Vous êtes sur la page 1sur 187

Benteng Tradisi Kesehatan

Bumi Serasan Sekate

Ida Diana Sari


Tatik Mudjiati
Kasnodihardjo

Benteng Tradisi Kesehatan Bumi Serasan Sekate


2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan
dan Pemberdayaan Masyarakat
Penulis
Ida Diana Sari
Tatik Mudjiati
Kasnodihardjo
Editor
Kasnodihardjo
Desain Cover
Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014


Buku ini diterbitkan atas kerjasama
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jl. Indrapura 17 Surabaya
Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749
dan
LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI)
Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta
Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933
e mail: penerbit@litbang.depkes.go.id

ISBN 978-602-1099-06-3
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis
dari penerbit.

ii

Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan
Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014,
dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina

: Kepala Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab

: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan


Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH)


Ketua Pelaksana

: dr. Tri Juni Angkasawati, MSc

Ketua Tim Teknis

: dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis

: drs. Setia Pranata, M.Si


Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes
drg. Made Asri Budisuari, M.Kes
Sugeng Rahanto, MPH., MPHM
dra.Rachmalina S.,MSc. PH
drs. Kasno Dihardjo
Aan Kurniawan, S.Ant
Yunita Fitrianti, S.Ant
Syarifah Nuraini, S.Sos
Sri Handayani, S.Sos

iii

Koordinator wilayah

1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel


dan Kab. Asmat
2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk
Wondama
3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep.
Mentawai
4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin
5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak
6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara,
Kab. Boalemo
7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab.
Mamuju Utara
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab.
Indragiri Hilir
9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur.
Kab. Rote Ndao
10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon

iv

KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?


Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan
masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan
pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan
menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah
mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu
dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu
cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk
itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait
kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasional dan
indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan
menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan caracara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga
dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa
kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan
masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.
Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku
seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di
berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna
menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun
agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya
pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan

RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora


untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga
dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014


Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

drg. Agus Suprapto, M.Kes

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

v
vii
ix
x

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


1.2. Tujuan Penelitian
1.3. Metode Penelitian
1.4. Pertimbangan Dalam Menentukan Lokasi Penelitian
1.5. Desain dan Jenis Penelitian

1
9
10
10
11

BAB 2 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

17

2.1.Legenda Suku Anak Dalam


2.2. Sejarah dan Perkembangan Desa
2.3. Geografi dan Kependudukan
2.4. Pola Pemukiman dan Tempat Tinggal
2.5. Religi dan Kepercayaan Masyarakat
2.6. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
2.6.1. Sistem Kekerabatan
2.6.2. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal
2.7. Lingkaran Hidup
2.7.1. Masa Kehamilan
2.7.2. Masa Kanak-kanak
2.7.3. Masa Muda-mudi
2.8. Pengetahuan Masyarakat
2.8.1. Pengetahuan tentang Alam
2.8.2. Pengetahuan tentang Sehat dan Sakit

17
20
43
50
60
73
73
77
87
87
89
92
97
97
98

vii

2.9. Bahasa
2.10. Kesenian
2.11. Mata Pencaharian
2.12. Teknologi dan Peralatan

103
105
106
110

BAB 3 POTRET KESEHATAN

113

3.1. Status Kesehatan


3.1.1. Pola Konsumsi Keluarga
3.1.2. Kesehatan Reproduksi
3.1.3. Upaya Pemeliharaan Kesehatan Ibu dan Anak
3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sedat
3.3. Penyakit Menular
3.4. Penyakit Tidak Menular
3.5. Konsepsi Budaya Kesehatan
3.5.1. Pelayanan Kesehatan Modern
3.5.2. Pelayanan Kesehatan Tradisional
3.6. Perilaku Pencarian Pengobatan

113
113
114
117
118
125
130
135
136
137
141

BAB 4 BENTENG TRADISI KESEHATAN BUMI SERASAN


SEKATE

143

4.1.
4.2.
4.3.
4.4.

143
144
152
155

Budaya Hamil Suku Anak Dalam


Persalinan dan Nifas
Pola Pemeliharaan Kesehatan Anak
Pola Pemberian Air Susu Ibu

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

159

5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi

159
160

INDEKS
DAFTAR PUSTAKA

163
170

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Jumlah dan KepadatanPenduduk Kecamatan


Bayung Lencir 2012
Tabel 3.1. Klasifikasi Tekanan Darah pada Dewasa
menurut JNC VII

ix

48
133

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Peta Provinsi Sumatera Selatan


Gambar 1.2. Peta Kabupaten Musi Banyuasin
Gambar 2.1. Peta Kecamatan Bayung Lencir
Gambar 2.2. Speedboat, Transportasi Utama di Desa
Muara Bahar
Gambar 2.3. Kondisi Jalan menuju Lokasi Pemukiman Suku
Anak Dalam
Gambar 2.4. Perahu Ketek, Sarana Transportasi di Desa
Muara Bahar
Gambar 2.5. Hutan di Muara Bahar
Gambar 2.6. Perkebunan Kelapa Sawit
Gambar 2.7. Gedung SD di Desa Muara Bahar
Gambar 2.8. Pembangunan SD Baru Sebagai Sarana
Pendidikan
Gambar 2.9. Akses Jalan Hasil CSR
Gambar 2.10.Parabola Sebagai Sarana Komunikasi
Gambar 2.11. Peta Kabupaten Musi Banyuasin
Gambar 2.12. Peta Kecamatan Bayung Lencir
Gambar 2.13. Bentuk Rumah Panggung
Gambar 2.14. Rumah Panggung Memakai Batu Umpak
Gambar 2.15. Rumah Panggung Dengan Tiang Tancap di
Tanah
Gambar 2.16. Rumah Rakit di Desa Muara Bahar
Gambar 2.17. Bangunan Rumah Permanen
Gambar 2.18. Rumah Sampaeon
Gambar 2.19. Dukun Kubu Sedang Melakukan Upacara
Besale
Gambar 2.20. Upacara Besale Tujuh Sale
x

4
5
20
21
22
24
25
30
32
33
34
35
44
48
51
52
53
54
55
57
66
69

Gambar 2.21. Jerangau Bunglay dengan Gigi Ikan Tomang


Gambar 2.22. Gelang Tangkal Untuk Anak-anak
Gambar 2.23. Struktur Jabatan di Desa Muara Bahar
Gambar 2.24. Sekretaris Desa Muara Bahar
Gambar 2.25. Acara Basuh Tangan Dukun
Gambar 2.26. Upacara Pernikahan Adat Palembang
Gambar 2.27. Petani Karet di Desa Muara Bahar
Gambar 2.28. Perkebunan Sawit di Desa Muara Bahar
Gambar 3.1. Belanja Sayuran di Tukang Sayur
Gambar 3.2. Gendang Untuk Pengobatan Besale
Gambar 3.3. Pamflet PHBS di Puskesmas
Gambar 3.4. Jamban
Gambar 3.5. Jamban Diatas Sungai
Gambar 3.6. Merokok Dalam Rumah
Gambar 3.7. Merokok Sambil Momong Cucu
Gambar 3.8. Tuberkulosis di Puskesmas Bayung Lencir
Gambar 3.9. Penderita Tuberkulosis di Dusun Teluk
Beringin
Gambar 3.10. Obat Anti tuberkulosis
Gambar 3.11. Dukun bayi Keturunan Suku Anak Dalam
Gambar 3.12. Jimat Jerangau Bunglay Pada Tangan Bayi
Gambar 3.13. Kayu Pelusuh Hutan
Gambar 4.1. Lading Untuk Memotong Tali Pusat
Gambar 4.2. Upacara Lepas Tali Pusar
Gambar 4.3. Perlengkapan Basuh Tangan Dukun

xi

71
72
79
80
90
96
107
108
113
115
118
120
121
122
123
125
127
127
138
139
140
152
153
154

xii

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Semakin disadari bahwa budaya tidak bisa diabaikan
dalam mempengaruhi status kesehatan masyarakat, karena itu
riset tentang budaya kesehatan masyarakat dalam upaya
peningkatan status kesehatan di daearah tertentu sangatlah
penting untuk dilakukan. Harus disadari bahwa beraneka ragam
budaya yang ada di wilayah Indonesia memerlukan pemahaman
yang cermat dan mendalam pada setiap daerah dengan etnik
yang ada di wilayah tersebut. Dengan menggali kearifan lokal
akan dapat digunakan sebagai strategi intervensi dalam upaya
kesehatan.
Secara obyektif setiap kelompok masyarakat atau etnik
tertentu mempunyai persepsi tentang kesehatan menyangkut
konsep sehat sakit. Hal ini sangat ditentukan oleh kebudayaan
masyarakat yang bersangkutan. Setiap individu sebagai anggota
masyarakat
ketika
terganggu
kesehatannya
akan
mempersepsikan gejala penyakit berdasarkan apa yang dirasakan
dan menentukan sikap dalam upaya penyembuhan akan
gangguan kesehatan atau penyakit yang dirasakannya.
Pencarian pengobatan dengan self treatment maupun
mencari tenaga kesehatan merupakan upaya manusia mengatasi
permasalahan kesehatan dalam kelompok masyarakat atau etnik

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tertentu. Upaya tersebut menjadi ciri khas kehidupan


masyarakatnya dan telah menjadi tradisi secara turun temurun
sehingga berpotensi mempengaruhi kesehatan baik negatif
maupun positif. Faktor kepercayaan, pengetahuan, persepsi, nilai
dan konsepsi-konsepsi budaya yang berkaitan dengan penyakit
atau kesehatan akan mempengaruhi tindakan seseorang atau
sekelompok orang dalam upaya kesehatan. Hal demikian yang
menjadi masalah kesehatan dalam kelompok masyarakat atau
kehidupan etnik tertentu di suatu wilayah di Indonesia.
Pada Undang-Undang no 17 tahun 2007 disebutkan
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
tahun
20052025,
bahwa
pembangunan
kesehatan
diselenggarakan berdasar pemberdayaan dan kemandirian, adil
dan merata, serta pengutamaan dan manfaat pada ibu, bayi,
anak, manusia usia lanjut dan keluarga miskin (Departemen
Kesehatan, 2009).
Sasaran pembangunan Millenium atau Millenium
Development Goals (MDGs) adalah delapan tujuan yang
diupayakan untuk dicapai pada tahun 2015.Delapan tujuan ini
pula yang menjadi tantangan utama dalam pembangunan di
seluruh dunia. Indonesia bersama 189 negara lain dan komunitas
internasional pada tahun 2000 di New York telah mensepakati
deklarasi yang berisi komitmen untuk mencapai 8 buah sasaran
pembangunan dalam millenium ini, sebagai satu paket tujuan
terukur untuk membangun dan mengentaskan kemiskinan. Salah
satu sasaran adalah meningkatkan kesehatan ibu dengantarget
pada 2015 mengurangi 2/3 ratio kematian ibu dari proses
melahirkan (Bappenas, 2007).
Kesehatan ibu ditandai dengan indikator Angka Kematian
Ibu (AKI). Selama empat tahun terakhir, kondisi AKI di Indonesia
telah menurun secara signifikan menjadi 228 per 100 ribu
kelahiran hidup pada tahun 2007. Namun demikian, kematian ibu

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

di Indonesia masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan


beberapa negara anggota ASEAN. Keadaan ini menunjukkan
masih banyak hal yang harus diperbuat untuk dapat mengejar
sasaran MDGs menjadi 102 per 100 ribu kelahiran hidup pada
tahun 2015.
Status kesehatan masyarakat ditandai dengan berbagai
indikator antara lain angka kematian bayi (AKB), angka kematian
balita (AKBA) dan kematian neonatal (usia 028 hari), yang mana
selama empat tahun terakhir mengalami perlambatan
penurunan. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI,
2007) menunjukkan penurunan AKB dari 35 menjadi 34 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 2007. Angka ini masih jauh lebih
tinggi dari target AKB dalam MDGs pada tahun 2015 sebesar 23
per 1000 kelahiran hidup. AKBA juga mengalami penurunan dari
46 menjadi 44 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Angka
kematian neonatal menurun sedikit dari 20 menjadi 19 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 2007.
Angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi
jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN, yaitu
4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina
dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand. Menurut data dari
Direktorat Bina Kesehatan Ibu, rata rata 10% ibu di Indonesia
tidak pernah memeriksakan kandungan ke petugas kesehatan,
sebanyak 30% ibu di Indonesia tidak melahirkan di pelayanan
kesehatan seperti dokter atau bidan, melainkan lebih memilih
untuk melahirkan ke paraji atau dukun. Dalam pada itu
Departemen Kesehatan pada tahun 2005 2009
memprioritaskan pelayanan kesehatan ibu dan anak, sebagai
prioritas pertama dalam pembangunan kesehatan. Prioritas
berikutnya adalah pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin,
pendayagunaan tenaga kesehatan, penanggulangan penyakit

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menular, gizi buruk, krisis akibat bencana, peningkatan pelayanan


kesehatan.1
Data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi
sebesar 31,7%, Balita stunting 36,8% dan akses sanitasi 43%. Hal
ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak hanya pada
status kesehatan ibu dan anak saja, namun termasuk masalah
penyakit tidak menular, gizi dan perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS).

Gambar 1.1.
Peta Provinsi Sumatera Selatan
Sumber: Dinas Kesehatan Kab. Musi Banyuasin.

Seluruh kabupaten dan kota di Indonesia telah


diidentifikasi berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat (IPKM) yang disusun menggunakan 24 indikator
termasuk di dalamnya indikator kesehatan ibu dan anak,
penyakit tidak menular dan PHBS. Nilai IPKM tersebut
menggambarkan status kesehatan kabupaten dan kota.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, Kabupaten

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Musi Banyuasin menempati Rangking IPKM peringkat 384 dari


490 Kabupaten/Kota se-Indonesia.

Gambar 1.2.
Peta Kabupaten Musi Banyuasin
Sumber: Dinas Kesehatan Kab. Musi Banyuasin

Musi Banyuasin adalah salah satu kabupaten di pulau


Sumatera yang terletak di Provinsi Sumatera Selatan. Musi
Banyuasin, merupakan kabupaten yang dikenal sebagai penghasil
tanaman sawit dan tanaman karet. Ini terlihat dari sepanjang

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

perjalanan menuju Kota Sekayu yang merupakan ibukota


kabupaten Musi Banyuasin terhampar perkebunan kelapa sawit
dan karet. Untuk menuju Kota Sekayu dapat ditempuh melalui
jalanan darat dengan waktu kurang lebih 3 jam dari Palembang
sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, dengan jarak sekitar
200 km.
Penduduk Musi Banyuasin dihuni oleh berbagai etnik dan
menganut berbagai agama. Salah satu etnik yang ada di
Kabupaten Musi Banyuasin adalah Suku Anak Dalam. Hasil survei
Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservsi
(WARSI) tahun 2004, populasi terbesar terdapat di Kecamatan
Bayung Lencir, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup dan menetap
di sepanjang aliran anak sungai keempat yang lebih kecil dari
sungai tersier, seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin,
dan Sungai Bahar. Selain itu, ada juga yang hidup di wilayah
Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang
Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo. Mereka
berjumlah sekitar 1.200 orang.
Suku Anak Dalam atau dikenal pula sebagai suku terasing
dengan bahasa setempat orang kubu. Penampilan orang
kubu sangat sederhana, jauh dari sentuhan peradaban modern.
Suku anak dalam punya pola hidup yang unik. Mereka hidup
secara berkelompok dan mengandalkan hutan dan sungai
sebagai sumber kehidupan. Di mata Suku Anak Dalam, hutan
adalah segalanya, sumber kehidupan, tempat mereka berlindung
dan mencari makan.
Populasi Suku Anak Dalam di Kecamatan Bayung Lencir
yang masih cukup banyak terdapat di desa Muara Bahar. Berbeda
dengan Suku Anak Dalam umumnya, komunitas Suku Anak Dalam
di desa Muara Bahar, telah direlokasi, mendiami kawasan di luar
hutan. Relokasi ini merupakan bagian dari program pemerintah

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

daerah, agar mempermudah komunitas Suku Anak Dalam


tersentuh pembangunan.
Sejak mendiami desa Muara Bahar, pola hidup Suku Anak
Dalam berubah. Mereka tidak lagi hidup berpindah-pindah
seperti yang kerap dilakukan nenek moyangnya. Suku Anak
Dalam di wilayah ini jumlahnya mencapai 200 jiwa. Mereka telah
mengenal pakaian, televisi dan banyak yang menikah dengan
masyarakat luar seperti orang Sumatera, Jawa dan Bugis.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Musi
Banyuasin tahun 2012, Desa Muara Bahar memiliki angka Basil
Tahan Asam (BTA) positif Tuberkulosis tertinggi di Kabupaten
Musi Banyuasin. Selain bermasalah dengan Tuberkulosis, desa ini
juga mempunyai persentase persalinan oleh tenaga kesehatan
terendah di Kabupaten Musi Banyuasin (Dinas Kesehatan Musi
Banyuasin, 2012).
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang diderita
hampir sepertiga populasi manusia di dunia. Insidens
keterjangkitan tuberkulosis merupakan permasalahan kesehatan
dunia yang cukup serius. Situasi Tuberkulosis Paru di dunia
semakin memburuk dengan jumlah kasus yang terus meningkat
serta banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama negaranegara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah
Tuberkulosis Paru besar (high burden countries), sehingga pada
tahun 1993 WHO, sebagai organisasi kesehatan dunia
mencanangkan Tuberkulosis Paru sebagai salah satu kedaruratan
dunia (global emergency). Laporan WHO tahun 2004 menyatakan
bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberculosis dan menurut
regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara
yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2002).

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Di Indonesia, hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga(SKRT)


1995 menunjukkan bahwa TB adalah penyebab kematian (9,4%
dari total kematian) nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler
dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia. TB
juga merupakan penyebab kematian nomor satu dari golongan
penyakit infeksi di Indonesia. Penyakit TB sudah banyak
menjangkiti anak-anak. Hasil dari Survei Prevalensi Tuberkulosis
20044 ditemukan sebesar 33% dengan jumlah 589 kasus terjadi
pada anak-anak. Diperkirakan 170.000 anak di dunia meninggal
pertahun karena TB (Prapti I.Y, 2003).
Tuberkulosis Paru juga merupakan salah satu emerging
diseases. Indonesia termasuk kedalam kelompok high burden
countries, menempati urutan ketiga setelah India dan China
berdasarkan laporan WHO tahun 2009. Data WHO Global Report
yang dicantumkan pada Laporan Triwulan Sub Direktorat
Penyakit TB dari Direktorat Jenderal P2&PL tahun 2010
menyebuntukan estimasi kasus baru TB di Indonesia tahun 2006
adalah 275 kasus per 100.000 penduduk/tahun dan pada tahun
2010 turun menjadi 244 kasus/100.000 penduduk/tahun. Subdit
TB P2PL sejauh ini sudah menerbitkan treatment guideline. Pada
Riskesdas 2007 kasus Tuberkulosis Paru ditemukan merata di
seluruh provinsi di Indonesia dan pada Riskesdas 2010 Periode
Prevalence Tuberkulosis Paru Nasional adalah 725 per 100.000
penduduk (Riskesdas, 2010).
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon
seseorang (organism) terhadap stimulus yang berkaitan dengan
sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta
lingkungan. Perubahan-perubahan perilaku kesehatan dalam diri
seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Persepsi adalah
pengalaman yang dihasilkan melalui panca indera. Dalam aspek
biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme
atau makhluk yang bersangkutan (Simons-Morton et al.,1995).

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

PHBS adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas


kesadaran, sehingga keluarga beserta semua yang ada di
dalamnya dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan
dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di
masyarakat.
Berpijak pada kerangka pemikiran tersebut, penelitian ini
bertujuan untuk memahami kehidupan warga etnik Suku Anak
Dalam di Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan
dengan harapan dapat diperolehnya masukan-masukan berupa
pola perilaku yang merupakan kendala dan simultan terhadap
derajat kesehatan dalam rangka program peningkatan pelayanan
kesehatan dan penerapan, yang sesuai atau tidak bertentangan
dengan etos kebudayaan warga Suku Anak Dalam yang
bersangkutan.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitan ini adalah mendapat
gambaran secara holistik aspek sejarah, geografi dan sosial
budaya terkait masalah kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu
dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular
(PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada Suku Anak
Dalam di Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah
mengidentifikasi secara mendalam unsur-unsur budaya yang
mempengaruhi kesehatan di masyarakat, mengidentifikasi peran
dan fungsi sosial masyarakat yang berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan terkait dengan pelayanan kesehatan.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

1.3. Metode Penelitian


Pemilihan lokasi penelitian berawal dari peneliti pusat
melakukan koordinasi dan diskusi dengan peneliti daerah dan
penanggung jawab korwil kemudian dicocokkan dengan data
sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Musi
Banyuasin. Dari hasil diskusi dan penelusuran informasi yang
dilakukan pada saat persiapan lapangan akhirnya disepakati
lokasi penelitian adalah: Desa Muara Bahar Kecamatan Bayung
Lencir. Pemilihan lokasi tersebut dipilih dengan justifikasi sebagai
berikut:
1) daerah tersebut memiliki angka BTA (+) Tuberkulosis
tertinggi di Kabupaten Musi Banyuasin,
2) daerah tersebut memiliki persentase Persalinan oleh Nakes
terendah di Kabupaten Musi Banyuasin,
3) populasi suku anak dalam masih cukup banyak dan
mengalami gangguan kesehatan karena ditemukan
penderita tuberculosis dan malaria.
1.4. Pertimbangan Dalam Menetukan Lokasi Penelitian
Pertimbangan dalam pemilihan Desa Muara Bahar sebagai
lokasi penelitian adalah akses ke desa tersebut relatif jauh dan
sulit sehingga diasumsikan budaya masyarakatnya tidak banyak
dipengaruhi budaya luar dari maysrakat lain. Untuk mencapai
desa Muara Bahar harus ditempuh dengan menyusuri sungai
menggunakan speedboat selama 45 menit atau menggunakan
perahu ketek selama kurang lebih 1,5 jam. Selain jalan sungai,
untuk menempuh desa tersebut dapat ditempuh melalui darat,
hanya jarak tempuhnya sangat jauh dengan kondisi jalan berupa
tanah jika musim hujan becek, banyak lubang yang digenangi air.

10

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

1.5. Desain dan Jenis Penelitian


Secara konseptual penelitian ini adalah penelitian
kualitatif non intervensi. Riset ini didesain sebagai riset khusus
kesehatan nasional dengan desain eksploratif dengan metode
etnografi. Dalam metode etnografi, peneliti langsung terjun ke
lapangan mencari data melalui informan (Ratna, Kutha N, 2010).
Etnografi adalah sebuah metode penelitian yang bermanfaat
dalam menemukan pengetahuan yang tersembunyi dalam suatu
budaya dan komunitas (Emzir, 2011).
Spradley (1997), menyebuntukan lima manfaat etnografi
dalam memahami rumpun manusia, yaitu:
1) memberikan informasi tentang adanya teori-teori ikatan
budaya (culture-bound), sekaligus mengoreksi teori sosial
Barat,
2) menemukan teori grounded, sekaligus mengoreksi teori
formal,
3) memahami masyarakat kecil (non-Barat), sekaligus
masyarakat kompleks (Barat),
4) memahami perilaku manusia sebagai perilaku yang
bermakna, sekaligus perbedaannya dengan perilaku
binatang, dan
5) yang terpenting adalah untuk memahami manusia
sekaligus kebutuhan-kebutuhannya.
Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam
terhadap informan kunci. Dengan menggunakan pedoman,
wawancara mendalam dilakukan kepada Dinas Kesehatan,
Puskesmas, Kepala desa, aparat desa, tokoh masyarakat, tokoh
adat, bidan, perawat, dukun kampung, ibu hamil, ibu nifas, ibu
menyusui, ibu balita, pasangan suami istri usia subur, remaja dan
keluarganya. Wawancara terhadap responden dilakukan dengan

11

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

kunjungan langsung ke rumah responden. Untuk mendukung


hasil wawancara dilakukan observasi partisipatif dan penelusuran
data sekunder. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen
desa Muara Bahar, Puskesmas Kecamatan Bayung Lencir, Kantor
Kecamatan Bayung Lencir dan Dinas Kesehatan kabupaten Musi
Banyuasin.
Dalam metode penelitian etnografi, instrumen penelitian
adalah peneliti itu sendiri. Peneliti melakukan observasi
partisipasi, yaitu tinggal dan hidup bersama masyarakat untuk
menggali informasi dan mengamati obyek yang ingin diketahui
terkait dengan kesehatan ibu dan anak, penyakit menular,
penyakit tidak menular dan perilaku hidup bersih dan sehat.
Meskipun peneliti sebagai instrumen penelitian, namun peneliti
juga membutuhkan instrumen pendukung untuk mencari data,
meliputi:
1) Pedoman
wawancaramendalam
sebagai
petunjuk
wawancara agar informasi yang diinginkan tercapai dan
terfokus. Wawancara mendalam dilakukan kepada
informan kunci, yaitu pelaku budaya atau informan yang
mengetahui tentang budaya Kesehatan Ibu dan Anak,
penyakit menular, penyakit tidak menular dan PHBS di Desa
Muara Bahar;
2) Buku catatan harian yang digunakan peneliti untuk
mencatat setiap kejadian yang dialami peneliti setiap
harinya. Hal ini digunakan untuk menangkap peristiwa yang
tak terduga;
3) Dokumen yang terkait dengan tempat penelitian dan
kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak
menular dan PHBS yang didapat dari hasil penelusuran
dokumen dan tinjuan pustaka;
4) Kamera foto, video dan alat perekam suara.

12

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan beberapa


cara. Pada pertemuan pertama dengan calon informan, peneliti
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian, dan bila calon
informan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian, calon
informan diminta untuk menandatangani surat pernyataan
bersedia ikut serta (informed consent). Wawancara medalam
dilakukan pada tempat yang tidak mengganggu kenyamanan
responden dan menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan
oleh setiap responden. Wawancara dilakukan di rumah
responden bila responden mengijinkan.
Observasi dilakukan pada lokasi yang telah ditentukan
berdasar masukan dari informan utama. Kegiatan harian dari
individu, keluarga dan masyarakat yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian merupakan objek observasi. Selain
wawancara dan observasi partisipasi, peneliti juga melakukan
penelusuran data sekunder, referensi dan pustaka yang berkaitan
dengan substansi penelitian.
Data hasil wawancara dan observasi diolah dengan
cara mendeskripsikan rekaman data, menyusun transkrip,
melakukan pengkodean danmemasukkan kedalam matriks
esensial untuk selanjutnya dilakukan analisis content. Setelah
dilakukan verifikasi,data kemudian disajikan dalam bentuk
narasi, kuotasi dan tabel. Semua itu dilakukan untuk
membantu pembaca memasuki situasi dan pemikiran
responden secara langsung dan mengkaitkan interpretasi dari
peneliti serta menghubungkannya dengan teori atau hasil
penelitian orang lain yang bisa mendukung (Moleong, 2001).
Terdapat beberapa teknik yang disampaikan untuk
mencapai kredibilitas, yaitu teknik triangulasi sumber,
pengecekan data antar anggota, perpanjangan kehadiran
peneliti, diskusi teman sesama tim, pengamatan secara terus
menerus dan pengecekan referensi. Kredibilitas data perlu

13

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dilakukan untuk membuktikan bahwa data yang dikumpulkan


sesuai dengan dunia nyata dan yang terjadi sebenarnya.
Triangulasi merupakan proses penguatan bukti dari
individu-individu dan jenis data yang berbeda seperti catatan
lapangan, hasil observasi, wawancara dan penelusuran
dokumen. Peneliti menguji setiap sumber informasi dan
bukti-bukti temuan untuk mendukung sebuah tema. Hal ini
untuk menjamin bahwa studi akan menjadi akurat karena
informasi berasal dari berbagai informasi, individu atau
proses (Emzir, 2011).
Pengecekan antar anggota peneliti dilakukan dengan
cara menunjukkan data atau informasi, termasuk hasil
interpretasi peneliti yang sudah ditulis dengan rapi dalam
bentuk catatan lapangan atau transkrip hasil wawancara. Hal
tersebut dilakukan agar dapat dikomentari setuju atau tidak
setuju dan bisa ditambah informasi lain jika dianggap perlu.
Perpanjangan kehadiran peneliti di lokasi penelitian dapat
menguji kebenaran informasi yang diperoleh secara distorsi
baik berasal dari peneliti sendiri maupun dari subyek
penelitian yang tidak disengaja. Perpanjangan kehadiran
peneliti dapat membangun kepercayaan informan kepada
peneliti, sehingga antara peneliti dan informan kunci tercipta
hubungan keakraban yang baik dan memudahkan subyek
penelitan mengungkapkan sesuatu secara transparan.
Triangulasi yang berbentuk diskusi antar teman
sejawat, dilakukan dengan tujuan agar peneliti tetap
mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran sekaligus
memberikan kesempatan awal bagi orang lain untuk mulai
menjajaki dan menguji hipotesis yang muncul dari pemikiran
peneliti. Pengamatan terus menerus dari peneliti dapat
membuat peneliti memperhatikan sesuatu secara lebih
cermat, terinci dan mendalam. Dengan sendirinya peneliti

14

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

dapat membedakan hal yang bermakna untuk memahami


faktor sosial budaya.
Bahan referensi digunakan untuk memperkuat hasil
analisis dari informasi yang dihasilkan, dapat juga digunakan
peneliti sebagai patokan untuk menguji data saat analisis dan
penafsiran data.

15

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

16

BAB 2
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

2.1. Legenda Suku Anak Dalam


Ketika melakukan penjajahan di Indonesia, Belanda
mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia. Rakyat di wilayah
Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau lainnya,
sama-sama melakukan perlawanan. Di wilayah Sumatera,
khususnya di bagian Selatan, beberapa puluh tahun masyarakat
mengadakan perlawanan terhadap agresi Belanda, walaupun
akhirnya harus mengundurkan diri dan lari masuk ke hutan rimba
belantara. Salah satu hutan tempat pelarian masyarakat adalah
wilayah Rawas dan Sarolangun. Hingga kini daerah tersebut
masih berupa hutan dan merupakan perbatasan antara Provinsi
Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan.
Salah satu kelompok masyarakat yang mundur ketika
menghadapi pasukan Belanda, dipimpin oleh seorang panglima
yang oleh pihak Belanda dikenal sebagai Panglima Bambu Kuning.
Pihak Belanda menyebut demikian karena setiap mendapat
perlawanan, senjata yang digunakan kelompok masyarakat
tersebut adalah anak panah dan tombak yang dibuat dari bambu
kuning. Pihak Belanda juga percaya bahwa panglima tersebut
memiliki kesaktian, sebab ketika kelompok tersebut diserang,
Sang Panglima dapat melepaskan anak panah dan tombak secara
terus menerus. Walaupun puluhan tahun pasukan Belanda terus

17

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menggempur, namun pasukan di bawah pimpinan Panglima


Bambu Kuning tidak dapat mereka musnahkan.
Daerah Rawas dan Sarolangun merupakan wilayah yang
dijadikan pertahanan untuk melawan Belanda. Pihak Belanda
menggunakan sistem memecah belah agar masyarakat yang
telah dijajah turut membenci Panglima Bambu Kuning serta
pengikutnya. Belanda menjelaskan kepada penduduk bahwa
orang-orang di bawah pimpinan Panglima Bambu Kuning adalah
kelompok penjahat sehingga setiap penduduk harus memusuhi
mereka. Namun, hutan belantara di daerah Rawas dan
Sarolangun merupakan pertahanan yang tidak dapat dijamah
Belanda. Pihak Belanda kemudian menamakan kelompok
perlawanan yang bertahan di kedua wilayah tersebut sebagai
Orang Kubu. Kubu artinya pertahanan. Oleh karena itu, untuk
mencegah makin menguatnya Orang Kubu pihak Belanda
mengeluarkan peraturan, siapa saja yang berhubungan dengan
orang kubu akan ditangkap dan ditembak mati.
Pasukan Belanda terus berupaya membasmi kelompok
masyarakat yang melakukan perlawanan dengan cara mengejar
hingga ke tengah hutan, namun tidak dapat menemukan seluruh
pengikut Panglima bambu kuning yang berlindung di hutan
belantara. Keteguhan dan semangat juang dari seluruh pengikut
panglima, membuat mereka rela hidup berpindah pindah dan
makan apa saja yang bisa diperoleh di hutan. Akhirnya pengikut
panglima tersebut menjadi penghuni hutan belantara di daerah
Rawas dan Sarolangun.
Ketika tahu bahwa Belanda akan mengadakan serangan
besar-besaran untuk memusnahkan orang kubu, para wanita dan
anak-anak serta pria yang sudah tua mencari tempat berlindung
yang aman dari serangan Balanda. Dengan dikawal oleh sebagian
anggota pasukan, mereka pergi lebih jauh ke dalam hutan

18

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

belantara. Sebagian anggota pasukan lainnya ikut berperang


menghadapi pasukan Belanda.
Menjelang datangnya serangan Belanda, diceritakan
bahwa Panglima Bambu Kuning tidak ingin berpisah dari
masyarakatnya. Karenanya, dia berjanji menghadapi serangan
pasukan Belanda sekuat tenaga. Bila pada saat peperangan, dia
dan pasukannya tidak dapat bertahan, maka pengikutnya akan
terlihat asap mengepul dari puncak bukit itu. Sang Panglima
kemudian akan menjelma menjadi burung elang dengan bulu
berwarna coklat. Dada burung elang itu berbelang dua, coklat
dan putih. Elang sebagai jelmaan Panglima akan berusaha
membimbing dan memberitahu kemana pengikutnya harus pergi
agar tidak ditangkap belanda.
Menjelang senja, pasukan yang bertahan di lereng bukit
melihat asap mengepul dari puncak bukit. Tahulah mereka
bahwa pimpinan mereka kalah. Tiba tiba, di angkasa muncul
seekor burung elang dengan perut berbelang putih. Pasukan yang
masih hidup mengundurkan diri mengikuti arah burung elang itu
terbang. Mereka kemudian bergabung dengan kelompok yang
telah mencari perlindungan lebih dahulu. Setelah mereka
berkumpul, burung elang itu senantiasa terbang di atas mereka.
Burung itu terbang ke daerah hutan yang lebih tua. Mereka
berada di hutan mengikuti arahnya. Belanda terus mengejar,
namun tidak dapat menemukan pengikut Panglima yang
berlindung di hutan belantara. Selama bertahun tahun pengikut
panglima menjadi penghuni hutan belantara daerah Rawas dan
Sarolangun. Mereka beranak cucu dan hidup berkelompok
kelompok serta berpindah pindah.
Karena keadaan tersebut, sangat memungkinkan bila saat
ini Orang Kubu terdiri sedikitnya 2 kelompok besar yang tinggal di
daerah hulu Sungai Batanghari, Batang Tembesi dan Batang
Merangin. Walaupun peradaban mereka mirip, juga ada ciri-ciri

19

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

yang berbeda. Suku Kubu yang tinggal sebelah Timur batang


Tembesi dan sebelah Utara Batanghari dikenal sebagai suku Kubu
atau lebih cocok disebut orang suku anak dalam. Menurut
sejarah lisan asal usul mereka berbeda dari masyarakat
tradisional yang tinggal sebelah Barat Sungai Tembesi dan Barat
Sungai Batanghari sebelum gabung dengan Batang Hari.
Keturunan orang Batin Sembilan mungkin berasal dari Melayu
yang pada waktu lampau bercampur dengan perantau lain,
seperti orang dari semenanjung Malaka dan Jawa. (Johan
Weintre, 24-26)
2.2. Sejarah dan Perkembangan Desa

Gambar 2.1.
Peta Kecamatan Bayung Lencir
Sumber : Kecamatan Bayung Lencir

Musi Banyuasin adalah sebuah kabupaten di Sumatera


Selatan dengan ibukota Sekayu. Nama Musi berasal dari nama

20

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

sungai yang terbesar di Sumatera bahkan di Indonesia dan


merupakan kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan. Sungai
Musi mengalir di sebagian besar wilayah kabupaten Musi
Banyuasin.
Salah satu kecamatan di Musi Banyuasin adalah
Kecamatan Bayung Lencir yang menjadi tempat bermukimnya
Suku Anak Dalam. Kecamatan Bayung Lencir berbatasan langsung
dengan Provinsi Jambi. Menurut Sekretaris Kecamatan Bayung
Lencir, M. Aswin, nama Bayung Lencir diambil dari nama sungai
yang ada di wilayah itu, yaitu sungai Bayung.

