Vous êtes sur la page 1sur 14

ASPEK HUKUM DALAM PERDAGANGAN BEBAS

Umumnya perdagangan diregulasikan melalui perjanjian bilatera antara dua negara.


Selama berabad-abad dibawah kepercayaan dalam Merkantilisme kebanyakan negara
memiliki tarif tinggi dan banyak pembatasan dalam perdagangan internasional. pada abad
ke 19, terutama di Britania, ada kepercayaan akan perdagangan bebas menjadi yang
terpenting dan pandangan ini mendominasi pemikiran diantaranegara barat untuk
beberapa waktu sejak itu dimana hal tersebut membawa mereka ke kemunduran besar
Britania. Pada tahun-tahun sejak Perang Dunia II, perjanjian multilateral kontroversial
seperti GATT dab WTO memberikan usaha untuk membuat regulasi lobal dalam
perdagangan internasional. Kesepakatan perdagangan tersebut kadang-kadang berujung
pada protes dan ketidakpuasan dengan klaim dari perdagangan yang tidak adil yang tidak
menguntungkan secara mutual.
Perdagangan bebas biasanya didukung dengan kuat oleh sebagian besar negara yang
berekonomi kuat, walaupun mereka kadang-kadang melakukan proteksi selektif untuk
industri-industri yang penting secara strategis seperti proteksi tarif untuk agrikultur oleh
Amerika Serikat dan Eropa. Belanda dan Inggris Raya keduanya mendukung penuh
perdagangan bebas dimana mereka secara ekonomis dominan, sekarang Amerika Serikat,
Inggris, Australia dan Jepang merupakan pendukung terbesarnya. Bagaimanapun, banyak
negara lain (seperti India, Rusia, dan Tiongkok) menjadi pendukung perdagangan bebas
karena telah menjadi kuat secara ekonomi. Karena tingkat tarif turun ada juga keinginan
untuk menegosiasikan usaha non tarif, termasuk investasi luar negri langsung, pembelian,
dan fasilitasi perdagangan. Wujud lain dari biaya transaksi dihubungkan dengan
perdagangan pertemuan dan prosedur cukai.
Umumnya kepentingan agrikultur biasanya dalam koridor dari perdagangan bebas dan
sektor manufaktur seringnya didukung oleh proteksi. Ini telah berubah pada beberapa
tahun terakhir, bagaimanapun. Faktanya, lobi agrikultur, khususnya di Amerika Serikat,
Eropa dan Jepang, merupakan penanggung jawab utama untuk peraturan tertentu pada
perjanjian internasional besar yang memungkinkan proteksi lebih dalam agrikultur
dibandingkan kebanyakan barang dan jasa lainnya.
Selama reses ada seringkali tekanan domestik untuk meningkatkan tarif dalam rangka
memproteksi industri dalam negri. Ini terjadi di seluruh dunia selama Depresi Besar
membuat kolapsnya perdagangan dunia yang dipercaya memperdalam depresi tersebut.
Regulasi dari perdagangan internasional diselesaikan melalui World Trade Organization
pada level global, dan melalui beberapa kesepakatan regional seperti MerCOSUR di
Amerika Selatan, NAFTA antara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, dan Uni Eropa
antara 27 negara mandiri. Pertemuan Buenos Aires tahun 2005 membicarakan pembuatan
dari ''Free Trade Area of America'' (FTAA) gagal total karena penolakan dari populasi
negara-negara Amerika Latin. Kesepakatan serupa seperti MAI (''Multilateral Agreement
on Invesment'') juga gagal pada tahun-tahun belakangan ini.
sumber :(http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional)

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS INTERNASIONAL


Oleh : Dr. Atik Krustiyati, SH, MS
SAAT ini dunia dihadapkan pada situasi perekonomian yang tanpa batas, artinya tercipta
suatu kegiatan ekonomi yang saling terkait antara satu negara dengan negara lain atau
yang biasa disebut interlinked economy. Dalam situasi seperti ini Indonesia termasuk di
dalamnya para pelaku perdangan harus memahami hal-hal yang terkait dengan
perdagangan bebas (free trade), pasar bebas (free market) dan persaingan bebas (free
competition).
Adanya interdependensi kebutuhan inilah yang menyebabkan terciptanya perdagangan
internasional. Masing-masing negara memiliki keunggulan dan disisi lain juga memiliki
kekurangan. Ada negara yang memiliki keunggulan karena faktor kekayaan alamnya
(absolut advantage), ada juga negara yang memiliki keunggulan komparative karena
Sumber Daya Manusianya yang berkualitas, serta ada juga negara yang mampu
mengkombinasikan keduanya. Dari situasi tersebut dapat terjadi hasil produksi suatu
negara berlebih atau malah sebaliknya masih membutuhkan komoditas lain yang belum
dapat diproduksi di negaranya. Mungkin juga komuditas yang dihasilkan oleh suatu
negara masih berupa bahan mentah dan memerlukan proses produksi lebih lanjut , karena
bahan mentah tersebut dibutuhkan oleh negara lain sebagai bahan baku pabriknya.
Ada beberapa bentuk perdagangan internasional yang dapat dipilih oleh para pelaku,
yaitu ekspor impor, lisensi, waralaba, kerjasama (joint venture), merger dan akuisisi,
Penananan Modal Asing dan lain-lain. Masing-masing bentuk perdagangan internasional
ini mempunyai karakteristik dan permasalahan hukum yang berbeda satu dengan yang
lain.jadi bila pelaku perdaganan internasional tidak memahami seluk beluk tentang
ekspor impor ya jangan memilih bentuk ini. Sebaliknya bila mereka lebih memahami
lisensi yang dianggap lebih prospektus dan memberikan keuntungan yang besar tentunya
bentuk ini yang harus dipilih.
Perdagangan internasional sering didefinisikan sebagai perdagangan barang dan jasa
yang dilakukan oleh pihak yang tunduk pada hukum yang berbeda dan bersifat
transboundaries. Jadi kalau pihak yang satu berada di Indonesia, sedangkan pihak yang
lain berdomisili di Australia itu artinya mereka mempunyai hukum yang tidak sama,
sehingga harus ada pilihan hukum .Seiring berjalannya liberalisasi perdagangan
internasional, pengetahuan tentang aspek-aspek hukum perdagangan internasional juga
menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sistem hukum, politik,
sosial budaya, kondisi sosial geografis, serta keadaan demografis yang berpotensi
menimbulkan konflik.
Perlu diketahui dalam upaya menciptakan kelancaran perdagangan bebas, bangsa-bangsa
di dunia telah melahirkan berbagai bentuk kerja sama internasional, baik berskala
regional maupun multilateral. Asean Free Trade Area atau yang lazim dikenal AFTA
adalah contoh kerjasama regional, sedangkan World Trade Organization atau WTO
adalah contoh kerja sama multilateral. Adanya berbagai kerjasama internasional tersebut
selain dimaksudkan untuk menjamin arus pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang
serasi, seimbang dan adil antara berbagai negara di dunia ini, juga dimaksudkan untuk
mewujudkan orde ekonomi baru yang mampu mendukung perkembangan perdagangan
internasional yang bebas melalui pengurangan beban tarif (tariff barrier ) dan beban non
tariff (non tariff barrier)
Dalam kaitan dengan perdagangan internasional sebagaimana sudah disebutkan diatas,
para pelaku perdagangan (individu atau state corporation ) harus memahami banyak hal,
misalnya persoalan pilihan hukum, pilihan penyelesaian sengketa, pemahaman tentang
kontrak, dan bentuk perdagangan apa yang akan dipilih. Hal ini penting agar berbagai
persoalan yang nantinya akan terjadi sejak awal dapat diantisipasi dengan baik. Fokus
bahasan dalam tulisan ini adalah lebih pada persoalan pilihan hukum, sedangkan
persoalan lain dapat dibahas pada kesempatan yang lain
Dalam kepustakaan dikenal banyak sekali teori tentang pilihan hukum, misalnya teori
subyektif, teori obyektif, masing-masing dengan argumentasi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Akan tetapi satu hal penting yang harus diperhatikan adalah
karena dalam perdagangan internasional para pihak harus sama-sama diuntungkan, maka
pilihan hukum ini harus dilakukan dengan kesepakatan para pihak. Biasanya pilihan
hukum ini akan berkorelasi dengan pilihan sengketanya. Jadi kalau forum yang dipilih

