Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
adalah pengadilan maka pilihan hukumnya dilakukan oleh hakm, bila forumnya adalah
arbitrase maka pilihan hukum dilakukan oleh arbiter. Semoga pemahaman tentang pilihan
hukum dapat meminimalisir persoalan dalam perdagangan internasional.
* Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya dan Sekretaris ISWI Jatim
Surabaya - Ditengah persaingan ekonomi dalam era pasar bebas tentunya Provinsi Jawa
Timur terus meningkatkan inpra strukturnya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Perkembangan tidak terlepas dari peran Pelabuhan Tanjung Perak yang dikelola PT
Pelindo III dalam melakukan layanan bongkar muat barang yang berperan sebagai pintu
utama perdagangan di Jawa Timur dan Kawasan Timur Indonesia.
Perdagangan baik domestik maupun internasional yang dilakoni Jatim merupakan salah
satu indikator penting bagi pendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan, Gubernur Jatim
Soekarwo menyebutkan pada 2011, nilai perdagangan antar pulau Jatim mencapai
Rp222,7 triliun naik 10% dibandingkan 2010 sebesar Rp204,2 triliun dan Pemprov Jatim
mematok target naik 10% menjadi Rp240 triliun pada akhir 2012 ini.
Pelabuhan Tanjung Perak sangat vital bagi Jatim, karena 95% perdagangan Jatim
melalui fasilitas itu. Dengan faktanya volume perdagangan antar pulau melalui Pelabuhan
Tanjung Perak telah mendominasi perdagangan internasional Jatim, kata Humas
Pelindo III Edi Priyanto, Kamis (29/11).
Pelabuhan Tanjung Perak sebagai determinant factor pendorong pertumbuhan ekonomi.
Artinya pembenahan dan modernisasi Pelabuhan dilakukan Pelindo III dipastikan
berkorelasi positif pada upaya pencapaian target pertumbuhan ekonomi Jatim.
Sebaliknya hambatan yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Perak akan berdampak
negatif bagi pertumbuhan ekonomi Jatim, ujar pria ,urah senyum ini.
Kondisi eksisting lanjut Edi, terdapat tiga hambatan utama Pelabuhan Tanjung Perak,
pertama terkait kinerja bongkar muat khususnya soal waktu sandar kapal dan kecepatan
bongkar muat. Saat ini waktu sandar dan bongkar muat kapal mencapai 2-4 hari ini jelas
memicu high cost dan dinilai sebagai hambatan logistik sehingga perlu di efektifkan.
Kapal petikemas domestik di Pelabuhan Tanjung Perak mencapai 33 jam, kapal curah
cair domestik 73 jam dan kapal curah kering domestik 31 jam. Sedangkan kapal curah
cair internasional 52 jam dan kapal curah kering internasional 31 jam. Sedangkan
hambatan kedua, kata Edi keberadaan pipa gas yang memotong APBS blok migas West
Madura. Akibat pipa gas itu Syahbandar Pelabuhan Tanjung Perak sejak tahun 2008 telah
memberlakukan pembatasan draft kapal yang berimplikasi pada kapasitas muat kapal
menjadi tidak maksimal.
Apa lagi kondisi APBS sekarang terbatas kedalaman berkisar minus 9,5 -10,5 meter
low water spring dan lebar alur 100 meter. Kapasitas alur itu menyebabkan kapal
berkapasitas diatas 60.000 (GT) tidak bisa sandar itu hambatan ketiganya, pungkas Edi
(bi)
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya sehingga Penulis berhasil menyelesaikan Makalah yang
berjudul SAFEGUARD
Makalah ini berisikan tentang penjelasan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam
Perdagangan Internasional, yang tercakup didalamnya yaitu pengertian, dasar hukum,
pelaksanaan dan lembaga yang berwewenang dalam menangani tindakan safeguard.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu Penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, Penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Organisasi Perdagangan Dunia atau yang lebih dikenal dengan nama the World Trade
Organization (WTO) telah tumbuh dan berkembang menjadi salah satu organisasi
internasional yang paling penting dan berpengaruh dalam hubungan ekonomi dan
pembangunan antar bangsa. Organisasi yang beranggotakan sebagian besar negara di
dunia ini berperan dalam mengatur hubungan perdagangan internasional dalam rangka
peningkatan pembangunan ekonomi dan standard hidup bagi negara-negara anggotanya.
