

Ia terbiasa membersihkan badan sekitar 4 hari sekali


karena tidak bisa mandi dengan air dingin. Ia dianjurkan oleh
dukun untuk menggunakan air hangat dengan daun pakecce
ketika mandi dengan tujuan lendir dapat mudah keluar dari
dalam tubuh karena pengaruh panas, namun nasehat tersebut
tidak dilakukan. Tidak setiap hari batuk yang keluar bersama
dengan darah tetapi jika darah ikut keluar biasanya berupa
darah segar, seperti darah luka. Ia tetap menyusui anaknya yang
berusia (1 tahun) meski dalam kondisi terbatuk-batuk.
Selama sakit Ia tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah
tangga sehingga ia menyuruh anak-anak kecil di sekitar rumah
untuk mencuci piring dan pakaian, sementara memasak menjadi
tugas suami sehari-hari. Selain itu ia pernah periksa di bidan
diberikan obat tetapi tidak diminum karena pahit. Ia juga
disarankan periksa ke rumah sakit tetapi tidak mau karena takut
diinfus.
Pengobatan tradisional yang dilakukan diantaranya adalah
meminum parutan kulit batang pohon kayu jawa yang diperas
sebanyak 1 sendok makan dan diminum pada pagi hari. Hal ini
pernah dilakukan ketika ia mengalami batuk disertai dengan
darah dan tidak dilakukan secara rutin/kontinyu. Kayu jawa
dipercaya dapat menyembuhkan penyakit dalam, seperti muntah
darah termasuk ketika sakit TBC. Seorang dukun kampung
mengatakan bahwa sakit berupa TBC kering tidak bisa diobati.
Dahulu terdapat penderita TBC kering meniggal meski telah coba
diobati oleh banyak dukun. Sakit sesak nafas bisa diobati dengan
cara badan digantung selama sekitar 30 menit dengan posisi
kepala di bawah dan dukunya berniat sembari dibuatkan air
jappi-jappi. Pengobatan jenis ini menjamin sakit sesak nafas tidak

207

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

akan lagi kambuh. Pendapat lain menyatakan bahwa TBC kering


ini merupakan penyakit keturunan.
Adapula kasus yang sama yang dialami oleh warga yang
lain. Dalam catatan Puskesmas dia positif menderita TBC dan
pernah menjalani pengobatan 6 bulan. Berbeda dengan warga di
atas, dia rutin dan mau berobat. Saat penelitian dilakukan, dia
sudah menyelesaikan pengobatan, namun kondisi badan yang
kurus dan batuk terus menerus masih dialami meskipun
pengakuannya sudah tidak sakit lagi. Penderita ini memiliki
kebiasaan merokok yang tidak bisa ditinggalkan meskipun ketika
sakit dan batuk-batuk. Pengakuan kepada peneliti dia mengalami
sesak napas atau disebut hosa dan bukan TBC.
Bahkan salah seorang anaknya juga pernah menjalani
pengobatan 6 bulan karena mengalami gejala yang sama dan
bahkan sempat muntah darah. Saat ini sudah sembuh karena
rutin dan disiplin mengkonsumsi obat yang diberikan oleh tenaga
kesehatan. Dalam catatan petugas Puskesmas, penyakit TBC
masih ada di Desa Sulaho meskipun dengan angka kejadian yang
rendah. Saat dilakukan penelusuran kasus dan penderita, peneliti
hanya mendapatkan 3 kasus tersebut.
3.3.2. Penyakit Tidak Menular
Beberapa kasus penyakit tidak menular ditemukan di Desa
Sulaho diantaranya adalah kasus Gangguan Akibat Kekurangan
Iodium (GAKI), stroke, hipertensi dan penyakit akibat kecelakaan
kerja.

208

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

3.3.2.1. Sekelumit Cerita Kasus Gangguan Akibat Kekurangan


Iodium (GAKI)
Ada seorang ibu rumah tangga yang telah memeriksakan
diri ke tenaga kesehatan dan menurutnya dinyatakan sakit
gondok tidak beracun. Pertama kali gondok yang muncul
diketahui sebesar buah kemiri dan informan Si (43 tahun) tidak
merasakan keluhan apapun. Pada tahapan selanjutnya, ia mulai
merasakan keluhan berupa perasaan yang tidak enak karena
susah tidur, sesak nafas, susah makan dan cenderung merasa
mudah marah. Adanya pembesaran pada bagian leher mulai
dirasakan sejak memiliki anak pertama.
ndak baik perasaanku, susah tidurkalo malam kencing
(anaknya) ini ganti sarung, nggak bisa tidur, nggak bisa
bernapas-napas,jadi biasa marah-marah (Si, 43 tahun)
sudah lama mi itu bu pertama seperti kemiri besare,
waktu anak pertamaku, itu mi dua anakku periksa pergi
ke rumah sakit di bawahmamakku bilang besar e
gondokmu, baru saya periksa doktere, bertanya bilang
gondok apakah anu ini, bukan gondok beracun (Si, 43
tahun)

Namun demikian, ibu tidak segera memeriksakan diri ke


pusat pelayanan kesehatan karena alasan tidak memiliki uang,
akan tetapi setelah merasa bertambah besar ia baru
memeriksakan diri ke Puskesmas ketika anak keduanya telah
terlahir. Jarak antara keluhan yang muncul dan dirasakan dengan
keputusan informan untuk melakukan pengobatan medis sangat
lama dan jika diperkirakan lebih dari satu tahun. Informan Si
mengaku tidak mendapatkan obat apapun ketika memeriksakan
diri ke Puskesmas.

209

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3. 8.
Pembesaran Gondok
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Upaya pengobatan yang dilakukan pada mulanya


dilakukan oleh dukun (sanro) dengan dibuatkan air jappi-jappi.
Selanjutnya sanro menyarankan informan untuk periksa ke
rumah sakit karena khawatir penyakit yang diderita adalah jenis
gondok dalam. Saat itu ia tidak mendapatkan obat apapun. Satusatunya obat yang dikonsumsi oleh informan sejak menderita
gondok adalah jenis obat yang dibeli dari pedagang obat keliling
di kampung sekitar 10 tahun yang lalu. Obat tersebut dibeli satu
bulan setelah berobat ke Puskesmas dan diminum selama 10
hari. Ia menyatakan bahwa obat itu memberikan pengaruh pada
kondisi dirinya menjadi lebih baik.
Itu obat cinae lama mi buada mi kapang 10 tahun1
bulan dari itu ada cina menjual, banyak orang beli disini,
orang bilang ada obat gondokmukasihan ada anakku,
aku ambil uange, 1 kali saja ji datang ke sini, orang ndak
hamil juga dia bawa, itu mi, kubeli miada kapang 10
hari dimakan, biarpun mahal kubeli asal ada perubahan,
300 ribu, bentuknya begini segiempatiye, kalo minum
obat bagus perasaanku, makananku (Si, 43 tahun)

Meskipun informan merasakan bermacam keluhan pada


dirinya tetapi ia tidak memeriksakan diri lagi ke pusat pelayanan
210

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kesehatan, seperti rumah sakit atau Puskesmas. Ia menjalankan


rutinitasnya sebagai penjual ikan. Hanya saja ia tidak mengangkat
beban berat karena menurut masyarakat setempat kegiatan itu
dapat menyebabkan gondok di leher semakin membesar.
Nggak baik perasaanku, nggak kuat makan, nggak kuat
tidur, ada 2 bulan 3 bulan, besar lagi, ada ko gondok kata
mamakku, pergi jual ikan di lambai di lasusua, nggak
kupedulikan itu bujangan kau menjunjung ikan, itu
kasihan lelakie belum pintar cari ikan, bilang belum ada
obat gondok dijual, itu di orang cinae (Si, 43 tahun)

Terakhir kali, informan memeriksakan diri sekitar dua


bulan yang lalu ke Rumah Sakit Umum Kabupaten Kolaka Utara.
Pemeriksaan itu merupakan pemeriksaan kedua sepanjang
informan menderita gondok. Ia mendapatkan tawaran untuk
melakukan operasi, namun ia tidak berkeinginan untuk
melakukan operasi tersebut dikarenakan kekhawatiran
mengeluarkan biaya tambahan untuk proses pengobatan yang
tidak ditanggung Jamkesmas. Menurut informan, hasil
pemeriksaan di RS menyatakan bahwa yang diderita adalah
gondok tidak beracun. Informan menyebut bahwa gondok yang
dideritanya adalah jenis gondok luar.
Belum pi itu periksa, besar baru periksabaru kapan
dua kali, besar baru saya periksa, bukan gondok
beracungondok luar aja itu bu, belum pi besar (Si, 43
tahun)

Menurut informan, yang dimaksud dengan gondok


dalam oleh masyarakat setempat adalah benjolan yang tumbuh
dalam tenggorokan sehingga dapat mengalami kesusahan untuk
menelan dan bernafas jika membesar. Gondok jenis ini disebut
sebagai gondok yang berbahaya karena dapat menyebabkan
kematian jika tidak dilakukan operasi. Sementara gondok luar

211

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

berada di bawah lapisan kulit, sehingga tidak memberikan


dampak pada kesulitan minum atau makan bagi penderita.
Ndak kelihatan mi kalo besar di dalam nggak bisa
makanbesar di dalam, nggak kelihatan, kalo inikan di
luar saja, nggak apa-apa, kalo ndak diperasi gondok
dalam bisa mati di tempat nasi, nggak bisa makan,
nggak bisa menelan, ndak bisa kik bernapas (Si, 43
tahun)

Pemakaian garam halus disebut bagus untuk dikonsumsi


oleh orang yang memiliki gondok dan dapat membuat ukuran
gondok mengecil. Informasi tersebut diketahuinya dari keluarga
yaitu ibu dan adik yang tinggal di luar wilayah Sulaho. Namun
demikian informan tidak selalu menggunakan garam halus,
karena di warung desa tidak dapat diperoleh garam halus, maka
digunakan garam seadanya. Upaya lain yang dapat dilakukan
adalah dengan mengoleskan garam halus pada bagian leher
menjelang tidur. Ibu telah mempraktekkan kebiasaan tersebut
sejak anaknya yang mengalami sakit polio pada waktu masih
kecil, namun ia tidak dapat mengingat berapa umur anaknya
waktu itu.
Ada itu dulu, orang, adikku kasih tahukan di pakue, kalo
gondok orang, garam halus, bagus dimakan ndak besar,
kubilang doktere periksa nggak ada obat dikasih kik, kalo
sudah makan ikan orang, sudah makan, kuambil garam
kasih begini, mau kak tidur, seperti pake bedak, hari-hari
pake kalo mau tidur (Si, 43 tahun)

Informan memiliki 9 anak, 6 diantaranya meninggal


saat masih balita. Terdapat dua orang anak yang menurut
informan anaknya terkena penyakit polio. Sejak kecil
diakuinya anak tidak mendapatkan imunisasi. Satu
diantaranya telah meninggal pada usia sekitar 20 tahun.

212

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Satu lainnya masih hidup hingga kini dan berusia 24 tahun,


sebut saja An. Kelainan pada anak tersebut (An) mulai
dirasakan sejak usia sekitar lima bulan. Gejala yang muncul
diantaranya adalah badan panas, kejang dan anak
mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik yang
dianggap tidak seperti tumbuh kembang pada anak normal.
Pengobatan yang dilakukan melalui sanro dengan
dibuatkan air jappi-jappi dan ibu tidak pernah membawa
anaknya berobat ke pusat pelayanan kesehatan. Menurut
sanro, penyakit yang dialami anaknya sudah dibawa sejak
anak masih dalam kandungan. Namun informan sendiri
tidak mengetahui apa yang menyebabkan anaknya memiliki
penyakit sejak masih dalam kandungan.
...Kecilnya sampai besarnya tidak bisa jalan , dari anu
ituitu mi kalau datang ki penyakitnya begitu mi kasi
anu ki itu matanya kedalam begini (kejang)itu waktu
kecil-kecilnya gemuktidak pergi mi dibawa-bawa
kerumah sakit ka sehat ji dibilang. Itu waktu 5 bulan 6
bulan bilangka kenapa lagi ini anak-anak begini tidak
pernah duduk. Itu anak-anak kalau hampir mi 8 bulan 7
bulan duduk-dudukmi baru dikasi berdiri sama kursi
begitu na ini tidak pernah (Si, 43 tahun)
Kalau datang mi itu nenekku (sanro) obati biar kadang
sembuh kadang ndak na bilang nenekku jangan mi pale
obati anakmu ka ada memang penyakitnya dari dalam
perut (Si, 43 tahun)

Menu sehari-hari yang biasa dikonsumsi oleh informan


dan keluarga adalah nasi sebagai makanan pokok dengan ikan
sebagai lauk, yang didominasi oleh ikan kacalang. Selain itu ikan
lain yang dikonsumsi adalah ikan rambe dan ikan putih yang
diperoleh dari tetangganya yang pergi melaut. Kini, ikan jenis
tersebut sudah jarang diperolehnya karena tidak ada lagi nelayan

213

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

di Sulaho yang memanfaatkan bom ikan untuk mencari ikan.


Sayur yang biasa dikonsumsi diantaranya adalah sayur kolu (kol),
sempu (daun katu), marolare (kangkung), buah pepaya, kacang
panjang, daun kacang panjang, terong. Pemilihan jenis sayur
seperti terong dan kol adalah jenis sayur yang dapat disimpan
selama beberapa hari.
Kalo terong, kol bagus disimpan, biar 3 malam, 4
malam, setiap ke pasar pasti beli, kalao sayur lain nggak
bagus disimpan kalo sudah lama (Si, 43 tahun)

Jenis masakan ikan biasanya berkuah dan goreng. Garam


dibubuhkan bersama dengan ikan dan bumbu lain serta air
sebelum mulai dimasak. Selain itu, garam dimasukkan pada
proses awal memasak sebelum sayur mendidih.
Kalo ikan dimasak, baru dianu semua garam, asamnya,
itu bawange, baru dikasih minyak, baru dikasih
vetsinnya, dimasak miperiuk, ini kompor, baru
disimpan itu anu e garam, vetsin, mendidih itu mi bu,
dismpan itu sayure, baru dicoba mi (Si, 43 tahun)

Pantangan terhadap penyakit gondok adalah memakan


makanan yang berminyak. Tetapi informan tidak mengetahui
alasan pantangan makanan jenis tersebut, dan tidak berusaha
menghindari makanan yang berminyak. Menurut informan
gondok juga dapat meletus ketika tidak dapat ditemukan
obatnya.
Biasa ji juga makan sama saya, jangan kau makan
anu e minyak-minyak apakah, jangan banyak tumistumis, itu kasihtahukan orang disini , itu mi ada
penyakitmu, biarku makan, mati tak nantigondok
bisa meletus kalo nggak ada obatnya, banyak orang
meletus kalo nggak ada obatnya (Si, 43 tahun)

214

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

3.3.2.2. Sekelumit Cerita Kasus Stroke


Seorang bapak, sebut saja namanya Sh (60 tahun, bukan
usia sebenarnya). Pertama kali mengalami stroke ketika
mengangkat kayu dan mendadak tangan sebelah tidak bisa
digerakkan. Ia mengalami stroke dimana tangan kirinya lumpuh
dan tidak bisa digerakkan.
...Awalnya saya mau potong kayu pakai kapak tangan
kiri pegang kayu... tiba-tiba kayunya jatuh dan saya
sudah tidak bisa rasakan tangan kiri saya... tidak ada
kesemutan tidak ada kram atau nyut-nyut,
langsungbegitu saja tidak terasa... (Sh, 60 tahun)

Pengobatan yang dilakukan diantaranya adalah berobat


pada dukun selama satu bulan dengan tinggal di rumah dukun
tetapi tidak ada perubahan. Akhirnya memutuskan pulang ke
kampung halaman di Sulaho dan berobat kepada dukun yang
mengobati dengan cara menyembur air pada bagian tangan yang
mati rasa. Ketika ditanyakan penyebabnya, Sh hanya
menyebutkan kayu yang akan dipotong itu saja penyebabnya.
Pengobatan yang dilakukan sebelumnya adalah berobat pada
sanro selama satu bulan dengan tinggal di rumah dukun tetapi
tidak terdapat perubahan. Sanro tidak menyebutkan penyakit
yang sebenarnya diderita termasuk penyebabnya.
Setelah menggunakan jasa sanro, kemudian berobat di
rumah sakit dan menurut dokter menderita sakit stroke ringan.
Dia pernah berobat ke Lasusua sebanyak 3 kali namun tidak ada
perubahan. Dia mengonsumsi obat-obat dari dokter dan pernah
juga berobat di dokter praktek di Kolaka, namun sampai saat ini
tangannya masih tidak bisa digerakkan.
Sebelum mengalami stroke, Sh bekerja sebagai nelayan.
Saat ini dia tinggal sendiri di rumahnya. Adapun kebutuhan
makan sehari-hari disiapkan oleh anaknya yang rumahnya

215

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

berhadapan langung dengan rumah tinggalnya. Beberapa bulan


yang lalu isteri Sh meninggal dunia dan untuk menghilangkan
kedukaannya Sh pernah ikut bersama adiknya ke pulau dan baru
kembali beberapa hari sebelum berakhirnya penelitian ini.
Peneliti mendapati, Sh adalah seorang perokok berat.
Berdasarkan pengakuannya, dia telah mulai merokok sejak masih
anak-anak. Dia seorang pekerja keras namun tidak pernah peduli
untuk memeriksakan kesehatannya. Dia mengaku pernah merasa
sering tegang-tegang di leher sebelum akhirnya tangannya
lumpuh.
3.3.2.3. Sekelumit Cerita Hipertensi
Penyakit tidak menular lainnya yang dapat ditemukan di
Desa Sulaho adalah hipertensi. Seorang ibu, Ny yang berusia
sekitar 65 tahun pernah mengalami pingsan dan tidak sadarkan
diri. Dia mengaku terkena stroke, namun tidak sampai lumpuh
hanya pernah pingsan saja. Ketika dikonfirmasi ke anaknya
ternyata dia mengalami hipertensi, tekanan darahnya naik
sampai 200 namun tidak sampai lumpuh.
...Dia pernah pingsan, mengorok... dibilang stroke
karena tekanan darahnya naik sampai lebih 200... seringsering ini mamaku masuk rumah sakit, pernah masuk
rumah sakit sampai 1 bulan... (Nh, 32 tahun)

Nymengaku pernah mengalami badan kaku dan tidak bisa


bergerak sehingga dibawa ke rumah sakit. Kejadian itu sudah
belasan tahun yang lalu. Namun dia tidak mengalami lumpuh,
badan yang kaku dirasakan hanya ketika terjadi serangan darah
tinggi itu terjadi. Akhir-akhir ini, tekanan darahnya masih sering
naik dengan gejala leher bagian belakang atau tengkuk tegang
maka memeriksakan diri ke bidan desa, diberikan obat dan
selanjutnya pulih.

216

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

...Pernah baru-baru ini naik lagi tekanan darahnya 180,


tapi bu bidan kasi obat, sudah sembuh lagi... (Nh, 32
tahun)

Kejadian hipertensi yang dialami oleh Ibu Ny, bisa


dipahami karena faktor usia dan kebiasaan konsumsi makanan
olahan hasil laut yang diduga mengandung kadar kolestrol yang
tinggi seperti udang atau cumi-cumi dan beberapa jenis ikan yang
lain. Hal ini dapat dimaklumi mengingat penghasilan utama
warga Desa Sulaho berupa hasil laut yang sebagian juga
dikonsumsi.
3.3.2.4. Sekelumit Cerita tentang Penyakit Akibat Kecelakaan
Kerja
Pekerjaan sebagian besar masyarakat berhubungan
dengan laut. Berdasarkan pengamatan tak satupun perahu
nelayan yang dilengkapi pelampung. Ketika ditanyakan
bagaimana cara mereka menyelamatkan diri ketika perahu karam
atau tenggelam, mereka hanya mengandalkan papan perahu
atau jerigen kosong atau apa saja yang bisa membantu
mengapung. Jika jarak dengan daratan tidak terlalu jauh maka
mereka berusaha berenang menuju daratan. Pada dasarnya
mereka menyadari risiko tersebut dan tahu bahwa cara mereka
bekerja tidak aman dan sangat berbahaya namun mereka
memilih jalan itu karena lebih murah atau lebih terjangkau.
"...Pernah waktu itu perahu saya dihantam ombak dan
terbalik (tenggelam). saya cuma cari papan-papan dari
perahu yang hanyut, dan saya berusaha naik di lambung
perahu... untung cepat ada yang lewat saya minta
tolong, lalu perahu saya ditarik sampai ke daratan...
setelah itu saya tidak pernah lagi turun melaut..." (Sw,
56 tahun)

217

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

"...Kita tidak pakai tabung oksigen karena butuh banyak


uang juga itu, kalau ada bantuan mungkin kita bisa
pakai, minimal seperti rompi pelampung..." (Rh, 32
tahun)

Mereka seringkali memanfaatkan bom ikan untuk mencari


ikan. Bahan bom ikan diantaranya adalah pupuk kelapa sawit
yang diperoleh secara sembunyi-sembunyi, minyak tanah, sumbu
yang disebut dengan dopis dan wadah bom yang berupa botol
kaca maupun jerigen. Beberapa bom ikan digunakan untuk
menangkap komunitas ikan tertentu dengan tujuan
mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Penggunaan bom
ikan ini dapat membahayakan diri nelayan bahkan dapat
menimbulkan kematian. Pekerjaan bom ikan menyebabkan
bahan peledak dapat meledak di tangan, menghancurkan perahu
dan orang/nelayan sekaligus. Pada masa lalu, terdapat dua orang
informan yang pernah kehilangan anggota keluarganya karena
meninggal terkena ledakan bom ikan tersebut. Salah satu
diantara mereka pun mengaku trauma sehingga keluarganya
tidak pernah melaut dengan menggunakan bom ikan.
Saya punya adik cowok kan, dia mak bom di situ...dia
pergi pencariannya jauh dari pomalajadi itu sama
bapak saya pergi mak bom, dia melempar di lautan, apa
itu ada temannya itu dia kasih bomjadi kita kasih adik
saya bom, nah saya punya adik meletus bom di
tangannya itu dia langsung meninggal (Rs, 43 tahun)

Pekerjaan sebagai nelayan membuat mereka piawai


berenang maupun menyelam. Mereka dapat menyelam hingga
kedalaman puluhan meter, nelayan biasanya mencari teripang
dengan cara menyelam. Dalam kegiatan tersebut, beberapa
orang di desa ini pernah mengalami sakit ketika menyelam yang
disebut dengan kram atau kerang. Akibat kejadian yang dialami
tersebut beberapa orang di desa ini mengalami cacat permanen
218

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

yang menyebabkan sakit pada badan secara terus menerus ketika


diam ataupun bergerak, berjalan tidak normal atau lumpuh.
Pemulihan untuk dapat bisa berjalan kembali membutuhkan
waktu yang relatif lama. Salah satu contoh adalah kasus yang
terjadi pada informan Bs (30 tahun) yang baru dapat berjalan
setelah dua tahun mengalami kram/kerang.
Pernah saya menyelam ikan bom bu, terus terang bu
ikan bom, kedalaman itu 10 meterlalu saya naik, lalu
saya tidak ingat lagi bahwa saya sudah di rumah, hilang
kesadaran, orang bilang disini kerangkerang sehingga
sampe sekarang, saya bisa jalan lebih sekitar satu tahun
karena saya itu kena setelah selesai sekolah tahun 95
kena tahun 97 baru bisa jalan itu, mungkin ada dua
tahun, sampe sekarang weh masih susah sekali untuk
jalan normal bu (Bs, 30 tahun)

Nelayan tidak memakai perlengkapan khusus ketika


menyelam kecuali menggunakan apa yang disebut dengan dagor,
yaitu alat bantu pernafasan (respirator) yang disambungkan
dengan selang sepanjang puluhan meter dan dihubungkan
dengan kompresor di atas perahu. Dagor ini digunakan secara
bergantian oleh para penyelam.
Penyakit akibat kerja yang banyak dialami oleh warga
adalah lumpuh atau kram dan sakit kepala akibat menyelam
dalam waktu yang lama dan dalam. Terutama ini diderita bagi
para penyelam teripang. Untuk mendapatkan teripang yang
banyak, para penyelam tidak jarang harus menyelam sampai
kedalaman 60 meter dengan hanya mengandalakan udara dari
mesin kompresor yang disambung selang, bukan tabung oksigen.
Prosedur penyelaman yang tidak benar ditambah alat
keselamatan yang sangat terbatas menyebabkan risiko
kecelakaan yang besar pada pekerjaan tersebut.

219

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3. 9.
Dagor dan Kompresor untuk Menyelam
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Biasanya penyelam teripang tidak berangkat melaut


sendirian, minimal berdua atau bertiga. Penyelam teripang
berbagi tugas, ada yang menyelam, ada yang harus menjaga
mesin kompresor dan menarik ke atas. Seorang penyelam
teripang menggunakan pemberat yang diikat di pinggang (perut)
berupa batangan timah atau batu. Biasanya beratnya bisa
mencapai 5 kg. Pemberat ini digunakan untuk membantu mereka
tenggelam dan tetap berada di dasar laut.
"...Semakin dalam kita menyelam semakin panjang
selang yang dipakai, biasa habis satu bal kira-kira 60
meter... kalau begitu biasa di bawah sudah lembek
anginnya, jadi orang di atas harus kasi naik lagi gasnya
mesin kompresor... biasanya anginnya minimal 150 atau
200 sudah aman itu..." (Rh, 32 tahun)

Ketika mereka menyelam mengetahui teripang yang ada di


dasar laut banyak, biasanya mereka lupa diri dan tanpa sadar
berada cukup lama dalam air. Ketika mereka naik dengan segera
ke atas, tiba-tiba merasa kram, kaki mati rasa dan kepala pusing.
Ada juga yang langsung keluar darah dari hidung atau telinga.
"... Biasa pak, kalau istilahnya banyak sekali teripang di
bawah, kita bisa lupa pak, pas naik sudah tidak terasa

220

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

lagi kaki, kram semua kepala pusing ada juga teman


sampai keluar darah dari hidung kalau sudah parah..."
(Rh, 32 tahun)

Tanda yang ditunjukkan oleh penyakit kram/kerang


tersebut diantaranya adalah air kencing yang tidak dapat keluar,
bagian tubuh terutama badan dan kaki mengalami mati rasa
sehingga tidak bisa menggerakkan badannya dengan leluasa.
Waktu kencing tidak keluar, tidak rasa, tidak dirasa ini
(badan, kaki), biar dipotong-potong nggak kerasa, Diurut
saja disini (memegang kaki), Banyak, banyak yang
lumpuh, Itu kalo misalnya sudah lama di laut bu, kakinya
tidak bisa jalan, cacat, itu di situ b, y (Th, 69 tahun)

Kram/kerang yang dialami dapat terjadi karena pengaruh


tekanan air laut tergantung pada kedalaman penyelaman. Terjadi
perbedaan tekanan pada kedalaman yang terkena sinar matahari
dengan yang tidak terkena sinar matahari. Selain itu terjadinya
kram/kerang juga dapat disebabkan karena adanya pengaruh
penunggu laut.
Dingin sekali, karena itu kalo menyelam orangnya dari
15 meter ke bawah mungkin dalam pertengahan masih
panas karena matahari masih tembus ke bawah lewat
daripada itu membeku laut di bawah, tidak pernah kena
arus, ada nanti tembus matahari ke bawah bu tapi arus
kencang jadi semua bergerak ini sehingga misalnya
sudah masuk air dingin tidak dirasa masih bisa dari
bawah nanti nak kena matahari baru mi tidak ada
perasaan..biasa juga campuran mi bu, karena juga biasa
bu kita waktu dulu pertama misalnya ada penangkap
ikan menyelam, waktu saya masih muda belum ada saya
anak sama mamaknya, lihat kuburan di bawah air,
seperti di kampong, setelah naik nanti nak bilang
mungkin kramat di sini (Th, 69 tahun)

221

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pertolongan pertama yang dilakukan terhadap orang yang


mengalami kram/kerang adalah dengan melakukan beberapa
cara oleh sanro sesuai keyakinan masing-masing. Salah satu
sanro diantaranya menentukan terlebih dahulu apakah
kram/kerang yang dialami disebabkan karena penunggu laut atau
bukan. Cara yang dilakukan dengan meneteskan satu sendok air
pada kedua mata. Jika mata merasa pedih maka kram/kerang
yang dialami disebabkan oleh penunggu laut. Selain itu untuk
menolong orang yang mengalami kram/kerang tersebut
dilakukan penindihan pada urat saraf tertentu pada bagian
punggung atau dilakukan pengurutan pada bagian kaki dengan
menggunakan minyak boka (kelapa) atau pesse laya (jahe).
Upaya pengobatan air jappi-jappi sebagai bagian yang tidak
boleh ditinggalkan.
Saya kena di situ artinya ada hal-hal gaib yang juga ikut,
sehingga dia ambil air tetes di mata saya, sehingga
bilangnya kalo pedih ada yang merasuk, tapi kalo tidak
ya biasa saja, sekali tetes di mataku ternyata pedis, baru
itu juga belum bisa melihat dengan jelas, samar-samar
orang saya lihat, waktu dia tetes air di mata saya bisa
normal. Itu bu kalo kena orang di laut pasti ada dukun
yang bilang kerasukan atau apa (Bs, 30 tahun)

Kejadian kram/kerang yang dianggap parah adalah badan


dan kaki yang tidak dapat digerakkan dalam jangka waktu lama.
Badan dan kaki diobati dengan cara diurut oleh sanro kampung.
Pengurutan setiap kali dilakukan sekitar setengah jam, tetapi jika
kram/kerang yang dialami sudah parah, maka biasanya akan
dirujuk ke rumah sakit. Gejala bahwa penyakit parah ditandai
dengan badan dan kaki yang tidak bisa bergerak cepat meskipun
sudah dilakukan pengurutan serta tidak bisa mengeluarkan air
kencing.