Gambar 2.2.
Speedboat, Transportasi Utama di Desa Muara Bahar
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Dengan menelusuri sungai selama satu sampai dua jam,


akan dicapai desa Muara Bahar yang menjadi lokasi dari
penelitian ini. Desa Muara Bahar secara administrasi dan geografi
terletak di kecamatan Bayung lencir. Jarak dari Kota Kecamatan
Bayung Lencir sekitar 6 kilometer. Kondisi di wilyah Desa Muara
21

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

bahar merupakan daerah aliran sungai. Untuk datang dan pergi


ke desa tersebutpenduduk setempat biasa memanfaatkan jalan
sungai.
Di kota kecamatan Bayung lencir ada fasilitas pelabuhan
rakyat berdekatan dengan pasar lama. Beberapa speed atau
ketek desa yang mempunyai kecepatan memadai dibanding ketek
biasa. hanya untuk menuju ke desa Muara bahar relatif lebih
mahal dibanding perahu ketek biasa. Waktu tempuh ketika
menyusuri sungai, tergantung situasi apakah air sedang pasang
atau lagi surut.

Gambar 2.3.
Kondisi Jalan Menuju Lokasi Pemukiman Suku Anak Dalam
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Alternatif lain untuk menuju Desa Muara Bahar lewat


darat. Jika melalui jalan darat, dari kecamatan Bayung lencir
berjarak tempuh sekitar 30 kilometer ke arah wilayah Provinsi
Jambi. Tidak ada angkutan umum menuju ke Desa Muara Bahar.

22

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Kendaraan yang melintas hanyalah kendaraan pribadi dan truk


yang memuat hasil kelapa sawit atau karet. Keadaan jalan yang
ada masih berupa tanah belum diaspal. Jika musim hujan, jalan
menjadi berlumpur dan susah untuk dilalui.
Salah satu wilayah desa Muara Baharadalah Dusun Teluk
Beringin, yang menjadi fokus penelitian selama 60 hari. Tim
peneliti tinggal untuk melaksanakan kegiatan pengumpulan data
kaitannya dengan masalah kesehatan dengan pendekatan
etnografi. Sebagaimana diinformasikan oleh Kepala TU
Puskesmas Bayung Lencir bahwa masih banyak keturunan Suku
Anak Dalam yang tinggal dan hidup di Dusun Teluk Beringin.Pola
hidup mereka masih tradisional dan kurang bersahabat dengan
tenaga kesehatan.Untuk masuk ke dusunTeluk Beringin, jalan
terdekat melalui desa Muara Bahar ditempuh lewat
sungaidengan menggunakan perahu ketek sebagai sarana
transportasi.

Gambar 2.4.
Perahu Ketek, Sarana Transportasi Di Desa Muara Bahar
Sumber : Dokumentasi Peneliti

23

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Mengenai asal usul nama desa, nampaknya tidak jauh


berbeda dengan nama Kabupaten dan Kecamatannya. Semua
berhubungan dengan sungai. Mengenai asal usul nama Muara
Bahar menurut Pak Kohar selaku Sekretaris Desa Muara
Baharyang dipilih sebagai informan dalam penelitian ini,
mengemukakan :
kalo awal namonyo Muara Bahar ini dari namo
sungai, muaro sungai yang di simpang 3 itu, iyya, yang
nurut cerito dulu itu, di tengah-tengah sungai itu ada
tumbuh pohon bahar, jenis akar bahar, yang dari bahar
itu banyak dipakai hiasan, dibuat gelang dibuat kalung,
yaa di situ di sepanjang sungai ada akar bahar, dulu
banyak tapi sekarang sudah jarang, nyari akar bahar itu
sudah gak ada lagi, jadi disitu yang awal mulanyo
Muara Bahar, kalo sejarah lengkapnya gitu Bu.

Tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan Pak Kohar,


Pak Herman Said selaku Kepala Desa Muara Bahar juga bercerita
tentang asal mula desa sebagai berikut.
kalo Muara Bahar itu bu, diambik dari simpang tigo,
haa itulah yang diambik dari kata Muara iyyo dari
bahasonyo, itu asal kato Muara, kalo asal kata Bahar itu
dari Suku Anak Dalam, Bahar itu apo yoo,
sejenissejenis kayu, akar kayu itu, di Muara Bahar dulu
banyak kayu ato akar kayu bahar, naah disano kan
banyak tuu, tahun berapo itu, tahun 50 an, itu masih
banyak disano, di Muaro itu bayak ado akar kayu
bahar

Nama Muara Bahar, berdasarkan cerita tokoh masyarakat


diambil dari sungai yang melintasi desa tersebut dan kayu bahar
yang banyak tumbuh disepanjang sungai. Kayu bahar adalah
sejenis kayu atau akar-akaran yang banyak dipakai sebagai
hiasan, baik berupa kalung ataupun gelang. Karena keunikannya,

24

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

pada waktu itu kayu bahar banyak diberi jampi-jampi oleh para
dukun kampung untuk tujuan tertentu. Begitulah keadaan yang
ada pada sekitar tahun 1950-an sampai tahun 2000-an.
Penduduk Dusun Teluk Beringin sebagian besar bekerja
sebagai petani. Mereka yang mempunyai kebun kelapa sawit dan
karet, akan mengolah kebunnya. Bagi yang tidak punya kebun
sendiri, tidak sedikit yang bekerja sebagai buruh perkebunan
kelapa sawit yang kepemilikannya didominasi para pemegang
modal, baik perseorangan maupun berbentuk badan hukum
seperti Perseroan Terbatas (PT) milik swasta atau pemerintah.
Sebagian lainnya, bekerja di sektor lain seperti menjadi aparat
pemerintah, pedagang, nelayan dan jasa transportasi.
Sebelum masuk program Pemerintah, penduduk hanya
mengandalkan hasil hutan. Untuk bisa hidup, mereka tinggal
memetik dan menikmati apa saja yang ada di sekitarnya. Hutan
dan sungai merupakan nadi bagi kehidupan mereka. Hutan
tempat mereka bertempat hidup dan bergantung mencari apa
yang diperlukan di kehidupan sehari harinya, apakah itu
membuat rumah, makanan dengan buah buahan yang disediakan
di hutan dan ikan yang sudah tersedia di sungai.
Tetapi karena perubahan yang ada, pola hidup mereka
juga berubah. Pohon-pohon yang tumbuh subur di hutan tempat
mereka telah banyak dipotong. Penebangan pohon tersebut
banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pemukiman
penduduk yang jumlahnya semakin bertambah juga untuk
pembukaan lahan sebagai perkebunan. Ada yang memang dibuka
oleh pemerintah untuk transmigrasi, relokasi masyarakat
terasing, pemekaran karena jumlah penduduk yang semakin
meningkat juga.

25

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2.5.
Hutan di Muara Bahar
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Berdasarkan informasi dari Sekretaris Desa Muara Bahar,


sebelum ada program Pemerintah untuk memperbaiki kehidupan
masyarakat terasing, orang-orang Suku Anak Dalam banyak yang
hidup di hutan. Berikut penuturannya.
...Suku Anak Dalam yang merupakan suku terasing
yang banyak hidup di hutan-hutan di sekitar perbatasan
sumatera Selatan dengan Jambi, terutama yang di
Kecamatan Bayung Lencir, kecamatan yang berbatasan
langsung dengan Provinsi Jambi, karena jarak untuk ke
ibu kota Jambi jauh lebih dekat dibanding ke ibukota
Provinsi Sumatera Selatan.

Dengan tujuan memperbaiki taraf kehidupan masyarakat


terasing, pemerintah pusat pada tahun 1974 membuat relokasi
masyarakat terasing. Salah satu yang dilakukan adalah relokasi
kepada Suku Anak Dalam yang saat ini ada di kecamatan Bayung
Lencir dan di daerah Sarolangun, Jambi. Mereka terkena program
relokasi karena mereka hidup nomaden berpindah-pindah

26

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

tempat sesuai dengan keinginan dan kebutuhan hidupnya.


Selama itu, mereka hidup di hutan-hutan dan berada di pinggiran
sungai serta memanfaatkan hasil hutan dan sungai untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan tersebut dianggap
tidak layak oleh pemerintah dan dinilai perlu untuk diperbaiki
agar sama dengan masyarakat pada umumnya.
Suku Anak Dalam yang terbiasa hidup bebas dan bisa
dengan mudah mendapatkan bahan pangan dari lingkungan alam
sekitar, tidak bisa beradaptasi dengan cara hidup yang diskenario
pemerintah. Mereka sangat bergantung kepada hasil hutan dan
sungai sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Akibatnya, tentu saja program relokasi masyarakat terasing
kurang berhasil, kalau tidak mau dibilang gagal. Kehidupan orangorang Suku Anak Dalam menjadi terganggu ketika hutan sebagai
tempat mereka hidup telah banyak ditebang untuk memenuhi
kebutuhan kayu dan pembukaan lahan transmigrasi penduduk
dari Jawa.
Kebiasaan hidup yang mudah untuk mendapatkan segala
kebutuhan ketika berada di hutan, membuat masyarakat suku
terasing merasa kurang sesuai dengan pola hidup baru yang
ditawarkan pemerintah. Masyarakat suku terasing tidak biasa
tinggal dan menetap di perumahan yang disediakan pemerintah.
Mereka juga tidak biasa memenuhi kebutuhan makanan dari pola
bercocok tanam secara menetap di ladang atau kebun. Hidup
bebas dengan cara berpindah-pindah, inilah yang menyebabkan
Suku Anak Dalam merasa terkungkung untuk bisa dapat hidup
seperti yang direncanakan oleh pemerintah. Mereka hanya betah
selama beberapa bulan, kemudian rumah dan lahan yang telah
disediakan ditinggalkan begitu saja. Tetapi ada juga keturunan
dari Suku Anak Dalam yang menetap di DusunTeluk beringin,
seperti yang diungkapkan Pak Kohar, sekdes Muara Bahar,
sebagai berikut :

27

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

itu direlokasi di Teluk Beringin itu kan awalnya di


simpang itu, ada kampong dibuat pemukiman oleh
Dinsos, memang ditaruh disitu, apa namonyo dulu,
PKMT, Pemukiman Masyarakat Suku Terasing, ditaruh
disitu, nah di Teluk Beringin tu ada perusahaan yang
ngelola kayu, kan banyak pake rel, pake mobil, yang
pekerjanya ini adalah masyarakat suku terasing, jadi
daripada jauh-jauh pake sungai, dibikinlah mereka
pondok.

Informasi tentang cikal bakal kampong Teluk Beringin


tumbuh, berkembang dan mengapa diberi nama Teluk Beringin
ada sejarahnya. Nama Teluk Beringin menurut nenek Halimah,
anak dari Bapak Robbain dijadikan sebagai nama dusun tersebut
karena.
dulu ado kayu beringin di depan rumah sekolah,
sekarang sudah dirubuh. Yang buat namo Bapak aku.
Waktu dulu belum banyak orangnya, baru keluargakeluarga saja sekitar 14 keluarga... anak bapak aku...
Dulu masih hutan jaman dulu belum ado rumah kami
dulu bekayu, kayu balok... yang buat dusun Teluk
Beringin ini dulu Bapak aku

Informasi tentang pembangunan perumahan penduduk


sebagai program relokasi masyarakat terasing juga diungkapkan
nenek Halimah, dukun kampong di dusun Teluk Beringin yang
merupakan turunan Suku Anak Dalam dan dikuatkan kebenarannya oleh kakek Nawawi, seorang dukun kubu yang juga saudara
kandung Bapak Robbain, sebagai berikut.
iyo dulu kan masih saro, wongnyo dak banyak. Tahun
1974 pembangunn dari sosial. Dibangun perumahan
sosial di Muara Kandang. Dulu kami tinggal di sano,
setelah rumahnyo uruk kami pindah kesini. Kareno di

28

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Muara Kandang sering banjir masuk rumah. Bapak


akulah bikin kampung ini Bapak Robbain
sekitar tahun 73 bu oleh Dinas Sosial di bangun 87
rumah yang dipimpin lah oleh kakak saya

Kegagalan pembangunan perumahan di Muara Kandang


yang kemudian mengakibatkan penduduknya pindah ke kampong
Teluk Beringan dikatakan Jai Abunawar dan Nyai Abunaya
sebagai berikut.
ya emang dulu dusun memang pedusunan tapi dulu di
landa oleh penyakit dak tahu penyakit apo cacar jadi
orang yang itu habis semua meninggal, jadi yang masih
selamat balek ke Jambi situ, na jadi ini tadi dibangun lagi
oleh PT ni kan jalan PT be balok dulu tahun 73 itu, PT
nusa la kita dari Palembang jadi yang ado di hutan ni di
kumpul ni kan jalan ibu Dokter Ikhsan jadi lapangan ni di
banguni perumahan jadi yang ado di hutan ni dikumpul
di dusun sini galo na itu lah, yang pimpin bapak saya
nenek nya si pit, jadi kami nah itu lah yang pimpin na
sekarang ibaratnyo masih kayu sudah rubuh tinggal
anak anak nilah jadi beguyur, tinggal mertuo nilah masih
hidup jadi kami yang tuo nggak ado lagi di satu tuh lah
lagi

Keluarga Bapak Robbain dan beberapa keluarga lainnya


semula direlokasi di desa Muara Kandang. Karena ada wabah
seperti cerita Jai Abunawar, kemudian mereka pindah dan
menetap di dusun Teluk Beringin. Mereka menetap hingga
berketurunan sampai sekarang, sebagaimana diceritakan nenek
Halimah dan dibenarkan pula oleh kakek Nawawi.
karena kita semua berkeluarga bukan wong lain. ado
wong datangan dari Jawo, tapi karena dio lah
besangkutan dengan kito lah jadi keluarga juga. Nambah
keluarga kito

29

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

soalnyo buk, seluruh yang ado di Teluk Beringin ni


masih keturunan suku anak dalam ado beberapa orang
yang bukan

Kemauan Orang Kubuuntuk direlokasi dan kemauan untuk


berinteraksi dengan pendatang menunjukkan bahwa keluarga
tersebut telah membuka diri terhadap perubahan-perubahan
yang ada. Program pembangunan telah memaksa mereka hidup
bukan hanya bergantung pada hutan dan sungai. Dari pola
berburu dan menangkap ikan, menebang kayu dan rotan di
hutan, beralih ke bertani karet dan sawit.

Gambar 2.6.
PerkebunanKelapa Sawit Di Desa Muara Bahar
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Secara langsung ataupun tidak langsung perubahan ini


berdampak cukup banyak pada pola menetap dan kehidupan
sehari hari mereka, seperti pada perekonomian mereka sehari
hari yang diungkapkan oleh Pak Herman, kades Muara Bahar dan
seperti juga kata Pak Kohar, sekdes Muara Bahar.

30

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

yaa jauh laa bu kayaknyo untuk ekonomi


masyarakat itu sudah stabil, karena kebanyakan
masyarakat sudah punya kebun sawit, apa juga
karet
awalnya tahun 2004 dio Cuma buka 50 hektar milik
pribadi, belom jadi PT, seteloh itu, beli beli beli, tanah
warga, tanah yang terlantar Bu, di pinggir sungai ini dulu
kan banyak rawa Bu, sama warga banyak dijual ke PT
Mas, warga sini ato warga Sukajaya, Mekarjaya,
Senawar, yang berbatasan dengan Jambi, iyya yaa
karena deso kito tempatnyo lah di pinggir

Telah terjadi pergeseran pola hidup pada masyarakat dari


menetap di sekitar sungai dan di hutan berubah bertempat
tinggal di perkebunan kelapa sawit dan karet. Oleh karena itu
dengan adanya perkebunan kelapa sawit dan karet menjadi
sandaran hidup mereka. Lahan dan apa yang mereka miliki yang
tadinya mereka tinggal ambil apa saja yang tersedia di hutan,
sekarang kebanyakan sudah berpindah tangan ke orang lain
bukan penduduk asli, sehingga sekarang mereka harus rela
sebagai pekerja di perkebunan-perkebunan yang mengelilingi
desa mereka. Kalaupun ada yang punya modal untuk berkebun
dengan tanah mereka sendiri, itu adalah hasil warisan dari kakek
nenek mereka, jumlahnya pun tidaklah seluas pemilik modal atau
tokeh yang kebanyakan bukan penghuni Desa Muara Bahar.
Perkembangan dengan banyaknya pembukaan lahan
perkebunan sangat berpengaruh kepada masyarakat desa Muara
Bahar, seperti apa yang dijelaskan Pak Kohar:
banyaklah perkembangannyo, sebelom kito yang
jelas sebelom kito sebelom tahun 2004 itu kan belom
ada perusahaan, terutama itu, untuk pembangunan
hanya mengandalkan pembanguan itu hanya dari
bantuan pemerintah, belom ada perusahaan, kito juga

31

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

belom buat peraturan desa tapi setelah 2008 itu


sudah ado perusahaan yang masuk, PT Mas yang di
Patin

Masuknya perusahaan nampaknya telah memberikan


inspirasi bagi penduduk Desa Muara Bahar untuk berubah. Ada
yang memulai hidup baru dari hasil menjual lahan kepada
perusahaan. Ada pula yang kemudian berusaha mengolah lahanlahan yang semula dibiarkan menganggur menjadi lahan yang
produktif.

Gambar 2.7.
Gedung Sekolah Dasar Desa Muara Bahar Sebelum Direnovasi
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Perkembangan yang di desa bukan hanya terjadi pada


kepemilikan lahan dan pola hidup. Aspek pendidikan juga
mengalami perkembangan. Di desa Muara Bahar sebelumnya
hanya ada sebuah Sekolah Dasar. Adanya perkembangan desa
dan meningkatnya kebutuhan terhadap pendidikan, sekarang
sudah ada Sekolah Menengah Pertama (SMP), segaimana
dikemukakan Pak Kohar selaku Sekretaris Desa :
32

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

yaa banyak jugoo, untuk SD pendidikan itu rato-rato


setahun biso 1 milyar lebih, beda dengan yang sekarang
1 milyar 1 desa, waktu itu kan APBD, ditender waktu itu
Bu
...kami waktu tahun 2004 dapat bangunan SD, 2005
dapet SMP, SD dan SMP yang satu atap itu Bu.. tahun
2008 jadi SMP 8, setelah jadi SMP 8, sekarang jadi SMP 4
kalo gak salah.

Gambar 2.8.
Pembangunan Sekolah Dasar (SD) Baru Sebagai Prasarana Pendidikan
Sumber : Dokumentasi Peneliti

...karena ada pemekaran ini, pemekaran kecamatan,


jadi SMP yang ada disini dulunya SMP 8 sekarang jadi
SMP 4, mungkin setelah ada pemekaran kecamatan,
dulu bayung dengan tumpal, sekarang bayung-bayung
sendiri, tumpal tumpal sendiri, urutan SMP berdasarkan
urutan yang ada di tempat kecamatan ini, jadi berubah
gitu, gitu juga pembangunan SD 1 n SD 2.

33

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

... sejak tahun 2010 kita dapat tambahan bidan


Poskesdes, yaitu Sukma, sudah tuu, Posyandu,
penambahan SD, kita juga dapat cor untuk jalan, yaa
jalan itu, sampai batas desa, dengan adanya PT Mas,
waktu berdirinya ka nada MOU, bikin jalan, berobat
jalan, baik jalan desa maupun jalan pemda, tetep
janjinya tetap dilaksanakan oleh PT Mas, dan PT Mas situ
untuk tahun 2012 untuk CSR nya sampe 4,2 milyar,
termasuk jembatan yang ado di sungai kandang, jalanjalan batu itu CSR nya, itu sampe 2013

Gambar 2.9.
Akses Jalan Di Desa Muara Bahar Hasil CSR
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Masuknya perkebunan bisa berdampak cukup berarti


terhadap masyarakat. Perusahaan dengan program Corporate
Social Responsibility-nya banyak berkontribusi terhadap
kemajuan pendidikan dan pola hidup masyarakat serta prasarana
di desa Muara Bahar. CSR dari PT 2 sawit di sekitar desa telah

34

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

membangun prasarana jalan darat yang menghubungkan satu


dusun dengan lainnya.
Karena memang belum terhubung dengan jaringan PLN di
kota Kecamatan, Penerangan listrik di dusun Teluk Beringin
belum ada. Untuk kebutuhan penerangan, penduduk yang
kebetulan mampu secara financial menggunakan genset yang
banyak digunakan oleh warga desa. Genset dinyalakan sebatas
kebutuhan untuk penerangan pada malam hari di rumah-rumah
penduduk. Selain itu, genset juga digunakan masyarakat untuk
menyalakan televisi, menghidupkan mesin pompa air bagi
penduduk yang mempunyai sumur dan kebutuhan lain-lain.
Untuk bisa menangkap siaraan televisi digunakan parabola.
Hampir disetiap rumah penduduk terpasang parabola untuk
mengakses hiburan dan informasi melalui televisi.

Gambar 2.10.
Parabola Sebagai Sarana Komunikasi Untuk Mengakses Informasi
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Memang kemajuan jaman dan kebutuhan hidup


berbanding lurus, tidak seperti kebutuhan para nenek moyang
mereka, yang hanya memenuhi kebutuhan hidupnya secara
35

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

alami. Perubahan yang terjadi juga melanda bentuk rumah.


Rumah yang dulunya berupa rumah panggung dan rumah rakit di
sekitar sungai, berubah menjadi rumah seperti yang dapat
ditemui di kota. Rumah terapung masih ditemui di pinggir sungai,
walaupun jumlahnya tidak banyak. Masyarakat di desa saat ini
sudah banyak yang membuat rumah di daratan. Bahan baku
untuk membuat rumah di desa Muara Baharmasih didominasi
oleh kayu, walaupun bahan berupa batu bata sudah mulai
menggantikan kayu.
Perubahan yang terjadi di desa nampaknya hanya dalam
bentuk fisik. Perubahan tentang nilai-nilai kehidupan yang
berlaku di masyarakat seperti tolong menolong dan gotong
royong masih tetap dipertahankan dan dianut oleh warga
masyarakat. Penuturan Pak Herman, Kepala Desa Muara Bahar
tentang nilai kehidupan yang masih berlangsung.
yang jelasnyo, kami di dusun cak ini, yang gotong
royong itu tetep diutamakan ndak laa bu, namanyo
orang dusun, tetep aja, baik dengan tetangga, kalo
tetangga repot kita bantu, ada yang sakit kita jenguk ato
ada kematian kita juga seperti dulu laa bu, jaman
nenek-nenek kito dulu laa, masih tetep saling bantu,
saling perhatian

Tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi pergeseran nilai


budaya dalam kehidupan masyarakat desa Muara Bahar. Nilai
budaya menurut Koentjaraningrat (2009) terdiri dari konsepsikonsepsi hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat
mengenai hal hal yang mereka anggap mulia. Sistem nilai yang
ada dalam masyarakat dijadikan orientasi nilai rujukan dalam
bertindak. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya.Oleh
karena itu nilai budaya yang dimiliki akan mempengaruhinya
seseorang dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat dan
tujuan dalam bertindak.
36

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat diatas, maka


dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan
aktifitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada
sistem nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Artinya nilai-nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan
perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau
masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah,
patut atau tidak patut. Suatu nilai apabila sudah membudaya di
dalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai
pedoman atau petunjuk di dalam bertingkah laku. Hal ini dapat
dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya budaya gotong
royong, budaya malas, dan lain-lain. Jadi, secara universal, nilai
itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai
tujuan tertentu.
Kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangatlah
penting, maka pemahaman tentang sistem nilai budaya dan
orientasi nilai budaya sangat penting dalam konteks pemahaman
perilaku suatu masyarakat dan sistem pendidikan yang digunakan
untuk menyampaikan sisitem perilaku dan produk budaya yang
mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam,
kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang
dan tentang hal-hal yang diingini dan tak diingini yang mungkin
bertalian dengan hubungan antar orang dengan lingkungan dan
sesama manusia.
Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsepkonsep abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa
yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa
yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Sistem
nilai budaya ini menjadi pedoman dan pendorong perilaku
manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya terlihat
dalam tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma
dan sikap yang dalam bentuk abstrak tercermin dalam cara

37

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk pola


perilaku anggota-anggota suatu masyarakat.
Sebagian besar upacara atau ritual adat yang biasa
dilakukan masyarakat Suku Anak Dalam menjadi sangat jarang
dilakukan lagi. Hal ini terjadi karena terjadi pergeseran orientasi
nilai budaya, disamping alasan lain yaitu terbentur dengan
ketersediaan bahan yang diperlukan. Sebagaimana diungkapkan
Pak Kohar, Sekdes Muara Bahar :
yaa sudahlah Bu, cuman adat-adatnyo, yang masih,
setau aku, mereka itu kalo sakit itu pasti besale upacara
besale itu jaman aku SD, kalo sekarang ini sudah
jarang, kayaknyo, sepertinyo kareno apo karena
bahan-bahannya lah langka, karena rata-rata untuk
bahan-bahannya kan dari hutan, kan sekarang hutannya
sudah ganti dengan karet, sawit, 90 % sawit, yang masih
hutan kan tinggal sedikit, karena warga sini sudah mulai
banyak yang buka lahan, yang karet-karet tuo lah diganti
dengan sawit, jadi lah susah untuk nyari bahan-bahan
untuk pondok-pondok apo namanyo untuk pondokpondok itu kembang-kembang hutan, kembangkembang kayu, jadi yang dipakai memang gitu, dak ado
dijual di pasar gitu Bu
kalo sekarang kita cari barang itu susah Bu, kalo
dulu kan hutan dimano mano, gampang nyarinyo kalo
sekarang susah harus ke PT Rikki, yang sudah masuk
daerah Jambi, cari menyan, yang penting itu kan
menyan, karena bukan menyan yang ado di pasar tapi
yang dari batang pohon menyan, karena yang beli di
pasar itu gak boleh itu yang penting pake menyan trus
itu lilin, lilinnya harus lilin lebah, bukan sembarang lilin,
yang tukang masaknyo khusus, gak boleh sembarangan,
harus perempuan yang sudah gak dapat mens lagi...

38

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Perubahan nilai-nilai budaya dalam masyarakat tidak


selalu disebabkan oleh masuknya unsur budaya baru dari luar,
tetapi karena masyarakat itu sendiri yang memang bersifat
dinamis, tidak statis, sehingga kebudayaan yang menurut
perumusan konseptual adalah kebiasaan-kebiasaan dalam
masyarakat yang merubah pola-pola kebudayaan mereka. Setiap
manusia selama hidupnya pasti mengalami perubahan.
Perubahan akan berjalan lebih cepat bila terjadi antara lain
lewat proses difusi yang merupakan persebaran kebudayaan dari
masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain, dan dari warga
masyarakat satu kepada masyarakat yang lain dari masyarakat
yang bersangkutan. Persebaran itu sendiri merupakan suatu
proses, yaitu proses penerimaan unsur-unsur budaya baru dari
luar diadop oleh masyarakat yang bersangkutan.
Dalam proses difusi inovasi dalam masyarakat, maka
apabila yang satu lebih sederhana kebudayaannya daripada yang
satunya lagi, masyarakat yang lebih sederhanalah yang akan lebih
banyak menerima kebudayaan dari masyarakat yang lebih maju.
Difusi didefinisikan Rogers (1995) sebagai suatu proses dimana
suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama
jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem sosial.
Difusi dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe komunikasi khusus
dimana pesannya adalah ide baru. Disamping itu, difusi juga
dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu
proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem
sosial. Proses difusi inovasi melibatkan empat unsur utama yang
meliputi:
1) inovasi, yaitu ide, praktek, atau benda yang dianggap baru
oleh individu atau kelompok,
2) saluran komunikasi, yaitu bagaimana pesan itu didapat
suatu individu dari individu lainnya,

39

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

3) waktu, yang dalam hal ini berkaitan dengan proses


keputusan inovasi, waktu relatif yang dibutuhkan individu
atau kelompok untuk melakukan inovasi dan tingkat adopsi
inovasi,
4) sistem sosial, yaitu serangkaian bagian yang saling
berhubungan dan bertujuan untuk mencapai tujuan umum.
Lebih lanjut dikemukakan Rogers (1995) bahwa ada
relevansi dan argumen yang cukup signifikan dalam proses
pengambilan keputusan inovasi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa
ada variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu
inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan
inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi
inovasi tersebut mencakup:
1) atribut inovasi,
2) jenis keputusan inovasi,
3) saluran komunikasi,
4) kondisi sistem sosial, dan
5) peran agen perubah.
Sebagai contoh, misal hubungan antara masyarakat kota
dengan masyarakat desa, lebih banyak unsur budaya baru kota
yang diadopsi dan diterima untuk dijadikan pegangan dalam
berbagai kehidupan sosial warga desa. Penerimaan terhadap
unsur budaya baru dari luar oleh suatu masyarakat akan terjadi
bila masyarakat tersebut sudah terbiasa berhubungan atau
kontak sosial dengan orang atau sekelompok orang yang berasal
dari luar kelompoknya.
Suatu masyarakat yang terbuka untuk berhubungan
dengan orang yang beraneka ragam, cenderung warga
masyarakatnya bersikap terbuka terhadap unsur budaya asing
dan mudah untuk menerimanya. Selama unsur budaya baru
tersebut yang berupa inovasi dirasa menguntungkan baik secara

40

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

ekonomi, sosial dan psikologi. Inovasi berupa konsep, ilmu


pengetahun, teknologi dan lain sebagainya. Walaupun demikan
masyarakat setemapt masih dapat mempertahankan nilai -nilai
budaya yang mereka anut secara turun-temurun.
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan. Perubahan
tersebut bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang
orang luar yang menelaahnya dapat berupa perubahan yang
tidak menarik dalam artian kurang menyolok, ada pula
perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun luas, serta ada
pula perubahan yang lambat sekali. Perubahan tersebut dapat
ditemukan oleh orang luar masyarakatnya yang sempat atau
sengaja meneliti susunan dan kehidupan suatu masyarakat dan
membandingkannya dengan susunan dan kehidupan masyarakat
tersebut dalam waktu yang lampau. Seseorang yang tidak sempat
menelaah susunan dan kehidupan suatu masyarakat tersebut
statis, hanya saja sifat perubahan yang terjadi ada yang positif
maupun negatif bagi kehidupan masyarakat yang diteliti.
Perubahan yang terjadi pada masyarakat Suku Anak Dalam
yang hidup di Dusun Teluk Beringin dapat dikatakan sangat pesat
seiring dengan semakin intensnya hubungan mereka dengan
masyarakat pendatang. Hubungan tersebut dapat melalui
perkawinan, pendidikan, mata pencaharian dan juga tersedianya
prasarana dan sarana serta komunikasi.
Sebagai ilustrasi dapat diberikan contoh, Nenek Halimah
sebagai anak atau keturunan langsung dari masyarakat Suku
Anak Dalam telah menikah dengan kakek Rashid yang keturunan
dari Makasar. Begitu pula dengan cucu-cucu Nenek Halimah,
mereka banyak yang telah menikah dengan masyarakat
pendatang di Dusun teluk Beringin. Salah satunya adalah Ibu
Fitriani (cucu buyut Pak Robbain-penghuni awal di Dusun Teluk
Beringin) menikah dengan Pak Rahman yang keturunan Jawa tapi
sudah lama dan menetap di Jambi sebagai pendatang mengikuti

41

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

program transmigrasi. Pak Rahman mempunyai kedudukan


sebagai ketua Badan Pemerintahan Desa (BPD) Muara Bahar
yang juga sebagai guru SD Negeri Dusun Teluk Beringin.
Dengan adanya pembukaan lahan perkebunan karet dan
kelapa sawit di sekitar wilayah Dusun Teluk Beringin juga
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Suku Anak Dalam.
Pola mata pencaharian yang juga berpengaruh ke pola konsumtif
dan perilaku masyarakat. Sebagai contohnya meski belum ada
listrik yang mengalir di dusun, akan tetapi televisi hampir selalu
ada di tiap rumah tangga, begitu pula dengan kepemilikan
ponsel.
Selain itu pembukaan lahan tersebut juga berdampak pada
sosial ekonomi masyarakat setempat. Kebanyakan penduduk
Dusun Teluk Beringin adalah pekerja di perkebunan kebun sawit
atau karet, baik milik perorangan ataupun milik perusahaan atau
pabrik Sawit yang banyak tersebar di wilayah Desa Muara Bahar.
Kondisi ini sedikit banyak berpengaruh pada tingkat pendidikan
dan pendapatan yang dicapai oleh sebagian besar penduduk
setempat.
Masyarakat dusun Teluk Beringin sementara ini
mempunyai pendapat bahwa mereka tidak petlu berpendidikan
tinggi. Bagi mereka,buat apa sekolah tinggi-tinggi, sedangkan
tanpa ijazah pun bisa dan dapat bekerja secara layak untuk
menghidupi keluarga mereka. Mereka merasa sudah cukup
dengan mengandalkan kebun kelapa sawit dan karet yang ada di
sekitar mereka. Hal ini tentunya merupakan pola pikir yang
sangat sederhana sehingga berbanding terbalik dengan pola pikir
untuk masyarakat modern. Sedikit sekali yang mau berpikir atau
berorientasi terhadap pendidikan yang lebih tinggi. Boleh jadi hal
demikian, dikarenakan infra struktur untuk akses mendapatkan
pendidikan yang tinggi sulit, kondisi jalan yang tidak bisa dilalui
kecuali dengan jalan kaki sehabis hujan, atau juga tersedianya

42

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

sekolah menengah yang hanya ada di pusat desa Muara Bahar


yang cukup relatif jauh yang hanya dapat ditempuh melalui
sungai menggunakan perahu jenis ketek.
Menurut informasi dari sebagian penduduk sewaktu
berbincang-bincang dengan mereka, semua kondisi yang ada
merupakan kelebihan dan kekurangan yang ada di Dusun Teluk
Beringin. Beberapa informan yang diwawancarai menjelaskan
bahwa masyarakat di Dusun Teluk Beringin kurang tersedianya
prasarana dan sarana, misalnya listrik, kelengkapan untuk
menunjang terselenggaranya pendidikan, tenaga kesehatan dan
akses untuk menuju dan keluar dari dusun. Walaupun demikian
bukan merupakan penghambat, mereka cukup menikmati
keadaan yang ada. Bahkan menurut mereka keadaan sekarang ini
sudah jauh lebih maju dan modern dibanding orang tua mereka
dulu.
2.3. Geografidan Kependudukan
Musi Banyuasin adalah sebuah kabupaten di Provinsi
Sumatera Selatan dengan ibu kota Sekayu dan jumlah penduduk
sebesar 561.458 jiwa. Kabupaten Musi Banyuasin secara
geografis berbatasan dengan Kabupaten Muara, Jambi di sebelah
Utara, Kabupaten Muara Enim di Selatan, Kabupaten Musi Rawas
di sebelah Barat dan Kabupaten Banyuasin di sebelah Timur.
Nama Kabupaten Musi Banyuasin diambil dari nama
sungai Musi yang melintasi dan mengalir di sebagian besar
wilayah Musi Banyuasin. Pemerintah Daerah Kabupaten Musi
Banyuasin mempunyai motto Bumi Serasan Sekate dalam
artian seiya sekata atau dalam kata lain satu rasa satu kata.
Kabupaten ini mempunyai ibukota Sekayu yang dikenal dengan
slogan Kota Randik yang merupakan akronim dari rapi, aman,
damai, indah dan kenangan. Secara administrasi pemerintahan
Kabupaten Musi Banyuasin terdiri dari 14 kecamatan sedang
43

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Kecamatan Banyung Lencir sebagai ibukota kecamatan memiliki


wilayah terluas (33,98%) dari total seluruh wilayah Kabupaten
Musi Banyuasin.