adalah pengadilan maka pilihan hukumnya dilakukan oleh hakm, bila forumnya adalah
arbitrase maka pilihan hukum dilakukan oleh arbiter. Semoga pemahaman tentang pilihan
hukum dapat meminimalisir persoalan dalam perdagangan internasional.
* Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya dan Sekretaris ISWI Jatim

ASPEK HUKUM DALAM PASAR BEBAS

Surabaya - Ditengah persaingan ekonomi dalam era pasar bebas tentunya Provinsi Jawa
Timur terus meningkatkan inpra strukturnya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Perkembangan tidak terlepas dari peran Pelabuhan Tanjung Perak yang dikelola PT
Pelindo III dalam melakukan layanan bongkar muat barang yang berperan sebagai pintu
utama perdagangan di Jawa Timur dan Kawasan Timur Indonesia.
Perdagangan baik domestik maupun internasional yang dilakoni Jatim merupakan salah
satu indikator penting bagi pendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan, Gubernur Jatim
Soekarwo menyebutkan pada 2011, nilai perdagangan antar pulau Jatim mencapai
Rp222,7 triliun naik 10% dibandingkan 2010 sebesar Rp204,2 triliun dan Pemprov Jatim
mematok target naik 10% menjadi Rp240 triliun pada akhir 2012 ini.
Pelabuhan Tanjung Perak sangat vital bagi Jatim, karena 95% perdagangan Jatim
melalui fasilitas itu. Dengan faktanya volume perdagangan antar pulau melalui Pelabuhan
Tanjung Perak telah mendominasi perdagangan internasional Jatim, kata Humas
Pelindo III Edi Priyanto, Kamis (29/11).
Pelabuhan Tanjung Perak sebagai determinant factor pendorong pertumbuhan ekonomi.
Artinya pembenahan dan modernisasi Pelabuhan dilakukan Pelindo III dipastikan
berkorelasi positif pada upaya pencapaian target pertumbuhan ekonomi Jatim.
Sebaliknya hambatan yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Perak akan berdampak
negatif bagi pertumbuhan ekonomi Jatim, ujar pria ,urah senyum ini.
Kondisi eksisting lanjut Edi, terdapat tiga hambatan utama Pelabuhan Tanjung Perak,
pertama terkait kinerja bongkar muat khususnya soal waktu sandar kapal dan kecepatan
bongkar muat. Saat ini waktu sandar dan bongkar muat kapal mencapai 2-4 hari ini jelas
memicu high cost dan dinilai sebagai hambatan logistik sehingga perlu di efektifkan.
Kapal petikemas domestik di Pelabuhan Tanjung Perak mencapai 33 jam, kapal curah
cair domestik 73 jam dan kapal curah kering domestik 31 jam. Sedangkan kapal curah
cair internasional 52 jam dan kapal curah kering internasional 31 jam. Sedangkan
hambatan kedua, kata Edi keberadaan pipa gas yang memotong APBS blok migas West
Madura. Akibat pipa gas itu Syahbandar Pelabuhan Tanjung Perak sejak tahun 2008 telah
memberlakukan pembatasan draft kapal yang berimplikasi pada kapasitas muat kapal
menjadi tidak maksimal.
Apa lagi kondisi APBS sekarang terbatas kedalaman berkisar minus 9,5 -10,5 meter
low water spring dan lebar alur 100 meter. Kapasitas alur itu menyebabkan kapal
berkapasitas diatas 60.000 (GT) tidak bisa sandar itu hambatan ketiganya, pungkas Edi
(bi)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya sehingga Penulis berhasil menyelesaikan Makalah yang
berjudul SAFEGUARD
Makalah ini berisikan tentang penjelasan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam
Perdagangan Internasional, yang tercakup didalamnya yaitu pengertian, dasar hukum,
pelaksanaan dan lembaga yang berwewenang dalam menangani tindakan safeguard.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu Penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, Penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.