Sistem perdagangan multilateral dalam kerangka hukum WTO mencakup bidang dan
kegiatan yang sangat luas dan kompleks, tidak saja substansi dan isu-isu yang berkaitan
dengan perdagangan barang tetapi juga menjangkau dimensi-dimensi baru seperti
perdagangan jasa (services) dan aspek-aspek perdagangan dari hak milik intelektual serta
isu perdagangan yang terkait dengan masalah pembangunan dan integrasi negara-negara
berkembang ke dalam perdagangan dunia, masalah kelestarian lingkungan dan isu-isu
yang sifatnya non-trade atau memiliki nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Perdagangan
barang telah pula mengalami perkembangan dan pendalaman dalam pengaturannya
dalam berbagai sektor atau bidang seperti pertanian, sanitary and pythosanitary, hambatan
tehnis terhadap perdagangan, anti-dumping, pengamanan perdagangan (safeguard),
subsidi, dan hambatan-hambatan yang bersifat non tariff.
Untuk mendukung terlaksananya kegiatan bisnis antar negara diperlukan suatu instrumen
hukum dalam bentuk regulasi baik nasional maupun internasional seperti pengaturan
dalam hukum perdagangan internasional (international trade law). Oleh karena itu dengan
masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World
Trade Organization (WTO) membawa konsekuensi bagi Indonesia, yaitu harus memetuhi
seluruh hasil kepakatan dalam forum WTO, serta melakukan harmonisasi peraturan
perundang-undangan nasional sesuai dengan hasil kesepakatan WTO
Berdasarkan Article XIX GATT 1947 bahwa salah satu syarat untuk melakukan tindakan
pengamanan (safeguard) oleh negara-negara anggota WTO adalah untuk melindungi
industri dalam negeri dan bersifat non diskrimnatif. Hal ini berarti bahwa tindakan
safeguard melalui pembatasan impor diterapkan karena telah terjadi peningkatan produk
impor, sehingga menimbulkan kerugian (injury) yang serius di dalam negeri (negara
pengimpor). Dengan demikian, negara-negara pengekspor harus dibatasi aksesnya di
pasar negara pengimpor. Selain itu, syarat lain adalah bahwa negara yang menghadapi
negara pengimpor harus diberi kompensasi. Seanjutnya ditentukan pula bahwa remedy
yang dikenakan dalam upaya safeguard adalah tarif walaupun pembatasan kuantitatif juga
dibolehkan. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pengamanan perdagangan
(safeguard) maka Penulis menyususn makalah ini, semoga bermanfaat bagi pembaca.
2. Rumusan Masalah
a. Pengertian dan Dasar Hukum Tindakan Pengamanan (Safeguard)
b. Pengaturan Safeguard
c. Pelaksanaan Safeguard dalam Perdagangan Internasional
d. Lembaga yang Berwewenang Menangani Tindakan Safeguard
2. Pengaturan Safeguard
Prinsip Non Diskriminasi adalah prinsip utama yang menjadi dasar GATT. Prinsip ini
menyatakan bahwa perdagangan internasional antara anggota GATT harus dilaksanakan
secara non diskriminatif. Yaitu untuk memperlakukan produk impor dan produk lokal
secara sama dan most-favoured nation untuk menerapkan tarif yang sama untuk setiap
barang impor. GATT juga mengurus hambatan-hambatan non tarif yang diterapkan
sebagai proteksi, contohnya adalah standar ramah lingkungan. Namun beberapa prinsip
dalam GATT tidak mudah untuk diikuti karena dalam banyak hal perlu adanya perubahan
pada kebijakan nasional untuk menerapkannya. Selain itu tidak mudah untuk menerapkan
prinsip dan perlakuan yang sama kepada negara yang tidak sejajar. Kesulitan untuk
mengikuti prinsip dan aturan GATT terutama dialami oleh negara berkembang.
Selama proses perundingan pertama dari tahun 1986 sampai 1988 di Punta del Este,
perundingan di bidang safeguard merupakan perundingan yang paling sulit dan berlarutlarut. Menurut HS Kartadjoemena, permasalahan utama yang dihadapi para perunding
adalah begaimana merumuskan suatu bentuk persetujuan tetang safeguards yang memuat
semua unsur-unsur sebagaimana ditetapkan dalam mandat deklarasi. Dari semua unsur
tersebut penerapan prinsip non diskriminasi khususnya MFN merupakan masalah utama
yang paling banyak menimbulkan pertentangan khususnya antara negara maju dan negara
berkembang.
pada prinsip-prinsip dasar dari persetujuan umum yang bertujuan untuk mengembangkan pengawasan safeguard dengan melakukan tindakan pembatasan serta selalu
melakukan kontrol. Para menteri juga mengakui bahwa melalui persetujuan tersebut
sebagai suatu hal yang sangat penting untuk memperkuatkan sistem GATT dalam rangka
mengembangkan negosiasi perdagangan secara multilateral (Multilateral Trade
Negotiation).