Gambar 2.11.
Peta Kabupaten Musi Banyuasin
Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Musi Banyiasin

Kabupaten Musi Banyuasin merupakan wilayah kaya, di


mana sumber utama perekonomiannya ditopang oleh
pertambangan. Melalui kekayaan sumber daya alam yang
terkandung dalam bumi serasan sekate seperti minyak, gas, batu
bara serta kandungan mineral lainnya sebagai sumber
pendapatan Pemerintah Kabupaten guna mewujudkan Permata
Muba 2017, yaitu Penguatan Perekonomian Kerakyatan,
Religius, Mandiri, Aman, Terdepan, Maju Bersama.
Penduduk asli Kabupaten Musi Banyuasin adalah Suku
Sekayu. Penduduk asli ini kemudian membaur dengan pendatang
yang bekerja di sektor pertambangan, pertanian dan sebagian
bekerja di sektor informal. Sementara, mayoritas suku Sekayu

44

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

hidup di sektor pertanian dengan bertani atau bercocok tanam.


Hasil pertanian adalah padi, singkong, ubi, jagung, kacang tanah
dan kedelai. Mereka juga dikenal menonjol dalam perkebunan
karet, cengkeh dan kopi. Kondisi saat ini, perkebunan karet yang
semula menjadi komoditas utama masyarakat, telah banyak yang
berubah menjadi kebun sawit. Hal itu ini dikarenakan harga karet
semakin menurun, berbeda dengan harga kelapa sawit yang
cenderung stabil atau bahkan naik, karena kebutuhan akan
kelapa sawit tetap bahkan semakin meningkat. Begitu halnya
dengan semakin tumbuhnya industri atau pabrik pengolahan
kelapa sawit di Kabupaten Musi Banyuasin. Berbeda dengan
karet yang pabrik pengolahannya atau jarang ditemukan di
Kabupaten Musi Banyuasin atau harusdikirim ke pabrik yang
berlokasi di kabupaten lain.
Suku Sekayu yang merupakan suku asli yang berdomisili di
wilayah Kabupaten Musi Banyuasin adalah manusia sungai,
karena secara tradisi senang mendirikan rumah yang langsung
berhubungan dengan Sungai Musi. Suku Sekayu jarang
melakukan migrasi ke tempat lain seperti suku Batak, Bugis,
Minangkabau dan Jawa. Untuk lebih maju dan mencari
peruntungan, migrasi yang dilakukan suku Sekayu hanya sampai
di ibukota Provinsi saja, yaitu Palembang.
Dengan kondisi wilayah yang beriklim tropis basah dan
curah hujan rata-rata antara 87,83 mm 391,6 mm sepanjang
tahun, sektor pertanian dan perkebunan menjadi bagian penting
dalam masyarakat Kabupaten Musi Banyuasin. Komoditas utama
sektor pertanian dan perkebuan di Kabupaten Musi Banyuasin
adalah padi, karet dan kelapa sawit. Perkebunan sawit dan karet
mendominasi di seluruh wilayah kabupaten tersebut, karena
banyak dibuka hutan untuk lahan-lahan perkebunan.
Untuk sektor perkebunan pemerintah Kabupaten Musi
Banyuasin berhasil menarik 16 investor perkebunan sawit, 4 di

45

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

antaranya membangun pabrik kelapa sawit. Pemerintah


Kabupaten Musi Banyuasin menawarkan sistem plasma inti dan
bagi hasil kepada penduduk. Bentuk kerjasama yang dipilih
terserah, yang penting masyarakat bisa ikut dilibatkan dan
menikmati hasilnya (Amiruddin Inoed, 2011, 89).
Daerah yang terletak antara 23 1/2 LU- 23 1/2 LS dikenal
sebagai daerah iklim tropis, termasuk Provinsi Sumatera Selatan.
Walaupun iklim tropis, daerah ini mempunyai cukup sinar
matahari dan hujan, yang merupakan elemen penting untuk
tumbuh flora dan fauna.
Keadaan tanahnya merupakan tipe organosol, yaitu
berupa dataran rendah atau berupa rawa rawa dan tanah gley
humus terutama di dataran rendah atau rawa rawa yang tidak
jauh dari pengaruh aliran sungai. Secara hidrologi merupakan
daerah rawa dan sungai besar atau kecil seperti Sungai Musi dan
Sungai Batanghari Leko. Tanahnya terdiri dari rawa rawa dan
payau yang dipengaruhi oleh pasang surut. Daerah lainnya
merupakan dataran tinggi dan berbukit bukit dengan ketinggian
20 140 meter di atas permukaan laut. Akan tetapi kelihatannya
tanahnya tidak selalu subur, kompos dari daun-daun pohon, dan
hujan yang rata-rata cukup untuk pertumbuhan pohon yang
dahulu menurut pengamatan terdiri dari pohon-pohon tinggi
sampai 80 100 meter.
Keanekeragaman fauna yang terdiri dari berbagai macam
dan jenis hewan termasuk serangga-serangga, burung-burung,
ular-ular, kura-kura, babi hutan, rusa, kijang, sampai harimau.
Kekayaan keanekaragaman hayati tersebut dapat memenuhi
kebutuhan primer orang Kubu dari sudut minuman, makanan,
obat, pakaian, bahan bangunan, dan peralatan memasak.
Di sungai pun tak kalah banyak dikaruniai dengan adanya
aneka macam ikan. Adapun ikan air tawar yang banyak ditemui di
wilayah ini antara lain ikan arowana (yang sekarang hampir

46

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

punah), ikan gabus, ikan sepat, ikan mujair, dan sejenis ikan air
tawar lainnya.
Akan tetapi dengan banyaknya penebangan dan
pembukaan lahan hutan, maka sangat mempengaruhi
keragaman flora dan fauna yang pada akhirnya timbul
kepunahan. Seperti burung-burung, ular, rusa apalagi macan atau
harimau. Yang masih tersisa tinggal ular jenis kecil yang masih
banyak di kebun kebun sawit dan karet.
Kecamatan Bayung Lencir adalah salah satu kecamatan
terluas di Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
Kota-kota terdekat dari Kecamatan Bayung Lencir adalah :
1) Sekayu, merupakan Ibukota Kabupaten Musi Banyuasin
berjarak tempuh 200 Km.
2) Palembangmerupakan Ibukota Provinsi Sumatera Selatan,
204 Km.
3) Jambi merupakan Ibukota Provinsi Jambi, berjarak tempuh
70 Km.
Kondisi geografis Kecamatan Bayung Lencir merupakan
daratan dengan perbukitan, dataran, lembah dan banyak dilalui
oleh Daerah Aliran Sungai (DAS). Kecamatan yang dibelah oleh
Sungai Lalan ini banyak memiliki sungai-sungai kecil yang
bermuara pada Sungai Lalan. Sungai-sungai tersebut dijadikan
warga sebagai tempat untuk mencari mata pencaharian dan juga
sebagai sarana transportasi, karena sebagian daerah di Bayung
Lencir hanya bisa dilalui dengan melalui air dengan perahu klotok
atau orang setempat menyebutnya ketek. Bayung Lencir
berbatasan dengan desa: Sebelah Selatan Desa Simpang Bayat,
sebelah Barat Desa Muara Bahar, sebelah Timur Mendis dan
sebelah Utara dengan Senawar Jaya.

47

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2.12.
Peta Kec. Bayung Lencir
Sumber : Kecamatan Bayung Lencir

Tabel 2.1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Bayung


Lencir 2012
No

Desa

Luas (km2)

Jumlah
penddk

Kepadatan
pddk per km

Senawar jaya

168.000

6.943

22,9

Muara bahar

115.000

4.531

39,4

Sukajaya

344.000

5.737

16,7

Lubuk harjo

46.000

1.795

39,0

Pagar desa

98.000

844

8,6

Wonorejo

144.000

1.467

10,2

Pangkalan bayat

115.000

826

7,2

Sumber : Bayung Lencir dalam angka 2012

48

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Areal hutan yang ada di wilayah Bayung Lencir semula


banyak ditumbuhi oleh berbagai jenis pohon, namun sekarang
warga masyarakat sekitar hutan sulit untuk menemukan berbagai
jenis pohon besar di areal hutan dikarenakan sebagian besar
hutan tersebu ttelah dibuka untuk permukiman transmigrasi dan
pembukaan lahan perkebunan-perkebunan karet maupun
tanaman oleh investor yang menanamkan investasinya di Bayung
Lencir.
Masyarakat yang tinggal disekitar Desa Muara menyebut
Suku Anak Dalam sebagai suku asli. Suku Anak Dalam merupakan
bagian dari komposisi masyarakat yang tinggal di desa tersebut,
sedangkan komposisi lainnya merupakan pendatang. Kehidupan
Suku Anak Dalam sangat berbeda dengan pemikiran kita tentang
suku terasing. Mereka telah beradaptasi dengan budaya dari luar
yang dianut oleh masyarakat
lain di luar kelompok
masyarakatnya. Mulai dari cara berpakaian, pekerjaan dan
tempat tinggal yang sudah menetap serta sarana informasi dan
media hiburan elektronik yang mereka miliki antara lain televisi
yang dilengkapi antena parabola, radio, bahkan telepon seluler.
Pola hidup demikian telah muncul sejak pertengahan tahun
sembilan puluhan, karena adanya pembauran atau difusi budaya
dengan masyarakat luar atau masyarakat pendatang pada saat
pembukaan hutan sebagai areal perkebunan.
Bayung Lencir merupakan paling dekat dengan perbatasan
Jambi sehingga terdapat Suku Anak Dalam atau Suku Kubu, Hasil
survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004
menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba atau Suku Anak
Dalam di TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang
kemudian dinyatakan kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas.
Wilayah ini terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu
Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006,
paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba atau Suku

49

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Anak Dalam. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan


diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar
masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat
sebagaimana nenek moyang dahulu.
Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Kubu atau
Suku Anak Dalam juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi
terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar
8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak
sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak
Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Populasi
keturunan Suku Anak Dalam yang ada di Bayung Lencir banyak
terdapat di desa Muara Bahar.
2.4. Pola Pemukiman dan Tempat Tinggal
Bentuk rumah tempat tinggal Suku Anak Dalam berupa
rumah panggung. Bentuk rumah ini telah menjadi bagian penting
dalam kehidupan masyarakat Sumatera Selatan terutama mereka
yang tinggal di tepi Sungai Musi dan 8 anak sungainya. Tradisi
serupa berkembang di daerah lain yang memiliki sungai besar.
Bahkan, mereka yang tinggal jauh dari sungai pun membangun
rumah panggung, tetapi fungsinya untuk melindungi diri dari
gangguan binatang buas.
Pilihan membangun rumah panggung tidak terlepas dari
kondisi tanah di kawasan pantai Timur Sumatera Selatan yang
umumnya berupa lahan basah, seperti rawa, dan hanya sedikit
sekali tanah kering. Tanah kering biasanya dimanfaatkan untuk
membangun tempat yang dianggap sakral dan tempat ibadah,
seperti masjid dan kelenteng atau candi, serta pemakaman.
Pemukiman sengaja dibangun diatas lahan basah,
terutama di tepi sungai, karena sungai memiliki sumber daya
hayati, seperti ikan yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi

50

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

kebutuhan pokok sehari-hari. Lebih dari itu, sungai juga menjadi


sarana transportasi yang efektif dalam menjalin hubungan atau
berkomunikasi dengan masyarakat luar.
Masyarakat Desa Muara Bahar untuk membangun rumah
panggung biasanya memanfaatkan kayu unglen sejenis kayu ulin
di Kalimantan, atau sering juga disebut kayu besi, yang tumbuh di
kawasan desa tersebut. Kayu ini tergolong sulit dimakan rayap
sehingga bisa bertahan puluhan sampai ratusan tahun. Selain
kayu unglen, ada pula kayu nibung, sejenis pinang, yang mana
bagian dalamnya memiliki serat. Jenis kayu ini juga tergolong
awet jika ditanam di dalam tanah basah. Kayu ini tergolong
mudah didapat di hutan dibandingkan kayu unglen atau ulin yang
kini semakin langka.

Gambar 2.13.
Bentuk Rumah Panggung di Desa Muara Bahar
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Biasanya masyarakat dalam membangun rumah dengan


menggunakan kayu tersebut. Teknologi yang digunakan ketika
51

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menanam tiang utama untuk mendirikan rumah adalah dengan


menancapkan ujung kayu pada tanah bukan bagian pangkalnya.
Bagian pangkal disambungkan dengan kayu lain pada badan
rumah.
Dilihat dari cara pemasangan tiang rumah, ada dua jenis
rumah panggung yang dapat kita jumpai. Cara pertama, pangkal
atau bagian dasar tiang diberi landasan berupa batu umpak. Hal
ini dilakukan agar bangunan rumah panggung tetap tegak karena
bertumpu pada batu umpak. Cara tersebut diterapkan oleh
masyarakat ketika membangun rumah di kawasan tanah kering,
baik di dataran atau di perbukitan.

Gambar 2.14.
Rumah Panggung Memakai Batu Umpak
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Cara ke-dua, tiang untuk bangunan rumah ditancapkan ke


dalam tanah. Tanah ini diterapkan pada tanah lunak atau lumpur
di lahan rawa atau tepi sungai. Pembangunan rumah di lahan
dengan struktur tanah yang lunak tidak menggunakan bantalan
umpak, karena tidak berfungsi sebagaimana pembangunan di

52

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

lahan kering. Kebanyakan cara seperti inilah yang dipakai di desa


Muara Bahar.

Gambar 2.15.
Rumah Panggung Dengan Tiang Langsung Tancap Ke Tanah
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Pembuatan lantai dan atap rumah kayu diperlukan suatu


konstruksi kerangka kayu yang dipasang dengan tali atau pasak,
sehingga menghasilkan suatu konstruksi yang kekuatannya
memadai. Dilihat dari jenis kayu, tiang rumah kayu atau
panggung yang ada terdiri dari kayu nibung dan kayu keras. Kayu
keras yang berdiameter antara 15 35 cm merupakan tiang
utama atau tiang penunjang, sedangkan kayu nibung yang
berdiameter 8 18 cm merupakan tiang bangunan pelengkap,
menurut hasil omong-omong dengan pak Udin, warga Muara
Bahar.
Selain rumah panggung di desa Muara Bahar juga masih
dapat ditemui rumah rakit meskipun sudah jarang karena
kebanyakan sudah rusak atau penghuninya sudah berpindah ke
darat membangun rumah permanen yang berbentuk seperti

53

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

kebanyakan rumah yang kita temui di tempat lain, yang dibangun


di darat.

Gambar 2.16.
Rumah Rakit di Desa Muara Bahar
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Saat ini hampir semua bagian rumah rakit yang ada masih
berbentuk asli, kecuali atap ijuk atau daun alang-alang yang
sudah diganti dengan seng. Lantainya pun belum berubah, masih
berbahan kayu unglen, kayu yang kuat dan sangat liat. Agar
rumah rakit dapat mengapung di atas air, bagian lantai yang
berbahan kayu harus diikat dijadikan satu dengan bambu
berukuran besar yang tersusun melingkar ke atas. Selain itu
untuk mencegah rumah agar tidak hanyut terbawa arus aliran
sungai, rumah rakit harus ditambatkan pada tiang kayu besar
yang ditanam di pinggir sungai. Sayangnya mayoritas rumah rakit
tidak juga dilengkapi kakus sehingga kotoran manusia langsung
dibuang ke sungai. Tentunya hal ini mencemari air sungai yang
juga dimanfaatkan oleh masyarakat setempat yang tinggal di
aliran sungai.

54

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Bentuk bangunan yang mulai menggantikan keberadaan


rumah panggung dan rumah rakit adalah rumah permanen.
Rumah permanen yang dimaksud adalah rumah yang seluruh
bangunannya berbahan dasar batu bata. Beberapa bagian rumah
juga masih berbahan dasar kayu unglen. Kayu sebagai bahan
papan untuk dinding dan atap kebanyakan juga terbuat dari seng.
Lantai rumah kebanyakan masih tanah dan ada juga yang sudah
disemen. Kalau keadaan ekonominya agak mapan, biasanya
sudah digantikan dengan keramik, seperti yang kita temui di
rumahPak Kohar, yang menjabat sebagai Sekdes Muara Bahar
yang masih dalam tahap pembangunan. Selama ini dia
menempati rumah panggung dari keluarga pihak istrinya.
Demikian halnya rumah panggung yang dibangun di daratan,
pada umumnya rumah permanen juga tidak dilengkapi dengan
sarana MCK. Kalaupun ada terletak di halaman bagian belakang
yang khusus hanya diperuntukan sewaktu membuang air besar
pada malam hari atau keadaan mendadak.

Gambar 2.17.
Bangunan Rumah Permanen
Sumber : Dokumentasi Peneliti

55

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Terlepas dari kearifan membangun rumah yang selaras


dengan alam sekitar, satu hal yang memprihatinkan adalah
permukiman dan kehidupan masyarakat yang tinggal di tepi
sungai masih mengabaikan atau kurang memperhatikan masalah
sanitasi. Air sungai yang digunakan untuk mandi dan mencuci
pakaian serta perkakas dapur, tetapi juga menjadi tempat
pembuangan kotoran manusia atau kakus sepanjang aliran
sungai.
Menurut Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi
Rangkuti, rumah panggung yang ada di tepi sungaiMusi
berkembang sejak abad ke 4 Masehi. Hal itu berdasarkan
penelitian Balai Arkeologi Palembang, selama tahun 2000 2005
saat ditemukan situs Karang Agung Tengah, Kecamatan Lalan,
Kabupaten Musi Banyuasin, yang berjarak sekitar 200 kilometer
kearah Barat Kota Palembang. Di wilayah itu terdapat sebuah
alur sungai kecil yang menghubungkan Sungai Lalan dan Sungai
Sembilang, dan ditemukan pula tiang-tiang penyangga rumah
panggung yang dibangun sekitar abad ke 4 Masehi atau sebelum
adanya Kerajaan Sriwijaya. Bahkan bisa jadi masa jauh
sebelumnya sudah ada bangunan rumah panggung di tepi sungai.
Ini juga tidak terlepas dari budaya Austronesia yang salah satu
ketrampilannya membuat perahu dan rumah panggung.
Bentuk rumah panggung dan rumah rakit adalah
merupakan cara beradaptasi dengan lingkungan yang berawa
rawa. Rumah tinggal yang dibangun berkerangka kayu
merupakan upaya manusia atau masyarakat memanfaatkan
lingkungan sekitarsebagai sumber daya alam untuk menunjang
kelangsungan hidup mereka. Konstruksi kerangka kayu dipasang
dengan pasak. Tiang, dinding dan atap rumah juga dibuat dari
berbagai jenis pohon atau tumbuhan yang hidup di lingkungan
sekitarnya. Juga pemilihan bahan bangunan sesuai dengan

56

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

fungsinya, yaitu kayu keras sebagai tiang utama dan kayu nibung
sebagai bahan bangunan penunjang.
Pada awalnya masyarakat Suku Anak Dalam di Desa Muara
Bahar adalah satu kelompok yang bertekad untuk mengikuti gaya
kehidupan yang diturunkan oleh nenek moyang sebaik mungkin.
Tempat pemukiman awal pada masa sebelum Suku Anak Dalam
direlokasi pemerintah adalah terdiri dari beberapa kelompok.
Pemukiman tersebut dibangun beberapa ratus meter dari
bubangan atau rumah pemimpin mereka yang biasa disebut
temenggung. Bubangan yang didiami oleh Temenggung biasanya
berbentuk bangunan panggung, dinding dari kayu, atap dari daun
dan lantainya kira-kira 2 meter tingginya dari tanah. Tempat
kediaman lain yang dikenal dengan nama sampaeon. Tempat
kediaman ini lebih sederhana, dengan lantai kira-kira setengah
meter tingginya dari tanah. Lantai dibuat dari batang kecil kayu
bulat dan atapnya dibuat dari plastik hitam yang didapat dari
pasar mingguan hari Jumat di Pasar Bayung lencir sebagai kota
kecamatan terdekat.

Gambar 2.18.
Rumah Sampaeon
Sumber: Dokumentasi Peneliti

57

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Selain Sampaeon, bentuk tempat tinggal lainnya dari Suku


Kubu adalah sudung. Pondok bernama sudung yang bentuknya
sederhana tanpa lantai dan hanya atap saja, dibangun untuk
pelindungan di waktu malam dan bersifat sebagai rumah
sementara. Biasanya sudung sering ditemukan di hutan,
digunakan sewaktu mereka berburu binatang atau sedang pindah
ke tempat lain saat melangun.
Semua keluarga punya tempat tinggal sendiri yang
letaknya saling berdekatan hanya beberapa meter antara yang
satu dengan rumah yang lain, dan memiliki dapur sendiri. Rumah
orang Suku Anak Dalam pada umumnya tidak berdinding, kecuali
rumah pemimpin kelompok yang disebut Temunggung. Orangorang anggota masyarakat Suku Anak Dalam nampak hidup apa
adanya tanpa memperhatikan kebersihan lingkungan dan
higyene perorangan. Hal ini tercermin pada pemukiman mereka
dimana banyak tersebar bekas kertas dan plastik pembungkus
yang dibawa dari luar.
Masyarakat Suku Anak Dalam tidak jarang melakukan
hubungan sosial atau kontak dengan warga masyarakat dusun
sekitar untuk kepentingan saling membutuhkan. Warga
masyarakat desa memerlukan jasa Suku Anak Dalam antara lain
untuk menangkap burung hias atau menangkap babi hutan (Sus
vitatur) yang berkeliaran di perkebunan orang dusun. Orang
dusun juga membeli ubi kayu (Manihotuthlissima) yang ditanam
oleh Suku Anak Dalam yang terletak berdekatan dengan
pemukiman mereka. Mereka menanam ubi kayu atau karet di
areal perkebunan walaupun tidak luas. Mereka juga mengelola
kebun karet yang ditanam disekitar pemukiman dan menyadap
getahnya.
Harta benda seperti rumah, peralatan berburu, peralatan
perumahan, kain, pakaian dan lain-lain ada yang sifatnya milik
pribadi, tetapi juga ada harta bersamo. Masyarakat Suku Anak

58

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Dalam saat mereka membuka ladang dilakukan secara


bergotong-royong untuk selanjutnya ladang dibagi antara
keluarga inti. Setiap keluarga mendapat bagian tanah yang
digunakan untuk menanam jenis tumbuhan yang dapat
menghasilkan bahan makanan pokok seperti seperti ubi kayu.
Pepohonan atau jenis tanaman yang bernilai tinggi yang ditanam
sendiri adalah harto yang tidak bersamo. Kayu bekas
penebangan dan pembukaan lahan biasanya dibakar.
Orang Kubu jika berburu binatang di hutan ada kalanya
dilakukan secara berkelompok atau dilakukan sendiri. Mereka
berburu hingga ke tempat jauh. Mereka biasa tinggal di hutan
untuk beberapa hari sebelum kembali membawa hasil
buruannya. Saat berburu, ada satu atau dua orang laki-laki yang
tinggal di permukiman untuk menjaga anak, istri dan keluarga
lain yang mereka tinggalkan.
Kebiasaan buang air besar masyarakat Suku Kubu
dilakukan di tanah. Tempat ini kemudian dijadikan lahan
pertanian, dengan maksud agar kotoran menjadi pupuk. Selain
itu, membuang air besar di tanah dianggap tidak mencemari air
sungai yang biasa mereka gunakan sebagai sumber air untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti minum, memasak dan
mandi. Memelihara anjing bagi orang Suku Anak Dalam sangat
berguna. Selain dimanfaatkan untuk keperluan berburu binatang
di hutan, anjing juga dimanfaatkan untuk membersihkan pantat
anak-anak dan bayi. Oleh karena itu dalam bahasa rimba Suku
Anak Dalam disebut penjilat burit. Burit artinya pantat. Anjing
yang dipelihara dapat dimanfaatkan untuk membersihkan pantat
bayi dan anak melalui jilatannya.
Permukiman kelompok masyarakat orang Kubu yang
dipimpin oleh kepala suku, sebut saja Pak Arbain atau Robbain di
dusun Teluk Beringin desa Muara Bahar, ada sekitar 50 rumah
yang dibangun oleh pemerintah pada tahun 90-an terletak di

59

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

pinggir perkebunan karet dan kelapa sawit. Berdiri pula beberapa


toko kecil yang menjual kebutuhan bahan pokok. Ada Sekolah
Dasar yang diasuh oleh tiga orang guru dan seorang kepala
sekolah serta musholla dengan seorang ustad. Mereka kadangkadang pergi ke hutan mencari nafkah yang jaraknya beberapa
kilometer dari pemukiman yang mereka tinggali.
2.5. Religi dan Kepercayaan Masyarakat
Masyarakat Suku Anak Dalam menganut kepercayaan
animisme dan dinamisme. Mereka meyakini adanya dewa, hantu,
setan dan roh roh yang dipercaya dapat menolong dan dapat
pula mendatangkan kesulitan. Dewa dan hantu dipercaya
menghuni tempat-tempat tertentu, misalnya pohon besar, bukit,
hulu sungai atau tebing. Di kalangan masyarakat Suku Anak
Dalam terdapat larangan-larangan yang masih ditaati oleh
warganya. Bentuk larangan tersebut antara lain larangan untuk
melewati atau membangun rumah di tempat-tempat yang
dianggap angker. Bila larangan itu dilanggar, bisa mengakibatkan
si pelaku menjadi sakit. Untuk menyembuhkan penyakit karena
melanggar larangan tersebut, seorang
dukun akan
menyelenggarakan upacara pengobatan, yang di kalangan
mereka disebut besale. Masyarakat Suku Anak Dalam juga
percaya adanya Tuhan, yakni kekuatan yang lebih tinggi daripada
hewan dan setan. Bagi mereka, Tuhanlah yang menentukan
hidup matinya manusia.
Saat ini masyarakat Suku Anak Dalam atau Suku Kubu yang
tinggal di Desa Teluk Beringin desa Muara Bahar Kecamatan
Bayung Lencir adalah penganut agama Islam. Walaupun demikian
faham animisme dan spiritisme masih mewarnai kehidupan
mereka sehari hari. Konsep tentang Tuhan diartikan sebagai
sesuatu yang ghaib, tetapi dipercaya ada dan berkuasa. Sebagai

60

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

mahluk ghaib, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata manusia.


Orang hanya mampu melihat keberadaanNya dengan
menggunakan mata hati yang dalam dan dengan iman. Mereka
mempunyai keyakinan bahwa kepercayaan kepada Tuhan
didasarkan atas adanya kekuatan yang bersumber dari alam. Dari
manifestasi keyakinan ini menurut Mulyanto (1995; 26) akan
muncul personifikasi kekuatan roh yang dapat memberikan
pertolongan pada manusia ataupun mengganggu kehidupan
manusia. Karena itu, dalam setiap tindakan yang dilakukan,
setiap doa yang dipanjatkan dan dalam setiap mantera-mantera
yang diucapkan seringkali diawali dan diperdengarkan kata kata
assalamualaikum dan bismillah.
Kepercayaan kepada Tuhan dan kekuatan sakti yang
mereka yakini dapat melimpahkan keberuntungan dan
memberikan kesialan dalam hidup mereka, telah menjadi nilainilai luhur yang mendasari orientasi hidup dalam masyarakat
Kubu. Sebagaimana dikemukakan Mulyanto (1995; 23)
kepercayaan kepada roh telah menjadi bagian dalam kehidupan
masyarakat anak dalam. Bagi mereka roh halus adalah mahluk
yang memiliki kekuatan ghaib. Keberadaannya tidak nampak,
tetapi ada di mana mana di sekitar manusia. Kesadaran inilah
yang membuat masyarakat anak dalam begitu hormat dan takut.
Kekuatan ghaib yang dimiliki roh diyakini dapat mempengaruhi
manusia dalam menjalani kehidupannya. Keadaan selamat,
sehat, malapetaka dan sakit yang menimpa manusia merupakan
keadaan yang disebabkan oleh kekuatan roh.
Selanjutnya juga dikemukakan tentang pandangan
masyarakat Suku Anak Dalam, bahwa hidup tidak dicari dari luar
alam, tetapi diselami dalam alam. Dari situlah timbul
kepercayaan pemujaan roh dan kehidupan roh dianggap sama
dengan kehidupan manusia yang memerlukan makan dan
minum. Mengadakan sesajian merupakan suatu pendekatan

61

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

hubungan manusia dengan roh. Mereka sangat percaya bahwa


orang yang meninggal dunia, rohnya tetap hidup dan kembali ke
surga.
Roh hidup atau jiwa dianggap merupakan semangat dan
manusia itu terdiri dari sifat kebendaan, roh, dan nyawa. Roh dan
nyawa merupakan persenyawaan yang menyatu dalam tubuh.
Tetapi roh tidak berakhir setelah kematian. Roh akan hidup terus
sepanjang ada kehidupan dan akan tentram apabila dipelihara
dan diperhatian. Roh akan marah mengganggu kehidupan
manusia bila merasa terabaikan. Menurut masyarakat Suku Anak
Dalam, Tuhan adalah sama dengan yang mereka sebut Raja
Nyawa (Mulyanto, dkk, 1995, 28). Mereka percaya bahwa Raja
Nyawa , roh, nyawa dan makhluk halus menguasai manusia dan
segala isi hutan. Tuhan (Raja Nyawa), roh, nyawa dan makhluk
halus ini memiliki sifat senang dan marah. Senang apabila isi
hutan dipelihara, dijaga dan dilestarikan. Tetapi akan marah
apabila hasil hutan dirusak, disia-siakan, dihabisi atau dicemari
serta tidak dilestarikan. Mereka beranggapan bahwa
pengrusakan hutan telah mengganggu ketentraman para penjaga
hutan yang telah mengakibatkan timbulnya malapetaka seperti
berjangkitnya wabah penyakit, kematian dan sebagainya.
Menurut kosmologi orang Suku Anak Dalam waktu mereka
pindah ke dusun atau ketika orang Melayu menguasai hutan
sebagai bentuk kegiatan transmigrasi, maka kondisi ini dianggap
sebagai pemusnahan dunia atau kiamat. Pola pikir orang Rimba
terkait dengan kata dasar layu artinya, menjadi lesu,
kehilangan tenaga atau seperti bunga yang sudah lewat masa
mekarnya dan mati. Sepertinya sudah menjadi sampah. Dewa
Silum-on dilihat sebagai penjaga pohon bambu dan juga dilihat
sebagai orang me-layu,tetapi Dewa tersebut juga bisa dipanggil
untuk melakukan hubungan dengan Dewa-dewi lain. Dewa Mato
Merego atau Harimau juga diklasifikasikan sebagai orang Melayu,

62

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

yang cenderung mengharamkan manusia, termasuk orang Suku


Anak Dalam.
Konsep dunia mereka dibagi halo nio atau dunia disini
(dunia nyata) dan halom Dewa atau dunia di atas (dunia setelah
wafat). Kedua dunia tersebut dikontraskan dengan istilah kasar
dan halus yang diatur oleh Tuhan. Tuhan bagi mereka memang
tidak bisa dilihat seperti juga Dewa, tetapi keberadaanNya bisa
didengar dalam bentuk bunyi alam seperti kicau burung. Karena
itu, saat orang Suku Anak Dalam mendengar bunyi burung suci,
gading, mereka akan menghentikan aktivitas yang sedang
dikerjakan dan segera berdoa supaya mereka bisa memperoleh
hal-hal yang baik.
Adapun Dewa-dewi, adalah mahluk yang tempatnya
berada di hutan, di puncak bukit, tempat air dan di pinggir
sungai. Dewa-dewi yang tinggal di hulu sungai dianggap sebagai
Dewa yang bermanfaat. Dewa-dewi yang tinggal di hilir sungai,
tempat kebanyakan orang Melayu tinggal, dianggap sebagai
pembawa hal-hal yang jelek seperti penyakit cacar dan pedagang
budak. Sebagai bentuk adaptasi manusia terhadap mahluk ghaib
yang dapat memberikan dampak berupa kebaikan dan juga
ketidakbaikan, maka manusia dalam semua aktivitasnya akan
bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa,
yang biasanya disebut emosi keagamaan. Emosi keagamaan
inilah yang mendorong manusia melakukan tindakan tindakan
bersifat religi. Yang mengakibatkan bahwa suatu benda, suatu
tindakan atau gagasan, mendapat suatu nilai keramat dan
dianggap keramat (Koentjoroningrat, 2009, 295).
Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Suku Anak
Dalam. Agar peristiwa seperti melahirkan anak, pernikahan,
menyembuhkan seseorang, musim panen atau musim buah
dapat terhindar dari pengaruh dan kondisi tidak baik, maka perlu
dilakukan ritual tertentu. Suatu ritual yang dimaksudkan untuk

63

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

meminta restu dan perlindungan Dewa-dewi dan roh leluhur


dengan cara mengadakan perayaan dan memberikan sesaji. Pada
waktu tertentu, mereka membangun sebuah balai balai atau
balay, yang berukuran sampai 9 x 9 meter di tengah hutan
dengan pondok-pondok sementara disekitarnya. Balai itu
disiapkan untuk besal, suatu ritual dengan nyanyian, tarian,
berhiaskan dengan bunga-bunga, menghidangkan makanan,
buah-buahan, daging, kecuali babi, ubi dan semacamnya. Hal itu
dilakukan supaya hubungan dengan Dewa-dewi lebih baik dan
bermanfaat bagi orang.
Roh nenek moyang orang kubu dianggap mengawasi
kehidupan dapat dihubungi pada saat upacara besal untuk
kemudian berkenan memberikan restunya. Jiwa atau roh orang
yang meninggal dunia berjalan ke alam baka. Orang yang belum
mencapai kehidupan spiritual yang tinggi sebelum meninggal
dunia berjalan ke tempat dekat Tuhan, hentew, (limbo).
Pemimpin spiritual juga berjalan ke hentew, untuk
meninggalkan sifat-sifat duniawi sebelum menuju ke dunia Tuhan
serta menjadi malaikat yang bisa menjadi Dewa bila menyampai
tingkat spiritual yang cukup tinggi.
Salah satu peristiwa lain yang terkait dengan kosmosnya
dikenal dengan istilah melangun atau berpindah-pindah.
Peristiwa itu terjadi bila mereka merasa kurang puas atau bila
ada orang yang meninggal dunia. Mereka berpindah ke tempat
lain supaya bisa re-group lagi sesuai keinginan mereka serta
menghilangkan kesedihan. Orang yang meninggal dunia ditaruh
di dalam pondok, di tempat tidur dengan kelambu tertutup. Di
dalam pondok lampu damar dinyalakan, dan disediakan
beberapa hal, seperti makanan dan beberapa alat untuk berburu.
Anjing milik orang yang meninggal diikat di dekatnya dan
kelompok memberi tanda arah tempat baru, supaya orang yang

64

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

bangun lagi dari kematiannya bisa ikut melangun bersama


anjingnya (Johan Weintre, 2003, 68)
Sebelum orang luar, termasuk orang Kubu yang mau
kembali ke tempat asli diijinkan oleh Temenggung atau
pemimpin mereka, mereka perlu menyiapkan diri. Proses itu
memakan waktu minimal selama 3 bulan. Orang yang mau masuk
wajib membersihkan diri. Orang tersebut tidak boleh makan
makanan yang tabu, seperti kambing, ayam, bebek, sapi dan telur
atau memakai sabun yang harumnya akan menghina Dewa-dewi
mereka. Begitu yang diungkapkan oleh Pak Udin, sesepuh desa
Muara Bahar.
Masyarakat terikat akan adat istiadat kelompok yang
saling berinteraksi secara terus menerus dan mengikat anggota
kelompok secara kontinyu. Hubungan antar anggota kelompok
terasa lebih dekat dan kental, dengan keterikatan adat istiadat
yang merupakan tata krama bersama karena adanya
kebersamaan dalam pengertian terbatas. Masyarakat secara
kontinyu terikat akan pengaturan kelompok berupa adat istiadat
yang telah disepakati bersama. Adat istiadat merupakan tata
krama yang tidak tertulis, walaupun demikian harus dipatuhi dan
ditaati oleh semua anggota masyarakat (Koentjaraningrat, 2009,
153). Dari situlah timbul kepercayaan pemujaan roh dan
kehidupan roh dianggap sama dengan kehidupan manusia yang
memerlukan makan dan minum. Mengadakan sesajian (sajen)
merupakan suatu pendekatan hubungan manusia dengan roh.
Mereka sangat percaya bahwa orang yang meninggal dunia,
rohnya tetap hidup dan kembali ke surga.
Tuhan (Raja Nyawa), roh, nyawa dan makhluk halus ini
memiliki sifat senang dan marah. Senang apabila isi hutan
dipelihara, dijaga dan dilestarikan. Tetapi akan marah apabila
hasil hutan dirusak, disia siakan, dihabisi atau dicemari. Agar Raja
Nyawa tidak mencabut nyawa, dan para dewa, roh, makhluk

65

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

halus tidak mengganggu keselamatan manusia, maka


diadakanlah upacara besale.
Besale adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada roh
melalui perantaraan dukun, karena ada sebagian roh yang jahat
yang bukan roh leluhur mereka (suku anak dalam) yang bisa
mengganggu dan menyebabkan penyakit. Juga sebagai akibat
dari menentang alam. Orang akan ditimpa berbagai penyakit.
Dan penyakit itu bisa disembuhkan apabila orang kubu meminta
ampun kepada segala roh dan makhluk halus yang menjaga
hutan (alam) melalui upacara besale.

