Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
SRI UMIJANI*)
PUSAT PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
ABSTRACT
A prisoner transfer is an activity at a correctional institution transferring the
prisoners from one correctional institution to another for reducing overcapacity. The
overcapacity of occupation of the Correctional Institution and Detention Center in
Indonesia in 2006 reached at 45%, the capacity of occupation of Correctional
Institution is 70,241, the number of prisoners is 116,688 and in 2007 the increase in
number of capacity is 81,384 accompanied with the increase in number of prisoners
as many as 130,832. The excess of capacity occupation become a cause rising various
problem at Correctional Institution and Detention Center and also to be influential on
the aspects of control and security. The prisoner transfer from one correctional
institution to another is a part of a prisoner building process based on a socializing
system. The reference bases in the procedure of the implementation of prisoner
transfer are Articles 21, 22 and 29of Criminal Code outlined in Prison Regalement
STbt.1917 Number: 708 through articles 5, 6, 10, 42 and 103. But the matter of the
procedure of prisoner transfer is not yet adjusted explicitly for regulating the matters
of placement and accompanying as well as security in the transfer. The points
associated with the procedure of implementation, the authorized officials give
permission, transportation facilities and finance that are not yet clear. This research
has been carried out to identify the basis of the considerations of prisoner transfer
from one correctional institution to another and to identify whether the
implementation of transfer has been consistent with the objective of prisoner
building?
Keywords:The Prisioner Transfer Analysis, Head of Building Department and the
head of Correctional Institution Class I Cipinang (Jakarta) and Correctional
Institution Class IIA Bullakkapal (Bekasi).
PENDAHULUAN
Perubahan-perubahan dalam hukum pidana di Perancis yang dipelopori oleh
Beccaria (1738-1794) telah mempengaruhi perkembangan penghukuman dan penjara
sebagai tempat pelaksanaannya.Perubahan hukum itu melindungi kepentingan
masyarakat dan individu yang dirugikan juga harus mampu melindungi si pelanggar
hukum
perkembangan kepenjaraan timbul perubahan dari yang bersikap punitif semata kearah sikap yang bersifat rehabilitatif kepada narapidana.( )
Istilah pemasyarakatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Sahardjo
pada tahun 1963, yang masih mengandung aspek-aspek yang banyak persamaannya
dengan Resosialisasi, yang pada hakekatnya masih menitikberatkan perhatiannya
kepada pelanggar hukum yang bersangkutan secara khusus.Pemasyarakatan oleh
beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara. Pada tanggal 27 April 1964 di
Lembang
dilaksanakan
Konvensi
Nasional
mengalami
pembulatan
dalam
TAHUN
PENGHUNI:
2003
2004
2005
Tahanan
Narapidana
26.585
45.002
31.306
55.144
40.764
56.906
2
17 Agustus 2006
47.496
69.192
JUMLAH
71.5
86.450
97.671
116.688
64.3
66.141
68.141
70241
87
Kapasitas
Hunian
45
Sumber Ditjen Pemasyarakatan (diakses dari situs Departemen Hukum dan HAM RI
5 April 2007)
berlebih
terhadap
pemasyarakatan/rumah tahanan
suasana
psikologis
para
penghuni
Lembaga
diantara mereka, karena sumber-sumber yang dimiliki oleh lingkungan tidak cukup
menciptakan akses yang sama terhadap setiap penghuni secara merata. Demikian pula
tuntutan pelayanan akan hak-hak narapidana yang diatur dalam peraturan perundangundangan akan meningkat sementara tenaga dan sarana yang mendukung relatif tetap
yang pada gilirannya akan menimbulkan peningkatan ketidakpuasan yang tidak
mustahil akan berujung pada terjadinya gangguan keamanan di dalam lembaga
pemasyarakatan atau rumah tahanan.
tahanan
lainnya
juga
harus
dicermati.Kepentingan
yang
melatar
belakangi
pemindahan
narapidana
di
Lembaga
sebagai
suatu
keharusan(7)..
bagi
ketentuan-ketentuan
operasional
suatu
konsepsi
pemasyarakatan;
2. Harus tersedia sarana personil yang mencukupi dan memadai bagi
kebutuhan pelaksanaan tugas pembinaan narapidana;
3. Sarana administrasi keuangan sebagai sarana materiil untuk keperluan
operasional;
4. Sarana fisik yang sesuai dengan kebutuhan bagi pelaksanaan pembinaan
narapidana dalam proses pemasyarakatan.