Pekanbaru, 23 Maret 2013

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Organisasi Perdagangan Dunia atau yang lebih dikenal dengan nama the World Trade
Organization (WTO) telah tumbuh dan berkembang menjadi salah satu organisasi
internasional yang paling penting dan berpengaruh dalam hubungan ekonomi dan
pembangunan antar bangsa. Organisasi yang beranggotakan sebagian besar negara di
dunia ini berperan dalam mengatur hubungan perdagangan internasional dalam rangka
peningkatan pembangunan ekonomi dan standard hidup bagi negara-negara anggotanya.

Sistem perdagangan multilateral dalam kerangka hukum WTO mencakup bidang dan
kegiatan yang sangat luas dan kompleks, tidak saja substansi dan isu-isu yang berkaitan
dengan perdagangan barang tetapi juga menjangkau dimensi-dimensi baru seperti
perdagangan jasa (services) dan aspek-aspek perdagangan dari hak milik intelektual serta
isu perdagangan yang terkait dengan masalah pembangunan dan integrasi negara-negara
berkembang ke dalam perdagangan dunia, masalah kelestarian lingkungan dan isu-isu
yang sifatnya non-trade atau memiliki nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Perdagangan
barang telah pula mengalami perkembangan dan pendalaman dalam pengaturannya
dalam berbagai sektor atau bidang seperti pertanian, sanitary and pythosanitary, hambatan
tehnis terhadap perdagangan, anti-dumping, pengamanan perdagangan (safeguard),
subsidi, dan hambatan-hambatan yang bersifat non tariff.
Untuk mendukung terlaksananya kegiatan bisnis antar negara diperlukan suatu instrumen
hukum dalam bentuk regulasi baik nasional maupun internasional seperti pengaturan
dalam hukum perdagangan internasional (international trade law). Oleh karena itu dengan
masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World
Trade Organization (WTO) membawa konsekuensi bagi Indonesia, yaitu harus memetuhi
seluruh hasil kepakatan dalam forum WTO, serta melakukan harmonisasi peraturan
perundang-undangan nasional sesuai dengan hasil kesepakatan WTO
Berdasarkan Article XIX GATT 1947 bahwa salah satu syarat untuk melakukan tindakan
pengamanan (safeguard) oleh negara-negara anggota WTO adalah untuk melindungi
industri dalam negeri dan bersifat non diskrimnatif. Hal ini berarti bahwa tindakan
safeguard melalui pembatasan impor diterapkan karena telah terjadi peningkatan produk
impor, sehingga menimbulkan kerugian (injury) yang serius di dalam negeri (negara
pengimpor). Dengan demikian, negara-negara pengekspor harus dibatasi aksesnya di
pasar negara pengimpor. Selain itu, syarat lain adalah bahwa negara yang menghadapi
negara pengimpor harus diberi kompensasi. Seanjutnya ditentukan pula bahwa remedy
yang dikenakan dalam upaya safeguard adalah tarif walaupun pembatasan kuantitatif juga
dibolehkan. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pengamanan perdagangan
(safeguard) maka Penulis menyususn makalah ini, semoga bermanfaat bagi pembaca.
2. Rumusan Masalah
a. Pengertian dan Dasar Hukum Tindakan Pengamanan (Safeguard)
b. Pengaturan Safeguard
c. Pelaksanaan Safeguard dalam Perdagangan Internasional
d. Lembaga yang Berwewenang Menangani Tindakan Safeguard

3. Tujuan dan Manfaat


a. Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum tindakan pengamanan (safeguard)

b. Untuk mengetahui pengaturan safeguard


c. Untuk mengetahui pelaksanaan safeguard dalam perdagangan internasional
d. Untuk mengetahui lembagayang berwewenang dalam menangani tindakan safeguard.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Dasar Hukum Tindakan Pengamanan (Safeguard)

Tindakan pengamanan (Safeguard) merupakan salah satu instrument kebijakan


perdagangan yang hampir mirip dengan kebijakan antidumping dan anti subsidi. Ketigatiganya sama-sama diatur dalam WTO, dan sama-sama dapat dikenakan tarif bea masuk
tambahan apabila menimbulkan kerugian (injury) terhadap Negara pengimpor.1

Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-Dag/Per/9/2008 bahwa yang


dimaksud dengan Tindakan Pengamanan (safeguards) adalah tindakan yang diambil
pemerintah untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius
industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang
secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar
industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius
tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural.2

Sebuah tindakan pengamanan (safeguard) memiliki beberapa ketentuan khusus yang


dapat menentukan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan sebuah tindakan pengamanan
ataukah tidak, Adapun kreteria yang menjadi syarat sahnya tindakan pengamanan
tersebut, yaitu:
1) Tindakan tersebut dilakukan pemerintah.
Sesuatu yang dilakukan pemerintah untuk mengamankan industri lokalnya dari kerugian
serius atau ancaman kerugian serius yang terjadi akibat berlimpahnya produk impor yang
masuk ke Indonesia. Dalam hal ini yang mempunyai peran adalah pemerintah sebagai
pembuat kebijakan untuk bertindak melakukan pengaman industri dalam negerinya,
bukan pelaku usaha langsung yang terlibat dalam melakukan tindakan pengamanan
tersebut.
2) Terdapat kerugian serius atau ancaman kerugian serius.
Maksud dari kerugian serius disini adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri
dalam negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman kerugian serius adalah
ancaman terjadinya kerugian serius yang akan diderita dalam waktu dekat oleh industri
dalam negeri yang diakibatkan melonjaknya impor dari luar.3
3) Tindakan tersebut bertujuan untuk melindungi atau memulihkan industri dalam negeri.
4) Terdapat barang sejenis.
Barang sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala
hal dengan barang terselidik atau barang yang memiliki karakteristik fisik, tehnik, atau
kimiawi menyerupai barang terselidik dimaksud.
5) Terdapat barang yang secara langsung bersaing
Barang yang secara langsung bersaing adalah barang produksi dalam negeri yang
merupakan barang sejenis atau substitusi barang terselidik.
Pengaturan safeguard mengacu pada Article XIX GATT (Emergency Action on Imports
of Particular Products) sebagaimana disempurnakan dengan Agreement on Safeguard
1994. Tindakan pengamanan (safeguard) juga diatur dalam sistem hukum Indonesia yaitu
dalam Kepres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam
Negeri dari Akibat Lonjakan Impor serta Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin)
Terhadap Barang Impor yang Dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguards).