222

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Air mi didoa-doadiurut terus saya suruh kencing


putus-putus, terus saya suruh bawa ke rumah sakit to di
lasusua, dikasih obatdilihat keadaannya kalo masih
bisa goyang-goyang pake minyak kelapa biasa, 2
harindak sampe setengah jam diurut (Th, 69 tahun)
orang itu kena di laut, orang itu tidak bisa bergoyang
terus habis napas, jadi heran orang katanya sudah
meninggal, jadi saya bilang tolong dibalik, pegang
uratnya di sini (menunjuk punggung) belakangnya to,
kalo masih ada, ada ji coba kamu tarik 3 kali, sudah ada
kembali (Th, 69 tahun)

Beberapa penyakit atau bahkan kematian yang diakibatkan


oleh kecelakaan kerja lainnya yang dialami oleh beberapa warga
Di Desa Sulaho tidak terlepas dari ketiadaan penggunaan alat
pelindung diri (APD) saat bekerja termasuk alat keselamatan.
Penyebab kecelakaan kerja yang pernah terjadi diantaranya
adalah mati karena menyelam atau tenggelam, kaki terkena
baling-baling mesin, tertimpa dahan dan tertimpa pohon setelah
ditebang.
Mati Karena Menyelam
Beberapa tahun yang lalu seorang warga Desa Sulaho
meninggal dunia setelah menyelam. Sebut saja Haji S, salah
seorang warga terkaya di desa ini dan termasuk segelintir orang
yang sudah naik haji. Almarhum adalah pengepul teripang
sekaligus penyelam teripang. Menurut cerita istrinya, Ny H,
bahwa dia tidak punya firasat apa-apa pada saat kejadian
kecelakaan itu. Menurut penuturan temannya, bahwa kejadian
itu bermula saat Haji S turun menyelam dan melihat banyak
teripang, kemudian dia juga melihat seekor udang besar dan
panjang yang sangat menarik. Setelah dia naik dia langsung turun
lagi menyelam dengan maksud mau menangkap udang tersebut.
Setelah beberapa lama di dalam air, ia tidak berhasil menangkap

223

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

udang itu dia kemudian naik dan berkata saya kena. Maksudnya,
bahwa ia terkena sesuatu dari bawah. Setelah itu dia sudah tidak
bisa bergerak dan beberapa temannya di perahu sudah panik
dan segera pulang, namun di tengah perjalanan dia
menghembuskan nafas terakhir. Menurut istrinya kondisi badan
suaminya itu berwarna hitam ketika meninggal.
Cerita tersebut pernah dikonfirmasi kepada salah satu
dukun kampung yang biasa dimintai tolong oleh warga Desa
Sulaho ketika mereka mendapat masalah terutama yang
berhubungan dengan pekerjaan mereka melaut. Baik berupa
penyakit ataupun gangguan makhluk halus di laut. Sebut
namanya Pak Tg (56 tahun). Menurutnya, kejadian yang
menimpa Haji S itu akibat kemarahan dari penunggu laut. Udang
yang dia lihat adalah penunggu laut yang berganti wujud.
menurutnya dia sudah memperingatkan Haji S, tetapi tidak
didengarkan, sehingga mereka berkelahi di bawah dan Haji S
kalah.
Mati Karena Tenggelam
Cerita kecelakaan kerja yang mengakibatkan kematian
(lebih tepat hilang) juga dialami oleh Pak S yang kisahnya
diceritakan adik kandungnya. Hari itu, S bertingkah agak aneh,
kelihatan tidak tenang dan gelisah. dia sebenarnya sedang
mengerjakan pembangunan gedung Balai Desa Sulaho. Sore itu
setelah selesai bekerja di Balai Desa, kemudian mendesak
iparnya untuk segera turun ke laut mengebom ikan, padahal saat
itu situasi ombak sedang tidak mendukung, ombak sedang besarbesarnya. Namun karena terus didesak akhirnya sang ipar
menyetujui dan mereka bersama keponakannya (bertiga) ke laut.
Mereka dapat ikan dan selanjutnya dibawa ke lasusua
untuk di jual. Setelah itu mereka kembali, di perjalanan pulang ini
S duduk di bagian buritan perahu dan karena ombak besar dia
kemudian terjatuh. Iparnya kemudian kembali ke dermaga
224

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

meminta pertolongan dan saat itu juga beberapa orang datang


menolong dan menyelam untuk mencari korban namun sampai
seminggu pencarian, jasadnya tidak juga ditemukan bahkan
sampai saat ini setelah 3 tahun berlalu. Anggapan yang
berkembang di masyarakat setempat, bahwa S sebenarnya tidak
mati tetapi disembunyikan oleh penunggu laut. Ibunya masih
menganggap bahwa putranya masih hidup sampai saat ini.
Kaki Terkena Baling-Baling Mesin
Salah seorang ibu juga menceritakan tentang adiknya yang
pernah
mengalami
kecelakaan
terkena
baling-baling.
Menurutnya saat itu, adiknya bersama suaminya melaut
mengebom ikan. Dalam perjalanan pulang sang adik ke bagian
buritan perahu untuk kencing. Namun karena kondisi ombak
sedang besar, tiba-tiba perahu terhentak dan dia terjatuh ke laut.
Saat jatuh kaki terkena baling-baling mesin yang sedang berputar
dan perahu terus melaju. Dia tertinggal bersimbah darah di laut.
Barulah beberapa saat kemudian suaminya tersadar jika iparnya
terjatuh. Di segera kembali menolong dan bersyukur adiknya
terluka hanya di bagian kaki meskipun cukup parah. Namun saat
itu tidak sempat dibawa ke rumah sakit dan cukup ditolong bidan
di desa.
Mati Tertimpa Dahan
Selain pekerjaan nelayan, beberapa warga Desa Sulaho
juga bekerja sebagai penebang kayu yang mereka sebut passenso
atau penggergaji. Dalam sejarah Desa Sulaho, pernah ada
perusahaan kayu resmi yang masuk untuk mengeksplorasi hutan
menebang kayu. Beberapa warga masih menggeluti pekerjaan ini
sampai saat ini. Salah seorang warga sebut saja D, meninggal
karena kecelakaan kerja. Adik D sebut saja Su (35 tahun)
bercerita bahwa salah seorang kakaknya meninggal dunia di
hutan saat menebang kayu. Menurut cerita teman kakaknya yang

225

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

bersama-sama menebang kayu pada waktu itu, D tertimpa dahan


kayu yang jatuh karena lapuk pada saat dia sedang menebang
pohon.
Tertimpa Pohon Setelah Ditebang
Seorang warga lain yang berprofesi sebagai nelayan
pernah suatu hari ke gunung untuk menebang kayu untuk kayu
bakar. Sebut saja namanya Nas (56 tahun). Ia pergi sendiri. Ketika
dia selesai menebang kayu, tiba-tiba salah satu kayu
gelondongan berguling dan menimpa dirinya tepat di dada. Dia
pingsan dan tidak sadarkan diri seketika. Namun karena dia
sendirian tidak ada yang bisa menolong. Dia tersadar kemudian
kembali ke rumahnya dan merasakan dada sangat sakit sampai
saat ini. Nas tidak bisa melakukan pekerjaan yang berat sampai
sekarang sejak kejadian tersebut.
3.4. Sistem Pelayanan Kesehatan Formal versus Tradisional
Akses masuk ke desa Sulaho yang relatif sulit
menyebabkan petugas kesehatan Puskesmas tidak dapat turun
secara langsung setiap saat ke desa. Keberadaan tenaga
kesehatan yang tidak kontinyu di desa, menyebabkan adanya
pandangan negatif terhadap pelayanan kesehatan di Bakesra
khususnya. Hanya sedikit masyarakat YANG mau memeriksakan
diri ke Puskesmas pada saat sakit. Masyarakat lebih banyak yang
mengenal dan sering mengunjungi tempat praktek pemeriksaan
dan pengobatan kesehatan dikarenakan adanya praktek jappijappi, entah yang dapat diterapkan sebagai air minum atau
untuk mandi.
Mereka merasa lebih puas dengan pelayanan jenis
tersebut dikarenakan bisa memberikan dua macam pengobatan
sekaligus dengan metode kesehatan dan dukun. Ada anggapan
masyarakat bahwa semua obat yang diberikan oleh tenaga

226

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kesehatan memiliki khasiat yang sama saja untuk semua jenis


penyakit. Ada pula anggapan bahwa fasilitas pelayanan
kesehatan yang mereka terima mahal, bahkan ketika mereka
hanya mengeluarkan uang untuk sekedar membeli obat saja.
Terdapat anggota masyarakat yang tidak berkeinginan
untuk berobat ke rumah sakit jika sakit, karena persepsi adanya
perbedaan kualitas pelayanan yang diberikan oleh pusat
pelayanan kesehatan kepada masyarakat kaya dan masyarakat
miskin. Seorang informan pak Sd (37 tahun) pernah mengalami
dan menceritakan dengan berapi-api tentang isterinya yang
pernah mengalami luka bakar pada kedua pahanya. Luka
tersebut dalam kondisi darurat dirawat dengan menggunakan
campuran kopi dan putih telur yang dibalurkan pada bagian yang
terkelupas karena tersiram air panas. Tidak lama kemudian Pak
Sd (37 tahun) segera memboyong istrinya ke rumah sakit.
Ia terkaget-kaget karena tenaga kesehatan membersihkan
semua obat yang dibalurkan susah payah dengan bulu ayam ke
paha istrinya itu. Ia semakin terkejut karena paha istrinya
kemudian hanya di seka-seka saja dengan menggunakan es dan
menurutnya tidak diapa-apakan. Isterinya dibiarkan terkapar di
atas ranjang rumah sakit tanpa penanganan yang menurutnya
tidak tepat sama sekali. Ia mengambil keputusan membawa
pulang istrinya meskipun dilarang keras oleh pihak rumah sakit.
Ia nekat membawa pulang istrinya dan ia mengobati istrinya
dengan cara yang sama sebelum isterinya dibawa ke rumah sakit
sesuai anjuran saudara istrinya. Dengan bangganya, Pak Sd (37
tahun) mengatakan bahwa luka bakar istrinya sembuh dalam 1
bulan. Dia menyatakan dengan tegas dan bangga bahwa lukanya
kering.
Pengalaman lain yang kebetulan tidak mengenakkan
hatinya juga pernah terjadi ketika ibunya meninggal setelah
beberapa lama dirawat di rumah sakit. Menurutnya perawatan

227

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

rumah sakit yang menyebabkan ibunya meninggal. Ia merasa


selalu bermasalah dengan pelayanan kesehatan.
Saat saudaranya dirawat di rumah sakit, ia merasa
prosedur rumah sakit tidak cukup baik. Salah satu yang pernah
dialaminya adalah hasil rontgen yang tidak boleh diambil
sebelum membayar. Dalam ranah pemikiran idealnya,
seharusnya hasil rontgen boleh diambil terlebih dahulu baru
selanjutnya dibayar, sehingga terjadi pertengkaran ketika itu dan
dihadirkan brimob untuk melerai. Memori perlakuan dan
penanganan pelayanan kesehatan yang tidak baik melekat kuat
dalam alam pikirnya.
Intensitas interaksi antara warga desa Sulaho dengan
pusat pelayanan kesehatan yang rendah membuat masyarakat
memiliki pandangan negatif terhadap pelayanan kesehatan yang
diberikan. Kurang memadainya pemahaman, didukung pula oleh
tingkat pendidikan dan kemampuan ekonomi masyarakat pada
umumnya.
Satu-satunya pusat pelayanan kesehatan yang terdapat di
desa Sulaho adalah Bakesra. Tidak terdapat petugas kesehatan
yang tinggal menetap di Bakesra ini. Seringkali terjadi pergantian
petugas kesehatan, diantaranya perawat dan bidan yang
bertanggung jawab di desa ini sejak adanya fasilitas pelayanan
kesehatan tersebut. Kini yang bertanggung jawab di desa ini
adalah bidan desa honorer Puskesmas Lasusua. Bidan desa ini
tidak tinggal menetap di desa Sulaho. Ia memiliki jadwal
kunjungan ke Sulaho selama 2-3 hari setiap minggu di Sulaho.
Banyak warga yang mengeluhkan bahwa obat-obatan di
Bakesra seringkali habis dan dinilai tidak memiliki khasiat untuk
menyembuhkan. Berkaitan dengan adanya kasus kesehatan
tertentu yang memerlukan penanganan medis darurat, maka
warga mengeluhkan pula kesulitan medan yang harus dilalui
untuk menuju ke pusat pelayanan kesehatan yang lebih lengkap

228

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

seperti ke Puskesmas atau Rumah Sakit. Jalur yang dapat mereka


tempuh adalah jalur laut atau jalur darat yang kini hanya dapat
dilalui dengan sepeda motor melalui medan yang sulit.
Warga Sulaho umumnya memanfaatkan tanaman yang
tumbuh di sekitar mereka sebagai sumber obat. Jenis-jenis
tanaman yang dapat dengan mudah mereka peroleh di sekitar
lingkunga desa untuk digunakan sebagai obat. Pada umumnya,
dukun mengetahui bermacam jenis tanaman yang dapat
digunakan sebagai obat sakit tertentu. Akses desa yang susah
keluar dan kepercayaan yang tinggi terhadap dukun membuat
mereka menjadikan dukun/sanro sebagai rujukan utama dalam
mengupayakan proses penyembuhan atas rasa sakit atau
penyakit yang dialami.
Masyarakat desa Sulaho lebih memilih berobat kepada
sanro kampong dan atau membeli obat secara mandiri ke
warung-warung di desa, di pasar, toko obat atau apotek jika
mereka merasa sakit. Masyarakat meyakini bahwa terdapat
penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh obat atau dokter
tetapi hanya dapat disembuhkan oleh dukun/sanro kampong.
Mereka yang membeli obat secara mandiri biasanya memiliki
pengalaman tertentu dari tetangga atau saudara berkaitan
dengan padanan obat dengan sakit yang dialami. Selain itu,
terdapat obat-obatan tertentu seperti amoxicillin, asam
mefenamat, amphicillin, antalgin yang dijual bebas di warung
desa. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh bidan Ui (24
tahun) yang bertugas di Desa Sulaho sebagai berikut:
Sudah pintar pula mereka itu. Kadang kalo ada yang
sakit mereka tinggal ke warung bilang sakit pegel-pegel
misalnya nanti mereka pintar kasih saja obat apa sama
penisilin makanya saya juga lucu, ada yang datang
bilang kakak aku mau obat ini, saya bilang dulu sakit
apa kau sebenarnya, lalu dia bilang lagi katanya obat itu

229

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

sudah cocok dengan badanku. Selama ini mereka lebih


percaya ke dukun atau langsung ke warung itu (Ms, 24
tahun).

Obat-obatan tesebut merupakan obat-obatan berlogo


merah yang sebenarnya tidak dapat dijual bebas selain di apotek
serta harus dengan resep dokter. Bermacam manfaat yang diakui
dapat disembuhkan oleh obat-obatan jenis tersebut.

Gambar 3. 10.
Obat-obatan yang Dijual di Warung Desa
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Terdapat warga masyarakat yang menggunakan paduan


amoxicillin dan asam mefenamat untuk melawan rasa sakit gigi,
sakit badan atau sakit kepala. Ampicillin biasanya digunakan
untuk sakit gigi dengan cara dimakan dan juga dilarutkan dengan
air lalu dioleskan pada bagian yang dirasa sakit. Selain itu juga
bisa digunakan untuk mengoles sakit seperti bisul agar bisa cepat
hilang atau meletus. Pemanfaatan obat lainnya yang dilakukan
adalah dengan menyimpan sisa obat dokter/tenaga kesehatan
yang sewaktu-waktu dapat diberikan kepada kerabat atau
230

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tetangga yang membutuhkan ketika disinyalir memiliki gejala


penyakit yang sama tanpa memperhatikan kondisi kemasan obat
masih bagus atau tidak. Cara meminum obat dilakukan dengan
keputusan sendiri yang mereka yakini benar.
Terdapat juga warga masyarakat yang berobat ke Bakesra
ketika merasa sakit. Tidak setiap waktu warga masyarakat dapat
berobat ke Bakesra karena Bidan Desa tidak tinggal di desa
secara kontinyu hanya sekitar 2-3 hari setiap minggu. Tidak
semua orang mau pergi ke Bakesra, hanya orang-orang yang
sama pergi ke Bakesra. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
bidan Ui (24 tahun), sebagai berikut:
Saya juga tidak tahu, apa karena takut juga tidak
paham. Anak-anak juga kadang tidak periksa. Setiap
bulannya banyak yang periksa tapi orangnya sama(Ms,
24 tahun)

Sebagian warga masyarakat tidak pernah memanfaatkan


pelayanan Bakesra. Posyandu biasanya bersinergi dengan semua
program di Puskesmas turun setiap 3 bulan sekali di desa Sulaho
dan dusun Lanipa-nipa. Posyandu biasanya dilaksanakan di desa
Sulaho sekitar 3 jam, mulai jam 09.00 sampai dengan 12.30 WITA
dan dilanjutkan dengan Posyandu di Lanipa-nipa. Tidak banyak
warga masyarakat yang hadir di Bakesra saat acara Posyandu
tersebut berlangsung. Kegiatan Posyandu ini memberikan pula
pemeriksaan dan pengobatan secara umum, tidak hanya
kegiatan pemantauan kesehatan ibu, bayi dan balita saja. Tidak
banyak warga masyarakat yang datang untuk memeriksakan
dirinya.
Penanggung jawab imunisasipun berkeliling dari rumah ke
rumah untuk mencari bayi yang akan diimunisasi. Jika tidak
berkeliling seperti itu, maka banyak ibu pergi ke Bakesra
membawa bayi atau balita untuk diimunisasi. Terkadang petugas
bertemu dengan ibu yang sebenarnya tidak mau anaknya
231

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

diimunisasi karena kekhawatiran anaknya akan mengalami


panas, sehingga petugas kesehatan harus merayu dan
memberikan pengertian terlebih dahulu tentang peran penting
imunisasi bagi kesehatan anaknya. Kemauan untuk berobat di
pusat layanan kesehatan menjadi pilihan terakhir ketika segala
upaya di di lingkungan rumah dan kampung sudah tidak dapat
memberikan hasil.

232

BAB 4
MATA RANTAI TAK KUNJUNG PUTUS:
KAKAMBAH

4.1. Asal Muasal dan Perkembangan Kakambah di Tanah Sulaho


Masyarakat umumnya meyakini bahwa penyakit Kusta
atau dikenal sebagai kakambah masuk ke Desa Sulaho pertama
kali dibawa oleh dua orang bernama Mundu dan Pantuntu,
pendatang yang bekerja sebagai penggergaji kayu (passenso) di
pegunungan Sulaho sekitar tahun 1970 atau 1980-an. Ada PT
Hasil Bumi Indonesia (HBI), sebuah perusahaan kayu dengan
lahan penggergajian kayu di Sulaho saat itu sehingga banyak
pendatang yang mereka sebut dari Selatan (Sulawesi Selatan)
menggergaji kayu di wilayah pegunungan Sulaho. Mereka tinggal
di Sulaho dan membuat rumah pondok yang dibangun di atas
tanah masyarakat.
Pondok dibangun tidak cukup luas dengan bahan kayu ala
kadarnya sekedar sebagai tempat berlindung dari panas dan
hujan. Mereka biasanya tinggal secara tidak menetap di Sulaho.
Dalam ingatan masyarakat, Mundu dan Patuntu merupakan
orang Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mundu datang terlebih
dahulu dan tinggal selama sekitar 10 tahun di sebelah barat desa,
tak jauh dari area pemakaman Desa Sulaho saat ini.
Ada memang pernah orang tua tinggal di sini, orang
Bulukumba, kena begitu, namanya mundu, saya masih
anak-anak namanya mundusama pantutu orang

233

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Bulukumba, begitu bilangnya orang makanya ketularanketularan begitu orang di sini (Ha, 45 tahun)

Umumnya orang-orang tua mengetahui kondisi Mundu


ketika itu yaitu tubuh mengalami bengkak, warna kulit
kemerahan dan terdapat benjolan pada bagian-bagian tubuh
sejak pertama kali datang ke Sulaho. Berdasarkan cerita,
sosoknya jarang terlihat ke luar rumah, jikapun keluar rumah
seluruh bagian badannya ditutupi dengan kain sarung hingga
matanya saja yang terlihat oleh orang lain. Mundu dan Pantuntu
memiliki tanda khas fisik yang mudah dilihat. Salah satu di antara
mereka mengalami pengelupasan kulit, sementara lainnya
tampak muncul lubang pada bagian tubuh seperti telapak
tangan, betis dan kaki.
Di tahun 80-anitulah saya dapati penyakit kulit yang
penggergaji kayu, ada dua orang dari selatan, kayaknya
meninggal di sinidari Bulukumbayang satu itu
kayaknya terkupas kulitnya, yang satu lobang-lobang
betisnya, telapak kaki tangannya (Rh, 54 tahun)

Mundu ditinggalkan pergi oleh istrinya saat itu, maka dua


informan diantaranya mengaku terbiasa mengantarkan makanan
untuk Mundu dengan sepiring nasi dan sayur atau lauk. Salah
satu diantaranya diketahui menjadi penderita kusta pada tahun
2005. Tanpa diketahui orang, pada akhirnya Mundu
meninggalkan Desa Sulaho. Terdapat pula cerita lain yang
mengatakan bahwa Mundu diusir karena masyarakat setempat
takut dengan penyakit yang dideritanya.
Selanjutnya, Pantuntu datang bersama istri dan anakanaknya. Ia merupakan pekerja penggergaji kayu. Ia mengalami
kondisi fisik serupa dengan Mundu dan akhirnya meninggal. Anak
perempuannya kala itu memiliki kondisi fisik yang sama dan tak
lama akhirnya meninggal.

234

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Namanya daeng tutu, waktunya itu e selalu pergi mainmain juga, anaknya namanya p, teman sekolahku, itu
disitu kulihat, itu penyakit kusta juga, bengkak semua
badannya itu meninggal, itu orang tua, itu di cipoloe, itu
tempat rumahnya, meninggalnya itu di dadanya seperti
keluar nanah-nanah apa, dari badannya, anaknya juga
kasihan meninggal (Ec, 41 tahun)

Penduduk asli Desa Sulaho yang pertama kali mengalami


sakit dengan ciri seperti Mundu dan Pantuntu terjadi pada sekitar
tahun 1990. Tanda yang muncul adalah badan bengkak, terdapat
benjolan pada tubuh dan kepalanya diketahui meletus sesaat
sebelum meninggal. Orang-orang Sulaho bercerita bahwa dahulu
penderita tersebut sering berinteraksi dengan Mundu. Tiga orang
kerabatnya yang tinggal dalam satu rumah dengannya, terkena
menderita kusta pada tahun 2008. Satu kerabat lagi terkena
kusta pada awal Juli 2014.
Orang-orang tua bertutur bahwa pada jaman dahulu, daun
pisang digunakan sebagai alas tidur penderita karena badan
berair dan cenderung lengket ketika dipakaikan kain. Selain itu,
menurut pengalaman seorang informan saat masih kecil,
penderita kusta dibuatkan rumah kecil yang dibangun tak jauh
dari rumah oleh keluarga sebagai tempat tinggal sehari-hari.
Keluarga membatasi interaksi fisik dengan anggota keluarganya
yang menderita kusta.
..Waktu saya masih kecil pernah kena penyakit begitu,
waktu kena penyakit begitu, apa itu merah-merah
semua itu badannya, bengkak-bengkak akhirnya
dibikinkan rumah sama mamaknya, tinggal sendiriannya,
masih kuingat waktunya kecil, sudah 8 tahun atau
berapa itudibikinkan rumah sama mamaknya (Ec, 41
tahun)

235

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pada masa lalu, upaya pengasingan juga dilakukan karena


anggapan penyakit kusta sebagai penyakit kutukan atau
keturunan. Kedatangan orang Bulukumba di Desa Sulaho juga
disinyalir sebagai bentuk pengasingan dari tempat tinggal semula
dari wilayah Sulawesi Selatan karena penyakit yang diderita.
Cerita kampung kalo ada orang kena penyakit kulit, eh
apa
katanya
diasingkan
jadi
artinya
itu
berbahayaomongan orang tua kalo itu penyakit
kutukan penyakit keturunan, jadi anggapannya orang
tua dulu ya kalo ada kena penyakit begitu diasingkan, ya
mungkin orang yang pertama di tahun 80-an yang
datang diasingkan dari Sulawesi Selatan (Rh, 54 tahun)
Mungkin na bawa penyakit begitu (kusta) dari
kampungnya, penyakit begitu di sini menular (Ec, 41
tahun)

Penularan kusta dapat terjadi melalui migrasi seorang


penderita ke suatu komunitas atau daerah. Hal tersebut serupa
dengan riwayat masuknya kusta di Kabupaten Bangkalan, Jawa
Timur sejak masa kolonial Belanda. Kusta diidentifikasi masuk
melalui aliran besar tahanan yang dibawa sipir dari daerah yang
dikuasai oleh Portugis ke Batavia juga melalui kedatangan bangsa
Cina (sudah dikenal telah lama terjangkit penyakit kusta sebelum
masuk ke Hindia-Belanda) yang puncaknya terjadi pada tahun
1939 (Suci Rahmawati, 2014). Sanghavi (2012) menyatakan
bahwa tantangan yang dihadapi pada kasus awal kusta salah
satunya adalah migrasi kasus kusta.
Menurut salah satu tokoh masyarakat, dua orang Sulaho
yang berobat tidak rutin pada tahun 1990 dan 2005 dianggap
menjadi salah satu penyebab munculnya kusta di Desa Sulaho
pada tahun-tahun selanjutnya hingga dirasakan kasus semakin
terus bertambah saat ini. Hal ini menyebabkan terjadinya
penularan yang kontinyu dalam masyarakat oleh penderita yang
236

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

menyembunyikan penyakitnya karena malu. Penyakit ini tidak


akan hilang sepenuhnya jika penderita tidak semua melakukan
pengobatan.
Setelah ada pemukiman dari sosial ini yang terserang
dua orang, parah dulu, itu satu yang meninggal namanya
naje, terus kedua nuryamin yang masih hidup sekarang,
itu yang parah, begitu dari tahun ke tahun karena
mereka tidak kontinyu berobat sehingga mewabah itu
penyakit di Sulaho sampai sekarang (Rh, 54 tahun).
Kalau tidak pernah berhenti kan sebenarnya bisa kita
asumsikan kalau ada yang tidak pernah berobat. Atau
berobat tapi tidak tuntas. Itu sudah pasti, karena
penyakit seperti ini kan orang sembunyikan karena pasti
malu. Jadi tidak akan 100% hilang kalau tidak semua
penderita berobat. Seharusnya memang kita serentak
mencari penderita untuk berobat dan memutus rantai
penularan. Yang jadi masalahkan kita mau, tapi orang
yang sembunyi (Id, 38 tahun)

Penyakit kusta terdiri atas dua macam, yaitu jenis Pausi


Basiler (PB) dengan pengobatan selama enam bulan dan Multi
Basiler (MB) dengan pengobatan selama 12 bulan. Dampak
terhadap kusta jenis PB lebih ringan daripada kusta jenis MB.
Dalam perkembangannya kusta jenis PB dapat berkembang
menjadi MB jika tidak dilakukan pengobatan secara dini
dikarenakan proses perkembangan kuman yang relatif cepat.
...Kaya kemarin anak-anak itu ada yang pausibasiler
karena memang diketahuinya sejak dini. Akan tetapi
misalnya kita tidak temukan pasien ini sekarang,
mungkin saja tiga atau lima tahun ke depan dia sudah
jadi MB karena perkembangan kumannya cepat... (Id,
38 tahun)

237

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang


direkomendasikan oleh WHO sebagai berikut (Dirjen P2PL,
Kemenkes, 2012):
Pasien Dewasa PB
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan
petugas)
2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet dapson/DDS 100 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum
selama 6-9 bulan.
Pasien Dewasa MB
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan
petugas)
2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)
1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet lampren 50 mg
1 tablet dapson/DDS 100 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum
selama 12-18 bulan.
Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun)
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan
petugas)
2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet dapson/DDS 50 mg

238

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum


selama 6-9 bulan.
Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan
petugas)
2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
1 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet lampren 50 mg selang sehari
1 tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum
selama 12-18 bulan.
Perhitungan kebutuhan obat untuk penderita kusta
selama satu bulan sebanyak 28 hari, sehingga rentang waktu
pengobatan untuk penderita kusta jenis MB adalah 11 bulan,
namun demikian pengobatan diberikan selama 12 bulan untuk
mengatasi adanya waktu mangkir untuk meminum obat oleh
penderita.
Kita itu sebenarnya untuk kasus MB misalnya,
pengobatannya itu 12 bulan. sebenarnya itu hanya 28
hari sebulan. 28 hari dikali 12 itu kalau tidak salah
hasilnya hanya 11 bln. Nah kita beri waktu 12 bulan itu
untuk mengatasi kemungkinan kalau orang putus-putus
mengobatinya. Ya seperti itu tadi seminggu minum,
seminggu tidak, seminggu minum lagi. Totalnya itu 12
bulan, sudah dimasukkan yang putus-putus itu (Id, 38
tahun)

Pihak Puskesmas telah melakukan pemantauan terhadap


penderita untuk mengambil obat di Puskesmas, akan tetapi
mereka menyadari bahwa tidak mampu memantau kepatuhan

239

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

penderita minum obat yang diambil tersebut. Pengawasan yang


dilakukan dahulu diakui kurang ketat, berbeda dengan sekarang
yang sudah memanfaatkan jaringan telekomunikasi untuk
sekedar mengingatkan. Dahulu obat dititipkan pada kepala desa,
orang yang pergi di pasar di Kecamatan Lasusua dan mengejar
pasien ketika dilakukan kunjungan Posyandu disertai dengan
pengobatan umum.
Begitu ada yang tidak ambil obat, langsung kita kejar.
Cuma kita tidak tahu dia minum obatnya atau tidak. 12
bulan itu kan waktu yang lama untuk mengawasi
mereka (Id, 38 tahun).

