Vous êtes sur la page 1sur 21

1

KAJIAN YURIDIS PROSES PEMINDAHAN NARAPIDANA PADA:


LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS I CIPINANG (JAKARTA) DAN
LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA BULAKKAPAL (BEKASI)
UNTUK MENGURANGI KAPASITAS YANG BERLEBIH

SRI UMIJANI*)
PUSAT PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

ABSTRACT
A prisoner transfer is an activity at a correctional institution transferring the
prisoners from one correctional institution to another for reducing overcapacity. The
overcapacity of occupation of the Correctional Institution and Detention Center in
Indonesia in 2006 reached at 45%, the capacity of occupation of Correctional
Institution is 70,241, the number of prisoners is 116,688 and in 2007 the increase in
number of capacity is 81,384 accompanied with the increase in number of prisoners
as many as 130,832. The excess of capacity occupation become a cause rising various
problem at Correctional Institution and Detention Center and also to be influential on
the aspects of control and security. The prisoner transfer from one correctional
institution to another is a part of a prisoner building process based on a socializing
system. The reference bases in the procedure of the implementation of prisoner
transfer are Articles 21, 22 and 29of Criminal Code outlined in Prison Regalement
STbt.1917 Number: 708 through articles 5, 6, 10, 42 and 103. But the matter of the
procedure of prisoner transfer is not yet adjusted explicitly for regulating the matters
of placement and accompanying as well as security in the transfer. The points
associated with the procedure of implementation, the authorized officials give
permission, transportation facilities and finance that are not yet clear. This research
has been carried out to identify the basis of the considerations of prisoner transfer
from one correctional institution to another and to identify whether the
implementation of transfer has been consistent with the objective of prisoner
building?
Keywords:The Prisioner Transfer Analysis, Head of Building Department and the
head of Correctional Institution Class I Cipinang (Jakarta) and Correctional
Institution Class IIA Bullakkapal (Bekasi).

PENDAHULUAN
Perubahan-perubahan dalam hukum pidana di Perancis yang dipelopori oleh
Beccaria (1738-1794) telah mempengaruhi perkembangan penghukuman dan penjara
sebagai tempat pelaksanaannya.Perubahan hukum itu melindungi kepentingan
masyarakat dan individu yang dirugikan juga harus mampu melindungi si pelanggar
hukum

dari penggunaan hukum yang melampaui batas.Akibatnya dalam

perkembangan kepenjaraan timbul perubahan dari yang bersikap punitif semata kearah sikap yang bersifat rehabilitatif kepada narapidana.( )
Istilah pemasyarakatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Sahardjo
pada tahun 1963, yang masih mengandung aspek-aspek yang banyak persamaannya
dengan Resosialisasi, yang pada hakekatnya masih menitikberatkan perhatiannya
kepada pelanggar hukum yang bersangkutan secara khusus.Pemasyarakatan oleh
beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara. Pada tanggal 27 April 1964 di
Lembang

dilaksanakan

Konvensi

Nasional

mengalami

pembulatan

dalam

pengertiannya sehingga tidak sama lagi dengan Resosialisasi.Pemasyarakatan dalam


Konvensi itu dinyatakan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan
untuk mencapai reintegrasi kehidupan dan penghidupan antar terpidana dan
masyarakat berdasarkan pancasila.()
Dalam perkembangannya sistem Pemasyarakatan kemudian merubah lembaga
penjara yang semata-mata sebagai wadah berlangsungnya penghukuman menjadi
lembaga pemasyarakatan yang memperhatikan aspek pembinaan bagi narapidana.
Berdasarkan data Lembaga pemasyarakatan dan Rumah tahanan di seluruh Indonesia
jumlah penghuni tahanan atau narapidana dibandingkan dengan kapasitas lapas dan
rutan adalah sebagai berikut:
Jumlah Narapidana dan Tahanan pada lembaga pemasyarakatan dan rumah
tahanan negara di Indonesia Tahun 2003 -2007:
URAIAN

TAHUN

PENGHUNI:

2003

2004

2005

Tahanan
Narapidana

26.585
45.002

31.306
55.144

40.764
56.906
2

17 Agustus 2006
47.496
69.192

JUMLAH

71.5

86.450

97.671

116.688

64.3

66.141

68.141

70241

87
Kapasitas
Hunian

45

Sumber Ditjen Pemasyarakatan (diakses dari situs Departemen Hukum dan HAM RI
5 April 2007)