1 Sood, Muhammad. 2011. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta : PT. Rajagrafindo


Persada
2 Lihat Pasal 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-Dag/Per/9/2008 Tentang
Surat Keterangan Asal (Certificate Of Origin) Terhadap Barang Impor Yang Dikenakan
Tindakan Pengamanan (Safeguards).
3 Lihat Pasal 1 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri
Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor

2. Pengaturan Safeguard

a. Sebelum Perundingan Uruguay Round


Berdasarkan Article XIX GATT 1947 bahwa salah satu syarat untuk melakukan tindakan
pengamanan (safeguard) oleh negara-negara anggota WTO adalah untuk melindungi
industri dalam negeri dan bersifat non diskrimnatif. Hal ini berarti bahwa tindakan
safeguard melalui pembatasan impor diterapkan karena telah terjadi peningkatan produk
impor, sehingga menimbulkan kerugian (injury) yang serius di dalam negeri (negara
pengimpor). Dengan demikian, negara-negara pengekspor harus dibatasi aksesnya di
pasar negara pengimpor. Selain itu, syarat lain adalah bahwa negara yang menghadapi
negara pengimpor harus diberi kompensasi. Selanjutnya ditentukan pula bahwa remedy
yang dikenakan dalam upaya safeguard adalah tarif walaupun pembatasan kuantitatif juga
dibolehkan.

b. Pasca Perundingan Uruguay Round


1) Pertemuan Punta del Este (Uruguay) 1986-1988
Dengan dilaksanakan perundingan safeguard di Punta del Este (Uruguay) yang
menyempurnakan ketentuan Article XIX GATT bertujuan untuk mencapai suatu
perjanjian yang komprehensif yang pada gilirannya akan menyempurnakan aturan main
sistem perdagangan multilateral. Selanjutnya dapat dicatat bahwa Deklarasi Punta del
Este juga menetapkan agar perjanjian dapat dicapai dalam negosiasi mengenai safeguard
harus berdasarkan pada prinsip dasar dari GATT yang dalam hal ini menyangkut prinsip
non diskriminasi (Most Favoured nation principles).

Prinsip Non Diskriminasi adalah prinsip utama yang menjadi dasar GATT. Prinsip ini
menyatakan bahwa perdagangan internasional antara anggota GATT harus dilaksanakan
secara non diskriminatif. Yaitu untuk memperlakukan produk impor dan produk lokal
secara sama dan most-favoured nation untuk menerapkan tarif yang sama untuk setiap
barang impor. GATT juga mengurus hambatan-hambatan non tarif yang diterapkan
sebagai proteksi, contohnya adalah standar ramah lingkungan. Namun beberapa prinsip
dalam GATT tidak mudah untuk diikuti karena dalam banyak hal perlu adanya perubahan
pada kebijakan nasional untuk menerapkannya. Selain itu tidak mudah untuk menerapkan
prinsip dan perlakuan yang sama kepada negara yang tidak sejajar. Kesulitan untuk
mengikuti prinsip dan aturan GATT terutama dialami oleh negara berkembang.

Selama proses perundingan pertama dari tahun 1986 sampai 1988 di Punta del Este,
perundingan di bidang safeguard merupakan perundingan yang paling sulit dan berlarutlarut. Menurut HS Kartadjoemena, permasalahan utama yang dihadapi para perunding
adalah begaimana merumuskan suatu bentuk persetujuan tetang safeguards yang memuat
semua unsur-unsur sebagaimana ditetapkan dalam mandat deklarasi. Dari semua unsur
tersebut penerapan prinsip non diskriminasi khususnya MFN merupakan masalah utama
yang paling banyak menimbulkan pertentangan khususnya antara negara maju dan negara
berkembang.

2) Siding Mid-Term review Montreal (Canada) 1988


Pada sidang Mid-Term Review di Montreal 1988 di Montreal, para menteri hanya
memberikan petunjuk mengenai langka-langka perundingan safeguard yang berdasarkan

pada prinsip-prinsip dasar dari persetujuan umum yang bertujuan untuk mengembangkan pengawasan safeguard dengan melakukan tindakan pembatasan serta selalu
melakukan kontrol. Para menteri juga mengakui bahwa melalui persetujuan tersebut
sebagai suatu hal yang sangat penting untuk memperkuatkan sistem GATT dalam rangka
mengembangkan negosiasi perdagangan secara multilateral (Multilateral Trade
Negotiation).

3) Sidang Tingkat Menteri di Brussels (Swedia) Desember 1990

Selanjutnya pada sidang tingkat Menteri di Brussels 1990, bidang safeguard masih
memerlukan keputusan politis karena hal tersebut belum dapat diselesaikan dalam
perundingan sebelumnya baik di Punta del Este maupun di Montreal. Beberapa masalah
utama yang menjadi kontroversial adalah masalah penerapan safeguards secara selektif
(selectivity). Selain itu, masalah aturan permainan di bidang safeguards juga semakin
jarang dilaksanakan karena syaratnya dianggap terlampau berat untuk dipenuhi. Oleh
karena itu maka ada pemikiran untuk memberikan insentif dalam penggunaan safeguards
dengan menambah syarat agar tidak melakukan tindakan pembalasan (retaliation).
Tindakan pengamanan (safeguard) dilakukan apabila suatu industri dalam negeri
mengahdapi kesulitan karena membanjir produk impor. Namun bagi negara berkembang
diberikan perlakuan khusus yang meringankan. Hal ini merupakan prinsip yang berlaku
dalam perjanjian sebagai suatu masalah special and defferential treatment yang harus
mendapat penyelesaian, antara lain, masalah waktu safeguards yang juga masih
memerlukan penyelesaian politis, demikian pula semakin banyaknya negara yang
bergabung dalam free trade area dan custom union.