Dalam proses pengobatan kusta terdapat reaksi berbeda


antara orang yang satu dengan yang lain. Kasus yang seringkali
terjadi adalah munculnya reaksi tertentu pasca minum obat
membuat penderita memilih berhenti meminum obatnya, hal ini
diantisipasi oleh Puskesmas dengan memberikan pemahaman
kepada pasien untuk melakukan konsultasi jika mengalami
adanya keluhan agar tidak berhenti meminum obat dengan
inisiatif sendiri.
Ada reaksi yang ringan ada yang berat. Setiap pasien
yang mengalami reaksi berat itu pasti menganggap
reaksi itu muncul karena obat. Karena itu dia berhenti
dengan sendirinya minum obat itu tanpa konsul dengan
kami. Makanya sebelum minum obat sudah kita kasih
tau nanti kemungkinan akan seperti ini, akan kelihatan
seoerti ini, atau saat minum obat akan merasa seperti
ini, jadi tolong setiap ada keluhan yang terjadi konsultasi
ke Puskesmas(Id, 38 tahun)

Masa penularan kusta dalam rentang waktu yang lama


membuat Puskesmas memiliki tanggung jawab untuk melakukan
monitoring terhadap keluarga penderita selama 5-10 tahun ke
depan meskipun penderita kusta telah diobati.
240

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Sebenarnya kita punya tugas, kalau tahun ini ada


penderita maka kita punya tugas untuk 10 tahun ke
depan. Karena kita tidak tahu siapa yang ditulari.
Misalkan di dalam rumah ada 7 orang, maka 7 orang ini
yang harus kita awasi selama 5-10 tahun meski
penderita sudah diobati(Id, 38 tahun)

Pengobatan dengan Multi Drug Therapy (MDT) kepada


penderita kusta merupakan salah satu cara pemutusan mata
rantai penularan. Matinya kuman menjadikan penularan dari
penderita kusta bertipe MB ke orang lain dapat terputus (Dirjen
P2PL, Kemenkes, 2014). Ketidakteraturan minum obat pada
umumnya tim peneliti ketahui dari hasil wawancara dengan
orang yang pernah menderita kusta. Ketidakmauan minum obat
juga diutarakan oleh salah satu orang yang dahulu terjaring
pemeriksaan kusta melalui survey sekolah (school survey) dan
terkena menderita kusta jenis MB. Ia mengaku hanya meminum
obat selama sekitar tiga bulan saja. Hal ini dapat menyebabkan
kuman kusta dapat menjadi resisten atau kebal terhadap MDT,
sehingga gejala penyakit menetap, bahkan dapat memburuk dan
gejala baru dapat timbul pada kulit dan syaraf (Dirjen P2PL,
Kemenkes, 2012).
Selama ini belum pernah ditemukan kasus kusta di Desa
Sulaho yang parah dengan bagian tubuh tertentu penderita
terputus. Hal tersebut dikarenakan adanya mati rasa sehingga
menimbulkan terjadinya luka yang tidak dirasakan oleh penderita
dan akhirnya bagian tubuh tertentu dapat terlepas begitu saja
dari persendian.
Kalau selama ini yang kita temui memang hanya bercak,
hipopigmentasi. Ada juga yang hiperpigmentasi karena
kulitnya kan hitam. Kalau yang putus tangan atau kaki itu
belum ada. Justru kita dapatkan di luar, tapi kalau di
sulaho belum ada yang seperti itu (Id, 38 tahun)

241

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pengobatan yang dilakukan merupakan pengobatan


sebagai upaya untuk mencegah kondisi penderita tidak semakin
parah. Namun demikian tim peneliti menemukan seorang
pendatang Etnik Bulukumba yang telah mengalami cacat
dikarenakan jari pada kedua tangannya telah putus. Tempat
tinggal yang tidak menetap di Sulaho membuatnya tidak
terjamah tenaga kesehatan Puskesmas setempat selama
berdomisili di Sulaho.
Menengok perkembangan munculnya kasus kusta di Desa
Sulaho setidaknya sejak tahun 2005 mata rantai
penularan/penyebaran kusta tidak pernah terputus. Pada tahun
2005 diketahui muncul satu kasus Kusta. Berdasarkan data
register kohort program P2 Kusta Puskesmas Lasusua pada tahun
2006 ditemukan 5 kasus baru yang dialami oleh dua anak SD, dua
usia remaja dan seorang ibu rumah tangga. Satu usia remaja
diketahui meninggal waktu itu.
Pada tahun 2007 ditemukan 5 kasus baru yang dialami
oleh empat orang dewasa dan satu lainnya remaja dan semua
berjenis kelamin laki-laki. Pada tahun 2008 ditemukan 8 kasus
baru, diantaranya empat orang termasuk kategori dewasa, dua
diantaranya anak-anak dan dua lainnya menginjak usia remaja.
Pada tahun 2009 ditemukan 3 kasus baru, satu
diantaranya termasuk kategori dewasa, dua diantaranya masuk
usia remaja. Pada tahun 2010 ditemukan dua kasus baru kategori
dewasa. Pada tahun 2012 ditemukan satu kasus baru yang
dialami oleh seorang kategori dewasa dan ditemukan dua kasus
baru yang termasuk kategori dewasa pada tahun 2013.
Pada tahun 2014, terdapat 2 kasus MB baru dan 1 kasus
PB baru. Sebagian besar kasus terjadi pada perempuan sebanyak
20 kasus (64.52%) dari total 31 kasus. Sebagian besar penderita
berusia 10-20 tahun sebesar 41.94%, 21-40 tahun sebesar
32.25%, > 40 tahun sebesar 16.13% dan < 10 tahun sebesar

242

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

9.67%. Sebagian besar kasus yang terjadi merupakan kusta jenis


basah (MB) sebanyak 25 kasus (80.65%) dan kusta jenis kering
(PB) sebanyak 6 kasus (19.35%). Semua penderita merupakan
usia produktif, sebagian besar berada pada rentang usia 10-20
tahun.
Setidaknya terdapat 6 rumah tangga yang berisi 2 atau 3
penderita atau mantan penderita kusta. Selain itu, masyarakat
setempat menduga terdapat anggota keluarga yang menderita
kusta pada 3 rumah tangga dan tidak melakukan pengobatan.
Dugaan tersebut berdasarkan pada pengetahuan masyarakat
selama ini terkait tanda-tanda penyakit kusta yang pernah
dialami oleh sebagian orang di Desa Sulaho.
Tim peneliti membuat pemetaan keberadaan penderita
kusta di Desa Sulaho. Sebanyak 30 orang penderita Kusta, yaitu
yang terkena pada tahun 2005-2014 serta 1 penderita kusta yang
tidak tercacat sebagai penderita kusta pada Puskesmas Lasusua,
tersebar pada 17 rumah tangga dan terdapat 3 mantan
penderita yang tidak dapat teridentifikasi tinggal pada rumah
tangga yang mana.

Gambar 4. 1.
Pemetaan Kusta pada Rumah Tangga di Desa Sulaho
Sumber: Data Primer Penelitian Tahun 2014

243

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

4.2. Istilah Lokal Kusta


Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta yaitu kustha
yang berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum dan
pertama kali ditemukan oleh Armauer Hansen pada tahun 1871
yang dinamai dengan istilah Bacillus Lepra kemudian dipelajari
oleh A. Neisser pada tahun 1879 (dalam Encyclopaedie van
nederlandsch indie (Suci Rahmawati, 2014). Penamaan sebuah
penyakit oleh masyarakat berbeda dengan dunia kesehatan.
Masyarakat Sulaho menyebut penyakit kusta sebagai
kakambah, kasuwiang tanah, kandala, colak Jampu dan
lasauli. Masyarakat desa ini sangat familiar dengan sebutan
kakambah dan kasuwiang tanah. Disebut sebagai
kakambah (bahasa Bajo) atau kandala (Bugis/Makassar)
dikarenakan terjadi pembengkakan pada bagian tubuh; disebut
kasuwiang tanah (bahasa Bugis) karena terdapat benjolan
seperti jagung dan berwarna hitam (seperti tanah); disebut colak
jampu (bahasa Bugis) karena terdapat tanda berupa bercak putih
seperti panu dan lasauli (bahasa Bugis) yang berarti salah kulit.
Masyarakat menyebut nama penyakit sesuai dengan tanda fisik
yang muncul dan dapat dilihat. Hal ini sesuai dengan temuan Edy
Warsan (2014) bahwa sebagian masyarakat di Majene, Sulawesi
Barat menyebut penyakit kusta sebagai penyakit to kambang
yang berarti mengalami pembengkakan pada tubuh yang
menakutkan.
Istilah kesehatan/medis yang disebut dengan kusta atau
Lepra pada dasarnya dikenal oleh masyarakat dan beberapa
penderita, namun mantan penderita dan keluarga enggan secara
tegas menyebut diri mereka terkena penyakit tersebut. Ada
mantan penderita yang menyebut terus terang sakit kusta,
namun sebagian besar tidak mau menyebutkan secara terbuka
kusta yang pernah atau sedang diderita. Ada mantan penderita
kusta yang menyelesaikan pengobatan pada tahun 2013,
244

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

menyebut dirinya sakit Lepra, namun kemudian meralat


perkataannya dan menyebutnya sebagai Leper atau Lever.
Serupa, keponakannya juga menyebut sakit yang dialami sebagai
lever. Selain itu, ada keluarga penderita yang menyebut sakit
yang diderita oleh anggota keluarganya sebagai penyakit dusta.
Bilang itu kalo penyakit begini cacar, kan bahasa
bugisnya kasuwiang, iye kasuwiang tanah karena hitam,
padahal bilangnya dokter bukan, lepra,apa namanya
leper penyakit kulit, lever (Ha, 45 tahun)
...Kata dokter penyakit dusta penyakit apa (My, 27
tahun)
...Orang bilang sakit kusta, dokter ji bilang begitu (Im,
18 tahun)

Ada informan, baik penderita ataupun keluarga yang


menyebut penyakit yang pernah dialami sebagai kakambah atau
kasuwiang tanah, akan tetapi mereka tidak mau menyamakan
atau menyebut diri mereka menderita penyakit kusta. Mereka
menyamarkan penyakit kusta yang diderita dengan menyebutkan
kepada masyarakat bahwa tanda/gejala yang dialami awal
mulanya adalah gigitan nyamuk, semut atau karena kecapekan.
Hal tersebut sesuai dengan temuan Soedarjatmi (2009)
bahwa penderita kusta berpersepsi, masyarakat di sekitar tempat
tinggal dan teman-temannya tidak mengetahui penderita sedang
mengalami sakit kusta, penderita beranggapan bahwa tetangga
dan teman-temannya menyangka penderita berpenyakit lain
seperti penyakit diabetes, penyakit syaraf, penyakit alergi karena
salah minum obat. Hal ini menyebabkan penderita membatasi
diri dalam pergaulan, menutupi kekurangannya/kecacatannya
merupakan tindakan untuk mengurangi/mengatasi cap buruk/
stigma.

245

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

4.3. Tanda Kusta, Terpaksa Berobat


Gejala awal penyakit kusta ditandai dengan adanya bercak
putih, seperti panu atau bercak merah pada kulit yang tidak
gatal, dan mati rasa atau kurang berasa bila disentuh. Tinggi
rendahnya kekebalan tubuh manusia yang menentukan
seseorang tersebut terserang kusta. Seseorang yang terkena
kusta PB (kering) bisa meningkat menjadi Kusta MB (basah)
apabila daya tahan tubuhnya semakin melemah dan tidak segera
dilakukan pengobatan.
Salah satu mantan penderita kusta menyatakan bahwa
sakit yang dialami pada tahun 2012 ditandai dengan: terjadi
bengkak pada tubuh, tangan, kaki, wajah dan mati rasa pada jari
telunjuk tangan kiri. Selanjutnya ia menyadari bahwa tidak dapat
melakukan kegiatan mengangkat berat karena jari tangan kiri
mati rasa.
Selama saya masih bengkak, selama saya sudah
bengkak sudah terasa mi, makanya saya teriak saja kalau
mau angkat berat, karena ini tanganku ndak terasa (Ha,
45 tahun).

Gambar 4. 2
Telunjuk Tangan
Kiri Mati Rasa
Sumber:
Dokumentasi
Penelitian Tahun
2014

246

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Tanda serupa ditunjukkan oleh Na (52 tahun),


kakak kandung Ha pada tahun 2006, yang mengalami
bengkak pada semua badan, kaki dan tangan, kulit
berubah warna menjadi kemerahan, tampak seperti
melepuh dan mengalami mati rasa pada bagian kulit
yang mengalami bengkak meskipun ditusuk-tusuk.
Merah, bengkak itu semuanya. Bengkak semua itu kaki
saya, tangan. Saya heran kenapa ini lah muncul terus
bengkak merahnya, saya pergi lah ke Puskesmas periksa.
Ini juga seperti lepuh-lepuh tu. Bengkak-bengkak itu
tidak rasa kalau kita tusuk-tusuk (Na, 52 tahun)

Informan lain, sebut saja Nu (70 tahun) memaparkan


bahwa tanda yang dirasakan adalah panas pada tubuh dan
mengalami bengkak pada bagian tubuhnya. Sakit yang dialami
Nu terjadi karena pengaruh guna-guna yang sengaja dilakukan
oleh salah satu suaminya bersamaan dengan penyakit kakambah
yang sedang diderita. Pernikahan telah terjadi sebanyak empat
kali, suami pertamanya meninggal, suami kedua telah pergi ke
Sulawesi Selatan dan dua suami berikutnya pernah tinggal
bersama dalam satu atap selama satu tahun, meski sekarang
tidak ada satu suamipun yang masih tinggal bersamanya.
Itu sakit mula-mulanya panas bupepekku ku sembunyi
kalo datang panas, hari jumat itu bu, kan satu rumah
sama maduku baku rumah, ada satu tahun baku rumah
itu, itu kak kasih guna-guna, kalo tidak ada pak x sudah
mati, semuanya bu ini bengkak (Nu, 70 tahun)

Selain bengkak, muncul benjolan pada bagian tubuh


seperti tangan, kaki, paha dan punggung. Benjolan muncul pada
bagian tubuh yang dirasakan panas. Benjolan tersebut tidak
berair, tidak bernanah dan tidak berdarah. Pertama kali,
diupayakan pengobatan ke dukun selama sekitar satu bulan

247

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

tetapi tidak segera sembuh, sehingga keluarga membawa Ibu Nu


(70 tahun) periksa ke rumah sakit dan mengaku sembuh setelah
meminum obat sekitar setahun lamanya.
Waktu kering itu warna hitam. Pertama muncul itu
warna merah seperti ada darahnya di dalamnya tapi itu
tidak keluar airnya, tidak ada darahnya, nanahnya.
Waktu muncul itu benjol di seluruh badan, tidak ada di
muka. Hanya tangan kaki, di perut tidak ada. Ada di
paha, di punggung. Jadi kalau datang panasnya di situ ya
dia tumbuh di situ. Kata dukun itu kena bisul tanah. Itu
seperti benjol-benjol bisul yang kecil tapi dia tidak berair,
tidak bernanah, tidak berdarah (Nh, 31 tahun)

Tidak hanya ibu, cucu perempuannya kelas 4 SD yang


pernah tinggal bersamanya, sebut saja Sd (17 tahun) juga pernah
mengalami tanda serupa pada tahun 2007, yaitu kaki dan tangan
mengalami bengkak. Upaya pengobatan yang dilakukan adalah
pergi ke sanro. Menurut sanro yang terbiasa mengobati
kakambah, kondisi yang dialami dikarenakan anak terkena ludah
burung hantu yang tinggal di area pemakaman desa setempat.
Bengkak-bengkak itu kaki tangannya, kenapa ini anak
bengkak kakinya. Saya tusuk-tusuk itu lembek kakinya.
Saya bawa ke dukun katanya ponakan saya ini kena yang
terbang-terbang katanya, kaya burung-burung itu
katanya. Kalau air ludahnya kena kita itu badan kita
bengkak. Kata dukun orang tua itu Bapak Jamak itu
katanya burung hantu yang tinggal di kuburan (Nh, 31
tahun)

Pengobatan dilanjutkan ke sebuah klinik praktek di


Kecamatan Lasusua karena sakit tidak segera sembuh. Pemilihan
tempat berobat inipun tidak terlepas dari kemampuan tempat
mengobat untuk memberikan pelayanan seperti yang dilakukan
oleh sanro. Air jappi-jappi diperoleh seperti halnya ketika

248

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

mengobat ke sanro. Pasca berobat ke klinik praktek tersebut,


akhirnya sembuh setelah mengonsumsi obat, meminum air jappijappi dan mandi dengan menggunakan air jappi-jappi tersebut
dan hingga kini tidak pernah mengalami sakit semacam itu
kembali.
Lebih baik di bawa ke Haji X dulu baru ke rumah sakit.
Kalau ke haji kaswara itu kan di a pasti tahu karena dia
dukun. Bisa berobat dukun juga (Nh, 31 tahun)

Puskesmas atau rumah sakit sebagai pengobatan medis


dan modern menjadi pilihan terakhir. Informan Nu (70 tahun)
juga memilih dukun ketika pertama kali berobat. Keputusan
penderita untuk memilih tempat berobat umumnya dilakukan
berdasarkan pertimbangan keluarga dan masyarakat atas
pengalaman sakit dan berobat yang sudah dilakukan pada masa
lalu. Namun demikian pengobatan yang dilakukan tidak
menunjukkan perkembangan lebih baik sehingga membuat
keluarga memutuskan untuk memeriksakan penderita ke klinik
praktek/ Puskesmas/rumah sakit.
Diobati ke dukun tapi tidak sembuh-sembuh jadi
dibawa ke dokter (Nh, 31 tahun)

Kakak perempuan Sd (17 tahun), yang baru lulus SMP


mengalami kondisi serupa pada tahun 2008. Tanda klinis yang
dirasakan pertama kali adalah rasa panas. Penderita tidak mau
memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan karena malu
menderita penyakit seperti neneknya (Nu, 70 tahun) selain alasan
masih seorang gadis. Penderita malu bertemu dengan orang lain,
selain anggota keluarganya. Tanda yang muncul selanjutnya
adalah benjolan berair warna putih seperti getah, hingga luka
dan akhirnya meletus, badan memerah dan baju yang dipakai
melengket pada badan karena tubuh berair.

249

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Awalnya itu ya panas. Malu sakit kaya neneknya. Biar


dia mati di rumah. Tapi benjolnya itu meletus sampai
luka itu. menempel di baju, kalau bajunya ditarik itu
kulitnya menempel. Saya beli salep di toko obat, saya
sembunyi belinya tidak bilang sakitnya di toko obat itu.
Malu dia kalau ditengok. Luka di mukanya juga banyak.
Benjolnya itu tidak lama kamudian keluar airnya. Airnya
itu putih warnanya kaya getah-getah itu. Dia minum
obat dari dukun tapi tidak ada perubahan. Kata orang
tua itu dia dikasih guna-guna lewat bakso itu. setelah
makan bakso dan dia berasa pusing lalu gak lama keluar
benjol. Bonyok sudah itu badannya. Kulit badannya jadi
warna merah karena benjolnya juga merah. Waktu
demam itu rasanya panas sekali dari dalam, karena itu
keluar benjol kecil seperti digigit nyamuk, lalu jadi
benjol. Airnya itu meleleh pasti disitu muncul benjol lagi
(Nh, 31 tahun)

Meski demikian, sang bibi (Nh, 31 tahun) yang merawat


mengaku keponakannya hanya berobat pada dukun. Menurut
dukun, anak terkena guna-guna melalui makanan berupa bakso.
Obat dibeli di toko obat oleh Nh (31 tahun) dengan cara
sembunyi-sembunyi karena malu. Obat yang dibeli dikatakan
untuk sakit kulit, bukan dengan mengatakan tanda klinis yang
muncul, sehingga diperoleh salep kulit. Tanpa pengobatan yang
sesuai, selama 20 hari masa sakit, gadis penderita kusta ini
meninggal. Berdasarkan register P2 Kusta MB, tercatat anak
tersebut positif kusta dan hanya mengambil obat di Puskesmas
selama tiga bulan saja.
Seorang penderita yang terkena kusta pada tahun 2013
menunjukkan kondisi fisik yang sudah mengalami bengkak pada
semua bagian tubuh. Muka menjadi bagian yang paling tampak
bengkak dan menjadi berwarna kemerahan. Penderita ini
diketahui telah mengalami cacat tingkat satu. Bagian telapak kaki

250

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

mengalami luka karena telah terjadi mati rasa sebelumnya tetapi


tidak disadari oleh penderita. Berikut penuturan petugas
kesehatan yang menangani penderita ketika berobat pertama
kali ke Puskesmas Lasusua.
Bengkak bengkak semua mukanya, itukan bengkak,
merah, bengkak tangannya, kakinya luka, keluar darah
tapi tidak dirasa karena sudah kusta (Cn, 27 tahun).
Terdapat satu penderita pada tahun 2013 yang telah
mengalami cacat tingkat 1 karena telah terdapat luka
pada bagian kakinya dan telah mengalami mati rasa (Id,
38 tahun).

Ada penderita yang berobat pada tahap awal yang


ditandai dengan adanya kelainan kulit berupa bercak putih dan
mati rasa. Hal ini seperti diungkapkan oleh Kepala Puskesmas
Lasusua, sebagai berikut:
Memang ada beberapa kasus yang sudah sampai tahap
mulai tidak merasa ujung-ujung tangan atau kaki.
Memang sudah ada beberapa orang seperti itu tapi
paling sering memang baru tahap awal (Id, 38 tahun).

Umumnya seseorang yang pernah memiliki pengalaman


tinggal dengan penderita kusta dapat memahami tanda-tanda
awal munculnya penyakit tersebut yang ditunjukkan dengan
adanya bercak putih. Seperti halnya Ibu My (27 tahun) yang
memeriksakan anaknya ketika bercak putih pada lengan semakin
luas. Hal ini berdasarkan pengalaman adiknya yang pernah sakit
kusta pada tahun 2006. Kasus yang ditemukan di Desa Sulaho
sebagian besar merupakan penyakit kusta yang telah mengalami
reaksi yang ditunjukkan dengan terjadinya pembengkakan dan
atau mati rasa pada ujung kaki dan tangan, meski belum terdapat
kecacatan.

251

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Seorang dukun yang dipandang masyarakat sebagai orang


yang pintar untuk mengobati kakambah mengatakan bahwa
seorang yang mengalami sakit tersebut kulitnya akan tampak
terkelupas, muncul benjolan seperti jagung, kulit cenderung
berwarna merah, biasanya bernanah dan memiliki perasaan yang
panas pada tubuh penderita.
Eee itu kulii manu to takkupas-kupas seperti
jagungmera-merahtumi tumbuh seperti jagung
besarnya bernanah, perasaam panas sekali (artinya: e itu
kulitnya terkupas-kupas seperti jagung, tumbuh seperti
jagung besarnya bernanah, perasaan panas sekali) (Ja,
49 tahun)

Penderita kusta anak pada bulan Juni 2014 melakukan


pengobatan sukarela yang diantar oleh ibunya (My, 27 tahun).
Sebut saja Mr (10 tahun). Tanda yang dikenali ibu adalah bercak
putih memanjang pada lengan tangan sebelah kanan. Bagian kulit
yang mengalami bercak tidak terasa jika dicubit apalagi sekedar
disentuh. Bercak putih yang sama ditemukan di bagian atas
payudara sebelah kiri, berupa beberapa bercak kecil yang
menggerombol. Ibu mengatakan bahwa tanda bercak putih pada
lengan anaknya telah diketahui sejak sekitar 5 tahun yang lalu,
tetapi dahulu masih kecil. Ia teringat bahwa adik kandungnya
pernah mengalami hal serupa karena mengonsumsi ikan pari.
Ibupun memeriksakan Mr ke Puskesmas.
Sudah lima tahun, kecil biasa ini kan kecil, besar-besar
juga...kan ini waktu kecil ada memang yang begini, tapi
saya tidak perhatikan, tapi berapa hari ini satu bulan
mungkin dia cubit-cubit tapi tidak terasa, itu saya bawa
ke Puskesmas (My, 27 tahun)

Kusta yang terjadi karena infeksi bakteri pada kulit dan


saraf dapat menyebabkan hilangnya rasa raba, kelemahan otot

252

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dan kelumpuhan. Salah satu ciri khas kusta adalah kemungkinan


timbulnya reaksi, yaitu suatu periode di mana terjadi peradangan
yang dapat mengenai saraf. Peradangan merupakan respon
umum oleh kekebalan tubuh terhadap infeksi, gejalanya berupa:
pembengkakan, kemerahan, panas, nyeri dan kehilangan fungsi
(Paul Sanderson, 2002).
Pengobatan kusta menimbulkan reaksi berbeda antara
orang yang satu dengan yang lain, mulai dari reaksi kategori
ringan hingga berat. Tak jarang, penderita yang mengalami reaksi
kategori berat menganggap reaksi yang muncul dikarenakan obat
yang dikonsumsi, sehingga penderita memilih berhenti meminum
obat. Hal ini diantisipasi oleh Puskesmas dengan memberikan
pemahaman kepada penderita bahwa terdapat hal-hal yang
dapat terjadi pada masa pengobatan, oleh karena itu penderita
dapat melakukan konsultasi jika muncul keluhan tertentu
sehingga tidak berhenti meminum obat atas inisiatif sendiri.
Ada reaksi yang ringan ada yang berat. Setiap pasien
yang mengalami reaksi berat itu pasti menganggap
reaksi itu muncul karena obat. Karena itu dia berhenti
dengan sendirinya minum obat itu tanpa konsul dengan
kami. Makanya sebelum minum obat sudah kita kasih
tau nanti kemungkinan akan seperti ini, akan kelihatan
seoerti ini, atau saat minum obat akan merasa seperti
ini, jadi tolong setiap ada keluhan yang terjadi konsultasi
ke Puskesmas (Id, 38 tahun)

Penyakit kusta bila tidak diobati secara dini akan


menimbulkan kecacatan, yang berakibat fungsi fisik penderita
terganggu. Reaksi Kusta merupakan penyebab terbanyak
terjadinya kecacatan pada penderita kusta yang sering terjadi
pada saat mulai timbulnya penyakit kusta, biasanya penderita
datang ke petugas kesehatan dengan gejala-gejala reaksi, tetapi
terkadang reaksi timbul setelah pengobatan MDT selesai Paul

253

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Sanderson, 2002). Faktor risiko yang terbukti berpengaruh


terhadap terjadinya reaksi kusta adalah umur saat didiagnosis
kusta lebih dari 15 tahun, lama sakit lebih dari 1 tahun dan
kelelahan fisik (Prawoto, 2008).

