Vous êtes sur la page 1sur 3

Para ulama menjelaskan pengertian khusyuk tersebut dengan berbagai ungkapan.

Menurut al-Junaid, khusyuk adalah kerendahan hati dihadapan Zat yang Mahatahu atas yang
ghaib. Hasan al-Bashri mengartikan, khusyuk adalah rasa takut yang langgeng bersemayam di
dalam hati. Menurut Ibn al-Qayim al-Jawziyah di dalam Madrij as-Slikn, khusyuk adalah
berdirinya hati dihadapan Rab dengan tunduk dan rendah. Dan khusyuk itu adalah makna yang
muncul dari pengagungan dan kecintaan kepada Allah; kerendahan dan kelemahan dihadapan
Allah. Sedangkan al-Jurjani memaknai khusyuk itu sebagai keterikatan kepada kebenaran
(inqiyd li al-haqq).
Menurut Imam Ibn Taimiyah di dalam Majm al-Fatw, khusyuk itu mengandung dua
makna:pertama, tawadhu dan tadzallul (kerendahan dan kehinaan dihadapan Allah). Kedua,
ketenangan dan thumaninah. Hal itu adalah keniscayaan dari kelembutan hati dan menafikan
kekerasan dan kekesatan hati. Jadi khusyuk itu adalah rasa takut kepada Allah yang ada di dalam
hati dan tampak diatas aspek lahiriah.
Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hambali menjelaskan, khusyuk itu asalnya dari kehalusan dan
kelembutan hati serta ketundukan, kelemahan dan ketakberdayaannya. Jika hati telah khusyuk
maka akan diikuti oleh kekhusyukan seluruh lahiriah dan anggota badan karena semua itu
mengikuti hati. Imam Ibn Katsir ketika menjelaskan QS al-Ahzb: 35 menyatakan bahwa
pendorong khusyuk itu adalah rasa takut kepada Allah dan pengawasan (murqabah) Allah.
Khusyuk itu bukan dalam kondisi trance (hilang kesadaran). Tetapi menghadapkan hati
kepada Allah dengan penuh kesadaran, ketundukan dan kerendahan. Dan dari sisi lahiriah, hanya
mengucapkan bacaan shalat dan melakukan gerakan shalat yang disyariatkan, dan mengucapkan
perkataan atau melakukan perbuatan yang dibolehkan sesuai keharusan tanpa kesia-siaan atau
memperbanyaknya sehingga dominan atas shalat, dimana orang yang shalat itu tetap khudh
(tunduk) kepada ketentuan Allah, tenang dan thumaninah. Memahami setiap bacaan shalat dan
detil ketentuan tentang shalat mutlak diperlukan untuk bisa khusyuk di dalamnya.

Tawakal (bahasa Arab: )atau tawakkul berarti mewakilkan atau menyerahkan.


Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi
atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan.

Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal sebagai berikut, "Tawakkal ialah


menyandarkan kepada Allah swt tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepadaNya
dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati
yang tenteram.
Menurut Abu Zakaria Ansari, tawakkal ialah "keteguhan hati dalam menyerahkan urusan
kepada orang lain". Sifat yang demikian itu terjadi sesudah timbul rasa percaya kepada orang
yang diserahi urusan tadi. Artinya, ia betul-betul mempunyai sifat amanah (tepercaya) terhadap
apa yang diamanatkan dan ia dapat memberikan rasa aman terhadap orang yang memberikan
amanat tersebut.
Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya
yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah
yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas, Dia yang menguasai dan
mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala
persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa curiga, karena
Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Sementara orang, ada yang salah paham dalam melakukan tawakkal. Dia enggan
berusaha dan bekerja, tetapi hanya menunggu. Orang semacam ini mempunyai pemikiran, tidak
perlu belajar, jika Allah menghendaki pandai tentu menjadi orang pandai. Atau tidak perlu
bekerja, jika Allah menghendaki menjadi orang kaya tentulah kaya, dan seterusnya.
Semua itu sama saja dengan seorang yang sedang lapar perutnya, seklipun ada berbagai
makanan, tetapi ia berpikir bahwa jika Allah menghendaki ia kenyang, tentulah kenyang. Jika
pendapat ini dpegang teguh pasti akan menyengsarakan diri sendiri.
Menurut ajaran Islam, tawakkal itu adalah tumpuan terakhir dalam suatu usaha atau
perjuangan. Jadi arti tawakkal yang sebenarnya -- menurut ajaran Islam -- ialah menyerah diri
kepada Allah swt setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan bekerja sesuai dengan kemampuan
dalam mengikuti sunnah Allah yang Dia tetapkan.

Misalnya, seseorang yang meletakkan sepeda di muka rumah, setelah dikunci rapat,
barulah ia bertawakkal. Pada zaman Rasulullah saw ada seorang sahabat yang meninggalkan
untanya tanpa diikat lebih dahulu. Ketika ditanya, mengapa tidak diikat, ia menjawab, "Saya
telah benar-benar bertawakkal kepada Allah". Nabi saw yang tidak membenarkan jawaban
tersebut berkata, "Ikatlah dan setelah itu bolehlah engkau bertawakkal."

Sholat yang berkualitas, berarti segala sesuatu yang terkaiit dengan sholat, seperti;
wudhu, busana, makanan dan minuman, benar-benar jauh dari barang haram. Dengan demikian,
sholat itu membawa perubahan siginifikan terhadap prilaku sehari-hari. Walaupun begitu, masih
bisa ditangkap makna yang tersirat lebih dalam, bahwa ayat itu mensiyalir terkait dengan
kesehatan fisik. Sebab, sholat memang tidak luput dari gerakan fisik, jika sholat itu dilakukan
dengan asal-asalan, seperti: gerakanya yang kurang tepat, waktunya, bacaanya, tidak akan
membawa dampak positif, baik secara moral, fisik (sehat), rejeki (penghasilan), sampai masalah
kebahagiaan batin (rumahtangga) juga tidak bisa diperoleh.
Firman Allah Swt yang berbunyi sesungguhnya sholat kalian (sakanun). Imam AlAlusi berpendapat bahwa Sakanun itu bisa memberikan ketentraman keluarga, masyarakat
(negara). Wajar, jika Nabi Saw menyampaikan sholat itu tiangnya agama. Agar supaya sholat
kita benar-benar memberikan penggaruh positif pada kehidupan sehari-hari, seperti: fisik sehat,
batin tenang, pikiran jernih, keluarga sejahtera dan berkah, maka sholatlah kuncinya.
Terkait dengan pelaksanaan sholat yang membawa dampak ketentaraman batin. Sudah
barang tentu, sholat yang dimaksud adalah sholat yang baik. Bukan sholat yang khusu, sebab
sholat yang khusu dan baik, dampakanya bukan hanya pada pelaksananya, tetapi pada
sekitarnya (lingkungan). Wajar, jika kota Makkah, Madinah, Yaman, serta tempat-tempat yang
dihuni oleh para kekasih Allah SWT memiliki kekutan dan aura atau mahnit yang sangat kuat
dari pada tempat lainya. Di tanah Jawa, terdapat sebuah masjid, seperti: Ampel, Demak, serta
sebagian masjid jami yang menyebar dipelosok Nusantara. Masjid tersebut masih terasa
ketentraman, ketenaganya, karena penggaruh sholat para kekasih Allah yang baik dan khusu
pada masa itu.

Vous aimerez peut-être aussi