Tingginya tingkat hunian di Lembaga pemasyarakatan dan Rumah tahanan


mengakibatkan perbandingan narapidana dengan petugas tidak seimbang.Pada saat ini
perbandingan narapidana dengan petugas adalah 1:50, (3) bahkan di rumah tahanan
negara Salemba perbandingan nya adalah 1:870. Padahal menurut peraturan Eropa
perbandingan yang ideal adalah 1:5, Kelebihan kapasitas hunian penjara diduga
menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah di Lembaga pemasyarakatan dan
Rumah tahanan antara lain berjangkitnya penyakit kulit hingga HIV/Aids, peredaran
narkoba, hingga perkelahian antar narapidana dan juga bias mengakibatkan seorang
narapidana kurang istirahat dan berujung timbulnya penyakit.(4)
Selain berpengaruh pada aspek,kondisi Lembaga pemasyarakatan/Rumah
tahanan yang kapasitas berlebih juga sangat berpengaruh pada aspek pengawasan
dan keamanan.Hal ini terjadi karena bertambahnya jumlah penghuni Lembaga
pemasyarakatan/Rumah tahanan menuntut adanya peningkatan kebutuhan kuantitas
dan kualitas pengawasan. Sementara keadaan tersebut tidak diimbangi dengan
penambahan jumlah petugas dan perbaikan atau penambahan sarana pendukung
sehingga pelaksanaan pengawasan menjadi lemah, di samping itu dalam suasana
kapasitas

berlebih

terhadap

pemasyarakatan/rumah tahanan

suasana

psikologis

para

penghuni

Lembaga

yang akan mempermudah menciptakan konflik

diantara mereka, karena sumber-sumber yang dimiliki oleh lingkungan tidak cukup
menciptakan akses yang sama terhadap setiap penghuni secara merata. Demikian pula
tuntutan pelayanan akan hak-hak narapidana yang diatur dalam peraturan perundangundangan akan meningkat sementara tenaga dan sarana yang mendukung relatif tetap
yang pada gilirannya akan menimbulkan peningkatan ketidakpuasan yang tidak
mustahil akan berujung pada terjadinya gangguan keamanan di dalam lembaga
pemasyarakatan atau rumah tahanan.

Pemindahan narapidana dari Lembaga pemasyaratan/Rumah tahanan ke


Lembaga pemasyarakatan/Rumah tahanan yang lain merupakan salah satu bagian
dari proses pembinaan narapidana yang berdasarkan sistem pemasyarakatan.Oleh
karena itu telah disahkannya Undang-undang nomor 12 Tahun 1995 tentang Pokokpokok Pemasyarakatan pada pertengahan Desember 1995 oleh DPR, maka sudah
sewajarnyalah masalah pemindahan narapidana hendaknya didasarkan pada peraturan
pelaksanaan Undang-undang Pemasyarakatan tersebut.
Tanpa mengurangi masalah prosedur pelaksanaan pemindahan, pejabat yang
berwenang memberi ijin, sarana transportasi dan pembiayaan, dasar pertimbangan
pemindahan narapidana dari Lembaga pemasyarakatan/Rumah tahanan ke Lembaga
pemasyarakatan/Rumah

tahanan

lainnya

juga

harus

dicermati.Kepentingan

pertimbangan yang tepat yang melatar belakangi upaya pemindahan narapidana


tersebut sangatlah terkait dengan keberlangsungan dan keberhasilan pembinaan
narapidana itu.
MASALAH PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian itu
adalah:
1. Apa

yang

melatar

belakangi

pemindahan

narapidana

di

Lembaga

Pemasyarakatan kelas I Cipinang (Jakarta)dan Lembaga Pemasyarakatan


Kelas IIA Bulakkapal Bekasi?
2. Apakah pelaksanaan pemindahan narapidana di kedua Lembaga tersebut telah
sesuai dengan tujuan dari pembinaan narapidana?
TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah dasar pertimbangan pemindahan narapidana di
Lembaga pemasyarakatan kelas I Jakarta dan Lembaga pemasyarakatn kelas
IIA Bekasi ke Lembaga pemasyarakatan lainnya;
2. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan pemindahan narapidana di Lembaga
pemasyarakatan kelas I Jakarta dan Lembaga pemasyarakatan kelas IIA bekasi
telah sesuai dengan tujuan dari pembinaan narapidana?
4

Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara


teoritis yaitu dapat memberikan kontribusi untuk pengembangan ilmu hukum
khususnya hukum pidana yang berkaitan dengan pembinaan narapidana dan kegunaan
secara praktis yaitu diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah, aparat penegak
hukum khususnya petugas Lembaga Pemasyarakat dalam pelaksanaan pemindahan
narapidana untuk mengurangi kapasitas berlebih dan untu kepentingan pembinaan
narapidana.
KAJIAN PUSTAKA
Kinerja Organisasi sangat erat kaitannya dengan bagaimana visi organisasi
tersebut dipahami secara benar oleh para pelaksananya.Visi organisasi secara
signifikan berkaitan dengan tujuan mengapa organisasi itu dibentuk (Raison Detre)
atau aspek eksistensi filosofis organisasi (5).Dalam kaitannya dengan Organisasi
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,
maka tujuan dari Pemasyarakatan telah dicantumkan dalam Undang-undang nomor 12
Tahun 1995 tentang penjelasan Undang-undang tersebut yaitu: Sistem pemenjaraan
pemasyarakatan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang
disertai rumah penjara secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan
sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar
narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak
pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri,
keluarga dan lingkungannya. Tujuan pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan
narapidana dan anak pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya
menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilainilai moral, sosial, dan keagamaan sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang
aman, tertib dan damai.
Pada dasarnya pembangunan di bidang hukum tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh situasi lingkungan strategis dan perkembangan dari waktu ke waktu.Hukum
kalau dilihat dari suatu proses maka ia tidak mungkin berjalan dengan sendirinya,
kebudayaan, aspirasi dan cita-cita turut menentukan penampilan akhir dari hukum.