Gambar 2.19.
Dukun Kubu Sedang Melakukan Upacara Besale
Sumber: Dokumentasi Peneliti.

Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, Upacara


besale dikenal ada beberapa macam, antara lain:
1) Besale beringin tujuh, yaitu upacara pembacaan mantera
berupa sastra suci (sale) yang terdiri dari 30 nyanyian.
Upacara ini bertujuan untuk mengobati penyakit berat

66

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

2)

3)

4)

5)

6)

7)
8)
9)
10)

seperti penyakit hilang ingatan, gila, busung lapar dan


sebagainya.
Besale beringin tiga pangkat, yaitu upacara bermalim
kecil untuk mengobati penyakit yang ringan seperti sakit
perut, sakit demam dan sebagainya.
Besale tujuh sale dengan menyanyikan tujuh sale (mantra)
untuk menyembuhkan penyakit seperti pada anak anak
dan orang dewasa yang tidak begitu berat, seperti
campak, dll.
Besale suaraian dengan membaca tiga puluh tiga sale,
untuk penyakit yang agak sulit disembuhkan, seperti
kerasukan
Besale gelemat untuk mengobati sakit bagi wanita yang
sedang hamil atau yang ingin mendapatkan keturunan (
untuk yang kasus ini dilakukan sebanyak 3 x dalam 3 bulan
berturut turut)
Besale kartu aro, untuk menyembuhkan ibu ibu yang sakit
pada waktu melahirkan atau mengalami kesulitan
melahirkan
Besale bujuk untuk mencari jodoh dan bernazar apabila
ingin kehendaknya terkabul
Besale beringin puncak meligai untuk upacara selamatan
besar tamat menjadi penyembuh atau malim kepala
Besale timbang dundangan untuk upacara perkawinan
Besale jadi (malim datuk) untuk mengusir dan
menghindari wabah penyakit yang sedang berjangkit.

Setiap upacara besale diawali dengan pembacaan doa


oleh dukun untuk memanggil roh atau jemalang yang akan
singgah di balai penghadapan. Roh yang dipanggil adalah
penyebab malapetaka. Untuk memikat atau merayu roh halus
disediakan sesajian yang terdiri dari beras, kunyit, kemenyan,
kue-kue, pisang, ayam panggang dan sebagainya. Juga disiapkan
67

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

boneka berupa burung ondan yang dibuat dari daun aren.


Boneka dari daun enau dimaksudkan sebagai simbol dari
kendaraan bagi roh yang akan dipanggil. Dilengkapi pula bungabunga dan balai-balai untuk tempat dukun.
Dalam melakukan upacara besale, ada beberapa hal yang
harus ditaati, mulai dari waktu penyelenggaraan, alat-alat dan
sesajian dalam upacara sampai ke tempat pelaksanaan upacara
besale. Misalnya besale harus dilaksanakan pada malam hari,
waktu penyelenggaran mendekati maghrib atau perpindahan
waktu antara sore hari dan malam. Ketentuan waktu pelaksanaan
upacara tidak boleh diganti dengan waktu yang lain, karena bisa
berakibat fatal bagi dukun. Dukun harus berasal dari kalangan
mereka sendiri yangmemperoleh keterampilan dan ilmu sebagai
dukun secara turun-temurun juga. Persyaratan tersebut
mengindikasikan bahwa tidak bisa sembarang orang bisa
berperan sebagai dukun yang memimpin upacara besale.
Secara lebih rinci, Dukun pemimpin upacara besale harus
dapat berkomunikasi dengan para roh dan makhluk halus. Dukun
harus menguasai irama musik redab, sejenis alat musik pukul
yang biasa dimainkan pada acara besale, yang di daerah lain di
Indonesia biasa menyebutnya rebab. Penguasaan terhadap irama
musik redab ini penting mengingat setiap tahap dan jenis upacara
mempunyai irama berlainan sesuai dengan keperluan-nya.
Seorang Dukun juga harus menguasai perlengkapan upacara.
Penataan, jenis dan jumlah sesaji yang harus lengkap karena
masing-masing memiliki makna dan kekuatan magis tersendiri.
Upacara besale merupakan warisan leluhur berupa
petuah dan peringatan agar anak cucu tidak melanggar tradisi
yang telah ada secara turun temurun sejak nenek moyang
masyarakat Suku Anak Dalam. Petuah dan larangan pada
upacara besale dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga
kelestarian komunikasi antar manusia dengan Tuhan mereka,

68

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Tuhan,


manusia dan alam merupakan lingkaran yang tidak terputus dan
tidak keluar dari tradisi yang telah ada. Anggota kelompok
masyarakat Suku Anak Dalam tidak boleh keluar dari lingkaran
tradisi. Apabila ada anggota masyarakat yang melanggar atau
mempertentangkan tradisi, diyakini akan menimbulkan
kemurkaan roh dan akan mendatangkan malapetaka. Oleh
karena itu, pengertian mereka sebagai warga masyarakat Suku
Anak Dalam atau masyarakat Kubu, hanya terbatas pada
kepercayaan adanya roh atau makhluk halus sebagai penyebab
penyakit dan kematian.

Gambar 2.20.
Upacara Besale Tujuh Sale
Sumber: Dokumentasi Peneliti

69

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Berkenaan dengan kepercayaan terhadap kekuatan


supranatural, seperti roh halus sebagai penguasa alam,
masyarakat suku anak dalam juga mengenal faham fetitisme,
suatu bentuk pemujaan benda-benda buatan manusia yang diisi
kekuatan ghaib atau mereka sebut dengan tangkal. Wujud dari
benda ini dapat berupa minyak, kayu, kain putih, air, batu, cincin,
garam atau merica. Benda-benda itu apabila telah diisi dengan
jampe-jampean, diyakini akan memiliki kekuatan. Kekuatan
suprantural yang terkandung dalam tangkal ini diciptakan sesuai
kebutuhan si pemakai. Bisa saja sebotol kecil minyak kelapa yang
telah diisi dapat membuat seseorang seperti tentara yang
disegani dan ditakuti oleh orang lain. Sebotol minyak kelapa tadi,
juga dapat juga difungsikan sebagai minyak pelet, untuk
membuat seorang pria atau wanita tergila-gila pada si pemakai.
Media suatu benda sebagai tangkal bisa sama, tetapi bila diisi
dengan jampe yang berbeda maka akan menghasilkan sesuatu
yang berbeda sebagaimana yang diceritakan oleh Pak Mat Rosi,
salah seorang informan :
apo kalo Suku Anak Dalam kalo lihat cewek apo
cowok yang dio senang biso dio dapat kan? yo, jaman
dulu memang mantik ilmunya, sekarang idak lagi soalnyo
dak agak maju tapi masih ado be lah keturunannyo yang
biso ado dak dak pak jaman dulu korban dari ilmu itu,
seperti Nek Rasid kan orang Bugis apo siapo be? yo ado,
mantra, kalo jaman dulu kalo kito beludah di depan
mereka na itu mereka meraso tersinggung jadi keno lah
orang yang berludah itu, soalnyo dulu kulit mereka
bersisik jadi baunyo, tapi sekarang idak lagi karena
mereka minum obat dari Dinas Sosial dulu jadi kulit
mereka da bersih

Banyak sekali contoh kasus untuk penggunaan pelet di


desa Teluk Beringin. Bagai sebuah rahasia umum, pelet diakui

70

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

sebagai hal yang biasa dilakukan tetapi tidak biasa diungkapkan


secara terang-terangan. Berbeda dengan pemakaian tangkal
yang tidak setabu pelet untuk dibicarakan. Tidak banyak beban
ketika diceritakan tentang tangkal yang biasa dipakai oleh ibu ibu
hamil atau anak anak supaya bisa menjaga mereka tidak
diganggu oleh roh halus atau menurut istilah setempat
keteguran. Seperti juga yang dikenakan pada ibu hamil, biasanya
tangkal telah diisi jampi jampi atau mantra oleh dukun kampong,
seperti yang diungkapkan ibu Fitriani berikut.
paling2 kalo lagi bepergian kita diberi jerango
bunglay supayo kita selamat kalo kita kemano-mano,
dak ado yang ganggu

Gambar 2.21.
Jerangau Bunglay dengan Gigi Ikan Tomang
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Hal yang sama juga dialami oleh ibu Atika Amelia yang
baru pertama kali hamil. Untuk menghindarkan diri dari hal-hal
yang berakibat tidak baik, ibu Atika juga memilih untuk memakai

71

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tangkal. Penggunaaan tangkal juga ditemukan pada anak balita,


sebagaimana terlihat dalam bentuk gelang yang dikenakan oleh
Faris, anak ibu Leni. Berikut komentar yang diungkapkan ibu
Atika dan Leni terkait penggunaan tangkal.
iya minta sama nenek kami ini kan minta obat sama
dio kito kan takut kito niih di hutan dan kebun ini jadi
mintalah obat sama nenek, supayo dio gak keteguran
iya, namanya gelang balik sumpahMaksudnya kalo
ado orang yang mau nyumpahin dio, jadi balik lagi ke
orangnyo yang itu tangkal namanyo, semacam

tangkal biar ndak ado penyakit-penyakit atau


gangguan ke anak ... dari nenek Limah juga

Gambar 2.22.
Gelang Tangkal Untuk Anak Anak
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa walaupun


sebenarnya masyarakat Suku Anak Dalam di desa Muara Bahar
Kecamatan Bayung Lencir telah memeluk agama Islam, namun

72

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

mereka masih mempunyai kepercayaan bahwa keberadaan roh


dan makhluk halus dapat mempengaruhi kehidupan keseharian.
Masuknya ajaran Islam dalam kehidupan mereka tidak serta
merta menggantikan kepercayaan terhadap mahluk halus dan
roh leluhur serta faham fetitisme yang mereka anut. Tampaknya
masih sulit bagi mereka meninggalkan tradisi tersebut.
Kepercayaan terhadap mahluk halus, roh leluhur dan faham
fetitisme merupakan budaya yang tampaknya susah dirubah.

2.6. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan


2.6.1. Sistem Kekerabatan
Prinsip-prinsip keturunan merupakan salah satu faktor
untuk menentukan batas hubungan sistem kekerabatan di antara
individu-individu sebagai anggota kelompok atau masyarakat,
dimana mereka dalam kehidupan sehari hari, bergaul
ataumelakukan hubungan sosial dengan sesamanya. Pembatasan
dalam sistem kekerabatan itu sifatnya selektif dan eksklusif,
karena adanya ketentuan dengan siapa sajakah diantara individu
yang dapat masuk kedalam keanggotaan atau sistem
kekerabatan dengan batas-batas hubungan tertentu dan
siapakah yang di luar batas-batas tersebut.
Hubungan dalam sistem kekerabatan yang merupakan
hubungan di antara anggota suatu kelompok dalam lingkup yang
mempunyai persamaan darah, persamaan perasaan dan
persamaan tempat. Secara bersama memegang teguh suatu
kompleksitas berupa hak dan kewjiban yang harus ditaati oleh
setiap individu sebagai anggotanya, misalnya kewajiban untuk
kooperatif dan melakukan segala bentuk kegiatan produktif.
Dalam hubungan kekerabatan dikenal tiga macam bentuk pokok
dari prinsip keturunan, yaitu:

73

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

1) prinsip patrilineal, yang menghitung hubungan kekerabatan


melalui orang laki laki saja,
2) prinsip matrilineal, yang
menghitung
hubungan
kekerabatan melalui orang orang perempuan,
3) prinsip bilateral, yang menghitung hubungan kekerabatan
melalui orang orang laki laki dan orang orang perempuan.
Dari ketiga prinsip keturunan tersebut di atas jika
dicocokkan serta dibandingkan dengan prinsip yang berlaku bagi
masyarakat Suku Anak Dalam yang tinggal di dusun Teluk
Beringin, mereka ini menganut prinsip bilateral. Setiap individu
selaku anggota masyarakat dalam menarik garis keturunan selalu
menghubungkan dirinya kepada pihak ayah maupun pihak
ibunya. Dengan perkataan lain hubungan kekerabatan antara
seseorang anak dengan kaum kerabat dari pihak ayah tetap
sederajat terhadap kaum kerabat ibunya.
Sebagai contoh dapat dilihat bahwa hubungan antar
individu dalam sistem kekerabatan dalam kehidupan sehari hari
selalu merasa lebih dekat dengan kerabat dari pihak ibu daripada
pihak ayah. Hal ini tercermindalam penyelenggaraan upacara
sedekah, selamatan, kenduri, upacara perkawinan atau upacara
kematian, maka partisipasi dari segenap kaum kerabat ibu dalam
kegiatan itu kelihatan lebih menonjol, jika dibandingkan dengan
kerabat pihak lainnya. Tetapi pada penentuan hak waris, mereka
berorientasi pada ajaran Islam yang telah dianutnya. Sehingga
sistem hukum waris masyarakat patrilineal yang lebih
berpengaruh pada kehidupan masyarakat dusun Teluk Beringin.
Harta warisan seseorang sebagian besar jatuh pada kerabat pihak
laki laki, namun juga sering terjadi pula dimana penentuan hak
waris orang tua dibagi habis sama besar nilainya untuk masing
masing anak yang ditinggalkannya.
Dalam kenyataan adat istiadat yang berlaku di daerah
dusun Teluk Beringin desa Muara Bahar dapat dilihat bahwa
74

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

sikap dan tingkah laku seorang anak terhadap ibu-bapaknya


harus sangat menghormat. Sikap sangat menghormat itu
terwujud antara lain dalam hal kewajiban anak untuk mematuhi
semua hal dan keinginan yang dikehendaki orang tua. Perilaku
hormat kepada orang tua juga ditunjukkan dengan menghindari
segala hal dan perbuatan yang tidak disukainya. Tidak boleh
melawan dan tidak boleh mengingkari segala perintah dan
nasehat dari orang tua, meskipun kadang kadang perintah dan
nasehat yang diberikan bertentangan dengan hasrat serta
kemauan anak itu sendiri.
Selain kepada orang tua, sikap menghormat harus
diperlihatkan oleh seorang anak terhadap orang orang yang
seangkatan dengan orang tuanya atau angkatan diatasnya seperti
paman, bibi, datuk, nenek dan sebagainya. Sikap menghormat
seseorang kepada mereka yang berusia lebih tua tidak hanya
berlaku dalam lingkungan keluarga. Seseorang harusnya juga
hormat kepada tetangga dan khususnya pemuka masyarakat
atau agama.
Adapun adat sopan santun seorang anak terhadap saudara
saudara, teman teman atau kerabat kerabat yang seangkatan
dengan dia, dalam kenyataannya sering berlaku sikap bebas
dalam artian tidak mutlak mempergunakan sikap menghormat.
Apalagi bentuk pergaulan sudah sedemikian eratnya, akan
menampakkan sikap bergurau kasar, karena sikap dan
pembicaraan dikeluarkan menurut sesuka hatinya, tanpa dibatasi
oleh tertib sopan santun.
Hubungan antara sistem istilah kekerabatan dalam suatu
bahasa dengan system kekerabatan dari masyarakat
pendukungnya yang mengucapkan itu sering menampakkan
gejala kesejajaran di antara keduanya. Istilah menyapa atau
terms of reference itu digunakan Ego untuk memanggil seseorang
kerabat apabila ia berhadapan dengan kerabat tadi dalam

75

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

hubungan pembicaraan langsung. Sebaliknya istilah menyebut itu


dipakai oleh si Ego apabila ia berhadapan dengan seseorang lain,
berbicara tentang seorang kerabat sebagai orang ketiga. Dalam
bahasa daerah pada umumnya istilah menyapa bagi saudara laki
laki ataupun saudara perempuan dari orang tua menurut tertib
bilateral, yang juga dibedakan menurut urutan dalam keluarga
dan menurut prinsip umur.
Di dusun Teluk Beringin desa Muara Bahar, ada istilah
istilah yang biasa didengar dalam kehidupan sehari-hari ketika
seseorang menyebut atau menyapa orang lain khususnya mereka
yang masih mempunyai hubungan kekerabatan. Beberapa istilah
yang digunakan antara lain sebagai berikut :
1) Ayah dengan sebutan ayah atau bapak
2) Aaudara laki laki ayah atau ibu disebut dengan istilah
paman .
3) Untuk menyapa saudara-saudara orang tua, baik laki laki
maupun perempuan yang umurnya lebih tua dari ayah dan
ibu, lazim dipakai istilah wak.
4) Pak cik, merupakan sapaan yang diucapkan seseorang
terhadap saudara laki laki dari ayah dan ibu yang lebih
muda.
5) Wak cak, merupakan sapaan untuk paman atau bapak
besak (besar) untuk menyapa saudara laki laki ayah/ibu
yang lebih tua.
6) Bikmuk, sebutan untuk bibi atau saudara perempuan ayah
dan ibu yang bentuk badannya gemuk.
7) Wakngah, sebutan untuk paman atau saudara laki laki ayah
dan ibu yang urutannya berada di tengah.
8) Bikte, sebutan untuk bibi atau saudara perempuan ayah
dan ibu yang warna kulitnya putih
Sebagian orang memakai istilah mamang untuk menyapa
saudara laki laki ayah dan ibu yang usianya lebih tua, namun yang
76

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

lazim digunakan adalah istilah wak. Untuk menyapa orang orang


yang tergolong dalam angkatan ke dua di atas orang tua, ada
istilah datuk untuk mereka dengan jenis kelamin laki-laki atau
biasa disapa nenek bila perempuan. Istilah cucung digunakan
untuk menyebut angkatan kedua di bawah anak. Begitu juga
untuk menyapa saudara laki laki yang lebih tua, digunakan istilah
kakak atau abang. Terkadang sebutan kakak atau abang juga
digunakan untuk menyebut istilah seorang istri kepada suaminya.
Sedangkan untuk menyapa saudara perempuan yang lebih tua
dengan istilah ayuk atau embak.
2.6.2. Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal
Pada masyarakat Suku Anak Dalam yang mendiami dusun
Teluk Beringin Desa Muara Bahar pada awalnya, pimpinan
masyarakat adalah bersifat kadangkala yang berarti hanya
diperlukan pada waktu tertentu selama dianggap suatu
kebutuhan. Karena pada waktu itu lokasi tempat bermukim
mereka masih berpindah pindah, pada saat tertentu mereka
mengelompok dalam kelompok induk, dan pada saat saat
tertentu apabila sebagian dari kelompok misalnya kelompok
besar hendak pergi berburu, mereka pergi begitu saja.
Begitulah tradisi masyarakat Suku Anak Dalamyang pada
waktu itu hidup menyebar berkelompok di hutan-hutan tanpa
seorang pemimpin yang mempunyai kewibawaan resmi. Jika
timbul persoalan, mereka akan tunduk kepada kekuasaan orang
yang mempunyai sifat-sifat kepemimpinan. Di dalam setiap
kelompok terdapat satu atau beberapa orang yang dianggap
mempunyai kemapuan lebih tentang sesuatu hal akan dipercaya
untuk memimpin atau mengarahkan kegiatan para anggota
kelompok.
Seiring dengan semakin majunya tingkat pendidikan yang
diraih oleh beberapa warga masyarakat Suku Anak Dalam di
77

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Dusun Teluk Beringin, meskipun mayoritas masih mencapai


tingkat sekolah dasar, tetapi masyarakat sudah mampu
menetapkan kriteria bagi pemimpinnya. Masyarakat dusun
tersebut mulai menetapkan figur seorang pemimpin yang dipilih
berdasarkan pada keturunan masyarakat Suku Anak Dalam yang
pertama mendiami dusun tersebut. Kemampuan dan keberanian
sebagai orang pertama yang membuka lahan berupa hutan
hingga menjadi ladang atau perkebunan merupakan hal yang
diapresiasi oleh masyarakat. Keturunan dari pembuka lahan
diharapkan mempunyai kemampuan dan kebaranian yang sama
dengan leluhurnya sehingga layak untuk dipilih sebagai
pemimpin. Pimpinan yang dimaksud disebut sebagai kriyo atau
setingkat kepala desa yang dipilih oleh warga desa berdasarkan
keturunan, kemampuan dan kecakapan dalam memimpin, dan
kemapanan secara ekonomi.
Adapun susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan
desa adalah sebagai berikut:
1. Kriyo atau kepala desa, mempunyai tugas, fungsi dan
kedudukan sebagai :
a. Mengepalai kepala kepala dusun atau kampong
b. Melaksanakan kekuasaan administrative pemerintahan
c. Memimpin wilayah desa
d. Sebagai kepala adat atau penyeimbang adat
2. Mangku atau kepala kampong atau dusun
a. Membantu kriyo dalam menjalankan pemerintahan di
tingkat kampong
b. Sebagai penyeimbang adat
3. Canang atau pembarap, untuk yang ini tidak melalui
pemilihan tetapi ditentukan oleh mangku atau kepala
kampong untuk membantu dalam hal administrasi dan
penghubung antara kriyo dan kepala kepala kampong.

78

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Dalam perkembangannya, pola pemerintahan seperti ini


berganti lagi dengan adanya aturan pemerintah yang
diberlakukan sekarang ini. Dulunya menjadi kriyo atau kepala
desa masa jabatan bisa seumur hidup asalkan rakyat tetap
menghendakinya, namun sistem pemerintahan desa sekarang
ada aturan bahwa menjadi seorang kepala desa dibatasi
waktunya hanya 6 tahun untuk satu kali periode. Kepala Desa
bisa menjabat lagi sebanyak dua kali periode saja untuk kepala
desa. Berbeda dengan sekretaris desa yang bisa seumur hidup
dan juga diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Sebagai gambaran, berikut ini adalah struktur organisasi
pemerintahan Desa Muara Bahar.
Kepala Desa

BPD

Sekdes
Staf

Pelaksana Teknis

Kepala Dusun
Gambar 2.23.
Struktur Jabatan di desa Muara Bahar
Sumber: Visualisasi Peneliti

Kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan


pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Dalam
melaksanakan tugasnya, kepala desa mempunyai wewenang,
antara lain:
a. Memimpin
penyelenggaraan
pemerintahan
desa
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD
79

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

b. Mengajukan rancangan peraturan desa


c. Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat
persetujuan bersama BPD
d. Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa
mengenai APBD desa untuk dibahas dan ditetapkan
bersama BPD
e. Membina masyarakat desa
f. Membina perekonomian desa
g. Mengoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif
h. Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan
dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai
dengan peraturan perundang undangan
i. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundang undangan.
Selain mempunyai wewenang sebagaimana tersebut,
dalam melaksanakan tugas Kepala Desa mempunyai kewajiban
sebagai berikut:
a. Memegang
teguh
dan
mengamalkan
Pancasila,
melaksanakan
Undang-Undang
Dasar
RI
serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI
b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat
d. Melaksanakan kehidupan demokrasi
e. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih
dan bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme
Pada kenyataannya di masyarakat dusun yang dirasa
sebagai pemimpin adalah sekretaris desa yaitu Pak Kohar. Kondisi
ini terjadi karena Kepala Desa perhatiannya lebih banyak
tercurah dengan bisnis kebun karet dan sawitnya pribadi. Semua
urusan admisnitrasi dan masyarakat desa lebih banyak diwakili
oleh Sekretaris Desa, apakah itu dengan adanya pesta atau

80

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

upacara upacara adat ataupun urusan administratif di desa dan


kecamatan. Begitu pula dengan anggaran dan pengelolaannya
sekdes dibantu BPD dan kepala kepala dusun yang lainnya.

Gambar 2.24.
Sekretaris Desa Muara Bahar
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Tim peneliti selama tinggal di dusun dan melakukan


pengamatan merasakan kepemimpinan Pak Kohar begitu terasa
sebagaimana yang diungkapkan dan dirasakan masyarakat
setempat. Beliau sangat aktif memimpin rapat rapat desa.
Kehidupannya juga sederhana tidak terlalu menonjolkan diri di
masyarakat. Akan tetapi masyarakat tetap hormat dan segan
kepada beliau. Permasalahan yang ada di masyarakat seringkali
dimusyawarahkan dengan pak Sekkretaris Desa. Hal yang
dimusyawarahkan bukan masalah desa saja, tetapi juga masalah
pribadi dan hal-hal yang remeh juga.
Ada legenda yang hidup di masyarakat dusun Teluk
Beringin di perairan sungai berdomisili buaya putih. Dalam pada
81

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

itu, apakah kondisi meluapnya sini menyebabkan munculnya


buaya putih yang sudah langka dan sangat jarang memunculkan
diri di sungai, tidak ada penjelasan yang pasti. Masyarakat
setempat mempercayai apabila buaya putih muncul
menampakkan diri di perairan sungai maka akan ada pertanda
sesuatu akan terjadi yang tidak diingini oleh warga. Apakah itu
munculnya suatu penyakit ataukah sebagai pertanda bahwa desa
tersebut sudah kotor yang artinya bahwa ada anggota
masyarakat sudah berbuat yang melanggar aturan atau norma
norma masyarakat disana. Aturan yang dilanggar itu seperti
adanya gadis yang hamil diluar nikah atau sebelum menikah atau
ada pasangan yang berselingkuh.
Untuk itu, menurut penduduk desa seharusnya dilakukan
acara bersih desa atau sedekah desa yang harus segera
dilaksanakan biar buaya putih sebagai penunggu sungai
tempat. Kepemimpinan yang ada di desa menempatkan pak
Kohar sebagai Sekdes untuk pemimpin upacara sedekah desa
juga didampingi oleh para tetua desa yang dianggap tahu dan
mengerti agama dan adat di desa dalam penyelenggaraannya.
Secara adat kepemimpinan para tetua desa sudah tidak
menonjol lagi, akan tetapi nasehat dan petuah ataupun larangan
dan anjuran dari mereka tetap dipatuhi oleh masyarakat di
dusun Teluk Beringin. Mereka berfungsi sebagai pengontrol
dalam kehidupan bermasyarakat, dan memberi masukan dan
saran-saran kepada pemimpin desa secara formal. Akan tetapi
kalau ada upacara-upacara para tetua desa tetaplah sebagai
pemimpin spiritual dalam upacara-upacara tersebut. Demikian
pula kalau masyarakat sedang ada masalah, dengan sendirinya
para tetua akan didatangi, karena mereka adalah orang yang
paling disegani dan dihormati. Sebagai contoh, pada waktu itu
ada masalah dengan status seorang yang akan menikah di Dusun
Teluk Beringin. Statusnya calon pengantin perempuan belum

82

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

jelas apakah dia sudah janda cerai hidup ataukah belum karena
kebetulan datang dari desa lain dan hanya menikah secara adat
saja. Sementara pihak laki laki dikejar untuk segera menikahinya
dalam waktu dekat. Sehingga akhirnya pihak calon pengantin laki
laki menyerahkan permasalahan tersebut pada para tetua
terlebih dahulu yang pada akhirnya menyerahkan masalah
tersebut untuk dimusyawarahkan di rumah Pak Rahman sebagai
Ketua Dusun. Pak Rahman sebagai Ketua Dusun juga menghargai
pendapat dan masukan dari para tetua yang ada, meskipun
secara formal dialah pemimpin di desa itu, dan lebih
berpendidikan tinggi pula. Tetapi bagaimanapun juga, tetua
tetaplah dianggap lebih tahu dan mengerti secara adat
bagaimana sebaiknya mereka bersikap dan mengambil
keputusan demi kebaikan bersama.
Kepemimpinan lokal di desa sudah mengalami perubahan
tadinya dipimpin oleh para ketua adat menjadi dipimpin oleh
Kepala Desa. Ketua Adat atau dalam istilah Suku Anak Dalam
disebut tumenggung ,dan proses pengangkatannya secara
turun temurun, dalam artian apabila tumenggung yang lama
telah meninggal secara otomatis akan digantikan oleh
penerusnya yaitu anak laki lakinya, dan tidak berlaku untuk
menantunya atau anak sepupunya. Kepemimpinan desa pada
masa kini dilakukan berdasarkan pemilihan kepala desa.
Selama ini, pemilihan Kepala Desa seringkali berakhir
dengan suara bulat dari masyarakat desa. Meskipun tidak
menutup kemungkinan yang menjadi Kepala Desa adalah
keturunan juga dari Kepala Desa sebelumnya. Kepala Desa yang
sekarang ini adalah anak (keturunan) dari Kriyo Said atau kepala
desa yang sebelumnya. Kriyo Said yang memimpin sebelumnya
merupakan kepala desa seumur hidup. Karena pada waktu itu
menjadi kepala desa tidak ada batasan waktu atau periode masa
kepemimpinannya. Sehingga masa kepemimpinan beliau sampai

83

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

akhir hayatnya. Sebelum meninggal, Kriyo Said sudah berpesan


kepada para kepala dusun setempat kalau ada Pilkades sebaiknya
diteruskan oleh anak lelakinya. Anak lelaki yang ditunjuk adalah
Pak Herman Said. Memang pada waktu itu kondisi Kriyo Said
sudah sakit sakitan dan telah mengadakan acara besale sampai
2 kali dalam upaya mencari kesembuhan.
Dan pada waktu itu juga ada Peraturan Pemerintah yang
menetapkan bahwa semua Sekdes akan diangkat menjadi
Pegawai Negari Sipil. Sehingga niat Pak Kohar yang sebelumnya
akan ikut mencalonkan diri sebagai kandidat calon Kades (kepala
desa) Muara Bahar diurungkan. Pak Kohar lebih memilih untuk
menjadi Sekretaris Desa saja dengan jaminan menjadi PNS.
Pada pemilihan kepala desa di desa Muara Bahar, tahun
1998, Sekdes Pak Kohar malah menjadi salah satu tim sukses
dalam Pilkades yang akhirnya dimenangkan oleh Pak Herman
Said. Hampir semua warga masyarakat yang memilih secara Pak
Herman Said karena beliau adalah anak dari Pak Said Kriyo yang
telah diakui dan teruji kepemimpinannya. Warga masyarakat
berharap Pak Herman sebagai kepala desa karena gaya atau pola
kepemimpinannya tidak jauh berbeda dengan orang tuanya.
Sehingga pada waktu Pak Herman maju menjadi calon dalam
Pilkades, tentu saja banyak memperoleh dukungan karena
secara ikatan moral warga masyarakat mengingat jasa-jasa Kades
atau Kriyo sebelumnya. Banyak harapan masyarakat desa Muara
Bahar pada masa kepemimpinan Pak Herman Said. Pola Pak
Herman Said tidak sama dengan gaya atau pola kepemimpinan
Kriyo sebelumnya.
Perilaku seseorang tidaklah ditentukan oleh keturunan
tetapi banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial, pendidikan,
psikologi atau kejiwaan seseorang. Yang timbul kemudian banyak
ungkapan kekecewaan dari masyarakat Muara Bahar tentang
pemimpin mereka. Selanjutnya disadari atau tidak, akhirnya

84

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

masyarakat lebih banyak mengandalkan Pak Kohar sebagai


pemimpin mereka. Meskipun secara de jure pemimpin desa tetap
Pak Herman Said. Urusan pemerintahan desa lebih banyak
dikerjakan dan diamanatkan masyarakat desa kepada Pak Kohar
sebagai Sekdes.
Dalam kehidupan masyarakat pedesaan, selalu diwarnai
rasa tolong menolong di antara sesamanya. Didorong pula oleh
perasaan saling membutuhkan dalam memenuhi keperluan
hidup masing masing. Timbulnya rasa itu bisa saja karena
terpaksa dan ada pula karena kesukarelaan. Sebagai contoh
apabila ada pesta pernikahan atau bantu membantu dalam
kegiatan pertanian. Bantuan atau sumbangan yang diberikan
pada hakekatnya dilakukan karena terpaksa, berhubung adanya
suatu jasa yang mungkin pernah diberikan kepadanya. Atau
sumbangan itu diberikan dengan harapan akan mendapatkan
bantuan lagi pada kesempatan lain.
Yang agak berbeda keadaannya, dengan bantuan yang
diberikan seseorang sehubungan dengan peristiwa kematian atau
bencana, atau mendapatkan kecelakaan. Dalam peristiwa
peristiwa semacamnya itu anggota masyarakat desa pada
umumnya akan memberikan bantuan tanpa perhitungan akan
mendapatkan pertolongan kembali, karena menolong orang yang
kena musibah agaknya memang berdasarkan rasa belasungkawa
yang universal ada dalam jiwa setiap manusia.
Tetapi pada daerah pedesaan semangat untuk bersama
sama atau bergotong royong dalam setiap kegiatan terasa lebih
menonjol dibandingkan di masyarakat perkotaan. Terlebih dalam
kehidupan mereka sehari hari, yang tetangga sekitarnya masih
ada pertalian keluarga, tentulah masih sangat kental sekali.
Karena yang dibantu bukanlah orang lain. Sebagai contoh,
ditempat tim peneliti menginap atau base camp yaitu rumah Pak
Rahman yang merupakan Kepala Dusun dan Ketua BPD Desa

85

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Muara Bahar, teramati bahwa tanpa disuruh pun anggota


keluarga yang lain akan membantu menyelesaikan pekerjaan
rumah tangga.
Sikap gotong royong tercermin pada suatu kegiatan
hajatan yang diselenggarakan warga.Tampak adanya kesiapan
warga sekitar ikut membantu mendirikan tenda sebagai tempat
upacara walau tidak diminta. Demikian pula kegiatan gotong
royong dalam rangka kerja bakti, semua didasari oleh semangat
kebersamaan.
Desa Muara Bahar tidak mengenal sistem stratifikasi atau
pelapisan sosial. Sedangkan lapisan masyarakat sendiri mulai ada
sejak manusia itu mengenal adanya kehidupan bersama di dalam
tata susunan masyarakat. Setiap anggota masyarakat pasti
mempunyai sesuatu yang dihargainya dan oleh karena itu selama
dalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai, maka hal itu akan
merupakan bibit yang dapat menumbuhkan adanya sIstem
pelapisan di dalam masyarakat. Barang sesuatu yang dihargai itu
mungkin berupa benda benda yang bernilai ekonomis, mungkin
juga berupa ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama, atau
mungkin juga keturunan dari keluarga yang terhormat.
Meskipun secara eksplisit tidak ada pelapisan dalam
masyarakat suku anak dalam di dusun Teluk Beringin akan tetapi
tetap ada perbedaan secara gamblang bahwa siapa yang memiliki
sesuatu yang berharga dalam jumlah banyak, tentulah akan
dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang menduduki lapisan
atas.
Sebaliknya mereka yang hanya sedikit atau bahkan sama
sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga, dalam pandangan
masyarakat hanya mempunyai kedudukan yang rendah. Biasanya
golongan yang berada dalam lapisan atas, tidak hanya memiliki
satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat, akan
tetapi kedudukan yang tinggi itu bersifat kumulatif, artinya,

86

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

mereka yang misalnya mempunyai uang banyak, akan mudah


sekali mendapatkan tanah, kekuasaan dan mungkin juga
kehormatan.
Sifat sistem berlapis dalam masyarakat dusun Teluk
Beringin bersifat terbuka, artinya setiap anggota masyarakat
mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kemampuannya
sendiri untuk naik lapisan atau bagi mereka yang tidak
beruntung, untuk jatuh dari lapisan yang atas ke lapisan di
bawahnya.
Masyarakat Muara Bahar tidak mempunyai kesadaran
atau konsepsi yang jelas tentang susunan susunan pelapisan
dalam masyarakat mereka. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak
pernah didengar istilah tertentu dalam masyarakat untuk
menyebut lapisan masyarakat, kecuali sebutan, seperti: orang
pintar, orang kaya, orang kampong, dan sebagainya. Keadaan
yang menjadi latar belakang dari setiap sebutan serupa itu dalam
alam pikiran mereka diasosiasikan dengan suatu kedudukan
tinggi atau rendah. Penilaian tinggi atau rendahnya tentang suatu
lapisan oleh suatu anggota dan oleh lain anggota masyarakat.
2.7. Lingkaran Hidup
2.7.1. Masa Kehamilan
Menurut adat masyarakat dusun Teluk Beringin, sejak
anak dalam kandungan ibunya, ada kewajiban-kewajiban khusus
dari kedua calon orang tua untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan atau sikap sikap tertentu demi
keselamatan bayi yang akan dilahirkannya. Seperti adanya
pantangan-pantangan seperti menyembelih hewan hidup,
mengikatkan sesuatu pada leher, mandi di sungai pada waktu
tengah hari dan sebagainya.