4) Hasil Akhir Perundingan Safeguard di Marrakech (Marroco) 1994


Dengan diselenggarakannya putaran akhir perundingan Uruguay Round di Marrakech
(Marocco) 15 April 1994 akhirnya berhasil disepakati hasil persetujuan di bidang
safeguard. Adapun ringkasan hasil perundingan di bidang safeguard adalah sebagai
berikut :
a) Safeguard adalah hak darurat membatasi impor apabila terjadi peningkatan impor yang
menimbulkan serious injury terhadap industri domestik.
b) Negara berkembangan khawatir akan adanya langkah yang semakin efektif.
c) Ketentuan tentang safeguard dapat diterapkan secara provisional selama penyidikan
apabila:
1. Ada bukti yang jelas bahwa peningkatan impor telah atau akan menimbulkan serious
injury.
2. Apabila keterlambatan penerapan safeguard akan menimbulkan kerugian yang sulit
diperbaiki.
d) Ketentuan seperti voluntary export restraints (VER) tidak boleh diterapkan.
e) Safeguard tidak boleh diterapkan lebih dari 4 (empat) tahun kecuali bila masih perlu
untuk mencegah injury dan industri yang terkena sedang dalam restrukturisasi.
f) Safeguard yang melebihi satu tahun harus dihapus bertahap dan jika melebihi 3 (tiga)
tahun harus ditinjau dalam satu setenga tahun.
g) Safeguard tidak dikenakan untuk Negara berkembang apabila pangsa Negara tersebut
3% (tiga persen) atau kurang dari total impor Negara penerap safeguards dan apabila
pangsa kolektif negara-negara berkembang 9% (sembilan persen) atau kurang dari total
impor negara tersebut.
Persetujuan di bidang Safeguards yang berakhir di Marrakech (Marocco) 15 April 1994
bertujuan untuk meningkatkan dan memperkuat sistem perdagangan internasional
berdasarkan ketentuan GATT 1994 dengan pertimbangan yaitu:
1. Memperjelas dan memperkuat tata tertib GATT 1994, dan khususnya Article XIX
GATT (Tindakan Darurat atas Impor Produk tertentu), untuk menegakkan kembali
pengendalian multilateral tentang tindakan pengamanan, dan menghi-langkan yang lolos
dari pengendalian tersebut.

2. Pentingnya penyesuaian struktural dan kebutuhan untuk meningkatkan dan bukan


membatasi persaingan dalam pasar internasional.
3. Pertimbangan lebih lanjut bahwa untuk tujuan ini, persetujuan menyeluruh yang dapat
diterapkan oleh semua anggota berdasarkan prinsip-prinsip GATT 1994.
Dengan dilaksanakan persetujuan di bidang safeguard maka setiap negera dapat
menerapkan tindakan pengamanan terhadap produk domestiknya apabila industri dalam
negeri tidak mampu bersaing sehingga mengalami kerugian serius sebagai akibat
membanjirnya produk impor.

3. Pelaksanaan Safeguard dalam Perdagangan Internasional

Dalam ketentuan Umum Persetujuan Tindak Pengamanan (Agrement on Safeguard)


dinyatakan bahwa perjanjian safeguard menerapkan peraturan untuk pelaksanaan
tindakan pengamanan yang harus diartikan sebagai tindakan yang akan diatur dalam
Article XIX GATT 1994. Penerapan tindakan pengamanan (safeguard) dimaksudkan
untuk melindungi produk industri dalam negeri dari lonjokan atau membanjirnya produk
impor yang merugikan atau mengancam kerugian industri dalam negeri.

Adapun syarat-syarat penerapan safeguard sebagaimana dijelaskan dalam Article 2


Agreement on Safeguard adalah sebagai berikut:
1) Anggota dapat memohon tindakan pengamanan atas suatu produk jika produk yang
diimpor ke dalam wilayah dalam jumlah demikian rupa, mengancam produk sejenis
dalam negeri, sehingga menyebabkan kerugian serius bagi industri dalam negeri yang
memproduksi produk sejenis atau produk yang langsung.
2) Tindakan safeguard akan diterapkan pada produk yang diimpor tanpa dilihat dari
sumbernya.
Kebijakan penerapan tindakan Pengamanan (safeguard) oleh negara peng-impor
dilaksanakan melalui beberapa tahapan antara lain melakukan penyidikan dan
pembuktian, menentuan adanya kerugian atau ancaman kerugian, dan penerapan tindakan
pengamanan:
a) Penyidikan dan Pembuktian
Setiap negara anggota dapat menerapkan tindakan pengamanan setelah dilakukan
penyelidikan oleh pihak yang berwenang sesuai dengan prosedur dan diumumkan sesuai
dengan Article X GATT 1994. Hal ini dinyatakan dalam Article 3 Agreement on
Safeguard: A member may apply a safeguard measure only following an investigation
by the competent authorities of that Member pursuant to procedures previously
established and made public in consonance with Article X of GATT 1994.

Penyelidikan ini harus mencakup pemberitahuan kepada semua pihak yang


berkepentingan sehingga para importir, eksportir dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan dapat mengajukan bukti dan pandangan mereka, apakah tindakan
pengamanan melindungi kepentingan umum. Para pejabat yang berwenang selanjutnya
akan menyampaikan laporan penyidikan mereka dan memberikan kesimpulan mengenai
semua semua fakta dan hukum yang berlaku.