Pelaksanaan sistem pemasyarakatan sebagai bagian dari pembangunan di bidang


hukum secara konsisten untuk menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran,
supremasi hukum serta menghargai Hak Asasi Manusia, maka dirumuskan dalam
Undang-undang nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas) (6) sebagai berikut:
1. Meningkatkan dukungan berbagai sarana dan prasarana hukum terutama untuk
Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Lembaga Pemasyarakatan, Rumah
Tahanan Negara, Balai Pemasyarakatan, Rumah Penyimpanan Benda Sitaan
Negara, Pembinaan keterampilan warga binaan pemasyarakatan dan pelayanan
jasa hukum lainnya.
2. Melakukan pembinaan pemasyarakatan baik pembinaan di dalam maupun di
luar lembaga pemasyarakatan agar bekas warga binaan pemasyarakatan dapat
kembali hidup normal dalam masyarakat.
Pelaksanaan hukum dari sistem pemasyarakatan mempunyai arti yang sangat
penting karena apa yang menjadi tujuannnya itu justru terletak pada pelaksanaan
hukum dan dapat berlangsung dalam rumah tahanan

negara dan lembaga

pemasyarakatan secara normal.Jika tiap-tiap individu tahanan dan narapidana maupun


petugas Rutan dan Lapas mentaati dengan kesadaran bahwa apa yang telah ditentukan
hukum

sebagai

suatu

keharusan(7)..

Sasaran pelaksanaan sistem pemasyarakatan merupakan situasi dan kondisi


yang memungkinkan bagi terwujudnya tugas pemasyarakatan yang merupakan bagian
dari upaya meningkatkan ketahanan sosial dan ketahanan nasional, serta merupakan
indikator yang digunakan untuk mengukur sejauh mana hasil-hasil yang dicapai oleh
pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang menitikberatkan pada usaha perawatan,
pembinaan, pendidikan dan pembimbingan bagi warga binaan yang bertujuan untuk
memulihkan kesatuan hubungan yang asasi antara individu warga binaan dan
masyarakat.Untuk mewujudkan kehendak yang baik itu haruslah didukung oleh
petugas yang berdedikasi tinggi dan fasilitas yang memadai, tentunya dengan tidak
melepaskan unsur masyarakat (keluarga tahanan dan narapidana) serta pemerintah.
Untuk mencapai tujuan dari sistem pemasyarakatan di dalam pelaksanaannya
sudah seharusnya ditunjang oleh sub-sub sistem lain yang ada dalam sistem

pemasyarakatan tersebut seperti sarana dan prasarana pelengkap yaitu fisik,


administrasi dan keuangan personalia dan sarana peraturan-peraturannya. Sehubungan
dengan masalah diatas, Muchtar Kusumaatmadja(8) Sistem pemasyarakatan di dalam
kenyataannya belum dapat dikatakan sebagai suatu sistem dalam arti sesungguhnya,
karena apabila kita berbicara tentang sistem pesyarakatan yang sesungguhnya
haruslah memenuhi beberapa unsur sebagai berikut:
1. Adanya sarana peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksananya
yang merupakan landasan strukturil yang menunjang atau melaksanakan
dasar

bagi

ketentuan-ketentuan

operasional

suatu

konsepsi

pemasyarakatan;
2. Harus tersedia sarana personil yang mencukupi dan memadai bagi
kebutuhan pelaksanaan tugas pembinaan narapidana;
3. Sarana administrasi keuangan sebagai sarana materiil untuk keperluan
operasional;
4. Sarana fisik yang sesuai dengan kebutuhan bagi pelaksanaan pembinaan
narapidana dalam proses pemasyarakatan.
Dengan demikian walaupun sarana peraturan perundang-undangan dan
peraturan pelaksanaannya seperti Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang
pemasyarakatan serta prosedur tetap (Protap) telah ada sebagai landasan strukturil dan
merupakan dasar ketentuan operasional, namun fasilitas turut mempengaruhi
pelaksanaannya sebagaimana anggaran pembinaan. Pada sistem pemasyarakatan,
pembinaan sebagai wujud pelayanan dilaksanakan berdasarkan asas antara lain asas
pengayoman, asas persamaan perlakuan dan pelayanan, asas penghormatan harkat dan
martabat manusia.
Beberapa lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara di Indonesia,
terutama di kota-kota besar telah menampung penghuni melebihi kapasitasdaya
tampung bangunan.Direktur Jenderal Pemasyarakatan mengatakan(9), bahwa hampir
35% lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara di Indonesia melebihi daya
tampung. Kasus meninggalnya 22 tahanan penghuni lembaga pemasyarakatan kelas
IIA Pemuda dan lembaga pemasyarakatan kelas I Dewasa Tangerang sepanjang bulan
Februari hingga awal April 2007 menjadi entry point kondisi penjara Indonesia saat