Selanjutnya pada sidang tingkat Menteri di Brussels 1990, bidang safeguard masih
memerlukan keputusan politis karena hal tersebut belum dapat diselesaikan dalam
perundingan sebelumnya baik di Punta del Este maupun di Montreal. Beberapa masalah
utama yang menjadi kontroversial adalah masalah penerapan safeguards secara selektif
(selectivity). Selain itu, masalah aturan permainan di bidang safeguards juga semakin
jarang dilaksanakan karena syaratnya dianggap terlampau berat untuk dipenuhi. Oleh
karena itu maka ada pemikiran untuk memberikan insentif dalam penggunaan safeguards
dengan menambah syarat agar tidak melakukan tindakan pembalasan (retaliation).
Tindakan pengamanan (safeguard) dilakukan apabila suatu industri dalam negeri
mengahdapi kesulitan karena membanjir produk impor. Namun bagi negara berkembang
diberikan perlakuan khusus yang meringankan. Hal ini merupakan prinsip yang berlaku
dalam perjanjian sebagai suatu masalah special and defferential treatment yang harus
mendapat penyelesaian, antara lain, masalah waktu safeguards yang juga masih
memerlukan penyelesaian politis, demikian pula semakin banyaknya negara yang
bergabung dalam free trade area dan custom union.
Pelaksanaan penyidikan terhadap adanya kerugian serius atau ancaman kerugian serius
terhadap Industri dalam negeri akibat lonjakan impor dilakukan oleh sebuah Komite,
yang di Indonesia disebut Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Untuk itu
maka kepada pihak berkepentingan yang secara langsung terkena dampaknya dapat
mengajukan permohonan penyelidikan atas pengamanan kepada Komite.
Adapun pihak berkepentingan yang terkena langsung dampak peningkatan produk impor
adalah sebagai berikut :
1) Produsen dalam negeri Indonesia yang menghasilkan barang sejenis barang terselidik
dan atau barang yang secara langsung bersaing;
2) Asosiasi produsen barang sejenis barang terselidik dan atau barang yang secara
langsung bersaing;
3) Organisasi buruh yang mewakili kepentingan para pekerja industri dalam negeri.
Apabila dipandang perlu dalam rangka perlindungan industri dalam negeri, bahkan
Pemerintah dapat mengajukan penyelidikan kepada Komite. Selanjutnya Komite
Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) atas prakarsa sendiri dapat melakukan
penyelidikan atas lonjakan impor yang mengakibatkan kerugian serius dan atau
ancamankerugian serius industri dalam negeri.
Selain itu Komite dapat menentukan sendiri bukti-bukti berdasarkan data dan informasi
yang tersedia (best information available) apabila dalam penyelidikan pihak
berkepentingan:
1. tidak memberikan tanggapan, data atau informasi yang dibutuhkan sebagai-mana
mestinya dalam kurun waktu yang disediakan oleh Komite; atau
2. menghambat jalannya proses penyelidikan.
Komite memperlakukan setiap data dan informasi rahasia sesuai dengan sifatnya. Data
dan informasi rahasia tidak dapat diungkapkan pada umum tanpa izin dari pemilik data
dan informasi tersebut. Pihak-pihak berkepentingan yang menyampaikan data dan
informasi rahasia kepada Komite harus melampirkan suatu catatan ringkas yang berasal
dari data dan informasi yang bersifat rahasia. Catatan ringkas tersebut bersifat tidak
rahasia (non-confidential summaries).
Selanjutnya dalam waktu paling lama 30 hari sejak pengajuan permohonan tindakan
pengamanan tersebut diterima lengkap oleh Komite, berdasarkan hasil penelitian serta
bukti-bukti awal yang lengkap sebagaimana yang diajukan pemohon tersebut, Komite
memberikan keputusan berupa (Pasal 3 ayat 3):
1. menolak permohonan dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan yang
ditentukan; atau
b. pangsa pasar dalam negeri yang diambil akibat lonjakan impor barang terselidik; dan
c. perubahan tingkat penjualan, produksi, produktivitas, pemanfaatan kapasitas,
keuntungan dan kerugian serta kesempatan kerja.