Pelaksanaan penyidikan terhadap adanya kerugian serius atau ancaman kerugian serius
terhadap Industri dalam negeri akibat lonjakan impor dilakukan oleh sebuah Komite,
yang di Indonesia disebut Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Untuk itu
maka kepada pihak berkepentingan yang secara langsung terkena dampaknya dapat
mengajukan permohonan penyelidikan atas pengamanan kepada Komite.
Adapun pihak berkepentingan yang terkena langsung dampak peningkatan produk impor
adalah sebagai berikut :
1) Produsen dalam negeri Indonesia yang menghasilkan barang sejenis barang terselidik
dan atau barang yang secara langsung bersaing;

2) Asosiasi produsen barang sejenis barang terselidik dan atau barang yang secara
langsung bersaing;
3) Organisasi buruh yang mewakili kepentingan para pekerja industri dalam negeri.
Apabila dipandang perlu dalam rangka perlindungan industri dalam negeri, bahkan
Pemerintah dapat mengajukan penyelidikan kepada Komite. Selanjutnya Komite
Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) atas prakarsa sendiri dapat melakukan
penyelidikan atas lonjakan impor yang mengakibatkan kerugian serius dan atau
ancamankerugian serius industri dalam negeri.

Berdaasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2002 Tentang


Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor, Pasal 3 ayat
(2) menyatakan, untuk mempermudah proses penyidikan, pemohon harus melengkapi
data sekurang-kurangnya memuat sebagai berikut:
1) identifikasi pemohon;
2) uraian lengkap barang terselidik;
3) uraian lengkap barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing;
4) nama eksportir dan negara pengekspor dan atau negara asal barang;
5) industri dalam negeri yang dirugikan;
6) informasi mengenai kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius;
7) informasi data impor barang terselidik.
Untuk kepentingan pengumpulan alat bukti dan kepentingan pembuktian dalam
melaksanakan kewenangannya, Komite berhak meminta data dan informasi langsung
kepada pihak yang berkepentingan atau sumber lainnya yang dianggap layak, baik
instansi/lembaga pemerintah atau swasta.

Selain itu Komite dapat menentukan sendiri bukti-bukti berdasarkan data dan informasi
yang tersedia (best information available) apabila dalam penyelidikan pihak
berkepentingan:
1. tidak memberikan tanggapan, data atau informasi yang dibutuhkan sebagai-mana
mestinya dalam kurun waktu yang disediakan oleh Komite; atau
2. menghambat jalannya proses penyelidikan.
Komite memperlakukan setiap data dan informasi rahasia sesuai dengan sifatnya. Data
dan informasi rahasia tidak dapat diungkapkan pada umum tanpa izin dari pemilik data
dan informasi tersebut. Pihak-pihak berkepentingan yang menyampaikan data dan
informasi rahasia kepada Komite harus melampirkan suatu catatan ringkas yang berasal
dari data dan informasi yang bersifat rahasia. Catatan ringkas tersebut bersifat tidak
rahasia (non-confidential summaries).

Dalam melaksanakan proses pembuktian, Komite harus memberikan kesempatan yang


sama atau seimbang kepada pihak berkepentingan untuk menyampaikan bukti-bukti
tertulis dan untuk memberikan informasi atau keterangan tambahan tertulis lainnya
kepada Komite. Kemudian Komite dapat melakukan verifikasi atas data dan informasi
yang berasal atau diperoleh dari pihak berkepentingan di negara pengekspor atau di
negara asal barang terselidik dan industri dalam negeri.

Selanjutnya dalam waktu paling lama 30 hari sejak pengajuan permohonan tindakan
pengamanan tersebut diterima lengkap oleh Komite, berdasarkan hasil penelitian serta
bukti-bukti awal yang lengkap sebagaimana yang diajukan pemohon tersebut, Komite
memberikan keputusan berupa (Pasal 3 ayat 3):
1. menolak permohonan dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan yang
ditentukan; atau

2. menerima permohonan dan memulai penyelidikan dalam hal permohonan memenuhi


persyaratan.
Selanjutnya apabila komite menetapkan untuk mengadakan atau tidak mengadakan
penyelidikan atas permohonan pihak berkepentingan, maka Komite harus
memberitahukan secara tertulis disertai alasan-alasannya kepada pihak berkepentingan
serta diumumkan tentang penetapan tersebut dalam media cetak. Atas pemberitahuan
tersebut maka pihak berkepentingan diberikan kesempatan untuk melakukan tanggapan
apabila dianggap terdapat ketidaksesuaian atas alasan-alasan tersebut paling lama 15
(lima belas) hari sejak penetapan Komite (Pasal 4).

Demikian pula dengan penundaan atau pengakhiran penyelidikan harus diumumkan


dalam media cetak dengan memuat alasan-alasan serta didukung oleh fakta dan
disampaikan segera kepada pihak berkepentingan. Selanjutnya pihak yang mengajukan
permohonan dapat menarik kembali permohonan penyelidikan yang diajukan kepada
Komite (Pasal 5 dan 6).
Dalam hal hasil penyelidikan ternyata tidak ada bukti kuat yang menunjukkan industri
dalam negeri mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius sebagai akibat
dari lonjakan impor, Komite menghentikan penyelidikan tindakan pengamanan.
Berdasarkan penetapan penghentian penyelidikan tindakan peng-amanan oleh Komite,
seluruh bea masuk atas impor barang terselidik yang dikenakan tindakan pengamanan
sementara yang telah dibayarkan oleh para importir barang terselidik harus dikembalikan
kepada para importir barang terselidik tersebut. Kemudian dalam jangka waktu paling
lambat 15 (lima belas) hari sejak penetapan penghentian penyelidikan tindakan
pengamanan oleh Komite, Menteri Keuangan mencabut bea masuk barang terselidik
yang dikenakan tindakan pengamanan sementara. Pengembalian bea masuk tersebut
harus dilaksanakan sesegera mungkin, selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak
dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan mengenai pencabutan pengenaan bea
masuk ( Pasal 7).
Penyelidikan yang dilakukan oleh Komite harus selesai dalam waktu selambat-lambatnya
200 (dua ratus) hari sejak penetapan dimulainya penyelidikan. Dalam hal diperlukan
informasi tambahan untuk kepentingan pembuktian, Komite dapat mengirimkan daftar
pertanyaan tertulis kepada pihak berkepentingan. Daftar pertanyaan harus dijawab oleh
pihak berkepentingan dalam waktu 15 (lima belas) hari sejak dikirimnya daftar
pertanyaan tertulis tersebut atau dalam waktu 20 (dua puluh) hari dalam hal terdapat
permintaan dari pihak berkepentingan karena faktor alasan tertentu.