Dengan demikian walaupun sarana peraturan perundang-undangan dan
peraturan pelaksanaannya seperti Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang
pemasyarakatan serta prosedur tetap (Protap) telah ada sebagai landasan strukturil dan
merupakan dasar ketentuan operasional, namun fasilitas turut mempengaruhi
pelaksanaannya sebagaimana anggaran pembinaan. Pada sistem pemasyarakatan,
pembinaan sebagai wujud pelayanan dilaksanakan berdasarkan asas antara lain asas
pengayoman, asas persamaan perlakuan dan pelayanan, asas penghormatan harkat dan
martabat manusia.
Beberapa lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara di Indonesia,
terutama di kota-kota besar telah menampung penghuni melebihi kapasitasdaya
tampung bangunan.Direktur Jenderal Pemasyarakatan mengatakan(9), bahwa hampir
35% lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara di Indonesia melebihi daya
tampung. Kasus meninggalnya 22 tahanan penghuni lembaga pemasyarakatan kelas
IIA Pemuda dan lembaga pemasyarakatan kelas I Dewasa Tangerang sepanjang bulan
Februari hingga awal April 2007 menjadi entry point kondisi penjara Indonesia saat
dapat
menyebabkan
tingginya
tingkat
kematian
narapidana.Fakta
Sugeng:
(11)
Direktur
Pemasyarakatan
menyatakan
bahwa
pemasyarakatan
berbanding
terbalik
pemasyarakatan.Semakin
banyak
Bina
Perawatan
Direktorat
Jenderal
tingkat
kesehatan
penghuni
lembaga
hunian
lembaga
dengan
penghuni
tingkat
lembaga
pemasyarakatan
kondisi
kepada kita bahwa kondisi lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara yang
kapasitas berlebih berdampak buruk pada kondisi kesehatan penghuni,di mana
semakin banyak jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara
maka semakin buruk kesehatan mereka. Karena dengan penghuni yang besar, daya
dukung sanitasi dan lingkungan makin buruk sehingga dapat menurunkan kualitas
hidup penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara.Hal ini dapat
memudahkan berjangkitnya berbagai penyakit.Sementara di sisi lain ketersediaan
sarana dan prasarana masih minim yang mengakibatkan lembaga pemasyarakatan dan
rumah tahanan tidak mampu memberikan pelayanan kesehatan yang memadai.Pada
kondisi yang demikian narapidana rentan terhadap gangguan kesehatan seperti sangat
mudah terjadi infeksi penularan penyakit TBC, HIV/AIDS, gangguan kejiwaan dan
krisis psikiatrik.
Selain
berpengaruh
pada
aspek
kesehatan
kondisi
Lembaga
pada aspek pengawasan dan keamanan.Hal ini terjadi karena bertambahnya jumlah
penghuni Lapas/Rutan menuntut adanya peningkatan kebutuhan kuantitas dan kualitas
pengawasan sementara itu keadaan tersebut tidak diimbangi dengan penambahan
jumlah petugas dan perbaikan atau penambahan sarana pendukung sehingga
pelaksanaan pengawasan menjadi lemah.Di samping itu berpengaruh pada suasana
psikologis para penghuni . Dalam suasana demikian akan mudah menciptakan konflik
diantara mereka, karena sumber-sumber yang dimiliki oleh lingkungan tidak cukup
menciptakan akses yang sama terhadap setiap penghuni secara merata. Demikian pula
tuntutan akan pelayanan hak-hak narapidana yang telah diatur di dalam peraturan
perundang-undangan akan meningkat sementara tenaga dan sarana dan prasarana
yang mendukung relatif tetap. Pada gilirannya akan menimbulkan peningkatan
ketidakpuasan yang mustahil akan berujung kepada terjadinya gangguan keamanan di
dalam lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara.