87

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pelanggaran atas hal yang demikian itu menurut tradisi


dan kepercayaan masyarakat dusun Teluk Beringin akan
menimbulkan masalah. Bisa jadi masalah tersebut berupa
sulitnya proses persalinan atau terjadinya kecacatan bayi yang
dilahirkan atau hal lain yang mungkin mengancam keselamatan
ibu dan atau keselamatan bayi itu sendiri. Biasanya kalau
kandungan memasuki usia 6 7 bulan akan dilakukanpemijatan
atau urut minta pertolongan jasa dukun kampung, dengan tujuan
untuk mengetahui tata letak bayi dalam kandungan, apakah
sungsang, sehat atau juga untuk mengetahui jenis kelamin yang
kadang sudah bisa diketahui oleh dukun kampung. Ada juga yang
bikin among-among, dengan acara pitung sasian saat usia
kandung menginjak tujuh bulan, yang biasa dilakukan karena
bapak calon bayi adalah keturunan Jawa. Masyarakat di Jawa
menyebuta cara ini sebagai tingkeban. Seperti yang diceritakan
oleh ibu Rina, yang mengikuti kebiasaan itu sebagai kebiasaan
dari keluarga mertua.
kan suami masih keturunan Jawa, jadi saya yaa ikut
seperti yang dikatakan keluarga saja gimana maunya
saja.

Among-among berupa nasi dan lauk pauk merupakan


hantaran yang akan dibagi-bagikan kepada tetangga sekitar.
Hantaran ini, jumlah nasinya disesuaikan dengan jumlah usia
kandungan bayi yaitu 7 bulan atau mempunyai angka yang
mempunyai unsur 7, seperti 7 bungkus, 17 bungkus sampai 27
bungkus, tergantung kesiapan keluarga calon bayi. Tak lupa
dukun kampung yang nantinya diminta menolong persalinan
akan mendapat porsi lebih dibandingkan tetangga dan kerabat
lain. Ada kalanya juga dengan memberi sedikit uang untuk
persiapan melahirkan nanti. Pemberian ini mengandung arti
mencicil, sebagai uang muka dan jaminan bahwa nanti kalau

88

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

melahirkan akan ditolong sang dukun.Karena pengeluaran untuk


keperluan persalinan cukup besar, pemberian ini dianggap
sebagai cara agar tidak memberatkan secara finansial.
2.7.2. Masa Kanak-kanak
Di desa Muara Bahar apabila ada ibu hamil, kebiasaan
mereka adalah memeriksakan kandungan di dukun kampong.
Begitu pula bila mereka hendak melahirkan. Nenek dukun
dianggap mempunyai keahlian yang diperoleh secara turun
temurun untuk membantu persalinan. Jarang sekali persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan. Pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan akan dipilih masyarakat ketika ada masalah
dalam persalinan. Kondisi inilah yang harus diperhatikan oleh
provider kesehatan, jangan sampai menimbulkan kesan dan
penilaian masyarakat bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan identik dengan persalinan bermasalah. Kalau sampai
hal tersebut terjadi, maka warga masyarakat Suku Anak Dalam
akan semakin menghindari pertolongan oleh tenaga kesehatan.
Di desa ini ada kakak beradik dukun kampong yang bisa
dimintai tolong untuk membantu persalinan. Kedua dukun
tersebut adalah Nenek Limah dan Nek Koyot, yang juga anak
perempuan dari Bapak Arbain, kepala Suku Anak Dalam. Nenek
Koyot telah menolong persalinan dari awal tahun 1974, semenjak
berdiam di desa Muara Bahar. Seperti yang dituturkan:
nenek nyambut bayi ado berapa ribu lah? ay lebih seribu
ado dak keturunan nenek yang kapan ado lah cak duo
bulan

Mereka berdua, Nek Limah dan Nek Koyot saling bantu


membantu dalam mempersiapkan kelahiran bayi. Yang pertama
disiapkan adalah ramuan, yang biasanya diambil dari tanaman
yang ada di sekitar hutan. Begitu juga ketika tiba hari kelahiran,

89

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

keluarga ibu yang melahirkan dilibatkan dalam penyambutan


bayi. Pelibatan dilakukan dengan cara memberi semangat pada
ibu yang akan melahirkan, terutama waktu menunggu proses
persalinan yang lama.
Upacara basuh tangan dukun sebagai upacara
menyambut lahirnya bayi yang telah ditolong persalinannya oleh
Nenek dukun kampong sebagai ucapan terima kasih keluarga
atas pertolongan tersebut. Upacara ini diadakan setelah kondisi
ibu dan bayi sudah siap dan sehat. Yang diceritakan oleh Nek
Koyot.
terus ado cuci tangan dukun nek,berapo hari laj? ado
be 3 hari kalo cuci tangan dukun apo be yang di
siapke? jeruk nipis, bunga, tepung beras, kunyit, terus
diaduke di bayo terus di mandike dengan bayi,dan
ibunyo dan untuk cuci tangan dukun.

Gambar 2.25.
Acara Basuh Tangan Dukun
Sumber: Dokumentasi Peneliti

90

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Acara basuh tangan dukun biasanya dipimpin oleh dukun


yang membidani lahirnya sang bayi atau dengan kata lain dukun
yang menolong persalinannya. Acara ini diadakan pada hari
ketujuh atau ke-14 setelah kelahiran bayi. Biasanya juga sekalian
dilakukan pemberian nama kepada sang bayi. Doa yang
dipanjatkan saat upacara adalah doa khusus bagi keselamatan
sang bayi dan agar pemberian nama pada sang anak sesuai
dengan harapan orang tuanya di kemudian hari.
Pada saat upacara, sang bayi mendapat perlakuan khusus
seperti dikenakannya benda-benda yang dianggap mengandung
unsur magis yang akan berfungsi mencegah gangguan mahluk
halus, seperti jerango bungle. Karena kepercayaan tertentu,
beberapa peralatan seperti pisau, jarum dan gunting kecil
diyakini mampu melindungi bayi sehingga harus selalu ada di
dekat tempat bayi ditidurkan. Kebiasaan pada masyarakat Suku
Anak Dalam di Dusun Teluk Beringin Desa Muara Bahar ini masih
sering dilakukan sampai sekarang ini.
Kalau yang menyambut lahirnya bayi adalah kalangan
keluarga yang mapan secara ekonomi, akan ada acara cukur
rambut sekalian aqiqah atau syukuran menyambut kelahiran
bayi. Hal inilah yang dilakukan oleh adik ipar pak Kohar,
sekretaris desa Muara Bahar, dengan mengundang tetangga
sekitar dan teman kerja. Sebagai kelengkapan, tuan rumah
menyediakan hiburan yang mengundang keramaian dan
menyebabkan kedatangan para pedagang keliling untuk
menyemarakkan suasana di kampong. Upacara dapat
berlangsung semarak karena keadaan ekonomi dan keluarga
tersebut tergolong mampu untuk membiayai semua rangkaian
acara.
Setelah anak itu mencapai usia 6 sampai 10 tahun, khusus
anak laki laki akan diadakan upacara khitanan atau juga biasa
disebut sunat rasul. Pelaksana khitanan ini biasanya dilakukan

91

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

oleh dukun khusus yang memiliki pengetahuan tentang tata cara


mengkhitan atau menyunat. Tetapi sekarang ini banyak juga
keluarga yang mengkhitankan anaknya kepada pak mantri atau
dokter yang dinilai lebih mumpuni pengetahuannya tentang
medis untuk melakukan khitan. Pemberian obat yang membuat
anak yang dikhitan cepat pulih dibandingkan pelayanan yang
diberikan dukun, membuat orang lebih memanfaatkan petugas
kesehatan.
2.7.3. Masa Muda Mudi
Perkawinan adalah salah satu upacara yang selalu
dinantikan bagi muda mudi dan orang tua yang mempunyai anak
yang sudah cukup umur untuk kawin menurut kebiasaan mereka.
Para bujang dan gadis di desa Muara Bahar mempunyai
kebiasaan menikah di usia muda, antara 13 sampai 20 tahunan.
Kebiasaan menikah muda agaknya sulit dibatasi karena
kebanyakan mereka hanya mengenyam pendidikan paling tinggi
lulus SD. Hanya beberapa orang saja yang melanjutkan sekolah
menengah seperti SMA atau mencapai pendidikan tinggi dengan
gelar sarjana. Agak miris memang, meski secara ekonomi para
orang tua mampu untuk menyekolahkan anak, tetapi banyak
anak bujang dengan berbekal kemampuan seadanya memilih
bekerja di kebun karet atau sawit yang banyak tersedia di sekitar
dusun mereka.
Bekerja sebagai buruh harian agaknya sudah cukup bagi
para bujang ini untuk mengandalkan kehidupan masa depannya
dengan meminang gadis yang diinginkan. Pasangan calon
penganten ini biasanya mengawali perkenalan pada acara muda
mudi, acara pernikahan teman dan melalui media sosial yang lagi
marak saat ini.

92

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Acara meminang biasanya didahului dengan kegiatan


saling mengenal sampai pasangan merasa saling cocok.
Selanjutnya pasangan ini akan menyampaikan kepada orang tua
masing-masing, apakah setuju ataukah tidak, bila hubungan
mereka dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Apabila setuju, bujang
akan meminang dengan membawa sirih pinang, kue-kue, buahbuahan, uang dan terkadang ada yang berupa perhiasaan, sesuai
dengan kesepakatan antara keluarga bujang dan gadis yang akan
dipinang. Hantaran ini biasanya akan dibawa memakai nampan
.Di desa ini, biasa dikenal dengan jumlah nampan yang dibawa.
Masyarakat setempat mengenal sebutan sepuluh nampan yang
berarti bawaan keluarga bujang kepada keluarga gadis berjumlah
10 buah.
Simbol kemapanan keluarga lelaki atau bujang terlihat
dengan jumlah nampan bawaan dan ukuran perhiasan yang
diberikan ke pihak gadis. Nampan yang dibawa bisa mencapai 20
nampan, tergantung dari status gadis yang akan dipinang.
Seorang gadis dinilai berstatus tinggi bila mempunyai pendidikan
tinggi, bekerja sebagai pegawai negeri atau berasal dari keluarga
dengan ekonomi yang mapan. Untuk perhiasan yang dibawa, ada
hitungan khusus yang hanya ada di suku ini, yaitu, kalau
diberikan perhiasan emas satu suku berarti diberikan perhiasan
emas sebanyak 10 gram, kalau dua suku berarti 20 gram dan
seterusnya. Makin banyak jumlah yang diberikan, makin tampak
kemapanan pihak laki-laki.
Kalau terjadi pembatalan pertunangan oleh pihak
perempuan, maka semua hantaran dari pihak laki-laki harus
dikembalikan. Pemberian berupa perhiasan atau uang ini akan
dikembalikan secara berlipat kalau pihak gadis membatalkan
pertunangan secara sepihak. Kalau yang membatalkan
pertunangan adalah pihak laki-laki, maka tidak ada kewajiban
bagi pihak perempuan untuk mengembalikan barang hantaran

93

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dari pihak laki-laki. Tetapi, kejadian pembatalan pertunangan ini


jarang terjadi karena sebelum ada acara pinangan biasanya telah
dirembug sebelumnya dan telah disetujui keluarga dari kedua
belah pihak.
Pemilihan jodoh tidak pernah terjadi secara paksa.
Memang masih ada orang tua yang memilihkan jodoh untuk
anaknya, tetapi orang tua akan mengenalkan terlebih dahulu
anak gadis atau bujang yang menjadi pilihan mereka. Setelah
saling kenal, diharapkan calon pasangan melakukan pengenalan
lebih mendalam sebelum mereka akhirnya suka dan menyetujui
jodoh pilihan orang tuanya. Saat ini, proses perjodohan seperti
ini jarang terjadi, yang ada biasanya saling kenal sendiri antara
gadis dan bujang.
Setelah acara pinangan akan ditentukan tanggal dan hari
kapan pernikahan akan dilangsungkan. Para kerabat orang tua
akan melakukan penghitungan sesuai adat yang ada,
bilamanahari dan bulan yang dinilai baik untuk melangsungkan
pernikahan pasangan ini. Kebiasaan masyarakat di desa
menjelang acara akad nikah, bagi mereka yang menganut agama
Islam dikenal tradisi khatam Quran. Calon penganten bersama
para kerabat melakukan pembacaan Al-Quran sampai tamat.
Tradisi ini dimaksudkan agar calon penganten yang akan
mengalami masa peralihan menuju ke gerbang pernikahan perlu
lebih mengenal Al-Quran sebagai bekal hidup berkeluarga nanti.
Sebagai wujud persiapan keluarga yang akan punya hajat,
biasanya para para ibu mengadakan acara koncek bawang. Hal
ini dilakukan untuk menunjukkan telah dimulainya acara untuk
masak memasak sebagai awal permulaan dari acara pernikahan.
Tanpa diundang, para ibu yang menjadi kerabat dan tetangga
akan berdatangan dengan membawa sejumlah bahan pokok
sebagai hantaran untuk ikut acara ini. Meskipun acara akad nikah
belum dimulai tapi keluarga gadis sudah mulai menyediakan

94

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

segala macam makanan dan kue kue juga minuman sebagai


suguhan untuk tamu yang datang pada acara koncek bawang
ini.
Malam menjelang hari pelaksanaan resepsi pernikahan,
ada beberapa rangkaian acara yang dilakukan keluarga. Karena
memang untuk kebutuhan resepsi, maka menyiapkan pelaminan
sebagai tempat penganten bersanding merupakan hal yang
utama. Pada malam ini juga, calon pengantin perempuan
melakukan acara malam bainai suatu kegiatan memakaikan
hiasan pacar. Bahan dasar pacar yang kemudian dipakaikan atau
dilukiskan pada anggota tubuh terutama bagian tangan terbuat
dari daun-daunan. Untuk menghidupkan suasana malam bainai,
yang punya hajat akan membunyikan musik dari perangkat
sound-system yang sengaja disewa. Adanya keramaian ini
mengundang para penjual jajanan akan datang secara sukarela
dan ikut meramaikan suasana. Desa yang biasanya sepi-sepi saja
jadi ramai dengan alunan musik dan penjual makanan plus lalulalang anak-anak yang dengan ramainya menghabiskan waktu
dengan aneka jajanan dan permainan yang ditawarkan.
Acara lain yang dilakukan adalah sedekah atau kendurian.
Bentuknya adalah dengan mengadakan pengajian yang bertujuan
untuk minta ijin dan doa restu para tamu dan keluarga yang
datang diadakan biasanya pada malam sebelum pagi
dilaksanakan akad nikah di rumah gadis. Pembacaan doa
dikumandangkan pada saat ini dimaksudkan supaya acara akad
nikah besok dapat berjalan tanpa kendala yang berarti. Tamu dan
keluarga yang datang akan disuguhi aneka makanan dan kue kue
juga minuman yang sehari harinya jarang ada, kecuali untuk
orang yang berhajat saja. Sesudah acara selesai, para tamu dan
undangan berkenan pulang, tuan rumah biasanya memberikan
bingkisan berupa makanan dan kue-kue untuk yang di rumah.

95

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Sampailah pada acara akad nikah yang ditunggu oleh


pengantin dan keluarganya. Acara ini biasanya diadakan pagi hari
yang dihadiri oleh pihak keluarga dekat dari pengantin laki-laki
dan perempuan. Keluarga pengantin laki-laki akan diiringi oleh
beberapa orang untuk menjadi saksi di acara ini. Sebagai syarat
pernihakan, tak lupa dibawa mahar seperti yang diinginkan
pengantin perempuan. Tetapi kebanyakan mahar yang diminta
pihak perempuan tidak memberatkan pihak keluarga laki laki.
Mahar dapat berupa uang senilai dengan tanggal pernikahan,
perhiasan emas dan atauseperangkat alat sholat.

Gambar 2.26.
Upacara Pernikahan Adat Palembang
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pesta atau keramaian biasanya semakin lengkap dengan


alunan musik dari kelompok orgen tunggal yang disewa oleh
pihak keluarga pengantin. Semakin mapan kondisi ekonomi
keluarga akan ditunjukkan dengan penunjukan atau pemilihan
grup orgen tunggal yang disewa, apakah yang sedang in atau
lagi terkenal di kalangan desa itu, bahkan kadang-kadang
96

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

penentuan hari untuk pernikahan ditentukan kapan bisanya grup


yang akan disewa kalau pas bulan yang banyak diadakan pesta
pernikahan. Pesta pernikahan dengan iringan musik ini bisa
memakan waktu semalaman karena para tamu yang hadir sangat
berminat untuk mengikutinya, ada juga diadakan acara lelang
lagu bagi tamu yang berminat dengan menyerahkan sejumlah
uang kepada panitia pernikahan yang tentunya akan diberikan
kepada pihak keluarga pengantin perempuan. Pemenang lelang
lagu adalah orang yang berani memberikan uang dalam amplop
dalam jumlah terbanyak. Ketika menang, orang tersebut berhak
menyanyikan lagu pilihannya ditemani oleh biduan penyanyi dari
orgen tunggal yang bisa dipilih juga sekehendak pemenang lelang
tersebut.
2.8. Pengetahuan Masyarakat
2.8.1. Pengetahuan Tentang Alam
Masyarakat Suku Anak Dalam atau suku Kubu mempunyai
konsep tentang manusia bahwa tidak ada dominasi kekuasaan
secara individual dan tidak ada stratifikasi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat mereka. Bahwa manusia memiliki wujud yang
sama dalam kedudukan, dan tidak terdapat strata sosial yang
membedakan di masyarakat, terkecuali menghargai orang yang
lebih tua atau yang dituakan (Mulyanto, 1995, 45)
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri dari
unsur tanah , air dan roh. Dan manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan yang paling sempurna dari makhluk lain ciptaan Tuhan.
Yang membedakannya adalah mausia diberi kelebihan akal dan
pikiran.Oleh karena itu di kalangan mereka ada kepercayaan
bahwa:

97

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

bangso ayer pulang ka ayer, bangso tanah pulang ka


tanah, bangso api balik ka api, bangso angin pulang ka
angin

Masyarakat Suku Anak Dalam mempunyai pandangan


bahwa kehidupan mereka dipengaruhi dua unsur alam yaitu
panas dan dingin, terang dan gelap. Unsur panas yang
disimbulkan dengan api tidak dapat disatukan dengan unsur
dingin atau air. Kedua unsur ini tidak dapat disatukan karena
bertolak belakang dan bertentangan antara panas dan dingin.
Unsur dingin melambangkan kesejukan dan ketenangan, maka
mereka lebih suka mendekati sumber air atau sungai sebagai
tempat tinggal atau tempat beristirahat. Di samping itu sungai
juga memberikan makanan yang tidak pernah putus bagi mereka.
Seperti yang diceritakan oleh Cik Mat, turunan Suku Anak Dalam,
iyolah, ado yang cari ikan, ado yang kerjo dirumah mata
pencaharian sehari-hari apo pak? cari ikanlah bu
Tanah melambangkan kesuburan, karena dari tanah
tumbuh berbagai tanaman untuk keperluan hidup manusia. Api
dengan cahayanya memberi penerangan dalam kehidupan.
Dengan angin memberi kekuatan tenaga menghadapi segala
tantangan hidup. Hal inilahyangmenjadi salah satu alasan orang
Suku Anak Dalam tidak mau meninggalkan hutan. Mereka yakin
bahwa hutan dapat memberikan penghidupan bagi mereka.
Mereka berusaha menghindari unsur panas yang mereka anggap
dapat mendatangkan penyakit. Sifat kebendaan seperti air,
tanah, api dan angin menyatu dalam kehidupan yang semuanya
memiliki roh. Siklus kebendaan itu merupakan bagian dari siklus
kehidupan, bahwa manusia berasal dari benda-benda itu dan
akan kembali ke asalnya.
Wawasan masyarakat Suku Anak Dalam tampaknya
sampai sekarang belum banyak mengalami perubahan. Untuk
menutup badan mereka sudah mengenakan pakaian tidak lagi

98

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

hanya bercawat, dan sudah mulai mengenyam pendidikan


walaupun terbatas. Perbedaan jenis kelamin seperti laki laki dan
perempuan, hanyalah sekedar pemisah tentang tanggung jawab
menyangkut pekerjaan berat dan pekerjaan ringan. Pekerjaan
berat merupakan tanggung jawab laki laki dan pekerjaan ringan
sebagai tugas perempuan dan anak anak. Hubungan antara
anakdengan orang tua sebagaimana layaknya menurut atau
menganut norma-norma yang berlaku sebagaimana masyarakat
yang lain, yaitu menghormati yang lebih tua. Anak atau orang
yang lebih muda biasanya bersikap patuh dan hormat pada orang
tua, namun tidak mengurangi hubungan kasih sayang antara
anak dan orang tuanya. Secara biologis, anak adalah penerus
keturunan yang mewarisi kehidupan. Di dalam keluarga
kepatuhan atau disiplin dibentuk melalui adanya kewajiban bagi
yang muda untuk menghormati yang lebih tua. Seorang ayah
adalah juga kepala keluarga yang juga pemimpin keluarga dari
setiap anggota keluarga.
2.8.2. Pengatahuan tentang Sehat dan Sakit
Persepsi terhadap obyek atau situasi pada setiap individu
sangatlah berlainan. Begitu juga persepsi tentang sehat dan sakit.
Pandangan orang tentang kriteria tubuh sehat atau sakit, sifatnya
tidaklah selalu obyektif. Bahkan banyak unsur subyektifnya dalam
menentukan apakah seseorang berada pada kondisi sehat atau
sakit. Secara ilmiah penyakit diartikan sebagai gangguan fungsi
fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat dari infeksi atau
tekanan dari lingkungan. Jadi penyakit itu bersifat obyektif.
Sebaliknya sakit adalah penilaian individu terhadap pengalaman
menderita suatu (Sarwono, 1993; 31). Mungkin saja secara
obyektif seseorang terserang penyakit dan salah satu organ
tubuhnya terganggu fungsinya namun dia tidak merasa sakit dan

99

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tetap menjalankan tugasnya sehari hari, sebaliknya bisa saja


seseorang merasa sakit, tetapi dari pemeriksaan medis tidak
diperoleh bukti bahwa dia sakit.
Pada umumnya di masyarakat tradisional seperti yang ada
di Desa Muara Bahar, mempunyai anggapan bahwa seseorang
yang sakit adalah orang yang kehilangan nafsu makan atau gairah
kerjanya. Akibat kehilangan tersebut, seseorang tidak dapat lagi
menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal. Sakit akan
membuat orang kehilangan kekuatannya sehingga harus tinggal
di tempat tidurnya sepanjang hari. Selama seseorang itu masih
mampu melaksanakan fungsinya seperti biasa maka dia masih
dikatakan sehat. Dari batasan ini terlihat jelas bahwa sehat tidak
hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga kondisi mental
dan sosial seseorang.
Perilaku sakit dapat diartikan sebagai segala bentuk
tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar
memperoleh kesembuhan. Sedangkan perilaku sehat adalah
tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit,
perawatan kebersihan diri (personal hygiene), penjagaan
kebugaran melalui olah raga dan makanan bergizi. Perilaku sehat
ini diperlihatkan oleh individu individu yang merasa dirinya sehat
meskipun secara medis belum tentu mereka betul betul sehat
(Sarwono, 1993;33).
Reaksi ini sangat ditentukan oleh sistem sosialnya. Ada dua
faktor utama yang menentukan perilaku sakit yakni persepsi atau
definsi individu tentang suatu situasi atau penyakit dan
kemampuan individu untuk melawan serangan penyakit tersebut.
Dengan demikian dapatlah dimengerti mengapa ada orang yang
dapat mengatasi gangguan kesehatan yang cukup berat. Di lain
pihak, orang lain yang gangguannya lebih ringan malah
memperoleh berbagai masalah, bukan saja fisik, melainkan

100

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

masalah psikis dan sosial.Masyarakat desa Muara Bahar dalam


mengartikan sehat adalah seperti yang diungkapkan oleh ibu
Fitriani dan yang dikatakan oleh Nek Koyot, seorang dukun
kampong di desa Muara Bahar sebagai berikut :
badan ga sakit-sakitan atau juga ga cape dan selalu
dijaga dengan banyak makan sayur-sayuran dan buahbuahan
yo sehat katek penyakit (yang artinya sehat adalah
tidak berpenyakit atau tidak sakit)

Dapat dikatakan bahwa sehat adalah kondisi tidak sedang


sakit atau tidak merasakan sakit. Itulah kondisi yang seringkali
ditemui di masyarakat. Banyak keadaan dimana seseorang dapat
melakukan fungsi sosialnya secara normal padahal secara medis
menderita penyakit. Sebaliknya, tidak jarang pula seseorang
merasa terganggu secara social psikologis padahal secara medis
tergolong sehat.
Penilaian individu terhadap status kesehatannya ini
merupakan salah satu faktor yang menentukan perilakunya, yaitu
perilaku sehat jika dia menganggap dirinya sehat, dan perilaku
sakit jika dia merasa dirinya sakit (Sarwono, 1993). Orang yang
berpenyakit, belum tentu orang sakit dan belum tentu
mengakibatkan perubahan perannya dalam masyarakat. Biasanya
orang sakit akan menyebabkan perubahan perannya dalam
lingkungan keluarga atau masyarakatnya. Dalam arti, orang yang
sakit tidak dapat menjalankan tugas tugasnya di lingkungan kerja
dan keluarganya sehingga fungsinya itu harus digantikan oleh
orang lain.
Kadang kadang peranan orang yang sakit itu sedemikian
luasnya sehingga peran yang ditinggalkannya tidaklah cukup
digantikan oleh satu orang saja melainkan harus digantikan oleh
beberapa orang. Sehingga yang dianggap oleh masyarakat desa

101

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Muara Bahar adalah benar adanya. Bahwa orang sakit adalah


orang yang sudah tidak bisa melakukan kegiatannya sehari hari.
Dalam arti, fungsi sehari harinya terganggu dikarenakan
penyakitnya. Kalau masih bisa pergi ke ladang, contohnya, itu
berarti bahwa mereka tidak benar-benar sakit. Begitu pula
apabila masih bisa melakukan tugas-tugas rumah tangga secara
baik, maka itu juga berarti bahwa mereka sehat-sehat saja,
seperti yang diungkapkan Pak Udin:
saya sakit darah tinggi, itu kata dokter yang meriksa,
tapi kata saya, saya baik baik saja, paling paling dikasih
tau kalo makan daging ndak boleh, asin asin juga ndak
boleh
...saya sehat sehat saja kog, buktinya saya masih bisa ke
ladang, manen atau yang lain, juga masih bisa nyopir, he
he he

Memang pada kasus Pak Udin, kalau kondisi tekanan


darah tingginya normal, tentu saja dia bisa melakukan semua
kegiatannya seperti biasa, tetapi kalau tekanan darah tingginya
sedang tinggi pasti akan istirahat saja di rumah. Kegiatan ke
ladangnya bisa digantikan oleh anak atau menantunya. Yang
tentu saja akan menggantikan posisinya sebagai kewajiban
sosialnya. Dalam menganalisa kondisi tubuhnya, menurut Solita
Sarwono (1993, 36)biasanya orang melalui dua tingkatan analisa,
yaitu:
1) Batasan sakit menurut orang lain, pada kondisi ini Orang
orang di sekitar individu yang sakit mengenali gejala sakit
pada diri individu itu dan mengatakan bahwa dia sakit dan
perlu mendapat pengobatan. Penilaian orang lain ini sangat
besar artinya pada anak anak dan bagi orang dewasa yang
menolak kenyataan bahwa dirinya sakit.