ini.Salah satu penyebabnya adalah berkaitan dengan over crowding (kelebihan


kapasitas).(10)
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyatakan akibat kapasitas berlebih
penghuni Lapas dan Rutan yang berkapasitas untuk 100 orang dihuni oleh lebih
kurang 800 orang.Pada Lapas kelas I Jakarta jumlah penghuninya sebanyak 7.400 dan
itu melebihi daya tampung.Tingkat kepadatan hunian Lapas/Rutan sangat
berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Lapas/Rutan.
Padatnya tingkat hunian Lapas/Rutan menghambat Lapas/Rutan delam melaksanakan
fungsi pelayanan dan pembinaan. Bahkan tingkat hunian yang berlebih (kapasitas
berlebih)

dapat

menyebabkan

tingginya

tingkat

kematian

narapidana.Fakta

menunjukan bahwa tinnginya tingkat kematian narapidana di Indonesia mempunyai


hubungan dengan kondisi penjara yang kapasitas berlebih.
Paulus

Sugeng:

(11)

Direktur

Pemasyarakatan

menyatakan

bahwa

pemasyarakatan

berbanding

terbalik

pemasyarakatan.Semakin

banyak

Bina

Perawatan

Direktorat

Jenderal

tingkat

kesehatan

penghuni

lembaga

hunian

lembaga

dengan

penghuni

tingkat

lembaga

kesehatan penghuninya justru semakin jelek.(12)

pemasyarakatan

kondisi

Hal ini memberi pemahaman

kepada kita bahwa kondisi lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara yang
kapasitas berlebih berdampak buruk pada kondisi kesehatan penghuni,di mana
semakin banyak jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara
maka semakin buruk kesehatan mereka. Karena dengan penghuni yang besar, daya
dukung sanitasi dan lingkungan makin buruk sehingga dapat menurunkan kualitas
hidup penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara.Hal ini dapat
memudahkan berjangkitnya berbagai penyakit.Sementara di sisi lain ketersediaan
sarana dan prasarana masih minim yang mengakibatkan lembaga pemasyarakatan dan
rumah tahanan tidak mampu memberikan pelayanan kesehatan yang memadai.Pada
kondisi yang demikian narapidana rentan terhadap gangguan kesehatan seperti sangat
mudah terjadi infeksi penularan penyakit TBC, HIV/AIDS, gangguan kejiwaan dan
krisis psikiatrik.
Selain

berpengaruh

pada

aspek

kesehatan

kondisi

Lembaga

pemayarakatan/Rumah tahanan yang kelebihan kapasitas juga sangat berpengaruh

pada aspek pengawasan dan keamanan.Hal ini terjadi karena bertambahnya jumlah
penghuni Lapas/Rutan menuntut adanya peningkatan kebutuhan kuantitas dan kualitas
pengawasan sementara itu keadaan tersebut tidak diimbangi dengan penambahan
jumlah petugas dan perbaikan atau penambahan sarana pendukung sehingga
pelaksanaan pengawasan menjadi lemah.Di samping itu berpengaruh pada suasana
psikologis para penghuni . Dalam suasana demikian akan mudah menciptakan konflik
diantara mereka, karena sumber-sumber yang dimiliki oleh lingkungan tidak cukup
menciptakan akses yang sama terhadap setiap penghuni secara merata. Demikian pula
tuntutan akan pelayanan hak-hak narapidana yang telah diatur di dalam peraturan
perundang-undangan akan meningkat sementara tenaga dan sarana dan prasarana
yang mendukung relatif tetap. Pada gilirannya akan menimbulkan peningkatan
ketidakpuasan yang mustahil akan berujung kepada terjadinya gangguan keamanan di
dalam lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara.
Salah

satu

faktor

pemasyarakatan/Rumah

penyebab

tahanan

tidak

tingginya
terlepas

penghuni
dari

Lembaga
pandangan

masyarakat.Masyarakat mempunyai pandangan agar bentuk hukuman harus dapat


memberikan effek jera atau menakutkan (Deterence).Pandangan masyarakat ini
menjadi penyebab factor penekan bagi aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan
dan Pengadilan) untuk menggunakan proses penahanan, pemenjaraan dalam
menangani pelaku tindak pidana.
Kepolisian, kejaksaan dan pengadilan cenderung mengenakan tahanan rumah
tahanan terhadap pelaku tindak pidana daripada mengenakan tahanan kota atau
tahanan rumah seperti yang diatur dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 8 tahun
1981 tentang hukum acara pidana.Dan hakimpun kadangkala terpaksa memberikan
penjatuhan putusan hukuman penjara, walaupun terhadap kejahatan minor (the first
offenders) atau yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa, karena sekedar untuk
disesuaikan dengan lamanya masa penahanan.Di samping itu hakim pada umumnya
cenderung untuk tidak menggunakan bentuk penghukuman non pemenjaraan (pidana
bersyarat) sebagai alternatif penghukuman.Padahal pidana bersyarat telah diatur
dalam Pasal 14 KUHP yang menyangkut pada tindak pidana ringan (ancaman pidana
kurang dari satu tahun).(13)