Gambar 4. 3.
Bercak Kulit pada Reaksi Kusta
Sumber: Paul Saunderson, 2002, Bagaimana Mengenali dan Menatalaksana
Reaksi Lepra, London: The International Federation of Anti-Leprosy
Associations (ILEP), hal. 1.

Penderita cenderung menyembunyikan diri karena takut


penyakit atau kondisi fisiknya diketahui masyarakat. Hal ini
membuat penderita dan keluarga merasa malu memeriksakan
penyakit tersebut ke pusat pelayanan kesehatan. Akibatnya,
penyakit yang diderita semakin parah dan semakin membuka
peluang penularan baru kepada keluarga atau masyarakat.
Sebagian besar masyarakat maupun penderita mengenal
gejala/tanda penyakit kusta pada taraf lanjut yaitu berupa
pembengkakan, benjolan, dan tanda-tanda menyeramkan
lainnya sehingga membuat terjadinya perubahan bentuk pada
wajah maupun bagian tubuh tertentu. Kusta masih terus muncul
di Sulaho dikarenakan kurangnya pengetahuan, pengertian,
kepercayaan yang keliru sehingga upaya penyembuhan yang
dilakukan tidak sesuai. Faktor-faktor yang menyebabkan pasien

254

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

terlambat berobat disebabkan oleh dua aspek yaitu (Dirjen P2PL,


Kemenkes, 2012):
1. Aspek pasien, dikarenakan tidak mengerti tanda dini
Kusta, malu datang ke Puskesmas, tidak mengetahui
bahwa obat tersedia gratis di Puskesmas, jarak rumah
pasien ke Puskesmas atau sarana kesehatan lainnya
terlalu jauh.
2. Aspek penyedia layanan kesehatan, dikarenakan
ketidakmampuan
mengenali
tanda
Kusta
dan
mendiagnosis, pelayanan yang tidak mengakomodasi
kebutuhan klien dan sebagainya.
4.4. Penyebab Kakambah
Ditemukan penderita kusta dengan kondisi jari pada kedua
tangan dan kaki telah hilang dan kulit muka tampak mengalami
penebalan/bengkak. Sebut saja Yu (63 tahun) yang bekerja
sebagai tukang kayu dan memperbaiki peralatan elektronik. Ia
telah tinggal sejak tahun 1980 di Desa Sulaho, namun demikian ia
tidak tinggal secara kontinyu di desa tersebut sehingga
kemungkinan tidak terjaring oleh petugas Puskesmas setempat.
Ia sempat pindah dan tinggal lama di desa Lambai, tak jauh dari
Sulaho.
Penderita kusta yang kehilangan beberapa ruas jari tangan
dan/atau kakinya, bukan disebabkan oleh Mycobacterium leprae
secara langsung. Hal ini disebabkan oleh mati rasa pada daerah
tersebut, sehingga mudah timbul luka, misalnya karena
memegang benda panas yang tidak dirasakan oleh penderita
sehingga dapat menimbulkan luka, jika tidak mendapatkan
penanganan maka dapat menyebabkan terjadinya cacat pada
penderita.

255

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Itu sebenarnya itu kan luka yang mereka ciptakan


sendiri. Kaya misalnya kalau kita pegang panci kan
berasa panas, kalau mereka kan pegang itu tidak rasa.
Orang bilang kan kumannya yang menggerogoti
dagingnya, tapi padahal kan enggak. Mereka ciptakan
luka sendiri dan tidak ada penanganan luka jadi
dagingnya jatuh-jatuh dan menciptakan cacat... (Id, 38
tahun)

Gambar 4. 4.
Penderita yang Mengalami Cacat
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Penyebab
munculnya
penyakit
tersebut
diakui
dikarenakan dahulu memiliki kebiasaan merampok bahkan
mengakui pernah membunuh. Penyakit yang muncul dianggap
sebagai kutukan Tuhan atas perbuatan masa lalu. Dalam
pemikirannya jari-jari tangan dan kaki lari masuk ke dalam, tidak
terputus/terlepas. Seorang warga Desa Sulaho, bercerita bahwa
ia pernah hidup bertetangga dengan orang tersebut ketika

256

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dirinya masih kecil. Dalam ingatannya dahulu satu ruas jari


terdekat dengan telapak tangan pada semua tangannya masih,
tapi kini sudah menghilang.
Saya dulu perampok bukan pencuri tahun 1972 sampai
tahun 1980 berhenti total selama merampok tidak
pernah di tangkap kecuali waktu menbunuh pernah saya
di tangkap tahun 1972 di situ saya di hukum selama 25
tahun tapi di situ saya kabur melarikan diri saya pikir
saya sudah tua baru keluar akhirnya saya lari dari
lembaga. Tahun 1980 sudah berada di sulahojadi di
situ sudah saya sadari anugrah dari Allah dan jangan
diperbuat lagitapi ini kutukan dari Allah akibat
perbuatannya karena dulu membunuh 4 orang, jadi
saya bilang pak itu mungkin anugerah dari Allah
diberikan saya, bahwa kamu harus tinggalkan pekerjaan
seperti ini dan kamu semua harus sadari jangan
memperbuat lagi. Karena saya pak begini tangan saya
bukan apa, bukan penyakit kusta, bukan penyakit apa,
mungkin kutukan dari Allah, langsung ini jari-jari pak lari
masuk, hancur tulang-tulangnya dari dalam (Yu, 63
tahun)

Mantan penderita tersebut dahulu sudah diperiksa dan


dinyatakan positif kusta, tetapi mengaku hanya meminum obat
satu kali saja, meskipun telah diberitahu oleh petugas kesehatan
bahwa kulit dapat terkelupas jika tidak meminum obat sesuai
aturan. Kini, ia menyatakan dirinya sudah sembuh meskipun
tidak meminum obat secara teratur. Ia tidak mau dirinya disebut
menderita penyakit kusta.
Sebagian masyarakat Sulaho masih menganggap bahwa
kusta yang mereka sebut sebagai kakambah adalah penyakit
kutukan. Salah satu sebab lain terjadinya kutukan tersebut
adalah persetubuhan sedarah. Seorang laki-laki menyetubuhi
perempuan yang masih sedarah atau dalam hukum agama
257

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dilarang misalnya anak perempuan, keponakan, tante, nenek dan


seterusnya, maka anak yang dilahirkan dari hasil hubungan itu
akan membawa penyakit kakambah, termasuk pelakunya.
Lebih dari itu, orang di sekitar juga bisa terkena kutukan
jika sengaja atau tanpa sengaja dia melangkahi bekas tempat
persetubuhan itu atau melangkahi benda seperti sarung atau
pakaian yang ada air (mani) hasil persetubuhan maka orang itu
akan terkena penyakit kakambah. Hal ini sebagaimana
diceritakan oleh Naj (55 tahun).
...Kakambah itu kena sama orang yang pernah
berhubungan dengan saudaranya, nanti anaknya itu
kena penyakit itu... orang yang pernah lewat
ditempatnya berhubungan juga bisa kena, atau
melangkahi bekas air (maninya)
waktu dia
berhubungan... itu semacam kutukan barangkali karena
dia melanggar ajaran agama begitu..." (Nj, 55 tahun)

Naj adalah mantan penderita yang pernah diregistrasi oleh


Petugas Kesehatan sebagai penderita kusta, namun saat
penelitian dilakukan dan wawancara dengan Naj, dia tidak
mengakui penyakit kusta yang diderita. Oleh keluarga penyakit
yang dialaminya beberapa tahun lalu itu disebut colak jampu.
Namun demikian, Naj ini memiliki riwayat tinggal bersama
dengan penderita yakni kakaknya sendiri yang sudah meninggal
karena penyakit kusta sekitar tahun 1990, dan juga ada anaknya
yang didiagnosis positif kusta oleh petugas kesehatan dan
menjalani pengobatan.
Kepercayaan orang di Sulaho bahwa penyebab kusta
karena kutukan, sesuai dengan hasil temuan Sukhbir Singh, 2012
bahwa 65% responden mempercayai kusta disebabkan oleh
pengaruh yang supranatural seperti hukuman Tuhan, karma,
dosa dan Nayak (2012), bahwa 26% masyarakat mengatakan
kusta/TB disebabkan karena dosa masa lalu mereka. Temuan

258

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Ashok Kumar (2013) juga menunjukkan bahwa kurangnya


kesadaran tentang penyakit kusta di masyarakat yang
menyebabkan sejumlah mitos, stigma, kesalahpahaman
berkaitan dengan keyakinan dalam hasil pengobatan dapat
disembuhkan atau tidak, perbuatan kehidupan sebelumnya dan
dikaitkan dengan Tuhan. Sebagian besar masyarakat
menganggap penyakit kusta adalah penyakit menular, kutukan
dan penderita harus diasingkan menyebabkan penderita takut
keluar rumah, bahkan untuk berobat harus sembunyi-sembunyi,
selain itu persepsi yang kurang baik terhadap penderita kusta
memunculkan stigma negatif terhadap penderita kusta sekaligus
mengurangi proses penyembuhan bagi penderita kusta (Suwoyo,
2010). Hal ini serupa dengan yang terjadi di Sulaho, bahwa
mereka menyembunyikan penyakit kusta yang diderita dari
masyarakat dan berobat dengan cara sembunyi-sembunyi karena
malu dengan kondisi fisik yang dialami.
Selain itu terdapat anggapan bahwa penyakit kusta yang
terjadi dikarenakan memakan/mengonsumsi ikan pari yang
memiliki kulit hitam dengan bintik putih. Ikan pari jenis tersebut
pantang dikonsumsi karena jika seseorang memakannya akan
muncul bercak-bercak pada tubuh yang identik dengan tubuh
ikan pari tersebut.
Apa itu alergi makan ikan...kan biasa apa ikan apa
dimakan ikan pari, itu mi ndak lama banyak tumbuhtumbuh dianunya to sakit... Kalo risna itu, e begitu
semua kena e, wardah, risna, begitu semua, kan ikan itu
biasa dimakan ikan pari... kayak anu juga itu
belakangnya pari, bintik-bintik to... semuanya, di
tangannya di belakangnya, di kakinya juga (My, 27
tahun)

Ada anggapan bahwa bibit penyakit kakambah telah ada


dalam tubuh manusia sejak pertama kali terlahir di dunia. Hal ini

259

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

menyebabkan kakambah dapat muncul kapan saja sesuai dengan


kemauannya kapan untuk keluar.
Cacar itu kita punya, dari dalam itu, kita punya sodara
juga di dalam, ada memang di dalam badan... mungkin
barang halus itu ada di dalam anunya itu cacar (Nj, 56
tahun)

Suami isteri yang melakukan hubungan seksual ketika


isteri sedang dalam masa haid dapat mengakibatkan lahirnya
anak yang menderita kusta. Informasi semacam ini diperoleh dari
orang tua, sehingga informanpun mengaku menyampaikan
informasi yang sama kepada anaknya. Hal ini sesuai dengan
temuan Tantut Sutanto (2010) bahwa ada larangan untuk
berhubungan jika isteri sedang dalam keadaan haid (kotor)
karena akan mengakibatkan keadaan kusta pada anak yang
dilahirkan.
Itu umpama kita haid, kalo kita hadi kita kira bersih mi
punya badan tapi itu darah kotor masih ada, kalo saya
misalnya biasa haid tah 3 hari baru selesai, kalo sudah
saya mandi cuci rambut, mau sholat eh kembali lagi
darahnya ini , baru kita ini bu anu suami tak itu jadi kotor
begitu, darah kotor namanya, penyebabnya begitu,
akhirnya itu lahir anak-anak, besar-besar besar di situ mi
tempatnya, dari begitu bu tidak ada selainnya selain
begitu, kukasih tahukan dulu saya orang tua dulu, bilang
itu anak kalo kita haid ndak boleh karena anu suami tak
apa tu, na sentuh suami tak kalo ndak bersih, kita punya
darah, tak seminggu dua minggu baru na kita boleh
sentuh kita punya suami, itu bilang saya punya orang tua
dulu, itu saya punya mamak, dikasihtahukan sama
mamaknya, jadi kita mi juga kasih tahukan anakanaknya, begitu (Ec, 41 tahun)

260

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Guna-guna juga disebutkan dapat menyebabkan penyakit


kusta. Hal ini dialami oleh beberapa penderita. Salah satu
informan mengatakan bahwa sakit dengan gejala kusta yang
dialami keponakannya, meski tidak mau disebut kusta karena
pengaruh guna-guna dari orang lain melalui makanan bakso.
Dia minum obat dari dukun tapi tidak perubahan. Kata
orang tua itu dia dikasih guna-guna lewat bakso itu.
setelah makan bakso dan dia berasa pusing lalu gak lama
keluar benjol. Bonyok sudah itu badannya. Kulit
badannya jadi warna merah karena benjolnya juga
merah (Nh, 31 tahun)

Kecocokan golongan darah dianggap menjadi salah satu


syarat yang penularan penyakit seperti kusta dari penderita
kepada orang lain. Jika golongan darah penderita dengan
seseorang tidak sama, maka kusta tidak akan menular. Hal ini
seperti diungkapkan oleh seorang informan sebagai berikut:
...Darah O saya darah O, kena penyakit begitu umpama,
na kita darah O saya darah O, menular mi, ndak menular
juga kalo saya darah O, kita darah B, nggak kena juga,
begitu bu(Ec, 41 tahun)

Penyebab kusta yang diketahui oleh masyarakat Sulaho


tidak sesuai dengan penyebab kusta secara medis/kesehatan,
yaitu kutukan karena perbuatan/dosa masa lalu atau
persetubuhan sedarah, mengkonsumsi ikan pari berkulit hitam
dengan bintik putih, bibit kusta telah ada sejak lahir, melakukan
hubungan seksual ketika isteri sedang dalam masa haid dan
pengaruh guna-guna. Sementara itu, Rusman (1997)
menyimpulkan bahwa salah satu faktor terjadinya penyakit kusta
karena kuman kusta yang muncul saat daya tahan tubuh
berkurang akibat kondisi gizi seseorang yang buruk dan kuman
yang masuk ke dalam tubuh yang sehat dapat mati dengan

261

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

sendirinya bergantung pada daya tahan tubuh seseorang (Siti


Nurkhasanah, 2013).
4.5. Lingkaran Penularan Kusta

Mr, gadis kecil berusia 10 tahun yang masih duduk di


bangku sekolah dasar (SD) kelas 3 ini tak menunjukkan beda
dengan teman-temannya. Ia ceria menjalani hari-harinya,
bermain dengan teman-temannya ketika di sekolah maupun
sepulang sekolah. Seringkali ia memakan cempa, yaitu buah asam
yang masih muda bersama teman-temannya.
Mereka makan cempa dengan mencolekkan pada sambal
yang dibuat dari garam, vetsin dan lombok dalam sebuah
mangkok sembari menikmati semilir air pantai dalam sebuah
gazebo di sebuah rumah warga di cipoloe (ujung) desa. Situasi
yang tergambar, mereka saling berbagi, penuh keakraban
bersama teman. Gambaran pertemanan yang umumnya terjadi
antar anak dan remaja di Sulaho adalah melakukan aktivitas
bersama-sama secara intens sepanjang hari.
Tepatnya tanggal 2 Juni 2014, ia menyeberang ke
Puskesmas Lasusua dengan ibunya yang tengah hamil besar
untuk memeriksakan lengannya. Beberapa hari sebelumnya, ia
tersadar bahwa pada lengan kanannya terdapat sebuah tanda.
bilang mak kenapa iniku tidak sakit tutur ibu menirukan ketika
Mr melapor pada mamaknya. Sebagian kulit di lengan memiliki
warna kulit yang berbeda dengan kulit tubuhnya yang lain.
Bagian kulit itu memiliki bentuk memanjang.

262

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Gambar 4. 5.
Bercak Kusta
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun
2014

Tidak hanya di lengan tersebut, warna kulit yang


disebutnya cenderung berwarna putih itu muncul, termasuk
sekitar payudara sebelah kiri, beberapa bercak yang
menggerombol dan berbentuk kecil juga muncul. Tanda tersebut
telah muncul sejak lima tahun yang lalu, tetapi bercak tersebut
masih berukuran kecil dan semakin lama semakin membesar
hingga kini. Kulit dengan tanda/bercak tersebut tidak terasa jika
dicubit.
Kan ini waktu kecil ada memang yang begini, tapi saya
tidak perhatikan, tapi berapa hari ini satu bulan mungkin
dia cubit-cubit tapi tidak terasa, itu saya bawa ke
Puskesmassudah lima tahun, kecil biasa ini kan kecil,
besar-besar juga (My, 27 tahun)

Ibu mengatakan bahwa kulit Mr waktu kecil putih tetapi


karena kebiasaan mandi air asin maka kulitnya berubah menjadi
hitam. Kegemaran yang biasa dilakukan oleh anak-anak di Desa
Sulaho pada umumnya mulai dari balita, anak usia pra sekolah
maupun anak sekolah. Warna tubuh Mr agak hitam, sehingga
ketika muncul tanda semacam itu di bagian tubuhnya tentu saja
tampak jelas kontras antara bercak dengan kulit tubuhnya.
Dalam ingatan ibu Mr, dokter menyebut sakit seperti yang

263

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dialami Mr adalah penyakit dusta. Berdasarkan register kohort P2


Kusta Puskesmas Lasusua, Mr terkena kusta jenis MB.
Gejala klinis yang muncul pada kusta bervariasi tergantung
pada tingkat dan tipe kusta. Beberapa tanda awal yang muncul
diantaranya adalah bercak kulit yang mengalami mati rasa (tidak
gatal, tidak perih dan tidak terasa ketika disentuh). Tanda
tersebut sebenarnya merupakan tanda awal yang biasanya sering
ditemukan dan menjadi tanda utama (cardinal sign) penyakit
kusta.
Gejala klinis Kusta bermacam-macam. Tergantung dari
tingkat atau tipenya. Beberapa tanda awal yang muncul,
diantaranya, ada bercak warna putih yang muncul di
permukaan kulit. Bercak ini mati rasa; tidak gatal, perih,
atau terasa sakit ketika disentuh (Id, 38 tahun).

Kusta yang terjadi pada Mr adalah salah satu kasus kusta


pada anak. Ibu tidak memperhatikan bercak kecil yang telah
muncul 5 tahun lalu dan baru menyadarinya setelah bertambah
besar. Tanda penyakit yang sama dialami keponakannya pada
tahun 2006, sehingga membuat ibu memeriksakan Mr ke
Puskesmas. Berdasarkan register kohort P2 kusta, keponakannya
itu juga menderita kusta jenis MB. Kenaikan rasio MB dan
terjadinya kasus anak merupakan sinyal kehadiran aktif infeksi
kusta di masyarakat (Sanghavi, 2012).
Kepadatan hunian rumah
Ayah Mr adalah seorang Etnik Bajo yang berasal dari
Kobaena, sementara ibu adalah penduduk asli Sulaho. Tak berapa
lama setelah menikah, keluarga Mr tinggal di Kobaena sekitar
dua tahun, lalu kembali lagi ke Sulaho. Kala itu rumahnya
ternyata telah dibongkar karena disangka tidak kembali lagi ke
Sulaho. Suatu hari, orang tua Mr datang kembali ke desa dan
tinggal bersama nenek dan orang tuanya. Selanjutnya, pada

264

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tahun 2008-2011, mereka tinggal dalam sebuah rumah batu


bersama keluarga sepupu dua kali suami, termasuk
keponakannya. Pemilik rumah merupakan pedagang dan pelaut
yang sukses di Desa Sulaho. Istri pemilik rumah, Ha (45 tahun),
terkena penyakit kusta jenis MB pada tahun 2012.
Keluarga di desa ini umumnya memiliki jumlah anggota
keluarga yang banyak karena setiap keluarga biasanya memiliki
anak banyak. Tim peneliti jarang sekali menjumpai sebuah
keluarga dengan jumlah anak kurang dari tiga, kecuali keluarga
yang baru beberapa tahun menikah, dan terkadang ditambah
dengan kerabat yang ikut menumpang di rumah tersebut.
Terdapat 9 orang yang tinggal di rumah tersebut.
Pekerjaan domestik dilakukan secara bersama dan bergiliran,
seperti kegiatan memasak atau mencuci baju/peralatan rumah
tangga. Kerja sama lain terjalin melalui kegiatan melaut seperti
mencari ikan atau teripang. Ayah Mr menjadi anak buah pemilik
rumah ketika melaut. Kini, Mr tinggal dalam sebuah rumah
pinjaman berukuran 7x5 m bersama orang tua, dua adiknya, Dl (7
tahun), Fs yang terlahir akhir Juni 2014 dan saudara sepupu ibu
seusia Mr. Keponakannya telah bekerja di Lasusua sekitar
sebulan lalu. Ada 6 orang yang tinggal dalam rumah tersebut.
Tidak hanya keluarga Mr yang memiliki rumah berukuran kecil,
sebagian masyarakat desa ini memiliki luas rumah yang tidak
jauh berbeda, bahkan sebagian diantaranya memiliki ukuran
rumah yang lebih kecil. Beberapa keluarga dengan anggota
rumah tangga yang menderita kusta atau mantan penderita
kusta dengan ukuran rumah relatif sama dengan keluarga Mr,
diantaranya adalah keluarga Nu (70 tahun), Na (52 tahun), Tg
(tahun), Th (70 tahun).

265

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Keluarga Nu (70 tahun)


Nu memiliki 10 anak, teapi sebagian besar sudah menikah
dan ada pula yang meninggal. Ia tediagnosis kusta tahun 2005;
dua cucu perempuan yang tinggal bersamanya terkena kusta
pada tahun 2007, dan salah satu diantaranya meninggal. Kini ia
tinggal bersama 2 orang anak dan 3 cucu.
Keluarga Na (52 tahun)
Na memiliki 6 anak, dan kini tinggal dengan 3 anaknya
karena anaknya yang lain sudah berumah tangga. Ia terkena
kusta pada tahun 2006. Salah satu anak perempuannya, Gh (18
tahun) yang kini masih tinggal bersama terkena kusta pada tahun
2013. Sementara adiknya, Ha (45 tahun) yang bertempat tinggal
tepat di sebelah rumah Na, terkena kusta pada tahun 2012.
Keluarga Ha (45 tahun)
Ha adalah kerabat Na, ia tinggal bersama keluarga adiknya
sejak suaminya meninggal pada tahun 2010. Ia dibantu adiknya
untuk menjalankan usaha sebagai pengepul teripang. Ia memiliki
dua orang anak, sementara adiknya memiliki 4 orang anak,
sehingga jumlah penghuni rumah adalah 9 orang.
Keluarga Tg (56 tahun)
Tg memiliki 5 orang anak. Seorang kerabat yang tinggal
bersama keluarganya terkena kusta sekitar tahun 1990,
kemudian secara bersamaan isteri dan kedua anaknya terkena
kusta pada tahun 2008. Keluarga memiliki kebiasaan untuk pergi
ke pulau di sekitar Kolaka dalam jangka waktu lama mencari ikan
sunu, sehingga anak bungsu tinggal menumpang pada
kerabatnya yang tinggal di Sulaho yang rumahnya bersebelahan
dengan rumahnya. Anaknya yang ikut serta di pulau terkena
kusta pada bulan Juli 2014.