102

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

2) Batasan sakit menurut diri sendiri, Individu itu sendiri


mengenali gejala penyakitnya dan menentukan apakah dia
akan mencari pengobatan atau tidak. Analisa orang lain
dapat sesuai atau bertentangan dengan analisa individu,
namun biasanya analisa itu mendorong individu untuk
mencari upaya pengobatan.
Reaksi seseorang terhadap suatu penyakit juga
dipengaruhi faktor sosial budaya dan pola sosialisasi yang berlaku
di masyarakat tersebut. Hal inilah yang ditemui di masyarakat
desa Muara Bahar. Kondisi desa yang kurang memadai secara
sarana atau bisa dibilang kekurangan tenaga kesehatan dengan
jangkauan wilayah yang cukup luas, juga akses jalan yang tidak
bisa dilewati apabila musim penghujan karena kondisi jalan tanah
yang becek dan rusak membuat sebagian besar masyarakat desa
lebih mengandalkan pengobatan secara tradisional dibandingkan
ke tenaga kesehatan.
Kalaupun ada yang memeriksakan atau berobat ke tenaga
kesehatan, maka itu adalah masyarakat yang secara ekonomi
sudah mapan ataupun juga sudah mengenyam pendidikan.
Tapimasih banyak yang memakai tenaga pengobat tradisional
atau dukun yang biasanya masih ada hubungan kekerabatan
dengan mereka. Setelah diobati oleh dukun beberapa kali dan
tidak nampak ada perubahan atau semakin parah penyakitnya,
barulah mereka akan memeriksakan diri ke tenaga kesehatan
setempat yang praktek di sekitar pabrik sawit tempat mereka
bekerja sehari hari.
2.9. Bahasa
Di desa Muara Bahar dan desa lain yang ada di kecamatan
Bayung Lencir, bahasa sehari-hari yang dipergunakan adalah
bahasa Melayu. Sama dengan yang digunakan oleh keturunan

103

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

suku Melayu lainnya yang ada di Palembang, Bengkulu, maupun


Riau. Memang ada perbedaan sedikit dalam dialeknya, tetapi
kosa kata yang digunakan pada dasarnya adalah sama. Kecuali
Suku Sekayu yang banyak akhiran katanya dipakai e. Bahasa
sehari-hari Suku Anak Dalam adalah bahasa Melayu. Seperti
peribahasa yang ada di kalangan mereka berikut ini, sebaik-baik
petai tunu yang artinya sebaik baik petai bakar, dalam artian
sebaik baik petai meskipun sudah dibakar tentulah akan bau juga.
Dengan contoh peribahasa tersebut, diharapkan dapat
memudahkan kita memahami apa maksud perkataan tersebut
karena tidak berbeda jauh dengan pemahaman kita dalam
berbahasa Indonesia. Bahasa Melayu adalah rumpun bahasa
yang banyak mempengaruhi terbentuknya bahasa Indonesia.
Tetapi ada pula kosa kata yang kadang tidak kita jumpai di
bahasa Indonesia sehingga kita akan sedikit bingung atau tidak
paham dengan kata kata tersebut. Seperti misalnya untuk
penyebutan kata tidak ada di komunitas Suku Anak Dalam
seperti juga bahasa Melayu Palembang diucapkan dengan kata
ndak katek. Seperti itulah bahasa yang dipergunakan seharihari dalam berkomunikasi. Para pendatang dari luar daerah,
tampaknya tidaklah banyak mengalami kesulitan memahami apa
yang dimaksud karena mirip sekali dengan bahasa Indonesia.
Kecuali beberapa kata dan dialek saja yang kadang masih agak
asing di telinga.
Seperti misal kalimat yang ada di peribahasa ini, makan
kurang piring, begawe kurang Mandau yang secara harafiah
berarti makan kekurangan piring, bekerja kelebihan parang.
Dalam arti ketika akan makan banyak sekali orang yang akan ikut
makan sehingga kekurangan piring. Namun ketika akan bekerja,
tidaklah banyak orang yang mau ikut membantu sehingga
kelebihan parang. Kalau menilik bahasa tulis seperti ini tentulah
mudah dipahami seperti halnya kita berbahasa Indonesia,

104

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

gampang dicerna dan akan dimengerti pula maksudnya. Hanya


masalah perbedaan dialek yang bisa saja dikarenakan belum
terbiasa mendengar kosa kata di luar kosa kata kita sehari hari.
2.10. Kesenian
Seni budaya yang khas di Musi Banyuasin khususnya di
kecamatan Bayung Lencir salah satunya yang sedang digalakkan
oleh Dinas Pariwisata adalah kesenian senjang. Mengapa
dinamakan senjang karena antara lagu dan musik tidak saling
bertemu. Artinya kalau syair berlagu, musiknya berhenti, kalau
musik berbunyi orang yang bersenjang diam. Sehingga keduanya
tidak pernah bertemu. Itulah yang dinamakan senjang.
Kesenian senjang yang merupakan salah satu kesenian
khas masyarakat Kabupaten Musi Banyuasin. Bila ditinjau dari
bentuknya, senjang tidak lain adalah bentuk pantun atau talibun.
Oleh sebab itu, jumlah liriknya dalam satu bait selalu lebih dari
empat baris. Satu keistimewaan dari kesenian senjang ini adalah
penyajiannya yang selalu diiringi dengan musik. Akan tetapi,
ketika pesenjang melantunkan senjang-nya musik berhenti.
Pesenjang biasanya menyanyi sambil menari. Penari senjang
dapat membawakan senjang tetapi tidak jarang pula tampil
berdua. Walaupun irama senjang pada umumnya monoton,
tetapi juga mengajak penontonnya terlibat sekaligus terhibur.
Penampilan
senjang
tampaknya
mengalami
perkembangan. Pada zaman dahulu, musik pengiring senjang
adalah musik tanjidor. Seiring dengan perkembangan permusikan
dewasa ini, tanjidor sudah nyaris langka digunakan, tetapi
penggantinya adalah musik Melayu atau organ tunggal.
Pada zaman dahulu, penutur senjang, biasanya
menciptakan senjangnya secara spontan. Sehingga tema yang
akan disampaikan disesuaikan dengan suasana yang dihadapinya.

105

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Akan tetapi, sekarang kepandaian senjang serupa itu sudah


sangat langka. Pesenjang biasanya menyiapkan senjangnya jauh
hari sebelumnya. Bahkan sering terjadi pesenjang menuturkan
senjangnya dengan melihat teks yang telah dipersiapkan terlebih
dahulu.Pantun senjang juga memiliki pola tersendiri. Sebuah
senjang biasanya terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama
merupakan bagian pembuka. Bagian kedua merupakan isi
senjang yang akan disampaikan. Bagian ketiga merupakan bagian
penutup yang biasanya berisi permohonan maaf dan pamit dari
pesenjang.
Senjang merupakan salah satu bentuk puisi rakyat, berupa
pantun terdiri dari enam, delapan atau sepuluh baris setiap
baitnya. Jika terdiri dari enam baris, baris pertama samapai
ketiga adalah sampiran, baris keempat sampai keenam
merupakan isi. Jika terdiri dari delapan baris, maka
pembagiannya adalah empat empat, dan seterusnya. Pada isi
antara bait petama dengan bait berikutnya merupakan satu
kesatuan, seperti pantun berkait. Dalam pembukaan, isi dan
penutup jumlah barisnya tidak selalu sama, dapat saja dalam satu
senjang, pembukaan terdiri atas enam baris, isi terdiri atas
sepuluh baris, dan penutupnya terdiri atas delapan baris.
Senjang dapat berisi nasihat orang tua kepada anaknya.
Kadang kadang senjang juga berisi sindiran terhadap sesuatau.
Selain itu senjang juga dapat mengandung ungkapan perasaan,
seperti rasa cinta, rasa sedih, dan rasa kecewa terhadap kekasih
hatinya atau hidup dan kehidupan ini (http: senjangsekayu.
blogspot.com).
2.11. Mata Pencaharian
Penduduk desa Muara Bahar, seperti desa lain masih
didominasi oleh kegiatan mereka dalam bertani. Perkebunan
adalah tempat terdekat mencari nafkah. Baik yang milik
106

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

pemerintah ataupun yang milik swasta. Dibukanya hutan di


sekitar mereka menjadi lahan perkebunan berpengaruh terhadap
pola kehidupan mereka.
Ada yang berkebun karet pada awalnya tetapi kemudian
beralih ke perkebunan kelapa sawit. Karena hasil dari sawit lebih
menguntungkan. Dengan bertani karet, masyarakat harus
menunggu sekitar 5 7 tahun setelah bibit disemai, petani baru
bisa menyadap getah dari pohon karet. Waktu yang lumayan
panjang dibandingkan dengan penanaman kelapa sawit. Untuk
kelapa sawit, setelah bibit disemai, setahun kemudian
dipindahkan dari tempat-tempat penyemaian untuk ditanam ke
ladang atau kebun mereka. Dalam kurun waktu 2 3 tahun
kemudian, kelapa sawit sudah dapat dinikmati hasilnya.
Perbandingan waktu tanam dan panen juga harga jual yang selalu
stabil inilah yang mendorong masyarakat banyak beralih ke
tanaman kelapa sawit.

Gambar 2.27.
Petani Karet Di Muara Bahar
Sumber: Dokumentasi Peneliti

107

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Dahulu, mata pencaharian mereka adalah berburu dan


meramu. Interaksi dengan pendatang dan program Pemerintah
yang kemudian membuat masyarakat beralih menjadi petani
penggarap lahan. Suatu kebiasaan yang baru dibandingkan
dengan nenek moyang mereka. Perubahan mata pencaharian
tersebut berpengaruh pula pada pola pemukimannya. Mereka
dulunya memakai rumah rakit karena mendekati sungai sebagai
penopang hidup dan sebagian menggunakan rumah panggung
sebagai bentuk antisipasi atas ancaman binatang buas. Kemudian
mereka beralih ke rumah kayu permanen karena sudah
terbukanya lahan hutan.

Gambar 2.28.
Perkebunan Sawit di Muara Bahar
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Sampai sekarang, kebudayaan masyarakat Suku Anak


Dalammasih sederhana. Secara tradisi, mereka mencoba
bertahan dari tekanan hidup yang muncul dari pinggiran tanah
mereka. Kelihatannya, masyarakat pendatang, para transmigran
sebagai perantau yang mempunyai kebudayaan pasca tradisional
108

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

dan lebih kompleks, berhasil masuk ke wilayah Suku Anak Dalam


dengan jumlah cukup besar dalam waktu 20 tahun terakhir.
Hal ini berdampak pada pencarian nafkah, kehidupan
sosial dan aspek kehidupan lainnya pada suku anak dalam secara
drastis. Misalnya, penebangan kayu (resmi maupun liar) dan
pembukaan lahan untuk perkebunan (karet dan kelapa sawit),
adalah aktivitas yang tidak umum di kehidupan Suku Anak Dalam.
Mereka merupakan suku yang tergolong defensif dan tidak
terbiasa melakukan peperangan untuk mempertahankan hak
adatnya. Adanya penebangan hutan untuk keperluan
transmigrasi atau perkebunan tidak membuat mereka bereaksi
keras. Hak-hak mereka lebih banyak ditentukan oleh institusi
resmi pemerintah. Sebab pemerintah daerah mempunyai
otoritas mengatur hukum. Akibatnya terjadi perubahan sosial
kultural dan lintas budaya. Suku tradisional yang memiliki sifat
rendah hati dan tidak memusuhi pendatang, mengalami
perubahan.
Dari perubahan yang disebutkan di atas, kelompok dibagi
menjadi dua. Kelompok pertama, adalah masyarakat yang telah
berdifusi secara budaya dengan masyarakat pendatang. Mereka
hidup secara sederhana dan tinggal di pinggiran daerah. Mereka
tidak mengadopsi semua ciri-ciri kehidupan masyarakat
pendatang, tetapi hanya beberapa ide dari masyarakat
pendatang yang dianggap sesuai dengan kebutuhannya. Kedua,
adalah kelompok yang tidak mampu lagi untuk memenuhi
kebutuhan primer sendiri dan hanya bertahan dengan bantuan
dari masyarakat luar saja. Kelompok kedua ini bisa diamati di
pinggir jalan raya dan sering minta-minta, terutama uang.
Dengan menggunakan tali berseberangan jalan mereka
membatasi jalan dan meminta uang kepada mereka yang lewat.
Dari pengamatan, tindakan orang Kubu yang berada di pinggi
rjalan seperti contoh diatas, bukanlah stereotip kebudayaan Suku

109

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Anak Dalam. Hidup di pinggir jalan bukanlah kehidupan mereka.


Sepertinya mereka melakukan hal tersebut karena keterpaksaan
demi kebutuhan hidup saja.
Ada beberapa kelompok saja dari Suku Anak Dalam yang
tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dan lingkungan
yang baru. Hal ini terjadi karena mereka malas untuk bekerja
sesuai dengan tuntutan hidup yang semakin beragam. Diantara
keturunan Suku Anak Dalam, masih banyak yang mampu
berdifusi dengan kebudayaan baru yang dibawa oleh pendatang.
Mereka berpakaian, berpendidikan dan berkehidupan sebagaimana masyarakat yang kita jumpai di desa Muara Bahar. Jauh
dari kesan primitif, sebagaimana yang ada di pemikiran banyak
orang yang semula disebut sebagai suku terasing.
2.12. Teknologi dan Peralatan
Masyarakat Anak Dalam yang ada di Muara Bahar sudah
terbuka dan tahu informasi, baik dari media buku, majalah
ataupun televisi dan telepon genggam. Anak-anak muda banyak
yang menggandrungi sosial media yang tersedia di telepon
genggam. Menurut mereka sebagai tuntutan jaman dan dianggap
tidak gaul apabila mereka tertinggal informasi. Banyak mudamudi di desa ini yang dipertemukan lewat sosial media yang
kemudian berjodoh sampai ke pernikahan.
Transportasi berupa mobil angkutan umum di desa, tidak
ada. Sepeda motor merupakan kendaraan yang umum digunakan
apabila mereka hendak bepergian atau pergi ke kebun. Kalau
jaraknya dekat banyak penduduk yang berjalan kaki. Sarana jalan
darat sangat sulit ditempuh. Apalagi kalau musim penghujan,
karena jalan tanah jadi hancur atau rusak berat. Hanya
transportasi lewat sungai yang bisa dilalui, dengan perahu ketek.

110

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Di desa hanya dua orang yang memilikinya, itupun yang


satu sedang diperbaiki. Jadi warga harus mencari tahu kapan
pemilik ketek akan keluar dari desa. Biasanya tujuannya hanya
untuk pergi ke pasar yang ada di kecamatan Bayung. Kebetulan
pemilik ketek mempunyai warung kecil di depan rumahnya.
Warung tersebut sebagai penyedia kebutuhan pokok bagi warga
sekitar. Warga yang naik bukan sebagai penyewa ketek. Akan
tetapi ikut menumpang, dengan membayar ala kadarnya sebagai
ongkos, untuk membeli minyak atau solar sebagai bahan bakar
mesin ketek. Kalau butuh, ada juga persewaan ketek di
kecamatan.Untuk menuju ke desa harus membayar cukup mahal,
karena jarak tempuh yang cukup jauh. Disebabkan mesti
diperhitungkan ongkos pulang pergi dari dan ke desa yang dituju.
Peralatan yang digunakan masyarakat untuk keperluan
hidup, dapat dilihat pada kehidupan keseharian mereka.
Berdasarkan pengamatan, untuk peralatan makan dan minum
yang dipergunakan sehari hari: berupa sendok, garpu, piring,
gelas maupun perlatan masak memasak yang lain umumnya
terbuat dari melamin, plastik, kaca, kayu atau ada juga yang
stainless steel. Mereka memasak rata rata sudah menggunakan
kompor gas. Tetapi untuk kebutuhan memasak air minum masih
banyak yang menggunakan kayu bakar dengan tungku. Hal ini
dikarenakan memasak air dalam jumlah banyak membutuhkan
waktu yang lama. Jadi bukan hanya pertimbangan hemat akan
gas saja, juga karena banyak tersedia ranting kering yang bisa jadi
bahan bakar untuk tungkunya. Penyimpanan makanan sudah
cukup bagus dengan dimasukkan di dalam lemari. Kadang juga
disajikan atas meja yang sudah ditutup dengan tudung saji.
Secara umum hygiene untuk sanitasi yang kurang baik.
MCK (mandi, cuci dan kakus) masih banyak dilakukan warga desa
di sungai, karena tidak setiap rumah tangga memiliki sumur
pompa. Sumur pompa yang ada dengan kualitas air yang

111

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

bercampur dengan sedikit minyak di permukaan air. Kondisi air


seperti ini hampir sama di seluruh desa. Sehingga bagi yang
mampu perekonomiannya, untuk air minum mereka membeli air
kemasan dalam galon. Kebanyakan warga mengandalkan air
tadah hujan yang ditampung di tempat penampungan air.
Kesadaran masyarakat membuang, mengumpulkan dan
membakar sampah belum menjadi kebiasaan tiap rumah tangga.
Sampah masih banyak berserakan dimana mana, apalagi sampah
plastic bungkus jajanan anak anak. Banyak dibuang di sembarang
tempat. Sungai masih menjadi tempat sampah besar bagi
warga desa.

112

BAB 3
POTRET KESEHATAN

3.1. Status Kesehatan


3.1.1. Pola Konsumsi Keluarga

Gambar 3.1.
Belanja Sayuran di Tukang Sayur
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Jenis makanan atau asupan gizi utama kesehariannya


masyarakat Suku Anak Dalam di dusun Teluk Beringin Desa
Muara Bahar adalah nasi dengan lauk pauk antara lain tahu,
tempe dan ikan. Daging dan sayuran hanya sekali-kali mereka

113

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

konsumsi. Hal ini tergantung dari keberadaan penjual sayur yang


menjajakan dagangannya ke dusun tersebut. Penjual sayur
biasanya datang hampir setiap sore hari, tetapi kedatangannya
tergantung cuaca. Apabila hujan, maka tukang sayur tidak akan
datang, sehingga masyarakat terutama para ibu rumah tangga
hanya memasak bahan-bahan makanan seadanya yang tersedia
di rumah masing-masing. Masyarakat dusun Teluk Beringin tidak
bercocok tanam dengan menanam sayuran walaupun mereka
umumnya mempunyai halaman yang ada di belakang rumah.
Disamping itu juga jarang ditemukan warung yang menyediakan
jenis dagangan yang langsung dapat dikonsumsi seperti nasi.
maka tidak ada pilihan lain untuk konsumsi keluarga dalam
kesehariannya pada pagi hari ibu-ibu memasak mie instant.
3.1.2. Kesehatan Reproduksi
Salah satu tujuan menikah adalah untuk memperoleh
keturunan. Apalagi masyarakat Suku Anak Dalam masih sangat
meyakini bahwa anak akan membawa rejeki yang melimpah.
Namun, ada pula pasangan suami istri yang istrinya belum
pernah hamil padahal usia pernikahannya sudah lima tahun,
bahkan ada yang sudah hampir 20 tahun menikah. Menurut
informan, mereka sudah berusaha untuk berobat ke dukun
kampung dan orang pintar. Penyakit yang dialami ibu yang lama
tidak mempunyai keturunan adalah penyakit senggugut (kista),
yaitu penyakit yang menyebabkan ibu tidak bisa hamil.
Pengobatan yang dilakukan untuk mengobati penyakit
senggugut ini adalah pengobatan dengan ayam hitam yang telah
dipotong. Ritual ini dilakukan oleh dukun/orang pintar yang
merupakan salah satu tokoh adat yang masih ada di Suku Anak
Dalam. Cara pengobatannya adalah ayam hitam yang telah
dipotong bersama dengan ketan hitam ditempelkan ke perut ibu
yang ingin memiliki keturunan. Pada saat ayam hitam dan ketan
114

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

hitam tersebut ditempel ke perut ibu, dukun membacakan


mantra-mantra. Pengobatan ini dilakukan selama 3 bulan
berturut-turut, apabila penyakit senggugut itu sudah hilang,
maka sang ibu bisa hamil. Berikut ungkapan informan :
...dipotongkan ayam hitam, ketan hitam ditempelin
keperut ibu. Ini untuk ibu hamil yang sakit pinggang atau
untuk ibu yang kepengen punya anak. Kalau kata kami
senggugut. Diobatin 3 bulan berturut-turuntukalau
penyakitnyahilang bisa dapat anak... (RS-Teluk
Beringin).

Gambar 3.2.
Gendang untuk Pengobatan Besale
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Usaha lainnya yang dilakukan pasangan suami istri untuk


mendapatkan keturunan adalah melakukan tradisi besale. Tradisi
besale adalah suatu cara pengobatan untuk orang yang sedang
sakit ataupun untuk pasangan yang menginginkan keturunan.
Tradisi besale dipimpin oleh ketua adat Suku Anak Dalam dengan
ritual memanggil roh/arwah orang yang sudah meninggal untuk

115

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

membantu memberikan pertolongan kesembuhan kepada orang


yang sedang diobati, atau mereka yang menginginkan
mempunyai anak.
Prosesinya, orang yang sedang sakit/diobati berada di
tengah orang-orang yang mengelilinginya, kemudian ketua adat
bersama beberapa orang yang dituakan berjalan mengelilingi
orang yang sedang sakit/diobati sambil membaca mantra.
Pembacaan mantra ini diringi oleh nyanyian dan musik yang
ditabuh oleh masyarakat. Alat musik berupa gendang (redap)
yang terbuat dari kulit kambing. Tradisi besale ini umumnya
dilakukan oleh masyarakat yang mampu karena biaya untuk
melakukan ritual ini cukup besar mengingat banyak sesajen yang
harus dipersiapkan dan melibatkan orang banyak. Sesajensesajen itu berupa makanan meliputi wajik, kue-kue bolu,
berbagai macam buah, dan lain-lain, sebagaimana yang
disampaikan informan berikut ini:
...tradisi besale itu dilaksanakan klo misalkan ada
pengobatan, ada orang yang mandul minta anak juga
bisa. Kadang-kadang juga bertahun-tahun itu tidak
pernah dilaksanakan soalnya biaya untuk besale itu
mencapai 12 jutaan... ada upacara khususnya sesajensesajen gitu... banyak yang mau disiapkan... (FA, Arangarang).

Disamping melakukan usaha pengobatan melalui ritual


seperti diuraikan di atas, pasangan suami istri yang ingin
mendapatkan keturunan dianjurkan banyak mengkonsumsi
kecambah (toge), dan minum ramuan tradisional yang bahannya
jahe dan merica. Hal ini diyakini oleh masyarakat desa Muara
Bahar dapat meningkatkan kesuburan sang istri.

116

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

3.1.3. Upaya Pemeliharaan Kesehatan Ibu dan Anak


Salah satu permasalahan utama di bidang kesehatan yang
saat ini masih dihadapi di Indonesia adalah masih tingginya angka
kematian ibu yang berhubungan dengan persalinan. Perawatan
kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan
kematian ketika seorang ibu menjalani proses persalinan.
Tentunya hal ini tidak terlepas dari ibu yang bersangkutan saat
mengandung untuk selalu memeriksakan secara berkala
kandungannya untuk melihat pertumbuhan dan kesehatan janin
yang dikandunganya, dan proses persalinan itu sendiri terkait
dengan pelayanan pertolongan persalinan.
Mengingat pentingnya perawatan kehamilan atau ante
natal care (ANC) yang harus dijalani oleh ibu-ibu yang sedang
hamil dan bagaimana kenyataannya di lokasi penelitian, maka
pada penelitian ini, terdapat 3 informan ibu hamil yang
memberikan informasi terkait kehamilannya antara lain informan
FR, informan BT dan informan EM Informan I usianya berkisar
antara 20-40 tahun. Tingkat pendidikan informan yaitu hanya
pada tingkat SD. Mata pencaharian atau pekerjaan informan
sehari-hari yaitu menjadi buruh di perusahaan sawit dan ada
informan tidak bekerja atau hanya menjadi ibu rumah tangga. Ibu
BT menjelaskan meskipun sedang hamil tetap bekerja menjadi
buruh sawit walaupun dalam kondisi hamil karena ingin
membantu suaminya untuk mencari nafkah bagi keluarganya.
Sebagai gambaran, nampaknya masih banyak ibu-ibu
sewaktu hamil di Desa Muara Bahar sampai dengan umur
kehamilan 6 bulan untuk keperluan berbelanja mengendarai
sepeda motor sendiri menempuh perjalanan yang jauh dengan
kondisi jalan yang tidak rata bahkan dalam kondisi rusak. Seperti
yang dijelaskan informan II (FR) dan informan III (EM) bahwa

117

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

untuk keperluan berbelanja tetap mengendarai motor meskipun


kondisi sedang hamil 6 bulan.
3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Hasil Riskesdas 2007 menggambarkan bahwa rumah
tangga yang telah mempraktekkan perilaku hidup bersih dan
sehat baru mencapai 38,7%,walaupun program pembinaan PHBS
ini sudah berjalan sekitar 15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
keberhasilan program tersebut masih jauh dari harapan. Padahal
Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan menetapkan
target pada tahun 2014 rumah tangga yangmempraktekkan PHBS
adalah 70%. Tentunya perlu peningkatan kinerja yang luar biasa
dari pihak pemerintah dalam hal ini jajaran kesehatan dalam
pembinaan PHBS.

Gambar 3.3.
Pamflet PHBS di Puskesmas Kecamatan Bayung Lencir
Sumber: Dokumentasi Peneliti

118

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah


sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran
sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang,
keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya
sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam
mewujudkan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, PHBS
mencakup beratus-ratus bahkan mungkin beribu-ribu perilaku
yang harus dipraktikkan dalam rangka mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Promosi Kesehatan
Tingkat Nasional, pada tahun 2007 ditetapkan 10 indikator PHBS,
yaitu persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, memberi bayi
ASI eksklusif, menimbang balita setap bulan, menggunakan air
bersih, mencuci tangan dengan sabun, menggunakan jamban
sehat, memberantas jentik nyamuk, mengkonsumsi buah dan
sayur setiap hari, melakukan aktifitas fisik setiap hari, tidak
merokok di dalam rumah.
Di desa Muara Bahar hampir tidak tersedia air bersih. Ada
beberapa rumah memiliki sumur bor akan tetapi air sumur yang
tersedia bau dan berkarat. Air untuk keperluan rumah tangga
sehari-hari seperti memasak, mencuci dan keperluan mandi cuci
kakus (MCK) masyarakat menggunakan air sungai dan air tadah
hujan. Menurut informasi penduduk setempat, pada tahun 2011
air sungai mengalami pencemaran dengan banyak ditemukannya
ikan yang mengapung dalam kondisi sudah mati. Pencemaran ini
berasal dari limbah pabrik kelapa sawit yang berdekatan dengan
pemukiman penduduk. Dengan alasan takut keracunan, sempat
beberapa bulan masyarakat Desa Muara Bahar tidak
memanfaatkan air sungai untuk keperluan sehari-hari. Sejak satu
tahun terakhir ini masyarakat kembali memanfaatkan air sungai
karena menurut mereka air sungai sudah kembali bersih dari

119

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

pencemaran dan sudah bisa dimanfaatkan untuk keperluan


sehari-hari.

Gambar 3.4.
Jamban
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Belum tersedianya jamban sehat di masing-masing rumah


tangga di Desa Muara Bahar. Dari 120 rumah tangga hanya 4
rumah tangga yang mempunyai jamban sehat. Untuk keperluan
buang air besar dilakukan di sungai atau menggunakan jamban
berupa lubang besar di dalam tanah yang diatasnya ada papan
yang dilubangi. Lubang itu biasanya lebih besar sedikit dari
diameter kotoran.
Sanitasi dasar merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia yang dipenuhi oleh pemerintah. Selain karena syarat
mutlak untuk mencegah penyakit diare, pemenuhan sarana
sanitasi dasar juga merupakan salah satu indikasi perhatian
pemerintah
dalam
meningkatkan
derajat
kesehatan
masyarakatnya. Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin telah
melakukan upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat akan

120

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

sanitasi dasar dengan beberapa program, baik berupa program


sharing dari pemerintah pusat maupun kegiatan murni dari
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Sampai dengan
akhir tahun 2013 Musi Banyuasin masih belum mampu
memenuhi target MDGs untuk sanitasi dasar. Ini artinya masih
banyak pekerjaan sampai dengan tahun 2015 untuk terpenuhi
target akses sanitasi dasar sesuai target MDGs Nasional.
Menurut Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Musi
Banyuasin, salah satu kendala yang menyebabkan belum
optimalnya peningkatan akses sanitasi dasar masyarakat adalah
masih rendahnya kesadaran dari masyarakat untuk secara
mandiri membangun sarana sanitasi untuk kebutuhan mereka
sendiri. Rendahnya akses sarana sanitasi sehat pada umumnya
terjadi pada daerah aliran sungai. Hal ini dikarenakan masih
tingginya kebiasaan masyarakat buang air besar di pinggir sungai,
bahkan sudah mendapatkan bantuan MCK di wilayah mereka.

Gambar 3.5.
Jamban Di Atas Sungai
Sumber : Dokumentasi Peneliti

121

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Hampir setiap hari masyarakat Desa Muara Bahar


melakukan aktifitas fisik setiap hari, mengingat mayoritas
masyarakat Desa Muara Bahar adalah pekerja sawit dan karet.
Ada beberapa ibu rumah tangga dan ibu-ibu lansia bekerja
menjadi buruh harian di perusahaan sawit sebagai pengumpul
buah kelapa sawit, istilah kampungnya berondolan dengan
upah Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) per 1 keranjang buah kelapa
sawit. Bagi buruh harian, jam kerja mereka dari jam 6 pagi
sampai dengan jam 12 siang sedangkan bagi buruh tetap jam
kerja dari pagi hingga sore hari.

Gambar 3.6.
Merokok Dalam Rumah
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Mayoritas masyarakat Suku Anak Dalam adalah perokok.


Laki-laki dan perempuan dewasa hingga lansia, bahkan ibu hamil
dan ibu menyusui adalah ahli hisap yang jitu. Perilaku merokok
ini mereka anggap adalah tradisi dan masih sangat keukeuh
mereka jaga mulai dari nenek moyang sampai dengan sekarang.

122

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Merokok membuat mereka bersemangat dan tidak mengantuk


dalam menjalani aktivitas. Bagi mereka rokok lebih berharga
daripada beras. Apabila punya uang, mereka lebih mendahulukan
membeli rokok daripada membeli beras seperti kata AN berikut.
...yo kalo idak merokok badan lesu, mato ngantuk. Kalo
aku dak merokok aku susah. Kalo nggak makan satu hari
dak apo tapi kalo dak merokok pening (pusing), kalo dulu
rokok gulung melinting...

Ibu-ibu merokok sambil melakukan aktivitas seperti


mengasuh dan menyusui bayinya. Ada juga seorang nenek
merokok sambil mengasuh cucunya yang masih bayi. Berikut
ungkapan informan (seorang ibu rumah tangga):
...waktu hamil aku merokok, tapi kan dak terlalu kuat,
kemudian waktu si kecil masih bayi merokok juga... (BTMuara Bahar)

Gambar 3.7.
Merokok Sambil Memomong Cucu
Sumber: Dokumentasi Peneliti

123

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Menurut masyarakat Suku Anak Dalam, merokok tidak


membahayakan kesehatan. Bagi mereka kalau merokoknya tidak
terlalu sering tidak akan berbahaya bagi kesehatan, tapi apabila
sering merokok bisa terkena kanker paru-paru. Andaipun sering
merokok tapi dibarengi dengan minum obat tradisional kayu
pelusuh hutam maka tidak akan terkena sakit paru-paru, seperti
yang diungkapkan CM informan berikut:
...kalo merokok dak leman (sering) bu dak bahayo. Kalo
leman biso kanker paru-paru. Kalo leman jugo kalo kito
makan obat (pelusuh utan) dak apo-apo. Samo bae
model di rumah sakit. Di rumah sakit tuh yang keno
paru-paru basah itu leman merokok makan obat jarang.
Kalo leman makan obat dak keno paru-paru basah...

Kabupaten Musi Banyuasin mempunyai Program Alokasi


Dana Desa (ADD) 1 Milyar 1 Desa yang diluncurkan oleh Bupati
Musi Banyuasin pada Tahun 2013. ADD adalah program yang
pertama dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan sehingga
Bupati Musi Banyuasin (H. Pahri Azhari) mendapatkan gelar
sebagai Pelopor Pembangunan Desa. Dari dana tersebut ada
persentasi digunakan untuk Pemberdayaan Masyarakat terutama
di bidang kesehatan yaitu Program Upaya Kesehatan Berbasis
Masyarakat (UKBM) seperti pembangunan Poskesdes, rehab
Poskesdes, penataan halaman Poskesdes, pembangunan gedung
Posyandu, rehab Posyandu, penataan halaman Posyandu dan
Operasional Posyandu (pengganti transport kader) dan lain-lain.
Dengan adanya Alokasi Dana Desa melalui pemberdayaan
masyarakat seharusnya bisa meningkatkan peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dasar
terutama yang berkaitan dengan penuruan Angka Kematian ibu,
Angka Kematian Bayi, dan Angka Kematian Balita dan
meningkatkan peran serta masyarakat dalam partisipasi

124

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

kunjungan Posyandu yang diukur dengan tingkat partisipasi


masyarakat.
3.3. Penyakit Menular

Gambar 3.8.
Tuberkulosis di Puskesmas Bayung Lencir
Sumber: Puskesmas Bayung Lencir, Diolah

Mayoritas masyarakat Suku Anak Dalam adalah perokok.


Laki-laki dan perempuan dewasa hingga lanjut usia (lansia),
bahkan ibu hamil dan ibu menyusui adalah perokok. Menurut
mereka merokok membuat mereka bersemangat dan tidak
mengantuk dalam menjalani aktivitas. Perilaku merokok ini
menyebabkan timbulnya penyakit menular seperti Tuberkulosis.
Ada beberapa penduduk Desa Muara Bahar yang mengidap
penyakit Tuberculosis mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.

125

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Bahkan ada beberapa penduduk yang meninggal karena riwayat


penyakit Tuberkulosis ini.
Di kalangan masyarakat Desa Muara Bahar Penyakit
Tuberkulosis (TB) lebih dikenal dengan penyakit paru-paru. Ada
beberapa penduduk Suku Anak Dalam yang mengidap penyakit
Tuberkulosis mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Salah
satu penderita Tuberkulosis yang saat ini sedang menjalani
pengobatan adalah seorang remaja putri berumur 17 tahun.
Penyakit ini juga diderita oleh ibu sang remaja sehingga ibunya
meninggal dunia tujuh tahun yang lalu.
Semenjak divonis positif TB Paru oleh tenaga kesehatan,
informanyang sudah lulus dari Sekolah Dasar (SD) ini tidak mau
melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi karena kondisi
kesehatannya dan ingin lebih fokus dalam menjalani pengobatan.
Riwayat keluarga informan adalah keluarga dengan
Bapak, Ibu dan kakak perempuan yang merokok. Perilaku
merokok ini sudah mereka lakukan sejak jaman nenek moyang
dahulu. Walaupun dalam keadaan hamil dan menyusui, ibu dan
kakak perempuannya tetap merokok.
Disamping menjalani pengobatan dengan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT), informan juga minum obat tradisonal berupa
kunyit yang diparut diperas dicampur dengan telor ayam
kampung lalu dimimum airnya. Menurut dokter yang menangani
informan, ini dilakukan untuk menambal luka yang ada di paruparu informan. Hal ini seperti ungkapan informan BT berikut :
...minum susu juga. Sekarang setiap mau tidur minum
kunyit diparut diperes airnya. Kalo ada ayam kampung
diminum bareng. Kata dokter untuk nambal korengkoreng di paru-parunya...