10

Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara sebagai institusi yang


merupakan bagian dari penegakan hukum memperoleh kendala yang tidak ringan,
terlebih-lebih di era globalisasi dan otonomi daerah saat ini.Masih banyak terjadi
kasus perkelahian, kerusuhan antar narapidana atau perbuatan lain yang menjurus kea
rah disharmonisasi kehidupan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan
negara.Tidak sedikit terjadi pelarian narapidana yang cenderung meningkat sehingga
dengan kejadian seperti ini merupakan suatu fenomena yang kurang baik.Terlebih di
masa sekarang ini penegakkan hukum merupakan prioritas utama untuk dikedepankan
dalam rangka menuju normalisasi kehidupan sosial dan pemulihan ekonomi.
Selanjutnya mengenai penataan di dalam sistem peradilan dilihat di dalam
Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang rencana pembangunan jangka
menengah (RPJM) nasional tahun 2004-2009, Bab IX tentang pembenahan Sistem
dan Politik Hukum Nasional, pada angka 3 menyebutkan program peningkatan kinerja
lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya. Dalam Peraturan Presiden di
atas, program ini ditujukan untuk memperkuat lembaga peradilan dan lembaga
penegakkan hukum melalui sistem peradilan terpadu yang melibatkan antara lain
Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Lembaga Pemasyarakatan serta praktisi hukum sebagai upaya mempercepat
pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan peradilan.Dengan program
ini diharapkan terwujudnya lembaga peradilan dan lembaga penegakkan hukum yang
transparan, akuntabel dan berkualitas dalam bentuk putusan pengadilan yang
memihak pada kebenaran dan keadilan masyarakat.
Peraturan Presiden di atas adalah suatu bentuk guna mewujudkan
pemerintahan yang baik atau lebih terkenal dengan tata kelola pemerintahan yang
baik (Good Governance) yakni akuntabel, transparan, professional, kerangka hokum
yang jelas (Rule of Law) dan partisipasi dari masyarakat. Jadi di dalam pemerintahan
yang baik setiap tindakan, perbuatan pemerintah (aparat penegak hukum) harus dapat
dipertanggungjawabkan, adanya keterbukaan, aparat memiliki profesionalisme yang
tinggi terhadap bidang pekerjaannya dan memiliki ketentuan peraturan hukum yang
jelas dan peran serta masyarakat sangat penting guna mengontrol setiap tindakan atau
perbuatan aparat penegak hukum dalam sistem peradilan terpadu.

10

11

Pada dasarnya,perasaan aman atau kondisi yang aman adalah tidak adanya
benturan-benturan dalam sistem sosial.Jika para anggota sistem sosial tidak menemui
kendala dalam berinteraksi maka keadaan aman telah tercapai. Pandangan demikian
tidak terlalu sulit untuk dipahami,karena pernyataan yang dikemukakan Taher
Abdullah (1990) bahwa:
Kondisi aman dalam lembaga pemasyarakatan adalah yang secara transparan
dipersepsikan sebagai kondisi aman untuk memenuhi kebutuhan masing-masing
pihak,yaitu bagi petugas dan penghuni lembaga pemasyarakatan.(14)
Di satu sisi penghuni lembaga pemasyarakatan berkepentingan untuk
mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasarnya secara maksimal.Sementara di sisi lain
petugas juga berkepentingan agar dalam pelaksanaan tugasnya dapat berjalan dengan
lancar tanpa adanya gangguan keamanan.Jadi mereka harus saling melakukan
pertukaran kepentingan.
Dalam salah satu Pasal dalam sistem pemasyarakatan yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan disebutkan bahwa
pembinaan kepada narapidana dan tahanan ketika mereka warga binaan ini
dikembalikan ke masyarakat setelah selesai menjalani hukuman di lembaga
pemasyarakatan mereka bisa diterima kembali oleh lingkungannya.
Dengan mengacu pada Undang-undang tersebut maka dibuat peraturan tentang
pola pembinaan terhadap narapidana seperti pengenalan tempat,pembekalan ilmu
pengetahuan dan keterampilan,kesempatan untuk memperoleh cuti dan remisi dan
sebagainya. Pembinaan dilakukan agar mereka setelah selesai menjalani masa
pembinaan di lembaga pemasyarakatan dapat diterima kembali oleh masyarakat tanpa
menimbulkan rasa was-was dan curiga.Hal ini berkaitan dengan dasar falsafah negara
Pancasila khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab.Dengan demikian sangat
wajar jika mereka sebagai manusia biasa pernah melakukan perbuatan menyimpang
yang

pada

akhirnya

menjadi

warga

binaan

atau

penghuni

lembaga

pemasyarakatan.Oleh sebab itu terhadap mereka perlu mendapatkan perhatian yang


serius.
Terlepas dari kondisi di atas maka pemindahan narapidana di Lapas/Rutan
harus dilakukan.Untuk itu guna mengetahui lebih jelas tentang faktor pemindahan
narapidana maka diperlukan suatu kajian yang bersifat komprehensif guna
memperoleh gambaran yang jelas.Hasil kajian tersebut dapat dijadikan masukan
11