266

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Keluarga Th (70 tahun)


Th memiliki 6 anak dari mantan istrinya yang pernah
menderita kusta sekitar tahun 2000 di Kolaka. Dua anaknya
terkena kusta pada tahun 2006. Mantan isteri menumpang di
rumah Th dikarenakan suami sedang bekerja ke luar kota, juga
adik mantan isteri yang menumpang di rumah tersebut bersama
dua anaknya dikarenakan suami masih bekerja di Malaysia. Pada
akhir kegiatan penelitian, keduanya sudah meninggalkan rumah
Th.
Keluarga lain di Sulaho
Keluarga lain diantaranya adalah keluarga Rs (44 tahun)
yang memiliki 11 anak, Ms (30 tahun) yang memiliki 4 anak dan
sedang menunggu kelahiran anak kelima, begitu juga dengan Es
(30 tahun) yang memiliki anak dan sedang menunggu kelahiran
anak ketujuh dan Sd (32 tahun) yang memiliki 5 anak. Jumlah
penghuni yang menempati sebuah rumah tidak saja anggota
keluarga, tetapi biasanya juga kerabat dekat yang ikut
menumpang. Hal ini menunjukkan bahwa satu rumah tangga di
Sulaho memiliki kecenderungan tingkat kepadatan hunian tinggi.
Ikatan keluarga, Kekerabatan dan Pertemanan
Umumnya lelaki menjadi tulang punggung keluarga di
Sulaho dengan melaut. Perempuan dewasa memiliki pekerjaan
menjual ikan, namun pekerjaan tersebut tidak lagi dilakukan
karena tidak lagi banyak ikan diperoleh nelayan setelah bom ikan
dilarang digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara.
Perempuan terkadang membantu suami mencari teripang,
seperti yang dilakukan oleh Ibu My dahulu. Ibu My telah mulai
bekerja membantu suaminya mencari teripang ketika anaknya,
Mr berusia tiga bulan. Mr diasuh oleh adik kandung ibu, Ris (19
tahun). Ia telah tinggal bersama keluarga Ibu My (27 tahun). Ia
mengasuh keponakannya (anak Ibu My) yang masih bayi sehari-

267

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

hari. Ia menyuapi, menggendong, mengajak bermain,


menidurkan dan melakukan semua rutinitas yang biasa dilakukan
oleh seorang ibu terhadap anaknya. Ris (19 tahun) juga merawat
anak kedua ibu My (27 tahun) ketika ibu sudah mulai bekerja
pasca melahirkan.
Ibu bercerita bahwa adiknya Ris (kini 19 tahun) dahulu
pernah mengalami penyakit kusta ketika Ris duduk di kelas 3 SD
dan berobat selama 12 bulan, namun ibu mengingatnya sebagai
penyakit dusta. Mi adik kandung My lainnya juga mengalami
gejala klinis serupa, ada bercak putih pada kakinya. Akan tetapi
Mi tidak mau memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan.
Penyakit tersebut muncul karena mereka mengkonsumsi ikan
pari. Tidak semua jenis ikan pari dapat dimakan. Ikan pari yang
berkulit hitam dengan bercak putih diyakini dapat menyebabkan
munculnya bercak pada kulit, seperti halnya kulit ikan pari jika
seseorang memakannya.
Ris sendiri memiliki teman sekolah yang akrab ketika
duduk di bangku SD yaitu Im (18 tahun). Im bercerita bahwa
dirinya diperiksa oleh tenaga kesehatan di Puskesmas melalui
sekolah. Pasca periksa, Im (18 tahun) positif terjangkit penyakit
Kusta. Ia mengetahui bahwa ia menderita Kusta. Ia meyakini
bahwa penyakit kusta yang dideritanya berasal dari Ris (19) yang
lebih dahulu sudah terkena penyakit tersebut.
Im (18 tahun) sendiri mengaku hanya berobat selama tiga
bulan, karena dalam ingatannya dia hanya meminum obat
sebanyak tiga papan dan tidak semuanya dihabiskan karena
alasan tidak suka minum obat. Semasa SMP, Ris (19 tahun)
memiliki teman akrab bernama Gh (18 tahun) yang terkena kusta
pada tahun 2013. Satu orang lainnya yang tercatat dalam register
penderita kusta Puskesmas Lasusua pada tahun 2013 adalah Hm
(31 tahun), yang kini tengah menjalani proses hukum atas

268

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tuduhan penggunaan bom ikan terhitung sejak April 2014. Hm


adalah paman Im.
Gh adalah keponakan dari Ha (45 tahun) dan anak dari ibu
Na (52 tahun) yang pernah terkena kusta pada tahun 2008.
Munculnya kusta terjadi karena adanya riwayat kontak yang erat
dan lama antara seseorang dengan penderita kusta. Hal ini
membuktikan bahwa telah terjadi proses penularan penyakit dari
satu penderita ke penderita lain pada orang-orang dekat yang
memiliki intensitas relatif tinggi bersinggungan/berhubungan.
Umumnya penderita kusta yang ditemukan di Desa Sulaho
memiliki riwayat kontak ataupun hubungan kekeluargaan dengan
penderita kusta yang lain. Baik yang masih menderita atau yang
sudah sembuh. Faktor ketakutan dan minimnya pengetahuan
tentang penyakit menjadikan keluarga menutup diri untuk
melaporkan atau membawa berobat anggota keluarganya yang
terkena gejala penyakit kusta. Ada keluarga yang meninggalkan
kampung halaman dengan tujuan mencari nafkah, seperti ikan
atau teripang.
Ada dua keluarga, dimana salah satu keluarga memiliki
anggota keluarga yang terkena sebagai penderita kusta dan
menjalani pengobatan dan satu keluarga yang lain memiliki
gejala kakambah namun tidak mau mengakui dan cenderung
menutup diri. Kedua keluarga ini memilih untuk meninggalkan
Desa Sulaho dan tinggal di sebuah pulau terpencil dengan alasan
mencari nafkah dengan memancing ikan sunu di sekitar pulau itu.
Mereka masih sering kembali ke kampung terutama pada saat
bulan puasa, lebaran dan pesta demokrasi, seperti
penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) tingkat desa hingga
tingkat nasional, tinggal beberapa bulan dan setelah itu pergi lagi
dalam kurun waktu yang lama.
Pada umumnya, sebagian masyarakat memiliki kebiasaan
mencari nafkah ke sebuah pulau tertentu sehingga harus

269

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

meninggalkan kampung dalam jangka waktu cukup lama. Hal ini


biasanya menjadi siklus bulanan hingga tahunan yang selalu
dilakoni oleh sebagian keluarga di Desa Sulaho. Anak-anak
biasanya dititipkan kepada sanak saudara terdekat yang masih
tinggal di Sulaho, sebagian lainnya diajak dan untuk sementara
waktu rehat dari kegiatan bersekolah selama tinggal di Pulau.
Teripang dan jenis ikan tertentu dengan harga yang cukup tinggi
menjadi sumber pencarian orang-orang tersebut. Mereka
biasanya tinggal di rumah keluarga atau sekedar membuat
hunian sementara selama mencari hasil laut tersebut. Anak-anak
yang tinggal di Desa, biasanya tinggal di rumah kerabat dekat.
Selain menumpang, mereka biasanya juga membantu kegiatan
rumah tangga yang dilakukan oleh keluarga bersangkutan.
Seperti halnya Ef (14 tahun) yang sudah sejak enam bulan
terakhir tinggal bersama keluarga Mr. Er (16 tahun), seorang
anak perempuan yang tengah duduk di bangku SMP tinggal
bersama keluarga pamannya dikarenakan orang tua pergi ke
Pulau mencari ikan Kerapu. Er (16 tahun) adalah anak dari Lh (47
tahun) yang dicurigai menderita kusta oleh masyarakat maupun
oleh dokter yang berkunjung ke Sulaho dalam rangka kegiatan
Posyandu dan pengobatan umum. Namun demikian, Lh (47
tahun) mengaku bahwa ia telah menjalani pengobatan dan sakit
yang dideritanya bukan penyakit kusta.
Di situ lelaki itu namanya bapaknya h, kulihat mulai
kakinya, kemarin saya mau beli ikan, masuk kak di dalam
kulihat baring kesakitan, tapi na kulihat seperti merah,
kan kulihat nampak kakinya, baring begini tapi kaki
dikasih masuk bantal, kulihat kakinya itu hitam-hitam
merah-merah, berarti mau mulai-mulai, biasa kulihatlihat saya, sama haji kulihat ini merah-merah semua
badannya (Ec, 41 tahun).

270

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Sa, yang masih SD dititipkan pada kerabatnya, karena


orang tua dan kakaknya pergi juga ke pulau. Ibu dan 2 kakaknya
telah terkena kusta pada tahun 2008 serta satu lagi kakaknya
terkena kusta pada Juli 2014. Kebiasaan seperti ini tentu saja
akan sangat menghambat penanganan kusta mengingat pulau
yang mereka diami jauh dari jangkauan pelayanan kesehatan.
Menurut pengakuan dari keluarga yang salah satu anggotanya
sedang menjalani pengobatan kusta dengan mengonsumsi MDT
tipe MB, dia mengonsumsi obat tidak sesuai dengan aturannya.
Obat yang seharusnya diminum 1 biji per hari diminum 3 kali
sehari. Hal ini dia lakukan karena tidak mendapat penjelasan
yang detil dari petugas kesehatan. Selain itu obat yang
seharusnya diberikan setiap bulan untuk konsumsi 28 hari,
justeru dia dapatkan sekaligus satu box untuk kebutuhan 6 bulan,
dan hal ini terulang 2 kali. Atas dasar itu kemudian dia berpikir
untuk mengonsumsi 3 kali sehari. Hal ini sebagaimana yang
diceritakan oleh orangtua dari penderita sebut saja Tg (56 tahun)
yang mengaku mengontrol dan mengawasi minum obat anaknya.
... Iya. Karena banyak kejadian katanya itu penyakit
menyebar. Saya rela juga diperiksa tapi tidak ada tanda
saya. Langsung dia periksa juga anak-anak... dia tidak
bilang memang ini penyakit kena anak saya penyakit
begini. Saya taunya dari orang-orang yang cerita kalau
anak saya kena, bukan dari petugas itu... Itu saya sempat
heran kenapa tidak langsung terangkan (kepada saya)
waktu periksa....jadi sempat dikasih obat waktunya
diperiksa...katanya pengobatan pertama...ada lagi
keduanya lagi itu pak waktu ada lagi Posyandu...
Mungkin katanya itu kan istilahnya pemanasan, jadi
dikasih banyak 1 dos... isinya 6 papan... diminum 3 kali
sehari, 1 kali pagi, dhuhur, sama mau tidur... diminum
tiap hari sampai habis...Sampai habis itu pa. jangan
katanya dihentikan makan ini obat kalau tidak habis.

271

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Kalau habis katanya ke lasusua. Belum habis datang lagi


jadi tinggal kalau tidak salah itu tinggal 1 papan, ada lagi
tambahan ada bawa waktunya Posyandu dikasih lagi jadi
semua ada 12 papan pa... (Tg, 56 tahun)

Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di pulau dan


tidak pernah melakukan kontrol lagi ditambah konsumsi obatnya
tidak sesuai aturan, sehingga sampai sekarang dia belum
sembuh. Adapun keluarga satunya memang cenderung menutup
diri dan menyembunyikan penyakitnya. Salah satu anggotanya,
sebut saja Lh yang dicurigai menderita kusta sama sekali tidak
mau diperiksa padahal tanda-tanda klinis kusta telah tampak
jelas. Bercak-bercak terdapat di sekujur tubuh dan wajahnya
sudah bengkak-bengkak (kakambah). Orang-orang sekitarnya
telah menduga dia juga terkena penyakit kusta namun sampai
penelitian selesai, dia tidak mau periksa dan tidak mau mengakui
gejala dan penyakit itu sebagai penyakit kusta. Dia masih
memiliki hubungan keluarga dengan keluarga satunya, dan
mereka bersama-sama tinggal lama di pulaiu yang sama.
Penularan kusta disinyalir terjadi melalui pernafasan
karena basil kusta ditemukan pada hidung. Syarat penularan
diantaranya adalah adanya kontak erat dan lama antara
seseorang dengan penderita, selain dipengaruhi oleh faktor sosial
ekonomi, daya tahan tubuh dan hygiene. Sebagian besar manusia
kebal terhadap penyakit kusta (95%), dari hasil penelitian
menunjukkan gambaran sebagai berikut: dari 100 orang yang
terpapar: 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri
tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit, hal ini belum
memperhitungkan pengaruh pengobatan (Dirjen P2PL,
Kemenkes, 2012). Adanya kusta yang diderita oleh anggota
rumah tangga/kerabat/teman di Sulaho membuktikan bahwa
telah terjadi kontak erat dan lama antar mereka hingga kuman

272

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

kusta dapat menular yang didukung perilaku hygiene individu


maupun RT yang masih rendah.
Kontak erat. Kusta itu sebenarnya secara teori kita tidak
tahu penularannya bagaimana tapi basilnya itu
ditemukan di hidung. Jadi penularannya dari pernafasan
dan harus kontak erat dan lama. Kemudian daya tahan
tubuh yang lemah. Kembali lagi kan faktor sosial
ekonomi karena semua kan kunci di hygiene (Id, 38
tahun)

4.6. Gambaran Kondisi Fisik Rumah Penderita Kakambah


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor kejadian
kusta dipengaruhi oleh kondisi fisik rumah (Fitria Ulfah,
Norlatifah, 2010). Persyaratan ketentuan persyaratan kesehatan
rumah tinggal menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999
(dalam Soedjajadi, 2005) adalah sebagai berikut:
Bahan bangunan
Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan
yang dapat membahayakan kesehatan dan tidak terbuat dari
bahan yang dapat menjadi media tumbuh dan berkembangnya
mikroorganisme patogen.
Komponen dan penataan ruangan
Lantai kedap air dan mudah dibersihkan; dinding rumah
memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan
mudah dibersihkan; langit-langit rumah mudah dibersihkan dan
tidak rawan kecelakaan; bumbungan rumah 10 m dan ada
penangkal petir; ruang ditata sesuai dengan fungsi dan
peruntukannya; dapur harus memiliki sarana pembuangan asap.
Pencahayaan

273

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pencahayaan alam dan atau buatan langsung maupun


tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan
intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan
mata. Rumah yang memiliki pencahayaan yang kurang dapat
menunjang perkembangbiakan basil M.Leprae keluar dari
penderita kusta melalui kulit dan mukosa hidung. Mukosa hidung
melepaskan paling banyak M.Leprae dimana mampu melepaskan
10 miliar organisme hidup perhari dan mampu hidup lama di luar
tubuh manusia sekitar 7-9 hari di daerah tropis (Dirjen P2PL,
Kemenkes, 2012).
Kualitas udara
Suhu udara nyaman antara 18-30 oC; Kelembaban udara
40-70 %. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media
yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri
patogen (Nurhidayah dalam Syamsir, 2012).
Ventilasi
Luas lubang ventilasi yang permanen minimal 10% luas
lantai.
Vektor penyakit
Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di
dalam rumah.
Penyediaan air
Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas
minimal 60 liter/orang/hari; kualitas air harus memenuhi
persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air minum.
Sarana penyimpanan makanan
Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman.
Pembuangan Limbah
Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari
sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari

274

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

permukaan tanah; limbah padat harus dikelola dengan baik agar


tidak menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan
air tanah.
Kepadatan hunian
Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk
lebih dari 2 orang.
Persyaratan rumah sehat seperti yang disyaratkan tidak
tercermin pada perumahan di Sulaho. Rumah di Sulaho
umumnya berukuran 7x5 m, sebagian masyarakat desa ini
memiliki luas rumah yang tidak jauh berbeda, seperti 6x9 m, ada
beberapa yang lebih luas, bahkan sebagian diantaranya memiliki
ukuran rumah yang lebih kecil, seperti 4x5 m. Seperti rumah
pada umumnya, rumah yang ditempati oleh keluarga Mr
berukuran 7x5 m merupakan rumah papan, selain itu beratap
daun nipa, berlantai semen kasar dan halus. Rumah memiliki dua
jendela pada bagian depan dan samping rumah. Tidak terdapat
sekat dalam rumah ini. Rumah terdiri atas satu ruangan, sehingga
peletakan perabotan rumah tangga dan fungsinya tampak jelas
ketika masuk ke rumah ini. Terdapat sebuah ranjang pada bagian
sudut rumah, sebelahnya sebuah lemari yang berfungsi sebagai
sekat dengan kasur yang ditempatkan pada lantai, dan
sebelahnya diberikan sekat tripleks setinggi sekitar 60 cm sebagai
pembatas dengan dapur. Rumah tidak berplafon sehingga
menambah pergantian udara melalui pertemuan dinding dengan
bagian atap rumah.
Dua buah tempat tidur yang ada digunakan masing-masing
untuk 3 orang. Rumah tidak memiliki kakus. Sampah rumah
tangga dibuang di sekitar lingkungan rumah tanpa penampungan
sampah. Limbah air rumah tangga dibuang di sekitar sumur yang
berada di depan rumah.

275

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

R. Tamu dan Penyimpanan alat melaut

K. Tidur

K. Tidur

Dapur

Gambar 4. 6.
Denah Ruang Rumah Keluarga Mr
Sumber: Data Penelitian Tahun 2014

Rumah biasanya tampak kotor yaitu baju kotor berserakan


begitu saja baik dalam rumah maupun luar rumah (depan pintu),
peralatan makan biasanya tampak menumpuk di lantai dapur,
sisa makan juga tampak tercecer di lantai dapur, lantai rumah
biasanya berdebu atau berpasir karena aktivitas di luar rumah
biasanya dilakukan bertelanjang kaki, bermacam barang
tergeletak begitu saja di lantai dan banyak baju tergantung di
dinding. Lingkungan depan rumah biasanya juga banyak sampah.
Kondisi rumah yang tidak tidak tertata rapi tergambar pada
sebagian besar rumah di Sulaho. Pada umumnya, lingkungan
rumah yang buruk akan berpengaruh pada penyebaran penyakit
menular termasuk kusta/kakambah. Kebersihan perseorangan
yang buruk menunjukkan kondisi lingkungan dan perilaku
individu yang tidak sehat.
Jenis rumah yang menggunakan papan memberikan
sirkulasi udara dapat terjadi dengan baik pada rumah ini, seperti
halnya rumah rumah tangga lain di Sulaho. Hal ini akan membuat
udara dan cahaya alami sinar matahari yang masuk ke dalam
rumah relatif banyak. Setiap rumah umumnya memiliki jendela
pada bagian depan rumah dan setiap kamar tidur. Hal ini
mengindikasikan bahwa rumah tangga memiliki ventilasi yang
cukup. Lisdawanti (2014), menemukan bahwa ventilasi, dinding,

276

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dan kepadatan hunian merupakan faktor risiko terhadap kejadian


penyakit kusta.
Sebagai perbandingan, gambaran kondisi rumah lainnya
yaitu Pak Dr (bukan seorang penderita kusta). Rumahnya
berukuran 4x5 m yang dihuni oleh 4 orang dengan kondisi yang
tidak jauh berbeda dengan rumah keluarga Mr. Rumah tanpa
sekat untuk setiap fungsi ruangan, terdapat satu sisi sekat berupa
spanduk plastik yang memisahkan ruang tamu dengan kamar
tidur. Ruang tamu menyambung ke belakang dengan dapur, dan
kamar tidur tepat di sebelah ruang dapur. Ruang tidur juga
berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat keperluan melaut,
seperti selang untuk menyelam dan solar. Dinding depan
menggunakan papan dan bagian dinding lainnya sebagian
memanfaatkan terpal, atap dengan daun nipa dan lantai adalah
semen. Rumah mulai ditempati selama beberapa bulan lalu,
sebelumnya keluarga ini tinggal berpindah dengan orang tua,
salah satunya adalah ibu Na (52 tahun).
Udara dan cahaya dapat dengan mudah masuk pada sela
dinding papan dan pertemuan antara dinding dengan atap yang
tidak berplafon. Barang-barang dalam rumah tertata tidak rapi,
tergeletak begitu saja, seperti mainan, terdapat sampah di lantai,
sampah plastik atau sisa makan yang terhambur. Satu tempat
tidur berupa kasur tipis dengan alas karpet plastik di lantai
digunakan untuk semua anggota rumah tangga yang berjumlah 4
orang. Rumah tidak memiliki kakus dan buang air besar biasanya
dilakukan di pinggir laut, tepat di belakang rumah.

277

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Rumah Tampak Depan

Ruang Tamu

Dapur

Kamar Tidur
Gambar 4. 7.
Kondisi Rumah Seorang Warga
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Lingkungan sekitar rumah yang tidak bersih sangat mudah


dijumpai di sekitar rumah warga, sekitar pantai atau jalanan
desa. Tidak terdapat penampungan khusus untuk sampah rumah
tangga. Sampah biasanya di buang ke laut, terserak begitu saja di
sekitar lingkungan tempat tinggal atau sumur yang sudah tidak
digunakan. Hewan peliharaan (seperti kambing, ayam) yang
dibiarkan berkeliaran secara bebas juga menyebabkan
lingkungan sekitar tempat tinggal menjadi kotor, termasuk di
teras rumah atau terkadang masuk ke dalam rumah. Umumnya
warga memiliki kebiasaan bertelanjang kaki selama masih dalam
wilayah Desa Sulaho. Selain itu, umumnya warga memiliki
kebiasaan buang air besar tanpa menggunakan kakus, tetapi di
pinggir laut. Beberapa hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku
kebersihan individu dan masyarakat cenderung masih rendah.

278

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

4.7. Kebiasaan Pemenuhan Gizi Keluarga


Kualitas makanan yang dikonsumsi adalah kebutuhan
mutlak dalam menjaga kesehatan tubuh. Asupan makanan yang
bergizi dapat menjadi sumber daya tahan tubuh untuk melawan
bibit penyakit, termasuk kuman kusta. Keluarga di Sulaho tidak
memiliki kebiasaan memasak jenis/menu makanan tertentu
dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi keluarga, termasuk
anak-anak. Ikan, sebagai hasil tangkapan menjadi menu makanan
sehari-hari. Sayur yang biasa dikonsumsi adalah jenis sayur tahan
lama, seperti kol, terong, kacang panjang, jagung, labu dan sayur
sejenisnya.
Sebagian keluarga ada yang tidak mengonsumsi sayur
setiap hari karena ada tidaknya sayur tergantung pada hari pasar,
sayur biasanya disubstitusi dengan mi siram atau ketika tidak ada
bahan makanan yang bisa diolah, maka hanya makan nasi saja.
Anak umumnya dapat membeli aneka snack/jajanan tanpa
larangan orang tua, seperti mi instan yang dikonsumsi mentah.
Keluarga di desa ini, termasuk anak-anak umumnya tidak
memiliki jadwal rutin untuk makan, terutama pada pagi hari.
Orang tua tidak terbiasa mencari anaknya untuk makan meski
anak tidak makan sepanjang hari. Kebiasaan-kebiasaan tersebut
menunjukkan bahwa jenis makanan yang dikonsumsi dan asupan
gizi tidak menjadi perhatian masyarakat dalam pola makan
sehari-hari.
Kebiasaan atas perilaku kebersihan individu yang masih
rendah menyebabkan lingkungan tempat tinggal tidak sehat.
Kedekatan antar orang Sulaho terjadi dalam lingkungan yang
tidak sehat pula. Kondisi demikian yang terjadi secara terus
menerus dapat berpengaruh terhadap muncul serta penularan
penyakit. Hal ini sesuai dengan pendapat L. Blum (dalam Momon
Sudarma, 2009) yang menyatakan bahwa faktor perilaku, sebesar
30% memberikan kontribusi terhadap timbulnya morbiditas atau
279

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

mortalitas dalam masyarakat. Penyakit kusta yang ada di Sulaho


dan penyuluhan tenaga kesehatan untuk menjaga kebersihan diri
dan lingkungan sebagai upaya pencegahan penularan dan
menurunkan angka morbiditas, belum mendapatkan respon yang
baik oleh penderita dan keluarga. Perilaku sehari-hari masyarakat
adalah kebiasaan yang sudah terjadi sejak lama dan tidak mudah
untuk diubah, sehingga kusta baru masih terus terjadi. Perilaku
masyarakat Sulaho yang tidak mempedulikan kebersihan diri dan
lingkungan, sementara warga memiliki ikatan kekeluargaan dan
kekerabatan yang erat menjadi faktor yang berperan dalam
melanggengkan mata rantai kusta di Sulaho.
4.8. Dansihitang: Kedekatan Orang Sulaho
Konsep dansihitang yang berarti keluargaku yaitu tujuh
turunan ke atas dan ke bawah dari ego adalah keluarga,
menjadikan hubungan orang dan rumah tangga di Sulaho terjalin
erat. Tim peneliti seringkali mendengarkan pernyataan orangorang di desa ini bahwa semua orang di Desa Sulaho adalah
keluarga/saudara. Pernikahan yang terjadi pada masa lalu
bersifat endogami, antar sepupu sekali atau dua kali yang samasama berasal dari desa Sulaho. Fakta tersebut menjadikan
hubungan kekeluargaan/ kekerabatan yang terjalin semakin erat.
Wilayah desa yang tidak luas dan jarak rumah saling berdekatan
membuat sangat mudah untuk dapat saling berkunjung dan
bertemu setiap saat/setiap hari.
Terjadi intensitas hubungan dan kontak sosial yang tinggi
pada warga masyarakat. Anak-anak memiliki kebiasaan berbagi
dan makan bersama di sekolah maupun ketika bermain, begitu
juga dengan orang tua yang memiliki kebiasaan berbagi makanan
dengan orang-orang di sekitarnya. Ada kebiasaan masyarakat
juga bahwa seseorang dapat makan di rumah orang lain dengan

280

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

mudah. Kebiasaan ini merupakan hal yang sangat lumrah,


mengingat mereka masih merupakan satu keluarga.
Sejarah perkawinan endogami yang terjadi pada masa lalu
menjadi akar persaudaraan masyarakat Sulaho, membuktikan
bahwa masyarakat adalah satu rumpun dan memiliki nenek
moyang yang sama. Interaksi dan komunikasi yang terjadi
menyebabkan adanya kebiasaan utuk sekedar minum atau
makan di rumah yang dikunjungi tanpa pertimbangan adanya
penyakit atau semacamnya, termasuk penyakit kusta, meskipun
mereka mengetahui jika kerabatnya menderita penyakit menular
yang disebut kakambah (bengkak-bengkak), kasuwiang tanah
(cacar yang berwarna hitam) atau kusta. Mereka menikmati
keseharian mereka yang terbalut dalam keakraban setiap harinya
dengan cara seperti itu. Sebuah bagian kebiasaan hidup
masyarakat dalam wilayah kecil dari masa ke masa, dari generasi
ke generasi secara turun temurun.
Salah satu kebiasaan berbagi melalui acara berkumpul dan
makan bersama adalah acara mattinja yang berarti
menggugurkan niat. Seseorang biasanya bermattinja dengan
cara memasak makanan tertentu seperti memotong ayam atau
ikan sesuai niat sebelumnya. Semua keluarga/kerabat diundang
untuk makan, selain itu makanan dibagikan kepada saudara
dekat dan dukun/sanro yang telah mendoakan dengan
menggunakan panci pemilik rumah. Berdasarkan observasi tim
peneliti, antar anggota rumah tangga dan kerabat dapat saling
bertukar pakaian yang digunakan sehari-hari dengan mudah.
Pakaian yang dipakai ibu, bisa digunakan oleh anak, adik, adik
ipar, keponakan dan keluarga atau kerabat dekat lainnya.
Meskipun anggota keluarga mengetahui pemilik baju memiliki
penyakit seperti kusta, mereka tidak memiliki rasa takut untuk
sering memakai baju tersebut jika menginginkan/menyukainya
karena menganggap penyakit tersebut tidak menular. Begitu juga

281

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

dengan kebiasaan sehari-hari seperti tidur, makan dan kegiatan


lainnya seringkali dilakukan secara bersama. Hal ini seperti
diungkapkan oleh Im (18 tahun) mantan penderita kusta pada
tahun 2006, sebagai berikut:
...Saya dipindahi, dari Ris dulu saya makan
satu piring, tidur, sudah kaya saudara...sering-sering
main sama, bermalam di rumah...teman dekat, kan
bilangnya bukan orang lain di sini, keluarga...samasama terus (Im, 18 tahun)
Anak-anak yang memiliki jalinan pertemanan baik biasanya
juga senang menginap dan melakukan bermacam kegiatan
sehari-hari secara bersama. Seperti diungkapkan oleh informan
Im (18 tahun), bahwa penularan penyakit kusta dapat terjadi
apabila sering bergaul dengan penderita. Melakukan aktivitas
makan sepiring berdua dengan penderita kusta dianggap dapat
menularkan penyakit kusta. Hal ini sesuai dengan pengakuan Im
bahwa ia terkena kusta yang berasal dari teman dekatnya Ris (19
tahun) karena sering menghabiskan waktu bersama seperti
bermain sepanjang waktu, makan satu piring berdua dan tidur
bersama.
Akses ke luar wilayah yang umumnya menggunakan
transportasi perahu, membuat mobilitas fisik warga Sulaho
terbatas. Tidak setiap hari mereka meninggalkan desa, biasanya
mereka pergi ketika hari pasar untuk menjual ikan/berbelanja
kebutuhan pokok sehari-hari. Hal ini membuat warga memiliki
lebih banyak waktu berada dalam lingkungan desa dan menjalin
hubungan dengan warga desa.
Jalur penularan penyakit menular, seperti kusta sangat
potensial terjadi melalui riwayat kontak erat dan lama.
Gambaran tersebut tampak dalam interaksi antar sesama warga
desa Sulaho sehari-hari tanpa memperhatikan kemungkinan
penularan penyakit dari penderita kepada orang lain.