126

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Gambar 3.9.
Penderita Tuberkulosis di Dusun Teluk Beringin
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 3.10.
Obat Antituberkulosis (OAT)
Sumber: Dokumentasi Peneliti

127

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Adapun makanan yang tidak boleh dimakan selama


menjalani pengobatan TB adalah tidak boleh makan cabe, asem,
mie dan minuman dingin, seperti yang diungkapkan informan BT
berikut.
...dak bole makan cabe, asem, mie, yang dingin-dingin
dak boleh. Makan obatnya sebelum makan baru minum
obat. Katanya kalo minum obat sesudah makan nanti
bereaksi obat dengan nasinya... (BT-Muara Bahar)

Gejala klinis pasien TB Paru dengan gejala utama adalah


batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih, dapat diikuti
dengan dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, berat
badan menurun, berkeringat malam hari tanpa aktivitas fisik,
demam meriang lebih dari 1 bulan.
Pengobatan TB paru di Puskesmas untuk pasien dewasa
menggunakan OAT FDC kategori I yang terdiri atas 2 bagian, yaitu
pengobatan tahap intensif/awal, berisi kaplet RHZE (Rifampicin
150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg dan Etambutol 275
mg) sebanyak 6 blister digunakan selama 2 bulan; dan
pengobatan tahap lanjutan, berisi tablet RH (Rifampicin 150 mg
dan Isoniazid 150 mg) sebanyak 6 blister digunakan selama 4
bulan. Jumlah blister dalam paket OAT dirancang untuk
digunakan oleh pasien TB dengan berat badan rata-rata yaitu 3854 kg sehingga untuk pasien yang memiliki berat badan berbeda,
jumlah blister dalam kotak harus disesuaikan terlebih dahulu.
Sedangkan pengobatan TB paru untuk anak menggunakan OAT
kombipak dengan kombinasi obat tetap kategori 1 sesuai paduan
Kementerian Kesehatan 2RHZ (E)/4RH yaitu (INH, rifampisin,
pirazinamid dan ethambuthol) dalam jangka waktu 6 bulan.
Berdasarkan hasil penelitian Diana Sari I, dkk (2014) pasien
yang menjadi responden masih patuh dalam menjalani terapi
anti tuberkulosis terbukti dengan tetap menjalani terapi anti
tuberkulosis sampai selesai (selama 6 bulan) dan tidak terdapat
128

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

obat sisa setiap bulan. Hal ini disebabkan karena adanya faktor
intrinsik dan faktor ektrisik. Faktor intrinsik (faktor yang tidak
perlu rangsangan dari luar, yang berasal dari diri sendiri) berupa
motivasi, keyakinan, sikap dan kepribadian dari masing-masing
responden. Sedangkan faktor ekstrisik (faktor yang perlu
rangsangan dari luar) berupa dukungan sosial dalam bentuk
dukungan emosional dari anggota keluarga yang lain ataupun
teman. Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh
dalam menentukan keyakinan dan skor kesehatan individu serta
dapat juga menentukan program pengobatan yang dapat mereka
terima.
Adanya pengawasan dari petugas kesehatan merupakan
salah satu faktor ekstrisik lainnya yang dapat mempengaruhi
kepatuhan penderita dalam menjalani terapi anti tuberkulosis.
Kualitas interaksi antara petugas kesehatan dengan pasien
merupakan bagian yang penting dalam menentukan kepatuhan.
Kurangnya tingkat kepatuhan penderita untuk berobat dan
meminum obat anti tuberkulosis merupakan salah satu faktor
yang
mengakibatkan meningkatnya
jumlah penderita
tuberkulosis. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
penderita tuberkulosis paru adalah pendidikan, pengetahuan,
sikap, pekerjaan, pendapatan, jarak pelayanan dan dukungan
Pengawas Menelan Obat (PMO).
Salah satu komponen DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse) adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung PMO. Untuk menjamin
keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. PMO
merupakan faktor pencegah terhadap ketidakteraturan berobat.
PMO yang terbaik adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di
desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi dan lain lain.
Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO

129

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PKK, atau


tokoh masyarakat lain atau anggota keluarga (Abijoso, 2004).
Dalam hal ini sangat diperlukan dukungan dari pemerintah
daerah dan pemerintah pusat untuk lebih memperhatikan
insentif para PMO di Puskesmas agar dapat merangsang mereka
menjadi PMO yang baik khususnya bagi mereka yang memiliki
minat dan komitmen untuk meminimalisasi jumlah penderita
tuberkulosis.
Selain faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
maupun ketidakteraturan penderita tuberkulosis dalam berobat,
faktor lainnya yang sangat berbahaya dalam pengobatan
tuberkulosis adalah penderita Drop Out (DO). Salah satu faktor
yang mempengaruhi penderita tuberkulosis DO antara lain
karena efek samping atau kejadian tidak diinginkan yang
ditimbulkan akibat penggunaan OAT (Sidharta B, dkk, 2008).
Hasil penelitian Diana Sari I, dkk (2014) di Provinsi Banten
dan Provinsi Jawa Barat menyimpulkan bahwa dengan adanya
pemantauan yang dilakukan petugas, efek samping yang terjadi
dapat terdata dan tidak menyebabkan menurunnya kepatuhan
pasien. Hal ini dapat terjadi karena adanya komunikasi yang baik
antara pasien dengan petugas mengenai proses pengobatan TB.
Efek samping yang paling sering timbul adalah mual dan nyeri
sendi, pegal. Kejadian tidak diinginkan lain-lain yang paling
banyak dikeluhkan akibat penggunaan obat anti tuberkulosis
adalah lemas.
3.4. Penyakit Tidak Menular
Salah satu penyakit tidak menular yang ada di Desa Muara
Bahar adalah penyakit darah tinggi (Hipertensi). Berikut
ungkapan salah satu informan :

130

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

...aku darah tinggi, ndak biso terkejut, kalo terkejut


pingsan sampe keluar darah hitam dari mulut, cak itu
laah penyakitku... udah diperiksa ke mantri di
kecamatan... di tensi 180 katonyo...

Menurut informan, pada saat berobat ke mantri kadang


dikasih obat kadang tidak. Informan mencoba makan obat
tradisional untuk menurunkan tensi darahnya seperti buah
ketimun, minum rebusan daun alpukat dan rebusan buah
mengkudu. Sedangkan makanan yang tidak boleh dimakan
menurut informan karena dipercaya dapat menaikkan tensi
darah adalah daging, ayam kampung, sayur singkong dan sayur
katuk.
Disamping itu informan juga mencoba pengobatan
alternatif dengan berobat ke dukun (orang pintar). Dari dukun
(orang pintar) informan mendapatkan air putih sebanyak satu
botol ukuran satu liter yang sudah dijampi dengan kemenyan.
Air tersebut diminum rutin seperti layaknya minum air putih
biasa.
Mentimun, timun, atau ketimun (Cucumis sativus L.; suku
labu-labuan atau Cucurbitaceae) merupakan tumbuhan yang
menghasilkan buah yang dapat dimakan. Kandungan air pada
buah timun sebagai diuretik yang membantu pembuangan toksin
(racun) dan limbah metabolisme dalam tubuh melalui keluarnya
urin.
Timun
mengandung
lariciresinol,
pinoresinol,
secoisolariciresinol dapat mengurangi risiko kanker payudara,
kanker prostat, kanker uterin dan kanker ovarium. Kandungan
potasium, magnesium, dan serat timun dapat membantu
menjaga tekanan darah tetap normal sehingga baik untuk
mengobati tekanan darah rendah/tinggi.
Daun buah alpukat mempunyai kegunaan sangat beragam
untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan secara tradisional.
Tidak hanya buahnya yang bermanfaat untuk kecantikan kulit,

131

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

khasiat daun alpukat juga dapat dipakai untuk obat herbal


penyakit hipertensi sampai sakit perut. Ramuan alami berbahan
dasar daun mempunyai kelebihan tersendiri yaitu tidak
mengandung efek samping yang merugikan bagi kesehatan.
Mengkudu memiliki nama latin Morinda citrifolia dan
termasuk dalam famili Rubiaceae. Beberapa daerah di Indonesia
memiliki sebutan beragam untuk mengkudu ini. Diantaranya
Pace, Kemudu, Kudu (Jawa); Cangkudu (Sunda), Kodhuk
(Madura), Wengkudu (Bali) dan masih banyak lagi.Nama lain
untuk tanaman ini adalah noni (Hawaii), nono (Tahiti), nonu
(Tonga), ungcoikan (Myanmar) dan ach (Hindi). Buah mengkudu
yang masih mentah biasanya digunakan untuk campuran rujak.
Sementaranya buah yang masak digunakan untuk pengobatan.
Meskipun baunya sangat tidak sedap, namun buah
mengkudu yang sudah masak di pohon memiliki banyak manfaat
untuk pengobatan. Hal ini karena ada beberapa kandungan zat di
dalamnya, antara lain morinda diol, morindone, morindin,
damnacanthal, metil asetil, asam kapril dan sorandiyiol. Salah
satu manfaat dan khasiat buah mengkudu adalah untuk
mengatasi hipertensi (darah tinggi). Cara penggunaannya adalah
dengan meminum ramuan buah mengkudu yang telah direbus
dengan air ataubuah mengkudu yang telah masak di pohon
diperas untuk diambil airnya, kemudian dicampur dengan madu.
Ramuan ini diminum dua hari sekali.
Tekanan darah tinggi atau banyak orang menyebutnya
sebagai hipertensi merupakan suatu keadaan tubuh dari tekanan
darah yang meningkat akibat dari adanya peningkatan tekanan
darah secara kronis (dalam jangka waktu yang cukup lama).
Hipertensi juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan tekanan
darah dimana sistoliknya diatas 140 mmHg dan diastoliknya
diatas 90 mmHg. Tekanan darah yang selalu meningkat atau
tinggi menjadi salah satu dari timbulnya faktor risiko pada suatu

132

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

penyakit seperti stroke, serangan jantung, gagal jantung dan


aneurisma arterial dan merupakan penyebab utama dari gagal
jantung kronis.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), penyakit tekanan
darah tinggi merupakan peningkatan tekanan darah sistolik lebih
besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic
sama atau lebih besar 95 mmHg.
Tabel 3.1. Klasifikasi Tekanan Darah pada Dewasa menurut JNC
VII
Kategori

Tekanan Darah Sistolik

Tekanan Darah Diastolik

< 120 mmHg

(dan) < 80 mmHg

Pre-hipertensi

120 139 mmHg

(atau) 80 -89 mmHg

Stadium 1

140 159 mmHg

(atau) 90 -99 mmHg

Stadium 2

>= 160 mmHg

(atau) >= 100 mmHg

Normal

Sumber: WHO

Hipertensi ringan atau sedang umumnya tiddak


menimbulkan gejala yang terlihat. Gejala hipertensi akan timbul
dan terlihat apabila tekanan darah tinggi dirasakan semakin berat
atau pada suatu keadaan yang krisis dari tekanan darah itu
sendiri.
Gejala hipertensi yang semakin berat dan kian lama
dirasakan akan menampakkan gejala seperti sakit kepala, sering
merasa pusing yang terkadang dirasakan sangat berat, nyeri
perut, muntah, anoreksia, gelisah, berat badan turun, keluar
keringat secara berlebihan, epistaksis, palpitasi, poliuri,
proteinuri, hematuri, retardasi atau pertumbuhan.
Pada gejala hipertensi yang semakin kronis akan muncul
gejala, seperti ensefalopati hipertensif, hemiplegi, gangguan
penglihatan dan pendengaran pareses dan facialis, penurunan

133

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

kesadaran. Gejala pada tekanan darah tinggi yang memasuki


stadium kronis atau akut dan menimbulkan gejala seperti di atas,
membuat beberapa penderita hipertensi ini sampai dalam
keadaan koma. Apabila dilakukan pemeriksaan secara fisik,
umumnya tidak ditemui kelainan apapun selain tekanan darah
semakin tinggi, namun dapat pula ditemukan perubahan pada
retina mata, seperti terjadi perdarahan, eksudat (kumpulan
cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada keadaan yang
sangat kronis mengakibatkan edema pupil mata.
Gejala hipertensi biasanya tidak dirasakan, sehingga
penyakit ini disebut silence disease. Banyak orang yang
menganggap tekanan darah tinggi itu pasti menyebabkan pusing.
Karena kekeliruan itu, tidak semua pasien berobat, karena
memang tidak mengeluh pusing. Bagi orang sehat paling tiap
tahun sekali memeriksa tekanan darah, sedang yang sakit setiap
bulan sekali.
Hipertensi sulit disadari karena tidak memiliki gejala
khusus. Namun demikian, ada beberapa hal yang setidaknya
dapat dijadikan indikator, sebab berkaitan langsung dengan
kondisi fisik. Misalnya, pusing atau sakit kepala, sering gelisah,
wajah merah, tengkuk terasa pegal, mudah marah, telinga
berdenggung, susah tidur, sesak napas, mudah lelah, mata
berkunang-kunang, dan mimisan.
Gejala lainnya yang dapat dikenali dari tejadinya serangan
hipertensi pandangan menjadi kabur. Hal ini terjadi karena
adanya kerusakan pada otak, mata, jantung, dan ginjal. Penderita
hipertensi berat dapat mengalami penurunan kesadaran bahkan
koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut
ensefalopati hipertensi yang memerlukan penanganan segera.
Penyakit hipertensi yang sering kali terjadi umumnya tidak
menimbulkan gejala yang mudah dikenali. Sementara tekanan
darah terus meningkat meski dalam jangka waktu yang cukup

134

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

lama hingga menimbulkan komplikasi adanya suatu penyakit


bawaan dari hipertensi. Oleh karenanya hipertensi harus selalu
dicek untuk mengetahui tekanan darah secara berkala.
Seseorang yang dikatakan menderita darah tinggi apabila dalam
beberap pemeriksaan tekanan darah diketahui memiliki tekanan
darah hingga diatas 130/90 mmHg.
Hipertensi menyebabkan timbulnya suatu penyakit yang
dibawa akibat tekanan darah yang tinggi seperti menimbulkan
risiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan
jantung dan gagal ginjal. Penyakit hipertensi tak mengenal batas
usia seseorang dan jenis kelamin, semua orang memiliki risiko
yang sama terhadap hipertensi tanpa harus menimbulkan ciri
atau gejala terlebih dahulu.
Tekanan darah dalam setiap kehidupan seseorang
berbeda-beda secara alamiah. Bayi dan anak-anak yang secara
normal pun memiliki tekanan darah yang jauh lebih rendah
dibanding orang dewasa. Tekanan darah dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti aktivitas fisik yang dilakukan sehari-hari,
tekanan darah akan mengalami peningkatan ketika melakukan
aktivitas sehari-hari dan akan menurun ketika beristirahat.
Tekanan darah dapat meningkat ketika di pagi hari dan akan lebih
rendah ketika tidur/istirahat di malam hari.
3.5. Konsepsi Budaya Kesehatan
Ada dua sistem budaya pelayanan kesehatan di
masyarakat desa Muara Bahar, yaitu sistem budaya pelayanan
kesehatan modern (bio medikal) dan sistem budaya pelayanan
kesehatan tradisional.

135

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

3.5.1. Pelayanan Kesehatan Modern (Bio Medikal)


Sistem budaya pelayanan kesehatan modern (bio medikal)
meliputi berbagai fasilitas pelayanan kesehatan yang ada yaitu,
satu Poskesdes yang terletak di Dusun Arang-arang (Dusun 1) dan
dua Posyandu yang terletak di Dusun 1 dan Dusun 2. Kondisi
Poskesdes saat ini sangat memprihatinkan dengan bangunan dan
peralatan di dalamnya yang tidak terurus. Sebenarnya pihak
Puskesmas sudah menugaskan bidan desa untuk menempati
Poskesdes tersebut, akan tetapi Ibu Bidan lebih memilih tinggal di
rumahnya sendiri.
Bidan desa sementara ini hanya berperan memberi
pelayanan bagi ibu yang memeriksakan kehamilannya, jadi tidak
menolong persalinan. Sebagian besar pertolongan persalinan
dilakukan oleh dukun kampung. Umumnya ibu-ibu (98%) minta
pertolongan ke dukun kampung.
Permasalahan utama yang saat ini masih dihadapi
berkaitan dengan kesehatan ibu di Indonesia adalah masih
tingginya angka kematian ibu yang berhubungan dengan
persalinan. Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor
yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan kematian ketika persalinan, di samping itu juga
untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami
perilaku perawatan kehamilan (antenatal care) adalah penting
untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri.
Penyebab lain yang mempengaruhi hal itu adalah
rendahnya kesadaran para ibu memeriksakan kesehatan
kandunganya ke Puskesmas maupun tenaga medis lainnya. Hal
yang mendasari mereka tidak memeriksakan kesehatan
kandungannya dan bersalin ke tenaga kesehatan adalah karena
akses jalan yang harus ditempuh dengan menyusuri sungai
menggunakan speedboat selama 45 menit atau menggunakan
perahu ketek selama 1,5 jam. Jalan lainnya bisa ditempuh dengan
136

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

perjalanan darat, akan tetapi jarak perjalanan yang ditempuh


sangat jauh dengan kondisi jalan tanah yang becek, dengan
lubang-lubang yang digenangi air.
Desa Muara Bahar mempunyai luas wilayah 18.600 km2
dengan jumlah penduduk 2.762. Jumlah rumah 745 dengan
jumlah rumah tangga/KK 975. Rata-rata jiwa/rumah tangga
sebanyak 2.762 dengan kepadatan penduduk 513.732.0 per km2.
Jumlah tenaga kesehatan (Bidan Desa) hanya ada dua orang,
masing-masing berdomisili di Dusun 1 dan Dusun 2.
Dengan luas wilayah desa yang begitu besar, ketersedian
bidan desa yang hanya dua orang terasa sangat kurang. Akses
untuk mencapai ke tempat praktek bidan desa sangat jauh
dengan jalan yang rusak dan berlubang serta melewati hutan
belantara. Kondisi jalan bertambah parah apabila turun hujan.
Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Desa Muara Bahar
lebih memilih berobat ke dukun kampung/orang pintar. Apabila
berobat ke dukun kampung/orang pintar tidak sembuh, mereka
lebih memilih berobat ke tenaga kesehatan yang berdomisili di
wilayah Provinsi Jambi karena akses jalannya lebih gampang
ditempuh daripada berobat ke bidan desa yang ada di desa
mereka sendiri.
3.5.2. Sistem Budaya Pelayanan Kesehatan Tradisional
Keberadaan dukun kampung di desa Muara Bahar masih
sangat banyak. Masih eksisnya dukun kampung ini disebabkan
karena masih banyaknya ibu-ibu hamil yang meminta
pertolongan dukun kampung saat persalinan. Di samping dukun
kampung, keberadaan orang pintar yang bisa mengobati juga
masih sangat diminati di kalangan masyarakat Suku Anak Dalam
di desa Muara Bahar. Salah satu orang pintar yang ada di desa
Muara Bahar dan sampai sekarang masih ada merupakan

137

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

keturunan langsung dari Suku Anak Dalam. Beliau adalah salah


satu ketua adat Suku Anak Dalam yang mempunyai keahlian
mengobati penyakit yang berhubungan dengan mahluk halus.
Dengan usia yang hampir mendekati 100 tahun, beliau terlihat
masih sehat dengan jam terbang sebagai pengobat tardisional
dengan mendapatkan panggilan untuk mengobati sampai ke luar
kota bahkan sampai keluar Provinsi Sumatera Selatan.

Gambar 3.11.
Dukun bayi keturunan Suku Anak Dalam
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Lokasi rumah dukun yang dekat dan akses jalan yang lebih
mudah ditempuh merupakan alasan lainnya melahirkan ke dukun
kampung. Biaya persalinan yang murah dengan tarif yang
terjangkau serta kurang percaya kepada tenaga kesehatan
merupakan faktor lainnya masyarakat suku anak dalam lebih
memilih melahirkan ke dukun kampung. Usia bidan desa yang
relatif masih muda dan belum berpengalaman salah satu faktor
membuat kurang percaya melahirkan ke tenaga kesehatan. Bagi

138

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

mereka usia dukun kampung yang sudah sepuh dan


berpengalaman dalam menyambut bayi selama puluhan tahun
semakin meyakinkan dan memantapkan hati untuk memilih
melahirkan ke dukun dibandingkan ke tenaga kesehatan.

Gambar 3.12.
Jimat Jerangau Bunglai Pada Tangan Bayi
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Penggunaan jimat berasal dari tanaman jerangau bunglai


(dringo) yang sudah dijampi oleh dukun, dibungkus dengan kain
hitam diberi jarum atau paku. Ada juga jerangau bunglai diiris
kecil-kecil diikat dengan tali bersama tulang ikan Tomang dibuat
gelang atau kalung. Dipakaikan kepada ibu hamil dan anak bayi
sampai dengan berumur 1 tahun. Menurut pengakuan dukun
bayi dan ibu hamil, jimat ini digunakan sebagai penangkal agar
tidak didatangi mahkluk halus terutama kuntilanak.
Selama hamil, ibu hamil minum ramu-ramuan dari hutan
berupa akar dari kayu pelusuh utan, caranya : Akarnya dicuci
bersih dibalut dengan sirih dimakan pada saat hamil 7 sampai
dengan 9 bulan. Ramuan ini juga diminum setelah persalinan
139

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dengan tujuan untuk mencegah penyakit meriyan (penyakit


setelah melahirkan seperti pendarahan).
Disamping itu
meminum ramuan tradisional seperti jahe.

Gambar 3.13.
Kayu Pelusuh Hutan
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Untuk ibu hamil yang mengalami sakit pinggang diobati


dengan ayam hitam yang telah dipotong, kemudian bersama
dengan ketan hitam ditempelkan ke perut ibu hamil. Pada saat
ayam hitam dan ketan hitam tersebut ditempel ke perut ibu
hamil, dukun membacakan mantra-mantra.
Jumlah dukun kampung yang lebih dari satu dan ada
disetiap kampung membuat akses jalan jauh lebih gampang dan
tidak sulit untuk ditempuh dibandingkan kalau ke tenaga
kesehatan. Dukun kampung yang masih merupakan kerabat
dekat mereka dari segi jarak rumahnya lebih dekat dan biayanya
lebih murah.

140

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

3.6. Perilaku Pencarian Pengobatan


Ada tiga bentuk perilaku pencarian pengobatan yang
dilakukan oleh masyarakat Suku Anak Dalam, khususnya di Desa
Muara Bahar ini. Masyarakat suku anak dalam apabila sakit
terlebih dahulu berobat ke dukun/orang pintar yang mempunyai
keahlian mengobati. Bila sakit ringan akan diobati dengan obat
kampung seperti akar kayu hutan (pelusuh kayu utan) yang
dimakan bersama sirih. Jika si sakit mengalami demam yang
ditengarai akibat perbuatan makhluk halus, maka dukun/orang
pintar akan memberikan air yang sudah dijampi lalu diminumkan
atau disemburkan ke pasien. Apabila setelah dari dukun/orang
pintar pasien sembuh, maka tidak akan mencari pengobatan
yang lain, seperti ke tenaga medis.
Penyakit yang banyak dialami anak-anak adalah penyakit
uap (campak). Penyakit ini diobati dengan minum air kelapa
muda karena air kelapa muda memberikan rasa dingin untuk
orang yang sedang kena uap/campak. Penyakit lainnya yang
sering dialami oleh anak-anak adalah penyakit karena ditegor
mahluk halus biasa disebut ketegoran. Ciri-ciri penyakit ini
adalah demam, panas dan sering mengigau. Penyakit
ketegoran ini dialami anak-anak apabila keluar rumah di waktu
Magrib dan berjalan dibawah guyuran hujan panas. Pegobatan
untuk penyakit ketegoran ini adalah dengan minum air putih
yang sudah dijampi dengan kemenyan oleh dukun/orang pintar.
Sedangkan masyakat yang menderita sakit parah akan
melakukan pengobatan besale. Tradisi besale adalah suatu
cara pengobatan untuk orang yang sedang sakit ataupun untuk
pasangan yang menginginkan keturunan. Tradisi besale dipimpin
oleh ketua adat Suku Anak Dalam dengan ritual memanggil
roh/arwah orang yang sudah meninggal untuk membantu
memberikan pertolongan kesembuhan kepada orang yang
sedang diobati, caranya orang yang sedang sakit ditaruh di
141

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tengah, kemudian ketua adat bersama beberapa orang yang


dituakan berjalan mengelilingi orang yang sedang sakit sambil
membaca mantra. Pembacaan mantra ini diringi oleh nyanyian
dan musik yang ditabuh oleh masyarakat. Alat tabuh ini berupa
gendang (redap) yang terbuat dari kulit kambing. Tradisi Besale
ini umumnya dilakukan oleh masyarakat yang mampu karena
biaya untuk melakukan ritual ini cukup besar mengingat banyak
sesajen-sesajen yang harus dipersiapkan dan melibatkan banyak
orang. Sesajen-sesajen itu berupa makanan seperti wajik, kuekue bolu, buah-buahan, dan lain-lain.
Adapun Besale ringan diobati dengan ayam hitam yang
telah dipotong, kemudian bersama dengan ketan hitam ditempel
ke perut ibu hamil, dukun membacakan mantra-mantra.
senggugut (kista) yang dialami ibu yang lama tidak mempunyai
keturunan. Pengobatan dilakukan selama 3 bulan berturut-turut.
Apabila sudah dilakukan pengobatan tradisional tidak sembuh,
maka masyarakat akan memilih pengobatan dengan pergi
berobat ke fasilitas kesehatan.

142

BAB 4
BENTENG TRADISI KESEHATAN
BUMI SERASAN SEKATE

4.1. Budaya Hamil Suku Anak Dalam


Ada konsep yang didasari nilai-nilai budaya dalam
kehidupan masyarakat setempat bahwa anak adalah rejeki yang
sangat berharga bagi setiap pasangan suami istri, oleh karenanya
perawatan sejak hamil pun sudah diperhatikan. Ketika diketahui
bahwa si Ibu hamil, maka seluruh anggota keluarga akan
memberikan perhatian lebih padanya, misal dengan cara
memanggil seorang dukun kampung atau pergi ke tenaga
kesehatan (bidan atau perawat) untuk memeriksakan
kandungannya. Dukun kampung bertugas untuk memijat ibu,
bahkan terkadang perut si ibu diurut agar posisi bayi tidak
sunsang ketika proses persalinan. Pengurutan perut ibu hamil
dilakukan sejak usia kehamilan memasuki usia 3 (tiga) bulan. Di
usia kehamilan 3 (tiga) bulan ini rahim si ibu dikunci oleh
dukun, artinya pada saat seorang ibu melahirkan harus ditolong
oleh dukun karena kalau tidak oleh dukun maka bayi yang
dikandung tidak mau keluar. Sebagaimana diungkapkan informan
berikut ini :
...biasanya klo udah usia kehamilan tiga bulan itukan
udah diurut sama dukunnya, kalo dukun kampung itu
namanya dikunci sama dukunnya itu. Dikunci kayak gini
saya juga udah pernah buktikan. Biasanya kalo orang

143

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

hamil itu sudah pernah dikunci sama dukunnya


walaupun dia udah waktunya ngelahirin udah
pembukaan lengkap kalo dukunnya tidak dipanggil gak
mau lahir... dikunci sama dukunnya... (FA-Arang-arang)

Seorang wanita yang mengandung menginjak usia


kehamilan 3 (tiga) bulan, dimandikan air kembang oleh dukun.
Sedangkan Bidan juga dibutuhkan tenaganya untuk
memeriksakan kandungan secara medis dan pemberian vitamin.
Selain itu dilakukan pemijatan dan ada beberapa pantangan yang
harus ditaati oleh ibu yang sedang mengandung atau tidak boleh
dilakukan untuk menjaga keselamatan bayi dalam kandungan,
yaitu tidak mengkonsumsi antara lain makanan yang pedas
seperti cabe agar nantinya wajah bayi tidak merah, ikan asin,
terong dan santan. Ikan asin dan terong bisa menyebabkan gatal.
Ikan asin dan santan dipercaya dapat menyebabkan pendarahan,
sedangkan terong dipercaya menyebabkan gatal. Pantangan
lainnya yang dianut dan masih dilakukan oleh ibu hamil antara
lain tidak boleh melakukan pekerjaan yang berat-berat, misalnya
menanam sawit. Namun masih ada saja kedapatan ibu hamil
tetap bekerja sebagai buruh sawit.
Sedangkan kebiasaan yang tidak boleh dilakukan selama
masa kehamilan adalah ibu hamil tidak boleh duduk didepan
pintu dan suami ibu hamil tidak boleh membunuh binatang
supaya lancar saat persalinan. Pantangan lainnya yang tidak
boleh dilakukan sampai dengan 40 hari sehabis melahirkan
adalah tidak boleh menyapu dan menjahit karena pamali.

4.2. Persalinan dan Nifas


Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang
kritis bagi ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi
bisa jadi ibu melahirkan dengan selamat atau melahirkan diakhiri

144

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

kematian. Berbagai faktor risiko antara lain dari mulai pemilihan


penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan
pelayanan kesehatan, kemampuan penolong persalinan, sampai
sikap keluarga dalam menghadapi keadaan gawat. Berdasarkan
data dari Puskesmas Bayung Lencir tahun 2013, sasaran ibu hamil
di Desa Muara Bahar sebanyak 24 orang, dari sejumlah itu yang
melakukan persalinan pada tenaga kesehatan sebanyak 3 orang.
Sebagian kecil ibu hamil di Desa Muara Bahar sudah
mempercayai tenaga kesehatan (bidan desa) walaupun masih
ada sebagian yang masih mempercayai dukun kampung untuk
menolong persalinan. Hal ini terjadi terutama pada masyarakat
Suku Anak Dalam. Sebagaimana diungkapkan oleh beberapa
informan berikut ini:
...dak biasa, dari dulu anak pertama dan kedua juga di
rumah, lebih enak, ada keluarga yang bantu, kalo ke
bidan jauh, semua keluarga begitu juga... (FT-Teluk
Beringin)
...Malu melahirkan di bidan atau dokter, malu dilihat
oleh orang luar selain keluarga kita bu... apalagi kalo
dokternya laki, lebih malu lagi bu... (FT-Teluk Beringin).

Peran dukun kampung masih dominan menangani


pemeriksaan kehamilan hingga proses persalinan. Sebagian besar
ibu hamil (98%) di Desa Muara Bahar melahirkan dengan minta
pertolongan dukun kampung. Pertolongan persalinan pada
dukun dilakukan secara turun temurun dari mulai orang tuanya
yaitu sewaktu ibunya melahirkan mereka dimana tempat
melahirkannya di rumah. Bagi mereka kalau melahirkan ditolong
oleh tenaga kesehatan adalah tabu, karena akan memperlihatkan
organ intim mereka kepada orang luar yang bukan keluarga
mereka. Dukun di Desa Muara Bahar yang membantu persalinan
masih kerabat dekat mereka.

145

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pada bulan Januri 2014, ada kasus kematian bayi berumur


5 (lima) bulan meninggal dunia. Menurut ibu si bayi, anaknya
meninggal secara mendadak tanpa ada tanda-tanda sakit
sebelumnya. Ibu si bayi melahirkan bayinya tersebut ditolong
oleh dukun kampung. Posisi bayi pada saat dilahirkan sungsang
dimana kaki bayi sebelah kanan yang keluar duluan. Kondisi ini
tidak membuat sang dukun merujuk ibu hamil ini ke tenaga
kesehatan (bidan desa). Keluarga pun tidak berusaha
menghubungi bidan desa karena sudah percaya penuh kepada
dukun untuk membantu persalinan si ibu. Berikut ungkapan
informan :
...kemarin ayuk aku itu kan melahirkan anaknyo kaki
kanan dulu yang keluar, kalo ke bidan laah dioperasi,
kalo samo nenek diurut-urut sajo dan dijampi, bisa
anaknya keluar, sehaat (LE-Teluk Beringin)
...tapi bulan januari kemaren meninggal, kalo sehat lah
addo 10 bulan umurnyo, belom addo 5 bulan umurnyo
meninggal... (LE-Teluk Beringin)

Persalinan yang aman memastikan bahwa semua


penolong persalinan mempunyai pengetahuan, keterampilan,
dan alat untuk memberikan pertolongan yang aman dan bersih,
serta memberikan pelayanan nifas kepada ibu dan bayi
(Prawirohardjo S, 2006). Tenaga yang dapat memberikan
pertolongan persalinan dapat dibedakan menjadi 2, yaitu tenaga
profesional dan dukun bayi. Berdasarkan indikator cakupan
pelayanan kesehatan ibu dan anak, pertolongan persalinan
sebaiknya oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi
kebidanan (dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan,
pembantu bidan, dan perawat bidan) tidak termasuk oleh dukun
kampung (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2008).

146

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Meiwita Iskandar


pada tahun 1996 yang menyatakan bahwa masih banyak wanita
negara berkembang khususnya di pedesaan lebih suka
memanfaatkan pelayanan tradisional dibanding fasilitas
pelayanan kesehatan modern. Dari segi sosial budaya masyarakat
khususnya di daerah pedesaan, kedudukan dukun bayi lebih
terhormat, lebih tinggi kedudukannya dibanding dengan bidan
sehingga mulai dari pemeriksaan, pertolongan persalinan sampai
perawatan pasca persalinan banyak yang meminta pertolongan
dukun bayi. Masyarakat tersebut juga sudah secara turun
temurun melahirkan di dukun bayi dan menurut mereka tidak
ada masalah (Iskandar M, 2010).
Hal lain yang mendasari ibu-ibu sewaktu melahirkan tidak
menggunakan jasa pertolongan tenaga kesehatan adalah karena
akses atau jalan menuju ke fasilitas pelayanan kesehatan relatif
jauh dan sulit untuk ditempuh. Dukun bayi masih merupakan
kerabat dekat mereka yang dari segi jarak lebih dekat dan
biayanya lebih murah. Lokasi desa yang dikelilingi sungai dan
jalanan darat tanah yang berlubang membuat masyarakat
menjadi malas untuk keluar dari desa. Kondisi jalan bertambah
sulit untuk dilalui apabila turun hujan, sedangkan untuk
perjalanan melalui sungai perlu biaya yang lumayan mahal
mengingat harus menyewa speed boat atau menyewa perahu
ketek. Akses jalan yang sulit ini menjadi salah satu faktor
masyarakat desa Muara Bahar lebih memilih persalinan ke dukun
yang jaraknya lebih dekat dari rumah mereka dibandingkan
mereka harus menempuh perjalanan sungai atau perjalanan
darat yang rusak dan ditempuh dengan jarak berkilo-kilo meter.
Ketersediaan dan kemudahan menjangkau tempat pelayanan,
akses terhadap sarana kesehatan dan transportasi merupakan
salah satu pertimbangan keluarga dalam pengambilan keputusan

147

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

mencari tempat pelayanan kesehatan. Berikut ungkapan


informan:
...dak biasa, dari dulu anak pertama dan kedua juga di
rumah, lebih enak, ada keluarga yang bantu, kalo ke
bidan jauh, semua keluarga begitu juga... (FT-Teluk
Beringin)

Alasan lainnya memilih melahirkan ditolong oleh dukun


biaya yang dikeluarkan ala kadarnya tergantung kerelaan
keluarga ibu yang melahirkan. Menurut pengakuan salah seorang
informan :
...biaya persalinan jika ditolong dukun sekedar saja
sesuai kemampuan keluarga ibu yang melahirkan.
Kadang kala ongkos yang dikeluarkan serelanya saja.
Tidak harus berupa uang tapi bisa berupa bahan
sembako yang dimiliki keluarga ibu yang melahirkan
seperti beras, gula, kopi, sabun, bawang. Akan tetapi
apabila pada saat melahirkan sang ibu sampai buang air
besar maka wajib bagi keluarga untuk memberikan kain
kepada dukun dengan tujuan agar rejeki si anak bayi
lancar...

Menurut Amilda LN (2010), bahwa Sebagian besar


responden yang termasuk dalam status ekonomi miskin memilih
pertolongan persalinan oleh dukun kampung, sedangkan seluruh
responden yang tidak miskin memilih pertolongan persalinan
oleh bidan. Responden yang termasuk dalam status ekonomi
miskin cenderung tidak mempunyai pendapatan keluarga yang
memadai untuk memenuhi biaya pelayanan pertolongan
persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan lain. Hal ini terjadi
karena biaya persalinan di dukun kampung cenderung lebih
murah dibandingkan dengan pertolongan persalinan oleh bidan
atau tenaga kesehatan lain (Juliwanto E, 2008).