12

berharga bagi pengambil kebijakan di bidang pemasyarakatan dalam mengurangiI


kelebihan kapasitas dan untuk pembinaan lainnya.(15)
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, dengan
pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang mengkaji masalah pemindahan
narapidana di Lapas kelas I Cipinang (Jakarta) dan Lapas kelas IIA Bulakkapal
(Bekasi) untuk mengurangi kelebihan kapasitas dan pelaksanaan pemindahan
narapidana dari aspek peraturan perundang-undangan.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara terhadap Informan
yang terdiri dari: Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas), Kepala Bidang
Pembinaan narapidana Lapas(Kabid Pembinaan), Kepala Bidang Keamanan Lembaga
Pemasyarakatan (KPLP) maupun terhadap narapidana itu sendiri.Hasil wawancara
tersebut diperdalam dengan melakukan wawancara bebas (Unstructured Interview)
dengan

beberapa

informan

yaitu

narapidana

atau

penghuni

Lembaga

Pemasyarakatan.Guna membantu mengarahkan wawancara penulis mempergunakan


pedoman wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari kedua Lembaga pemasyarakatan yang menjadi lokasi penelitian dapat
diperoleh data atau gambaran bahwa di kedua Lembaga pemasyarakatan tersebut
telah terjadi lonjakan penghuni yang melebihi daya tampung atau kelebihan
kapasitas.Di Lembaga Pemasyarakatan kelas I Cipinang (Jakarta) jumlah penghuni
3092 orang narapidana dengan perincian 1583 narapidana dan 1509 orang tahanan
sedangkan kapasitasnya hanya untuk 1500 orang narapidana, untuk Lembaga
Pemasyarakatan kelas IIA Bulakkapal (Bekasi) jumlah penghuni 1771 orang dengan
perincian 987 orang narapidana dan 784 orang tahanan, sedangkan daya tampung
hanya untuk cukup menampung 350 orang.
Untuk

mengurangi

kelebihan

kapasitas

maka

di

kedua

Lembaga

Pemasyarakatan yang menjadi lokasi penelitian di setiap bulannya memindahkan


narapidananya ke Lembaga pemasyarakatan/Rumah tahanan

12

negara

lainnya.

13

Menurut Catur Budi Fatayatin(16) Lembaga Pemasyarakatan kelas I Jakarta dalam


setiap bulannya memindahkan narapidana perkuota sebanyak 150 orang narapidana
tergantung kendaran transpas karena Lembaga pemasyarakatan kelas I Jakarta hanya
mempunyai 1 kendaraan transpas yang hanya memuat untuk 30 orang, maka
meminjam kendaraan dari Lembaga pemasyarakatan Pondok Bambu dan Rumah
tahanan negara

Salemba Jakarta. Dan untuk memindahkan narapidana maka

Lembaga Pemasyarakatan kelas I Jakarta biasanya mengirimkan/memindahkan


narapidananya ke Lembaga Pemasyarakatan

khusus Narkotika Jakarta, Lembaga

Pemasyarakatan khusus narkotik Serang, dan Lembaga pemasyarakatan khusus


narkotik Pekalongan.
Sedangkan menurut Herlin Candrawati.(17) untuk Lembaga pemasyarakatan
kelas IIA Bekasi dalam memindahkan narapidananya minimal sekali pemindahan 30
orang narapidana antara lain ke Lembaga pemasyarakatan kelas IIA Banceuy
Bandung sebanyak 25 orang,ke Lembaga pemasyarakatan Sukamiskin sebanyak 5
orang, ke Lembaga pemasyarakatan Purwakarta sebanyak 10 orang dan dan ke
Lembaga pemasyarakatan Cirebon (Kantor Wilayah Jawa Barat) dan ke Lembaga
pemasyarakatan Terbuka Jakarta (Gandul Cinere) sebanyak 9 orang (Kantor Wilayah
DKI Jakarta). Pemindahan juga dilakukan ke Kantor Wilayah Departemen Hukum
dan HAM Jawa Tengah antara lain ke Lembaga pemasyarakatan Nusakambangan
(Cilacap),Lembaga

pemasyarakatan

khusus

narkotika

Pekalongan.Pemindahan

dilakukan terhadap narapidana kasus narkotika dan kriminal lainnya. Untuk kasus
narkotika terbanyak berjumlah 80% di mana dalam pelaksanaannya membutuhkan
sarana transportasi, sedangkan Lembaga pemasyarakatan Bekasi belum memiliki
sarana transportasi tersebut, maka dalam pelaksanaannya meminjam kendaraan
trnsportasi milik Lembaga pemasyarakatan

kelas I Jakarta dan Rumah Tahanan

negara Salemba dan Rumah Tahanan negara Pondok Bambu Jakarta.