Salah
satu
faktor
pemasyarakatan/Rumah
penyebab
tahanan
tidak
tingginya
terlepas
penghuni
dari
Lembaga
pandangan
10
10
11
Pada dasarnya,perasaan aman atau kondisi yang aman adalah tidak adanya
benturan-benturan dalam sistem sosial.Jika para anggota sistem sosial tidak menemui
kendala dalam berinteraksi maka keadaan aman telah tercapai. Pandangan demikian
tidak terlalu sulit untuk dipahami,karena pernyataan yang dikemukakan Taher
Abdullah (1990) bahwa:
Kondisi aman dalam lembaga pemasyarakatan adalah yang secara transparan
dipersepsikan sebagai kondisi aman untuk memenuhi kebutuhan masing-masing
pihak,yaitu bagi petugas dan penghuni lembaga pemasyarakatan.(14)
Di satu sisi penghuni lembaga pemasyarakatan berkepentingan untuk
mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasarnya secara maksimal.Sementara di sisi lain
petugas juga berkepentingan agar dalam pelaksanaan tugasnya dapat berjalan dengan
lancar tanpa adanya gangguan keamanan.Jadi mereka harus saling melakukan
pertukaran kepentingan.
Dalam salah satu Pasal dalam sistem pemasyarakatan yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan disebutkan bahwa
pembinaan kepada narapidana dan tahanan ketika mereka warga binaan ini
dikembalikan ke masyarakat setelah selesai menjalani hukuman di lembaga
pemasyarakatan mereka bisa diterima kembali oleh lingkungannya.
Dengan mengacu pada Undang-undang tersebut maka dibuat peraturan tentang
pola pembinaan terhadap narapidana seperti pengenalan tempat,pembekalan ilmu
pengetahuan dan keterampilan,kesempatan untuk memperoleh cuti dan remisi dan
sebagainya. Pembinaan dilakukan agar mereka setelah selesai menjalani masa
pembinaan di lembaga pemasyarakatan dapat diterima kembali oleh masyarakat tanpa
menimbulkan rasa was-was dan curiga.Hal ini berkaitan dengan dasar falsafah negara
Pancasila khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab.Dengan demikian sangat
wajar jika mereka sebagai manusia biasa pernah melakukan perbuatan menyimpang
yang
pada
akhirnya
menjadi
warga
binaan
atau
penghuni
lembaga
12
beberapa
informan
yaitu
narapidana
atau
penghuni
Lembaga
mengurangi
kelebihan
kapasitas
maka
di
kedua
Lembaga
12
negara
lainnya.
13
pemasyarakatan
khusus
narkotika
Pekalongan.Pemindahan
dilakukan terhadap narapidana kasus narkotika dan kriminal lainnya. Untuk kasus
narkotika terbanyak berjumlah 80% di mana dalam pelaksanaannya membutuhkan
sarana transportasi, sedangkan Lembaga pemasyarakatan Bekasi belum memiliki
sarana transportasi tersebut, maka dalam pelaksanaannya meminjam kendaraan
trnsportasi milik Lembaga pemasyarakatan
yang kelebihan
kapasitas maka
13
14
tindak pidana yang dilakukan sehingga mungkin saja terjadi yang tadinya hanya
mencuri sandal setelah masuk Lembaga pemasyarakatan dan akhirnya keluar setelah
di luar mencuri motor karena pada saat berada di Lembaga pemasyarakatan ilmu
mencuri motor didapat dengan mudah.Jika hal tersebut benar terjadi maka tujuan dari
Lembaga pemasyarakatan tidak akan dapat tercapai.