148

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ridwan Aminudin


(2006) yang menyatakan bahwa status ekonomi berhubungan
dengan pemilihan tenaga penolong persalinan. Penelitian Telpa
Abdi (2008) juga menyatakan masih rendahnya cakupan
persalinan oleh tenaga kesehatan disebabkan oleh faktor sosial
budaya, ekonomi, dan kepercayaan.
Berdasarkan penelitian Amilda LN, 2010, didapatkan
bahwa seluruh responden yang memiliki tingkat pengetahuan
baik (44,4%) memilih bidan dalam menolong persalinannya
sedangkan seluruh responden yang memiliki tingkat
pengetahuan cukup (55,6%) memilih dukun bayi dalam menolong
persalinannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Heni
Oktarina pada tahun 2008 yang menyatakan bahwa ada
hubungan tingkat pengetahuan tentang infeksi dan penolong
persalinan dengan pemilihan tenaga penolong persalinan. Selain
itu juga sesuai dengan hasil penelitian Elvistron Juliwanto pada
tahun 2008 yaitu ada hubungan yang signifikan antara tingkat
pengetahuan dengan pemilihan tenaga penolong persalinan
(Juliwanto E, 2008).
Pengetahuan merupakan suatu hal yang sangat
dibutuhkan dalam rangka perubahan pola pikir dan perilaku
dalam masyarakat. Pengetahuan ini terkait dengan lingkungan
dimana responden menetap. Selain itu, keterpaparan dengan
media komunikasi akan mempengaruhi kadar pengetahuannya.
Tidak mungkin mereka dapat terpapar dengan kondisi yang up to
date sementara daerah tempat tinggalnya jauh dari keramaian
dan keterjangkauan, didukung lagi dengan tingkat pendidikan
yang relatif masih kurang.
Bidan desa sementara ini hanya berperan memberi
pelayanan bagi ibu yang memeriksakan kehamilannya, tidak
menolong persalinan. Alasan mereka dikarenakan bidan desa
yang ditempatkan di desa Muara Bahar merupakan orang luar

149

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

yang bukan keluarga dekat mereka. Berbeda dengan Dukun yang


membantu persalinan masih kerabat dekat mereka sendiri. Bagi
mereka perlakuan bidan ketika melakukan proses persalinan
kurang akrab dan kurang bersahabat dengan si ibu hamil,
berbeda dengan perlakukan yang diberikan sang dukun sangat
nyaman bagi mereka, tidak kaku dan penuh kekeluargaan. si ibu
hamil dan keluarga merasa tidak canggung dengan sang dukun
karena masih kerabat dekat mereka sendiri.
Saat persalinan, selain dukun, orang-orang yang ada di
samping Ibu yang sedang melahirkan adalah suami, ibu dan ibu
mertua dari si ibu yang melahirkan. Peran suami dalam proses
kelahiran, jika melahirkannya di rumah dan ditolong oleh dukun,
suami membantu ikut mengurut perut atau mendorong bayi
yang masih di dalam kandungan (perut sang istri) agar cepat
keluar. Walaupun ada beberapa kejadian dimana suami tidak
dapat mendampingi istri karena sedang berada di luar kota
karena bekerja. Lain halnya jika persalinan di fasilitas pelayanan
kesehatan seperti Puskesmas/Polindes, suami hanya menunggui
di luar.
Bidan desa sebenarnya adalah orang setempat yang
berasal dari desa itu sendiri, hanya berbeda dusun saja. Hal ini
memang sengaja dilakukan oleh Puskesmas Kecamatan Bayung
Lencir menempatkan penduduk asli yang berasal dari desa itu
sendiri sebagai bidan desa di desa tersebut. Ini dilakukan oleh
Puskesmas dengan tujuan untuk mengurangi persalinan ke
dukun, mengingat di desa ini persalinan ke dukun sangat tinggi.
Dengan menempatkan bidan desa yang berasal dari daerah
setempat diharapkan bisa lebih mudah pendekatan kepada
masyarakat.
Usia bidan desa yang masih muda dan status Bidan Desa
yang belum menikah menjadi alasan lainnya kurang percayanya
masyarakat Suku Anak Dalam terhadap Bidan Desa. Bagi mereka

150

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

bidan yang belum pernah menikah dan belum pernah hamil


tentulah belum memiliki pengalaman dalam membantu
persalinan. Dari pihak Bidan Desa sendiri sudah melakukan upaya
pendekatan kepada masyarakat desa Muara Bahar dimulai dari
pendekatan kepada keluarga si ibu hamil, seperti yang
diungkapkan informan :
...Saya kalo upaya pendekatan itu saya mendekati dari
pihak keluarga kebetulan saya orang sini kan, jadi dari
keluarga saya, saya bilang sama bibik, paman, tante
segala macam tolonglah kasih tau sama si ini yang
mereka kenal jangan lah lagi pake dukunitu nanti
bahaya. Pokoknya supaya imunisasi berjalan, KB berjalan
saya selalu usahakan komunikasi sama masyarakat. Kalo
buat yang sudah tahu, yang sudah paham, yang sudah
pernah keluar, udah maju juga pendidikannya
Alhamdulillah udah pada ngerti, udah mau terima. Tapi
ada juga yang tetap pada pendiriannya. Orang sini itu
berpegang teguh pada budaya gak mau menghilangkan
itu...

Ibu nifas mendapat perlakuan yang sedikit istimewa dari


keluarga yaitu tidak diperbolehkan melakukan kegiatan yang
melelahkan. Beliau hanya diminta duduk saja. Sedangkan
pekerjaan lain yang biasa dikerjakan sehari-hari seperti memasak,
mencuci, dan membersihkan rumah dilakukan oleh suami atau
orangtua Si Ibu. Jadi, tugas Ibu ini hanya menyusui bayi saja.
Namun hal ini hanya berlaku bagi Ibu yang suaminya tidak pergi
ke luar kota untuk bekerja. Sedangkan bagi Ibu yang ditinggal
oleh suaminya maka beliau tetap melakukan pekerjaan rumah
tangga seperti mencuci dan membersihkan rumah.
Setelah melahirkan, ibu nifas minum ramu-ramuan
tradisional seperti daun gelugur, daun kandis, kunyit dan jahe.
Mandi dengan air rebusan ramu-ramuan daun sereh, daun jeruk,

151

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

pandan wangi, laos, kunyit, diminum sampai dengan 10 hari


ditambah dengan makan telor rebus.
4.3. Pola Pemeliharaan Kesehatan Anak

Gambar 4.1.
Lading untuk Memotong Tali Pusar Bayi
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Pemotongan tali pusar bayi dilakukan oleh dukun


kampung menggunakan lading yang terbuat dari kayu tubung.
Kayu tubung tersebut dibuat seperti pisau. Sebelum dipakai, kayu
tubung terlebih dahulu ditajamin dengan pisau kemudian ditaruh
di atas api agar kayunya menjadi kering. Kayu yang sudah
ditajamin tidak perlu dicuci lagi karena dianggap sudah bersih
sama dukunnya. Pada saat memotong tali pusar, untuk
memudahkan pemotongan pusar dikasih alas berupa kayu trap,
seperti ungkapan informan HA berikut :
...motongnya pake kayu tubung namanya. Kalau mau
dipake ditajamin kayunya pake pisau ditaro di atas api
biar kering kayunya. Kalo sudah ditajamin gak usah
152

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

dicuci lagi kan sudah bersih. Motongnya dikasih alas


kayu trap namanya...

Perawatan tali pusar bayi menggunakan kayu Trap.


Caranya kayu Trap dibakar dengan api sampai menjadi arang,
ditumbuk kemudian diayak. Apabila tali pusar belum lepas,
terlebih dahulu pusar dikasih air asam dan abu kayu trap ditaburi
di pangkal pusar, lalu dibungkus dengan kain putih. Setelah 2-3
hari tali pusar lepas baru ditaburi serbuk kayu trap tadi.

Gambar 4.2.
Upacara Lepas Tali Pusar
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ucapan terimakasih keluarga ibu yang melahirkan kepada


dukun yang membantu persalinan diserahkan pada saat acara
basuh tangan dukun. Basuh tangan dukun ini dilaksanakan 7
hari setelah ibu melahirkan dengan ritual menyediakan air
tepung tawar dalam baskom yang dikasih dengan kembang 7
rupa dan jeruk nipis, dijampi (dibacakan mantra-mantra) lalu

153

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dimandikan ke badan bayi dan tangan ibu agar ibu dan bayi
selamat dunia dan akherat.

Gambar 4.3.
Perlengkapan Acara Basuh Tangan Dukun
Sumber : Dokumentasi Peneliti

Menurut pengakuan dukun bayi, selama bayi dan ibu


belum dimandikan dengan air di acara basuh tangan dukun
berarti ibu dan bayi tersebut belum bersih (masih kotor). Terakhir
tangan dukun yang dicuci dengan air tepung tawar yang sudah
dijampi tadi, sementara bahan sembako sebagai ucapan
terimakasih buat si dukun seperti beras, gula, kopi, sabun,
bawang ditaruh di dalam mangkuk ditambah kain putih sekabung
(2 meter). Apabila pihak keluarga mau memberi uang, maka
uangnya ditaruh juga di dalam mangkuk tersebut.
Setelah bayi dimandikan, untuk bayi perempuan dilakukan
sunat. Alasan dilakukan sunat terhadap bayi perempuan menurut
mereka sudah menjadi adat dan tradisi Suku Anak Dalam. Sunat
dilakukan agar nantinya organ intim si bayi kelihatan bagus.

154

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Selanjutnya, perawatan ari-ari bayi dicuci bersih lalu dibungkus


dengan jarit atau kain berwarna putih kemudian ditanam
didepan rumah bersama dengan kertas koran atau buku-buku
yang sudah tidak terpakai. Kain berwarna putih diyakini agar
bayinya badannya putih seputih kain dan ditanam bersama
kertas koran agar bayinya dewasa kelak menjadi anak yang
pintar.
4.4. Pola Pemberian Air Susu Ibu
Bayi mulai diperkenalkan pada makanan selain ASI pada
saat beberapa jam setelah dilahirkan, diantaranya adalah madu.
Bibir bayi diolesi madu beberapa tetes dengan menggunakan jari
telunjuk dukun yang belum cuci tangan. Siapapun bisa menyuapi
madu ini, tidak harus Si Ibu. Menurut keyakinan masyarakat
setempat, madu bermanfaat untuk melicinkan pencernaan bayi
sehingga dapat menerima makanan apapun yang diberikan
kepadanya. Madu diyakini oleh masyarakat setempat bisa
membuat bayi mempunyai perkataan manis semanis madu.
Selain diberi madu, bayi yang baru dilahirkan diberikan air kelapa
muda, diyakini air kelapa muda bisa membuat kotoran bayi yang
tadinya berwarna gelap menjadi bersih. Sebelum disuapi
makanan, bayi baru lahir ini dimandikan oleh dukun bayi.
Memandikan bayi ini dilakukan oleh dukun sampai bayi berusia 7
hari.
Bayi dimandikan oleh dukun bayi selain karena agar bayi
dirawat sambil oleh dukun, Ibu juga tidak perlu memikirkan
proses memandikan. Hal ini merupakan suatu perlakuan yang
istimewa kepada Si Ibu yang baru melahirkan. Ibu yang baru
melahirkan tidak diperkenankan melakukan pekerjaan rumah
yang berat seperti mencuci baju dan membersihkan rumah. Ibu
hanya langsung membersihkan dirinya di kamar mandi.

155

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Sedangkan yang mengerjakan pekerjaan rumah adalah Ibu dari


ibu melahirkan karena kebiasaan masyarakat ketika melahirkan
selalu ditemani oleh orang tuanya. Sesuai dengan tipe
kekerabatan yang matrilokal, dimana Ibu tinggal bersama orang
tuanya, maka ketika melahirkan pun dibantu perawatan bayinya
oleh orang tua. Walaupun ada juga yang neolokal, pasangan
suami istri yang tinggal di rumah baru (bukan dengan orang tua),
jika melahirkan pun akan pulang ke rumah orang tua Si Ibu
dengan alasan agar ada yang mendampingi Ibu merawat dan
mengasuh bayi. Maksud dari hal ini adalah Ibu yang baru
melahirkan diharapkan tenang dan tidak mengkhawatirkan
masalah perawatan bayi baru lahir dan lebih fokus pada
perawatan dirinya sendiri.
Selain diolesi madu, bayi yang baru lahir pipinya ditusuk
dengan cabe merah dan bibirnya diolesi cabe merah yang sudah
dibelah. Hal ini diyakini pipi yang ditusuk dengan cabe merah bisa
membuat lesung pipit dan bibir yang diolesi cabe merah yang
sudah dibelah agar bibir menjadi merah semerah cabe, seperti
ungkapan informan ER.
...diolesin madu bibirnyo biar bagus, cabe biar cantik
dicucuki ke pipi biar ado lesung pipitnya, cabe dibelah
diolesi ke bibir biar merah...

Pemberian ASI ekslusif pada bayi hanya sampai umur 2


bulan, hari-hari berikutnya bayi dikasih makan nasi tim dan bubur
SUN. Bahkan ada bayi yang berumur 3 bulan dikasih susu kental
manis cap E dengan alasaan bayi suka yang manis-manis.
Menurut keterangan dari Ibu yang memiliki bayi, jika tidak diberi
makanan pendamping ASI ini bayinya akan rewel (menangis)
karena lapar. Sehingga akan mengganggu Si Ibu ketika bekerja di
sawit maupun di dapur.

156

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Kolostrum (ASI yang pertama kali keluar) dibuang, dengan


alasan seperti penuturan informanFM berikut :
...nah klo kolostrum pendapat ibu-ibu disini agak
kurang paham, kalo kolostrum orang sini nganggapnya
Dibuangkatanya itu basi, kan agak kental-kental gitu.
Katanya itu susu yang basi. Air susu pertama itu
makanya dibuang, dinormalkan dulu...
...kato orang-orang tuo itu kan disuruh buang, yo kito
nurut bae,katanyo sudah basi, kotor jangan dikasih
pada anak bayi, kagek bikin sakit...

Ada beberapa pantangan untuk Ibu ketika sedang dalam


menyusui bayi, diantaranya adalah Ibu tidak diperkenankan
mengkonsumsi ikan laut karena dikhawatirkan ASI-nya akan
berbau amis. Selain itu Ibu juga tidak boleh mengkonsumsi cabai
terlalu banyak karena ASI akan terasa pedas dan menyebabkan
mata bayi kotor serta memerah. Untuk makanan yang dianjurkan
selama menyusui adalah banyak mengkonsumsi jantung pisang,
sayur bayam dan daun katuk. Sayur-sayuran ini dipercayai bisa
memperbanyak produksi Air Susu Ibu.

157

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

158

BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di Suku Anak Dalam
Kabupaten Musi Banyuasin dapat disimpulkan bahwa dari hasil
pengamatan, informasi dan wawancara dengan masyarakat
keturunan suku anak dalam yang tinggal di desa Muara Bahar
kecamatan Bayung Lencir kabupaten Musi Banyuasin, ternyata
norma dan nilai nilai budaya masih dipegang teguh. Yang
tercermin dari masih sering diadakannya ritual-ritual budaya
seperti pada saat anak dalam kandungan, saat melahirkan
maupun pada saat ada warga masyarakat anak dalam yang
sedang terkena penyakit, yaitu besale meskipun yang
tingkatannya paling rendah karena keterbatasan dana dan
sarananya. Hal itu juga dipengaruhi dengan kurangnya akses
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.Begitu pula dengan
kegiatan gotong royong, adat sopan santun dari kaum muda
kepada yang lebih tua, terutama juga dalam hal gotong royong.
Meskipun masyarakat yang tinggal di desa Muara Bahar telah
majemuk, dengan banyaknya pendatang sesuai dengan
pembukaan lahan hutan menjadi pemukiman dan perkebunan.
Persalinan ke dukun kampung masih cukup tinggi (98 %).
Hampir sebagian besar ibu hamil masyarakat Suku Anak Dalam di
desa Muara Bahar meminta bantuan dukun dalam persalinan.
Faktor-faktor yang menjadi alasan melakukan persalinan ke

159

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dukun kampung antara lain masih merupakan tradisi dari nenek


moyang hingga ibu mereka melahirkan ke dukun, tabu bagi
mereka kalau melahirkan ke tenaga kesehatan karena akan
memerlihatkan organ intim mereka kepada orang luar yang
bukan kerabat dekat mereka sendiri, akses ke teneaga kesehatan
lebih jauh dengan kondisi jalan yang rusak serta melawati hutan,
biaya lebih murah apabila melahirkan di dukun kampung sesuai
dengan kemampuan keluarga ibu yang melahirkan serta masih
kurang percayanya masyarakat kepada tenaga kesehatan (bidan
desa).
Bidan desa sementara ini hanya berperan memberi
pelayanan ANC (Antenatal Care) bagi ibu yang memeriksakan
kehamilannya, akan tetapi tidak menolong persalinan. Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat, sebagian besar masyarakat Suku Anak
Dalam adalah perokok. Perilaku merokok ini terjadi pada laki-laki
dan perempuan dewasa hingga lansia, bahkan ibu hamil dan ibu
menyusui adalah ahli hisap yang jitu. Ada beberapa orang
penduduk desa Muara Bahar mengidap penyakit Tuberkulosis
(TB) dan ada sebagian kecil mempunyai riwayat penyakit
hipertensi.
5.2. Rekomendasi
1) Pemerintah Daerah perlu melakukan penyuluhan intensif
kepada masyarakat Suku Anak Dalam Desa Muara Bahar
mengenai persalinan yang aman, risiko persalinan pada
dukun kampung serta pentingnya pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan seperti Bidan Desa.
2) Perlu penambahan Bidan Desa mengingat luas wilayah desa
yang begitu besar dan akses untuk mencapai ke tempat
praktek bidan desa sangat jauh dengan jalan yang rusak dan
berlubang serta melewati hutan belantara

160

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

3) Mengadakan pendekatan budaya dan adat istiadat setempat


dalam penempatan bidan-bidan agar mudah diterima dan
dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Anak Dalam.
4) Pemerintah Pusat perlu mengkaji ulang indikator PHBS yang
ke 10 tidak merokok di dalam rumah, sebaiknya tidak
merokok di dalam dan di luar rumah.

161

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

162

INDEKS

A
adat sopan santun 73, 76, 157
agama 6, 58, 71, 73, 76, 81,
85, 93
agresi Belanda 15
Alokasi Dana Desa 122
Amilda 146, 147, 168
Amiruddin Inoed 43
Among-among 87
anak 2, 3, 4, 6, 8, 10, 11, 15,
16, 17, 19, 22, 24, 26, 27, 35,
39, 47, 48, 57, 59, 60, 61, 64,
67, 68, 69, 70, 72, 73, 75, 76,
82, 83, 85, 87, 88, 89, 90, 91,
92, 93, 96, 97, 100, 101, 102,
107, 108, 110, 112, 113, 114,
123, 124, 126, 133, 136, 137,
139, 141, 143, 144, 146, 153,
155, 157
analisis 13, 14
angker 58
animisme 57, 58
ante natal care 115, 134
ASEAN 3
Austronesia 54

B
Balai Arkeologi Palembang 53
balay 61
balita 3, 11, 12, 70, 117
basuh tangan dukun 151, 152
Batang Merangin 17
Batang Tembesi 17
Batin Sembilan 18
bayi 2, 3, 57, 87, 88, 89, 90,
117, 121, 134, 136, 137, 141,
142, 144, 145, 146, 147, 148,
149, 150, 151, 152, 153, 154,
155, 168
bencana 3, 84
bersih desa 81
besale 35, 58, 63, 64, 65, 66,
67, 83, 113, 114, 139
bilateral 72, 74
biologis 8, 97
bubangan 54
budaya 1, 2, 9, 10, 11, 12, 14,
34, 35, 36, 37, 38, 46, 54, 71,
101, 103, 107, 133, 134, 141,
145, 147, 149, 157, 159
Budaya Kesehatan 133
Bumi Serasan Sekate 41

163

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

C
Canang 77
catatan lapangan 13
Corporate Social Responsibility
32
culture-bound 11
curah hujan 43

dukun 3, 11, 12, 22, 26, 58,


64, 65, 69, 87, 88, 89, 91, 99,
101, 112, 129, 134, 135, 136,
137, 138, 139, 140, 141, 142,
143, 144, 145, 146, 147, 148,
149, 150, 151, 152, 153, 157,
158, 168

E
D
Daerah Aliran Sungai 45
data primer 11
data sekunder 9, 11, 12
dataran tinggi 44
Departemen Kesehatan 2, 3,
168, 169
desa Muara Bahar 6, 10, 11,
19, 21, 29, 31, 32, 33, 34, 40,
47, 48, 51, 52, 54, 57, 58, 62,
71, 74, 76, 78, 83, 85, 88, 90,
91, 98, 99, 100, 101, 102,
105, 108, 114, 117, 119, 133,
135, 143, 145, 147, 149, 157,
158
Dewa 57, 60, 61, 62
difusi 36, 37, 47
difusi inovasi 37
dinamisme 57
Dinas Kesehatan 4, 5, 7, 9, 11,
12, 41, 119, 144, 166, 169
Dinas Pariwisata 103

164

Ego 74
eksploratif 10
emerging diseases 8
Emzir 10, 13, 169
etnik 1, 6, 9
etnografi 10, 11, 21

F
fauna 43, 44
flora 43, 44

G
gangguan kesehatan 1, 10, 99
Geografi 41
gizi buruk 3
global emergency 7
gotong royong 34, 35, 85, 157

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

H
hamil 11, 12, 64, 69, 70, 81,
88, 112, 113, 115, 120, 121,
123, 124, 135, 137, 138, 140,
141, 142, 143, 144, 148, 157,
158, 170
hantu 57
hentew 62
hidrologi 43
high burden countries 7, 8
hipertensi 4, 130, 131, 132,
133, 158
Hipertensi 129, 131, 132, 133
hutan 6, 15, 16, 17, 23, 24, 25,
26, 27, 29, 36, 43, 44, 46, 47,
48, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 63,
64, 70, 76, 77, 89, 96, 105,
106, 135, 137, 139, 157, 158

I
ibu 2, 3, 4, 6, 11, 24, 27, 41,
64, 69, 70, 72, 73, 74, 75, 87,
88, 89, 93, 99, 112, 113, 115,
120, 121, 122, 123, 124, 134,
135, 137, 138, 140, 141, 142,
143, 144, 145, 146, 147, 148,
149, 151, 152, 153, 154, 157,
158, 168, 170
Indonesia 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 15,
18, 43, 47, 66, 102, 103, 114,
130, 134, 168, 169, 170

informan 10, 11, 12, 14, 22,


40, 68, 112, 113, 114, 115,
121, 122, 124, 125, 129, 141,
143, 144, 146, 149, 150, 154
informan kunci 14
informed consent 12
IPKM 4
Iskandar 145, 169

J
jampi jampi 69
jemalang 65
jerango bungle 90
jiwa 7, 41, 47, 59, 61, 85, 135
Johan Weintre 18, 62, 169
Juliwanto 146, 147, 170

K
kakus 52, 53, 110, 117
kardiovaskuler 7
karet 5, 20, 23, 27, 28, 29, 36,
39, 40, 42, 43, 44, 46, 56, 57,
80, 91, 105, 107, 119
kayu unglen 48
Kayu bahar 22
kearifan lokal 1
Kecamatan Bayung Lencir 6,
10, 11, 18, 19, 45, 58, 71,
116, 148, 166
kekuatan ghaib 59, 67, 68
kelahiran hidup 2, 3
165

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Kelompok Konservasi 6, 47
keluarga miskin 2
kemandirian 2
kematian ibu 2, 134
Kependudukan 41
kepercayaan 2, 14, 57, 58, 59,
63, 67, 68, 71, 87, 96, 147
Kerajaan Sriwijaya 54
kesehatan masyarakat 1, 3,
117
Kesehatan Reproduksi 112
Kesenian 103
khatam Quran 93
Koentjoroningrat 61, 63
Komoditas utama 43
koncek bawang 93
kosmologi 60
Kota Randik 41
kredibilitas 13
kriyo 77, 78, 83

L
Legenda 15
Lingkaran Hidup 87
lokasi penelitian 9, 10, 13, 115

M
makanan 8, 23, 44, 56, 61, 62,
93, 94, 96, 98, 110, 111, 114,
125, 129, 140, 142, 153, 154,
155
166

malaria 10
Mangku 77
masyarakat 1, 3, 7, 8, 9, 11,
15, 16, 18, 22, 24, 25, 26, 28,
29, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38,
39, 40, 43, 46, 48, 49, 52, 53,
54, 56, 57, 58, 59, 61, 62, 67,
68, 71, 72, 73, 76, 79, 80, 81,
82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 90,
95, 97, 98, 99, 100, 101, 103,
105, 106, 108, 110, 111, 112,
114, 116, 117, 118, 119, 120,
121, 122, 123, 128, 133, 135,
136, 139, 140, 141, 143, 145,
147, 148, 149, 153, 157, 158,
159, 168
Mata Pencaharian 105
matrilineal 72
melangun 55, 62
Melayu 18, 60, 61, 102
menyusui 11, 12, 120, 121,
123, 124, 149, 155, 158
merokok 117, 120, 121, 122,
123, 124, 158, 159
migrasi 43
Millenium Development Goals
(MDGs) 2
Moleong 13, 170
Muara 6, 7, 10, 11, 12, 19, 20,
21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 29,
30, 31, 32, 33, 34, 35, 39, 40,
41, 46, 47, 48, 49, 51, 52, 54,
57, 58, 62, 71, 73, 74, 75, 76,

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

78, 80, 83, 84, 85, 86, 88, 90,


91, 98, 99, 100, 101, 102,
105, 106, 107, 108, 111, 114,
115, 117, 118, 119, 121, 123,
125, 129, 133, 135, 139, 143,
145, 147, 149, 157, 158, 166,
169
Muara Enim 41
Muda Mudi 91
Mulyanto 58, 59, 95, 170
Musi Banyuasin 4, 5, 6, 7, 9,
11, 18, 19, 41, 42, 43, 45, 54,
103, 118, 119, 122, 157, 166,
169

N
nenek moyang 33, 47, 54, 61,
67, 106, 120, 124, 158
nifas 11, 12, 144, 149
nilai budaya 34, 35, 38
nomaden 24

O
observasi partisipatif 11
orang kubu 6, 16, 27, 61, 64
orang Rimba 60
Organisasi Sosial 71, 169
organosol 43

P
Palembang 6, 43, 45, 53, 94,
102
Panglima Bambu Kuning 15,
16
partisipasi masyarakat 122
patrilineal 72
pedoman wawancara 11
pelayanan kesehatan 3, 8, 9,
133, 134, 143, 144, 145, 146,
148, 157, 170
Pelayanan Kesehatan Modern
134
pelayanan kesehatan
tradisional 133
pelet 67, 68, 69
pembangunan kesehatan 2, 3
pemberdayaan 2, 122
pembukaan ladang 25
pembukaan lahan perkebunan
29, 39, 46
penafsiran data 14
Pencarian pengobatan 1
pendidikan 31, 32, 35, 39, 40,
76, 84, 91, 97, 101, 115, 127,
147
penelitian kualitatif 10
pengetahuan 2, 10, 85, 91,
127, 144, 147, 170
Pengetahuan Tentang Alam
95
penjilat burit 57

167

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

penyakit 1, 2, 3, 4, 7, 8, 11, 26,


58, 60, 61, 64, 65, 67, 81, 96,
97, 98, 99, 101, 112, 118,
123, 129, 130, 131, 132, 133,
136, 137, 139, 157, 158
penyakit infeksi 8
penyakit menular 12
penyakit tidak menular 11
perahu ketek 21
pergeseran pola hidup 29
Perilaku kesehatan 8
Perilaku Pencarian Pengobatan
139
Perkawinan 91
persepsi 1, 2, 8, 98
personal hygiene 98
perubahan sosial 37, 107
PHBS 4, 8, 9, 11, 116, 117, 159
Pola Konsumsi Keluarga 111
Pola Pemukiman 48
Politik Lokal 76
Poskesdes 122, 134
Posyandu 122, 134
Provinsi Jambi 15, 19, 24, 45
Provinsi Sumatera Selatan 4,
5, 9, 41, 122, 136, 166

R
Raja Nyawa 59
Rawas 15, 16, 17, 41
Religi 57
relokasi 24, 25, 26

168

remaja 11, 12, 124


responden 11, 12, 13, 126,
146, 147
Riskesdas 4, 8, 116, 168
ritual 35, 61, 113, 114, 139,
151, 157
Rogers 37
roh 57, 58, 59, 61, 63, 64, 65,
66, 67, 68, 69, 71, 95, 96,
113, 139
RPJPN 2
rumah panggung 33, 48, 49,
52, 53, 54, 106
rumah rakit 33, 52, 54, 106

S
sampaeon 54
sanitasi 4, 53, 110, 118, 119
sarana transportasi 21, 46, 48
Sarolangun 6, 24, 47
sawit 5, 20, 23, 27, 28, 29, 32,
36, 39, 40, 42, 43, 44, 57, 91,
101, 105, 107, 115, 117, 119,
142, 154
sedekah desa 81
Sekayu 5, 18, 41, 42, 45
self treatment 1
senggugut 112, 113, 140
senjang 103, 104, 171
sesajian 59, 63, 65
Sistem Kekerabatan 71
sistem plasma inti 43

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Solita Sarwono 98, 99, 100,


171
Status Kesehatan 111
strategi intervensi 1
stunting 4
subyek penelitian 14
sudung 55
Suku Anak Dalam 6, 9, 15, 20,
21, 25, 26, 38, 39, 46, 48, 54,
56, 57, 58, 59, 61, 67, 71, 72,
76, 88, 95, 96, 97, 106, 111,
112, 113, 120, 121, 123, 135,
136, 139, 141, 143, 148, 152,
157, 158, 159
sumber daya hayati 48
sunat rasul 91
sungai 6, 10, 18, 19, 20, 21,
22, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 31,
33, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 47,
48, 51, 52, 53, 57, 58, 60, 81,
87, 96, 106, 109, 110, 117,
118, 119, 134, 145
Sungai Batanghari 17
Sungai Musi 43
supranatural 67, 68
Survai Kesehatan Rumah
Tangga 7
Survei Demografi Kesehatan 3

tangkal 67, 68, 69, 70


temenggung 54
Tempat Tinggal 48
tenaga kesehatan 1, 3, 7, 21,
40, 91, 101, 117, 124, 134,
135, 136, 138, 141, 143, 144,
145, 146, 147, 158
teori sosial 11
terms of reference 74
transmigrasi 24, 25, 39, 46,
60, 106
triangulasi 13
Tuberkulosis 7, 8, 10, 123,
124, 125, 158, 168, 170

U
UKBM 122
Undang-Undang 2
usia lanjut 2
usia subur 11, 12

W
Warung Informasi Konservsi 6
wawancara mendalam 11
WHO 7, 8, 131
Wirasaputra 34

T
Taman Nasional Bukit Duabelas
47

169

DAFTAR PUSTAKA

Abdi T. 2010, Determinan pemanfaatan dukun bayi oleh


masyarakat dalam pilihan pertolongan di desa Anak Talang
kecamatan Batang Cenak kabupaten Indragiri Hulu tahun
2008. C 2008 [cited 2010 February 5]. Available from
:repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14727/1/09E0
0926.pdf_1
Abijoso. 2004, Sediaan tunggal obat antituberkulosis program
DOTS berbasis pilihan penderita (Disertasi), Surabaya :
Universitas Airlangga.
Amilda LN. 2010, Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan
Pemilihan Pertolongan Persalinan Oleh Dukun Bayi FaktorFaktor Yang Berhubungan dengan Pemilihan Pertolongan
Persalinan Oleh Dukun Bayi. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
Amirudin R. 2010, Faktor-faktor yang berhubungan dengan
pemilihan tenaga penolong persalinan oleh ibu bersalin di
wilayah kerja Puskesmas Borong Kompleks kabupaten
Sinjai tahun 2006. 5 Mei 2007 [cited 2010 January 9].
Available from : http://ridwanamiruddin.wordpress.com/
2007/05/05/pemilihan-tenagapenolongpersalinan-diborong-sinjai/Anggorodi R, Savitri M. Studi kemitraan
bidan-dukun di kabupaten Kediri, Jawa Timur dan
kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Jakarta : Kerjasama FKM UI
dengan MNH; 2004.
Badan Litbangkes Departemen Kesehatan RI, 2010, Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas).

170

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Badan Litbangkes Departemen Kesehatan RI, 2005, Survei


Prevalensi Tuberkulosis 2004 di Indonesia,
Bappenas, 2007, Rancang Bangun : Percepatan Penurunan Angka
Kematian Ibu Untuk mencapai Sasaran Millenium
Developtment Goals. Jakarta Kementerian Perencanaan
Pembangunan
Nasional
/
Badan
Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas),.
Bayung lencir Dalam Angka, 2012, Laporan Desa Muara Bahar
2010 2012
Biro Pusat Statistik Musi Banyuasin, 2012
Departemen Kesehatan RI, 2009, Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Bidang Kesehatan 2005-2025,.
Desa Muara Bahar, 2010, Peraturan Desa nomer 10 tahun 2010
tentang Pembentukan Organisasi Desa.
Diana Sari I, Yuniar Y, Syaripuddin M. 2014, Studi Monitoring Efek
Samping Obat Antituberkulosis FDC Kategori 1 di Provinsi
Banten dan Provinsi Jawa Barat. Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Vol. 24 No. 1 Maret 2014.
Jakarta: Badan Litbang Kesehatan.
Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Banyuasin, 2012, Profil
Kesehatan Kabupaten Musi Banyuasin,
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2008, Standar pelayanan
minimal provinsi Jawa Tengah tahun 2008. Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
Emzir.2011, Metodologi Penelitian Kualitatif; Analisis Data,
Jakarta; PT. Rajagrafindo Persada.
Iskandar M. 2010, Pengambilan keputusan dalam pertolongan
persalinan di provinsi Nusa Tenggara Timur. c1996 [cited

171

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

2010
February
5].
Available
from:http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%2
02/Anwar2_1.pdf.
Johan Weintre, 2003, Organisasi Sosial dan Kebudayaan
Kelompok Minoritas Indonesia (SAD di Sumatra),Tesis
Fakultas Sastra University of New England Australia.
Juliwanto E. 2010, Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
memilih penolong persalinan pada ibu hamil di kecamatan
Babul Rahmah kabupaten Aceh Tenggara tahun 2008.
c2008 [cited 2010 January 9]. Available from
:http://library.usu.ac.id/index.php?
option=com_journal_review&id=13680&task=view
Moleong, JL.2001, Metodologi Penelitian Kualitatif (third edition),
PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mulyanto, dkk,1995, Buletin Manusia dan kebudayaan, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya.
Oktarina H. 2008, Hubungan tingkat pengetahuan tentang infeksi
dan penolong persalinan dengan sikap ibu dalam pemilihan
penolong persalinan di desa Kebun Gulo Boyolali tahun
2008. c2008 [cited 2010 March 15]. Available from:
http://skripsistikes.wordpress.com/2009/05/01/hubungantingkatpengetahuan-tentang-infeksi-dan-penolongpersalinan-dengan-sikap-ibudalam-pemilihan-penolongpersalinan-di-desa-kebon-guloPerhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002, Tuberkulosis,
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
Prapti I. Y.,2003, Studi Kohor Tata Laksana Diagnosa dan
Pengobatan
PrimerKomplek
Tuberkulosis.
Badan
Litbangkes.

172

Etnik Suku Anak Dalam, Kab. Musi Banyuasin, Prov. Sumsel

Prawirohardjo S. 2006, Buku acuan nasional pelayanan


kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Ratna, Kutha N.2010, Metodologi Penelitian ; Kajian Budaya dan
Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Sidharta B, Puspitasari V, Lyrawati D, 2008. Simplifying
antituberculotic medication for children: drug prescription
in pediatric ward of Dr. Saiful Anwar hospital Malang
Indonesi. In: Poster presentation on ACCP Congress.
Surabaya: 2008.
Solita Sarwono, 1993, Sosiologi Kesehatan, Gramedia.
http://senjang sekayu.blogspot,com/

173

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

174

Vous aimerez peut-être aussi