282

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

4.9. Health Seeking Behaviour Kakambah


Pengobatan yang dilakukan dapat memutus mata rantai
penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah
terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah
ada sebelum pengobatan (P2PL, Kemenkes, 2012). Penderita
kusta tidak mau jika dikatakan menderita kusta, walau
sebenarnya mereka sendiri sudah tahu bahwa mereka menderita
kusta. Sampai saat ini penyakit kusta masih ditakuti oleh
sebagian besar masyarakat. Keadaan ini terjadi karena
pengetahuan yang kurang, pengertian yang salah, dan
kepercayaan yang keliru tentang penyakit kusta dan kecacatan
yang ditimbulkannya sehingga menimbulkan stigma terhadap
penderita kusta.
Menderita penyakit kusta terkesan memalukan. Terdapat
sanro yang terbiasa mengobati penyakit jenis tersebut. Ia
menyebut penyakit itu dikarenakan karena pengaruh guna-guna.
Sanro memang umumnya menjadi pilihan favorit warga desa
ketika mengalami sakit, seperti halnya kakambah sebelum
akhirnya memeriksakan diri ke tenaga kesehatan. Masyarakat
setempat meyakini bahwa penyakit yang muncul dalam tubuhnya
dapat terbagi menjadi dua macam penyakit, yaitu jenis penyakit
yang hanya dapat disembuhkan oleh sanro kampong dan jenis
penyakit yang hanya dapat disembuhkan oleh tenaga
kesehatan/dokter. Adanya kepercayaan penyebab kusta akibat
guna-guna menjadi salah satu alasan mereka memilih pergi ke
sanro, daripada ke tenaga kesehatan. Selain itu kepercayaan
terhadap sanro telah ada sejak masa lampau.
Kasus kusta yang terjadi di Sulaho menunjukkan adanya
pengetahuan dan pandangan yang keliru tentang kusta sehingga
terjadi keterlambatan pengobatan. Sejalan dengan penelitian
Singh (2013) menunjukkan bahwa banyak pasien kusta awalnya
berkonsultasi kepada dukun untuk pengobatan gejala mereka
283

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

yang mengakibatkan penundaan panjang sebelum diagnosis yang


benar ditegakkan.
Tidak semua sanro memiliki kemampuan untuk mengobati
penyakit kakambah. Terdapat satu sanro kampong di desa ini
yang pernah mengobati beberapa kasus penyakit kusta. Ada pula
sanro yang takut jika penyakit kusta yang dialami penderita akan
mengenai dirinya, sehingga tidak mau mengobati. Masyarakat
masih memiliki kepercayaan yang tinggi kepada sanro. Seseorang
yang tidak dikenal sebagai sanro tetapi diketahui memiliki
kemampuan untuk mengobati penyakit atau sakit tertentu bisa
dimintai pertolongan. Masyarakat yang sakit dapat dipastikan
berobat ke sanro terlebih dahulu. Meskipun hanya demam, sakit
perut dan sakit kepala, banyak diantara mereka yang meminta air
jappi-jappi kepada sanro. Kemampuan sanro untuk mengobati
dengan air jappi-jappi sekaligus memanfaatkan dedaunan/
tanaman tradisional membuat masyarakat memilih berobat ke
sanro. Prinsip sanro adalah mengobati semua penyakit dengan
bahan alam disertai doa kepada Tuhan. Ada anggapan bahwa air
yang digunakan untuk jappi-jappi sebaiknya air mentah dan
dingin dari sumur agar doa sanro manjur.
Kepercayaan masyarakat terhadap sanro selama ini sudah
mengakar dan turun temurun. Sanro merupakan penyembuh
yang telah mereka kenal sejak lama sebelum petugas kesehatan
menjamah desa terpencil ini. Tahap awal pencarian pengobatan
sebelum ke dokter/Puskesmas adalah pergi ke pengobatan
kampung seperti sanro. Pada saat penyakit kakambah sudah
parah seperti benjol, bengkak, mati rasa atau luka berair, barulah
penderita dibawa ke pusat pelayanan kesehatan. Kepercayaan
masyarakat tentang penyakit yang sulit disembuhkan dengan
obat biasa secara medis dianggap sebagai penyakit luar biasa
yaitu dianggap berasal dari mahkluk halus atau karena terkena
guna-guna. Oleh karena itu salah satu alternatif pengobatan yang

284

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

ditempuh adalah dengan pengobatan tradisional yang dilakukan


sanro. Pengobatan kampung tetap dipercaya meski pengobatan
medis telah dikenal masyarakat karena upaya pengobatan
tersebut dibangun atas dasar kepercayaan dan keyakinan
terhadap kemampuan sanro. Kesulitan transportasi darat menuju
pusat pelayanan kesehatan terdekat atau Puskesmas dan
petugas kesehatan yang tidak tinggal di Bakesra secara kontinyu
membuat banyak warga memilih berobat ke sanro.
Ritual upaya penyembuhan yang dilakukan oleh sanro
adalah:
Menjilat bagian tubuh penderita yang sakit, seperti berair
atau bernanah, benjol, luka atau merasakan panas; proses
penjilatan dilakukan dari atas ke bawah agar nanah tidak terhisap
oleh sanro karena sanro harus segera meludahkan nanah.
Luka luka ibu badan, lalu saya jilati bu. Klo pergi
meludah, nanah diludah Ee yang semua badan luka
dijilat (Ja, 49 tahun)
Dijilat di tangannya yang bengkak (Rn, 29 tahun)
Karena nda bole, tida ada yang mau meluda nae bu,
pastiki dia kena kalo meludaki nae, pasti turun
kembali(Ja, 49 tahun)

Membuatkan air jappi-jappi yang telah didoakan, karena


tanpa doa air jappi-jappi tersebut tidak dapat diminum oleh
penderita; doa dimintakan kepada Tuhan melalui Nabi
Muhammad karena Tuhan yang memberikan penyakit.
Airji saya bikinkanya didoa-doakannda bisa diminum
klo tidak ada doa-doanyakita minta tolong dari Tuhan
dengan Nabi Muhammad, kita yang membikin ini Tuhan
yang jadikan baru minum (Ja, 49 tahun)
Dibikinkan air dikasih pisau tajam di aire (Rn, 29
tahun)

285

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Menyapukan sisa air jappi-jappi yang telah diminum pada


badan penderita; pada saat penderita merasakan panas, air
jappi-jappi dapat disapukan untuk mengurangi rasa panas.
Baru disuruh sapukangsapukang badang, semua
badang (Ja, 49 tahun)

Membuat bedak untuk dibalurkan/ditempelkan pada tubuh


penderita;
Bedak dapat dibuat dari kemiri dan kunyit yang ditumbuk
dengan batu atau daun pakecce yang diremas terlebih dahulu
yang dicampur dengan kapur. Proses pemberian bedak ini sesuai
dengan kebutuhan dan atas keputusan sanro.
Dibikinkan air lagi dengan apa namanya pabbedda,
kemiri, kunyitapa pi itulekodiapa namanya..ditelu
(Ja, 49 tahun)
dikasih daun-daun itu yang diremas-remas lalu dipakai
kapur untuk ditempel di badannya. Tapi tidak sembuh ,
jadi dibawa ke rumah sakit. Orang tua itu mungkin mati
kalau tidak dibawa rumah sakit (Nu, 31 tahun)

Memandikan penderita dengan menggunakan kain


putih/kaci;
Hal ini dilakukan agar penyakit yang dianggap telah
hilang dari penderita tidak kembali lagi bahkan dapat
mengenai sanro yang telah mengobati.
Pertamanya ibu kerna sakit..dijilat, baru dibikingkan air,
jadi waktunya ketiga hari sa pelajari, kan termasuk
sembu merami kulit to merami isi semua, ee mera tapi
binti-binti hitam badan, itu..jadi sa bikinkang air suru
mandi..ituIya untuk mandi , karna itu penyakit bu
jangang kembali , apa ki kalo tidak begitu bu, biasa yang
kita dukung yang kena, bukang kalo kua itu.. (Ja, 49
tahun)

286

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Dukun J itu diobatinya pakai air, air untuk mandi juga


itu, mandikannya pakai kain putih(Nu, 31 tahun)
Sudah malam jumat simpan air di dalam 1 ember besar,
dia kasih mandi kak, uang 50 1, ayam 1, kain putih 1
meter, itu kak dia mandi tidak kembali lagi, tidak pernah
kembali mi, itu pak j kalo ada orang mau mati, bukan
ajalnya to (Nu, 70 tahun)

Membuatkan air jappi-jappi untuk diminum dan mandi;


Yang kedua baru di doakan lagi abis air didoakan, kan 3
kali sa bikinkan air, terahir yang besar tempat air baru
kasi mandi sendiri, gitu (Ja, 49 tahun)

Penderita mandi sendiri dengan air yang telah dijappi-jappi


oleh sanro;
Beberapa penderita diantaranya merasa tidak terdapat
perubahan sehingga berobat secara sukarela ke Puskesmas. Saat
pertama kali memeriksakan diri ke Puskesmas, sebagian
penderita telah menunjukkan gejala klinis berupa bengkak,
benjolan dan ada bagian tubuh yang mati rasa selain muncul
bercak-bercak khas pada tubuh sebagai petanda awal penyakit
kusta.
Berdasarkan temuan Suci Rachmawati (2012), pengobatan
menggunakan ramuan tradisional untuk mengobati penyakit
kusta dilakukan menggunakan umbi bidara upas, daun ekor
kucing, biji jarak wulung, daun jarak pagar, namun, pengobatan
tradisional yang tak kunjung menunjukkan hasil dikarenakan
reaksinya yang lambat membuat masyarakat memilih
pengobatan medis. Seperti halnya, Tantut Sutanto (2010) yang
menemukan bahwa penderita kusta menggunakan suatu ramuan
yang akan dikompreskan atau diminumkan sebagai jamu,
pemijatan pada daerah yang sakit dan pembelian obat dari
warung dan pengobatan tradisional atas anjuran orang tua atau

287

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

masyarakat mengupayakan kesembuhan berbau mistis dan


budaya seperti dukun/kyai dengan ramuan/minuman. Edy
Warsan (2014) juga menemukan pengobatan penyakit kusta
dengan cara metappung (pengobatan bedak yang dibuat oleh
dukun).
Menurut Kurt Lewin (dalam Momon Sudarma, 2009),
seseorang yang bertindak untuk melawan atau mengatasi
penyakit, melibatkan 4 macam variabel di dalamnya, yaitu:
Kerentanan yang dirasakan (perceived suspectibility)
Suatu tindakan akan ditunjukkan individu bila dirinya atau
keluarganya sudah menunjukkan persepsi yang sama mengenai
status gejala yang dirasakannya dan dia mengkategorikan bahwa
dirinya dan keluarga atau lingkungannya rentan terhadap satu
penyakit.
Dalam hal ini tidak semua anggota masyarakat Desa
Sulaho memahami bahwa diri mereka rentan terhadap penyakit
kusta karena diantara keluarga, kerabat atau tetangga dekat ada
yang menderita penyakit tersebut. Ada anggapan bahwa
penyakit tersebut tidak menular dan berbahaya.

Keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness)


Persepsi mengenai kerentanan ini dipengaruhi pula oleh
persepsi mengenai tingkat keparahan atau kesungguhan suatu
penyakit.
Anggapan bahwa penyakit yang parah adalah kondisi
dimana seseorang tidak dapat bergerak atau melakukan aktivitas
sehari-hari dan tergantung pada orang lain untuk memenuhi
kebutuhan pribadinya, membuat kemauan memeriksakan diri ke
pusat pelayanan kesehatan menjadi terlambat. Beberapa kasus
yang tim peneliti temui, mereka memeriksakan diri setelah
muncul gejala klinis yang cukup parah karena apa yang dialami

288

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

membuat malu untuk berinteraksi dengan orang lain selain


keluarga.
Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (perceived
benefits and barriers)
Usaha mencari dan mengatasi penyakit tersebut diperkuat
dengan adanya persepsi akan manfaat yang didapat dari usaha
tersebut, sehingga individu mau untuk menghadapi rintanganrintangan yang ada.
Pertolongan pertama yang dilakukan untuk mengobati
penyakit kusta biasanya adalah sanro. Kepercayaan masyarakat
terhadap sanro untuk memberikan pengobatan masih tinggi.
Masyarakat umumnya juga memiliki kepercayaan bahwa
pengobatan yang dilakukan dengan menggunakan air jappi-jappi
manjur untuk menyembuhkan sakit. Hal ini menyebabkan
keterlambatan penanganan terhadap kusta yang dialami
seseorang.
Isyarat atau tanda-tanda (clues)
Tindakan individu akan lebih dirasakan tepat adanya bila
dia mendapat dukungan lain dari sisi eksternal, misalnya
informasi dari media massa, keluarga, pesan dan nasihat orang
lain dan sebagainya.
Pengobatan yang diupayakan umumnya melibatkan
keluarga dan kerabat. Pemilihan sanro sebagai rujukan utama
adalah keputusan yang diambil oleh penderita, dengan dukungan
keluarga.
Masyarakat memiliki pandangan sendiri terhadap
penyakit, salah satunya berkaitan dengan adanya pantangan
yang harus dihindari agar penyakit yang dialami tidak bertambah
parah. Masyarakat mengetahui bahwa penyakit kusta dapat
menular di antaranya adalah melalui makanan yang dibuat oleh
penderita kusta, makan dengan menggunakan bekas makan

289

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

penderita meski telah dicuci bersih, menempati tempat duduk


bekas penderita kusta, berdekatan dan berhadapan sehingga
melalui nafasnya diduga dapat menjadi media penularan
penyakit kusta.
Ya itu umpama ada makanannya, kasih kik baru
dimakan, garam, garam nggak boleh dimakan, itu
tempat duduknya juga tidak boleh diduduki, kan hawa
panasnya itu, kan kalo ada orang duduk di kursi baru kita
duduk di situ kan panas, ya begitu mi, jadi hawanya itu
menular sama kita, kalau kita di sebelahnya berdiri,
nafasnya, kita juga nggak boleh berhadapan dekat itu
nafasnya (Ec, 41 tahun)
Karena itu biasa kalo kita makan umpama itu pake apa
namanya itu e tempat makan mamaknya baru kita
ambil biar dicucipasti atau tempat duduknya kita
tempati (Ja, 49 tahun)

Selain itu, meminta garam dari rumah penderita kusta


juga diketahui dapat menularkan penyakit kusta, karena sifat
garam yang mudah meleleh diasumsikan bahwa penyakitnya pun
ikut meleleh dalam garam tersebut. Penyebab lain yang
dipercaya oleh mantan penderita kusta adalah adanya rasa jijik
terhadap makanan yang dimakan oleh penderita kusta, dapat
menyebabkan tertular penyakit tersebut. Seorang mantan
penderita yang merasa tertular penyakit kusta dari kakaknya
mengungkapkan hal tersebut.
karena waktu itu memang saya jijik sama kakak, bukan
jijik dari kulitnya bukan, dari makanannya karena
bilangnya orang, kalo kita makan makanannya kita alergi
kan kita ketularan, saya sering larang anak makan di situ
tapi anak tidak mendengar akhirnya saya juga kena
batunya, makanya itu saya mohon kalo ada orang
memang kena begitu jangan jijik makan makanannya

290

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

apabila kita jijik makan makanannya Alhamdulillah cepat


atau lambat kena, karena saya juga gitu karena saya jijik
makan makanannya ira, saya jijik pokoknya, tapi saya
kena, disitulah saya contoh betul untuk saya (Ha, 45
tahun)

Pantangan bagi penderita berlaku untuk mengonsumsi


makanan tertentu, yaitu cabai, jeruk dan minyak. Jika makanan
jenis tersebut dimakan dapat menyebabkan timbulnya gatalgatal. Selain itu benjolan yang muncul dapat meletus dan terasa
seperti ditusuk-tusuk.
Meletus-letus itu penyakitnya kayak ditusuk, itu nggak
bisa makan Lombok makan jeruk, minyak (Rn, 29 tahun)

Selain itu ikan kering juga tidak boleh dikonsumsi karena


dapat menyebabkan perih dan gatal pada kulit penderita.
Pantangan selain makan adalah penderita tidak boleh melakukan
hubungan seksual dikarenakan dapat memperparah penyakitnya
dan dapat melahirkan anak yang membawa bibit penyakit kusta.
Terdapat pandangan masyarakat bahwa penyakit kusta
dapat menular. Penyakit akan selalu berpindah dari satu
penderita dalam sebuah keluarga kepada anggota keluarga yang
lain jika tidak mengetahui obat untuk penyakit tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa penyakit ini dinilai sebagai penyakit
menular.
Pinda mi seumpama di ana atau dikaka seumpama ada
too banya bersaudara, kalo tida ada tau obanya
begitumi panda terus, kalo ada yang tau nda bisa
pindah (Ja, 49 tahun)

Ada keluarga yang meyakini bahwa penyakit kusta tidak


dapat menular karena selama tinggal bersama salah seorang
anggota keluarga yang menderita kusta, tidak ada satupun
anggota keluarga lain yang tertular menderita penyakit tersebut.

291

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Kebiasaan yang dilakukan untuk makan bersama, bertukar baju


dengan penderita tidak membuat anggota keluarga takut tertular
penyakit kusta.
Tidak menular na kalo seandainya menular na kena
semua satu rumah, seandainyamenular kena mi kik yang
di sini lama tinggal di sini nggak menular juga, baku
makan ka juga, sering-sering ganti baju juga, kalo kering
saya lagi pakai (Rn, 29 tahun)

Kusta dalam lingkup keluarga, kekerabatan dan


pertemanan selalu mengintai kesehatan orang-orang Sulaho.
Sesuai dengan temuan penelitian T. Stephen (2014), bahwa 82%
anggota keluarga yang terkena kusta tinggal bersama mereka.
Sama halnya dengan masyarakat di desa Sulaho, rata-rata
mereka juga mengijinkan penderita kusta untuk tinggal bersama
dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial secara akrab. Penelitian
Stephen (2014) juga menemukan bahwa mayoritas (90%) dari
pasien dalam penelitian tersebut berpartisipasi secara bebas
dalam fungsi sosial, tetapi 91% dari anggota keluarga
mengatakan mereka tidak akan mengambil makanan yang
dimasak oleh penderita kusta. Pada masyarakat Sulaho, mereka
tetap bisa menerima makanan dan masak bersama dengan
penderita kusta.
4.10. Dampak Kakambah: Stigma
Kebanyakan penderita dan atau mantan penderita kusta
mengabaikan gejala awal kusta. Pencarian pengobatan dilakukan
ketika ada tanda yang terlihat menonjol sehingga menimbulkan
malu bagi penderita. Pada kebanyakan kasus, penyakit kusta
tidak menimbulkan kecacatan ketika penyakit tersebut pertama
kali muncul. Kondisi-kondisi yang menyebabkan pada terjadinya
kecacatan pada penderita kusta dapat dicegah apabila dilakukan

292

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tindakan pencegahan lebih awal, sebaliknya keterlambatan


diagnosis pada penderita kusta dapat meningkatkan tingkat
kecacatan. Masyarakat yang menderita kusta cenderung
terlambat memeriksakan diri secara sukarela ke fasilitas
pelayanan kesehatan. Hal inilah yang menyebabkan
keterlambatan dalam penemuan kasus serta pengobatan
penyakit kusta. Edward Eremugo (2010), mengatakan beberapa
penelitian menemukan bahwa stigma mempengaruhi banyak
aspek kehidupan orang-orang yang pernah mengalami kusta
termasuk mobilitas, hubungan interpersonal, pernikahan,
pekerjaan, kegiatan rekreasi, dan kontribusi dalam fungsi sosial
dan keagamaan masyarakat. Menurut Goffman, stigma terbagi
menjadi tiga yaitu: (1) yaitu stigma tubuh (seperti noda atau
cacat), (2) stigma karakter (misalnya sakit mental atau kriminal),
(3) stigma yang terkait dengan kolektivitas sosial (ras atau Etnik),
yang semuanya itu merupakan tekanan sosial, budaya dan
historis (Jonathan Gabe, 2004).

Gambar 4. 8.
Bekas Luka Mantan Penderita Kusta
Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Salah satu mantan penderita kusta memiliki bekas luka


setelah mengalami kakambah. Bekas sakit kakambah yang
dahulu dialami masih dapat terlihat jelas pada kedua kakinya
hingga kini. Mantan penderita tersebut mengakui merasa malu
dengan bekas luka pada kakinya tersebut sehingga seringkali
293

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

menutupi dengan baju panjangnya ketika bertemu dengan tim


peneliti.
Penyakit kusta menyebabkan perubahan fisik berupa
kecacatan sehingga menimbulkan seorang penderita berusaha
menutupi bagian tubuh yang mengalami perubahan semaksimal
mungkin karena malu. Hal ini dilakukan oleh salah seorang
informan dengan menggunakan bermacam atribut pakaian yang
tidak biasa dipakai sehari-hari, seperti baju untuk melaut adiknya
dan cadar agar perubahan fisik akibat penyakit kusta tidak
terlihat oleh orang lain.
Karena saya malu, makanya saya pake kaos tangan,
bekas-bekasnya semua ini mikasihan kena penyakit
buruk rupa, syukurin semuanya yang penting kita tidak
cacatsaya malu perlihatkan muka saya di makasar, kalo
ke makasar bukan baju apa saya pake baju lautnya adik
untuk menyelam, saya pake pergi ke Makasar, baru pake
baju daster juga naik ke Makasar, jadi apa itu bahasanya
adik tidak malu naik ke Makasar pake baju pelaut,
sedangkan kalo saya jalan di Kolaka di Kendari di
Makasar, ini saya pake cadar (Ha, tahun).

Sebagian besar penderita kusta di Sulaho yang telah


berobat diketahui tidak mengambil obatnya sendiri, tetapi
diambilkan oleh keluarga atau kerabat karena alasan malu.
Seorang mantan penderita kusta menceritakan bahwa dahulu
dalam pengobatan dia mengambil sendiri obat di Puskesmas,
tetapi dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui
orang lain.
Saya sendiri. Tidak pernah titip. Kan kita sembunyi
berobatnya nanti kalau orang tahu nanti diejek-ejek e
sama orang-orang. Obatnya dari dokter itu aku
sembunyikan di dalam baju karena takut dilihat orang
kalau dari dokter (Na, 52)

294

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Malu merupakan reaksi yang ditunjukkan oleh anak Ibu


Na, sebut saja Gh (18 tahun) ketika mau diwawancara. Ia
bersedia untuk diwawancara pada awalnya. Tim peneliti telah
memulai wawancara, tetapi tiba-tiba banyak orang berdatangan.
Ia sempat mengatakan bahwa penyakitnya adalah liver. Tim
peneliti bermaksud mengganti wawancara pada hari lain
dikarenakan suasana tidak cukup nyaman bagi informan untuk
menjawab pertanyaan. Tim peneliti terus berusaha menjaga
hubungan baik dengan informan tersebut. Kami telah bersepakat
untuk bertemu, tetapi tiba-tiba Gh menolak untuk diwawancara.
Menurut ibu, Gh malu ditanya tentang penyakit yang dialami.
Ketika berobat pertama kali ke Puskesmas, Gh menggunakan
kacamata untuk menutupi bengkak pada matanya karena malu.
Sakit lagi Gh itu diantar ke lasusua, bengkak itu
matanya Gh, pake kacamata itu dibawa haji ke
Puskesmas, malu dia dilihat orang katanya (Rn, 29
tahun)

Selain itu, ada penderita kusta yang membedaki badan


dengan bedak putih yang dibuat dari kemiri dan beras dengan
tujuan menutupi warna merah di badan agar tidak terlihat oleh
orang lain.
...Selalu ka saya nggak pernah turun-turun di rumah,
tapi kalo pergi lihat itu, selalu merah-merah tapi selalu
kulihat na bedaki, bedak putih, na baru kulihat diobati
kemiri ditumbuk baru simpankan beras (Ec, 41 tahun)

Anggota keluarga mengatakan bahwa anggota keluarga


yang sakit kusta disembunyikan, namun demikian ada anggota
masyarakat yang mengetahui tentang penyakit yang dialami oleh
penderita. Pengobatan yang dilakukan ke dukun atau ke pusat
pelayanan kesehatan disembunyikan dari masyarakat.
Pembicaraan orang-orang terhadap seseorang yang memiliki

295

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

anggota keluarga sakit kusta diantaranya adalah menasehati


untuk tidak makan bersama karena dapat menular. Penderita
malu keluar rumah karena badan benjol-benjol.
Disembunyi pergi ke dukun, ke lasusua, iya, sembunyi
kasihan karena malu mi, malu itu masiri, kasihan itu
penyakitnya, dibilangin badannya benjol benjol,
kakambangan, nggak mau keluar karena diejek-ejek
sama orang, itu di badannya benjol-benjoljangan kau
kumpul makan sama dia, menular nanti, seandainya
memang mau menular, na kena kak (Rn, 29 tahun)

Penyakit kusta memberikan dampak luas bagi


penderitanya, meliputi kegiatan dan aktivitas sehari-hari
penderita termasuk dampak psikologis dan hubungan sosial.
Akibat penyakit kusta ini dapat dirasakan oleh penderita kusta
maupun keluarganya, seperti perasaan malu dan ketakutan
terhadap kemungkinan terjadi kecacatan karena kusta, ketakutan
penderita menghadapi tanggapan masyarakat atau upaya untuk
menyembunyikan diri. Salah satunya yang terjadi di Sulaho
karena diejek oleh orang lain karena kondisi badan yang benjol,
mendengar pembicaraan orang bahwa anggota keluarga tidak
bisa makan bersama karena menular. Akan tetapi anggota
keluarga umumnya menganggap kusta bukan sebagai penyakit
menular.
Malu itu masiri, kasihan itu penyakitnya, dibilangin
badannya benjol benjol, nggak mau keluar karena diejekejek sama orang, itu di badannya benjol-benjoljangan
kau baku kumpul makan sama dia, menular nanti,
seandainya memang mau menular, na kena mi kak (Rn,
29 tahun)

Menurut Herlizch (dalam Jonathan Gabe, 2004), orang


menilai penyakit mereka sebagai penyakit yang bersifat merusak
(illness as a destructive), yaitu ketika penyakit yang diderita
296

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

menjadi penghalang bagi seseorang untuk dapat berperan serta


dalam masyarakat, karena dikucilkan dari kelompok sosialnya
sekaligus menyebabkan terjadinya isolasi sosial pada seseorang
sehingga berdampak pada penderita yang tidak mau
memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan.
4.11. Tahun 2014, Lagi Kakambah Baru
Pada tahun 2014 ditemukan 3 kusta baru, yaitu kusta jenis
MB pada seorang anak berusia 10 tahun dan seorang dewasa dan
kusta jenis PB pada seorang remaja berusia 14 tahun, 1 orang
remaja terduga/suspek kusta berusia 15 tahun dan 1 remaja
lainnya berusia 15 tahun memerlukan observasi selama 3-6 bulan
untuk menegakkan diagnosis. Umumnya anak-anak di desa ini
memiliki bercak pada kulit muka maupun bagian tubuh yang lain.
Menurut kepala Puskesmas, munculnya tanda bercak itu
dipengaruhi oleh kebiasaan mandi air asin dan faktor lingkungan
tempat tinggal yang tidak bersih. Tidak semua bercak merupakan
pertanda awal seseorang menderita kusta. Pemeriksaan yang
dilakukan oleh dokter Puskesmas selama ini dengan memeriksa
apakah bercak pada kulit mengalami mati rasa atau tidak. Selain
itu biasanya bercak sebagai petanda penyakit kusta cenderung
bersifat khas.
Penentuan diagnosis kusta biasanya dilakukan terhadap
bercak khas yang muncul pada bagian tubuh seseorang. Gejala
klinis penyakit kusta, dapat dikenali melalui warna ataupun
bentuk bercak yang muncul. Tim peneliti meyakini bahwa di
antara ratusan warga Sulaho yang belum pernah diperiksa atau
memeriksakan diri secara sukarela ke Puskesmas, ada penderita
kusta. Saat Puskesmas melaksanakan kegiatan Posyandu per
triwulan yang sempat dilaksanakan pada akhir bulan Juni 2014,
tim peneliti dengan petugas berusaha mengkondisikan anak-anak

297

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

yang dicurigai memiliki tanda penyakit kusta agar mau diperiksa.