b) Penentuan Adanya Kerugian atau Ancaman Kerugian

Sebelum tindakan pengamanan diberlakukan, terlebih dahulu dilakukan pembuktian telah


terjadinya kerugian serius atau ancaman kerugian serius akibat melonjaknya barang
impor. Penentuan adanya kerugian atau ancaman kerugian dimaksud, diatur dalam Article
4 Agreement on Safeguard sebagai berikut :
a. Terjadinya kerugian serius yang diartikan dapat menghalangi perkem-bangan atau
keberadaan industri dalam negeri;
b. Adanya ancaman kerugian serius yang harus dipahami sebagai kerugian berat yang
jelas akan terjadi, sebagaimana dimaksud dalam ayat 2. Penentuan adanya ancaman
kerugian serius harus didasarkan pada fakta dan bukan pada tuduhan, dugaan atau
kemungkinan yang tersamar lainnya.
Dalam menentukan kerugian atau ancaman tersebut, industri dalam negeri merupakan
produsen secara keseluruhan yang memproduksi produk sejenis atau yang langsung
bersaing yang beroperasi di dalam wilayah suatu anggota, atau hasil produksi atas produk
sejenis yang secara langsung bersaing merupakan bagian terbesar dari total produksi.
Untuk merealisasi ketentuan Article 4 Agreement on Safeguard, Pemerintah telah
mengeluarkan Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Pasal 12 menyatakan:
1) Penentuan kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam
negeri akibat lonjakan impor barang terselidik harus didasarkan kepada hasil analisis dari
seluruh faktor-faktor terkait secara objektif dan terukur dari industri dimaksud, yang
meliputi:
a. tingkat dan besarnya lonjakan impor barang terselidik, baik secara absolut ataupun
relatif terhadap barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing;

b. pangsa pasar dalam negeri yang diambil akibat lonjakan impor barang terselidik; dan
c. perubahan tingkat penjualan, produksi, produktivitas, pemanfaatan kapasitas,
keuntungan dan kerugian serta kesempatan kerja.
2) Untuk menentukan lonjakan impor yang mengakibatkan terjadinya ancaman kerugian
serius, Komite dapat menganalisis faktor-faktor lainnya sebagai tambahan selain faktorfaktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), seperti:
a. kapasitas ekspor riil dan potensial dari negara atau negara-negara produsen asal
barang;
b. persediaan barang terselidik di Indonesia dan di negara pengekspor.
3) Dalam hal kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam
negeri yang timbul pada saat bersamaan dengan lonjakan impor tetapi disebabkan oleh
faktor-faktor lain di luar faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
maka kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tidak dapat dinyatakan sebagai
akibat lonjakan impor.

Selanjutnya dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa penetapan terjadinya suatu ancaman


kerugian serius sebagai akibat lonjakan impor harus didasarkan pada fakta-fakta dan
tidak boleh didasarkan pada dugaan, prakiraan atau kemungkinan-kemungkinan.
Hal ini dimaksudkan bahwa dalam menentukan adanya kerugian atau ancaman kerugian
serius, Komite Pengamanan Perdagangan harus melakukan penyelidikan dan analisis
secara mendalam guna menemukan fakta-fakta yang akurat bahwa kerugian atau
ancaman kerugian tersebut benar-benar sebagai akibat dari lonjakan impor, bukan
didasarkan pada dugaan atau persepsi semata. Penyelidikan kurang cermat tidak saja
merugikan baik pihak negara pengimpor melainkan juga negara pengekspor.

c) Pengenaan Tindakan Pengamanan


Pengenaan Tindakan Pengamanan diatur dalam Agreement on Safeguard, yaitu Article 5
(tindakan pengamanan tetap) dan Article 6 (tindakan pengamanan sementara). Kedua
article tersebut memperbolehkan kepada setiap negara anggota untuk menerapkan
tindakan pengamanan sejauh diperlukan untuk mencegah atau memperbaiki kerugian
serius guna mempermudah penyesuaian atau pemberian ganti kerugian. Tindakan
pengamanan tersebut dapat dalam bentuk tarif, kuota dan kombinasi antara tarif dan
kuota.
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Pasal 23A menyatakan bahwa Bea masuk
tindakan pengamanan dapat dikenakan terhadap barang impor dalam hal terdapat
lonjakan barang impor baik secara absolut maupun relatif terhadap barang produksi
dalam negeri yang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing, dan lonjakan
barang impor tersebut:
1. menyebabkan kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi
barang sejenis dengan barang tersebut dan/atau barang yang secara langsung bersaing;
atau
2. mengancam terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang
memproduksi barang sejenis dan/atau barang yang secara langsung bersaing.

Selanjutnya Pasal 23B menyatakan bahwa Bea masuk tindakan peng-amanan tersebut
adalah paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian serius
atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. Bea masuk
tersebut merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat
(1) Undang-Undang Kepabeanan Nomor 10 Tahun 1995.
Berdasarkan uraian di atas bahwa tindakan pengamanan dilakukan terhadap produk
dalam negeri karena:
1. Adanya lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan
saingan produk industri dalam negeri.
2. Adanya kerugian serius atau ancaman kerugian serius pada industri dalam negeri
karena membanjirnya produk impor.