Tidak dapat dipungkiri lagi saat ini telah terjadi kapasitas yang berlebih pada
hunian Rutan/Lapas yang sadar atau tidak sadar menyebabkan Rutan dan Lapas dapat
dikatakan sebagai:Perguruan Tinggi Ilmu Kejahatan (PTIK).Sebagai contoh jika
Rumah tahanan dan Lembaga pemasyarakatan

yang kelebihan

kapasitas maka

menyebabkan tidak dapat dipilah lagi Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan

13

14

tindak pidana yang dilakukan sehingga mungkin saja terjadi yang tadinya hanya
mencuri sandal setelah masuk Lembaga pemasyarakatan dan akhirnya keluar setelah
di luar mencuri motor karena pada saat berada di Lembaga pemasyarakatan ilmu
mencuri motor didapat dengan mudah.Jika hal tersebut benar terjadi maka tujuan dari
Lembaga pemasyarakatan tidak akan dapat tercapai.
Untuk mencegah hal tersebut tentunya Departemen Hukum dan HAM RI
harus dapat menerapkan Reward and Punishment dengan benar dan tepat kepada
warga binaan baik itu berupa pengurangan hukuman maupun memberikan
kesempatan mengembangkan kemampuan diri pada Warga Binaan Pemasyarakatan.
Selain itu pula Lembaga pemasyarakatan dan Rumah tahanan haruslah dibuat
/dibangun yang baru baik lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan yang baru maupun
Lembaga pemasyararakatan khusus anak,koruptor dan narkoba.
Dengan terbentuknya Lembaga pemasyarakatan dan Rumah tahanan yang
baru dapatlah dilakukan pemindahan narapidana dari yang sudah kelebihan kapasitas
ke Lembaga pemasyarakatan/Rumah tahanan yang baru tersebut.Dengan adanya
pemindahan tersebut diharapkan adanya pembinaan yang lebih baik yaitu kegiatan
untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Intelektual,
sikap dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan rokhani narapidana dan anak
didik pemasyarakatan.
Untuk narapidana di Lembaga Pemasyarakatan yang sudah melebihi kapasitas
yang melakukan tindak pidana untuk anak-anak maka dipindahkan ke Lembaga
Pemasyarakatan khusus anak dan untuk kasus koruptor dipindahkan ke Lembaga
Pemasyarakatan khusus koruptor, untuk kasus narkoba dipindahkan ke Lembaga
Pemasyarakatan khusus narkoba sehingga akan memudahkan dalam melakukan
pembinaan dan diharapkan lembaga pemasyarakatan tidak lagi dicap sebagai sekolah
tinggi ilmu kejahatan karena narapidana dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan
Khusus yang sejenis dengan kasus yang menyeretnya ke dalam Lembaga
Pemasyarakatan.(18)
KESIMPULAN DAN SARAN

14

15

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dasar pertimbangan


pemindahan narapidana dari Lapas yang satu ke Lapas yang lain yaitu pada Lapas
kelas I Cipinang (Jakarta) dan Lapas kelas IIA Bulakkapal (Bekasi) hampir sama yaitu
kapasitas hunian Lembaga Pemasyarakatan yang telah melebihi atau kelebihan
kapasitas (over capacity) dan untuk proses pembinaan. Sedangkan pemindahan
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan kelas I Cipinang (Jakarta) dan Lembaga
Pemasyarakatan kelas IIA Bulakkapal (Bekasi) dalam pelaksanaannya telah sesuai
dengan tujuan dari proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan untuk mengurangi
over kapasitas dan untuk mempermudah dalam proses pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan. Untuk mempermudah dalam proses pembinaan maka pemindahan
untuk narapidana anak-anak diharapkan pemindahannya ke Lembaga Pemasyarakatan
khusus anak, untuk narapidana kasus korupsi maka pemindahannya ke Lembaga
Pemasyarakatan khusus korupsi, sedangkan untuk narapidana kasus narkoba
dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan khusus narkoba sehingga akan mudah
dalam melaksanakan dalam pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan.
Disarankan perlu adanya aturan yang jelas tentang pemindahan narapidana,
dan diharapkan pula dalam perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan perlu dicantumkan salah satu pasal tentang dasar pertimbangan dan
faktor-faktor yang mendasari kebijakan dalam pemindahan narapidana dari Lembaga
Pemasyarakatan yang satu ke Lembaga Pemasyarakatan yang lain, dan disarankan
pula adanya sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang pelaksanaan
pemindahan narapidana khususnya sarana transportasi (kendaraan transpas), dan juga
anggaran khusus untuk pelaksanaan pemindahan narapidana., Serta disarankan adanya
penambahan atau didirikan Kantor Lembaga Pemasyarakatan yang baru yang
dikhususkan

untuk

narapidana

kasus-kasus

tertentu,

misalnya

Lembaga

Pemasyarakatan khusus koruptor, Lembaga Pemasyarakatan khusus narkotika,


Lembaga Pemasyarakatan khusus anak-anak serta kasus-kasus yang lain sehingga
akan memudahkan dalam pembinaan dan Lembaga Pemasyarakatan tidak akan dicap
lagi sebagai Perguruan Tinggi Ilmu Kejahatan.
UCAPAN TERIMA KASIH