Mereka berlarian dan memilih main petak umpet dengan
petugas kesehatan karena takut disuntik, sehingga upaya
tersebut sulit dilaksanakan.
Mereka beranggapan bahwa tenaga kesehatan yang
datang akan menyuntik. kalo ada bercak putih dik, periksa,
ucapan ramah seorang tenaga kesehatan pada beberapa orang
yang tengah berkerumun di sebuah gardu sembari menenteng
cool box berisi vaksin imunisasi. Pasca kegiatan Posyandu, tim
peneliti menawari beberapa orang dengan bercak di tubuhnya
agar diperiksa di Puskesmas. Dua di antaranya mengurungkan
niat untuk berangkat pada hari pemeriksaan meskipun
sebelumnya telah menyatakan bersedia, satu orang lagi tengah
bepergian jauh sehingga tidak dapat dihubungi lebih lanjut dan
tiga orang, yang semuanya duduk di bangku SMP bersedia secara
sukarela untuk melakukan pemeriksaan di Puskesmas termasuk
remaja yang menolak diperiksa saat Posyandu dilaksanakan.
Tim peneliti mengikuti anak-anak remaja tersebut
memeriksakan diri di Puskesmas pada 1 Juli 2014. Proses
pemeriksaan akan dimulai. Ketiganya berada dalam satu
ruangan. Pintu terbuka dan mereka tampak berbisik-bisik.
Mereka ternyata malu ketika diperiksa banyak orang yang tidak
dikenal di sekitar mereka. Pintu ruangan periksa ditutup. Satu di
antara mereka disuruh duduk untuk diperiksa oleh dokter.
Mereka saling memandang seolah enggan menjadi pasien
pertama untuk dilihat tanda-tanda yang nampak pada tubuh
mereka. Akhirnya satu diantaranya duduk, ia memiliki sebuah
bercak agak besar pada pipi sebelah kanan dengan warna
cenderung kemerahan. Secuil kapas dipelintir sedemikian rupa
sehingga runcing pada bagian ujung yang nantinya akan
disentuhkan ke kulit dan memberikan sapuan-sapuan dengan
penekanan tertentu pada kulit. Kapas itu dipegang oleh dokter

298

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dan ia memulai menyapu pada bagian bercak yang terlihat, ia


juga menyapu area kulit di sekitar bercak untuk mengetahui
perbedaan kemampuan saraf kulit merasakan adanya
rangsangan sentuhan.
Ini dirasa atau tidak, tanya dokter ketika memulai
menyapu kapas pada bagian bercak. Mana lebih dirasa yang
pertama atau yang kedua, tanya kembali dokter sembari
menyapu pada bagian bercak dan bagian lain tak jauh dari area
bercak. Dokter memeriksa dengan cara tersebut secara berulangulang untuk memastikan konsistensi jawaban. Dalam ingatannya,
bercak itu sudah muncul sejak setahun terakhir. Tanda lain
terdapat pada bagian punggung atas dengan bentuk bercak kecil
dan pola menggerombol. Kedua lokasi tersebut diperiksa dan
dokter menyatakan bahwa anak tersebut positif menderita kusta.
Dua anak lainnya saling berbisik dan saling menatap seolah
tidak mau mengambil giliran selanjutnya. Salah satu akhirnya
mengalah untuk duduk. Ia memiliki bercak pada tiga tempat yang
berbeda, yaitu satu bercak berukuran kecil di lengan sebelah kiri,
satu bercak berukuran kecil pada bagian perut sebelah kiri dan
gerombolan kecil bercak pada bagian pundak sebelah kanan.
Anak lainnya memiliki bercak-bercak kecil tersebar pada bagian
mukanya.
Berkaitan dengan pemeriksaan kasus kusta ini, dokter
memanggil salah seorang pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten
Kolaka Utara, sebut saja sebagai wasor yang selama ini memiliki
ketrampilan dalam pemeriksaan kusta termasuk dalam
pengambilan sampel darah melalui cuping telinga. Wasor
melakukan pemeriksaan dan memastikan bahwa satu remaja
yang pertama diperiksa menderita kusta jenis PB, kedua, suspek
kusta dan ketiga, akan dilakukan observasi lebih lanjut selama 3-6
bulan.

299

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Setelah beberapa hari, ada seorang anggota keluarga


informan pulang (Tg, 56 tahun) dari sebuah pulau setelah
bekerja. Keluarga ini memiliki tiga orang mantan penderita kusta
MB yang terkena pada tahun 2008. Orang tersebut secara
sukarela meminta kepada tim peneliti untuk diantar berobat ke
Puskesmas. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa orang
tersebut menderita kusta MB sesuai dengan riwayat kusta MB
yang diderita anggota keluarga sebelumnya.
Syamsuar (2012) menemukan bahwa sebagian besar
responden (78.4%) berumur 15 tahun atau lebih saat pertama
kali terdiagnosa menderita kusta. Sedangkan sisanya 21.6%
adalah responden yang berumur kurang dari 15 tahun saat
pertama kali terdiagnosa menderita kusta. Faktor umur dalam
penelitian Syamsuar (2012) sangat berkaitan dengan sistem imun
pada anak yang belum berkembang dengan baik, sehingga
kontak sekali saja atau beberapa kali kontak dengan penderita
kusta menular yang banyak mengandung bakteri ini mungkin
sudah cukup untuk tertular penyakit tersebut.
Penemuan kusta baru di Sulaho membuat Kepala
Puskesmas terpikir untuk melakukan Rapid Village Survey (RVS)
karena kasus terjadi pada anak usia remaja. RVS yang dilakukan
juga melibatkan kepala desa untuk membujuk orang-orang agar
mau diperiksa.
Kalo di desa sulaho itu kan sudah biasa, ada dua atau
tiga kasus. Kalau sudah sampai lima atau lebih itu baru
kita lakukan RVS lagi. Kalau kasus yang kemarin itu kan
kita temukan di anak-anak jadi memang sudah harus kita
rencanakan akan lakukan RVS. Kita harus melibatkan
kepala desa dalam hal ini. Kalau kita lakukan RVS sendiri
itu kita buang-buang tenaga dan tidak akan berhasil

RVS bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan


partisipasi masyarakat, meningkatkan pengetahuan dan

300

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

partisipasi petugas Puskesmas dan ditemukannya kasus baru


dalam lingkup kecil atau desa (P2PL, Kemenkes, 2012). Cara
pencegahan yang dilakukan oleh pihak Puskesmas dalam rangka
penanggulangan kusta selama ini diantaranya melakukan
kegiatan penyuluhan. Larangan bergaul dengan penderita kusta
adalah hal yang dianggap tidak etis, sehingga upaya yang
dilakukan adalah mencegah tingkat morbiditas yang dialami
penderita, salah satunya dengan membuat masyarakat
mengenali tanda-tanda awal kusta terhadap diri sendiri maupun
orang-orang di sekitar mereka. Mereka berpesan kepada orangorang sekitar penderita untuk membawa orang yang memiliki
tanda yang sama dengan penderita ke Puskesmas.
Kita cuma penyuluhan saja. Kusta kan beda dengan
penyakit lain. Kusta kan tidak tahu pencegahannya
seperti apa. Kita kan tidak bisa larang orang bergaul
dengan sekitarnya. Yang kita lakukan adalah mencegah
agar morbidiitasnya tidak terlalu cepat. Yang penting
mengenali tanda-tandanya, atau pesan pada orangorang agar kalau ada yang begini tolong bawa
Puskesmas (Id, 38 tahun)

4.11. Kendala Penanganan Kakambah


Kendala yang dihadapi dalam rangka menangani kasus
kusta di Desa Sulaho diantaranya adalah transportasi. Akses desa
yang dilalui oleh Puskesmas biasanya melalui dusun Lanipa-nipa
yang ditempuh melalui jalur darat selama sekitar 45 menit dan
dilanjutkan dengan jalur laut kurang lebih selama 15 menit untuk
melakukan kunjungan. Selain itu, respon masyarakat di desa
Sulaho terhadap tenaga kesehatan berbeda dengan masyarakat
lainnya yang kooperatif. Biasanya tenaga kesehatan yang harus
mengejar pasien ketika melakukan pelayanan pengobatan. Tidak

301

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

banyak masyarakat yang mau berobat secara sukarela ke Bakesra


saat dilakukan Posyandu dan pengobatan umum. Kondisi
demikian telah menjadi sebuah kebiasaan yang lumrah.
Respon mereka kurang. Kadang kita kejar mereka,
malah mereka lari. Ditelfon, dicari juga tidak ada.
Padahal mereka tidak tahu kalau mereka juga sumber
penularan. Kalau yang di luar sulaho itu malah bagus,
mereka datang sendiri. Terus mereka juga bagus
responnya kalau dimintai tolong jika melihat ada orang
yang begini begini. Mereka juga konsultasi reaksi
obatnya (Id, 38 tahun)

Berkaitan dengan adanya kasus kusta, Puskemas Lasusua


telah melakukan kegiatan penyuluhan yang dilakukan baik secara
formal maupun informal. Penyuluhan disampaikan saat
dilakukan kunjungan tri wulan, dalam rangka kegiatan Posyandu
dan pengobatan umum ke Desa Sulaho.
Kita cuma penyuluhan saja. Kusta kan beda dengan
penyakit lain. Kusta kan tidak tahu pencegahannya
seperti apa. Kita kan tidak bisa larang orang bergaul
dengan sekitarnya. Yang kita lakukan adalah mencegah
agar mordifitasnya tidak terlalu cepat. Yang penting
mengenali tanda-tandanya, atau pesan pada orangorang agar kalau ada yang begini tolong bawa
Puskesmas(Id, 38 tahun)

Hal ini tampaknya belum memberikan pengaruh yang


signifikan dalam memutus mata rantai kusta di Sulaho,
mengingat masih terus ditemukan kasus baru. Hal senada juga
disampaikan oleh petugas kesehatan Puskesmas Lasusua yang
telah memiliki pengalaman menghadapi masyarakat desa
setempat yang seringkali tidak mau diperiksa.

302

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Mau bagaimana kalau pasiennya yang tidak mau.


Kabur. Itu pasien yang tidak mau diperiksa? Masuk
dirumahnya, ndak mau. Dia tutup pintu (Cn, 27 tahun)

Salah satu upaya yang dilakukan agar penderita meminum


obat secara tuntas adalah memberitahu penyakit yang diderita.
Penderita tidak diberitahukan penyebab terjadinya penyakit
tersebut, dengan maksud untuk menghindari terjadinya
hubungan yang tidak baik dalam keluarga. Penderita
diberitahukan bahwa obat harus diminum secara teratur untuk
menjamin kesembuhan. Pesan lain yang diberikan kepada
penderita dan keluarga adalah menjaga kebersihan diri dan
lingkungan tempat tinggal.
Ndak dijelaskan ji penyebabnya karena jangan sampai
dia tidak mau lagi berhubungan sama keluarganya gara
gara dia baru tertularmi keluarganya. cuma dikasih tau
ini, ini penyakit penyakit kusta, terus obatnya ini, harus
teratur minum obat, percuma diminum sama ini ibu
kalau ndak teratur pasti kan untuk sembuh ki lama,
kalau ndak teratur minum obat, itu ji saja dijelaskan
(Cn, 27 tahun).

Selain akses dan transportasi yang relatif sulit, masyarakat


yang kurang merespon pengobatan dari tenaga kesehatan,
penyuluhan yang tidak membuahkan hasil optimal, kendala lain
yang dihadapi dalam rangka penanganan kakambah adalah
personnal hygiene, PHBS tingkat RT dan masyarakat yang masih
rendah, penularan kusta terjadi dalam lingkup persaudaraan
yang erat serta pemahaman masyarakat yang keliru mengenai
sebab, akibat dan pencegahan kakambah.

303

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

304

BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan
Sulaho adalah sebuah desa terisolir yang secara geografis
diapit oleh pegunungan dihuni oleh Etnik Bajo (68.64%) dan
sisanya adalah Etnik Bugis, campuran Etnik Bajo-Bugis dan Etnik
lainnya. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Bugis,
Bugis-Indonesia, sedangkan bahasa Bajo hanya digunakan
penduduk usia tua. Kebudayaan Etnik Bajo sudah tidak nampak
menonjol karena telah berbaur dengan budaya Bugis.
Transportasi utama yang digunakan masyarakat setempat adalah
perahu, dengan waktu tempuh sekitar 45 menit dari desa ke
Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara.
Pendidikan masyarakat Etnik Bajo di Sulaho banyak anak
putus sekolah/tidak sekolah, pergaulan muda mudi yang
menyebabkan kasus hamil di luar nikah pada usia sekolah,
terutama SMP sejak tahun 2011. Orang tua kurang mengawasi
pergaulan remaja, telepon seluler dan alat komunikasi yang
sudah dimiliki sebagian masyarakat dan remaja digunakan untuk
mengakese film porno. Tidak ada sanksi bagi pelaku kasus hamil
di luar nikah adalah situasi yang dijumpai saat penelitian di desa
Sulaho. Remaja laki-laki memiliki kebiasaan mengonsumsi
minuman beralkohol yang dibuat dari minuman bersoda
dicampur minuman kemasan kuku bima atau tuak lokal (balok).

305

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Mata pencaharian terbanyak adalah sebagai nelayan. Sejak


larangan menggunakan bom ikan (April 2014) penghasilan
masyarakat dari hasil laut berkurang. Peralatan yang digunakan
untuk mencari teripang adalah respirator (dagor), selang dan
kompresor yang digunakan sebagai alat bantu pernafasan ketika
menyelam.
Air bersih diperoleh terutama dari sumur gali milik
keluarga atau umum. Penggunaan air mentah sebagai air minum
yang berasal dari sumur gali umumnya sangat diminati dengan
anggapan air mentah segar, enak dan dingin. Kebiasaan cuci
tangan dengan sabun jarang dilakukan dan kebiasaan buang air
besar (BAB) tidak di jamban tetapi dengan cara menggali lubang
pasir di pantai dan kemudian menimbunnya telah mencemari
pasir dan udara di sekitar pantai. Perilaku kesehatan yang kurang
baik terlihat dari lingkungan hidup yang kotor, tercemar oleh
sampah. Mereka membuang sampah sembarangan sehingga
lingkungan desa tampak kotor. Genangan air dalam timbunan
botol dan sampah memudahkan perkembangbiakan jentik
nyamuk.
Penggunaan baju secara bergantian, tidur berdesakdesakan dalam satu kasur, rumah yang pengap dan kotor adalah
kebiasaan yang mudah dijumpai. Kepadatan hunian rumah akibat
jumlah anggota keluarga yang banyak, kebiasaan hidup
menumpang, meminjam dan menggunakan barang bersama,
memelihara kebersihan diri yang kurang menjadi cermin
kehidupan yang kurang higienis.
Ekonomi kurang membatasi konsumsi makanan sehat
masyarakat Sulaho. Masyarakat makan sekedarnya dengan lauk
terbatas dan tidak memiliki kebiasaan memakan buah dan
sayuran setiap hari karena perlu biaya tambahan untuk
membelinya lagipula hanya dapat dibeli pada hari pasar.
Kebiasaan merokok sangat luas pada hampir semua laki-laki

306

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dewasa dan sebagian anak-anak di atas 10 tahun juga sudah


merokok. Mereka merokok di sembarang tempat termasuk
dalam rumah dan di dekat bayi dan anak.
Umumnya orang dianggap sakit oleh masyarakat Bajo di
Sulaho dalam kondisi tubuh sudah tidak bisa bergerak, secara
terus menerus berada di atas tempat tidur dan tergantung pada
orang lain/keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pribadi.
Sementara, seseorang yang dianggap sehat bila masih
beraktifitas meskipun mengalami keterbatasan tetapi masih bisa
bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Beberapa
penyakit yang dianggap berbahaya oleh masyarakat setempat
diantaranya adalah penyakit cacar air (kasuwiang) dan kusta
(kakambah).
Masyarakat memiliki kepercayaan terhadap adanya
penyakit yang disebabkan oleh mahkluk halus atau buatan
manusia (guna-guna) sehingga harus diobati dengan metode
pengobatan kampung oleh dukun atau sanro. Sumber penyakit
tersebut diantaranya adalah gandole/kuntilanak (wanita yang
meninggal ketika melahirkan), parakang (manusia jadi-jadian
yang dapat menghilang), poppok (mahkluk halus yang dapat
berubah bentuk menjadi benda-benda di sekitar lingkungan
tempat tinggal), muntianak (mahkluk halus yang dapat berasal
dari angin dan darat).
Dukun atau sanro menjadi rujukan pertama dan utama
dalam setiap pengobatan penyakit dengan memanfaatkan air
minum yang diberi doa (jappi-jappi) dan ramuan tradisional.
Ramuan paling populer dibuat dari bahan Kayu Jawa dengan
memanfaatkan kulit batang pohon untuk mengobati luka luar
maupun dalam. Jenis tumbuhan lain diantaranya adalah daun
cocor bebek (pakkece) untuk mengobati kusta, sakit gigi dan sakit
kepala, daun srikaya (sirsak) untuk mengobati nyeri dan sakit
pada bagian tubuh.

307

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Pemerintah sudah menyediakan Bakesra (Balai


Kesejahteraan Rakyat) di Desa Sulaho, tetapi kurang diminati
masyarakat. Warga yang datang berobat hanya tertentu saja.
Bidan membuka pelayanan hanya 2-3 kali setiap minggu.
Pelayanan yang disediakan adalah KIA dan pengobatan kasus
sederhana sesuai kewenangan bidan, kasus yang tidak dapat
ditangani akan dirujuk ke Puskesmas. Masyarakat menganggap
obat-obatan yang disediakan kurang manjur.
Persalinan umumnya dilakukan sendiri oleh ibu di rumah
dengan alasan malu atau ditolong melahirkan oleh sanro
makkiana/dukun. Ibu hamil dan melahirkan tidak memiliki pola
rutin untuk memeriksakan diri atau bahkan tidak memeriksakan
diri sama sekali ke petugas kesehatan. Dukun biasa menentukan
usia kehamilan pada sekitar usia kehamilan 3 bulan. Ibu hamil 6
bulan ke atas, biasanya datang ke dukun untuk diurut dengan
tujuan untuk memudahkan pada proses melahirkan. Ditemukan
satu kematian ibu pada tahun 2009, dua kematian bayi pada usia
kehamilan sekitar 6 bulan pada tahun 2011 dan 2013.
Kepercayaan tinggi terhadap sanro makkiana, pola pemeriksaan
yang tidak rutin ke bidan, malu melahirkan ke tenaga
kesehatan/bidan atau konsumsi makanan/obat tertentu yang
dapat mempengaruhi kondisi janin adalah potret masalah
kesehatan ibu dan anak di Sulaho. Perawatan bayi berupa
penimbangan bayi dan balita biasanya dilakukan dalam jangka
waktu triwulan oleh petugas Puskesmas yang membuka
pelayanan Posyandu di desa.
Berkaitan dengan penyakit tidak menular ditemukan kasus
seperti Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI), stroke, hipertensi
dan penyakit akibat kecelakaan kerja. Penyait menular yang
dapat ditemui adalah diare, ISPA, kusta dan TBC. Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) yang kurang baik pada masyarakat

308

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Sulaho menyebabkan mudahnya bibit penyakit menular


berkembang, termasuk termasuk kusta (kakambah).
Kusta menjadi masalah karena kecacatan yang ditimbulkan
menyebabkan timbul stigma di masyarakat. Kusta dimulai dari
kehadiran penduduk dari Bulukumba, Sulawesi Selatan pada
tahun 1970-an, dan menularkan pada penduduk lokal setelah
kasus ditemukan pada tahun 1990-an. Masyarakat menyebut
penyakit kusta dengan sebutan kakambah atau kandala yang
berarti pembengkakan pada bagian tubuh; kasuwiang tanah
yang berarti benjolan seperti jagung dan berwarna hitam (seperti
tanah); colak jampu karena terdapat tanda berupa bercak putih
seperti panu dan lasauli yang berarti sakit kulit.
Sejarah perkawinan endogami yang terjadi di Sulaho
menjadikan keakraban antar warga sangat erat. Mobilitas warga
ke luar desa sangat jarang karena wilayah desa terisolir. Interaksi
dan riwayat kontak antar warga cukup tinggi. Kebiasaan untuk
saling berkunjung, tinggal menumpang pada sebuah rumah
tangga dalam waktu relatif lama dan pertalian pertemanan
terbina sangat erat. Orang Sulaho adalah Saudara adalah bukti
kedekatan mereka satu sama lain. Di mata masyarakat penyakit
kusta adalah memalukan dan menakutkan, tetapi dalam
lingkungan keluarga mereka tetap bergaul dengan baik meskipun
ada anggota keluarga yang menderita kusta. Penderita kusta
pada umumnya terjadi pada lingkungan keluarga/kerabat.
Kakambah, menurut kepercayaan setempat, adalah
penyakit yang disebabkan kutukan karena perbuatan/dosa masa
lalu atau persetubuhan sedarah, mengkonsumsi ikan pari berkulit
hitam dengan bintik putih, bibit kusta telah ada sejak lahir,
melakukan hubungan seksual ketika isteri sedang dalam masa
haid dan pengaruh guna-guna. Anggapan tersebut membuat
sanro menjadi rujukan pertama dan utama dalam upaya
pengobatan. Pengobatan dukun berupa air jappi-jappi dan

309

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

ramuan daun pakecce/cocor bebek dan kapur atau kunyit dengan


kemiri yang ditempelkan pada bagian tubuh yang bengkak/benjol
dan memandikan penderita agar penyakit tidak kembali kepada
penderita atau mengenai sanro.
Penderita yang tidak merasa sembuh dengan pengobatan
sanro, mereka akan mencari pengobatan ke fasilitas pelayanan
kesehatan dalam kondisi yang terlambat. Penderita kusta
umumnya berobat setelah terjadinya bengkak, muncul benjol
dan mati rasa karena mereka mengabaikan gejala/tanda awal
kusta.
Pengobatan yang mereka jalani sebagian tidak dilakukan
dengan baik, minum obat tidak teratur dan tidak sampai tuntas
sesuai anjuran petugas. Berbagai alasan dikemukakan antara lain
jarak ke Puskesmas jauh, tidak biasa minum obat, tidak suka
minum obat, bosan minum obat. Keadaan ini menyebabkan
penderita tidak sembuh dan menjadi sumber penularan kusta.
Sekitar tiga puluh penderita kusta/ kakambah dijumpai di
desa Sulaho, sebagian diantaranya masih dalam taraf berobat ke
Puskesmas, namun beberapa diantaranya putus berobat. Tiga
penderita kusta baru tidak menggunakan jasa sanro sejak awal
namun berobat langsung ke tenaga kesehatan. Situasi ini
merupakan petunjuk adanya perubahan sikap masyarakat yang
mulai percaya kepada petugas kesehatan.
5.2. Rekomendasi
Berkaitan dengan permasalahan kesehatan secara umum,
maka tim peneliti merekomendasikan perbaikan akses jalan darat
desa yang terhubung dengan jalan poros Trans Sulawesi sehingga
masyarakat memiliki jangkauan yang mudah menuju pusat
pelayanan kesehatan. Mereka tidak perlu melewati jalur laut
yang membutuhkan waktu lama dan tergantung pada kondisi
cuaca. Hal ini akan membuat desa tidak terisolir dan masyarakat
310

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

dapat mengakses pelayanan kesehatan setiap saat. Selain itu,


masyarakat akan meningkatkan intensitas berhubungan dengan
masyarakat lain, sehingga dapat membuka diri dan merespon
baik pelayanan kesehatan.
Kemitraan bidan desa dan dukun bayi setempat perlu
dijalin, sehingga proses persalinan oleh tenaga kesehatan dapat
ditingkatkan, namun kegiatan ini tidak mungkin terjadi bila bidan
belum menetap dan tinggal di desa. Bidan desa harus memiliki
kemampuan untuk melakukan pendekatan terhadap masyarakat,
sehingga penyuluhan dapat dikemas melalui pendekatan
personal kepada ibu hamil, ibu bayi dan ibu balita. Hal ini
ditujukan agar masyarakat mau melibatkan bidan desa dalam
pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan.
Upaya menciptakan kebersihan lingkungan tempat tinggal
dapat dilakukan dengan menghidupkan kembali kegiatan jumat
bersih, yaitu kerja bakti membersihkan desa yang dahulu aktif
dilakukan. Peran tokoh masyarakat menjadi kunci keberhasilan
menggerakkan warga untuk ikut serta dalam kegiatan kerja bakti.
Membudayakan memelihara hewan peliharaan, terutama
kambing dengan kandang sehingga hewan tidak berkeliaran
secara bebas dalam pemukiman warga. Hal ini dilakukan untuk
meningkatkan kebersihan lingkungan dengan meminimalisir
kotoran hewan yang berlebihan di area pemukiman penduduk.
Mengedukasi masyarakat akan pentingnya rumah tangga untuk
memiliki kakus akan mencegah polusi tanah dan udara akibat
BAB di sembarang tempat khususnya di pantai. Misi jangka
panjang adalah penggunaan kakus oleh setiap rumah tangga.
Perilaku masyarakat yang tidak mempraktekkan PHBS
ditambah kepercayaan terhadap hal gaib dan kekuatan sanro
mengobati penyakit yang diderita masyarakat menjadi faktor
penentu penyebaran penyakit kakambah dan penyakit lainnya.
Upaya untuk memutus mata rantai kakambah melalui

311

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

pembatasan kontak antara anggota rumah tangga dengan


penderita dalam batasan etis. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan meningkatkan kebersihan individu/ personal hygiene
dengan cara mengubah kebiasaan sehari-hari yang dapat menjadi
jalur potensial penularan kakambah, berupa pembiasaan
menggunakan peralatan pribadi seperti baju, tidak saling tukar
menukar pemakaian baju, mencuci baju setiap kali kotor habis
dipakai, menyediakan tempat tidur yang terpisah antar anggota
keluarga hususnya dengan penderita. Perubahan sikap dan
perilaku dapat dilakukan melalui penyuluhan secara aktif petugs
kesehatan melalui media kegiatan masyarakat.
Upaya lain adalah meningkatkan kewaspadaan individu
dan keluarga di lingkungan sekitar penderita. Penderita
kakambah merupakan bagian dari komunitas, sehingga risiko
penularan kusta meningkat bagi orang lain yang tinggal di
lingkungan yang sama. Kepedulian terhadap kebersihan
lingkungan akan membantu mengurangi tingkat risiko penularan
kusta. Upaya tersebut dapat diterapkan tidak hanya pada rumah
tangga yang ada penderita kusta, tetapi dapat dilakukan pada
semua rumah tangga di Sulaho. Selain personal hygiene, anggota
rumah tangga memiliki kewajiban untuk mengingatkan penderita
mengonsumsi obat secara teratur. Hal ini dilakukan mengingat
banyak mantan penderita yang mengaku tidak meminum obat
secara teratur atau meminum obatnya sampai habis sesuai
ketentuan yang telah disampaikan petugas kesehatan. Tokoh
masyarakat dapat ikut serta mengambil peran untuk melakukan
monitoring terhadap keteraturan minum obat penderita.
Pelibatan tokoh masyarakat setempat seperti kepala
dusun atau sanro dalam setiap upaya peningkatan pengetahuan,
sikap dan perilaku akan memudahkan pelaksanaannya.
Penyuluhan dalam rangka edukasi dapat dilakukan dengan
memanfaatkan hubungan kekerabatan, yaitu kerabat dekat

312

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

tokoh masyarakat dilanjutkan kepada kerabat-kerabat lain dan


seterusnya mengingat tidak adanya kegiatan sosial yang dapat
mewadahi kegiatan penyuluhan di Sulaho.
Upaya memutus mata rantai kusta pada tingkat
komunitas harus didukung oleh peran pelayanan kesehatan.
Berkaitan dengan kasus kusta maka tim peneliti
merekomendasikan kepada pihak kesehatan berupa skrining
terhadap warga desa untuk menegakkan diagnosis kusta,
dilakukan bersamaan dengan kegiatan pelayanan kesehatan
lainnya. Deteksi dini kasus kusta akan mencegah penularan serta
menjaring kasus lebih awal sehingga pengobatan dapat dilakukan
lebih cepat.
Melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
diwujudkan melalui penyuluhan secara kontinyu mengenai PHBS
secara umum, pengenalan, sebab, cara penularan dan akibat
penyakit kusta melalui forum pertemuan yang ada di
masyarakat dan pendekatan informal kepada keluarga penderita.
Pemanfaatan media melalui media cetak, seperti poster/leaflet
tentang penyakit kusta (pengenalan, sebab, akibat/bahaya)
digalakkan dengan menempelkannya di tempat-tempat strategis
berkumpulnya warga desa. KIE yang dilakukan dapat melibatkan
tokoh masyarakat setempat.
Pembentukan tim bekerja sama warga desa sangat
membantu mengingat gejala klinis kusta dapat dikenali dengan
mudah. Pelibatan remaja sebagai agent of change akan
memberikan kegiatan yang positip sehingga pergaulan remaja
yang kontra produktif dapat dikurangi.
Berkaitan dengan perilaku anak dan remaja, diketahui
banyaknya anak putus sekolah dan kasus hamil di luar nikah,
maka tim peneliti merekomendasikan peningkatan pengetahuan
kesehatan remaja, khususnya tentang kesehatan reproduksi dan
HIV AIDS sejak dini. Kerja sama lintas sektor khususnya bidang

313

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

pendidikan untuk membangun fasilitas pendidikan yang


memadai dan KIE mengenai pentingnya pendidikan terhadap
orang tua sehingga remaja dapat menyelesaikan pendidikan
minimal tingkat SMP.