3. Adanya hubungan kausal antara lonjakan impor dengan kerugian serius atau ancaman
kerugian serius. Analisis kausalitas berdasarkan indikator ekonomi meliputi: produksi,
penjualan dalam negeri, pangsa pasar, keuntungan, utulitas kapasitas dan tenaga kerja.
Berdasarkan hasil penyidikan, apabila ditemukannya bukti bahwa terjadi kerugian serius
atau ancaman kerugian serius terhadap industri domestik karena adanya lonjakan produk
impor, maka negara pengimpor harus memberitahukan kepada Komite Safeguard
sebelum mengambil tindakan pengamanan. Kemudian negara pengimpor anggota WTO
terlebih dahulu mengundang negara pengekspor selaku anggota untuk melakukan
konsultasi guna memberikan kesempatan kepada negara tersebut untuk menegosiasikan
penyelesaian masalah.
Menurut Bhagirath Lai Das dalam Cristhophorus Barutu bahwa setelah konsultasi, negara
anggota memutuskan untuk mengambil tindakan safeguard dalam bentuk
(Christhophorus Barutu, 2007: 116-117)
1. Pemberlakuan tarif seperti: peningkatan kewajiban impor melampaui tingkat batas,
pembebanan biaya tambahan atau pajak tambahan, penggantian pajak produksi,
pengenaan tarif kuota yaitu kuota untuk impor pada suatu tarif yang lebih rendah dan
pembebanan pada tarif yang lebih tinggi untuk impor yang yang berada di atas kuota.
2. Pembebanan non-tarif seperti: penetapan kuota global untuk impor, pengenalan
kemudahan dalam perizinan, kewenangan impor, dan tindakan lain yang serupa untuk
pengendalian impor.

Untuk menerapkan tindakan pengamanan perdagangan internasional, dalam Agreement


on Safeguard, tindakan pengamanan meliputi dua bentuk:
1. Tindakan Pengamanan (Safeguard) Sementara
Bentuk tindakan pengamanan sementara hendaknya dilakukan sebelum pelaksanaan
tindakan pengamanan tetap. Tindakan pengamanan sementara dilaksanaka semenjak
inisiasi atau permulaan proses penyidikan yang didahulukan dengan notifikasi. Tindakan
ini dilakukan apabila terjadi keadaan darurat yang jika ditunda atau tidak dilaksanakan,
akan menyebabkan terjadinya kerusakan yang sulit diperbaiki.
Tindakan pengamanan sementara adalah berupa tarif (cash bond) yang berlaku maksimim
200 hari. Namun apabila tidak diketemukan bukti bahwa impor barang mengakibatkan
kerugian serius atau ancaman terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri
maka tarif yang akan dibayarkan harus dikembalikan kepada importir.
Hal ini telah dinyatakan dalam Article 5 Agreement on Safeguard, bahwa tindakan
pengamanan sementara dapat dilakukan oleh negara pengimpor anggota WTO jika terjadi
keadaan darurat dan apabila ditunda akan menyebabkan terjadinya kerusakan yang sulit
diperbaiki. Tindakan pengamanan sementara tidak boleh melebihi 200 hari, tindakan
tersebut dilakukan sesuai dengan penentuan sementara yang membuktikan secara nyata
bahwa impor yang meningkat telah menyebabkan atau mengancam kerugian berat
terhadap indusri domestik.

2. Tindakan Pengamanan (Safeguard) Tetap


Menurut Christophorus Barutu, tindakan safeguard tetap dapat ditetapkan dalam tiga
bentuk meliputi peningkatan bea masuk, penetapan kuota impor, dan kombinasi dari
kedua bentuk tersebut.

4. Lembaga yang Berwewenang Menangani Tindakan Safeguard

a. Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI)


KPPI adalah institusi pemerintah yang menangani penyelidikan atas Permohonan
Tindakan Pengamanan (Safeguards) terhadap produsen dalam negeri yang menderita
kerugian serius dan/atau mengalami ancaman terjadinya kerugian serius, dari akibat
melonjaknya impor barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing dengan
barang produsen dalam negeri. 4
Tugas pokok KPPI ialah menyelidiki kemungkinan ditetapkannya tindakan pengamanan
(safeguard) ata sindustri dalam negeri yang mengalami kerugian serius karena adanya

barang impor yang sejenis atau secara langsung bersaing dengan barang yang diproduksi
oleh industry dalam negeri yang mnegalami lonjakan impor yang besar

b. Direktorat Pengamanan Perdagangan (DPP)


Direktorat Pengamanan Perdagangan (DPP) berperand alam menghadapi tuduhan Negara
lain. Terkait dengan membanjirnya produk Indonesia di pasar Negara tersebut sehingga
merugikan industry dalam negerinya. Selain itu DPP juga berperan dalam menghadapi
tuduhan praktik dumping dan subsidi.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
a. Tindakan pengamanan (Safeguard) merupakan salah satu instrument kebijakan
perdagangan yang hampir mirip dengan kebijakan antidumping dan anti subsidi. Ketigatiganya sama-sama diatur dalam WTO, dan sama-sama dapat dikenakan tarif bea masuk
tambahan apabila menimbulkan kerugian (injury) terhadap Negara pengimpor.
b. Pengaturan safeguard mengacu pada Article XIX GATT (Emergency Action on
Imports of Particular Products) sebagaimana disempurnakan dengan Agreement on
Safeguard 1994. Tindakan pengamanan (safeguard) juga diatur dalam sistem hukum
Indonesia yaitu dalam Kepres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan
Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor serta Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of
Origin) terhadap barang impor yang dikenakan Tindakan Pengamanan (safeguard).
c. Dengan dilaksanakan persetujuan di bidang safeguard maka setiap negera dapat
menerapkan tindakan pengamanan terhadap produk domestiknya apabila industri dalam
negeri tidak mampu bersaing sehingga mengalami kerugian serius sebagai akibat
membanjirnya produk impor.
d. Lembaga yang Berwewenang Menangani Tindakan Safeguard adalah Komite
Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) dan Direktorat Pengamanan Perdagangan
(DPP).

DAFTAR PUSTAKA

Sood, Muhammad. 2011. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta : PT. Rajagrafindo


Persada

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-Dag/Per/9/2008 Tentang Surat Keterangan


Asal (Certificate Of Origin) Terhadap Barang Impor Yang Dikenakan Tindakan
Pengamanan (Safeguards).

Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri
Dari Akibat Lonjakan Impor

http://kppi-isc.com/en/ diakses pada tanggal 24 Maret 2013

Vous aimerez peut-être aussi