2) Untuk menentukan lonjakan impor yang mengakibatkan terjadinya ancaman kerugian
serius, Komite dapat menganalisis faktor-faktor lainnya sebagai tambahan selain faktorfaktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), seperti:
a. kapasitas ekspor riil dan potensial dari negara atau negara-negara produsen asal
barang;
b. persediaan barang terselidik di Indonesia dan di negara pengekspor.
3) Dalam hal kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam
negeri yang timbul pada saat bersamaan dengan lonjakan impor tetapi disebabkan oleh
faktor-faktor lain di luar faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
maka kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tidak dapat dinyatakan sebagai
akibat lonjakan impor.
Selanjutnya Pasal 23B menyatakan bahwa Bea masuk tindakan peng-amanan tersebut
adalah paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian serius
atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. Bea masuk
tersebut merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat
(1) Undang-Undang Kepabeanan Nomor 10 Tahun 1995.
Berdasarkan uraian di atas bahwa tindakan pengamanan dilakukan terhadap produk
dalam negeri karena:
1. Adanya lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan
saingan produk industri dalam negeri.
2. Adanya kerugian serius atau ancaman kerugian serius pada industri dalam negeri
karena membanjirnya produk impor.
3. Adanya hubungan kausal antara lonjakan impor dengan kerugian serius atau ancaman
kerugian serius. Analisis kausalitas berdasarkan indikator ekonomi meliputi: produksi,
penjualan dalam negeri, pangsa pasar, keuntungan, utulitas kapasitas dan tenaga kerja.
Berdasarkan hasil penyidikan, apabila ditemukannya bukti bahwa terjadi kerugian serius
atau ancaman kerugian serius terhadap industri domestik karena adanya lonjakan produk
impor, maka negara pengimpor harus memberitahukan kepada Komite Safeguard
sebelum mengambil tindakan pengamanan. Kemudian negara pengimpor anggota WTO
terlebih dahulu mengundang negara pengekspor selaku anggota untuk melakukan
konsultasi guna memberikan kesempatan kepada negara tersebut untuk menegosiasikan
penyelesaian masalah.
Menurut Bhagirath Lai Das dalam Cristhophorus Barutu bahwa setelah konsultasi, negara
anggota memutuskan untuk mengambil tindakan safeguard dalam bentuk
(Christhophorus Barutu, 2007: 116-117)
1. Pemberlakuan tarif seperti: peningkatan kewajiban impor melampaui tingkat batas,
pembebanan biaya tambahan atau pajak tambahan, penggantian pajak produksi,
pengenaan tarif kuota yaitu kuota untuk impor pada suatu tarif yang lebih rendah dan
pembebanan pada tarif yang lebih tinggi untuk impor yang yang berada di atas kuota.
2. Pembebanan non-tarif seperti: penetapan kuota global untuk impor, pengenalan
kemudahan dalam perizinan, kewenangan impor, dan tindakan lain yang serupa untuk
pengendalian impor.
barang impor yang sejenis atau secara langsung bersaing dengan barang yang diproduksi
oleh industry dalam negeri yang mnegalami lonjakan impor yang besar
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
a. Tindakan pengamanan (Safeguard) merupakan salah satu instrument kebijakan
perdagangan yang hampir mirip dengan kebijakan antidumping dan anti subsidi. Ketigatiganya sama-sama diatur dalam WTO, dan sama-sama dapat dikenakan tarif bea masuk
tambahan apabila menimbulkan kerugian (injury) terhadap Negara pengimpor.
b. Pengaturan safeguard mengacu pada Article XIX GATT (Emergency Action on
Imports of Particular Products) sebagaimana disempurnakan dengan Agreement on
Safeguard 1994. Tindakan pengamanan (safeguard) juga diatur dalam sistem hukum
Indonesia yaitu dalam Kepres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan
Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor serta Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of
Origin) terhadap barang impor yang dikenakan Tindakan Pengamanan (safeguard).
c. Dengan dilaksanakan persetujuan di bidang safeguard maka setiap negera dapat
menerapkan tindakan pengamanan terhadap produk domestiknya apabila industri dalam
negeri tidak mampu bersaing sehingga mengalami kerugian serius sebagai akibat
membanjirnya produk impor.
d. Lembaga yang Berwewenang Menangani Tindakan Safeguard adalah Komite
Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) dan Direktorat Pengamanan Perdagangan
(DPP).
DAFTAR PUSTAKA
Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri
Dari Akibat Lonjakan Impor