314

INDEKS

adat 22, 46, 82, 97, 118


anak 4, 11, 16, 25, 26, 31, 34,
35, 36, 37, 45, 47, 48, 49, 50,
51, 57, 59, 62, 63, 64, 65, 67,
73, 75, 86, 91, 93, 96, 100,
101, 102, 109, 110, 111, 112,
113, 114, 115, 117, 118, 119,
121, 123, 124, 125, 127, 128,
129, 133, 134, 137, 138, 141,
142, 144, 145, 146, 151, 153,
154, 155, 156, 157, 159, 160,
161, 162, 163, 164, 165, 166,
167, 168, 169, 171, 172, 173,
175, 176, 180, 182, 183, 184,
186, 190, 191, 193, 194, 196,
198, 199, 200, 202, 203, 204,
207, 209, 212, 213, 216, 221,
231, 234, 237, 238, 239, 242,
248, 250, 252, 258, 260, 262,
263, 264, 265, 266, 267, 269,
270, 271, 279, 280, 281, 282,
290, 291, 295, 297, 298, 299,
300, 305, 307, 308, 313, 322
ASI 157, 159, 160, 161, 162,
174, 181, 182, 204

bahasa 18, 59, 63, 64, 81, 83,


93, 107, 169, 244, 245, 305
balita 111, 112, 121, 164, 167,
179, 180, 183, 202, 204, 212,
231, 263, 308, 311
bayi 46, 85, 126, 127, 128,
129, 132, 135, 137, 138, 141,
142, 143, 144, 145, 146, 148,
149, 150, 151, 152, 153, 154,
155, 156, 159, 161, 162, 163,
164, 165, 166, 167, 174, 175,
176, 179, 180, 181, 184, 191,
202, 231, 267, 307, 308, 311
budaya 6, 10, 11, 111, 288,
293, 305

D
diare 162, 192, 195, 196, 197,
198, 199, 200, 201, 202, 308
dukun 59, 72, 75, 78, 82, 118,
123, 124, 125, 129, 130, 131,
132, 133, 134, 135, 138, 139,
140, 141, 142, 143, 146, 147,
148, 149, 151, 152, 153, 154,

315

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

155, 156, 157, 158, 159, 163,


164, 165, 177, 178, 179, 181,
190, 197, 198, 204, 205, 206,
207, 210, 215, 222, 224, 226,
229, 230, 247, 248, 249, 250,
252, 261, 281, 283, 288, 295,
296, 307, 308, 309, 311, 327

J
jappi-jappi 78, 91, 126, 136,
145, 149, 158, 159, 198, 205,
207, 210, 213, 222, 226, 248,
284, 285, 286, 287, 289, 307,
309

endemik 1
etnografi kesehatan 9, 10, 319

kakambah 74, 85, 233, 244,


245, 247, 248, 252, 257, 258,
259, 269, 272, 276, 281, 283,
284, 293, 303, 307, 309, 310,
311, 312
kecacatan 7, 251, 253, 283,
292, 294, 296, 309
Kecelakaan Kerja 217
Kegiatan keagamaan 48, 50,
51
kehamilan 22, 36, 65, 116,
120, 123, 126, 128, 129, 130,
131, 132, 134, 135, 136, 140,
176, 308, 311
kekerabatan 63, 64, 66, 280,
292, 312
keluarga 3, 6, 7, 21, 23, 26, 34,
36, 39, 45, 47, 50, 62, 63, 64,
65, 73, 74, 78, 86, 87, 100,
102, 103, 108, 110, 111, 118,
120, 121, 124, 125, 127, 137,
138, 139, 140, 150, 155, 165,
173, 174, 175, 186, 190, 195,

G
geografis 7, 10, 13, 26, 27, 30,
33, 117, 305
gizi 1, 4, 181, 261, 279
gondok 209, 210, 211, 212,
214

H
hipertensi 208, 216, 217, 308

I
ISPA 195, 202, 203, 308

316

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

197, 205, 212, 213, 235, 240,


243, 244, 245, 248, 249, 254,
258, 264, 265, 266, 267, 269,
270, 271, 272, 275, 277, 279,
280, 281, 282, 288, 289, 291,
292, 294, 295, 296, 300, 303,
306, 307, 309, 312, 313, 333
kependudukan 33
kepercayaan 7, 42, 43, 47, 79,
81, 82, 98, 124, 196, 229,
254, 283, 284, 285, 289, 307,
309, 311
kesehatan 3, 4, 7, 9, 10, 11,
22, 31, 50, 72, 73, 75, 77, 92,
116, 117, 125, 130, 131, 132,
133, 134, 135, 137, 139, 140,
154, 167, 173, 174, 176, 177,
178, 179, 180, 181, 187, 190,
191, 196, 198, 201, 202, 208,
209, 226, 227, 228, 230, 231,
232, 242, 244, 251, 253, 255,
257, 258, 261, 268, 271, 273,
274, 279, 280, 283, 284, 292,
298, 301, 302, 303, 306, 308,
310, 311, 312, 313, 333, 335
kesehatan masyarakat 3, 10,
196
KIA 9, 308
Kolaka Utara 4, 9, 10, 11, 13,
14, 15, 23, 25, 26, 28, 33, 42,
70, 99, 107, 154, 211, 267,
299, 305, 319, 330, 332, 333

kusta 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11,
74, 196, 234, 235, 236, 237,
239, 240, 241, 242, 243, 244,
245, 246, 250, 251, 252, 253,
254, 255, 257, 258, 259, 260,
261, 264, 265, 266, 267, 268,
269, 270, 271, 272, 273, 274,
276, 277, 279, 280, 281, 282,
283, 284, 287, 288, 289, 290,
291, 292, 293, 294, 295, 296,
297, 299, 300, 301, 302, 303,
307, 308, 309, 310, 312, 313,
335

L
Lasusua 6, 7, 8, 9, 13, 14, 15,
19, 26, 28, 29, 30, 33, 50, 76,
85, 92, 97, 100, 106, 117,
131, 134, 138, 177, 180, 189,
192, 194, 195, 198, 202, 215,
228, 240, 242, 243, 248, 251,
262, 264, 265, 268, 302, 305,
320, 330, 333

M
mabantang 154, 164, 165,
166
makanan 24, 42, 44, 46, 49,
50, 51, 53, 55, 57, 58, 60, 62,
81, 86, 91, 92, 102, 104, 108,
109, 110, 112, 117, 122, 128,
317

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

130, 162, 165, 174, 181, 182,


183, 189, 197, 202, 206, 213,
214, 217, 234, 250, 261, 274,
279, 280, 281, 289, 290, 291,
292, 306, 308, 322
makkiana 132, 133, 138, 153,
308, 327
mantra 50, 78, 82, 83, 84, 85,
90, 136, 151, 158, 165
minuman 37, 49, 60, 111, 116,
117, 120, 121, 174, 181, 288,
305
Multibasilar 1, 2
Mycobacterium Leprae 1

N
neonatus 162
nifas 113, 156, 157

P
pantangan 60, 81, 128, 129,
141, 182, 196, 206, 214, 289
Pausibasilar 1, 2
pelayanan kesehatan 3, 6, 7,
8, 22, 77, 92, 117, 130, 144,
197, 205, 209, 211, 213, 226,
227, 228, 249, 254, 268, 271,
284, 288, 293, 295, 297, 310,
313
pengobatan 3, 4, 5, 7, 8, 22,
76, 77, 78, 79, 83, 87, 88, 93,

318

125, 136, 155, 198, 201, 206,


208, 209, 210, 211, 222, 226,
231, 237, 239, 240, 242, 243,
244, 246, 247, 248, 249, 250,
252, 253, 258, 259, 269, 270,
271, 272, 283, 284, 287, 289,
292, 294, 301, 302, 303, 307,
308, 309, 310, 313
penularan 1, 8, 74, 193, 197,
236, 237, 240, 241, 242, 254,
261, 269, 272, 279, 282, 283,
290, 302, 303, 310, 312, 313
penyakit menular 1, 9, 11,
116, 196, 259, 276, 281, 282,
291, 296, 309
penyakit tidak menular 9, 11,
208, 308
pernikahan 36, 62, 66, 96, 97,
113, 120, 123, 176, 293
persalinan 22, 76, 128, 135,
136, 137, 138, 140, 141, 142,
143, 146, 147, 148, 151, 152,
154, 156, 157, 176, 177, 178,
179, 190, 311
PHBS 6, 9, 11, 174, 303, 308,
311, 313, 332, 333
posyandu 130, 134, 180, 198,
231, 271, 297, 298, 302, 308
puskesmas 3, 8, 73, 74, 75, 76,
93, 117, 130, 131, 132, 133,
134, 135, 180, 205, 208, 210,
211, 226, 239, 240, 247, 249,
252, 253, 263, 264, 284, 294,

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

295, 297, 298, 301, 302, 308,


310

R
Religi 42
remaja 26, 51, 93, 96, 113,
114, 115, 116, 119, 120, 122,
242, 262, 297, 298, 299, 300,
305, 313
reproduksi 113, 116, 151, 158,
313
ritual 42, 45, 52, 55, 57, 59,
86, 117, 118, 144, 151, 154,
156, 158, 159, 164, 165

S
sakit 3, 6, 17, 44, 59, 61, 66,
71, 72, 73, 74, 75, 76, 78, 79,
80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87,
88, 89, 90, 91, 92, 95, 112,
115, 120, 124, 126, 131, 133,
135, 136, 138, 139, 141, 142,
146, 150, 154, 155, 164, 165,
167, 168, 176, 177, 178, 183,
193, 194, 197,198, 200,
201, 203, 204, 205, 206, 207,
208, 209, 210, 211, 212, 213,
215, 216, 218, 219, 222, 223,
225, 226, 227, 228, 229, 230,
231, 235, 244, 245, 246, 247,
248, 249, 250, 251, 252, 254,

259, 261, 262, 263, 264, 270,


272, 283, 284, 285, 286, 287,
289, 293, 295, 307, 309, 326
sanro 42, 50, 56, 57, 59, 60,
75, 77, 78, 79, 81, 82, 83, 85,
87, 109, 117, 118, 123, 124,
125, 130, 131, 132, 133, 135,
137, 138, 144, 153, 164, 165,
210, 213, 215, 222, 229, 248,
281, 283, 284, 285, 286, 287,
289, 307, 308, 309, 310, 311,
312
sehat 6, 9, 23, 71, 164, 173,
174, 185, 187, 192, 213, 261,
275, 276, 279, 306, 307
stigma 7, 245, 259, 283, 293,
309, 331
stroke 208, 215, 216, 308
Suku Bajo 9, 16, 17, 22, 26, 33,
45, 64, 97, 98, 114, 116, 118,
128, 146, 156
Sulaho 6, 7, 8, 9, 16, 17, 18,
19, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 27,
28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35,
36, 37, 38, 39, 40, 42, 43, 45,
46, 48, 50, 52, 54, 58, 59, 60,
62, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70,
71, 72, 73, 74, 77, 78, 79, 85,
92, 93, 96, 97, 98, 99, 100,
101, 102, 103, 106, 111, 112,
113, 114, 115, 116, 117, 118,
123, 128, 130, 131, 134, 135,
137, 138, 140, 144, 146, 156,

319

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

159, 167, 168, 173, 175, 176,


177, 178, 180, 181, 183, 185,
188, 190, 192, 194, 195, 196,
197, 202, 208, 212, 214, 215,
216, 217, 223, 224, 225, 226,
228, 229, 231, 233, 234, 235,
236, 237, 241, 242, 243, 244,
251, 254, 255, 256, 257, 258,
261, 262, 263, 264, 266, 267,
269, 270, 272, 275, 276, 278,
279, 280, 281, 282, 283, 288,
292, 294, 296, 297, 300, 301,
302, 305, 306, 307, 308, 309,
310, 312, 313, 320, 330

320

T
TBC 196, 204, 205, 206, 207,
208, 308
Tolaki 17, 18, 66, 93, 96
tradisional 47, 77, 78, 87, 88,
168, 201, 205, 207, 284, 285,
287, 307

U
upaya pemberantasan 2, 5, 6

GLOSARIUM

Addeng
Aga iyyatu
Aje
Aju annasuangeng
Akka
Akkibbuarengnga
Akkinakkonrong
Akkinanreang
Akkonyang
Ale
Aleku
Alena
Ambo
Ampai
Andi
Ahera
Aha
Acca
Amaure
Aliri
Amputu
Ana
Ana boroane
Anaddara
Ana kaddeng
Anak kalmia
Ancajiangena

(tangga)
(apakah itu)
(kaki)
(kayu bakar)
(angkat)
(buatkan saya)
(tempat tinggal)
(tempat mencari makan)
(kobokan)
(hutan)
(diri saya)
(dia sendiri)
(bapak)
(makanya)
(saudara muda/ adik/bangsawan)
(akhirat)
(ahad/ minggu)
(ilmu)
(paman / tante/ bibi)
(tiang)
(tumit)
(anak)
(saudara laki laki)
(gadis)
(anak tangga)
(jari kelingking)
(kelahiranku)

321

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Anging
Angkanguluang
Anre
Anri
Arang
Arung
Aruwa
Ase
Aseng
Assikolang
Asu
Awu
Aerung
Baja
Bola
Bunre
Beppa
Boro
Botting
Bulo
Bura
Bukkang
Bombang
Bare
Burasa
Benrang
Bakkaweng
Bosi
Boco
Bitara
Bolong
Bulu

322

(angin)
(bantal)
(makanan)
(adik)
(tahi lalat)
(bangsawan)
(delapan)
(padi)
(nama)
(sekolah)
(anjing)
(abu)
(ari-ari)
(besok)
(rumah)
(alat penangkap ikan)
(kue)
(bengkak)
(kawin)
(bambu)
(batang pisang)
(kepiting)
(ombak)
(beras)
(buras)
(got)
(atap rumah)
(hujan)
(kelambu)
(langit)
(hitam)
(gunung)

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Berre
Bale
Bembe
Maceddi
Colo
Cempa
Camming
Cemme
Canning
Canggoreng
Coddo
Cukkuru
Cinampe
Cule
Cekke
Gora
Gere
Golla
Gemme
Geregge
Gatteng
Gattung
Gunting
Indo
Isi
Iso
Iko
Inge
Jokka
Jambang
Jama
Kadera

(beras)
(ikan)
(kambing)
(jijik)
(korek)
(asam)
(cermin)
(mandi)
(manis)
(kacang tanah)
(tusuk)
(cukur)
(sebentar)
(main)
(dingin)
(berteriak)
(sembelih)
(gula)
(rambut)
(gergaji)
(tarik)
(gantung)
(goncing)
(ibu)
(gigi)
(isap)
(kamu)
(hidung)
(jalan)
(berak/ buang air besar)
(kerja)
(kursi)

323

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Kaluku
Kanuku
Kaliki
Kasiasi
Kajompi
Kappara
Kaloko
Kaloko pao
Lambace
Ladang
Labbu
Lecce
Luppe
Lao
Lopi
Lasuna cella
Lasuna pute
Lendir
Lipa
Lise
Lessi
Linro
Lila
Leppang
Manre
Massaula
Maccule
Macai
Matekka
Magguru
Mangolo

324

(kelapa)
(kuku)
(papaya)
(miskin)
(kacang panjang)
(baki,nampan)
(kopra)
(mangga muda yang dikeringkan,
asam mangga)
(tomat)
(lombok)
(tepung)
(pindah)
(lompat)
(pergi)
(perahu)
(bawang merah)
(bawang putih)
(galagga)
(sarung)
(isi)
(vagina)
(dahi)
(lidah)
(singgah)
(makan )
(mengurut )
(bermain)
(marah )
(menyebarang)
(belajar )
(menghadap)

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Mataesso
Maradde
Marota
Mapaccing
Macinna
Matinro
Manasu
Mannasu
Mawari
Moto
Miccu
Makkunrai
Maddoja
Madduta
Mate
Nanre
Nalai
Ngingi
Nono lopi
Onde onde
Obbi
Onrong
Okko
Orowane
Pejje
Peddi
Pella
Peca
Posi
Possi bola
Ponco
Palecce

(matahari)
(menetap)
(kotor)
(bersih)
(rasa ingin)
(tertidur)
(sudah makan)
(memasak)
(basi)
(bangun)
(ludah)
(wanita)
(begadang)
(melamar)
(meninggal)
(nasi)
(diambil)
(gusi)
(turun perahu)
(nama kue)
(panggil)
(tempat)
(gigit)
(pria)
(garam)
(sakit)
(panas)
(bubur)
(pusar)
(pusat rumah)
(pendek)
(memindahkan)

325

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Penre
Pongke
Pura
Palese
Penne
Penno
Paaja
Pitu
Pitte
Pera perahuan
Sappa
Sappo
Sanre
Sandala
Salo
Sugi
Sampo
Sanra
Sanro kampung
Solara
Sanro makkiana
Sokko
Songko
Sangadi
Sanru
Sanro
Sumange
Sinru
Suro
Tau
Tuo
Tanre

326

(menaikkan)
(pinggang)
(sudah)
(toples)
(piring)
(penuh)
(berhenti)
(tujuh)
(benang)
(lopi-lopi)
(cari)
(sepupu)
(sandar)
(sandal)
(sungai)
(kaya)
(tutup)
(gadai)
(dukun kampung)
(celana)
(dukun bersalin)
(beras ketan masak)
(topi)
(lusa)
(sendok)
(dukun)
(semangat, motivasi)
(sendok)
(duta)
(orang)
(hidup)
(tinggi)

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Tana
Tama bola beru
Tettong
Teme
Teddung
Tappere
Taro
Tasi
Tadde
Tinro
Timu
Ure
Uli
Uwae
Uttu
Uleng
Uleng matappa
Wiluwa
Wenni
Waju
Witi

(tanah)
(masuk rumah baru)
(berdiri)
(kencing, pipis)
(payung)
(tikar)
(simpan)
(laut)
(keras)
(tidur)
(mulut)
(urat)
(kulit)
(air)
(lutut)
(bulan)
(bulan purnama)
(rambut)
(malam)
(baju)
(betis)

327

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

328

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

DAFTAR PUSTAKA

Andy Muharry. Faktor Risiko Kejadian Kusta. Jurnal Kesehatan


Masyarakat, 2014, 2014: 174-182:174.
Anselmo Alves Lustosa, Ldya Tolstenko Nogueira, Jos Ivo dos
Santos Pedrosa, Joo Batista Mendes Teles dan Viriato
Campelo. 2011. The impact of leprosy on health-related
quality of life. Revista da Sociedade Brasileira de Medicina
Tropical. 44(5):621-626, p: 624.
Ashok kumar singh, An Analysis of Socio-Demographic Correlates,
Misconception and Discrimination Related to Leprosy
Patients. Global Research Analysis. 2013: 188-189: 189.
Badan Pusat Statistik. 2013. Kecamatan Lasusua dalam Angka
2013. Kolaka Utara.
Daftar Isian Data Dasar Profil Desa Sulaho.2003. Kecamatan
Lasusua, Kabupaten Kolaka, Propinsi Sultra.
Dian Nugraheni. 2005. Beberapa Faktor yang Berhubungan
dengan Praktek Penderita Kusta dalam Pencarian
Pengobatan di Puskesmas Kunduran Kabupaten Blora.
Tesis. Semarang: UNDIP.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka Utara. 2013. Profil Dinas
Kesehatan 2013.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Kemenkes. 2012. Pedoman Nasional Program
Pengendalian Penyakit Kusta.

329

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan


Lingkungan Kemenkes RI. 2012. Profil Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2011.
diunduh
dari:
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas/article/vie
w/2846/2902, tanggal 27 Agustus 2014.
Edward Eremugo Luka. 2010. Understanding the stigma of
leprosy. SSMJ Vol 3 Issue 3 August 2010. Southern Sudan
Medical Journal.
Diunduh dari:
http://www.southsudanmedicaljournal.com/assets/files/Journals
/vol_3_iss_3_aug_10/Leprosy%20stigma.pdf
Edy Warsan, Rusli Ngatimin dan Sudirman Natsir. 2014.
Hambatan Pengobatan Penderita Kusta diKecamatan
Tammerodo Sendana Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi
Barat. Diunduh dari:
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/eff29e02df5c99774572bfff1
c10971d.pdf, tanggal 29 Agustus 2014.
Fitrilia Ulfah. 2010. Faktor Kondisi Fisik Rumah dan Kepadatan
Penghuni Hubungannya dengan Kejadian Kusta (Studi di
Wilayah Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep).
Diunduh
dari:
http://adln.fkm.unair.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read
&id=adlnfkm-adln-fitriliaul-2649, tanggal 27 Agustus 2014.
Ifa H. Misbach, Peran Permainan Tradisional yang Bermuatan
Edukatif dalam Menyumbang Pembentukan Karakter dan
Identitas
Bangsa.
2006.
Diunduh
dari:
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/19750729
2005012-

330

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

IFA_HANIFAH_MISBACH/LAPORAN_PENELITIAN_PERAN_PE
RMAINAN_TRADISIONAL__REVISI_FINAL_.pdf
Jonathan Gabe, Mike Bury dan Mary Ann Elston. 2004. Key
Concepts in Medical Sociology. London: Sage Publications.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Ligia RS Kerr Pontes et al. 2006. Sosioeconomi cenvironmental
and Behaviour Risk Faktor for Leprosy in North East Brasil.
International Journal of Epidemiology. 2006;35:9941000,
diunduh dari: http://ije.oxfordjournals.org, tanggal 27
Agustus 2014.
Lisdawanti Adwan, Rismayanti dan Wahiduddin. 2014. Faktor
Risiko Kondisi Hunian terhadap Kejadian Penyakit Kusta di
Kota
Makassar.
Diunduh
dari:
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789
/10649/LISDAWATI%20ADWAN%20K11110915.pdf?sequen
ce=1, tanggal 29 Agustus 2014.
Lulo, Tari Keakraban Masyarakat Sulawesi Tenggara, diunduh
dari: http://www.beritakendari.com/lulo-tari-keakrabanmasyarakat-sulawesi-tenggara.html, diunduh tanggal 11
September 2014.
Malathi G. Nayak, Sharada dan Anice Geroge. 2012. Socio
Cultural Perspectives on Health And Illness. Nitte University
Journal of Health Science. 2012: 61-67: 64.
Moh Yahya Mustafa. 2008. Jejak Pemekaran Kabupaten Kolaka
Utara, Makassar: Famis Pustaka.
Momon Sudarma. 2009. Sosiologi Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika.

331

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

Nasruddin Suyuti. 2011. Orang Bajo di Tengah Perubahan.


Yogyakarta: Ombak.
Nur Alam Fajar. 2010. Dampak Psikososial Penderita Kusta dalam
Proses Penyembuhannya. Jurnal Pembangunan Manusia
Vol 10 No.1 tahun 2010.
Paul

Saunderson. 2002. Bagaimana Mengenali dan


Menatalaksana Reaksi Lepra, London: The International
Federation of Anti-Leprosy Associations (ILEP).

Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara. 2013. Kabupaten Kolaka


Utara dalam Angka 2013.
Peta Kolaka Utara, diunduh dari: longhairpictures.biz/peta/petainfrastruktur-kabupaten-kolaka-2008.html, tanggal 27
September 2014.
Prawoto. 2008. Faktor - Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap
Terjadinya Reaksi Kusta (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas
Kabupaten Brebes). Tesis. Semarang: UNDIP.
Promkes Kemenkes. Terapkan 10 Indikator PHBS dalam
Lingkungan
Keluarga.
Diunduh
dari:
http://www.promkes.depkes.go.id/index.php/topikkesehatan/106-terapkan-10-indikator-phbs-dalamlingkungan-keluarga, tanggal 20 Maret 2014.
Puskesmas Lasusua. Profil Puskesmas Lasusua Tahun 2013.
Register Kohort Program P2 Kusta Puskesmas Lasusua,
Kabupaten Kolaka Utara 2013.
S. Singh, A.K. Sinha, B.G.Banerjee dan N. Jaswal. 2013. The Health
Seeking Behaviour of Leprosy Patients, Health, Culture and
Society. 2013: 53-65: 64.

332

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

Sanghavi Mithun M. 2012. A Review Of Trend Of Leprosy


Situation In Jamnagar District Of Gujarat. National Journal
of Community Medicine. 2012, p:489
Siti Nurkasanah, Chatarina Umbul Wahyuni dan Arief Wibowo.
2013. Faktor yang Berpengaruh terhadap Kenaikan Titer
Antibodi Spesifik Kusta. Jurnal Berkala Epidemiologi, 2013:
213223: 221.
Soedarjatmi, Tinuk Istiarti dan Laksmono Widagdo. 2009. Faktorfaktor yang Melatarbelakangi Persepsi Penderita Terhadap
Stigma Penyakit Kusta. Jurnal Promosi Kesehatan
Indonesia. 2009.18-24:24.
Soedjajadi Keman, Kesehatan Perumahan. 2005. Jurnal
Kesehatan Lingkungan, 2005: 29-42: 37-38, diunduh dari:
http://portalgaruda.org/download_article.php?article=181
96&val=1132, tanggal 29 Agustus 2014.
Suci Rachmawati, Penyakit Kusta di Bangkalan Tahun 1934-1939.
2014. e-Journal Pendidikan Sejarah Avatara. 2014: 8391:84,
diunduh
dari:
http://ejournal.unesa.ac.id/article/8706/38/article.pdf,
tanggal 29 Agustus 2014.
Suwoyo, Siti Asiyah dan Intajul Fikriyah. 2010. Hubungan
Pengetahuan dengan Persepsi Kepala Keluarga terhadap
Penderita Kusta, Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes.
2010: 187-196: 194
Syamsir, Makmur Selomo dan Erniwati Ibrahim. 2012.
Karakteristik Kondisi Rumah Penderita Kusta di Wilayah
Kerja Puskesmas Turikale dan Mandai Kabupaten Maros.
diunduh dari:

333

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4491
/Syamsir_K11108315.pdf?sequence=1, tanggal 29 Agustus
2014.
Syamsuar Manyullei, Deddy Alif Utama dan Agus Bintara
Birawida. 2012. Gambaran Faktor yang Berhubungan
dengan Penderita Kusta di Kecamatan Tamalate, Kota
Makassar. Indonesian Journal Of Public Health. 2012: 10
17: 12.
T.Stephen, I.Selvaraj, S.Gopalakrishnan. 2014. Assessment of
Knowledge, Attitude and Practice about leprosy among
patients and their families in a rural community in Tamil
Nadu. National Journal of Research in Community Medicine.
2014: 164-170:168.
Tantut Sutanto. 2010. Pengalaman Klien Dewasa menjalani
perawatan kusta di wilayah kerja Puskesmas Jenggawah,
Kabupaten Jember, Jawa Timur: Studi Fenomenologi. Tesis.
Jakarta: UI.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 Tahun 2009
tentang kesehatan.
WHO. 2013. Weekly Epidemiological Record, no. 35. 2013: p.365380. http://www.who.int/wer
WHO. 2013. World Health Statistics. Italia: WHO.
Zulyani Hidayah. 1997. Ensiklopedi Etnik Bangsa di Indonesia.
Jakarta: LP3ES.

334

Etnik Bajo, Kabupaten Kolaka Utara Prov. Sulawesi Tenggara

UCAPAN TERIMA KASIH


Tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada Pusat
Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
yang telah memberikan kesempatan untuk berkontribusi dalam
penelitian riset etnografi kesehatan (REK) tahun 2014. Ucapan
terima kasih kami sampaikan pula kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Kolaka Utara, Bapak Alias, SKM, M.Kes
beserta jajarannya yang telah memberi izin dan menyambut baik
pelaksanaan REK; Kepala Puskesmas Lasusua, Ibu dr. Indaryani,
M.Kes beserta staf yang telah membantu proses pelaksanaan
penelitian secara kooperatif dan masyarakat Desa Sulaho yang
telah memberikan kesempatan tim peneliti menimba ilmu di
sana.

335

Buku Seri Enografi Kesehatan Tahun 2014

336

Vous aimerez peut-être aussi