15

16

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Lukman Bratamijaya,


S.H.,M.H

selaku

Kepala

Pusat

Pengkajian

dan

Pengembangan

Kebijakan

Departemen Hukum dan HAM RI, Bapak Mulki Manrappi, S.H.,M.M selaku Kepala
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Departemen Hukum dan HAM RI,,
Ismoyoto Nugroho, S.H.,M.Si selaku Kepala Bidang Penyelenggara Diklat
Fungsional Departemen Hukum dan HAM RI, Sigit Murtantoyo S.E selaku Kepala
Sub Bidang Pemanggilan Peserta Diklat Fungsional Departemen Hukum dan HAM
RI., Dr Dwi Purwoko selaku Dosen Pembimbing Karya Tulis Ilmiah ini, M.Basori
Imron, Amir Asyikin Hasibuan, Iroh Siti Zahroh, M Hisyam, Suwartoyo, Rusdi
Muchtar selaku Dosen Pengajar yang telah memberian masukan dan bimbingannya
dalam Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini sebagai salah satu syarat bagi Pelatihan
Diklat Fungsional Peneliti Tingkat Pertama Gelombang XVII Tahun 2009 di
Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) di Cibinong.

DAFTAR PUSTAKA
Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,
1999,Pelaksanaan Pemindahan Narapidana Dalam Sistem Pemasyarakatan Dalam
Rangka Mencegah Over Kapasitas dan Kepentingan Pembinaaan Lainnya, Jakarta,
.hlm.1;
16

17

Sahardjo, 1963, Pidato Pengukuhan Doktor Honoris Kausa Universitas Indonesia;


Didin Sudirman, 2007, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan Dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, CV Alvindra Dunia perkasa,
Jakarta,282;
Harian Republika, 11 Maret 2008, Lembaga Pemasyarakatan Penuh Pembebasan
Narapidana Dipercepat;
Didin Sudirman, 2007, hlm.103;
Undang-Undang nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas)
Ridwan, 2006, Penegakkan Hukum Tentang Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan
Tahanan dan Narapidana, Program Pascasarjana Universitas Hassanudin,
Makasar,Sulawesi Selatan, Hlm.2;
Muchtar Kusumaatmadja, 1988. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan,,
Alumni Bandung, Hlm.130-131;
Paulus Sugeng, 16 Oktober 2007, Direktur Bina Perawatan Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan, Dalam Seminar Tentang Evaluasi Perawatan pada Rumah Tahanan
Negara Di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia RI;
Didin Sudirman, 2007, Hlm.281;
Paulus Sugeng..;
Harian Kompas, 5 April 2007, 813 Narapidana Meninggal di Penjara;
Didin Sudirman, 2007, Hlm.283-285;
Taher Abdullah, 1999, Dampak Negatif Pemenjaraan dan Alternatifnya, Akademii
Ilmu Pemasyarakatan, Jakarta;
Ahmad Sanusi, Sukarna Wiranta, 2003,Bulletin Pusat Penelitian dan Pengembangan
Departemen Kehakiman,Vol ke 6 Nomor 07/03/2003 122-124.
Catur Budi Fatayatun, 2 Mei 2008,
Pemasyarakatan Kelas I Cipinang, Jakarta;

Kepala

Seksi

Registrasi

Lembaga

Herlin Candrawati, 19 April 2008, Kepala Seksi Pembinaan dan Anak Didik
Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Bulakkapal Bekasi;

17

18

M. Aziz syamsudin, 2 Juli 2008, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI, Dalam
Action Plan, Persiapan Penyusunan Rencana Strategis Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Dalam Menghadapi Tantangan Era Globalisasi,
Action Plan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI;
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, beserta Peraturan
Pelaksanaannya;
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP);
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, PP Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1, IstilahIstilah Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,Jakarta;
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka.

KAJIAN YURIDIS PROSES PEMINDAHAN NARAPIDANA


PADA: LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS I CIPINANG
(JAKARTA) DAN LAPAS KELAS IIA BULLAKKAPAL (BEKASI)

18

19

UNTUK MENGURANGI KAPASITAS YANG BERLEBIH


A yuridical Analysis of Prisoner Transfer Implementation at The
Correctional to Reduce The Overcapacity
oleh
SRI UMIJANI

DIKLAT FUNGSIONAL PENELITI


TINGKAT PERTAMA
GELOMBANG XVII

PUSAT PEMBINAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENELITI


LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
CIBINONG
TAHUN 2009

19

20

20

21

21

Vous aimerez peut-être aussi