Untuk mencegah hal tersebut tentunya Departemen Hukum dan HAM RI
harus dapat menerapkan Reward and Punishment dengan benar dan tepat kepada
warga binaan baik itu berupa pengurangan hukuman maupun memberikan
kesempatan mengembangkan kemampuan diri pada Warga Binaan Pemasyarakatan.
Selain itu pula Lembaga pemasyarakatan dan Rumah tahanan haruslah dibuat
/dibangun yang baru baik lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan yang baru maupun
Lembaga pemasyararakatan khusus anak,koruptor dan narkoba.
Dengan terbentuknya Lembaga pemasyarakatan dan Rumah tahanan yang
baru dapatlah dilakukan pemindahan narapidana dari yang sudah kelebihan kapasitas
ke Lembaga pemasyarakatan/Rumah tahanan yang baru tersebut.Dengan adanya
pemindahan tersebut diharapkan adanya pembinaan yang lebih baik yaitu kegiatan
untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Intelektual,
sikap dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan rokhani narapidana dan anak
didik pemasyarakatan.
Untuk narapidana di Lembaga Pemasyarakatan yang sudah melebihi kapasitas
yang melakukan tindak pidana untuk anak-anak maka dipindahkan ke Lembaga
Pemasyarakatan khusus anak dan untuk kasus koruptor dipindahkan ke Lembaga
Pemasyarakatan khusus koruptor, untuk kasus narkoba dipindahkan ke Lembaga
Pemasyarakatan khusus narkoba sehingga akan memudahkan dalam melakukan
pembinaan dan diharapkan lembaga pemasyarakatan tidak lagi dicap sebagai sekolah
tinggi ilmu kejahatan karena narapidana dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan
Khusus yang sejenis dengan kasus yang menyeretnya ke dalam Lembaga
Pemasyarakatan.(18)
KESIMPULAN DAN SARAN
14
15
untuk
narapidana
kasus-kasus
tertentu,
misalnya
Lembaga
15
16
selaku
Kepala
Pusat
Pengkajian
dan
Pengembangan
Kebijakan
Departemen Hukum dan HAM RI, Bapak Mulki Manrappi, S.H.,M.M selaku Kepala
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Departemen Hukum dan HAM RI,,
Ismoyoto Nugroho, S.H.,M.Si selaku Kepala Bidang Penyelenggara Diklat
Fungsional Departemen Hukum dan HAM RI, Sigit Murtantoyo S.E selaku Kepala
Sub Bidang Pemanggilan Peserta Diklat Fungsional Departemen Hukum dan HAM
RI., Dr Dwi Purwoko selaku Dosen Pembimbing Karya Tulis Ilmiah ini, M.Basori
Imron, Amir Asyikin Hasibuan, Iroh Siti Zahroh, M Hisyam, Suwartoyo, Rusdi
Muchtar selaku Dosen Pengajar yang telah memberian masukan dan bimbingannya
dalam Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini sebagai salah satu syarat bagi Pelatihan
Diklat Fungsional Peneliti Tingkat Pertama Gelombang XVII Tahun 2009 di
Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) di Cibinong.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,
1999,Pelaksanaan Pemindahan Narapidana Dalam Sistem Pemasyarakatan Dalam
Rangka Mencegah Over Kapasitas dan Kepentingan Pembinaaan Lainnya, Jakarta,
.hlm.1;
16
17
Kepala
Seksi
Registrasi
Lembaga
Herlin Candrawati, 19 April 2008, Kepala Seksi Pembinaan dan Anak Didik
Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Bulakkapal Bekasi;
17
18
M. Aziz syamsudin, 2 Juli 2008, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI, Dalam
Action Plan, Persiapan Penyusunan Rencana Strategis Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Dalam Menghadapi Tantangan Era Globalisasi,
Action Plan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI;
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, beserta Peraturan
Pelaksanaannya;
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP);
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, PP Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1, IstilahIstilah Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,Jakarta;
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka.
18
19
19
20
20
21
21